Anda di halaman 1dari 31

REFERAT ILMU PENYAKIT DALAM

KESEIMBANGAN ASAM BASA

Disusun oleh:

Jessica Adhyka Margareth

(01073180168)

Pembimbing:

dr. Jeremia Immanuel Siregar, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE AGUSTUS – NOVEMBER 2019

TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................1

BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1. Definisi Asam Basa...................................................................................3

2.2. Klasifikasi Brȍnsted dan Lowry...............................................................3

2.3. Konsentrasi Ion Hidrogen.........................................................................4

2.4. Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa....................................................5

2.5. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa....................................................11

2.6. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Asam-Basa...................................18

2.7. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam-Basa................................22

2.8. Tatalaksana Nutrisi pada Gangguan Keseimbangan Asam-Basa...........26

BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30

1
BAB I
PENDAHULUAN

Asam dan basa merupakan dua golongan zat kimia yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan sifat asam basa, larutan
dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu bersifat asam, basa, dan netral. Asam
dan basa memiliki sifat yang berbeda sehingga dapat menetukan sifat larutan.
Sifat asam basa larutan juga dapat ditentukan dengan mengukur pH, pH
merupakan suatu parameter yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman
larutan.
Derajat keasaman (pH) darah manusia normalnya berkisar antara 7.35
hingga 7.45. Keseimbangan asam basa diatur oleh koordinasi dari tiga sistem,
yaitu sistem buffer, sistem paru, dan sistem ginjal. Keseimbangan asam basa
merupakan hal yang penting bagi tubuh karena dapat memengaruhi fungsi organ
vital. Gangguan keseimbangan asam basa yang berat dapat memengaruhi
kelangsungan hidup pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Asam Basa


Asam didefinisikan sebagai zat yang dapat memberikan ion H+ ke zat
lain, disebut sebagai donor proton. Basa adalah zat yang dapat menerima ion
H+ dari zat lain, disebut sebagai akseptor proton. Suatu asam baru dapat
melepaskan proton bila ada basa yang dapat menerima proton yang
dilepaskan. Oleh karena itu, reaksi asam basa adalah suatu reaksi pelepasan
dan penerimaan proton.

2.2. Klasifikasi Brȍnsted dan Lowry


Berdasarkan kemampuan melepaskan ion H+, asam dan basa dapat
dibagi menjadi asam lemah, asam kuat, basa lemah, dan basa kuat.
1. Asam Lemah
Asam lemah adalah asam yang hanya terdisosiasi sebagian di
dalam air (berdisosiasi tidak sempurna). Asam karbonat di dalam air
hanya akan terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan HCO3-.

H2CO3 + H2O ↔ H3O- + HCO3-

2. Asam Kuat
Asam kuat adalah asam yang berdisosiasi sempurna di dalam air.
HCl dalam air akan berdisosiasi seluruhnya menjadi ion H+ dan ion Cl-.
Selanjutnya ion H+ yang terbentuk akan diikat oleh molekul air.

HCl ↔ H+ + Cl-
HCl + H2O ↔ H3O- + Cl-

3. Basa Lemah

3
Basa lemah adalah basa yang hanya terdisosiasi sebagian di dalam
air atau suatu persenyawaan yang bergabung tidak sempurna dengan ion
H+ di dalam larutan air.

NH4OH + H+ ↔ NH4+ + H2O


NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH-

4. Basa Kuat
Basa kuat adalah persenyawaan yang berdisosiasi secara sempurna
di dalam air. NaOH dalam air akan berdisosiasi seluruhnya menjadi ion
Na+ + OH-. Ion OH- yang terbentuk akan bereaksi dengan ion H+ dari air.

NaOH ↔ Na+ + OH
NaOH + H+ ↔ Na+ + H2O

2.3. Konsentrasi Ion Hidrogen


Hidrogen memiliki berat atom 1.00797, maka berat 1 mol hidrogen
(H2) adalah 2.01594 gram. Pengukuran ion hidrogen tidak didasari pada
beratnya, melainkan berdasarkan jumlah molekul hidrogen per unit volume
(mol per liter atau molar atau M). Konsentrasi ion H+ dalam air adalah 10-7
M atau 0.0000001 M/L = 100 nM/L, sedangkan konsentrasinya dalam
plasma adalah 0.000000040 mol/L = 40 x 10-9 mol/L atau 40 nM. Untuk
memudahkan perhitungan di klinik, konsentrasinya dinyatakan dalam pH
(power of hydrogen).
Logaritma negatif konsentrasi ion H+:
pH = − [log H+]
Konsentrasi ion H+ pada air adalah 1 x 10-7 mol/L = 0.0000001 mol/L
= 100 nmol/L, berarti pH air:
pH air = − [log 10-7] = 7
Skala pH dapat dipakai untuk menyatakan konsentrasi antara 1 sampai
1/100.000.000.000.000 (10-14) mol/L.

4
Suatu larutan yang memiliki pH 7 disebut netral karena mengandung
ion hidrogen dan ion hidroksida dengan konsentrasi setara. Suatu larutan
disebut asam jika memiliki pH dibawah 7 karena mengandung ion
hidrogen lebih banyak dibanding ion hidroksida. Suatu larutan disebut
basa jika memiliki pH diatas 7 karena memiliki ion hidroksida lebih
banyak dibanding ion H+.
Konsentrasi ion H+ dalam plasma adalah 0.00000040 mol/L = 40 x 10-9
mol/liter atau 40 nM. Maka pH plasma adalah:
pH plasma = −log (40x10-9)
= − (log 40 + log 10-9)
= − {1.6 + (-9)}
= − (−7.40)
= 7.40

Konsentrasi Ion Hidrogen Cairan Tubuh


Cairan Tubuh [H+] pH
Plasma arteri 40 ± 3 nmol/L 7.4 ± 0.3
Plasma vena 45 nmol/L 7.35
Cairan interstisium 42 nmol/L 7.38
Cairan intrasel 63 – 125 nmol/L 7.2 – 6.9

2.4. Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa


Keseimbangan asam-basa adalah keseimbangan ion hidrogen.
Walaupun produksi asam terus menghasilkan ion hidrogen dalam jumlah
sangat banyak, konsentrasi ion hidrogen tetap dipertahankan pada kadar
rendah 40 ± 5 nM atau pH 7.4. Keseimbangan asam basa diatur oleh
koordinasi dari 3 sistem, yaitu sistem buffer, sistem paru, dan sistem ginjal.

