Anda di halaman 1dari 26

Referat

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

Oleh :

Afida Razuna Ave 1310311014

Fania Putri Indra 1310311018

Fahjri Saputra 1310311063

Farah Mutiara 1310311021

Preseptor:

dr. Yose Ramda Ilhami, Sp.JP

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

2017

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil’aalamiin, puji dan syukur ke hadirat Allah SWT

penulis ucapkan atas limpahan ilmu, akal, pikiran, dan waktu, sehingga penulis

dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit

Jantung Hipertensi”. Referat ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan

tahap Kepaniteraan Klinik Kardiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

dan/atau Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yose Ramda Ilhami, Sp. JP

selaku preseptor yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah ini.

Tentunya penulisan referat ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,

dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini

bermanfaat bagi semua pihak.

Padang, 20 September 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Masalah 2
1.3 Batasan 3
1.4 Metode 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 4
2.2 Penentuan Risiko Kardiovaskuler 4
2.3 Diagnosis 6
2.4 Tatalaksana Hipertensi 8
2.5 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner 9
2.5.1 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner : APS 9
2.5.2 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner : UAP dan NSTEMI 12
2.5.3 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner : STEMI 14
2.6 Hipertensi dan Gagal Jantung 16
2.7 Hipertensi dan Atrial Fibrilasi 18
2.8 Hipertensi dan Hipertrofi Ventrikel Kiri 19
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan 20
DAFTAR PUSTAKA 22

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2 Algoritma Tatalaksan Hipertensi 8


Gambar 2.3 Rekomendasi Pada Penyakit Jantung Non Koroner
19

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemilihan Vasodilator 17

v
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Pada

tekanan darah yang lebih tinggi menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke,

aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal dan risiko itu akan

semakin meningkat seiring dengan bertambahnya faktor resiko yang lain.1

Hipertensi mempengaruhi sekitar 75 juta orang dewasa di Amerika Serikat

dan merupakan faktor risiko utama untuk stroke, infark miokard, penyakit

pembuluh darah, dan penyakit ginjal kronis. Menurut data analisis dari Nationwide

Emergency Department Sample, dari tahun 2006 sampai 2011, didapatkan adanya

peningkatan sebesar 25% dari jumlah kunjungan pasien hipertensi essensial yang

datang ke unit gawat darurat. Dimana jumlah kunjungan pada tahun 2006 sebesar

190 kunjungan per 100.000 populasi dan meningkat menjadi 238,5 kunjungan per

100.000 populasi di tahun 2011.2

Tiga penyebab utama gagal jantung adalah penyakit jantung hipertensi

(HHD), penyakit jantung iskemik yang terkait dengan infark miokard sebelumnya,

dan dilatasi kardiomiopati idiopatik. Karena prevalensi hipertensi meningkat secara

global, gagal jantung sekunder akibat HHD akan menjadi penyebab paling umum

pada gagal jantung.3

Gagal jantung secara klinis ditentukan oleh tanda-tandanya seperti edema

perifer, peningkatan ukuran jantung, dan suara jantung ketiga dan gejalanya seperti

sesak napas, kelelahan, ortopnea, dan dyspnea nokturnal paroksismal. Pasien

1
dengan gagal jantung sekunder akibat HHD didahului dengan gejala gagal jantung

diastolik (khususnya sesak napas dengan tenaga kerja) namun sering terjadi pada

gagal jantung diastolik dan sistolik gabungan. Perbedaan utama antara HHD dan

penyebab gagal jantung lainnya dapat ditunjukkan dengan remodeling geometris

LV yang terjadi. Pasien dengan HHD biasanya terdapat Left Ventricular

Hypertrophy (LVH) namun memiliki ruang LV berukuran normal dan fungsi

sistolik yang masih baik (fraksi ejeksi lebih besar dari 50%). Sebaliknya, pasien

dengan gagal jantung sekunder akibat iskemia atau kardiomiopati idiopatik

biasanya memiliki pembesaran, pembengkakan ruang LV dan lebih sering juga

memiliki pembesaran RV.3

Disfungsi ventrikel kiri yang dihasilkan, iskemia, dan aritmia semuanya

berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan biaya perawatan

kesehatan yang berkaitan dengan HHD. Pengendalian tekanan darah secara efektif

mengurangi komplikasi HHD. Selain itu, studi epidemiologi baru-baru ini terus

mengubah tingkat BP yang dapat diterima dari populasi yang biasa dengan populasi

yang optimal untuk mencegah komplikasi terkait HHD.4

1.2 Tujuan penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang

definisi, klasifikasi, faktor risiko, patogenesis, diagnosis, dan tatalaksana penyakit

jantung hipertensi.

