Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

SIROSIS HEPATIS

Oleh :

dr. Giwa Putri Lestari

Pendamping :

dr. Mulyanti Muhammad

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
“Sirosis Hepatis”. Salawat beserta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah
SAW yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Internsip dokter di RSUD Meuraxa Banda Aceh. Ucapan terima kasih serta
penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr. Erlinda, Sp.PD yang telah
bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi para
pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada umumnya
dan ilmu penyakit dalam khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk Laporan Kasus ini.

Banda Aceh, Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 22
3.1 Hati….......................................................................................... 22
3.1.1 Anatomi….................................................................................... 22
3.1.2 Histologi…................................................................................... 24
3.1.3 Vaskularisasi…............................................................................ 25
3.1.4 Fisiologi…................................................................................... 26
3.1.4 Regenerasi…................................................................................ 29
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 29
3.2 Sirosis Hepatis............................................................................. 29
3.2.1 Definisi............................................................................ 29
3.2.2 Etiologi............................................................................ 30
3.2.3 Patofisiologi..................................................................... 30
3.2.4 Diagnosis dan Manifestasi Klinis.................................... 31
3.2.5 Komplikasi....................................................................... 38
3.2.6 Penatalaksanaan............................................................... 39
3.2.7 Prognosis......................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 43

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Cirrhosis hepatic (sirosis hepatis) didefinisikan sebagai sekelompok penyakit


hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobular hepatik normal dengan
fibrosis, dan dengan destruksi sel-sel parenkim beserta regenerasinya berbentuk
nodul-nodul. Penyakit ini mempunyai periode laten yang panjang, biasanya diikuti
dengan pembengkakan dan nyeri abdomen, hematemesis, edema dependen, atau
ikterus secara mendadak. Pada stadium lanjut, asites, ikterus, hipertensi portal, dan
gangguan sistem saraf pusat, yang dapat berakhir dengan koma hepatik, menjadi
menonjol. [1]

Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis hepatis kompensata yang
berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hepatis dekompensata yang
ditandia gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan
kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaan
secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati. [2]

1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien

Nama : MA
Umur : 63 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Lampasi Engking
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
No RM : 142423
Tanggal Masuk : 5 Januari 2023

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama

Perut membesar

2.2.2 Keluhan Tambahan

Perut sakit-sakit, kembung dan terasa panas. Mata dan kulit kuning, urin

berwarna kuning pekat seperti teh, lemas, berat badan menurun.

2.2.3 Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan perut yang terasa membesar

terasa sakit-sakit, kembung dan terasa panas sejak ± 3 bulan SMRS. Pasien juga

mengeluhkan sering lemas dan berat badan turun. Sclera ikterik (+), BAK berwarna

seperti teh (+), Batuk darah (-) muntah darah (-) BAK hitam disangkal.

2
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat keluhan sama sebelumnya: Disangkal

 Riwayat Hipertensi : (+)

 Riwayat Asma : Disangkal

 Riwayat DM : Disangkal

 Riwayat Jantung : Disangkal

 Riwayat HIV : Disangkal

 Riwayat Hepatitis B : (+)

 Riwayat batuk lama : Disangkal

 Riwayat operasi : Disangkal

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Anak pasien menderita penyakit hepatitis B dan telah sembuh.

2.5.6 Riwayat Penggunaan Obat

Disangkal

2.2.7 Riwayat Alergi

Disangkal

3
2.2.8 Riwayat Kebiasaan Sosial

Riwayat merokok (+) Minum-minuman beralkohol disangkal, penggunaan


obat-obatan terlarang disangkal, riwayat pemakaian tatto disangkal, riwayat transfusi
disangkal, riwayat berhubungan sex bebas disangkal, riwayat penyakit infeksi
menular seksual disangkal, riwayat tinggal diluar kota disangkal.

