Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................2
BAB II MEKANISME HEMOSTASIS.....................................................................................4
2.1. Hemostasis...................................................................................................................4
2.1.1. Vasokonstriksi......................................................................................................4
2.1.2. Pembentukan platelet plug...................................................................................5
2.1.3. Koagulasi..............................................................................................................7
BAB III ANTIPLATELET......................................................................................................10
3.1. Antiplatelet................................................................................................................10
3.1.1. Aspirin................................................................................................................11
3.1.2. Platelet P2Y12 Receptor Antagonist...................................................................15
3.1.2.1. Thienopyridines..............................................................................................15
3.1.2.2. Ticagrelor.......................................................................................................19
3.1.2.3. Cangrelor........................................................................................................20
3.1.3. Thrombin Receptor Antagonist (PAR-1 Antagonist)........................................20
3.1.4. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Antagonist........................................................20
3.1.5. Dipyridamole......................................................................................................21
3.2. Indikasi Antiplatelet..................................................................................................22
BAB IV MANAJEMEN PERIOPERATIF ANTIPLATELET...............................................25
4.1. Manajemen Perioperatif Antiplatelet........................................................................25
4.1.1. Manajemen Aspirin Sebelum Operasi...............................................................27
4.1.2. Manajemmen ADP Receptor Inhibitors Sebelum Operasi.................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29

1
BAB I
PENDAHULUAN

Platelet merupakan faktor penting dalam terjadinya normal hemostasis dan


pembentukan trombus. Oleh karena itu platelet memainkan peran penting dalam patogenesis
penyakit kardiovaskular seperti acute coronary syndromes, deep venous thrombosis dan
trombus dapat memperumit atrial fibrilasi, dilated cardiomyopathy, atau mechanical
prostethic heart valves sehingga modulasi fungsi platelet dan jalur koagulasi sangat penting
dalam terapi penyakit kardiovaskular. (1)
Pembentukan trombus pada hemostasis normal maupun pembentukan bekuan
membutuhkan tiga proses yaitu yang pertama paparan komponen darah yang bersikulasi pada
bahan trombogenik (paparan subendontel kolagen setelah ruptur plak aterosklerotik),
aktivasi dan agregasi platelet, dan memicu kaskade koagulasi pada akhirnya menghasilkan
bekuan fibrin. Hemostasis yang dipengaruhi oleh platelet dan sistem koagulasi saling terkait
dimana platelet yang teraktivasi mempercepat jalur koagulasi dan protein koagulasi tertentu
(thrombin) berkontribusi terhadap agregasi platelet. Beberapa penelitian klinis skala besar
telah membuktikan bahwa penghambatan agregasi platelet mengakibatkan penurunan yang
signifikan dalam mortalitas dan morbiditas kejadian atherothrombotic iskemik, sehingga
terapi antiplatelet menjadi kunci dalam pencegahan dan pengobatan kardiovaskular,
serebrovaskular, dan peripheral arterial disease dimana penyakit kardiovaskular masih
menjadi salah satu masalah kesehatan utama di negara maju maupun berkembang.(1)
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan 17,5 juta orang
di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5 juta kematian di
seluruh dunia. Lebih dari 3/4 kematian akibat penyakit kardiovaskuler terjadi di negara
berkembang yang berpenghasilan rendah sampai sedang. Dari seluruh kematian akibat
penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di antaranya disebabkan oleh Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan oleh stroke. Survei Sample Regristration
System (SRS) pada 2014 di Indonesia juga menunjukan, Penyakit Jantung Koroner (PJK)
menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur setelah stroke, yakni sebesar 12,9%.(2)
Prevalensi penyakit kardiovaskuler yang masih tinggi menjadi tantangan bagi tenaga
medis untuk melakukan intervensi guna menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas
kejadian penyakit kardiovaskuler salah satunya dengan pemberian antiplatelet yang berguna
dalam pencegahan dan penanganan trombosis arteri dikarenakan oklusi trombotik dan

2
tromboemboli pembuluh darah aterosklerotik adalah penyebab utama kejadian iskemik
dimana trombi yang menyumbat arteri koroner kaya akan platelet sehingga agen antiplatelet
telah diteliti secara luas dan dikembangkan sebagai terapi potensial dalam pencegahan dan
manajemen trombosis arteri. Oleh karena itu penulis akan membahas mengenai terapi
pemberian antiplatelet dan manfaatnya dalam bidang kardiovaskuler.(3)

3
BAB II
MEKANISME HEMOSTASIS

2.1. Hemostasis
Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan secara spontan dari pembuluh
darah yang mengalami kerusakan. Hemostasis terdiri dari tiga proses yaitu vaskular
spasme atau vasokontriksi. pembentukan platelet plug, dan pembekuan darah atau
koagulasi yang memperkuat platelet plug dengan fibrin mesh yang bertindak sebagai
lem untuk menyatukan gumpalan. Setelah aliran darah berhenti, perbaikan jaringan
dapat dimulai. (4)
2.1.1. Vasokonstriksi
Sel-sel endotel dari pembuluh darah yang utuh atau tidak mengalami cedera
mencegah pembekuan dengan mengekspresikan molekul heparin fibrinolitik
dan trombomodulin, yang mencegah agregasi platelet dan menghentikan
kaskade koagulasi dengan oksida nitrat dan prostasiklin. Ketika cedera endotel
terjadi, sel-sel endotel menghentikan sekresi koagulasi dan penghambat
agregasi dan sebaliknya mengeluarkan faktor von Willebrand, yang
menyebabkan pengikatan platelet selama pembentukan awal gumpalan.
Vasokonstriksi yang terjadi selama hemostasis adalah penyempitan pembuluh
darah yang dihasilkan dari kontraksi dinding otot polos pembuluh darah,
terutama di arteri besar dan arteriol kecil yang memperlambat aliran darah ke
daerah yang terluka sementara gumpalan terbentuk. vasokonstriksi
berlangsung singkat, hanya berlangsung beberapa menit sementara sumbat
trombosit dan kaskade koagulasi terjadi. vasokonstriksi adalah respons awal
setiap kali ada cedera pembuluh darah. Vasospasme pembuluh darah terjadi
pertama sebagai respons terhadap cedera pembuluh darah. Vasospasme ini,
pada gilirannya, merangsang vasokonstriksi. Vasokonstriksi terutama
dimediasi oleh endotelin-1, vasokonstriktor kuat, yang disintesis oleh
endotelium yang rusak. Endotelium yang rusak menngeluarkan kolagen sub-
endotelial, von Willebrand factor (vWF), melepaskan ATP, dan mediator
inflamasi. vWF disintesis oleh megakaryocytes yang kemudian disimpan
dalam granul trombosit. Weibel-Palade body pada endotelium juga
mensintesis vWF. Dengan kombinasi paparan vWF, kolagen subendotelial,