1. Sistem Buffer
Sistem buffer disebut juga sistem penahan atau penyangga karena
dapat menahan perubahan pH. Sistem buffer merupakan larutan yang

5
mengandung asam dan basa konjugasinya. Buffer terdiri dari asam
lemah yang menjadi donor ion hidrogen dan basa lemah sebagai
akseptor ion hidrogen [HA ↔ H+ + A]. Bila H+ bertambah, ion hidrogen
bergabung dengan A-, reaksi mengarah ke kiri, mengurangi A - dan
menambah HA. Bila H+ berkurang, reaksi mengarah ke kanan,
meningkatkan A- dan mengurangi HA.
Efektivitas buffer sangat bergantung pada konstanta disosiasi dan
konsentrasi buffer. Sistem buffer yang baik adalah bila jumlah A - cukup
untuk mengikat seluruh penambahan H+ dan HA cukup untuk mengganti
seluruh H+ yang dikeluarkan dari tubuh.
Konstanta disosiasi :
Kd atau Ka = [H+] x [A-] / [HA]

Sistem buffer tubuh paling baik pada konsentrasi normal ion


hidrogen 40 nmol/L atau pH 7.4. Fungsi utama sistem buffer adalah
mencegah perubahan pH yang disebabkan oleh pengaruh asam non
volatile dan asam organic pada cairan ekstrasel. Sistem buffer memiliki
keterbatasan, yaitu:
 Tidak dapat mencegah perubahan pH di cairan ekstrasel yang
disebabkan peningkatan CO2.
 Hanya berfungsi bila sistem respirasi dan pusat pengendali sistem
pernapasan bekerja normal.
 Kemampuannya bergantung pada tersedianya ion bikarbonat.

Sistem Buffer Asam Karbonat-Bikarbonat


Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat merupakan suatu
komponen yang paling penting pada pengaturan pH cairan ekstrasel.
CO2 bereaksi dengan H2O membentuk H2CO3 yang kemudian
berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat (conjugated base)
melalui suatu reaksi yang bersifat reversibel.
H2O + CO2 ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-

6
Bila terjadi peningkatan konsentrasi ion hidrogen, terjadi interaksi
dengan ion bikarbonat sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3).
Dalam hal ini, ion bikarbonat bertindak sebagai basa lemah yang
menerima kelebihan ion hidrogen. Asam karbonat yang terbentuk akan
mengalami disosiasi menjadi CO2 dan air; CO2 yang dihasilkan akan
dieliminasi oleh paru.
Sistem buffer bikarbonat merupakan sistem buffer terbaik pada pH
7.4 walaupun dengan pKa 6.1, karena dapat mengeluarkan CO2 melalui
paru dalam jumlah besar. Tubuh mempertahankan sistem buffer
bikarbonat dengan pengaturan kadar karbondioksida di paru dan
bikarbonat di ginjal.
Persentasi buffer dalam bentuk HCO3- :
Buffer (%) = (HCO3- / HCO3- + H2CO3 + CO2) x 100

2. Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa oleh Paru


Peranan sistem respirasi dalam keseimbangan asam-basa adalah
mempertahankan agar PCO2 selalu konstan walaupun terdapat
perubahan kadar CO2 akibat proses metabolisme tubuh. Sistem
pernapasan mengatur kadar karbon dioksida yaitu PCO2 darah arteri
berkisar 40 mmHg. Ventilasi paru dikendalikan oleh pH dan PaCO2
darah.
Terdapat 2 reseptor yang mengatur fungsi ventilasi, yaitu:
 Pusat pernapasan di medulla oblongata yang meresppons
penurunan pH cairan serebrospinal dengan meningkatkan ventilasi
alveolar.
 Carotid dan aortic bodies dekat bifurkasio arteri karotis interna
dan eksterna dan pada arkus aorta. Penurunan pH mengaktifkan
reseptor ini untuk meningkatkan ventilasi alveolar.
Keseimbangan asam-basa respirasi bergantung pada keseimbangan
produksi dan ekskresi CO2. Jumlah CO2 yang berada dalam darah

7
tergantung pada laju metabolic (metabolic rate), sedangkan proses
ekskresi CO2 tergantung pada fungsi paru.
Kelainan ventilasi dan perfusi mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan rasio ventilasi perfusi sehingga terjadi V/Q
mismatch, yang dapat menyebabkan hipoksia maupun retensi CO 2
sehingga terjadi gangguan keseimbangan asam-basa. Kendali sistem
ventilasi tergantung pada 2 stimulus utama yaitu peningkatan PaCO 2 dan
penurunan PaO2 (hipoksemia).
a. Stimulus CO2
Stimulus terhadap ventilasi terjadi pada daerah kemosensitif di
pusat pernapasan pada medulla oblongata. Karbon dioksida
merupakan stimulus utama pernapasan yang dapat terjadi walaupun
hanya terdapat sedikit peningkatan PaCO2. Pada kebanyakan orang
normal, setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2 terjadi peningkatan
pernapasan sebesar 1-4 L/menit.
Peningkatan PaCO2 adalah akibat penurunan ventilasi alveolar,
seperti yang terjadi pada kelainan paru obstruktif, bukan akibat
peningkatan produksi CO2. Kegagalan mempertahankan kadar CO2
mengakibatkan akumulasi CO2 dan asidosis respiratorik.
b. Stimulus O2
Stimulus O2 terjadi melalui perantaraan kemoreseptor di badan
karotis yang terletak di percabangan arteri karotis. Hipoksemia akan
merangsang ventilasi bla terjadi penurunan PaO2 < 50-60 mmHg
sehingga meningkatkan frekuensi napas yang mengakibatkan
penurunan PaCO2 dan meningkatkan pH (alkalosis respiratorik).
c. Hipoksemia
Hipoksemia adalah terjadinya penurunan tekanan parsial oksigen
(PaO2) < 80 mmHg pada orang dewasa yang menghirup udara pada
suhu ruangan. Pada bayi baru lahir, rentang normal PaO2 40-70
mmHg. Hipoksemia dibagi menjadi hipoksemia ringan (PaO2 60-80
mmHg), sedang (PaO2 40-60 mmHg), dan berat (PaO2 < 40 mmHg).