2. 3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Keadaan Umum

Keadaan umum : Baik


TB : 165 cm
BB : 68 kg
68
IMT : = 24,977 (BB lebih)
(165)₂
2.3.2 Tanda-tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg


Nadi : 86 kali/ menit
Pernapasan : 20 kali/ menit
Suhu : 37,0 ̊ C
2.3.3 Status Generalisata

1) Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+),

Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan tragus (-/-)

Hidung : Deviasi septum (-), secret (-), konka hiperemis (-)

Mulut : pursed lip breathing (-), tonsil (T1/T1), uvula

letak tengah, faring hiperemis (-), mukosa bibir

kering(-)

4
2) Leher

Trakea : Deviasi trakea (-)

TVJ : < 2 cm H2O

KGB : Pembesaran (-)

3) Toraks

Paru depan

Inspeksi : Normochest (+), pergerakan dada simetris (+/+),

jejas (-/-)

Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), ronki (-/-)

Paru Belakang

Inspeksi : Normochest (+), pergerakan dada simetris (+/+), jejas

(-/-)

Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), ronki (-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis

sinistra

Perkusi : - Batas atas ICS III linea midclavicularis sinistra

- Batas kanan ICS IV linea midclavicularis dextra

5
- Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra

- Batas bawah ICS V linea axilaris anterior sinistra

Auskultasi : BJ 1 > BJ 2 reguler, bising (-)

4) Abdomen

Inspeksi : Datar (-), distensi (-), jejas (-), scar (-)

Auskultasi : Peristaltik usus normal

Perkusi : Timpani (+), Shifting dullness (+)

Palpasi : Soepel (-), nyeri tekan (-), Tes Undulasi (+)

5) Ektremitas :

Superior

Edema : Tidak ditemukan

Clubbing finger : Tidak ditemukan

Sianosis : Tidak ditemukan

Akral : Akral hangat

Inferior

Edema : Tidak ditemukan

Clubbing finger : Tidak ditemukan

Sianosis : Tidak ditemukan

Akral : Akral hangat

6) Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

6
2.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Rutin
05/01/23
Hemoglobin 12.4 g/dl (L)

Eritrosit 4.07 106/uL (L)

Hematokrit 34.6 % (L)

Leukosit 13.7 % (N)

Neutrofil 81.1 % (H)

Trombosit 208 103/uL (L)

LED 89 mm/jam

17/01/23

Hemoglobin 11.3 g/dL (L)

Eritrosit 3.56 106/Ul (L)

Hematokrit 28.3 % (L)

Leukosit 9.3 % (N)

Neutrofil 87.1 % (H)

Trombosit 141 103/Ul (L)

Kimia Klinik
05/01/23

Glukosa ad random 112 mg/dl (N)

Albumin 2.9 g/dL (L)

7
Bilirubin Total 23.1 mg/dl (H)

Bilirubin Direct 18.00 mg/dL (H)

SGOT 287 U/L (H)

SGPT 131 U/L (H)

12/01/23

Bilirubin Total 26.8 mg/dl (H)

Bilirubin Direct 17.10 mg/dL (H)

SGOT 166 U/L (H)

SGPT 177 U/L (H)

17/01/23

Glukosa ad random 107 mg/dl (N)

Bilirubin Total 24.3 mg/dl (H)

Bilirubin Direct 15.90 mg/dL (H)

SGOT 135 U/L (H)

SGPT 201 U/L (H)

08/01/23

SGOT 274 U/L (H)

8
SGPT 148 U/L (H)

Elektrolit
05/01/23

Natrium 137 mmol/L (L)

Kalium 4.4 mmol/L (N)

Chlorida 103 mmol/L (N)

17/01/23

Natrium 128 mmol/L (L)

Kalium 4.8 mmol/L (N)

Chlorida 104 mmol/L (N)

Imunoserologi
05/01/23

HBsAg Positif

Hematologi
05/01/23

Waktu Perdarahan 01’30” menit (N)

Waktu Pembekuan 15’00” menit (N)

10/01/23

9
Waktu Perdarahan 01’30” menit (N)

Waktu Pembekuan 15’00” menit (N)

2. Pemeriksaan Radiologi
a. USG Abdomen
Parenchymal liver disease dengan ascites dan splenomegali curiga sirosis
hepatis suspect cholelithiasis.