2
1.3 Batasan Masalah

Masalah yang dibahas pada makalah ini dibatasi pada definisi, klasifikasi,

faktor risiko, patogenesis, diagnosis, dan tatalaksana penyakit jantung hipertensi.

1.4 Metode Penulisan

Metoda yang dipakai pada referat ini adalah tinjauan pustaka yang merujuk

kepada beberapa literatur.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan akumulasi dari

adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah. Pembesaran

ventrikel kiri, kekakuan vaskular dan ventrikel, dan disfungsi diastolik adalah

manifestasi yang akan menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat berlanjut

menjadi gagal jantung apabila tidak di tatatlaksana dengan baik (Izzo, Gradman,

2004)

2.2 Patofisiologi Penyakit Jantung Hipertensi

Interaksi yang kompleks dari faktor hemodinamik, struktural, neuroendokrin,

selular, dan molekuler. Faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi dan

komplikasi, sementara peningkatan tekanan darah juga mempengaruhi faktor-

faktor tersebut. Peningkatan tekanan darah akan menyebabkan perubahan struktur

dan fungsi jantung dengan 2 jalur, yaitu secara langsung melalui peningkatan

afterload dan secara tidak langsung melalui interaksi neurohormonal dan vaskular

(Riaz K, 2003)

Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan

darah tinggi ditambah dengan faktor hormonal yang ditandai oleh penebalan

konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai

terganggu akibat gagguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi

ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem renin-

angiotensin-aktivator memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan

4
volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan akhirnya akan terjadi

gangguan kontraksi miokard. (PAPDI, 2006)

Iskemia mioakard dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses

aterosklerosis dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat hipertrofi

ventrikel kiri. Iskemia miokard, hipertrofi ventrikel kiri, dan gangguan fungsi

endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi. (PAPDI, 2006)

2.2.1 Hipertrofi Ventrikel Kiri

15-20% pasien dengan hipertensi akan mengalami pembesaran venrikel

kiri. Risiko pembesaran ventrikel kiri akan meningkatan dua kali lipat dengan

adanya obesitas. Prevalensi pembesaran ventrikel kiri berdasarkan

elektrokardiogram (EKG) tidak terlalu sensitif dan bervariasi. Penelitian

menunjukkan hubungan antara tingkat dan durasi hipertensi dengan hipertrofi

ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri berperan sebagai respon terhadap

peningkatan tekanan dinding jantung untuk mempertahankan curah jantung yang

adekuat, namun hak ini dapat menyebabkan disfungsi sistolik dan diastolik. (Riaz

K,2009)

Terdapat beberapa macam hipertrofi ventrikel kiri, yaitu remodelling

konsentris, hipertrofi ventrikel kiri konsentris, dan hipertrofi ventrikel kiri

eksentris. Hipertrofi ventrikel kiri konsentris adalah peningkatan ketebalan dan

massa ventrikel kiri dengan peningkatan tekanan dan volume diastolik, umumnya

ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Dibandingkan dengan hipertrofi

ventrikel kiri eksentris, dimana peningkatan ketebalan ventrikel kiri terjadi tidak

secara merata, hanya di tempat tertentu. (Riaz K, 2009)

5
2.2.2 Penyakit Katup

Hipertensi dapat menyebabkan dilatasi aorta yang menimbulkan

regurgitasi aorta. Peningkatan tekanan darah yang akut dapat memperparah

keadaan regurgitasi aorta, dimana akan membaik jika tekanan darah terkontrol.

Selain menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi akan mempercepat proses

sklerosis aorta dan regurgitasi mitral. (Riaz K, 2009)

2.2.3 Gagal Jantung

Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada

peningkatan tekanan darah yang menahun. Hipertensi sebagai penyebab gagal

jantung kongestif seringkali tidak terdeteksi, karena saat proses gagal jantung

terjadi, disfungsi ventrikel kiri tidak menyebabkan peningkatan tekanan darah.

Disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien dengan hipertensi, dan sering disertai

dengan pembesaran ventrikel kiri. Faktor faktor yang menyebabkan disfungsi

diastolik disamping adanya peningkatan afterload adalah interaksi antara penyakit

jantung koroner, usia, disfungsi sistolik, dan kelaianan struktural, misalnya fibrosis

dan hipertrofi ventrikel kiri. (Riaz K, 2009)

2.3 Diagnosis

2.3.1 Gejala klinis

Pada tahap awal, pasien tidak mengalami keluhan. Apabila

simtomatik maka umumnya ditemukan:

 Peningkatan tekanan darah: berdebar-debar, rasa melayang

 Mudah lelah, sesak napas, sakit dada (akibat SKA atau diseksi

aorta), bengkak kedua kaki atau abdomen. Gangguan vaskular

6
seperti epistaksis, hematuria, pandangan kabur akibat

perdarahan di retina, transient ischemic attack.

2.3.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik jantung untuk mecari apakah terdapat pembesaran

jantung kiri, auskultasi untuk mengetahui apakah ada murmur yang

menjadi indikasi adanya kelainan katup. Bunyi S4 (gallop atrial atau

sistolik) dapat ditemukan akibat dari peningkatan tekanan atrium kiri.

2.4 Tatalaksana Hipertensi


Pada prinsipnya, tatalaksana hipertensi mengacu pada algoritma Joint National
Committee (JNC) ke-8.9

Gambar 2.4 Algoritma tatalaksana hipertemsi. (JNC8, 2014)

a. Non farmakologis
Pasien disarankan untuk menjalani pola hidup yang sehat. Menjalani pola
hidup yang sehat terbukti dapat menurunkan tekanan darah. Strategi pola
hidup sehat adalah tatalaksana tahap awal yang harus dijalani, sekurang-

7
kurang nya selama 4-6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak
ditemukan penurunan tekanan darah seperti yang diharapkan maka
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi.10
Beberapa contoh pola hidup sehat:
 Mengurangi asupan garam
Diet rendah garam ini bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat 2. Dianjurkan asupan
garam pasien dalam sehari tidak lebih dari 2 gram.
 Olah raga
Olahraga teratur selama 30-60 menit dalam sehari, minimal 3 hari
dalam seminggu dapat menolong menurunkan tekanan darah.
 Mengurangi konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup di Indonesia, namun
seiring dengan semakin berkembangnya pergaulan dan gaya hidup,
angka konsumsi alkohol semakin meningkat. Konsumsi alkohol
lebih dari 2 gelas/hari pada pria atau lebih dari 1 gelas/hari pada
wanita dapat meningkatkan tekanan darah.
 Berhenti merokok

b. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi


derajat 1 yang tidak mengalami penutunan tekanan darah setelah lebih dari 6 bulan
menjalani pola hidup sehat dan pada pasien hipertensi derajat >2 .10

Prinsip dasar terapi farmakologi agar meminimalisasi efek samping yaitu :

1. Bila memungkinkan gunakan obat dosis tunggal


2. Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3. Saat memberikan obat pada pasien lansia , perhatikan faktor komorbid
4. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-1) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs).
5. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur

8
2.5 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner 2,7

2.5.1 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner : APS

Penatalaksanaan hipertensi pada pasien dengan angina pektoris stabil (APS)

berupa pencegahan peningkatan mortalitas , infark miokard, stroke. Perubahan gaya

hidup terutama pada pola diet, intake sodium, alcohol, olahraga teratur, penurunan

berat badan, kontrol glikemik dan lipid. Manajemen farmakologi ditargetkan pada

130/80.

Beta bloker merupakan pilihan pertama dari terapi hipertensi pada PJK.

Beta bloker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada

pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya

gejala angina. Obat ini akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek

utamanya sebagai inotropik dan kronotropik negatif. Dengan menurunnya

frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner

akan memanjang. Beta bloker juga menghambat pelepasan renin dari apparatus

jukstaglomerular ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung.

Kardioselektif (β1) lebih banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas

simpatomimetik intrinsik. Kontraindikasi relatif penggunaan agen ini berupa

disfungsi sinus atau nodus AV, hipotensi, gagal jantung dekomepensasi, dan

penyakit paru bronkospastik.

CCB dapat dikombinasikan atau mensubtitusi betabloker pada kondisi

tekanan darah yang tetap tinggi, angina yang perisisten, ataupun bila ada

kontraindikasi pada betabloker. CCB bekerja dengan mengurangi kebutuhan

oksigen miokard dengan menurunkan resistensi vaskular perifer ,menurunkan

tekanan darah, dan meningkatkan suplai oksigen dengan vasodilatasi koroner.

