Disusun oleh:
(01073180168)
Pembimbing:
TANGERANG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30
1
BAB I
PENDAHULUAN
Asam dan basa merupakan dua golongan zat kimia yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan sifat asam basa, larutan
dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu bersifat asam, basa, dan netral. Asam
dan basa memiliki sifat yang berbeda sehingga dapat menetukan sifat larutan.
Sifat asam basa larutan juga dapat ditentukan dengan mengukur pH, pH
merupakan suatu parameter yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman
larutan.
Derajat keasaman (pH) darah manusia normalnya berkisar antara 7.35
hingga 7.45. Keseimbangan asam basa diatur oleh koordinasi dari tiga sistem,
yaitu sistem buffer, sistem paru, dan sistem ginjal. Keseimbangan asam basa
merupakan hal yang penting bagi tubuh karena dapat memengaruhi fungsi organ
vital. Gangguan keseimbangan asam basa yang berat dapat memengaruhi
kelangsungan hidup pasien.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Asam Kuat
Asam kuat adalah asam yang berdisosiasi sempurna di dalam air.
HCl dalam air akan berdisosiasi seluruhnya menjadi ion H+ dan ion Cl-.
Selanjutnya ion H+ yang terbentuk akan diikat oleh molekul air.
HCl ↔ H+ + Cl-
HCl + H2O ↔ H3O- + Cl-
3. Basa Lemah
3
Basa lemah adalah basa yang hanya terdisosiasi sebagian di dalam
air atau suatu persenyawaan yang bergabung tidak sempurna dengan ion
H+ di dalam larutan air.
4. Basa Kuat
Basa kuat adalah persenyawaan yang berdisosiasi secara sempurna
di dalam air. NaOH dalam air akan berdisosiasi seluruhnya menjadi ion
Na+ + OH-. Ion OH- yang terbentuk akan bereaksi dengan ion H+ dari air.
NaOH ↔ Na+ + OH
NaOH + H+ ↔ Na+ + H2O
4
Suatu larutan yang memiliki pH 7 disebut netral karena mengandung
ion hidrogen dan ion hidroksida dengan konsentrasi setara. Suatu larutan
disebut asam jika memiliki pH dibawah 7 karena mengandung ion
hidrogen lebih banyak dibanding ion hidroksida. Suatu larutan disebut
basa jika memiliki pH diatas 7 karena memiliki ion hidroksida lebih
banyak dibanding ion H+.
Konsentrasi ion H+ dalam plasma adalah 0.00000040 mol/L = 40 x 10-9
mol/liter atau 40 nM. Maka pH plasma adalah:
pH plasma = −log (40x10-9)
= − (log 40 + log 10-9)
= − {1.6 + (-9)}
= − (−7.40)
= 7.40
1. Sistem Buffer
Sistem buffer disebut juga sistem penahan atau penyangga karena
dapat menahan perubahan pH. Sistem buffer merupakan larutan yang
5
mengandung asam dan basa konjugasinya. Buffer terdiri dari asam
lemah yang menjadi donor ion hidrogen dan basa lemah sebagai
akseptor ion hidrogen [HA ↔ H+ + A]. Bila H+ bertambah, ion hidrogen
bergabung dengan A-, reaksi mengarah ke kiri, mengurangi A - dan
menambah HA. Bila H+ berkurang, reaksi mengarah ke kanan,
meningkatkan A- dan mengurangi HA.
Efektivitas buffer sangat bergantung pada konstanta disosiasi dan
konsentrasi buffer. Sistem buffer yang baik adalah bila jumlah A - cukup
untuk mengikat seluruh penambahan H+ dan HA cukup untuk mengganti
seluruh H+ yang dikeluarkan dari tubuh.
Konstanta disosiasi :
Kd atau Ka = [H+] x [A-] / [HA]
6
Bila terjadi peningkatan konsentrasi ion hidrogen, terjadi interaksi
dengan ion bikarbonat sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3).
Dalam hal ini, ion bikarbonat bertindak sebagai basa lemah yang
menerima kelebihan ion hidrogen. Asam karbonat yang terbentuk akan
mengalami disosiasi menjadi CO2 dan air; CO2 yang dihasilkan akan
dieliminasi oleh paru.
Sistem buffer bikarbonat merupakan sistem buffer terbaik pada pH
7.4 walaupun dengan pKa 6.1, karena dapat mengeluarkan CO2 melalui
paru dalam jumlah besar. Tubuh mempertahankan sistem buffer
bikarbonat dengan pengaturan kadar karbondioksida di paru dan
bikarbonat di ginjal.