2.5 Diagnosis

Diagnosis Kerja

-Sirosis Hepatis

-Hepatitis B

-Kolelitiasis

-Ascites

2.6 Penatalaksanaan

a.Non farmakologi : Bed rest

b.Farmakologi :

- IV. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

- IV. Furosemid 1A/24jam

- IV. Omeprazole 1V/12jam

- Spironolacton 2x100mg

- Urdafax 3x1

- Liverprime 2x1

2.7 Prognosis

10
Sanationam : Dubia ad malam

Fungsionam : Dubia ad malam

Vitam : Dubia ad malam

2.7 Follow up

11
6-1-2023 S/ Perut bengkak (+) sclera ikterik P/ bed rest
(+/+) -IV. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
O/
-IV. Furosemid 1A/24jam
TD: 124/82 N: 77
-IV. Omeprazole 1V/12jam
S:S/36,7 RR:
Mata 20
Kuning (+) Mual Muntah P/ Bed rest
KU:
(-) cukup, CM -Spironolacton
- Three Way 2x100mg
K/L:
O/ CA (-/-), SI (+/+), PKGB (-/-) IV. Ceftriaxone
-Urdafax 3x1 1 gr/12 jam
Tho:
TD:SDV (+/+), Rh
120/80 N:(-/-),
95 Wh (-/-)
-IV. B
-Vit Furosemid
Comp 2x11A/24jam
BJS:I/IImurni
36,8 RR:reguler,
22 galop(-)
Abd:
KU: NT epigastrium
cukup, CM (-) undulasi -IV. Omeprazole 1V/12jam
(+) shifting
K/L: CA dullness (+)(+/+), mata -IV. Ondansentron 1A/8j
(-/-), SI
Eks: oedem tungkai
cekung(-/-), PKGB(-/-)
(-/-)
-Drip Aminoleban /hari
A/Tho:
Obstructive Jaundice
SDV (+/+), Rh ec dd: Wh
(+/+),
1.(-/-)
koletiasis -Spironolacton 2x100mg

2.BJ
koledukolitiasis
I/IImurni reguler, galop(-) -Sucralfat Syr 3xCII
3.Abd:
Ca caput pancreas
NT (-)
-Urdafax 3x1
+ascites ec sirosis
Eks: oedem hepatis?
tungkai (-/-)
7-1-2023 S/A/
PerutSirosis
bengkakHepatis
(+) scleraStadium -VitBed
ikterik P/ B Comp
rest 2x1
(+) lemas (+) muntah (+) sakit
Decompensata -IV. Ceftriaxone
-Liverprime 2x1 1 gr/12 jam
perut (+) B Kronis
Hepatitis IV. Furosemid
--Kaltropen Supp1A/24jam
k/p
O/Ascites
-IV. Omeprazole 1V/12jam
TD: 114/79 N: 86
Kolelitiasis
S: 36,7 RR: 20 -Spironolacton 2x100mg
KU: cukup, CM
-Urdafax 3x1
K/L: CA (-/-), SI (+/+), PKGB (-/-)
-Vit B Comp 2x1
Mata cekung (-/-)
Tho: SDV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) -Liverprime 2x1
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (+)
Eks: oedem tungkai (-/-) Shifting
dullness (+)
A/
Sirosis Hepatis stadium
dekompensata
ascites

12

8-1-2023 S/ Perut bengkak (+) sclera ikterik P/ Bed rest


(+) lemas (+) muntah (-) sakit perut
11-1-2023

12-1-2023 S/ Mata Kuning (+) Mual Muntah P/ Bed rest


(-) - Three Way
O/ IV. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD: 110/70 N: 20
-IV. Furosemid 1A/24jam
S: 36 RR: 20
-IV. Omeprazole 1V/12jam
Lingkar Perut 93 cm
KU: cukup, CM -IV. Ondansentron 1A/8j
K/L: CA (-/-), SI (+/+), mata
-Drip Aminoleban 1fls/12j
cekung(-/-), PKGB (-/-)
-Spironolacton 2x100mg
Tho: SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-) -Sucralfat Syr 3xCII
Abd: NT (-)
-Urdafax 3x1
Eks: oedem tungkai (-/-)
-Vit B Comp 2x1
A/ Sirosis Hepatis Stadium
Decompensata -Liverprime 2x1
Hepatitis B Kronis
-Kaltropen Supp k/p
Ascites
Kolelitiasis