9
Agen non-DHP (diltiazem dan verapamil) juga engurangi laju nodus sinus dan

memeperlambat konduksi nodal atrioventrikular. DHP lebih direkomendasikan

dikombinasikan dengan adrenosreseptor bloker dibandingkan dari non-DHP untuk

mencegah bradikardia berlebihan dan blok jantung. Diltiazem dan verapamil juga

tidak boleh digunakan pada kondisi telah terjadi gagal jantung dann disfungsi

sistolik LV. Penggunaan nifedipine short acting juga perlu dihindari karena dapat

mengaktivasi refelsk simpatis dan memperberat iskemia miokard. Walaupun CCB

bermanfaat dalam tatalaksana angina, namun belum ada konsensus yang jelas

mengenai perannya dalam pencegahan cardiovascular events PJK.

Berdasarkan pedoman American Heart Association, penggunaan ACE-I

pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai diabetes mellitus dengan atau

tanpa gangguan fungsi sistolik LV merupakan pilihan utama (Klas I, Evidence A).

Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada pasien jantung koroner

dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian kardiovaskular.

Berdasarkan studi usia 65-84 tahun skala besar ALLHAT dan ANBP-2,

penggunaan ACE-I lebih memberikan hasil yang lebih baik daripada agen diuretik

walaupun hasil tidak ada perbedaan dari hasil penurunan tekanan darah. ARBs

dindikasikan saat hospitalisasi dan saat keluar dari rumah sakit untuk pasien STEMI

yang intoleran pada ACE-I dan gagal jantung (klas I). Berdasarkan VALUE trial,

tidak ada perbedaan mortalitas dan morbiditas antara ARBs(valsartan) dengan

ACE-I (amlodipin), walaupun efek penurunan tensi darah lebih besar pada

amlodipin.

Rekomendasi berupa :

10
- Hipertensi dengan APS harus diberikan obat-obatan (klas I evidence

A) :

a. Beta bloker, pada pasien dengan riwayat infark miokard

b. ACE-I / ARBs, bila terdapat disfungsi ventrikel kiri dan atau

diabetes mellitus

c. Dan diuretik golongan tiazid bila diperlukan

- Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi terhadap pemberian beta

bloker, maka dapat diberikan CCB golongan non-DHP ( verapamil atau

diltiazem ), tetapi tidak dianjurkan bila terdapat disfungsi LV (klas IIb,

evidence B).

- Bila angina atau hipertensi tetap tidak terkontrol, CCB kerja panjang

golongan DHP dapat ditambahkan pada obat-obat dasar yaitu beta

bloker, ACE-I / ARBs dan diuretik tiazid. Pemberian kombinasi

betabloker dengan CCB non dihidropiridin, harus dilakukan secara

berhati-hati pada pasien penyakit jantung koroner simptomatik dengan

hipertensi, karena dapat menimbulkan gagal jantung dan bradikardi

yang signifikan (klas IIa, evidence B).

- Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat

disfungsi ventrikel, perlu adanya perhatian menurunkannya hingga <

130/ 80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, tekanan

darah harus diturunkan secara perlahan, dan berhati-hati bila terjadi

penurunan tekanan darah diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat

pada perburukan iskemia miokard (klas IIa, evidence B).

11
- Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet,

antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana angina dan

pencegahan kejadian kardiovaskular, kecuali pada krisis hipertensi,

karena dapat menyebabkan stroke perdarahan (klas IIa, evidence C).

2.5.2 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner : UAP dan NSTEMI

Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut

adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah

inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah

dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus dihindari penurunan

tekanan darah yang terlalu cepat terutama tekanan diastolik, karena hal ini dapat

mengakibatkan penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai oksigen,

sehingga akan memperberat keadaan iskemia. Tatalaksana awal meliputi tirah

baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen, nitrogliserin dan bila angina terus

berlanjut dengan pemdapat diberikan morfin. Pasien juga perlu dipantau ketat pada

coronary care unit sesuai dengan risiko pasien.