4
ATP, dan mediator inflamasi (sel mast atau sel NK) akan memberikan pintu
untuk masuk ke fase kedua hemostasis primer yaitu adhesi platelet. (4,5)

Gambar 2.1 Vasokonstriksi

2.1.2. Pembentukan platelet plug


Pembentukan platelet plug terdiri dari tiga proses yaitu adhesi platelet,
aktivasi dan agregrasi. Normalnya, sel-sel endotel yang tidak mengalami
cedera mengeluarkan molekul yang menghambat adhesi dan aktivasi platelet
ketika platelet beredar melalui pembuluh darah. Molekul-molekul ini adalah
nitric oxide, prostacylcine (PGI2) dan endotel ADP-ase.
Namun ketika terjadi cedera/robekan pada lapisan endotel pembuluh
darah maka platelet akan terpapar dengan subendotelial kolagen dan
subendotelial von Willebrand Factor (VWF). Membran platelet kaya akan
reseptor protein G (Gp) yang terletak di dalam fosfolipid bilayer khususnya,
reseptor GP1a dan Gp Ib-IX. Melalui reseptor ini platelet dapat berikatan
dengan vWF dalam endotelium. VWF menyebabkan platelet berubah bentuk
dengan filamen perekat (ekstensi) yang melekat pada kolagen subendotel pada
dinding endothelial. Setelah adhesi/pelekatan platelet, subendotelial kolagen
berikatan dengan reseptor pada platelet dan terjadi aktivasi platelet.
Setelah adhesi ke dinding pembuluh darah, platelet melepaskan isi
granula yang telah terbentuk sebelumnya sebagai respons terhadap agonis
(termasuk kolagen dan trombin) yang berikatan dengan reseptor platelet di
antaranya adalah adenosin difosfat (ADP), serotonin, fibrinogen, faktor
pertumbuhan, dan prokoagulan. Secara bersamaan platelet teraktivasi
mensekresi tromboksan A2 (TXA2) yaitu suatu vasokonstriktor yang kuat.
5
Agonis tertentu, termasuk ADP, trombin dan TXA 2, menstimulasi platelet
untuk berkumpul dan membentuk sumbat hemostatik primer. Selama proses
ini, reseptor membrane platelet gp IIb / IIIa mengalami perubahan konformasi.
perubahan ini memungkinkan reseptor Gp IIb / IIIa yang sebelumnya tidak
aktif untuk mengikat molekul fibrinogen. Proses ini bertujuan untuk
menghubungkan secara erat platelet satu sama lain dan membentuk agregasi
platelet. Namun sumbatan platelet yang terbentuk lemah hanya untuk
sementara waktu melindungi dari perdarahan hingga stabilisasi lebih lanjut
fibrinogen menjadi fibrin melalui platelet yang terjadi pada hemostasis
sekunder.
Aktivasi trombosit diatur sebagian besar dengan melepaskan Ca ++ dari
sistem tubular platelet. Proses ini menghasilkan peningkatan konsentrasi
kalsium sitolik, dengan aktivasi protein kinase dan fosforilasi intraplatelet
regulatory proteins. Sitolik ca++ juga menstimulasi phospolipase A2 (PLA 2),
menyebabkan pelepasan asam arakinoat, prekursor TXA2. Pelepasan dan
penghambatan pengeluaran kalsium dari tubular dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Trombin dan serotonin bekerja pada reseptor spesifik mereka untuk
menstimulasi pembentukan inositol triphosphate (IP3) dari
phosphatidylinositol biphosphate (PIP2) melalui phospholipase C (PLC). IP3
selanjutnya meningkatkan pelepasan kalsium intraseluler. Thromboxane A2
(TXA2) juga memfasilitasi pelepasan kalsium dengan menghambat adenyl
cyclase (AC) dan mengurangi pembentukan cyclic adenosine monophosphate
(cAMP). Normalnya cAMP mencegah terjadinya pelepasan ca++ dari tubular
yang distimulasi oleh prostacyclin. ADP juga menstimulasi penglepasan
kalsium melalui 2 reseptornya yaitu P2Y12 dan P2Y1. P2Y1 menginduksi
perubahan bentuk pseudopod dan membantu agregasi platelet sedangkan
P2Y12 memainkan peran utama dalam mendorong kaskade koagulasi.
Selanjutnya kalsium akan menstimulasi phospholipase A2 (PLA2) yang
menyebabkan pelepasan arachidonic acid, prekursor TXA2. (1,4,5)

6
Gambar 2.2 Mekanisme Hemostasis Primer

Gambar 2.3 Aktivasi Platelet

2.1.3. Koagulasi
Koagulasi adalah proses dimana gumpalan darah terbentuk untuk
mengurangi kehilangan darah setelah kerusakan pembuluh darah. Beberapa
komponen kaskade koagulasi, termasuk komponen seluler (misalnya Platelet)
dan protein (misalnya Fibrin) terlibat dalam perbaikan pembuluh darah.
Hemostasis sekunder mengacu pada kaskade koagulasi, yang menghasilkan
fibrin mesh untuk memperkuat platelet plug. Kaskade koagulasi secara klasik

7
dibagi menjadi tiga jalur: jalur intrinsik, jalur ekstrinsik, dan jalur
umum/common pathway. Jalur Intrinsik dan jalur ekstrinsik akan
mengaktifkan jalur umum/ common pathway. Ion kalsium diperlukan untuk
seluruh proses hemostasis sekunder.
Jalur ekstrinsik meliputi Tissue Factor (TF) dan faktor VII (FVII). Hal
Ini dimulai ketika TF mengikat FVII, mengaktifkan FVII ke faktor VIIa
(FVIIa), membentuk kompleks TF-FVIIa. Kompleks ini, pada gilirannya,
mengaktifkan faktor X (FX). Namun kompleks TF-FVIIa juga dapat
mengaktifkan faktor IX dari jalur intrinsik, yang disebut jalur
alternative/alternate pathway. Setelah Faktor X diaktifkan ke FXa oleh
kompleks TF-FVIIa, kaskade berlanjut ke common pathway.
Jalur intrinsik termasuk faktor Hageman (FXII), faktor XI (FXI),
faktor IX (FIX), dan faktor VIII (FVIII). Proses ini dimulai ketika FXII
melakukan kontak dengan kolagen subendothelial yang terpapar dan
diaktifkan untuk menjadi FXIIa. Selanjutnya, FXIIa mengaktifkan FXI ke
FXIa, dan FXIa mengaktifkan FIX ke FIXa. FIXa bekerja dalam kombinasi
dengan faktor VIII yang teraktivasi (FVIIIa) untuk mengaktifkan faktor X.
Begitu Faktor X diaktifkan oleh kompleks FIXa-FVIIIa, kaskade berlanjut ke
common pathway.
Common pathway dimulai melalui aktivasi Faktor Xa. Faktor Xa
bergabung dengan Faktor Va dan kalsium pada permukaan fosfolipid untuk
menciptakan kompleks prothrombinase yang akhirnya mengaktifkan
prothrombin (Faktor II) menjadi trombin. Trombin kemudian memotong
fibrinogen menjadi fibrin, yang membentuk mesh yang mengikat dan
memperkuat platelet plug, menyelesaikan proses koagulasi dan dengan
demikian hemostasis. Faktor XIII juga teraktivasi oleh thrombin dan akan
membentuk ikatan crosslink kovalen dan menstabilkan sumbat fibrin.
Protein C adalah inhibitor faktor V dan VIII dengan menghancurkan
faktor V dan VIII aktif sehingga mencegah pembentukan thrombin
selanjutnya. Aksi protein C diperkuat oleh protein yang bergantung pada
vitamin K yaitu protein S yang mengikat protein C ke permukaan platelet.
Protein C juga meningkatkan fibrinolysis, protein C dapat diinaktivasi oleh
serum protease inactivator (serpin) seperti antithrombin.