13
13-1-2023 S/ Perut bengkak (+) sclera ikterik P/ bed rest
(+/+) - Three Way
O/ -IV. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD: 110/80 N: 90
-IV. Furosemid 1A/24jam
S: 36,7 RR: 22
-IV. Omeprazole 1V/12jam
Lingkar Perut : 92cm
KU: cukup, CM -IV. Ondansentron 1A/8j
K/L: CA (-/-), SI (+/+), PKGB (-/-)
-Drip Aminoleban 1fls/12j
Tho: SDV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
-Spironolacton 2x100mg
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT epigastrium (-) undulasi -Sucralfat Syr 3xCII
(+) shifting dullness (+)
-Urdafax 3x1
Eks: oedem tungkai (-/-)
-Vit B Comp 2x1
A/ Sirosis Hepatis
Hepatitis B kronis -Liverprime 2x1
Kolelitiasis
-Kaltropen Supp k/p
Asites

14-1-2023 S/ Perut bengkak (+) sclera ikterik P/ Bed rest


(+) - Three Way
O/ -IV. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD: 110/80 N: 86
-IV. Furosemid1x 40g pagi
S: 36,7 RR: 22
-IV. Omeprazole 1V/12jam
Lingkar Perut 90cm
KU: cukup, CM -IV. Ondansentron 1A/8j
K/L: CA (-/-), SI (+/+), PKGB (-/-)
-Drip Aminoleban 1fls/12j
Mata cekung (-/-)
-Spironolacton 2x100mg
Tho: SDV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
BJ I/IImurni reguler, galop(-) -Sucralfat Syr 3xCII
Abd: NT (+)
-Urdafax 3x1
Eks: oedem tungkai (-/-) Shifting
-Vit B Comp 2x1
dullness (+)
A/ -Liverprime 2x1
14
Sirosis Hepatis stadium
-Acetyl systeine 2x1
dekompensata
Hepatitis B Kronis
18-1-2023 S/ Perut bengkak (+) sclera ikterik P/ Bed rest
(+) lemas (-) muntah (-) - Three Way
O/ IV. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
TD: 110/65 N: 98
-IV. Omeprazole 1V/12jam
S: 36,5 RR: 22
-IV. Ondansentron 1A/8j
KU: cukup, CM
K/L: CA (-/-), SI (+/+), mata -Drip Aminoleban /hari
cekung (+/+), PKGB (-/-)
-Spironolacton 2x100mg
Tho: SDV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
-Sucralfat Syr 3xCII
BJ I/IImurni reguler, galop(-)
Abd: NT (-) -Urdafax 3x1
Eks: oedem tungkai
-Vit B Comp 2x1
A/
-Liverprime 2x1
Sirosis hepatis Std decompensate
Hepatitis B kronis -Kaltropen Supp k/p
Kolelitiasis
Asites

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hati
3.1.1 Anatomi
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, berkontribusi sekitar 2% dari
total berat badan atau sekitar 1,5 kg pada orang dewasa. Hati merupakan organ plastis
lunak dan tercetak oleh struktur disekitarnya. Bagian bawah hati berbentuk cekung
dan merupakan atap ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati memiliki dua
lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fissura segmentalis yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi
menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari
luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan
abdomen.
Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada
permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum
yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hati. Dibawah
peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson,
yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini melapisi mulai dari hilus atau
porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati,

16
membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran
empedu. [3,4]

Gambar 1. Permukaan anterior hati [5]

Gambar 2. Permukaan posterior hati [5]

17
3.1.2 Histologi Hati

Gambar 3. Struktur dasar lobulus hati [4]

Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus,


yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan
badan heksagonal dengan diameter antara 0,8 – 2 mm yang terdiri atas lempeng-
lempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di
antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, tang
merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinosoid
dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer.
Sel Kupffer merupakan sistem monosit-makrofag, dan fungsi utamanya adalah
menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. Hanya sumsum tulang yang
mempunyai massa sel monosit-makrofag yang lebih banyak daripada yang terdapat
dalam hati, jadi hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap
invasi bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteria hepatika
yang melingkari bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu.
Saluran empedu interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat kecil
yang dinamakan kanalikuli, berjalan ditengah-tengah lempengan sel hati. Empedu

18
yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi ke dalam kanalikuli yang bersatu
membentuk saluran empedu yang semakin lama semakin besar (duktus koledokus).
[3,4]

Gambar 4. Pola lobular hati normal [5]

3.1.3 Vaskularisasi Hati


Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui
vena porta, dan aorta melalui arteria hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk
adalah darah arteria dan sekitar dua pertiga adalah darah dari vena porta. Volume
total darah yang melewati hati setiap menit adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui
vena hepatika dekstra dan sinistra, yang selanjutnya bermuara pada vena kava
inferior. [3]
Vena porta bersifat unik karena terletak antara dua daerah kapiler, satu dalam
hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-
cabang yang menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian
mempercabangkan vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-lobulus. Vena-

