Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

ABSES SEREBRI

PEMBIMBING:

dr. Hadi Soeprapto G, SpS, MKes

DISUSUN OLEH:

Christy Imelda M M (0861050007)

Dian Rizki Rahayu (0861050008)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RS MARDI WALUYO METRO LAMPUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

PERIODE 27 MEI 2013 – 22 JUNI 2013

JAKARTA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI………..........................................................................................................3
2.2 EPIDEMIOLOGI……………………..........................................................................3
2.3 ANATOMI OTAK…...................................................................................................5
2.4 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI..............................................................7
2.5 HISTOPATOLOGI…………………………………..................................................9
2.6 PATOFISIOLOGI………...........................................................................................11
2.7 MANIFESTASI KLINIS...........................................................................................14
2.8 DIAGNOSIS...............................................................................................................15
2.9 PENATALAKSANAAN............................................................................................18
2.10 DIAGNOSIS BANDING............................................................................................22
2.11 KOMPLIKASI…………………………………………………………………...….23
2.12 PROGNOSIS..............................................................................................................24
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................….27
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
dalam menyelesaikan referat Ilmu Penyakit Saraf yang berjudul Abses Serebri. Referat ini disusun
sebagai bagian dalam rangka memenuhi salah satu tugas kami sebagai mahasiswa kedoteran yang
mengikuti program studi profesi dokter di bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia periode 27 Mei 2013 – 22 Juni 2013.

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah dalam rangka mengikuti Kepanitraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf, RS Mardi Waluyo Metro Lampung, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Indonesia.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan referat ini .

Penulis juga mengharapkan segala masukan baik berupa saran maupun kritik membangun
daripada pembaca dalam rangka meningkatkan kualitas refarat ini .

Demikianlah referat ini disusun, kiranya dapat memberikan manfaat bagi para pembaca
dan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Lampung, Juni 2013

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi sistem saraf pusat (SSP) dan gejala sisanya masih merupakan sumber utama

morbiditas.1 Di masa lalu, pengenalan antibiotik spektrum luas yang lebih baru,

peningkatan teknologi pencitraan, dan fasilitas perawatan intensif telah secara signifikan

mengubah sejarah infeksi SSP.1 Abses otak merupakan masalah kesehatan global dengan

tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi; dengan demikian, penyakit ini

menghadirkan beban utama pada fasilitas perawatan kesehatan di seluruh dunia.2,3

Abses otak adalah bentuk fokus yang dinamis dari nanah intrakranial dan bersifat

serius hingga mengancam jiwa.4 Abses otak merupakan infeksi intraserebral fokal yang

dimulai sebagai serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang

dikelilingi oleh kapsul otak yang dikemas sebagai lesi mirip massa, mirip dengan abses di

tempat lain.5

Saat ini, di negara-negara berpenghasilan tinggi bentuk asli penyakit supuratif

intrakranial (Abses Otak, empiema, dan ventrikulitis purulen) sangat jarang terjadi

sehingga sebagian besar ahli bedah saraf muda tidak terbiasa dengan bentuk patologi ini
6
dan membutuhkan waktu yang cukup, kompleks, dan manajemen bedah yang agresif.

Asal infeksi BA menyebabkan kerusakan signifikan pada SSP,7 karena ketidakmampuan

memasang pertahanan yang cukup terhadap piogen, sehingga terjadilah abses piogenik.8

Kemajuan dalam operasi, teknik neuroimaging diagnostik dan penggunaan antibiotik

selama abad ke-20, telah secara drastis meningkatkan outcome dari infeksi ini, meskipun

angka kematian dan morbiditas tetap tinggi.9 Khususnya untuk pasien dengan
immunikompromised seperti mereka yang memiliki penyakit HIV lanjut dan penerima

transplantasi, mungkin karena meningkatnya jumlah infeksi oportunistik; [10,11] dengan

demikian, BA dapat dengan mudah berakibat fatal. . Karena alasan ini, BA harus dianggap

sebagai infeksi serius dan upaya harus difokuskan pada pengoptimalan diagnosis dan

manajemen yang berkelanjutan. [9]


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai serebritis

yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul

otak disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa.