Persentasi buffer dalam bentuk HCO3- :
Buffer (%) = (HCO3- / HCO3- + H2CO3 + CO2) x 100
7
tergantung pada laju metabolic (metabolic rate), sedangkan proses
ekskresi CO2 tergantung pada fungsi paru.
Kelainan ventilasi dan perfusi mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan rasio ventilasi perfusi sehingga terjadi V/Q
mismatch, yang dapat menyebabkan hipoksia maupun retensi CO 2
sehingga terjadi gangguan keseimbangan asam-basa. Kendali sistem
ventilasi tergantung pada 2 stimulus utama yaitu peningkatan PaCO 2 dan
penurunan PaO2 (hipoksemia).
a. Stimulus CO2
Stimulus terhadap ventilasi terjadi pada daerah kemosensitif di
pusat pernapasan pada medulla oblongata. Karbon dioksida
merupakan stimulus utama pernapasan yang dapat terjadi walaupun
hanya terdapat sedikit peningkatan PaCO2. Pada kebanyakan orang
normal, setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2 terjadi peningkatan
pernapasan sebesar 1-4 L/menit.
Peningkatan PaCO2 adalah akibat penurunan ventilasi alveolar,
seperti yang terjadi pada kelainan paru obstruktif, bukan akibat
peningkatan produksi CO2. Kegagalan mempertahankan kadar CO2
mengakibatkan akumulasi CO2 dan asidosis respiratorik.
b. Stimulus O2
Stimulus O2 terjadi melalui perantaraan kemoreseptor di badan
karotis yang terletak di percabangan arteri karotis. Hipoksemia akan
merangsang ventilasi bla terjadi penurunan PaO2 < 50-60 mmHg
sehingga meningkatkan frekuensi napas yang mengakibatkan
penurunan PaCO2 dan meningkatkan pH (alkalosis respiratorik).
c. Hipoksemia
Hipoksemia adalah terjadinya penurunan tekanan parsial oksigen
(PaO2) < 80 mmHg pada orang dewasa yang menghirup udara pada
suhu ruangan. Pada bayi baru lahir, rentang normal PaO2 40-70
mmHg. Hipoksemia dibagi menjadi hipoksemia ringan (PaO2 60-80
mmHg), sedang (PaO2 40-60 mmHg), dan berat (PaO2 < 40 mmHg).
8
Penyebab hipoksemia adalah hipoventilasi, gangguan difusi di
alveolus dan gangguan ventilasi-perfusi.
9
Ekskresi ion H+ dari tubulus proksimal dan distal hanya sekitar
0.025 mmol/L (pH 4.6) atau 0.1 mEq/L pada pH urin 4.0. Buffer
utama di lumen tubulus adalah fosfat (HPO42-/H2PO4-) dan ammonia
(NH3). Fosfat dalam tubulus bergabung dengan ion H+ membentuk
H2PO4-. Kemampuan eliminasi ion H+ dalam keadaan normal sangat
tergantung pada pH cairan di tubulus ginjal (normal 4.0 - 4.5). Bila
terjadi perubahan pH, maka ion H+ diekskresi melalui lumen tubulus.
Proses eliminasi berlangsung di tubulus proksimal dan distal serta
pada duktus koligentes. Normalnya berkisar 100 mEq ion H+ per
hari, setara dengan ion H+ yang diabsorbsi di usus.
Ion H+ disekresikan melalui pertukaran dengan ion Na+ dengan
bantuan energy yang berasal dari pompa Na-K-ATPase yang
berfungsi mempertahankan konsentrasi ion Na+. Sekresi ion H+
melintasi concentration gradient, 40 nmol/L di plasma dan 25.000
nmol/L di urin. Ginjal mampu mengeluarkan ion H+ melalui pompa
proton (H-K-ATPase dan H-ATPase) sampai pH urin turun menjadi
4.5.
d. Produksi dan Ekskresi NH4+
Amonia dibuat di sel tubulus ginjal dari asam amino glutamin
dengan bantuan enzim glutaminase, enzim ini berfungsi optimal
pada pH rendah. Amonia tidak diionisasikan dan cepat sekali
merendahkan concentration gradient. Amonia bergabung dengan ion
H+ membentuk ion ammonium yang tidak kembali ke sel tubulus dan
keluar melalui urin bersamaan dengan ion H+.
Produksi dan ekskresi NH4+ diatur ginjal sebagai respons
perubahan keseimbangan asam basa. Setiap ekskresi NH 4+ dalam
urin, HCO3- kembali ke dalam darah.