8
Penyebab hipoksemia adalah hipoventilasi, gangguan difusi di
alveolus dan gangguan ventilasi-perfusi.

3. Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa oleh Ginjal


a. Sistem Renal
Untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa, ginjal harus
mengeluarkan anion asam nonvolatile dan mengganti HCO3-. Ginjal
mengatur keseimbangan asam-basa dengan sekresi dan reabsorbsi
ion hidrogen dan ion bikarbonat. Ion hidrogen, CO2 dan NH3
diekskresi ke dalam lumen tubulus dengan bantuan energi yang
dihasilkan oleh mekanisme pompa natrium di basolateral tubulus.
Pada proses tersebut, asam karbonat dan natrium dilepas kembali ke
sirkulasi supaya dapat berfungsi kembali. Tubulus proksimal adalah
tempat utama reabsorbsi bikarbonat dan pengeluaran asam.
b. Regenerasi Bikarbonat
Bikarbonat dipertahankan dengan cara reabsorbsi di tubulus
proksimal agar konsentrasi ion bikarbonat di tubulus sama dengan di
plasma. Pembentukan HCO3- baru merupakan hasil ekskresi H+
dengan buffer urin dan dari produksi dan ekskresi NH 4+. Bikarbonat
dengan ion hidrogen membentuk asam karbonat, kemudian asam
karbonat berdisosiasi menjadi CO2 dan air. Reaksi ini dipercepat oleh
enzim anhydrase karbonat yang terdapat pada brush border sel
tubulus ginjal. CO2 masuk sel tubulus dan dengan bantuan enzim
anhydrase karbonat kembali membentuk asam karbonat. Asam
karbonat berdisosiasi menjadi ion bikarbonat dan hidrogen.
Bikarbonat kembali ke aliran darah dan ion H+ kembali ke cairan
tubulus untuk ditukar dengan natrium. Dengan cara ini, bikarbonat
direabsorbsi kembali. Berdasarkan pH urin, ginjal dapat
mengembalikan bikarbonat ke dalam darah atau dibiarkan keluar
lewat urin.
c. Sekresi Ion Hidrogen

9
Ekskresi ion H+ dari tubulus proksimal dan distal hanya sekitar
0.025 mmol/L (pH 4.6) atau 0.1 mEq/L pada pH urin 4.0. Buffer
utama di lumen tubulus adalah fosfat (HPO42-/H2PO4-) dan ammonia
(NH3). Fosfat dalam tubulus bergabung dengan ion H+ membentuk
H2PO4-. Kemampuan eliminasi ion H+ dalam keadaan normal sangat
tergantung pada pH cairan di tubulus ginjal (normal 4.0 - 4.5). Bila
terjadi perubahan pH, maka ion H+ diekskresi melalui lumen tubulus.
Proses eliminasi berlangsung di tubulus proksimal dan distal serta
pada duktus koligentes. Normalnya berkisar 100 mEq ion H+ per
hari, setara dengan ion H+ yang diabsorbsi di usus.
Ion H+ disekresikan melalui pertukaran dengan ion Na+ dengan
bantuan energy yang berasal dari pompa Na-K-ATPase yang
berfungsi mempertahankan konsentrasi ion Na+. Sekresi ion H+
melintasi concentration gradient, 40 nmol/L di plasma dan 25.000
nmol/L di urin. Ginjal mampu mengeluarkan ion H+ melalui pompa
proton (H-K-ATPase dan H-ATPase) sampai pH urin turun menjadi
4.5.
d. Produksi dan Ekskresi NH4+
Amonia dibuat di sel tubulus ginjal dari asam amino glutamin
dengan bantuan enzim glutaminase, enzim ini berfungsi optimal
pada pH rendah. Amonia tidak diionisasikan dan cepat sekali
merendahkan concentration gradient. Amonia bergabung dengan ion
H+ membentuk ion ammonium yang tidak kembali ke sel tubulus dan
keluar melalui urin bersamaan dengan ion H+.
Produksi dan ekskresi NH4+ diatur ginjal sebagai respons
perubahan keseimbangan asam basa. Setiap ekskresi NH 4+ dalam
urin, HCO3- kembali ke dalam darah.

2.5. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa


Gangguan keseimbangan asam-basa disebabkan oleh faktor-faktor
yang memengaruhi pengaturan keseimbangan, antara lain sistem buffer,

10
sistem respirasi, fungsi ginjal, gangguan sistem kardiovaskular, maupun
gangguan fungsi susunan saraf pusat.

Klasifikasi yang umum digunakan yaitu:


2.5.1. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Respiratorik
Terjadi karena ketidakseimbangan pembentukan CO2 di jaringan
perifer dengan ekskresinya di paru, ditandai dengan peningkatan atau
penurunan konsentrasi CO2.
2.5.1.1. Asidosis Respiratorik
Terjadi bila terdapat gangguan ventilasi alveolar yang mengganggu
eliminasi CO2 sehingga terjadi peningkatan PaCO2 (hiperkapnia).
Awalnya sistem buffer dapat mengatasinya, namun akhirnya terjadi
penurunan pH.
Pada keadaan normal, perubahan PCO2 dikendalikan oleh
kemoreseptor pusat (medulla). Bila terjadi hipoksia atau hiperkapnia
kronik, dapat terjadi supresi kemoreseptor pusat seperti pada
penderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada keadaan ini,
ventilasi akan dipertahankan oleh kemoreseptor pada badan karotis
sebagai respon terhadap perubahan PO2 dan perubahan pH. Bila
keadaan tersebut berlanjut dan kemoreseptor gagal memberikan
respon atau keadaan sirkulasi paru inadekuat, maka pH akan turun
dan timbul asidosis respiratorik akut.
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan asidosis respiratorik :
 Inhibisi pusat pernapasan
- Obat yang menimbulkan depresi pusat pernapasan (sedative,
anestetikum)
- Central sleep apnea
- Kelebihan O2 pada hiperkapnia atau hipoksemia kronik
 Penyakit neuromuskular
- Neurologik: poliomyelitis, sindrom Guilain Barre
- Muskular: hypokalemia, muscular distrophy

11
 Obstruksi jalan napas
- Asma bronkial
- Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Spasme laring
- Aspirasi
- Obstructive sleep apnea
 Kelainan restriktif
- Penyakit pleura: efusi pleura, empyema, pneumotoraks,
fibrotoraks
- Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, obesitas
- Kelainan restriktif paru: fibrosis pulmoner, pneumonia,
edema paru
 Mechanical under ventilation
 Overfeeding

Hiperkapnia disebabkan oleh produksi CO2 yang berlebihan pada


overfeeding. Proses oksidasi karbohidrat, lemak, dan protein dalam
menghasilkan energi membutuhkan O2 dan menghasilkan CO2 dan
H2O yang dapat digambarkan dengan respiratory quotient (RQ). RQ
merupakan perbandingan antara CO2 yang dihasilkan dengan
kebutuhan O2 dari masing-masing substrat. RQ karbohidrat 1, protein
0.8, dan lemak 0.7. Lipogenesis akan menghasilkan RQ >1.
Pemberian diet tinggi karbohidrat dapat meningkatkan oksidasi asam
lemak yang berakibat konsumsi O2 dan produksi CO2 meningkat. Hal
ini menjelaskan bahwa pemberian kalori secara berlebihan (baik
karbohidrat maupun lemak) akan meningkatkan konsumsi O2 dan
produksi CO2.