19
vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara lempengan hepatosit
dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobulus membentuk
vena sublobularis yang selanjutnya kembali menyatu dan membentuk vena hepatika.
Cabang-cabang terhalus dari arteria hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam
sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteria dari arteria hepatika dan darah vena
dari vena porta.
Peningkatan tekanan dalam sistem ini sering menjadi manifestasi gangguan
hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh darimana darah portal
berasal. Beberapa lokasi anastomosis portakaval memiliki arti klinis yang penting.
Pada obstruksi aliran ke hati, darah porta dapat dipirau ke sistem vena sistemik. [3]

3.1.4 Fisiologi Hati


Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperanan pada
hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan khususnya bertanggung jawab atas lebih
dari 500 aktivitas berbeda. Untunglah hati memiliki kapasitas cadangan yang besar,
dan hanya dengan 10-20% jaringan yang berfungsi, hati mampu mempertahankan
kehidupan. Destruksi total atau pembuangan hati mengakibatkan kematian dalam 10
jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Pada sebagian besar kasus,
pengangkatan sebagian hati, baik karena sel sudah mati atau sakit, akan diganti
dengan jaringan hati yang baru. [3]

Tabel 1. Fungsi utama hati [3]

Fungsi Keterangan

Pembentukan dan ekskresi empedu Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak di usus.

Metabolisme garam empedu

Metabolisme pigmen empedu Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir metabolisme
pemecahan sel darah merah yang sudah tua; proses konjugasinya.

Metabolisme karbohidrat Hati memegang peranan penting dalam mempertahankan kadar glukosa
darah normal dan menyediakan energi untuk tubuh. Karbohidrat
disimpan dalam hati sebagai glikogen.
Glikogenesis

20
Glikogenolisis

Glukoneogenesis

Metabolisme protein Protein serum yang disintesis oleh hati termasuk albumin serta α dan β
globulin (γ globulin tidak).

Sintesis protein Faktor pembekuan darah yang disintesis oleh hati adalah fibrinogen (I),
protrombin (II), dan faktor V, VII, VIII, IX, dan X. Vitamin K
diperlukan sebagai kofaktor pada sintesis semua faktor ini kecuali faktor
V.

Pembentukan urea Urea dibentuk semata-mata dalam hati dari NH3, yang kemudian
diekskresi dalam kemih dan feses.

Penyimpanan protein (asam amino) NH3 dibentuk dari deaminsasi asam amino dan kerja bakteri usus terhadap
asam amino.

Metabolisme lemak Hidrolisis trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein (diabsorbsi


dari usus) menjadi asam lemak dan gliserol.

Ketogenesis

Sintesis kolesterol Hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol, sebagian besar
diekskresi dalam empedu sebagai kolesterol atau asam kolat.

Penyimpana lemak

Penyimpanan vitamin dan mineral Vitamin yang larut lemak (A, D, E, K) disimpan dalam hati; juga vitamin
B12, tembaga dan besi.

Metabolisme steroid Hati menginaktifkan dan mensekresi aldosteron, glukokortikoid, estrogen,


dan testosteron.

Detoksifikasi Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat berbahaya menjadi


zat-zat tidak berbahaya yang kemudian dieksresi oleh ginjal (misalnya
obat-obatan)

Ruang penampung dan fungsi Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena
penyaring kava (payah jantung kanan); kerja fagositik sel Kupffer membuang
bakteri dan debris dari darah.