8
Gambar 2.4 Kaskade Koagulasi

9
BAB III
ANTIPLATELET

3.1. Antiplatelet
Platelet merupakan faktor penting dalam terjadinya normal hemostasis dan
pembentukan trombus. Oleh karena itu platelet memainkan peran penting dalam
patogenesis penyakit kardiovaskular seperti acute coronary syndromes, deep venous
thrombosis dan trombus dapat memperumit atrial fibrilasi, dilated cardiomyopathy,
atau mechanical prostethic heart valves sehingga modulasi fungsi platelet dan jalur
koagulasi sangat penting dalam terapi penyakit kardiovaskular. Obat antiplatelet
menghambat fungsi platelet dalam proses aktivasi dan agregasi dan menurunkan
resiko trombosis. Berikut ini beberapa indikasi pengunaan antiplatelet: (1,17)
 Acute coronary syndrome
 Post Percutaneous coronary intervention with stenting
 Mechanical heart valves in combination with warfarin
 Acute Ischemic stroke
 Post percutaneous intervention of peripheral arterial disease
 Device closure such as post ASD closure for at least six months
 Stable angina
 Post-coronary artery bypass grafting surgery
 Essential thrombocytosis
 Primary prevention of coronary artery disease
 Prevention of colon cancer
 Kawasaki disease
 Acute rheumatic disease
 Post PDA device closure for the first six months
 Acute pericarditis
 Atrial fibrillation
 Primary prevention of venous thromboembolism
Beberapa kontraindikasi pengunaan antiplatelet adalah :
 Varises esofagus
 Stroke dalam 2 tahun
10
 Riwayat perdarahan intrakranial
 Trombositopenia
 Major surgery dalam 72 jam
 Hipersentivitas terhadap pengobatan
 Perdarahan akut
 End-stage renal disease on hemodialysis
 Sirosis hati dekompensasi
 Hipertensi berat dengan tekanan darah >200/110

3.1.1. Aspirin
Aspirin (acetylsalicylic acid) memiliki peran penting dalam
pencegahan komplikasi tromboemboli dari penyakit aterosklerotik. Aspirin
mengurangi risiko kejadian vaskular serius pada pasien yang berisiko tinggi
terhadap kejadian semacam itu sekitar seperempat dan direkomendasikan
sebagai obat antiplatelet lini pertama. Aspirin memiliki merk dagang Aspilet,
Aspirin, Bodrexin, Contrxyn, Farmasal, Gramasal, Naspro, Ascardia, Cardio
Aspilet, Miniaspi 80, Procardin, Restro, Thrombo Aspilet. Aspirin merupakan
jenis obat golongan inhibitor prostaglandin H synthase/siklooksigenase-1
(COX-1) yang memegang peranan penting dalam penanganan penyakit
jantung koroner. Siklooksigenase-1 (COX-1) merupakan enzim yang terlibat
dalam sintesis asam arakidonat. Penghambatan COX1 akan menghambat
sintesis tromboksan A2 (TXA2) yang penting dalam aktivasi platelet secara
ireversibel selama masa hidup platelet yaitu 8 – 10 hari. Aspirin menghambat
COX dengan berdifusi ke dalam COX channel di dalam membran ke tempat
katalitik untuk enzim (residu arginin 120, yaitu situs pengikatan umum untuk
semua penghambat COX) dan kemudian mengasetilisasi residu serin (serin
529 COX-1). Hal ni mencegah asam arakidonat untuk mendapatkan akses ke
tempat katalitik enzim. Walaupun siklooksigenase -1 (COX-1) secara efektif
dihambat oleh aksi non selektif aspirin namun ia tidak dapat dihambat oleh
antagonis selektif COX-2 seperti celecoxib. (6,7)
Platelet kekurangan nukleus dan oleh karena itu tidak dapat
mensintesis protein baru (termasuk siklooksigenase), aspirin secara permanen
menonaktifkan produksi TXA2 dalam sel yang terpapar. Prostacyclin (PGI2)

11
merupakan antagonis utama TXA2 yang diproduksi oleh sel-sel endotel yang
berfungsi melindungi mukosa lambung dari asam lambung dimana
pembentukannya juga bergantung pada aktivitas siklooksigenase. Oleh karena
itu pemberian aspirin pada dosis tinggi juga dapat menghambat sintesisnya
sehingga dapat mengakibatkan ulkus gaster. Namun tidak seperti platelet, sel-
sel endotel dapat menghasilkan siklooksigenase baru untuk menggantikan apa
yang telah dinonaktifkan oleh asetilasi. Oleh karena itu ketika digunakan pada
dosis rendah, aspirin secara efektif menghambat sintesis TXA2 platelet tanpa
mengganggu secara signifikan PGI2. Efek antiplatelet dari aspirin terbatas
pada penghambatan pembentukan TXA2 sehingga agregasi platelet yang
diinduksi oleh faktor lain (ADP) tidak terhambat secara signifikan. Oleh
karena itu aspirin bukanlah agen antitrombotik yang "lengkap".(1,6)

Gambar 3.1 Mekanisme kerja aspirin

Manfaat Klinis
Aspirin memiliki banyak manfaat klinis yang terbukti pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan unstable angina, infark
miokard akut, atau riwayat infark miokard, aspirin mengurangi insidensi
kejadian koroner fatal dan nonfatal di masa depan. Demikian pula, pada pasien
dengan chronic stable angina tanpa riwayat infark miokard, aspirin
mengurangi terjadinya infark miokard dan mortalitas. Pada pasien yang
menderita stroke ringan atau transient cerebral ischemic attack, aspirin
mengurangi kejadian stroke di masa depan dan kejadian kardiovaskular. Selain