a. Asidosis Respiratorik Akut


Pada asidosis respiratorik akut terjadi gangguan eliminasi
CO2 secara akut dan umumnya disertai hipoksemia sehingga

12
terjadi stimulasi ventilasi yang bertujuan untuk meningkatkan
eliminasi CO2 dan meningkatkan O2, misalnya pada eksaserbasi
akut asma, pneumonia, pengaruh obat sedatif yang berlebihan,
pneumotoraks, henti jantung atau tenggelam. Respon buffer
HCO3- oleh ginjal dalam plasma terjadi dalam beberapa menit,
namun kompensasinya belum sempurna.
Kompensasi secara sempurna terjadi dalam beberapa hari.
Respon ginjal dapat berupa peningkatan ekskresi ion H+,
peningkatan reabsorbsi HCO3- di tubulus proksimal dan
peningkatan produksi HCO3- di tubulus distal. Peningkatan
PaCO2 secara akut akan mengakibatkan penurunan kesadaran
(confusion sampai somnolen) bahkan dapat terjadi narkose CO2.
Gas CO2 merupakan vasodilator serebral maka pembuluh darah
di fundus optikus akan dilatasi bahkan dapat terjadi edema papil.

b. Asidosis Respiratorik Kronik


Asidosis respiratorik kronik dapat terjadi oleh berbagai
keadaan antara lain PPOK, sleep apnea, obesitas, kelainan
dinding dada, dan sebagainya. Pada gagal napas kronik terjadi
retensi CO2 secara kronik dan hipoksemia kronik. Pada keadaan
ini, tubuh telah beradaptasi sehingga dorongan untuk bernapas
bukan lagi disebabkan oleh peningkatan CO2 akut namun oleh
hipoksemia kronik. Oleh karena itu, tindakan koreksi gagal napas
akut pada penderita gagal napas kronik perlu berhati-hati karena
dapat menyebabkan hilangnya dorongan untuk bernapas.

2.5.1.2. Alkalosis Respiratorik


Pada alkalosis respiratorik, terjadi hiperventilasi alveolar sehingga
terjadi penurunan PaCO2 (hipokapnia) yang dapat menyebabkan

13
peningkatan pH. Hiperventilasi alveolar timbul karena adanya
stimulus pada pusat pernapasan, penyakit paru akut dan kronik,
overventilasi iatrogenic (penggunaan ventilasi mekanik).
Hiperventilasi kronik umumnya asimptomatik sedangkan
hiperventilasi akut ditandai dengan rasa ringan di kepala (pusing),
paresthesia, circumoral numbness dan kesemutan.
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan alkalosis respiratorik:
 Rangsang hipoksemia
- Penyakit paru dengan kelainan gradient A-a
- Penyakit jantung dengan right to left shunt
- Penyakit jantung dengan edema paru
 Stimulasi pusat pernapasan di medulla
- Kelainan neurologis
- Psikogenik misalnya serangan panik, nyeri
- Gagal hati dengan ensefalopati
- Kehamilan
 Mechanical over ventilation
 Sepsis
 Pengaruh obat: salisilat, hormone progesteron

2.5.2. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Metabolik


Terjadi karena pembentukkan CO2 oleh asam fixed dan asam
organik yang menyebabkan peningkatan ion bikarbonat di jaringan
perifer atau cairan ekstrasel.
2.5.2.1. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan penurunan kadar ion HCO3-
diikuti dengan penurunan tekanan parsial CO2 di dalam arteri.
Kompensasi umumnya terdiri dari kombinasi mekanisme respiratorik
dan ginjal, ion hidrogen berinteraksi dengan ion bikarbonat
membentuk molekul CO2 yang dieliminasi di paru, sementara ginjal
mengupayakan ekskresi ion hidrogen ke urin dan memproduksi ion

14
bikarbonat yang dilepaskan ke cairan ekstrasel. Kadar ion HCO 3-
normal sebesar 24 mEq/L dan pCO2 40 mmHg dengan kadar ion
hidrogen sebesar 40 nanomol/L. Penurunan kadar ion HCO 3- sebesar
1 mEq/L akan diikuti oleh penurunan pCO2 sebesar 1.2 mmHg.
Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
 Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh. Ion
hidrogen dibebaskan oleh sistem buffer asam karbonat-
bikarbonat sehingga terjadi penurunan pH, seperti pada asidosis
laktat, ketoasidosis, intoksikasi salisilat, dan intoksikasi etanol.
 Berkurangnya kadar ion HCO3- di dalam tubuh. Penyebab
penurunan konsentrasi HCO3- antara lain diare, renal tubular
acidosis (RTA) proksimal (RTA-2), pemakaian obat inhibitor
enzim anhydrase karbonat, atau pada penyakit ginjal kronik
stadium III-IV.
 Adanya retensi ion hidrogen di dalam tubuh. Jaringan tidak
mampu mengupayakan ekskresi ion hidrogen melalui ginjal.
Kondisi ini dijumpai pada penyakit ginjal kronik stadium IV-V,
RTA-1 atau RTA-4.

Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan


penurunan tekanan parsial CO2, dapat bersifat lengkap, sebagian,
atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolik
dapat dibagi menjadi 3 kelompok:
a. Asidosis metabolik sederhana (simple atau compensated
metabolic acidosis) → penurunan kadar ion HCO3- sebesar 1
mEq/L diikuti penurunan PCO2 sebesar 1.2 mmHg.
b. Gabungan asidosis metabolik dengan asidosis repiratorik
(uncompensated metabolic acidosis) → penurunan kadar ion
HCO3- sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan pCO2 < 1.2 mmHg
(PCO2 dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari
normal).

15
c. Gabungan asidosis metabolik dengan alkalosis repiratorik (partly
compensated metabolic acidosis) → penurunan kadar ion HCO3-
sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan PCO2 > 1.2 mmHg (PCO2
dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari
normal).

2.5.2.2. Alkalosis Metabolik


Alkalosis metabolik merupakan suatu proses terjadinya
peningkatan primer bikarbonat dalam arteri, akibatnya rasio PCO2
dan kadar HCO3- di arteri berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki
rasio ini dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi
(hipoventilasi) sehingga PCO2 meningkat dalam arteri dan
konsentrasi HCO3- dalam urin meningkat. Pada kelainan alkalosis
metabolik yang sederhana, kenaikan kadar HCO3- 1 mEq/L
menyebabkan kenaikan pCO2 sebesar 0.7 mmHg.