2.2 Epidemiologi

BA lebih sering terjadi pada laki-laki - dua hingga tiga kali lipat, dan tingkat morbiditas

tertinggi pada dekade keempat kehidupan [3,25] BA berhubungan dengan morbiditas yang

tinggi, termasuk kejang (80%), perubahan status mental yang persisten ,dan defisit fokus

motorik. [26] BA masih terus berlanjut menjadi masalah yang signifikan di negara

berkembang karena kemiskinan skala besar, buta huruf, dan kurangnya kebersihan.

BA piogenik adalah sejenis penyakit menular, penyakit ini diperkirakan lebih

umum terjadi di lingkungan dengan sanitasi buruk dan fasilitas medis serta buta huruf. [1]

Penyakit infeksi biasanya terjadi di negara tropis. [5].Seperti yang telah dinyatakan

sebelumnya, meskipun ada kemajuan terobosan dalam neuroimaging, teknik bedah saraf,

neuroanesthesia, teknik isolasi mikrobiologis, dan terapi antibiotik, BA bakterial dapat

berakibat fatal. [17] Insiden BA adalah sekitar 8% dari massa intrakranial di negara-negara

berkembang dan 1-2% di negara-negara barat. [17] Di beberapa pusat kesehatan, kasus BA

pada anak mencapai hampir 25% dari semua pasien dengan BA. [30]

Kematian akibat BA baru-baru ini menurun dari sekitar 50% menjadi 20%,

sebagian besar sebagai hasil dari pengenalan pemindaian CT yang menghasilkan diagnosis

lebih awal dan pelokalan yang akurat. [31,32] Kemajuan lebih lanjut dalam isolasi dan

identifikasi mikroorganisme, antimikroba superior dengan lebih besar Penetrasi cairan


serebrospinal (CSF) dan aspirasi stereotaktik telah menghasilkan kematian kontemporer

kurang dari 10%. [33] Kematian terutama dipengaruhi oleh usia dan kondisi neurologis

saat masuk; keterlambatan rawat inap, defisit neurologis fokal saat masuk, gangguan

imunitas inang, diabetes mellitus yang tidak terkontrol, dan Glasgow Coma Scale (GCS)

<12 dikaitkan dengan kematian dan defisit neurologis permanen. [3]

Dalam Nathoo et al. [4] studi yang merupakan seri klinis terbesar yang diterbitkan

hingga saat ini dengan 973 pasien BA dan mewakili pengalaman lembaga tersier tunggal

dengan bentuk supurasi intrakranial, di negara berkembang dan di provinsi terpadat di

Afrika Selatan, mereka menemukan usia rata-rata 24,36 ± 15,1 tahun dan laki-laki paling

menderita (n = 722, 74,2%). Hampir 70% dari kelompok pasien adalah usia decade ke-3,

dan 42,7% adalah pasien anak-anak (<18 tahun), juga meskipun trauma menjadi penyebab

paling umum (32,8%) dimana 64,3% berada di sisi kiri. Luka kranial yang menembus

dicatat pada 91 pasien (tusukan, n = 42; tembakan, n = 16; senjata lain, n = 33). Sepsis

Otorinogenik adalah sumber utama pada 38,5% pasien, terjadi terutama dalam dua dekade

pertama kehidupan. Etiologi tambahan lainnya (7,7%), paru (6,8%), kriptogenik (4,6%),

pasca bedah (3,2%), meningitis (2,8%), jantung (2,7%), dan gigi (0,9%).