21
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utam ahati; saluran
empedu hanya mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan dan
mengeluarkan empedi ke usus halus sesuai kebutuhan. Hati mensekresi sekitar 1 liter
empedu kuning setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam
empedu, fosfolipid (terutama lesitin) kolesterol, dan pigmen empedu (terutama
bilirubin terkonjugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak
dalam usus halus. Setelah diolah oleh bakteri usus halus, maka sebagian besar garam
empedu akan direabsorbsi di ileum, mengalami resirkulasi ke hati, serta kembali
dikonjugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir
metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun merupakan petunjuk penyakit
hati dan saluran empedu yang penting, karena bilirubin cenderung mewarnai jaringan
dan cairan yang berkontak dengannya. [3]
Hati memegang peranan penting pada metabolisme tiga bahan makanan yang
dikirimkan oeh vena porta pasca absorbsi di usus. Bahan makanan tersebut adalah
karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi
glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini, glukosa
dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk memenuhi
kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk
menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi glikogen dan disimpan
dalam jaringan subkutan. Hati mampu mensintesis glukosa dari protein dan lemak
(glukoneogenesis).
Peranan hati pada metabolisme sangat penting untuk kelangsungan hidup.
Semua protein plasma, kecuali gamma globulin, disintesis oleh hati. Protein ini
termasuk albumin yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid,
dan protrombin, fibrinogen, dan faktor-faktor pembekuan lain. Selain itu, sebagian
besar degradasi asam amino dimulai dalam hati melalui proses deaminasi atau
pembuangan gugus amonia (NH3). Amonia yang dilepaskan kemudian disintesis
menjadi urea dan disekresi oleh ginjal dan usus. Amonia yang terbentuk dalam usus
oleh kerja bakteri pada protein juga diubah menjadi urea dalam hati.

22
Fungsi metabolisme hati yang lain adalah metabolisme lemak, penyimpanan
vitamin, besi, dan tembaga; konjugasi dan ekskresi steroid adrenal dan gonad, serta
detoksifikasi sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi sangat
penting dan dilakukan oleh enzim-enzim hati melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis,
atau konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang
secara fisiologis tidak aktif. Zat-zat seperti indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan
oleh kerja bakteri pada asam amino dalam usus besar dan zat-zat eksogen seperti
morfin, fenobarbital, dan obat-obat lain, didetoksifikasi dengan cara demikian. [3]
Akhirnya, fungsi hati adalah sebagai ruang penampung atau saringan karena
letaknya yang strategis antara usus dan sirkulasi umum. Sel kupffer pada sinusoid
menyaring bakteri darah portal dan bahan-bahan yang membahayakan dengan cara
fagositosis. [3]

3.1.5 Regenerasi Hati


Berbeda dengan organ padat lainnya, hati orang dewasa tetap mempunyai
kemampuan beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi sudah
terbatas, maka sekelompok sel pruripotensial oval yang berasal dari duktulus-
duktulus empedu akan berproliferasi sehingga membentuk kembali hepatosit dan sel-
sel bilier yang tetap memiliki kemampuan beregenerasi. [6,4]
Dari penelitian model binatang ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari tikus
dapat mengalami pembelahan hingga ± 34 kali, atau memproduksi jumlah sel yang
mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan demikian dpaat dikatakan
sengatlah memungkinkan untuk melakukan hepatektomi hingga 2/3 dari seluruh hati.
[6,4]

3.2 Sirosis Hepatis


3.2.1 Definisi
Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari
kata Chirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul- nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis adalah penyakit hepar menahun
difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul.1,2

23
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif, ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis
hepatis ditandai oleh proses keradangan difus menahun pada hati, nekrosis sel hati,
usaha regenerasi dan proliferasi jaringan ikat difus (fibrosis) di mana seluruh
kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan-bentukan regenerasi
nodul.6,8,9,13,14 Sirosis hepatis pada akhirnya dapat mengganggu sirkulasi darah
intrahepatik dan pada kasus lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati secara
bertahap.7

3.2.2 Etiologi
Secara konvensional, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan sebagai
makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm), mikronodular (besar nodul kurang dari
3 mm), atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga diklasifikasikan
berdasarkan etiologi dan morfologis. [2]
Sebagian besar jenis sirosis diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis
menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (postnekrotik), biliaris, kardiak, dan
metabolik,keturunan, dan terkait obat [2]
Di negara barat, penyebab sirosis yang utama adalah alkoholik, sedangkan di
Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Berdasarkan hasil
penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis
sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak
diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non B-non C). Alkohol
sebagai penyebab sirosis di Indonesia diduga frekuensinya sangat kecil walaupun
belum terdapat data yang menunjukkan hal tersebut. [2]

3.2.3 Patofisiologi
Gambaran patologi hati biasanya mengerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri
dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dna lebar.
Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus

24
sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim
regenerasi yang susunannya tidak teratur. [2]
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya
peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai
peranan dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses
degradasi. Pembenrukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika
terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus (misal: hepatitis virus,
bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk
kolagen. Jika proses berjalan terus menerus maka fibrosis akan berjalan terus di
dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan digantikan oleh jaringan ikat. [2]

3.2.4 Diagnosis dan Manifestasi Klinis


3.2.4.1 Gejala Sirosis
Stadium awal sirosis sering kali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis)
sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan
rtin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil,
buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis
dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan pembekuan darah, perdarahan
gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat,
muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.. Mungkin disertai hilangnya rambut
badan, gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi [2]

25
Gambar 5. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis [1]

26
3.2.4.2 Pemeriksaan Fisik

Gambar 6. Manifestasi hipertensi portal [7]

Gambar 7. Manifestasi kegagalan fungsi hati [7]

27
Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau spider
telangiektasis), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda
ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum
diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan pula pada orang sehat,
walau umumnya ukuran lesi kecil. [2]
Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, arthritis
rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi. [2]
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang
lain seperti sindrom nefrotik. [2]
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis billier. Osteoarthropati hipertrofi
suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri. [2]
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan kontraktur
fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan
dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien diabetes mellitus, distrofi reflex
simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol. [2]
Ginekomastia secara histologist berupa proliferasi benigna jaringan glandula
mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu,
ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksilla pada laki-laki, sehingga laki-laki
mengalami perubahan ke arah feminism. Kebalikannya pada perempuan menstruasi
cepat berhenti sehingga diduga fase menopause. [2]

28
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile. Tanda ini
menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. [2]
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau
mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular. [2]

Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya


nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta. [2]
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta
dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta. [2]
Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat. [2]
Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi
bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap, seperti air teh.
[2]

Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-ngepak


dari tangan, dorsofleksi tangan. [2]
Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya: [2]

 Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar


 Batu pada vesika felea akibat hemolisis
 Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat
sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat
resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. [2]

3.2.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada


waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi
keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil peptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin. [2]

29
Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glumatil oksaloasetat
transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil
piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak mengeyampingkan
adanya sirosis. [2]

Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis billier primer. [2]
Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali
fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkohol kronik,
karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatic, juga bisa menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit. [2]
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati,
konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis. [2]
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari
pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin. [2]
Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi sintesis hati,
sehingga pada sirosis memanjang. [2]
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan eksresi air bebas. [2]
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia
normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat splenomegali kongestif
berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme. [2]

30
Gambar 8. Algoritma untuk evaluasi tes fungsi hati abnormal [8]1

1
Algoritma untuk evaluasi tes fungsi hati abnormal. Pada pasiendengan dugaan penyakit hati,
pendekatan yang tepat untuk evaluasi adalah pemeriksaan awal fungsi hati rutin, seperti bilirubin,
albumin, alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST) dan alakaline pohospatase
(ALP). Hasil ini (kadang disertai dengan pemeriksaan γ-glutamyl transpeptidase , GGT) akan
menunjukkan apakah pola kelainan yang ada merupakan hepatik, kolestatik, atau campuran. Sebagai
tambahan, durasi dari gejala akan memberikan gambaran apakah penyakit tersebut akut atau kronik.
Jika penyakit tersebut adalah akut dan jika dari adanmnesis, pemeriksaan laboratorium, dan pencitraan
tidak menunjukkan sebuah diagnosis, biopsi hati merupakan langkah yang tepat untuk menegakkan
diagnosis. Kalau penyakit tersebut kronik, biopsi hati dapat bermanfaat bukan hanya untuk diagnosis,
tetapi juga untuk menilai aktivitas dan staging perjalanan penyakit. Pendekatan ini sebagian besar
berlaku pada pasien tanpa penurunan kekebalan tubuh. Pada pasien dengan infeksi HIV atau setelah
transplantasi sumsum tulang atau transplantasi organ padat, evaluasi diagnostik juga harus mencakup
evaluasi infeksi oportunistik (adenovirus, sitomegalovirus, coccidioidomyocosis, dll) serta pembuluh
darah dan kondisi imunologi (penyakit, venoocclusive graft-vs-host penyakit). HAV, HCV: Hepatitis
A atau C virus, HbsAg, Hepatitis B sulface antigen, anti-HBc, antibodi terhadap hepatitis B inti
(antigen); ANA, antibodi antinuklear, SMA, mulus-otot antibodi, MRI, magnetic resonance imaging,
MRCP; cholangiopancreatography resonansi magnetik; ERCP cholangiopancreatography, endoscopic
retrograde; α1AT, α1 antitrypsin; AMA; antimitochondrial antibodi; P-ANCA, antibodi sitoplasmik