Nitrogliserin i.v efektif untuk menurunkan tekanan darah. Pasien perlu

dipantau dengan ketat untuk mencegah terjadinya adverse effect seperti hipotensi

yang dapat mengeksaserbasi iskemia. Selanjutnya, dosis nitrat perlu diturunkan

pada rute i.v dan dapat digunakan dosis intermiten dengan rute non-i.v saat pasien

sudah stabil dari keadaan iskemiknya

12
Rekomendasi berupa :

1. Pada pasien angina pectoris tidak stabil atau NSTEMI, terapi awal untuk

hipertensi setelah nitrat adalah beta bloker, terutama golongan

kardioselektif yang tidak memiliki efek simpatomimetik intrinsik (klas IIa,

evidence B). Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, pemberian

beta bloker dapat ditunda sampai kondisi stabil. Pada pasien dengan kondisi

gagal jantung, diuretik merupakan terapi awal hipertensi(klas I, evidence

A).

2. Bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi pemberian beta bloker, maka

dapat diberikan CCB golongan nondihidropiridin (verapamil, diltiazem),

tetapi tidak dianjurkan pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri.

Bila tekanan darah atau angina belum terkontrol dengan pemberian beta

bloker, maka dapat ditambahkan CCB golongan dihidropiridin kerja

panjang. Diuretik tiazid juga dapat ditambahkan untuk mengontrol tekanan

darah (klas I, evidence B).

3. Pada pasien dengan hemodinamik yang stabil, dengan riwayat infark

sebelumnya hipertensi yang belum terkontrol gangguan fungsi ventrikrel

kiri atau gagal jantung diabetes mellitus maka harus diberikan ACE-I (klas

I, evidence A) atau ARB (klas I, evidence B).

4. Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila terdapat

disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya hingga

< 130/ 80 mmHg. Pasien PJK, tekanan darah harus diturunkan secara

perlahan, dan harus berhati-hati bila terjadi penurunan tekanan darah

13
diastolik < 60 mmHg, karena akan berakibat pada perburukan iskemia

miokard (klas IIa, evidence B).

5. Tidak ada kontraindikasi khusus penggunaan antiplatelet, antikoagulan,

obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner akut.

Begitupula dengan pasien dengan hipertensi tidak terkontrol, menggunakan

antiplatelet atau antikoagulan, tekanan darah harus diturunkan untuk

mencegah perdarahan (klas IIa, evidence C).

2.5.3 Hipertensi dan Penyakit Jantung Koroner : STEMI

Rekomendasi dari American Heart Association berupa :

1. Prinsip utama tatalaksana hipertensi adalah seperti pada pasien dengan UAP

/ NSTEMI, dengan ada beberapa pengecualian. Terapi awal hipertensi pada

pasien dengan hemodinamik stabil adalah beta bloker kardioselektif, setelah

pemberian nitrat (klas IIa, evidence B). Tetapi, bila pasien mengalami gagal

jantung atau hemodinamik yang tidak stabil, maka pemberian beta bloker

(klas I, evidence A) harus ditunda, sampai kondisi pasien menjadi stabil.

Dalam kondisi ini, maka diuretik dapat diberikan untuk tatalaksana gagal

jantung atau hipertensi (klas I, evidence A).

2. ACE-I (klas I, evidence A) atau ARB (klas I, evidence B) harus diberikan

pada sedini mungkin pada pasien STEMI dengan hipertensi, terutama pada

infark anterior, terdapat disfungsi venrikel kiri, gagal jantung atau diabetes

mellitus. ACE-I telah terbukti sangat menguntungkan pada pasien dengan

infark luas, atau riwayat infark sebelumnya, gagal jantung dan takikardia.

ACE-I dan ARB tidak boleh diberikan secara bersamaan, karena akan

meningkatkan kejadian efek samping.

14
3. Aldosterone antagonist dapat diberikan pada pasien dengan STEMI dengan

disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung; dan dapat memberikan efek

tambahan penurunan tekanan darah. Nilai kalium darah harus dimonitor

dengan ketat. Pemberian obat ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan

kadar kreatinin dan kalium darah yang tinggi ( kreatinin ≥ 2 mg/dL, atau K

≥ 5 mEq/dL) (klas I, evidence A).

4. CCB tidak menurunkan angka mortalitas pada STEMI akut dan dapat

meningkatkan mortalitas pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel

kiri dan atau edema paru. CCB golongan dihidropriridin kerjapanjang

dapat diberikan pada pasien yang intoleran terhadap beta bloker, angina

yang persisten dengan beta bloker yang ptimal atau sebagai terapi

tambahan untuk mengontrol tekanan darah. CCB golongan

nondihidropiridin dapat diberikan untuk terapi pada pasien dengan

takikardia supraventrikular tetapi sebaiknya tidak diberikan pada pasien

dengan aritmia bradikardia atau gangguan fungsi ventrikel kiri (klas IIa,

evidence B).