10
sistem respirasi, fungsi ginjal, gangguan sistem kardiovaskular, maupun
gangguan fungsi susunan saraf pusat.
11
Obstruksi jalan napas
- Asma bronkial
- Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Spasme laring
- Aspirasi
- Obstructive sleep apnea
Kelainan restriktif
- Penyakit pleura: efusi pleura, empyema, pneumotoraks,
fibrotoraks
- Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, obesitas
- Kelainan restriktif paru: fibrosis pulmoner, pneumonia,
edema paru
Mechanical under ventilation
Overfeeding
12
terjadi stimulasi ventilasi yang bertujuan untuk meningkatkan
eliminasi CO2 dan meningkatkan O2, misalnya pada eksaserbasi
akut asma, pneumonia, pengaruh obat sedatif yang berlebihan,
pneumotoraks, henti jantung atau tenggelam. Respon buffer
HCO3- oleh ginjal dalam plasma terjadi dalam beberapa menit,
namun kompensasinya belum sempurna.
Kompensasi secara sempurna terjadi dalam beberapa hari.
Respon ginjal dapat berupa peningkatan ekskresi ion H+,
peningkatan reabsorbsi HCO3- di tubulus proksimal dan
peningkatan produksi HCO3- di tubulus distal. Peningkatan
PaCO2 secara akut akan mengakibatkan penurunan kesadaran
(confusion sampai somnolen) bahkan dapat terjadi narkose CO2.
Gas CO2 merupakan vasodilator serebral maka pembuluh darah
di fundus optikus akan dilatasi bahkan dapat terjadi edema papil.
13
peningkatan pH. Hiperventilasi alveolar timbul karena adanya
stimulus pada pusat pernapasan, penyakit paru akut dan kronik,
overventilasi iatrogenic (penggunaan ventilasi mekanik).
Hiperventilasi kronik umumnya asimptomatik sedangkan
hiperventilasi akut ditandai dengan rasa ringan di kepala (pusing),
paresthesia, circumoral numbness dan kesemutan.
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan alkalosis respiratorik:
Rangsang hipoksemia
- Penyakit paru dengan kelainan gradient A-a
- Penyakit jantung dengan right to left shunt
- Penyakit jantung dengan edema paru
Stimulasi pusat pernapasan di medulla
- Kelainan neurologis
- Psikogenik misalnya serangan panik, nyeri
- Gagal hati dengan ensefalopati
- Kehamilan
Mechanical over ventilation
Sepsis
Pengaruh obat: salisilat, hormone progesteron
14
bikarbonat yang dilepaskan ke cairan ekstrasel. Kadar ion HCO 3-
normal sebesar 24 mEq/L dan pCO2 40 mmHg dengan kadar ion
hidrogen sebesar 40 nanomol/L. Penurunan kadar ion HCO 3- sebesar
1 mEq/L akan diikuti oleh penurunan pCO2 sebesar 1.2 mmHg.
Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh. Ion
hidrogen dibebaskan oleh sistem buffer asam karbonat-
bikarbonat sehingga terjadi penurunan pH, seperti pada asidosis
laktat, ketoasidosis, intoksikasi salisilat, dan intoksikasi etanol.
Berkurangnya kadar ion HCO3- di dalam tubuh. Penyebab
penurunan konsentrasi HCO3- antara lain diare, renal tubular
acidosis (RTA) proksimal (RTA-2), pemakaian obat inhibitor
enzim anhydrase karbonat, atau pada penyakit ginjal kronik
stadium III-IV.
Adanya retensi ion hidrogen di dalam tubuh. Jaringan tidak
mampu mengupayakan ekskresi ion hidrogen melalui ginjal.
Kondisi ini dijumpai pada penyakit ginjal kronik stadium IV-V,
RTA-1 atau RTA-4.
15
c. Gabungan asidosis metabolik dengan alkalosis repiratorik (partly
compensated metabolic acidosis) → penurunan kadar ion HCO3-
sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan PCO2 > 1.2 mmHg (PCO2
dapat sedikit lebih rendah atau sama atau lebih tinggi dari
normal).
16
Sekresi ion H+ melalui ginjal akan meningkat pada keadaan
hiperaldosteronisme primer, penggunaan diuretic loop dan tiazid,
pasca hiperkapnia, dan hiperkalsemia. Penggunaan diuretic loop dan
tiazid akan meningkatkan kadar aldosterone, sekunder dari
pengurangan volume plasma. Deplesi volume plasma akan
merangsang sistem renin-aldosteron-angiotensin. Semua keadaan ini
akan merangsang peningkatan sekresi ion H+ dan reabsorbsi
bikarbonat dalam tubulus.