Penyebab alkalosis metabolik antara lain:


 Terbuangnya ion H+ melalui saluran cerna atau melalui ginjal dan
berpindahnya (shift) ion H+ masuk ke dalam sel.
 Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dari dalam tubuh
(contraction alkalosis).
 Pemberian bikarbonat berlebihan.

Dalam keadaan normal, sekresi ion H+ oleh gaster akan


merangsang ekskresi bikarbonat oleh pankreas dan berlangsung
secara adekuat (tidak terjadi gangguan keseimbangan asam-basa).
Terbuangnya ion H+ akibat muntah atau pemakaian pipa NGT yang
terbuka, ion bikarbonat tidak diekskresi oleh pankreas karena
hilangnya stimulus oleh ion H+ di duodenum. Hilangnya ion H+ yang
tidak diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat akan menimbulkan
alkalosis.

16
Sekresi ion H+ melalui ginjal akan meningkat pada keadaan
hiperaldosteronisme primer, penggunaan diuretic loop dan tiazid,
pasca hiperkapnia, dan hiperkalsemia. Penggunaan diuretic loop dan
tiazid akan meningkatkan kadar aldosterone, sekunder dari
pengurangan volume plasma. Deplesi volume plasma akan
merangsang sistem renin-aldosteron-angiotensin. Semua keadaan ini
akan merangsang peningkatan sekresi ion H+ dan reabsorbsi
bikarbonat dalam tubulus.
Sekresi ion H+ melalui tubulus juga meningkat pada keadaan
asidosis dalam sel akibat masuknya ion H+ ke dalam sel. Keadaan
hypokalemia akan merangsang keluarnya kalsium dalam sel masuk
ke dalam plasma. Untuk menjaga keadaan keseimbangan elektrik,
ion H+ masuk ke dalam sel sehingga terjadi asidosis intrasel.
Asidosis intrasel merangsang sekresi ion H+ meningkat ke lumen
tubulus mengakibatkan peningkatan reabsorbsi ion-bikarbonat.
Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dalam jumlah besar
(misalnnya pemberian diuretic loop dosis tinggi) akan meningkatkan
kadar bikarbonat per liter plasma akibat volume plasma berkurang.
Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan ketoasidosis
diabetik atau asidosis laktat dapat menyebabkan alkalosis metabolik.
Pemberian insulin pada ketoasidosis diabetik atau perbaikan
oksigenasi jaringan pada asidosis laktat dapat dengan cepat
meningkatkan kadar bikarbonat plasma.
Alkalosis metabolik juga ditemukan pada Sindroma Bartter dan
Sindroma Gitelman, suatu keadaan terjadinya mutasi genetik pada
transporter Na-K-Cl di ascending loop-Henle (Bartter) dan tubulus
distal (Gitelman). Keadaan ini menyerupai alkalosis metabolik akibat
diuretic loop atau tiazid.

2.6. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Asam-Basa


2.6.1. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Respiratorik

17
2.6.1.1. Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik dapat terjadi akibat depresi pusat pernapasan
(akibat obat, anestesi, penyakit neurologi), kelainan atau penyakit
yang memengaruhi otot/dinding dada (polimielitis, miastenia gravis,
sindroma Guillain-Barre, trauma toraks berat), penurunan area
pertukaran gas atau ketidakseimbangan ventilasi perfusi (PPOK,
asma, pneumotoraks, pneumonia, edema paru), dan obstruksi jalan
napas seperti edema laring atau sumbatan benda asing pada saluran
napas atas.
Kandungan CO2 merupakan gambaran hasil akhir keseimbangan
produksi (hasil metabolisme tubuh) dan eliminasi CO2 oleh paru.
Peningkatan PCO2 akibat peningkatan produksi CO2 akan diatasi
oleh tubuh dengan meningkatkan ventilasi. Penurunan ventilasi
alveolar menyebabkan retensi CO2 dan mengakibatkan asidosis
respiratorik.
Gambaran klinis sering berhubungan dengan pengaruhnya pada
sistem saraf. Gejala pertama berupa sakit kepala dan rasa mengantuk.
Jika keadaan memburuk, rasa mengantuk dapat berlanjut menjadi
stupor (penurunan kesadaran) dan koma. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan dilatasi vena retina dan papilledema.
Ensefalopati metabolik yang terjadi dapat bersifat reversibel bila
tidak ada kerusakan otak akibat hipoksia. Keadaan-keadaan tersebut
umumnya terjadi secara bertahap, namun dapat terjadi mendadak
terutama jika disebabkan obat sedative, infeksi paru berat/henti
napas yang terjadi akibat pemberian FiO2 yang tinggi pada penderita
asidosis respiratorik kronik.
Pada asidosis respiratorik akut, pH yang rendah disebabkan oleh
peningkatan PCO2 secara akut. Kadar HCO3- mungkin normal atau
sedikit meningkat. Peningkatan PCO2 secara mendadak dapat diikuti
oleh peningkatan HCO3- plasma sebanyak 3-4 mEq/L sebagai efek
buffer.

18
Pada asidosis respiratorik kronik, ginjal umumnya sudah
beradaptasi sehingga penurunan pH tidak terjadi akibat retensi
HCO3- dan peningkatan HCO3- plasma ± 3-4 mEq/L setiap kenaikan
10 mmHg PCO2.

2.6.1.2. Alkalosis Respiratorik


Alkalosis respiratorik sering disebabkan oleh sindrom
hiperventilasi (panik), overventilasi pada pasien dengan ventilasi
mekanik, kelainan/penyakit akibat sepsis. Hiperventilasi
menyebabkan eliminasi CO2 yang berlebihan sehingga menyebabkan
alkalosis respiratorik. Vasokonstriksi pembuluh darah otak dapat
menyebabkan hipoksia otak (gejala tersering pada hiperventilasi).
Umumnya terjadi peningkatan frekuensi pernapasan dan
pernapasan dalam, terutama jika disebabkan kelainan
otak/metabolik. Keluhan pasien umumnya rasa cemas berlebihan,
sesak/nyeri dada dan dapat menyebabkan rasa gatal di sekitar bibir
dan wajah. Jika keadaannya memburuk, dapat terjadi kejang otot dan
penurunan kesadaran. Diagnosis alkalosis respiratorik dapat
dipastikan dengan kadar PCO2 yang rendah.