5. Seperti juga pada pasien dengan dengan Angina pectoris tidak stabil/

NSTEMI, Target penurunan tekanan darah adalah < 140/ 90 mmHg. Bila

terdapat disfungsi ventrikel, perlu adanya pemikiran untuk menurunkannya

hingga < 130/ 80 mmHg. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner,

tekanan darah harus diturunkan secara perlahan, dan harus berhati-hati bila

terjadi penurunan tekanan darah diastolik < 60 mmHg, karena berakibat

pada perburukan iskemia miokard (klas IIa, evidence B).

15
6. Tidak ada kontraindikasi khusus terhadap penggunaan antiplatelet,

antikoagulan, obat anti lipid atau nitrat pada tatalaksana sindroma koroner

akut. Begitupula dengan pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol,

yang menggunakan antiplatelet atau antikoagulan, tekanan darah harus

diturunkan untuk mencegah perdarahan (klas IIa, evidence C).

2.6 Hipertensi dan Gagal Jantung

Penggunaan obat hipertensi seperti diuretik, beta bloker, ACE-I (atau ARB)

dan MRA. memiliki keuntungan dalam mencegah gagal jantung dan prolonged life

(klas I). Pemberian beta bloker, ACE-I, ARB dan MRA (mineralocaoticoid

receptor antagonist), dimana pemberian obat-obat ini lebih ditujukan untuk

memperbaiki stimulasi simpatis dan RAAS yang berlebihan terhadap jantung,

daripada penurunan tekanan darah. Diuretik thiazide, amlodipin, dan hidralazid

direkomendasikan untuk diberikan bila tekanan darah persisten walau sudah

diberikan kombinasi obat antihipertensi sebelumnya (klas I). Penggunaan inotropik

negatif CCB (diltiazem dan verapamil) dan alfa adrenoseptor bloker tidak boleh

diberikan untuk mengobati hipertensi pada pasien HFrEF (heart failure- reduced

ejection fraction) karena menekan fungsi dari jantung, dan dipercaya aman pada

HFpEF (heart failure- preserved ejection fraction) (klas III). Moksonidin juga perlu

dihindari pada pasien HFrEF yang terbukti meningkatkan mortalitas. Hipertensi

pada keadaan gagal jantung akut diperlukan tatalaksana penurunan tekanan darah

yang agresif ( rentang 25% dalam beberapa jam pertama) yaitu dengan memberikan

i.v vasodilator kombinasi dengan diuretik loop seperti iv nitrat (sodium

nitroprusside) yang juga bertujuan untuk mempercepat perbaikan dan mencegah

16
kongesti cairan (klas IIa) Vasodilator memberikan efek berupa penuruna tonus

venus (optimalisasi preload) dan tonus arterial dengan penurunan afterload. Hal ini

mengakibatkan sangat bermanfaat pada pasien gagal jantung dengan hipertensi.

Namun hal ini harus dipantau secara ketat dan tidak disarankan penurunan tekanan
1,2,6
darah terlalu banyak.

Tabel 2.3 Pemilihan Vasodilator

Vasodilator Dosis Efek Samping

Nitrogliserin Mulai dengan 10–20 μg/min, naikkan sampai Hipotensi, sakit kepala
200 μg/min

ISDN Mulai dengan 1 mg/h, naikkan sampai 10 mg/h Hipotensi, sakit kepala

Nitroprusside Mulai dengan 0.3 μg/kg/min naikkan sampai to Hipotensi, toksisitas


5 μg/kg/min isosinat

Nesiritide Bolus 2 μg/kg + infus 0.01 μg/kg/min Hipotensi

2.7 Hipertensi dan Atrial Fibrilasi

Sebagian besar pasien hipertensi dengan fibrilasi atrial, ternyata memiliki

laju ventrikel yang cepat. Sehingga atas dasar ini, European Society of Cardiology

pada tahun 2013 merekomendasikan penggunan beta bloker atau CCB golongan

non dihidropiridin. Penggunaan antihipertensi juga bermanfaat untuk

memperlambat remodelling atrial yang dapat menjadi substrat atrial fibrilasi.