31
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi
adanya hipertensi porta. Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara
rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan.
Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan
adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler, permukaan irreguler,
dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga dapat menilai
asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining
karsinoma hati pada pasien sirosis. [2]
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin
digunakan karena biayanya relatif mahal. [2]
Magnetic Resonance Imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis
sirosis selain mahal biayanya. [2]

3.2.5 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup
pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan, yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen. [2]
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus. [2]
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. 20 sampai
40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan.
Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam
waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini
dengan berbagai cara. [2]
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat

32
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom
hepatopulmonal terdapat hydrothorax dan hipertensi portopulmonal. [2]

Tabel 2. Grade ensefalopati hepatik [8]

3.2.6 Penatalaksanaan
Sekali diagnosis Sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan terus tanpa
dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk
mencegah timbulnya penyulit-penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum alcohol,
dan menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik merupakan suatu
keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet yang mengandung protein
1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. [2]

a. Penatalaksanaan sirosis kompensata


Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan
etiologi, diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai
hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin dan obat herbal
bisa menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau
imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah
terjadinya sirosis. [2]
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg
secara oral setiap hari selama satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12
bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa

33
diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan,
namun ternyata juga banyak yang kambuh. [2]
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga
kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan. [2]
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata bisa
merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan
sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam penlitian. [2]

b. Penatalaksanaan sirosis dekompensata


Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak
5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan
diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg
sehari.Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari,
tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-
40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon,
maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.
Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin. [2]

Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan


ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. [2]

34
Varises esophagus, Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan
obat β-blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. [2]
Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim
intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. [2]
Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur
keseimbangan garam dan air. [2]
Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata. Namun
sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien
dahulu. [2]

3.2.7 Prognosis

Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi


etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. [2]
Klasifikasi Child-Pugh, juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan
manjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya
asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, dan
C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan angka kelangsungan hidup selama satu
tahun pada pasien. Angka kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk penderita sirosis
dengan Child-Pugh A, B, dan C diperkirakan masing-masing 100, 80, dan 45% [2]

Tabel 3. Klasifikasi Child-Pugh pada Sirosis [8]2


Faktor Unit 1 2 3

Serum bilirubin µmol/L < 34 34−51 > 51

2
Klasifikasi Child-Pugh dihitung dengan menjumlahkan skor dari lima faktor dan dapat bernilai dari 5 sampai 15. Klasifikasi Child-Pugh kelas A (5-
6), B (7-9), atau C (10 atau lebih). Keadaan dekompensasi mengindikasikan cirrhosis dengan skor Child-Pugh 7 atau lebih (kelas B). [8]

35
mg/dL < 2,0 2,0−3,0 > 3,0

Serum albumin g/L > 35 30−35 < 30

g/dL > 3,5 3,0−3,5 < 3,0

Prothrombin Detik pemanjangan 0−4 4−6 >6


time

INR < 1,7 1,7-2,3 > 2,3

Ascites Tidak ada Dapat Tidak dapat


dikontrol dikontrol

Hepatic Tidak ada Minimal Berat


encephalopathy

DAFTAR PUSTAKA

1. Raymon T. Chung, Daniel K. Podolsky. Cirrhosis and its complication. In: Kasper
DL et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA : Mc-
Graw Hill; 2005. p. 1858-62

2. Nurdjanah S. Sirosis hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S,

36
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 443-6.

3. Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C, editor.
Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG; 1994. p. 426-63.

4. Guyton AC, Hall JE. The liver as an organ. In Textbook of medical physiology.
11th ed.: Elsevier; 2006. p. 859-64.

5. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic Atlas].:
Saunders/Elsevier; 2003.

6. Amiruddin R. Fisiologi dan biokimia hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


K. MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 415-9.

7. Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of pathophysiology:


concepts of altered health states. 2nd ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p.
494-516.

8. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors.
Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill; 2005. p.
1808-13.

37

Anda mungkin juga menyukai