12
itu, aspirin menurunkan kemungkinan terjadinya oklusi graft pada pasien yang
telah menjalani operasi bypass arteri koroner.
Manfaat aspirin untuk pencegahan primer (pada individu tanpa riwayat
kejadian atau gejala kardiovaskular) kurang jelas. Ketika diuji dalam
kelompok besar pria paruh baya Amerika yang sehat, aspirin dikaitkan dengan
penurunan insiden infark miokard nonfatal tetapi peningkatan kejadian stroke
hemoragik nonfatal dan perdarahan gastrointestinal; tidak ada efek pada
kematian vaskular total. Meta-analisis uji klinis selanjutnya secara bersamaan
menyimpulkan bahwa aspirin efektif untuk pencegahan primer infark miokard
pada pasien dengan faktor risiko koroner, tetapi juga meningkatkan risiko
stroke hemoragik. Dalam penelitian prospektif, percobaan pencegahan primer
yang dikenal sebagai women’s health initiative, aspirin menurunkan risiko
stroke iskemik pada wanita tetapi tidak mengurangi kejadian MI atau kematian
akibat penyakit kardiovaskular. Dengan demikian, aspirin memainkan peran
yang sangat penting pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
diketahui tetapi tidak terbukti bahwa orang sehat harus secara rutin minum
aspirin untuk "perlindungan kardiovaskular".
Aspirin dengan cepat diserap dari saluran pencernaan (GI),
dengan peak effect dicapai dalam 30-40 menit. Ketika diberikan sebagai dosis
oral tunggal, setidaknya 160 mg aspirin diperlukan untuk secara maksimal
menghambat fungsi trombosit dalam waktu 30 menit. Rekomendasi dosis
aspirin saat ini adalah dengan dosis 75 - 325 mg / hari diberikan kepada pasien
dengan manifestasi klinis penyakit koroner tanpa adanya kontraindikasi (alergi
atau komplikasi aspirin). Dosis aspirin 300 mg disarankan harus diberikan
pada ACS atau stroke iskemik akut di mana diperlukan efek anti-trombotik
untuk memungkinkan penghambatan total agregasi trombosit yang bergantung
pada tromboksan. Aspirin tidak boleh diresepkan secara rutin untuk tujuan
pencegahan primer pada individu sehat yang berisiko rendah terkena penyakit
kardiovaskular. Namun untuk individu tanpa kecenderungan terjadinya
perdarahan, banyak ahli merekomendasikan aspirin untuk pria yang berusia
lebih dari 45 tahun yang memiliki faktor risikonya/probabilitas tinggi untuk
terjadi infark miokard pertama di masa depan dan untuk wanita di atas usia 55
tahun yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena stroke. Selain itu
American Diabetes Association merekomendasikan bahwa penderita diabetes
13
dengan setidaknya satu faktor risiko koroner lainnya mengkonsumsi aspirin
untuk perlindungan kardiovaskular. Aspirin tidak bermanfaat seperti warfarin
untuk pencegahan stroke pada pasien berisiko tinggi dengan atrial fibrilasi.(1,8,9)

Gambar 3.2 Dosis Aspirin

Interaksi Obat
Administrasi aspirin bersamaan dengan nonselective reversible COX-1
inhibitors seperti ibuprofen dan naproxen dapat menyebabkan penurunan
efikasi aspirin. Hal ini dikarenakan terjadinya persaingan antara nonselective
reversible COX-1 inhibitors dengan aspirin untuk menempati COX-1 channel
(arginin 120) sehingga dapat mencegah aspirin mengasetilasi residu serin pada
posisi 529. Interaksi seperti ini dapat terjadi pada periode perioperatif ketika
obat-obatan ini sering digunakan bersama namun pemberian bersamaan
aspirin dan inhibitor COX-1 setelah operasi jantung belum diteliti dengan
baik. Mengingat potensi COX inhibitor (khususnya inhibitor COX-2) untuk
memperburuk penyakit jantung iskemik (termasuk setelah operasi jantung),
disarankan bahwa, sampai penelitian lebih lanjut dilakukan, jika
memungkinkan, obat analgesik dengan efek minimal COX (mis.,
Asetaminofen) dipertimbangkan khususnya pada pasien yang telah menjalani
prosedur PCI dengan pemasangan stent.(7)

Efek Samping
Efek samping aspirin yang paling umum terkait dengan sistem
pencernaan termasuk dispepsia dan mual yang sering dapat diperbaiki dengan
menurunkan dosis dan atau menggunakan enteric coated atau buffered tablets.
Namun penggunaan formulasi enteric coated dapat menunda peak effect

14
aspirin (3-4 jam). Efek samping lain paling serius adalah perdarahan
gastrointestinal, stroke hemoragik, reaksi alergi, dan eksaserbasi asma pada
pasien yang sensitif terhadap aspirin. Sebuah meta analisis 31 randomized
controlled trial menunjukkan orang yang menkonsumsi aspirin dengan dosis
lebih dari 100 mg/hari memiliki resiko komplikasi perdarahan kira-kira 3 kali
lebih tinggi dibandingkan orang yang mengkonsumsi aspirin dengan dosis
kurang ddari 100 mg/hari. Resiko perdarahan gastrointestinal dapat diatasi
dengan penggunaan obat-obatan gastroprotektif seperti proton pump inhibitors
(PPIs). Aspirin diekskresikan oleh ginjal dan bersaing dengan asam urat untuk
transporter anion organik tubulus proksimal ginjal sehingga aspirin juga dapat
menyebabkan eksaserbasi gout.(1,9)

3.1.2. Platelet P2Y12 Receptor Antagonist


Selama aktivasi platelet, ADP dilepaskan dan ektraselular ADP
berkontribusi terhadap aktivasi platelet dan meningkatkan terjadinya agregasi
platelet dengan berikatan terhadap dua reseptor. Yang pertama P2Y1 bekerja
melalui phospholipase C untuk meningkatkan intraplatelet Ca++. Yang kedua
purinoceptor P2Y12 berikatan dengan inhibitory G protein dan mengurangi
produksi cAMP sehingga meningkatkan Intraplatelet Ca++ dan terus
meningkatkan aktivasi platelet selanjutnya. ADP menginduksi agregasi
platelet membutuhkan secara simultan mengaktifkan P2Y1 dan P2Y12 reseptor.
Antagonis aktivasi ADP saat ini yang menganggu P2Y12 reseptor secara
ireversibel (misalnya thienopyridines) dan reversible (misalnya ticagrelor). (1)
3.1.2.1. Thienopyridines
Clopidogrel, ticlopidine dan prasugrel merupakan thienopyridines oral
yang telah disetujui untuk penggunaan klinis. Obat-obat ini secara
ireversibel memblokir P2Y12 dengan mengikat reseptor secara kovalen
sehingga ADP tidak dapat berikatan dengan reseptor platelet akibatnya
menghambat agregasi platelet. Semua obat ini dapat diserap dengan
baik dan memiliki bioavailabilitas yang baik. Thienopyridine saat ini
digunakan sebagai pengganti antiplatelet pada pasien yang alergi
terhadap aspirin dan untuk mencegah komplikasi trombotik setelah
pemasangan percutaneous coronary stenting. Kombinasi clopidogrel
plus aspirin juga disetujui untuk pasien dengan unstable angina, Non ST

