Anda di halaman 1dari 40

Halaman Judul

REFERAT
Peripartum Cardiomyopathy

Pembimbing:
dr. Rima Sagita, Sp.JP, FIHA

Disusun Oleh:
Faiz Adnan Makarim
1910221039

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
PERIODE 9 DESEMBER 2019 – 15 FEBRUARI 2020

1
Lembar Pengesahan

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

“Peripartum Cardiomyopathy”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepanitraan klinik dokter muda
SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Minggu

Disusun Oleh:
Faiz Adnan Makarim
1910221039

Jakarta, Januari 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Rima Sagita, Sp.JP,FIHA

2
Kata Pengantar
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia-
Nya saya dapat menyelesaikan referat mengenai “Peripartum Cardiomyopathy”.
Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian Program Studi
Profesi Dokter dibagian Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Minggu.
Saya berharap referat ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan
kesehatan, pendidikan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan sebaik–baiknya
oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Saya sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, segala masukan yang
bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan demi proses penyempurnaan
penulisan referat ini.

Jakarta, Januari 2020


Penulis

(Faiz Adnan Makarim)

Daftar Isi

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................1

Lembar Pengesahan.................................................................................................2

Kata Pengantar.........................................................................................................3

Daftar Isi..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6

II.1 Jantung………………………………………………………………………...6
II.2 Kardiomiopati……………………………………………………………..…12
II.3 Peripartum Cardiomyopathy………………………………………………...33

BAB III RINGKASAN..........................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................39

4
BAB I
PENDAHULUAN

Peripartum cardiomyopathy (Kardiomiopati peripartum) merupakan bentuk


kardiomiopati dilatasi yang ditandai dengan gejala gagal jantung diantara bulan
terakhir kehamilan hingga 6 bulan post partum (Lily, hlm. 246). Pasien dengan
riwayat penyakit miokardium di ekslusikan dari penyakit ini, dan oleh karena nya,
penyakit ini sukar didiagnosis pada pasien yang tidak pernah menjalani foto
rontgen dada atau echocardiogram (Braunwald, hlm. 1776).
Insidens sebenarnya dari kardiomiopati peripartum masih belum diketahui.
Diperkirakan, sekitar 1 pasien dari 3000 pasien mengalami kardiomiopati
peripartum (Braunwald, hlm. 1776). Frekuensi terjadinya kardiomiopati
peripartum pada persalinan diperkirakan 1:2.000 dan 1:15.000 (Harrison, hlm.
1562).
Manifestasi klinis dari kardiomiopati peripartum meliputi gejala dari gagal
jantung (Lily, hlm. 246). Gejala yang paling sering adalah kelelahan, pusing, dan
dispneu ketika beraktivitas akibat dari turunnya perfusi jaringan. Kongesti pada
paru menghasilkan dispneu, ortopneu, dan paroxysmal nocturnal dyspnea, dimana
yang lainnya dapat menyebabkan kongesti vena sistemik kronik yang dapat
menyebabkan asites dan edema perifer (Lily, hlm. 248).
Tata laksana dari kardiomipati peripartum sama dengan penatalaksanaan pada
gagal jantung, kecuali ACE-Inhibitor dan ARB karena keduanya kontraindikasi
terhadap kehamilan. Untuk menurunkan preload dan meningkatkan kesembuhan
gejala, dapat digunakan hidralazin, beta-blocker, dan digoksin. Pada pasien
dengan ejection fraction < 35%, maka risiko untuk terbentuk nya trombus dalam
jantung lebih tinggi. Oleh karena nya perlu di lakukan pemberian heparin
unfractioned (Braunwald, hlm. 1777). Pada pasien dengan risiko aritmia hingga
kematian mendadak, dapat dipasangkan alat Implantable Cardioverter-
Defibrillator (ICD) untuk menjadi alat pencegah utama dari risiko ini (AHA, hlm.
1400).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Jantung
II.1.1 Anatomi
Jantung terletak di rongga mediastinum dan memiliki panjang
kira-kira 12 cm (5 in.), lebar 9 cm (3,5 in.), dan tebal 6 cm (2,5 in.),
dengan massa rata – rata 250 g pada wanita dewasa dan 300 g pada
pria dewasa. Dua pertiga massa jantung berada di sebelah kiri dari
garis tengah tubuh (Tortora, 2014, hlm. 689).
Membran yang membungkus dan melindungi jantung disebut
perikardium. Perikardium menahan posisi jantung agar tetap berada
di dalam mediastinum, namum tetap fleksibel untuk kontraksi
jantung yang cepat dan kuat. Perikardium terdiri dari dua bagian,
yaitu perikardium fibrosa dan perikardium serosa. Perikardium
fibrosa terdiri dari jaringan ikat yang kuat, padat, dan tidak elastis.
Sedangkan perikardium serosa lebih tipis dan lebih lembut dan
membentuk dua lapisan mengelilingi jantung. Lapisan parietal dari
perikardium serosa bergabung dengan perikardium fibrosa. Lapisan
viseral dari perikardium serosa, disebut juga epikardium, melekat
kuat pada permukaan jantung. Di antara perikardium parietal dan
viseral terdapat cairan serosa yang diproduksi oleh sel perikardial.
Cairan perikardial ini berfungsi untuk mengurangi gesekan antara
lapisan – lapisan perikardium serosa saar jantung berdenyut.
Rongga yang berisi cairan perikardial disebut sebagai kavitas
pericardial (Tortora, 2014, hlm. 690-691).
Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikardium
(lapisan paling luar), miokardium (lapisan bagian tengah), dan
endokardium (lapisan paling alam). Lapisan epikardium merupakan
lapisan viseral perikardium serosa yang disusun oleh mesotelium
dan jaringan ikat lunak, sehingga tekstur permukaan luar jantung
terlihat lunak dan licin. Miokardium merupakan jaringan otot
jantung yang menyusun hampir 95% dinding jantung. Miokardium