Sekresi ion H+ melalui tubulus juga meningkat pada keadaan
asidosis dalam sel akibat masuknya ion H+ ke dalam sel. Keadaan
hypokalemia akan merangsang keluarnya kalsium dalam sel masuk
ke dalam plasma. Untuk menjaga keadaan keseimbangan elektrik,
ion H+ masuk ke dalam sel sehingga terjadi asidosis intrasel.
Asidosis intrasel merangsang sekresi ion H+ meningkat ke lumen
tubulus mengakibatkan peningkatan reabsorbsi ion-bikarbonat.
Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dalam jumlah besar
(misalnnya pemberian diuretic loop dosis tinggi) akan meningkatkan
kadar bikarbonat per liter plasma akibat volume plasma berkurang.
Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan ketoasidosis
diabetik atau asidosis laktat dapat menyebabkan alkalosis metabolik.
Pemberian insulin pada ketoasidosis diabetik atau perbaikan
oksigenasi jaringan pada asidosis laktat dapat dengan cepat
meningkatkan kadar bikarbonat plasma.
Alkalosis metabolik juga ditemukan pada Sindroma Bartter dan
Sindroma Gitelman, suatu keadaan terjadinya mutasi genetik pada
transporter Na-K-Cl di ascending loop-Henle (Bartter) dan tubulus
distal (Gitelman). Keadaan ini menyerupai alkalosis metabolik akibat
diuretic loop atau tiazid.
17
2.6.1.1. Asidosis Respiratorik
Asidosis respiratorik dapat terjadi akibat depresi pusat pernapasan
(akibat obat, anestesi, penyakit neurologi), kelainan atau penyakit
yang memengaruhi otot/dinding dada (polimielitis, miastenia gravis,
sindroma Guillain-Barre, trauma toraks berat), penurunan area
pertukaran gas atau ketidakseimbangan ventilasi perfusi (PPOK,
asma, pneumotoraks, pneumonia, edema paru), dan obstruksi jalan
napas seperti edema laring atau sumbatan benda asing pada saluran
napas atas.
Kandungan CO2 merupakan gambaran hasil akhir keseimbangan
produksi (hasil metabolisme tubuh) dan eliminasi CO2 oleh paru.
Peningkatan PCO2 akibat peningkatan produksi CO2 akan diatasi
oleh tubuh dengan meningkatkan ventilasi. Penurunan ventilasi
alveolar menyebabkan retensi CO2 dan mengakibatkan asidosis
respiratorik.
Gambaran klinis sering berhubungan dengan pengaruhnya pada
sistem saraf. Gejala pertama berupa sakit kepala dan rasa mengantuk.
Jika keadaan memburuk, rasa mengantuk dapat berlanjut menjadi
stupor (penurunan kesadaran) dan koma. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan dilatasi vena retina dan papilledema.
Ensefalopati metabolik yang terjadi dapat bersifat reversibel bila
tidak ada kerusakan otak akibat hipoksia. Keadaan-keadaan tersebut
umumnya terjadi secara bertahap, namun dapat terjadi mendadak
terutama jika disebabkan obat sedative, infeksi paru berat/henti
napas yang terjadi akibat pemberian FiO2 yang tinggi pada penderita
asidosis respiratorik kronik.
Pada asidosis respiratorik akut, pH yang rendah disebabkan oleh
peningkatan PCO2 secara akut. Kadar HCO3- mungkin normal atau
sedikit meningkat. Peningkatan PCO2 secara mendadak dapat diikuti
oleh peningkatan HCO3- plasma sebanyak 3-4 mEq/L sebagai efek
buffer.
18
Pada asidosis respiratorik kronik, ginjal umumnya sudah
beradaptasi sehingga penurunan pH tidak terjadi akibat retensi
HCO3- dan peningkatan HCO3- plasma ± 3-4 mEq/L setiap kenaikan
10 mmHg PCO2.
19
penurunan aliran darah ke hati, dan konstriksi pembuluh darah paru
(pertukaran oksigen terganggu).