15
Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) and ST elevation
myocardial infarction (STEMI) untuk mengurangi kejadian kardiak
berulang. Keterbatasan thienopyridine, termasuk clopidogrel,
ticlodipine, dan prasugrel, adalah obat- - obat ini merupakan inhibitor
platelet yang ireversibel. Jika seorang pasien dengan ACS yang diobati
dengan thienopyridine membutuhkan coronary artery bypass surgery
maka perlu menunggu beberapa hari untuk memungkinkan
pengembalian fungsi platelet yang adekuat untuk mencegah komplikasi
perdarahan perioperative. Meta analisis terhadap penggunaan
ticlopidine atau clopidogrel pada pasien yang berisiko mengalami
sindrom koroner telah menunjukkan bahwa obat-obatan ini sedikit lebih
unggul daripada aspirin dalam mengurangi risiko infark miokard, stroke
atau kematian vaskular.(1)
 Clopidogrel
Clopidogrel merupakan generasi kedua golongan P2Y12
thienopyridines. Merk dagang clopidogrel adalah agrelano, artepid,
clidorel, clogin, copidrel, CPG, febogrel, medigrel, pidovix,
pladogrel, Platogrix, plavix, rinclo, simclovix, therodel, vaclo. Pada
kasus penyakit jantung koroner, clopidogrel telah terbukti
memberikan manfaat yang lebih besar dengan efek samping yang
lebih ringan dibandingkan dengan ticlodipine. Sebuah penelitian
yang mengevaluasi kombinasi aspirin plus clopidogrel pada pasien
dengan unstable angina , Non ST Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) and ST elevation myocardial infarction (STEMI) telah
menunjukkan hasil yang lebih signifikan dalam kardiovaskular
dibandingkan dengan aspirin saja walaupun dengan risiko
perdarahan yang meningkat. Secara farmakokinetik, Clopidogrel
adalah inaktif prodrug yang diserap dalam usus dan teroksidasi
menjadi metabolit aktif melalui beberapa enzim CYP450 pada hati.
Enzim CYP2C19 merupakan enzim utama yang bertanggung jawab
dalam metabolisme prodrug clopidogrel menjadi metabolit aktif.
Hasil metabolisme prodrug clopidogrel, hanya 15% dari prodrug
yang menjadi agen aktif dan sisanya sebanyak 85% dihidrolisis
melalui esterase menjadi senyawa tidak aktif yaitu clopidogrel
16
carboxylic acid. Metabolit aktif clopidogrel ini akan berikatan secara
irreversibel dengan reseptor P2Y12 dalam mencegah aktivasi dan
agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP. Penggunaan
clopidogrel sebagai antiplatelet tidaklah ideal, mengingat onsetnya
yang lebih lambat (2 jam pada pemberian 600 mg dan 6-15 jam pada
pemberian 300 mg). Selain itu ikatannya pada reseptor PY12 yang
bersifat irevesibel membuat pasien menunggu 5 -7 hari setelah
mengehentikan obat untuk melakukan operasi seperti CABG untuk
menghindari komplikasi perdarahan. Semua pasien dengan dugaan
ACS, NSTEMI, Unstable angina dosis awal clopidogrel 300 mg
dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari selama setidaknya 9-12 bulan
dan kombinasi dengan aspirin.(6,10)

Gambar 3.3 Mekanisme kerja clopidogrel

Interaksi Obat
Obat-obatan yang berpotensi menyebabkan resistensi clopidogrel
adalah obat-obatan golongan pump proton inhibitor (PPI). Hal ini
dihubungkan dengan metabolisme PPI terutama melibatkan enzim
CYP2C19. Dalam penelitian The Omeprazol Clopidogrel Aspirin
(OCLA), menemukan kombinasi omeperazol dan clopidogrel
menurunkan efektivitas antiplatelet clopidogrel. Studi observasional
besar secara umum menunjukkan bahwa kombinasi PPI dengan
clopidogrel dapat menyebabkan peningkatan risiko kematian atau
kembali terjadinya MI. Obat-obatan yang baru dapat mengatasi
kekurangan ini misalnya prasugrel, thienopyridine lain yang
dimetabolisme menjadi bentuk aktif lebih mudah dibandingkan
clopidogrel dan memiliki efek antiplatelet yang lebih kuat. Jika
dibandingkan dengan clopidogrel, obat ini telah terbukti lebih
mengurangi risiko infark miokard di masa depan pada pasien dengan
ACS yang menjalani percutaneous coronary intervention. Namun
obat ini dapat mengakibatkan peningkatan risiko perdarahan dan

17
komplikasi yang lebih mungkin terjadi pada pasien berusia lanjut,
memiliki penyakit serebrovaskular sebelumnya, dan pasien dengan
berat badan rendah. Akan tetapi mengingat PPI direkomendasikan
untuk pasien yang menerima obat antiplatelet yang mengalami iritasi
lambung atau perdarahan dan sering diberikan secara profilaksis
periode perioperative maka pasien yang menerima kombinasi obat
ini harus dimonitor secara ketat.(7,11)

 Ticlopidine
Ticlopidine merupakan obat generasi pertama dalam golongan
thienopyridine. Ticlopidine sekarang jarang digunakan karena
berpotensi menimbulkan reaksi yang merugikan yang mengancam
jiwa yaitu neutropenia (terjadi pada 0,8% hingga 2,5% pasien) dan
thrombotic thrombocytopenic purpura (pada sekitar 0,02% pasien).
Komplikasi hematologis ini jauh lebih jarang dengan agen lain dari
kelas ini. Oleh karena itu penggunaan ticlopidine pada kasus
penyakit jantung coroner telah digeser oleh klopidogrel. (1)