6
bertanggung jawab untuk pemompaan jantung. Meskipun
menyerupai otot rangka, otot jantung ini bekerja involunter seperti
otot polos dan seratnya tersusun melingkari jantung. Lapisan
terdalam dinding jantung, endokardium, merupakan lapisan tipis
endotelium yang menutupi lapisan tipis jaringan ikat dan
membungkus katup jantung (Tortora, 2014, hlm. 691)
Jantung mempunyai empat ruangan. Dua ruangan penerima di
bagian superior adalah atrium, sedangkan dua ruangan pemompa di
bagian inferior adalah ventrikel. Atrium kanan membentuk batas
kanan dari jantung dan menerima darah dari vena kava superior di
bagian posterior atas, vena kava inferior, dan sinus koroner di
bagian lebih bawah (Tortora, 2014, hlm. 692).
Atrium kanan ini memiliki ketebalan sekitar 2 – 3 mm (0,08 –
0,12 in.). Antara atrium kanan dan kiri ada sekat tipis yang
dinamakan septum interatrial. Darah mengalir dari atrium kanan ke
ventrikel kanan melewati suatu katup yang dinamakan katup
trikuspid atau katup atrioventrikular (AV) kanan (Tortora, 2014,
hlm. 692).
Ventrikel kanan membentuk pemukaan anterior jantung dengan
ketebalan sekitar 4 – 5 mm (0,16 – 0,2 in). Ventrikel kanan dan
ventrikel kiri dipisahkan oleh septum interventricular (Tortora,
2012). Darah akan mengalir dari ventrikel kanan melewati katup
pulmonal ke arteri besar yang dinamakan arteri pulmonal. Darah
dari arteri pulmonal kemudian dibawa ke paru – paru (Tortora,
2014, hlm. 694).
Atrium kiri memiliki ketebalan yang hampir sama dengan
atrium kanan. Darah dari atrium kiri mengalir ke ventrikel kiri
melewati katup bikuspid (mitral) atau katup AV kiri. Ventrikel kiri
merupakan bagian tertebal dari jantung, ketebalan sekitar 10 – 15
mm (0,4 – 0,6 in.) dan membentuk apeks dari jantung. Darah dari
ventrikel kiri ini akan melewati katup aorta ke ascending aorta.
Sebagian darah akan mengalir ke arteri koroner dan membawa
darah ke dinding jantung (Tortora, 2014, hlm. 694).