Nilai normal
pH : 7.35 – 7.45
20
PCO2 : 35 – 35 mmHg
PO2 : 75 – 100 mmHg
HCO3 : 22 – 26 mEq/L
BE : -2 – +2
21
Alkalosis respiratorik
Akut ↓ PCO2 HCO3- ↓ 2 mEq/L per 10 mmHg ↓ PCO2
Kronik ↓ PCO2 HCO3- ↓ 5-6 mEq/L per 10 mmHg ↓ PCO2
Asidosis respiratorik
Akut ↑ PCO2 HCO3- ↑ 1 mEq/L per 10 mmHg ↑ PCO2
Kronik ↑ PCO2 HCO3- ↑ 4-5 mEq/L per 10 mmHg ↑ PCO2
22
dengan memberikan terapi oksigen. Alkalosis respiratorik yang
disebabkan oleh serangan panik diatasi dengan menenangkan pasien
atau memberikan pernapasan menggunakan sistem air rebreathing.
Overventilasi pada pasien dengan ventilasi mekanik diatasi dengan
mengurangi minute ventilation atau dengan menambahkan dead
space. Alkalosis respiratorik yang disebabkan hipoksemia diterapi
dengan oksigen dan memperbaiki penyebab gangguan pertukaran
gas. Koreksi alkalosis respiratorik dengan menggunakan rebreathing
mask harus berhati-hati untuk menghindari ketidakseimbangan pH
cairan serebrospinal dan pH perifer.
23
untuk mencegah terjadinya gagal napas dan mengurangi kebutuhan
intubasi serta penggunaan ventilator mekanik.
Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik
agar koreksi dapat dilakukan dengan tepat tanpa menimbulkan hal-
hal yang membahayakan pasien.
Prosedur koreksi:
24
kemungkinan malnutrisi, dan mengurangi percepatan
gangguan tulang (osteodistrofi ginjal).
Pada ketoasidosis diabetic atau asidosis laktat tipe A, koreksi
dilakukan bila kadar ion HCO3- dalam darah ≤ 5 mEq/L,
terdapat hyperkalemia berat, setelah koreksi insulin pada
DM, koreksi oksigen pada asidosis laktat, atau pada asidosis
belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar ion HCO3-
10 mEq/L.
Pada asidosis metabolik yang terjadi bersamaan dengan
asidosis respiratorik dan tidak menggunakan ventilator,
koreksi harus dilakukan dengan hati-hati atas pertimbangan
depresi pernapasan.
25
normal dengan pemberian NaCl isotonic. Jika penyebabnya
hipokalemia, lakukan koreksi kalium plasma. Jika penyebabnya
hipokloremia, lakukan koreksi klorida dengan pemberian NaCl
isotonic. Jika penyebabnya karena pemberian bikarbonat berlebihan,
hentikan pemberian bikarbonat.
Pada keadaan fungsi ginjal menurun atau edema akibat gagal
jantung, kor pulmonal atau sirosis hati, koreksi dengan NaCl isotonik
tidak dapat dilakukan karena dapat terjadi retensi natrium disertai
kelebihan cairan (edema bertambah). Pada keadaan ini dapat
diberikan antagonis enzim anhidrase karbonat sehingga reabsorbsi
bikarbonat terhambat. Asetazolamid dosis tunggal 500 mg (dewasa)
sangat efektif dan dianjurkan. Onset of action dicapai dalam waktu
1.5 jam dengan lama kerja berkisar 24 jam. Dosis dapat diulang jika
diperlukan. Jika tidak berhasil, dapat diberikan HCl dalam larutan
isotonik selama 8-24 jam atau larutan ammonium klorida atau
larutan arginine hidroklorida.
Kebutuhan HCl dapat dihitung dengan rumus:
Kelebihan bikarbonat = 0.5 x BB (HCO3 plasma – 24)
26
besarnya masing-masing 1, 0.8, dan 0.7. Ini menunjukkan bahwa pemberian
karbohidrat dalam jumlah besar (diet tinggi karbohidrat) akan meningkatkan
konsumsi O2 dan produksi CO2.
Pada tatalaksana gizi, perlu diperhitungkan jumlah energi total yang sesuai
dengan kebutuhan. Kebutuhan energi total merupakan penjumlahan dari
kebutuhan energi basal, aktivitas fisik, dan faktor stress.
Kebutuhan energi:
27
Komposisi makronutrien yang diberikan adalah karbohidrat 50-
60%, lemak 20-30%, dan protein 15-20% dari kebutuhan energi total,
komposisi ini disebut sebagai “nutrisi seimbang” (balance nutrition).
Pada kasus gangguan keseimbangan asam basa yang lain,
pemberian nutrisi hanya bersifat suportif untuk mencegah bertambah
buruknya penyakit primer, yaitu dengan pemberian energi dan nutrient
dalam jumlah dan komposisi yang sesuai kebutuhan serta cara pemberian
yang sesuai dengan keadaan penderita.
28
BAB III
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
30