 Prasugrel
Prasugrel merupakan generasi ketiga thienopyridine yang bersifat
pro drug dan harus dimetabolisme menjadi metabolit aktif untuk
menunjukkan efek antiplateletnya. Ha ini sama seperti klopidogrel
namun hidrolisis dan oksidasi prasugrel menjadi metabolit aktif lebih
cepat dibandingkan dengam klopidogrel karena hanya melibatkan
satu proses yang bergantung pada sitokrom p450 (CYP3A4). Hal ini
menyebabkan peningkatan kadar metabolit aktif 2.2 kali lebih tinggi
daripada klopidogrel sehingga meningkatkan efek klinisnya dan
onset kerja yang lebih cepat. Uji klinis acak telah menetapkan efikasi
prasugrel sebagai obat antitrombotik. Pada PCI, studi menunjukkan
bahwa prasugrel menghasilkan tingkat penghambatan trombosit yang
lebih besar daripada clopidogrel dan dikaitkan dengan lebih sedikit
insiden kejadian penyakit jantung (MI, iskemia berulang). Pemberian
prasugrel dimulai pada dosis 60 mg dilanjutkan dengan 10 mg per
hari. (6,7)

3.1.2.2. Ticagrelor
18
Ticagrelor merupakan obat dari kelas terbaru yaitu
cyclopentyltriazolopyrimnidine yang berbeda jika dibandingkan
dengan pendahulunya seperti clopidogrel atau prasugrel. Ticagrelor
mendapat persetujuan untuk diedarkan oleh Food and Drug
Administration (FDA) pada 20 Juli 2011 di Amerika. Untuk di Eropa
ticagrelor mendapat ijin edar oleh European Medicine Agency pada 3
Desember 2010. di Australia disetujui oleh The Australian Therapeutic
Goods Administration 9 Juni 2011. sedangkan di Indonesia sendiri
ticagrelor baru disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) pada 7 Juni 2012. Ticagrelor diindikasikan untuk mengurangi
kejadian kardiovaskular (kematian atau serangan jantung) akibat
trombosis pada pasien dengan sindrom koroner akut (angina tidak
stabil dan infark miokard, baik NSTEMI atau STEMI). Tidak seperti
thienopyridines, ticagrelor adalah oral reversible P2Y12 receptor
blocker yang memberikan onset kerja yang lebih cepat dan
penghambatan agregasi platelet yang lebih besar daripada clopidogrel.
Selain itu ikatan yang terjadi dengan reseptor P2Y12 oleh ticagrelor
tidak memerlukan aktivasi metabolit dan merupakan ikatan hidrogen
yang lebih lemah dibandingkan dengan ikatan kovalen pada golongan
thienopyridine sehingga mengakibatkan adanya sifat ikatan yang
reversible pada ticagrelor. Ikatan yang reversible ini menyebabkan
ticagrelor mempunyai offset (waktu yang diperlukan oleh obat untuk
menjadi inaktif setelah obat dihentikan) yang lebih cepat daripada
golongan thienopyridin. Waktu paruhnya rendah (8-12 jam) sehingga
membutuhkan dua dosis per hari. Metabolisme ticagrelor terutama
terjadi di hati oleh sitokrom P450 enzim CYP3A4 dan eliminasi
metabolitnya melalui sekresi bilier sehingga pasien dengan gangguan
pada renal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Dosis awal ticagrelor
adalah 180 mg diikuti dengan 90 mg dua kali sehari. Dalam uji klinis
besar, ticagrelor mengurangi tingkat MI dan kematian kardiovaskular
dibandingkan dengan clopidogrel pada pasien dengan sindrom koroner
akut, tanpa perbedaan dalam episode perdarahan besar.(1,6,12)
3.1.2.3. Cangrelor 

19
Cangrelor merupakan inhibitor P2Y12 intravena yang disetujui FDA
pada Juni 2015 dengan efek antiplatelet yang cepat dan kuat. Cangrelor
diindikasikan pada pasien yang akan menjalani PCI yang belum
menerima inhibitor P2Y12 oral atau tidak menginginkan inhibitor
P2Y12 oral untuk mengurangi kejadian trombosis. Jika dibandingkan
dengan inhibitor P2Y12 oral seperti clopidogrel, cangrelor memiliki
keuntungan farmakokinetik lebih yaitu penghambatan agregasi platelet
yang adekuat/ lebih besar dalam beberapa menit setelah pemberian dan
waktu paruh 3 hingga 6 menit dengan pengembalian fungsi platelet
dalam 60 menit setelah penghentian. Dalam sebuah studi kecil
menunjukkan bahwa cangrelor obat antithrombotik yang efektif untuk
pasien dengan ACS, unstable angina, or non Q wave MI. (13)

3.1.3. Thrombin Receptor Antagonist (PAR-1 Antagonist)


Pada tahun 2014, FDA menyetujui penggunaan vorapaxar, sebuah antagonis
dari platelet protease-activated receptor-1 (PAR-1) menghambat trombin yang
menginduksi agregasi platelet. Uji klinis menunjukkan bahwa ketika diberikan
kepada pasien dengan MI sebelumnya atau penyakit pembuluh darah perifer
yang sudah menggunakan terapi antiplatelet standar, vorapaxar mengurangi
risiko MI berikutnya, sroke, kematian kardiovaskular, atau kebutuhan untuk
revaskularisasi koroner yang mendesak. Namun obat ini dikaitkan dengan
peningkatan komplikasi perdarahan, dan tidak boleh diresepkan untuk pasien
dengan risiko tinggi perdarahan intrakranial (misalnya pasien dengan riwayat
stroke, TIA, atau perdarahan intrakranial sebelumnya). (1,14)

3.1.4. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Antagonist


GP IIb/ IIIa receptor antagonist merupakan salah satu kelas agen antiplatelet
yang paling kuat. Kelompok ini secara reversibel menghambat jalur akhir
agregasi platelet yaitu pengikatan reseptor platelet GpIIb / IIIa dengan
fibrinogen dan von willebrand. Hal ini menyebabkan penghambatan platelet
untuk menempel satu sama lain sehingga mengganggu pembentukan sumbat
hemostatik. Terdapat tiga jenis antagonis reseptor Gp IIb / IIIa telah
dikembangkan yaitu (1) antibodi monoklonal (misalnya abciximab); (2)
synthetic peptide antagonist (misalnya eptifibatide) dan (3) synthetic non
20
peptide antagonist (misalnya tirobifan). Antagonis GP IIb / IIIa secara
signifikan meningkatkan hasil bagi pasien yang menjalani PCI dan pada
sindrom koroner akut risiko tinggi. Semua inhibitor reseptor Gp IIb / IIIa yang
digunakan saat ini harus diberikan secara intravena. Inhibitor reseptor Gp IIb /
IIIa oral telah dikembangkan tetapi belum menunjukkan hasil yang
menguntungkan dalam uji klinis. Efek samping utama dari inhibitor reseptor
Gp IIb / IIIa adalah perdarahan (pada 1% hingga 10% pasien) dan
trombositopenia (pada sekitar 2% pasien yang diobati dengan abciximab dan
lebih jarang dengan agen lain). Abciximab memiliki paruh plasma pendek (30
menit). Dengan demikian efeknya dapat dibalik dengan menghentikan obat
atau dengan memberikan transfusi platelet. Antagonis reseptor Gp IIb / IIIa
lainnya memiliki waktu paruh lebih lama sehingga mereka dapat terus
menonaktifkan platelet yang ditransfusikan. Meskipun demikian, komplikasi
perdarahan jarang terjadi. (1,15)