7
Gambar 1. Anatomi Jantung (Tortora, 2014, hlm.692)

II.1.2 Sirkulasi Koroner


Dua arteri coronaria berasal dari sinus aorta pada bagian awal
aorta ascendens dan menyuplai otot dan jaringan lain dari jantung.
Arteri ini mengelilingi jantung di sulcus coronarius. Darah balik
vena melewati vena cordis, yang sebagian besar bermuara ke dalam
sinus coronarius. Sinus coronarius bermuara ke dalam atrium
dextra di antara ostium vena cava inferior dan ostium
atrioventricular dextra (Gray, hlm. 107).
Arteri coronaria dextra keluar dari bagian dextra aorta
ascendens, lewat di anterior dan kanan, di antara auricula dextra
dan truncus pulmonalis. Arteri coronaria dextra memberikan
percabangan pada ramus nodus sinuatrialis, rami marginales dextra,
cabang kecil untuk nodus atrioventricular, rami interventriculares
posterior, dan menyuplai atrium dextra dan ventrikel dextra, nodi
sinuatrialis dan atrioventricular, septum interatrial, sebagian atrium
sinistra, sepertiga bagian posteroinferior septum interventricular,

8
dan sebagian pars posterior ventriculus sinistra (Gray, hlm. 107-
108).
Arteri coronaria sinistra berasal dari sinus aorta sinistra aorta
ascendens, lewat di antara truncus pulmonalis dan auricula sinistra
sebelum memasuki sulcus coronarius. Arteri ini terbagi menjadi
dua cabang terminal, ramus interventricularis anterior dan ramus
circumflexus. Arteri coronaria sinistra menyuplai sebagian besar
atrium sinistra dan ventrikel sinistra, dan sebagian besar septum
interventriculare, termasuk fasciculus atrioventricular (Gray, hlm.
108).

Gambar 2. Sirkulasi Koroner (Tortora, 2014, hlm. 701)

II.1.3 Sirkulasi Sistemik dan Pulmonal


Bagian kiri dari jantung berfungsi sebagai pompa untuk sirkulasi
sistemik yang menerima darah kaya akan oksigen dari paru.
Ventrikel kiri mendorong darah ke aorta. Dari aorta, darah lalu
dialirkan ke arteri sistemik, lalu menuju ke arteriol, lalu menuju ke
kapiler sistemik. Pada kapiler sistemik terjadi pertukaran oksigen

9
dan karbon dioksida, yang setelah nya darah akan menuju ke
venula sistemik untuk membawa darah kaya akan karbon dioksida
untuk dibawa menuju atrium kanan. Bagian sisi kanan jantung
adalah pompa untuk sirkulasi pulmonal dengan menerima seluruh
darah yang berisi karbon dioksida dari sirkulasi sistemik. Darah
lalu didorong ke ventrikel kanan untuk dibawa ke paru yang akan
kembali ditukar karbon dioksida dalam darah dengan oksigen dari
udara luar untuk dibawa kembali ke atrium kiri (Tortora, 2014,
hlm. 698-700).

Gambar 3. Sirkulasi Sistemik – Pulmonal (Tortora, 2014, hlm. 699)

II.1.4 Siklus Jantung


a. Sistolik Atrial
Bertahan selama 0,1 detik, terjadi kontraksi pada atrium dan
relaksasi pada ventrikel (Tortora, 2014, hlm. 710).

10
1) Depolarisasi dari nodus SA menyebabkan depolarisasi atrium
2) Depolarisasi atrium menyebabkan sistolik atrium. Ketika
atrium kontraksi, darah mendesak dengan tekanan nya untuk
menekan darah mendorong katup AV terhadap ventrikel
3) Sistolik atrial berkontribusi 25 mL darah kepada volume di
masing-masing ventrikel (sekitar 105 mL). Akhir dari sistolik
atrial adalah diastolic ventricular. Sehingga, setiap ventrikel
menampung 130 mL pada akhir periode relaksasi (diastole).
Volume darah ini disebut end-diastolic volume (EDV).
b. Sistolik Ventrikular
Bertahan 0,3 detik, terjadi kontraksi ventrikel, dan terjadi relaksasi
atrium (diastolic atrial) (Tortora, 2014, hlm. 710).
1) Depolarisasi ventrikel menyebabkan sistolik ventrikel,
menyebabkan tekanan di dalam ventrikel meningkat dan
mendorong darah melawan katup AV untuk mendoron
mereka tertutup. Selama 0,05 detik, katup semilunar dan AV
tertutup. Hal ini di sebut periode isovolumetric contraction.
2) Kontraksi terus menerus dari ventrikel menyebabkan tekanan
di dalam ruang jantung meningkat drastis. Ketika tekanan
ventrikel kiri melewati tekanan aorta sebesar 80 mmHg, dan
tekanan pada ventrikel kanan melewati tekanan pulmoner
sebesar 20 mmHg, kedua katup lalu terbuka dan akan terjadi
dorongan darah keluar jantung yang disebut juga ventricular
ejection yang bertahan 0,25 detik.
3) Ventrikel kiri mendorong sekitar 70 mL darah ke aorta dan
ventrikel kanan mendorong dengan jumlah yang sama ke
pulmoner. Volume darah tersisa pada ventrikel setelah sistol
sekitar 60 mL, sehingga hal ini disebut juga end-systolic
volume.
c. Periode Relaksasi
Periode ini bertahan sekitar 0,4 detik dengan kedua atrium dan
ventrikel mengalami relaksasi (Tortora, 2014, hlm. 710).