Dalam beberepa studi sekunder, pasien dengan LVH, gagal jantung, dan hipertensi

yang diberikan ACE-I dan ARBs (losartan, valsartan) lebih superior dalam

mencegah atrial fibrilasi maupun rekurensi nya dibandingkan beta bloker maupun

amlodipin.1.2 Namun maanfaat ini di beberapa studi lain seperti Japanese Rhythm

Management Trial II for Atrial Fibrillation (J-RHYTHM II), didapatkan tidak

adanya penurunan rekurensi AF dengan penggunaan candesartan dibandingkan

17
amlodipin.3 Berdasarkan American Heart Association 2014, terapi ACE-I atau

ARB dapat dipertimbangkan sebagai prevensi primer AF (klas IIB).4

2.8 Hipertensi dan Hipertrofi Ventrikel Kiri

Guidelines ESH pada tahun 2009 telah menjabarkan bahwa hipertrofi ventrikel

kiri terutama tipe konsentrik, berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya

penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar 20%. Beberapa studi juga

menyatakan bahwa dengan penurunan tekanan darah berhubungan erat dengan

perbaikan hipertrofi ventrikel kiri. ACE-i, ARB, dan CCB memiliki efek lebih

dibanding penggunaan beta-bloker.10

Gambar 2.5 Rekomendasi tatalaksana pada penyakit jantung non koroner.

(PERKI, 2015) 10

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hipertensi merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan terjadinya

peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik

≥ 90 mmHg. Hipertensi essensial didefinisikan sebagai hipertensi dimana

penyebabnya tidak diketahui.

Hipertensi essensial merupakan penyakit multifaktorial yang timbul karena

adanya interaksi antara faktor-faktor tertentu sehingga mendorong timbulnya

kenaikan tekanan darah. Faktor-faktor tersebut meliputi: merokok, obesitas,

kurangnya aktivitas fisik, dislipidemia, diabetes mellitus, mikroalbuminuria, usia,

dan riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler.

Diagnosis hipertensi ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Anamnesis yang meliputi keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan keluarga,

menilai faktor-faktor risiko dari hipertensi, riwayat pengobatan sebelumnya dan

gejala dari kerusakan organ target. Pemerriksaan fisik yang dilakukan berupa

pengukuran tekanan darah dengan menggunakan alat sphygmomanometer.

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari pemeriksaan darah rutin,

glukosa darah, kolesterol, asam urat, kreatinin, kalium serum, elektrokardiogram

dan funduskopi.

Penatalaksanaan penyakit hipertensi ini memerlukan terapi dalam

pengobatannya. Tujuan terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan

19
tekanan darah sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan darah diastolik di bawah

90 mmHg dan mengontrol faktor resiko.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.
2. Harrison L. Hypertension ER Visits Surge 25% in Five Years. [diakses
tanggal 16 September 2017]. Dapat diakses pada:
http://www.medscape.com/viewarticle/831531]. 2014.
3. Berk BC, Fujiwara K, Lehoux S. ECM remodelling in hypertensive heart
disease. The Journal of Clinical Investigation. 2007; 117(3): 568-75.
4. Vasiliki V, Georgiopoulou, Andreas P, Kalogeropoulos, Raggi P, Butler J.
Prevention, diagnosis, and treatment of hypertensive heart disease.
Cardiology clinics. 2010; 28(4): 675-91
5. Webber MA, et al. 2014. Clinical practice guidelines for the management
of hypertension in the community: a statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension. J Clin
Hypertens (Greenwich). 2014 Jan;16(1):14-26.
6. Leung AA, et al. Hypertension Canada’s 2016 Canadian Hypertension
Education Program Guidelines for Blood Pressure Measurement, Diagnosis,
Assessment of Risk, Prevention, and Treatment of Hypertension. Can J
Cardiol 2016; 32(5): 569-588
7. ESC. 2013. Score risks. https://www.escardio.org/Education/Practice-
Tools/CVD-prevention-toolbox/SCORE-Risk-Charts -- diakses 16 Agustus
2017
8. Stafford EE, Will KK, Brooks-Gumb AN. 2012. Management of
hypertensive urgency and emergency. Clin reviews; 22 (10): 20.
http://www.mdedge.com/clinicianreviews/article/79156/nephrology/mana
gement-hypertensive-urgency-and-emergency -- diakses 16 Agustus 2017
9. James PA, et al. 2014. Evidence based guideline for the managemnt of high
blood pressure in adults: (JNC8). JAMA feb 5;311(5):507-520
10. Soenarta AA, et al. 2015. Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit
kardiovaskular. Jakarta: PERKI.

21

Anda mungkin juga menyukai