3.1.5. Dipyridamole
Obat antiplatelet dipyridamole jarang diresepkan sendiri. Sebaliknya,
formulasi kapsul yang menggabungkan dipyridamole dengan aspirin dosis
rendah efektif dan disetujui untuk pencegahan stroke pada pasien dengan
simtomatologi serebrovaskular sebelumnya. Guideline baru yang sekarang
menyetujui penggunaan aspirin dan sebagai pilihan yang dapat diterima untuk
pencegahan kejadian serebral iskemik pada pasien dengan noncardioembolic
TIA atau stroke. Dipyridamole juga kadang-kadang diresepkan dalam
kombinasi dengan warfarin untuk efek antitrombotik tambahan pada pasien
dengan tromboemboli berulang dari katup jantung prostetik, tetapi kombinasi
aspirin plus warfarin lebih efektif. Mekanisme aksi antiplatelet Dipyridamole
melibatkan peningkatan kadar cAMP platelet dengan (1) menghambat
destruksi cAMP oleh phospodiesterase dan (2) menghambat penyerapan
seluler dan penghancuran adenosin, sehingga menambah ketersediaan
adenosin untuk merangsang reseptor platelet A2, yang meningkatkan produksi
cAMP via adenyl cyclase. cAMP pada akhirnya mengurangi konsentrasi Ca ++
intraseluler, sehingga menghambat aktivasi platelet. (1,16)

21
Gambar 3.4 Mekanisme kerja Dipydridamole

3.2. Indikasi Antiplatelet


Indikasi antiplatelet monoterapi tercantum dalam tabel berikut: (18)

Indikasi Terapi Lini Pertama Alternatif (Intoleransi


terhadap Lini pertama)
Stable coronary artery Aspirin 75 mg/hari Clopidogrel 75 mg/hari
disease
Post-stroke or Transient Aspirin 75 mg/hari Aspirin 75 mg/hari
Ischaemic Attack (TIA) dengan dipyridamole MR
(tanpa adanya atrial 200 mg 2 x 1
fibrilasi)
Peripheral arterial disease Clopidogrel 75 mg/hari Aspirin 75 mg/hari
(PAD)
Penyakit multivaskular Clopidogrel 75 mg/hari Aspirin 75 mg/hari
(misalnya coronary artery dengan dipyridamole MR
disease and stroke / TIA 200 mg 2 x 1 jika
or PAD) Stroke/TIA sebelumnya
Tabel 3.1 Indikasi antiplatelet monoterapi

Indikasi Dual Antiplatelet Therapy (DAPT)


Dual antiplatelet therapy (DAPT) yang menggabungkan aspirin dan penghambat
reseptor P2Y12 telah secara konsisten terbukti mengurangi kejadian kardiovaskular
merugikan yang berulang pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) atau
menjalani intervensi koroner perkutan (PCI) untuk penyakit arteri koroner yang
stabil (CAD) dibandingkan dengan monoterapi aspirin, tetapi resiko perdarahan
22
lebih meningkat. Hal ini dikarenakan Terapi antiplatelet ganda (DAPT) memberikan
penghambatan trombosit yang lebih kuat daripada antiplatelet monoterapi. (18,19)

Indikasi Terapi Lini Pertama Alternatif (Intoleransi


terhadap Lini pertama)
Acute coronary  Aspirin 75 mg/hari  Aspirin 75 mg/hari
syndrome (ACS) ticagrelor 180mg loading ditambah prasugrel
termasuk dilanjutkan 90 mg 2 x 1 60mg loading dose
 ST elevation MI selama 1 tahun lalu dilanjutkan 10 mg/hari
(STEMI) dilanjutkan: a) Aspirin selama 1 tahun lalu
 Non-ST monotherapy long-term dilanjutkan dengan
elevation MI atau b) Pada pasien aspirin monotherapy
(NSTEMI) beresiko tinggi kejadian long-term atau
(Troponin +ve) atherotrombotik. Aspirin  Aspirin 75 mg/hari
with or without 75 mg/hari ditambah ditambah clopidogrel 75
stent insertion ticagrelor 60mg 2 x 1 mg/hari selama 1 tahun
maksimal 3 tahun dilanjutkan dengan
dilanjutkan aspirin 75mg aspirin monotherapy
monotherapy long-term. longterm
Unstable angina Aspirin 75 mg/hari ditambah Aspirin 75 mg/hari atau
(Troponin -ve) clopidogrel 75 mg/hari clopidogrel 75 mg/hari
selama 1 tahun kemudian sebagai monotherapy
dilanjutkan dengan aspirin longterm
monotherapy longterm
Elective Aspirin 75 mg/hari plus
Percutaneous clopidogrel 75 mg/hari
Coronary selama 1 tahun dilanjutkan
Intervention (PCI) dengan aspirin monotherapy
with drug eluting longterm
stent insertion
Elective Aspirin 75 mg/hari ditambah
percutaneous clopidogrel 75 mg/hari
coronary selama 1 bulan dilanjutkan
intervention (PCI) dengan aspirin monotherapy
with bare metal longterm

23
stenting (BMS) or
drug eluting
balloons
Post-Coronary Aspirin 75 mg/hari ditambah
Artery Bypass clopidogrel 75 mg/hari
Graft (CABG) selama 3 bulan lalu
surgery (if initiated dilanjutkan aspirin
prior to hospital monotherapy long-term
discharge
Tabel 3.2 Indikasi Dual Antiplatelet Therapy

BAB IV
MANAJEMEN PERIOPERATIF ANTIPLATELET

4.1. Manajemen Perioperatif Antiplatelet


Manajemen perioperatif agen antiplatelet sangat kompleks, sehingga tim dokter
perioperatif (dokter anestesi, dokter bedah, dan atau dokter jantung) harus berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan. Beberapa faktor perlu dipertimbangkan sebelum
keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan agen antiplatelet secara perioperatif.
Faktor penting adalah indikasi awal untuk terapi antiplatelet dan, yang paling penting,
konsekuensi dari penghentian obat sebelum operasi yaitu resiko kejadian
kardiovaskular/resiko trombotik seperti pada pasien yang mengalami sindroma koroner
akut dan yang telah menjalani pemasangan stent koroner baik BMS maupun DES.