11
1) Repolarisasi ventrikel menyebabkan diastolik ventrikel.
Ketika ventrikel relaks, tekanan didalam ruang jantung
menurun dan darah di aorta dan pulmoner kembali menuju
daerah dengan tekanan rendah pada ventrikel. Darah yang
kembali ini akan menutup katup SL. Setelah katup SL
tertutup, aka nada interval dimana darah di dalam ventrikel
tidak berubah karena keempat katup tertutup. Periode ini
disebut isovolumetric relaxation
2) Selama ventrikel relaks, tekanan juga menurun drastic.
Ketika tekanan ventrikel dibawah tekanan atria, makan katup
AV akan terbuka dan memulai proses pengisian ventrikel.
Darah yang mengalir di dalam atrium selama sistolik
ventrikel akan bergerak cepat ke dalam ventrikel.

Gambar 4. Siklus Jantung (Tortora, 2014, hlm. 711)


II.2 Kardiomiopati
II.2.1 Definisi
Kardiomiopati merupakan sekumpulan gangguan pada jantung,
terutama keabnormalitas struktur pada miokardium (Lily, hlm 244).
Penyakit pada miokardium / otot jantung pada kardiomiopati
merupakan hasil dari banyak sekali pengaruh, baik dari defek
genetik, cedera pada otot jantung, dan infiltrasi dari jaringan
mikoardium (Braunwald, hlm 1561). Terminologi kardiomiopati
dimaksudkan untuk mengecualikan disfungsi jantung yang
berakibat dari penyakit pada struktur jantung lain, seperti penyakit

12
jantung koroner, penyakit katup primer, atau hipertensi berat
(Harrison, hlm. 1553).
II.2.2 Klasifikasi
Kardiomiopati di klasifikasikan menjadi 3 tipe berdasarkan pada
penampakan anatomi dan abnormalitas fisiologi dari ventrikel kiri,
diantara nya adalah (Lily, hlm. 244):
II.2.2.1 Kardiomiopati Dilatasi
Merupakan kardiomiopati yang dikarakteristikan
dengan pembesaran pada ruang ventrikel dengan
gangguan fungsi kontraktilitas sistolik (Lily, hlm. 244).
Penurunan fungsi sistolik pada kardiomiopati dilatasi
diukur dengan ejection fraction ventrikel kiri yang
menunjukan karakteristik kardiomiopati dilatasi (Harrison,
hlm. 1556).
II.2.2.2 Kardiomiopati Hipetrofik
Merupakan kardiomiopati dengan penebalan dari
dinding ventrikel yang abnormal dengan relaksasi
diastolik abnormal tetapi biasanya dengan fungsi sistolik
yang utuh (Lily, hlm. 244).
II.2.2.3 Kardiomiopati Restriktif
Kardiomiopati dengan adanya kekakuan pada
miokardium yang abnormal akibat dari fibrosis atau proses
infiltratif, yang menyebabkan gangguan relaksasi diastolik
(Lily, hlm. 244). Pada kardiomiopati restriktif , terjadi
gangguan pengisian diastolik, dengan fungsi sistolik yang
normal (Lily, hlm. 257)