2.6.2. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Metabolik


2.6.2.1. Asidosis Metabolik
Manifestasi asidosis metabolik bergantung pada penyebab dan
kecepatan perkembangan prosesnya. Asidosis metabolik akut
menyebabkan depresi miokardial disertai reduksi cardiac output
(curah jantung), penurunan tekanan darah, penurunan aliran ke
sirkulasi hepatik dan renal, dapat terjadi juga aritmia dan fibrilasi
ventrikular. Pada pH >7.1 terjadi fatigue, sesak napas (pernapasan
Kussmaull), nyeri perut, nyeri tulang, dan mual/muntah. Pada pH
≤7.1 tampak gejala seperti pada pH>7.1 disertai aritmia, konstriksi
vena perifer, dilatasi arteri perifer, penurunan tekanan darah,

19
penurunan aliran darah ke hati, dan konstriksi pembuluh darah paru
(pertukaran oksigen terganggu).

2.6.2.2. Alkalosis Metabolik


Alkalosis metabolik memberikan dampak pada sistem
kardiovaskular, pulmoner, dan fungsi metabolik. Curah jantung
menurun, depresi ventilasi sentral, kurva saturasi oksi-hemoglobin
bergeser ke kiri, hypokalemia dan hipofosfatemia yang terjadi
semakin buruk, serta penurunan kemampuan pasien menerima
ventilasi mekanik.
Pada alkalosis metabolik, disebut letal jika pH darah >7.7. Bila ada
deplesi volume cairan tubuh, upayakan agar volume plasma kembali
normal dengan pemberian NaCl isotonic. Jika penyebabnya
hypokalemia, lakukan koreksi kalium plasma. Jika penyebabnya
hipokloremia, lakukan koreksi klorida dengan pemberian NaCl
isotonic. Jika penyebabnya karena pemberian bikarbonat berlebihan,
hentikan pemberian bikarbonat.
Pada keadaan fungsi ginjal menurun atau edema akibat gagal
jantung, kor pulmonal atau sirosis hati, koreksi dengan NaCl isotonic
tidak dapat dilakukan karena dapat terjadi retensi natrium disertai
kelebihan cairan (edema bertambah). Pada keadaan ini dapat
diberikan antagonis enzim anhydrase karbonat sehingga reabsorbsi
bikarbonat terhambat, contohnya Asetazolamid. Jika tidak berhasil,
dapat diberikan HCl dalam larutan isotonik selama 8-24 jam atau
larutan ammonium klorida atau larutan arginine hidroklorida.
Kebutuhan HCl dapat dihitung dengan rumus:
Kelebihan bikarbonat = 0.5 x BB (HCO3 plasma – 24)

Nilai normal
 pH : 7.35 – 7.45

20
 PCO2 : 35 – 35 mmHg
 PO2 : 75 – 100 mmHg
 HCO3 : 22 – 26 mEq/L
 BE : -2 – +2

Gangguan Keseimbangan pH PCO2 HCO3- Base Excess


Asidosis Uncompensated ↓ ↑ N N
respiratori Partly compensated ↓ ↑ ↑ ↑
k (PCO2 ↑) Compensated N ↑ ↑ ↑
Alkalosis Uncompensated ↑ ↓ N N
respiratori Partly compensated ↑ ↓ ↓ ↓
k (PCO2 ↓) Compensated N ↓ ↓ ↓
Asidosis Uncompensated ↓ N ↓ ↓
metabolik Partly compensated ↓ ↓ ↓ ↓
-
(HCO3 ↓) Compensated N ↓ ↓ ↓
Alkalosis Uncompensated ↑ N ↑ ↑
metabolik Partly compensated ↑ ↑ ↑ ↑
-
(HCO3 ↑) Compensated N ↑ ↑ ↑

Kompensasi pada Gangguan Keseimbangan Asam-Basa


Primary Disorder Expected Compensation
Metabolic Acidosis ↓ PCO2 = 1.2 x ∆HCO3
or PCO2 = (1.5 x HCO3) + 8 ± 2 (Winter’s formula)
(also, PCO2 = last 2 digits of pH)
Metabolic Alkalosis ↑ PCO2 = 0.7 x ∆HCO3
Respiratory Acidosis
 Acute ↑ HCO3 = 0.1 x ∆PCO2
(also, ↓ pH = 0.008 x ∆PCO2)
 Chronic ↑ HCO3 = 0.35 x ∆PCO2
(also, ↓ pH = 0.003 x ∆PCO2)
Respiratory Alkalosis
 Acute ↓ HCO3 = 0.2 x ∆PCO2
(also, ↑ pH = 0.008 x ∆PCO2)
 Kronik ↓ HCO3 = 0.4 x ∆PCO2

Gangguan Keseimbangan Kompensasi


Alkalosis metabolik ↑ HCO3- PCO2 ↑ 0.5-0.7 mmHg per 1 mEq/L ↑
HCO3-
Asidosis metabolik ↓ HCO3- PCO2 ↓ 1.2 mmHg per 1 mEq/L ↓ HCO3-

21
Alkalosis respiratorik
 Akut ↓ PCO2 HCO3- ↓ 2 mEq/L per 10 mmHg ↓ PCO2
 Kronik ↓ PCO2 HCO3- ↓ 5-6 mEq/L per 10 mmHg ↓ PCO2
Asidosis respiratorik
 Akut ↑ PCO2 HCO3- ↑ 1 mEq/L per 10 mmHg ↑ PCO2
 Kronik ↑ PCO2 HCO3- ↑ 4-5 mEq/L per 10 mmHg ↑ PCO2

2.7. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam-Basa


2.7.1. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Respiratorik
2.7.1.1. Asidosis Respiratorik
Tatalaksana asidosis respiratorik adalah mengatasi penyakit
dasarnya dan jika terdapat hipoksemia harus diberikan terapi
oksigen. Asidosis respiratorik dengan hipoksemia berat memerlukan
ventilasi mekanik baik invasif maupun noninvasif. Pemberian
oksigen pada pasien dengan retensi CO 2 kronik dan hipoksia harus
dilakukan dengan hati-hati karena pemberian oksigen dengan FiO 2
tinggi dapat mengakibatkan penurunan minute ventilation dan
semakin meningkatkan PCO2.
Pasien dengan retensi CO2 kronik umumnya sudah beradaptasi
dengan hiperkapnia kronik dan stimulus pernapasannya adalah
hipoksemia sehingga pemberian oksigen harus hati-hati dan
ditujukan dengan target kadar PaO2 >50 mmH dengan FiO2 yang
rendah. Pada pasien asidosis respiratorik kronik, penurunan PCO 2
harus berhati-hati untuk menghindari alkalosis yang berat karena
umumnya sudah ada kompensasi ginjal. Pada asidosis respiratorik
yang terjadi bersamaan dengan alkalosis metabolik atau asidosis
metabolik primer, tatalaksana terutama ditujukan untuk kelainan
primernya.