24
Resiko trombotik dibagi menjadi kategori low risk, intermediate risk dan high risk yang
tercantum dalam tabel 4.1 Penghentian agen antiplatelet termasuk inhibitor GP IIb / IIIa
dikaitkan dengan peningkatan kejadian trombotik karena efek rebound pada aktivasi
platelet. Faktor penting lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah resiko perdarahan
yang terjadi pada prosedur operasi tertentu yang dapat dilihat pada tabel 4.2 sampai tabel
4.4 dan dampak perdarahan pada keseluruhan kondisi pasien. Jika penghentian
antiplatelet diperlukan maka harus disesuaikan dengan interval waktu penghentian
sebelum operasi yang terdapat pada tabel 4.3.(20,21)
Antiplatelet sebaiknya dimulai kembali secepat mungkin dalam waktu kurang lebih
24 jam setelah operasi dengan memastikan bahwa keadaan hemostasis pasien cukup
stabil.(22)

Tabel 4.1 Resiko Trombotik (23)

Tabel 4.2 Resiko Perdarahan Operasi Jantung (23)

Tabel 4.3 Resiko Perdarahan General Surgery (23)

25
Tabel 4.4 Resiko Perdarahan Vascular Surgery (23)

Antiplatelet Waktu Penghentian Sebelum Operasi


(Jika dibutuhkan)
Aspirin 5 hari
Clopidogrel 7 hari
Prasugrel 7 hari
Ticagrelor 5 hari
Ticlopidine 14 hari
Tabel 4.3 Waktu Penghentian Antiplatelet Sebelum Operasi (21)

4.1.1. Manajemen Aspirin Sebelum Operasi


Pada pasien yang menggunakan aspirin untuk atrial fibrilasi atau untuk
pencegahan primer MI dan stroke, obat dapat dihentikan 7-10 hari sebelum
operasi yaitu ketika platelet telah mencapai 90% fungsi normalnya. Pada
pasien yang menggunakan aspirin untuk pencegahan sekunder, penghentian
dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi kardiovaskular [rasio odds
(OR) = 3,1], memuncak pada 8-10 hari untuk trombosis koroner dan 14 hari
untuk kejadian serebrovaskular. Untuk pasien yang telah menjalani PCI
dengan stenting, kemungkinan stent trombosis jauh lebih tinggi (OR = 90)
ketika aspirin dihentikan. Oleh karena itu, pedoman ACCP (American College
of Chest Physicians) 2012 tentang Manajemen Terapi Antitrombotik
Perioperatif merekomendasikan melanjutkan aspirin pada periode perioperatif
untuk pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi dan prosedur operasi
melibatkan perdarahan berisiko tinggi (intracranial and medullary canal
surgery, posterior chamber of the eye surgery, and transurethral prostate
resection). (20,22)

26
4.1.2. Manajemmen ADP Receptor Inhibitors Sebelum Operasi
Seperti halnya aspirin, ketika inhibitor reseptor ADP direkomendasikan
untuk pengobatan AF atau pencegahan primer kejadian jantung atau
serebrovaskular, agen ini dapat dihentikan sebelum operasi tanpa konsekuensi
besar. (20)

Gambar 4.1 Algoritma manajemen antiplatelet perioperative

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Lilly L. Pathophysiology of heart disease. 6th ed. wolters kluwer; 2016.


2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. Depkes.go.id. 2019 [cited 8
July 2019]. Available from:
http://www.depkes.go.id/article/view/17073100005/penyakit-jantung-penyebab-
kematian-tertinggi-kemenkes-ingatkan-cerdik-.html
3. Behan M. Antiplatelet therapy in cardiovascular disease. 2019.
4. Hemostasis | Boundless Anatomy and Physiology [Internet].
Courses.lumenlearning.com. 2019. Available from:
https://courses.lumenlearning.com/boundless-ap/chapter/hemostasis/
5. Garmo C, Burns B. Physiology, Clotting Mechanism. StatPearls Publishing LLC.;
2019.
6. Alwi I, Simadibrata K M, Setiati S. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
7. Hall R, Mazer C. Antiplatelet Drugs. Anesthesia & Analgesia. 2011;112(2):292-318.
8. J Hankey G, W Eikelboom J. Antiplatelet drugs. The Medical Journal Of Australia.
2003;178(11).
9. Wong D. The Role of Anti Platelet Agents. BPJ. 2009;(19).
10. Papich M. Saunders Handbook of Veterinary Drugs. 4th ed. North Carolina: Elsevier;
2016.
11. Jiang X, Samant S, Lesko L, Schmidt S. Clinical Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics of Clopidogrel. Clinical Pharmacokinetics. 2015;54(2):147-166.
12. TICAGRELOR: ANTAGONIS P2Y12. Medikamen. 2013;20.
13. Erlinge D. Cangrelor for ST-Segment–Elevation Myocardial Infarction. Circulation.
2019;139(14):1671-1673.

28
14. Vorapaxar: The Drug and its Applications - American College of Cardiology
[Internet]. American College of Cardiology. 2019 [cited 17 July 2019]. Available
from: https://www.acc.org/latest-in-cardiology/articles/2016/05/18/13/58/vorapaxar
15. Lippi G, Montagnana M, J E. Glycoprotein IIb/IIIa inhibitors: an update on the
mechanism of action and use of functional testing methods to assess antiplatelet
efficacy. Biomarkers Med. 2011;1(63- 70).
16. Kim H, Liao J. Translational Therapeutics of Dipyridamole. Arteriosclerosis,
Thrombosis, and Vascular Biology. 2008;28(3).
17. Muhammad Iqbal; A. Antiplatelet Medications. StatPearls Publishing LLC.; 2019.
18. [Internet]. Lambethccg.nhs.uk. 2019. Available from:
http://www.lambethccg.nhs.uk/news-and-publications/meeting-papers/south-east-
london-area-prescribing-committee/Documents/Cardiovascular%20Disease
%20Guidelines/ANTIPLATELETS%20Summary%20of%20Options%20in%20CV
%20Disease%20August%202017.pdf
19. Degrauwe S, Pilgrim T, Aminian A, Noble S, Meier P, Iglesias J. Dual antiplatelet
therapy for secondary prevention of coronary artery disease. 2019.
20. Oprea A, Popescu W. Perioperative management of antiplatelet therapy. British
Journal of Anaesthesia. 2013;111:i3-i17.
21. [Internet]. Cec.health.nsw.gov.au. 2019. Available from:
http://www.cec.health.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/458988/Guidelines-on-
perioperative-management-of-anticoagulant-and-antiplatelet-agents.pdf
22. Arindanie A. Perioperative Antithrombotic Management. Indonesian Journal of
Cardiology. 2017;38(3):85-94.
23. Rossini R, Musumeci G, Visconti L. Perioperative management of antiplatelet therapy
in patients with coronary stents undergoing cardiac and non-cardiac surgery: a
consensus document from Italian cardiological, surgical and anaesthesiological
societies. EuroIntervention. 2014;10(1):38-46.

29

Anda mungkin juga menyukai