2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Ada berbagai macam patogen yang dapat menyebabkan BA. [2,31,32] Pada
dasarnya, penyebab mikroba tergantung pada bagaimana BA berkembang dan
apakah pasien immunocompromized atau tidak. Streptokokus (baik aerob maupun
anaerob) adalah patogen yang paling umum, terdiri dari sekitar 70% isolat yang
dikultur dari BA bakteri. [57] Patogen yang paling umum terkait dengan skenario
klinis dirangkum dalam Tabel 3.
Dari rongga mulut, penyebaran hematogen (infeksi intra-abdominal /
panggul), dan dari infeksi otorhinolaringeal, organisme yang paling umum diisolasi
adalah patogen anaerob (Streptococci, Bacteroides spp., Prevotella melaninogenica,
Propionibacterium , Fusobacterium, dan Actinomyces dan batang gram negatif
aerob, seperti Morganella morganii). [21,58-64] Dalam kasus trauma atau pada
pasien dengan prosedur bedah saraf sebelumnya, cocci gram positif aerobik adalah
yang sering (Streptococcus viridans, Streptococcusmilleri, dan S. aureus), tetapi
batang gram negatif aerob (Klebsiella, Pseudomonas, Escherichia coli, Proteus) dapat
ditemukan juga. [17,26] Peptostreptococcus dan Streptococcus (khususnya viridian
dan mikroaerofilik) sebagian besar diidentifikasi pada pasien dengan penyakit
jantung (penyakit jantung sianotik) dan pirau kanan ke kiri. [17]

Meningkatnya penggunaan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya


telah memodifikasi lingkungan bakteri sehingga meningkatkan frekuensi
oportunistik. patogen yang menyebabkan BA, dan bukan hanya karena obat-obatan
melainkan seperti pasien alkoholik, mereka dengan kondisi neurologis yang parah
dan imun yang menurun (penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, atau infeksi HIV
/ AIDS), berisiko tinggi menderita BA oportunistik. Ada sejumlah besar patogen yang
mempengaruhi pasien yang mengalami gangguan kekebalan, mulai dari organisme
biasa hingga patogen lain yang lebih tidak biasa termasuk Pesudomonas,
Toxoplasma, Listeria, Nocardia, Aspergillus, Cryptococcus, Coccidioides, dan
patogen jamur lainnya; [26] pada pasien ini lebih mungkin terjadi penyebaran
hematogen atau metastasis. [17] Pada imigran atau pelancong dari bagian dunia yang
terbelakang dengan BA, parasit harus dipertimbangkan (mis. Sistiserkosis,
Entamoeba histolytica, Schistosoma, dan Paragonimus). [26] Kelompok pasien lain
yang berisiko patogen tidak biasa adalah para imigran dari negara-negara
terbelakang, mereka dapat memiliki, selain patogen yang mempengaruhi pasien yang
tidak dikompromikan, patogen lain seperti Taenia, E. histolytica, Schistosoma,
Echinococcus, dan Paragonimus. [26,65- 71]

Dalam Nathoo et al. [4] seri (terbesar dilaporkan), ditemukan bahwa sebagian
besar pasien menjalani pembedahan (53,2%) memiliki isolasi satu organisme,
menjadi organisme gram positif yang paling umum: S. aureus dan Staphylococcus
epidermidis, terutama pada BA traumatis. Isolat Streptococcus milleri dominan pada
pasien dengan sinusitis paranasal, sedangkan Proteus mirabilis paling sering diisolasi
pada infeksi otogenik.

Gejala Klinis

BA dapat hadir dalam empat sindrom dasar, yaitu. ekspansi massa fokal,
hipertensi intra kranial, destruksi difus, dan defisit neurologis fokal. [17] Dalam
kebanyakan kasus, faktor-faktor risiko predisposisi, seperti penyakit jantung
sianosis bawaan, penurunan kekebalan, atau adanya fokus septik, dapat
diidentifikasi. [73] Frekuensi tanda dan gejala klinis dalam BA tercantum pada Tabel
4.
Presentasi klinis abses intrakranial tergantung pada asal infeksi, lokasi,
ukuran, jumlah lesi, struktur otak spesifik yang terlibat, gangguan anatomi
lingkungan yang melibatkan tangki, ventrikel , dan sinus vena dural, dan cedera otak
sekunder. [32,74,75] Seringkali pasien datang dengan gejala peningkatan tekanan
intrakranial (sakit kepala, mual / muntah, dan perubahan status mental), defisit
neurologis fokal, dan demam (walaupun demam dapat terjadi pada 30-76% kasus).
[1,8,75,76] Nathoo et al. [4] melaporkan bahwa sakit kepala, demam, dan kekakuan
nuchal adalah presentasi klinis yang paling umum. Durasi gejala berkisar dari 1 hari
hingga 8 minggu (rata-rata 11,4 ± 10 hari; P = 0,7).