2.7.1.2. Alkalosis Respiratorik


Tatalaksana alkalosis respiratorik ditujukan terhadap kelainan
primernya. Alkalosis yang disebabkan oleh hipoksemia diatasi

22
dengan memberikan terapi oksigen. Alkalosis respiratorik yang
disebabkan oleh serangan panik diatasi dengan menenangkan pasien
atau memberikan pernapasan menggunakan sistem air rebreathing.
Overventilasi pada pasien dengan ventilasi mekanik diatasi dengan
mengurangi minute ventilation atau dengan menambahkan dead
space. Alkalosis respiratorik yang disebabkan hipoksemia diterapi
dengan oksigen dan memperbaiki penyebab gangguan pertukaran
gas. Koreksi alkalosis respiratorik dengan menggunakan rebreathing
mask harus berhati-hati untuk menghindari ketidakseimbangan pH
cairan serebrospinal dan pH perifer.

2.7.2. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Metabolik


2.7.2.1. Asidosis Metabolik
Tatalaksana asidosis metabolik tergantung pada penyebabnya,
dapat juga diobati secara langsung. Pada asidosis metabolik ringan,
diperlukan cairan intravena dan pengobatan terhadap penyebabnya.
Bila terjadi asidosis metabolik berat, dapat diberikan bikarbonat
secara intravena. Namun, pemberian infus bikarbonat hanya
memiliki efek sementara dan dapat menimbulkan masalah pada
pasien asidosis, antara lain kelebihan pemberian cairan, alkalosis
metabolik dan hipernatremia.
Pada kasus asidosis hiperkloremik dapat tidak terjadi regenerasi
endogen bikarbonat karena yang berlangsung pada keadaan tersebut
adalah kehilangan bikarbonat bukan aktivasi sistem buffer. Oleh
karena itu, pemberian bikarbonat eksogen hanya diperlukan bila pH
<7.2. Keadaan tersebut dapat terjadi pada diare berat, fistula high-
output, atau RTA. Bikarbonat diperlukan pada kasus asidosis
metabolik dengan kemampuan melakukan kompensasi yang
menurun, misalnya pada PPOK dengan keterbatasan melakukan
eliminasi CO2. Pada kasus ini, sejumlah kecil bikarbonat diperlukan

23
untuk mencegah terjadinya gagal napas dan mengurangi kebutuhan
intubasi serta penggunaan ventilator mekanik.
Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik
agar koreksi dapat dilakukan dengan tepat tanpa menimbulkan hal-
hal yang membahayakan pasien.

Langkah koreksi asidosis metabolik:

1) Tetapkan berat ringannya gangguan asidosis. Gangguan disebut


letal bila pH <7 atau kadar ion H+ >100 nmol/L. Gangguan yang
perlu mendapat perhatian adalah bila pH darah 7.1-7.3 atau kadar
ion H antara 50-80 nmol/L.
2) Tetapkan anion gap dan bantuan gejala klinis lainnya untuk
mengetahui dugaan etiologi dari asidosis metabolik.
3) Jika curiga kemungkinan asidosis laktat, hitung rasio delta anion
gap dengan delta HCO3- (delta anion gap: anion gap saat pasien
diperiksa dikurangi dengan median anion gap normal ; delta
HCO3-: kadar HCO3- normal dikurangi dengan kadar HCO3-
saat pasien diperiksa). Bila rasio >1, asidosis disebabkan oleh
asidosis laktat. Langkah ketiga ini menetapkan sampai sejauh
mana koreksi dapat dilakukan.

Prosedur koreksi:

1) Secara umum, koreksi dilakukan hingga tercapai pH 7.2 atau


kadar ion HCO3 12 mEq/L.
2) Pada keadaan khusus:
 Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara
penuh hingga mencapai kadar ion HCO3- 20-22 mEq/L. Hal
ini dilakukan untuk mencegah hyperkalemia, mengurangi

24
kemungkinan malnutrisi, dan mengurangi percepatan
gangguan tulang (osteodistrofi ginjal).
 Pada ketoasidosis diabetic atau asidosis laktat tipe A, koreksi
dilakukan bila kadar ion HCO3- dalam darah ≤ 5 mEq/L,
terdapat hyperkalemia berat, setelah koreksi insulin pada
DM, koreksi oksigen pada asidosis laktat, atau pada asidosis
belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar ion HCO3-
10 mEq/L.
 Pada asidosis metabolik yang terjadi bersamaan dengan
asidosis respiratorik dan tidak menggunakan ventilator,
koreksi harus dilakukan dengan hati-hati atas pertimbangan
depresi pernapasan.

Koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat dilakukan


setelah kebutuhan bikarbonat diketahui. Kebutuhan bikarbonat
adalah menentukan berapa banyak bikarbonat yang akan diberikan
pada satu keadaan untuk mencapai kadar bikarbonat darah yang
diinginkan. Oleh karena itu, harus diketahui bicarbonate-space atau
ruang bikarbonat pasien. Ruang bikarbonat adalah besarnya
kapasitas penyangga total tubuh, termasuk bikarbonat ekstrasel,
protein intrasel, dan bikarbonat tulang. Bikarbonat diberikan secara
intravena selama 1-8 jam, bergantung pada berat ringannya asidosis
yang terjadi.

2.7.2.2. Alkalosis Metabolik


Koreksi alkalosis metabolik bertujuan untuk meningkatkan minute
ventilation, meningkatkan tekanan oksigen arterial dan mixed venous
oxygen tension, serta menurunkan konsumsi oksigen. Oleh karena
itu, sangat penting melakukan koreksi pada pasien kritis.
Pada alkalosis metabolik, disebut letal jika pH darah >7.7. Bila ada
deplesi volume cairan tubuh, upayakan agar volume plasma kembali