Tidak seperti infeksi SSP lainnya, defisit fokal sering terjadi dan papil edema tidak
jarang terjadi. [26] Abses pine dapat mendorong kompresi saluran air Sylvius
posterior yang menyebabkan hidrosefalus obstruktif; [17] Lesi lobus frontal sering
menunjukkan manifestasi klinis yang halus, dan disebut sebagai "daerah hening"
otak. [2,77] Fitur lobus frontal abses biasanya tidak spesifik, seperti demam, mual,
dan sakit kepala selama tahap awal, dan tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial, seperti tingkat kesadaran yang berubah, akan muncul kemudian. Lesi
oksipital dapat pecah menjadi ventrikel yang menyebabkan ventrikulitis atau
ependimitis atau dapat menyebabkan tromboflebitis septik dari sinus transversus
yang menyebabkan hipertensi vena, edema, kejang, dan peningkatan tekanan intra-
kranial. [17] Gejala presentasi umum [59,78] dan peningkatan kadar penanda serum
memberikan kecurigaan klinis tingkat tinggi dan dapat ditemukan pada 75% kasus;
namun demikian, alat diagnostik utama saat ini adalah modalitas pencitraan. [79]
Yang perlu diperhitungkan, adalah kenyataan bahwa seringkali resep antibiotik oral,
atau analgesik, dapat menyebabkan gejala sementara mereda dan memperpanjang
perjalanan penyakit.

Mengingat manifestasi awal yang nonspesifik, diagnosis BA terutama pada populasi


anak-anak, sering dapat terlambat. [73] Pasien-pasien dengan BA biasanya datang
dengan satu atau lebih gejala termasuk demam, sakit kepala, perubahan tingkat
kesadaran, atau tanda-tanda neurologis fokal, termasuk kejang, keseimbangan
buruk, disfagia, atau defisit sensorimotor fokal. [31]

Diagnosa

Neuroimaging, biasanya CT scan dengan kontras, sangat penting untuk


mendiagnosis BA. Temuan khas pada CT scan atau MRI adalah lesi hipodensia
dengan contrast-enhancing ring . [26] CT memfasilitasi deteksi dini, lokalisasi yang
tepat, dan karakterisasi yang akurat, penentuan jumlah, ukuran, dan penentuan
staging abses [Gambar 1]. Ini juga mendeteksi hidrosefalus, peningkatan tekanan
intrakranial (ICP), edema dan infeksi terkait seperti empiema subdural, ventrikulitis
dan dengan demikian membantu dalam perencanaan pengobatan, dalam penilaian
kecukupan pengobatan dan follow up berkala. [17] Yang perlu diperhatikan adalah
fakta bahwa kortikosteroid menurunkan peningkatan dinding abses pada CT. [17]
Pada fase awal, CT non-kontras hanya dapat menunjukkan abnormalitas berupa
atenuasi yang rendah dengan efek massa. Pada fase selanjutnya, cincin perifer
lengkap dapat terlihat. [17] Pada CT kontras, peningkatan cincin yang seragam
hampir selalu ada pada fase selanjutnya. Karena kesulitan untuk memvisualisasikan
kapsul pada fase awal, CT kontras ganda sangat membantu dalam mendefinisikan
enkapsulasi abses. [81] Fitur MRI mengenali abses piogenik dengan cukup akurat.
Area pusat dari liquefaksi memberikan sinyal tinggi, sedangkan jaringan otak
edematous di sekitarnya memberikan sinyal rendah pada gambar T1-weighted. Pada
gambar T2-weighted, nekrosis menunjukkan sinyal yang lebih tinggi mirip dengan
materi abu-abu. Kematangan abses ditunjukkan oleh rim, yang mungkin terbentuk
oleh kolagen dan peradangan karena radikal bebas dan perdarahan mikro di dinding
abses. Zona peradangan secara signifikan lebih tebal di tuberkular dibandingkan
dengan abses piogenik dalam analisis morfometrik dari bagian histologis. Temuan
MRI juga tergantung pada stadium infeksi. Pada fase awal, MRI dapat memiliki
sinyal gambar berbobot T1 rendah (T1WI) dan sinyal gambar berbobot T2 tinggi
(T2WI) dengan peningkatan yang merata. Pada fase selanjutnya, sinyal T1WI
rendah menjadi berbatas tegas, dengan sinyal T2WI tinggi baik di rongga dan
parenkim sekitarnya. Ketebalan, ketidakteraturan, dan nodularitas cincin
penambah sugestif terhadap tumor (sebagian besar kasus) atau, mungkin, infeksi
jamur. [82

Diagnosis BA telah bererevolusi sangat banyak karena teknologi MR yang canggih,


membuat lebih mudah untuk membedakan antara diagnosis diferensial BA, seperti
dapat melakukan pencitraan difusi-weighted (DWI), yang biasanya menunjukkan
difusi terbatas (sinyal cerah) yang membantu membedakan abses dari neoplasma
nekrotik, yang biasanya tidak dibatasi, meskipun tidak semua abses mengikuti
aturan ini. [83,84] Spektroskopi MR proton (1H-MRS) juga merupakan modalitas
pencitraan yang aman dan non-invasif dan dapat secara akurat membedakan antara
tumor nekrotik / kistik dan abses serebri otak [85] DWI memiliki sensitivitas dan
spesifisitas tinggi, lebih dari 90%, untuk membedakan epidermoid, yang memiliki
koefisien difusi semu (ADC) dari kista arachnoid (ADC tinggi) dan abses pembeda
(ADC rendah) dari tumor nekrotik (ADC tinggi) (1). Spektroskopi MR telah terbukti
bermanfaat secara khusus dalam membedakan antara BA dan lesi kistik lainnya,
yang dapat digunakan untuk mempercepat implementasi terapi antimikroba yang
tepat. [85,86] 1H-MRS juga dapat memberikan informasi berharga mengenai etiologi
abses. , dan juga, jawabannya untuk perawatan medis atau bedah apa pun. [1] Dalam
Tabel 5 tercantum protokol eksplorasi ketika BA diduga. BA adalah satu-satunya
infeksi SSP di mana pungsi lumbal (LP) tidak pernah direkomendasikan dan bahkan
dapat dikontraindikasikan. [2] Dalam Nathoo et al. [4] seri, pretransfer LP telah
dilakukan pada 193 pasien (19,8%) sebelum konsultasi, yang diikuti oleh penurunan
neurologis pada 26 pasien (13,5%), dengan 7 kematian. Analisis CSF
mengungkapkan pleositosis nonspesifik dengan peningkatan protein dan tidak ada
organisme yang dikultur pada 80 pasien (41,5%), meningitis bakteri pada 71 pasien
(36,8%), dan normal pada 31 pasien. Tidak ada data yang tersedia pada 11 pasien.
Saran ini tidak hanya karena LP tidak membantu dalam diagnosis tetapi juga karena
peningkatan ICP sering hadir sebagai akibat dari efek massa, yang meningkatkan
kemungkinan herniasi, [18] memperburuk status klinis pasien. Dalam identifikasi
imagenologis, kecenderungan lokasi BA dalam kaitannya dengan etiologi adalah
traumatis: BA sisi kiri (n = 205, 64,3%); rhinogenik: Frontal (n = 176, 83,8%) dan
parietal (n = 15, 7,1%); otogenik: Temporal (n = 79, 47,9%), serebelar (n = 75,
45,5%), dan temporal dan serebelar secara bersamaan (n = 4, 2,4%); dan akhirnya
jantung: Parietal (n = 15, 57,7%) dan frontal (n = 9, 34,6%). [4]

2.5 Histopatologi

2.5.1 Abses Piogenis disebabkan bakteri

Jaringanotak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai mekanisme pertahanan

yang baik, pembentukan kapsul kolagen merupakan rspon yang terpenting dalam

membatasi penyebaran abses. Untuk terjadinya abses otak harus ada daerah yang nekrosis

terlebih dahulu dalam jaringan otak.