25
normal dengan pemberian NaCl isotonic. Jika penyebabnya
hipokalemia, lakukan koreksi kalium plasma. Jika penyebabnya
hipokloremia, lakukan koreksi klorida dengan pemberian NaCl
isotonic. Jika penyebabnya karena pemberian bikarbonat berlebihan,
hentikan pemberian bikarbonat.
Pada keadaan fungsi ginjal menurun atau edema akibat gagal
jantung, kor pulmonal atau sirosis hati, koreksi dengan NaCl isotonik
tidak dapat dilakukan karena dapat terjadi retensi natrium disertai
kelebihan cairan (edema bertambah). Pada keadaan ini dapat
diberikan antagonis enzim anhidrase karbonat sehingga reabsorbsi
bikarbonat terhambat. Asetazolamid dosis tunggal 500 mg (dewasa)
sangat efektif dan dianjurkan. Onset of action dicapai dalam waktu
1.5 jam dengan lama kerja berkisar 24 jam. Dosis dapat diulang jika
diperlukan. Jika tidak berhasil, dapat diberikan HCl dalam larutan
isotonik selama 8-24 jam atau larutan ammonium klorida atau
larutan arginine hidroklorida.
Kebutuhan HCl dapat dihitung dengan rumus:
Kelebihan bikarbonat = 0.5 x BB (HCO3 plasma – 24)

2.8. Tatalaksana Nutrisi pada Gangguan Keseimbangan Asam-Basa


Pemberian nutrisi pada tatalaksana gizi gangguan keseimbangan asam-
basa dapat berdampak buruk jika diberikan berlebihan (overfeeding).
Pemberian nutrisi yang berlebihan menyebabkan peningkatan
pembentukkan karbon dioksida (CO2) dan memperberat keadaan asidosis
respiratorik yang terjadi.

Pada proses oksidasi karbohidrat, lemak, dan protein dalam menghasilkan


energi, dibutuhkan oksigen; selain energi, dihasilkan CO2 dan air.
Respiratory Quotient (RQ) merupakan perbandingan antara volume CO2
yang dihasilkan dengan volume O2 yang dikonsumsi pada oksidasi masing-
masing substrat tersebut. RQ untuk oksidasi karbohidrat, protein, dan lemak,

26
besarnya masing-masing 1, 0.8, dan 0.7. Ini menunjukkan bahwa pemberian
karbohidrat dalam jumlah besar (diet tinggi karbohidrat) akan meningkatkan
konsumsi O2 dan produksi CO2.

Diet tinggi lemak dapat menyebabkan gangguan respon imun dan


peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Oleh karena itu, saat ini diet lemak
tidak lagi diberikan pada penderita dengan hiperkapnia.

Pada tatalaksana gizi, perlu diperhitungkan jumlah energi total yang sesuai
dengan kebutuhan. Kebutuhan energi total merupakan penjumlahan dari
kebutuhan energi basal, aktivitas fisik, dan faktor stress.

Kebutuhan energi basal dihitung dengan ekuasi Harris-Benedict:

 Pria : 66.5 + 13.7 BB + 5 TB – 6.8 Usia


 Wanita : 65.5 + 9.6 BB + 1.8 TB – 4.7 Usia

Pada penderita obesitas II (IMT ≥30), digunakan perhitungan:

[(BB aktual – BB ideal) x 0.25] + BB ideal

Kebutuhan energi:

Kebutuhan energi total = KEB + AF + FS

Untuk aktivitas fisik, besarnya dari kebutuhan energi basal adalah:

 0% : bila penderita tirah baring


 5% : bila penderita dapat duduk
 10% : bila penderita dapat berdiri di sekitar tempat tidur

Besarnya faktor stress tergantung dari penyakit yang mendasarinya.

Pemberian kalori yang dihitung berdasarkan rumus Harris-Benedict


kerap terjadi kelebihan kalori diikuti overfeeding. Untuk mencegahnya,
dapat menggunakan rule of Thumb (disebut juga quick method).
Rule of Thumb :
Kebutuhan kalori = 25-30 kal/kgBB

27
Komposisi makronutrien yang diberikan adalah karbohidrat 50-
60%, lemak 20-30%, dan protein 15-20% dari kebutuhan energi total,
komposisi ini disebut sebagai “nutrisi seimbang” (balance nutrition).
Pada kasus gangguan keseimbangan asam basa yang lain,
pemberian nutrisi hanya bersifat suportif untuk mencegah bertambah
buruknya penyakit primer, yaitu dengan pemberian energi dan nutrient
dalam jumlah dan komposisi yang sesuai kebutuhan serta cara pemberian
yang sesuai dengan keadaan penderita.

28
BAB III
KESIMPULAN

Keseimbangan asam basa adalah suatu keadaan dimana konsentrasi ion


hidrogen yang diproduksi setara dengan konsentrasi ion hidrogen yang
dikeluarkan oleh sel. Derajat keasaman (pH) darah manusia normalnya berkisar
antara 7.35 hingga 7.45. Tubuh manusia mampu mempertahankan keseimbangan
asam dan basa agar proses metabolisme dan fungsi organ dapat berjalan optimal.
Gangguan keseimbangan asam basa diklasifikasikan menjadi gangguan
respiratorik dan metabolik. Gangguan respiratorik ditandai dengan adanya
perubahan PCO2, sedangkan gangguan metabolik ditandai dengan adanya
perubahan kadar HCO3-. Asidosis adalah suatu keadaan saat darah terlalu banyak
mengandung asam (atau terlalu sedikit mengandung basa) dan sering
menyebabkan menurunnya pH darah. Alkalosis adalah suatu keadaan saat darah
terlalu banyak mengandung basa (atau terlalu sedikit mengandung asam) dan
kadang menyebabkan meningkatnya pH darah. Asidosis respiratorik dan alkalosis
respiratotik terutama disebabkan oleh penyakit paru-paru dan kelainan
pernapasan. Asidosis metabolik dan alkalosis metabolik disebabkan oleh
ketidakseimbangan dalam pembentukkan dan pembuangan asam dan basa oleh
ginjal. Tujuan tatalaksana pada gangguan keseimbangan asam basa adalah
mengobati penyakit yang mendasarinya.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa. Edisi 3. 2013.


Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2. Horne, M. M& Swearingen, P. L. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, &
Asam Basa. Edisi 2. 2000. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Abramowitz M. Acid-Base Balance and Physical Function. Clinical
Journal of the American Society of Nephrology. 2014;9(12):2030-2032.
4. Seifter JL. Integration of acid-base and electrolyte disorders. N Engl J
Med. 2014;371(19):1821-1831.
5. Hawfield A. DuBose T. Acid-Base Balance Disordeers. eLs. 2010.
6. Kellum JA, Puyana JC. Acid-Base Disorders. In: Souba WW, Fink MP,
Jurkovitch GJ, Kaiser LP, Pearce WH, Pemberton JH, et al., editors. ACS
Surgery: Principles and Practice: WebMD Professional Publishing. 2006;
1-13.

30

Anda mungkin juga menyukai