Pada penderita meningitis bacteria tidak selalu terjadi abses otak, hal ini

dipengaruhioleh faktor-faktor:

1.Virulensi bakteri
Komponen permukaa subkapsular bakteri (dinding sel dan lipopolisakarida)

memegang peranan yang penting untuk timbulnya radang di selaput otak dan memperluas

daerah yang nekrosis ke dalam jaringan otak. Bakteri pneumokokus mempunyai dua

polimer dinding sel (peptidoglikan dan asam trikoik fosfat ribitol) menyebabkan timbulnya

peradangan. H. influenza mempunyai kapsul lipopolisakarida bila terjadi inokulasi ke

dalam intrasisternal menyebabkan radang dan merusak sawar darah otak.

2. Rusaknya sawar darah otak

Hanya bakteri tertentu yang bisa merusak sawar darah otak. Kerusakan sawar darah

otak menimbulkan eksudasi albumin yang mempercepat timbulnya edema otak dengan

kerusakan sel endotel dan mikrovaskuler otak.

3. Imunopatologis

Satu sampai 3 jam setelah inokulasi lipopolisakarida terjadi pelepasan secara cepat

dari TNF (Tumor Necrotic Factor). Interleukin-2 ke dalam CSS menyebabkan neutrofil

melekat pada epitel serta merangsang sel-sel di susunan saraf pusat (astroglia endotel, dan

makrofag selaput otak) untuk melepaskan sitokin. Sitokin dieksresikan dan merusak sawar

darah otak. Kondisi imunologis penderita yang kurang baik akan mempercepat terjadinya

proses peradangan dijaringan otak.

2.5.2 Abses disebabkan jamur

Abses yang disebabkan jamur umumnya merupakan abses metastatik. Awalnya

akan tampak invasi vaskuler oleh jamur, disusul thrombosis sekunder dan infark otak. Hal

ini menyerupai abses piogenik, dimana di dalam bagian nekrotik terdapat sel radang,

makrofag, fibroblast, dan sel besar berinti banyak terisi jamur yang telah difagosit.

2.5.3 Abses disebkan parasit


Amoeba menyebabkan terjadinya pusat nekrotik yang berisi debris dan terutama

sel mononuclear dikelilingi kongesti vaskuler nekrosis jaringan saraf dan sel limfotik, sel

plasma dan mononuclear lain, disini pembentukan kapsul tidak ada atau hanya sedikit serta

dapat ditemukannya kistadan trofozoit. Toksoplasma dapat menyebabkan ensefalitis abses

dan granuloma dengan atau tanpa pusat nekrotik.

2.6 Patofisiologi

Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di

sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti

trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen

dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan

grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan

otak pada lobus tertentu.

Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan

infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang

disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis

dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas

dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas

tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang

konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa

ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :

1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)

Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan

plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari

pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular

ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan

efek massa karena pembesaran abses.

2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)

Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis

membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah

karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati

daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang

terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul

kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat

besar

3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)

Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast

meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman

reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding

sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih

dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan

tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup

besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat

daerah anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit

di sekitar otak mulai meningkat.

4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)


Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran

histologis sebagai berikut:

· Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.

· Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.

· Kapsul kolagen yang tebal.

· Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.

· Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah

ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.

Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi

meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi

pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis

dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

Respon Imunologik pada Abses Otak.

Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan

saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat

menjalar ke otak perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral

merupakan penyebaran ke otak secara langsung.

Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang dating melalui lintasan

hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier. Pada toksemia

dan septicemia, sawar darah otak terusak dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus.

Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak

yang sehat cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara
langsung pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan abses sereebri/ abses

otak, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral

telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak

sangat protektif, namun ia menghambat penetrasi fagosit, antibody dan antibiotik. Jaringan

otak tidak memiliki fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan

limfatik untuk pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses

infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen dan destruktif.

2.7 Manifestasi Klinis

Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi

seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa

muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas

berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis), peninggian

tekanan intracranial (sakit kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala neurologik

fokal (kejang, paresis, ataksia, afaksia)

Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik

seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang

menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan

perforasi ke dalam kavum ventrikel.

Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap

didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit.

Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan

abses ke dalam lobus frontalis relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior

sehingga gejala fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi

pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri
dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan

berakibat fatal.

2.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan

laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk

melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya.

Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin

ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan

diagnosisnya.

Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental,

derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda

rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.

Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem

musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak,

ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.

Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu

pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap

darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang

normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis,

glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila terjadi perforasi dalam

ruangan ventrikel.

Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat

pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak
dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui

lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang

lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi

penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui

lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah

digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak

menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses

memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya

dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat

membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak

digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.

Gambar CT Scan Normal

Gambar CT- Scan Abses serebri


Gambaran CT-scan pada abses :

 Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.

Gambaran CT-Scan :

Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian gambaran
seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas sesuai dengan diameter
serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat nekrosis.

 Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis
dari zona central inflamasi.

Gambaran CT-Scan :

Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras


perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi homogen 
menunjukkan adanya cerebritis.

 Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,


hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat
terlihat gambaran ring enhancement.

Gambaran CT-Scan :

Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih kecil dan
kapsul terlihat lebih tebal.
 Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens
(sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)

Gambaran CT-Scan :

Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah nekrosis tidak
diisi oleh kontras.

Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik,

dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang

perlu dipertimbangkan adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi

tidak menutup kemungkinan untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma),

infark, metastasis, hematom yang diserap dan granuloma.

Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis)

dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya

antara lain : umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya

uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada ½ kasus, kapsul bagian medial lebih tipis

dari kapsul subkortikal. Hal ini menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan

menjelaskan mengapa daughter abscess biasanya berkembang di medial.

Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang

tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah

perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi.

Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density

tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.

2.9 Penatalaksanaan

Terapi definitif untuk abses melibatkan :


1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa

2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses

3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)

4. Pengobatan terhadap infeksi primer

5. Pencegahan kejang

6. Neurorehabilitasi

Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan

antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya

abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin

generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan

kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan

sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat digunakan

ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.

Tabel 2.1 Prinsip Pemilihan Antibiotik pada Abses Otak

Etiologi Antibiotik

Infeksi bakteri gram negatif, bakteri Meropenem

anaerob, stafilokokkus dan stretokokkus

Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole

Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine

Otitis media, sinusitis, atau mastoiditis Vancomycin

Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga, yang

secara umum dikombinasi dengan

terapi aminoglikosida
Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat

diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone

dan juga metronidazole. Monoterapi dengna meropenem yang terbukti baik melawan

bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihan

alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat

diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat

ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan vancomycin dan ceptazidine.Ketika otitis

media, sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin

karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis

citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin

generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada

pasien denganimmunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan

dipertimbangkan pula terapi amphoterids.

Tabel 2.2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak
Drug Dose Frekwensi dan rute
Cefotaxime 2-3 kali per hari,
(Claforan) 50-100
mg/KgBBt/Hari IV

Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,

50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,

35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,

2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat

mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul

abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat

risiko potensial dalam peningkatan tekanan intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg

dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.

Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya tekanan

intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline

shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan

terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus

optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses

otak dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk

mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.

Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara

antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses

melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih

dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-guided aspiration and biopsy. Tindakan

aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih

luas digunakan eksisi.

Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small

deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.


Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara

penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam

mengurangi risiko kejang.

Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat

proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema

maupun abses itu sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran abses yang cukup besar,

tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal.

Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan

secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya

peningkatan tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik

dan aspirasi abses.

Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini

dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi.

Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di

dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang

berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita,

dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada

organisme dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6

minggu.

Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya

terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus

per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas

pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging). 3


Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang

dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan

perkembangan klinis penderita selanjutnya.

2.10 Diagnosis Banding

Sebagai suatu lesi desak ruang (space-occupying lesion), abses otak dapat

bermanifestasi klinis hamper sama dengan suatu neoplasma maupun hematosubdural. Oleh

karena itu, diperlukan teknik diagnose yang menyeluruh agar terapi yang diberikan

menjadi tepat.

Tabel 2.3 Perbedaan Abses dan Tumor berdasarkan Neuroimaging

Abscess Tumor

Wall Smooth, thin, regular Thick, irregular

Thinner on inner aspect Thinner on outer

aspect

Nodularity If present, in inner border Outer border

T1 Hyperintense rim

T2 Hypointense rim

Meningeal enhancement Favours Not seen

Diffusion Imaging High signal Low signal

Perfusion imaging dynamic Normal signal due to collagen Low signal due high

and fibrosis in wall capillary density in

tumour
2.11 Komplikasi

Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:

1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid

2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus

3. Edema otak

4. Herniasi oleh massa Abses otak

2.12 Prognosis

Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang, dengan

perkiraan 5-10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat, serta manajemen

pembedahan merupakan faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan

waktu yang mempengaruhi lesi, abses mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas

CT-Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50% dari penderita, termasuk

hemiparesis, kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalah-masalah

pembelajaran lainnya.

Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:

1) Cepatnya diagnosis ditegakkan

2) Derajat perubahan patologis

3) Soliter atau multipel

4) Penanganan yang adekuat.

Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat

didiagnosis sehingga prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel.

Defisit fokal dapat membaik, tetapi keajng dapat menetap pada 50% penderita.
BAB III

KESIMPULAN

Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir

diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus, dan

protozoa, dimana kasusnya jarang dijumpai tetapi angka kematiannya tinggi (rata-rata

40%) sehingga tergolong kelompok penyakit “life threaqtening infection”. Sebagian besar

penderita abses otak adalah laki-laki, dibandingkan perempuan (3:1) yang berusia

produktif (20-50) tahun.

Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi tengah,

sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries), dapat timbul akibat

penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru,

bronkiektase, pneumonia), endokarditis bacterial akut dan subakut dan pada penyakit

jantung bawaan Tetralogi Fallot ( abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari

jarinagn otak). Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada kepala atau trauma pasca

operasi.,
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS,

penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi. Steroid yang dapat menurunkan

system kekebalan tubuh.

Proses pembentukan abses otak memakan waktu 2 minggu dan terdiri dari 4 tahap.

Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang

terdiri dari gejala infeksi, peninggian tekanan intracranial, dan gejala neurologic fokal.

Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, rontgen, CT-Scan dan pemeriksaan

laboratorium.

Terapi definitive untuk abse melibatkan penatalaksanaan terhadap efek massa

(abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa, terapi antibiotic dan test sensitifitas dari

kultur material abses, terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi), pengobatan terhadap infeksi

primer, pencegahan kejang, dan neurorehabilitasi.

Prognosis dari abses otak ini tergantung dari cepatnya diagnosis ditegakkan, derajat

perubahan patologis, soliter atau multiple, penegakan yang adekuat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sudewi, AA Raka, dkk. Abses Serebri. Infeksi pada system saraf “PERDOSSI”.
Hal 21-27. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. 2011.
2. Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan SPO
Neurologi “ PERDOSSI’’. hal 27-29. Jakarta: 2006.
3. Mardjono, Mahar, dkk. Abses Serebri. Neurologi Klinis Dasar.hal 320-321.
Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
4. Hakim, Adril Arsyad. Abses Otak. Dep Bedah FK USU/ SMF Bedah Saraf RSUP
H Adam Malik Medan.Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No. 4. Sumatera
Utara: Desember 2005.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15591/1/mkn-des2005-%20(9).pdf
5. http://id.scribd.com/doc/70275247/Abses-Otak

Anda mungkin juga menyukai