13
Gambar 5. Klasifikasi Kardiomiopati (Lily, hlm. 245)

II.2.3 Kardiomiopati Dilatasi


II.2.3.1 Etiologi
Cedera pada miosit dan pembesaran ruang jantung pada
kardiomiopati dilatasi merupakan hasil dari berbagai
faktor seperti genetik, inflamasi, toksik, dan penyebab
metabolik. Hampir sebagian besar kasus dari
kardiomiopati dilatasi merupakan idiopatik (Lily, hlm.
245). Selain itu, beberapa kondisi dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi, seperti miokarditits viral, infeksi
HIV, konsumsi alkohol yang berlebihan dan kronik,
keadaan peripartum, dan mutasi gen spesifik (Braunwald,
hlm. 1565-1566).
II.2.3.2 Epidemiologi

14
Kardiomiopati dilatasi dapat menyerang pada seluruh
individu di segala usia, termasuk neonatus dan anak-anak.
Pada orang dewasa insiden dari kardiomiopati dilatasi
diperkirakan 5-8 per 100.000 orang per tahun.
Kardiomiopati dilatasi tersering pada usia pertengahan dan
menyerang paling banyak pada laki-laki. Kardiomiopati
dilatasi merupakan jenis kardiomiopati yang menyerang
pasien (Braunwald, hlm. 1567)
II.2.3.3 Patologi
Pembesaran yang terlihat pada 4 ruang jantung
merupakan tanda tipikal dari kardiomiopati dilatasi,
meskipun terkadang penyakit ini terbatas pada bagian sisi
kiri atau sisi kanan dari jantung. Penebalan dinding
ventrikel mungkin terlihat, akan tetapi pembesaran ruang
jantung berada diluar bagian dari hipertrofi konsentrik.
Secara mikroskopis, terdapat degenerasi miosit dengan
hipertrofi iregular dan atrofi myofibers. Fibrosis pada
intersisial dan perivaskular terkadang terlihat (Lily, hlm.
246). Struktur dati katup jantung sendiri masih dalam
keadaan normal meskipun pembesaran ruang jantung
biasanya dapat menyebabkan pelebaran orifisum katup
(Braunwald, hlm. 1564).
A B

15
Gambar 6. Gambaran Kardiomiopati Dilatasi a) Makroskopis b)
Echocardiography (Harrison, hlm. 1557)

II.2.3.4 Patofisiologi
Ketika terjadi cedera pada miokardium, beberapa
miosit akan mati secara langsung, sedangkan miosit
sisanya akan mengalami apoptosis, dan miosit sisanya
akan mengalami hipertrofi terhadap respons dari
peningkatan stres dinding otot jantung. Faktor lokal dan
yang tersirkulasi menstimulasi kerusakan respons
sekunder yang berkontribusi terhadap progresi penyakit
serta remodeling pada intersisial dapat mempengaruhi
fungsi diastolik dan dilatasi ventrikel. Hal-hal yang terjadi
ini, dan cedera sel secara langsung dapat menghasilkan
gangguan fungsional miosit (Harrison, hlm. 1556).
Gangguan kontraktilitas miosit akan menyebabkan
penurunan stroke volume ventrikel dan cardiac output. Hal
ini akan memicu kompensasi yaitu: 1) Mekanisme Frank-
Starling, dimana peningkatan volume diastolik ventriel
akan meningkatkan peregangan dari myofibers, dengan
demikian selanjutnya dapat meningkatkan stroke volume,
2) Aktivasi neurohormonal, secara awal dihubungkan
dengan sistem saraf simpatik. Hal ini akan berkontribusi
terhadap peningkatan denyut jantung dan kontrakilitas,
yang membantu menyangga turunnya cardiac output.
Kompensasi ini menyebabkan pasien di awal gejala
bersifat asimtomatik, dan seiring dengan degenerasi miosit
yang progresif dan gejala overload, gejala klinis gagal
jantung dapat terbentuk (Lily, hlm. 246-247).
II.2.3.5 Manifestasi Klinis
Kardiomiopati dilatasi memiliki manifestasi klinis yaitu
manifestasi klinis dari gagal jantung kongestif. Gejala

16
yang paling sering akibat berkurang nya forward cardiac
output termasuk kelelahan, pusing, dan dispneu ketika
beraktivitas akibat dari turunnya perfusi jaringan.
Kongesti pada paru menghasilkan dispneu, ortopneu, dan
paroxysmal nocturnal dyspnea, dimana yang lainnya dapat
menyebabkan kongesti vena sistemik kronik yang dapat
menyebabkan asites dan edema perifer (Lily, hlm. 248).
Gejala lain selain gagal jantung kongestif, dapat juga
terjadi gejala emboli sistemik atau paru (Braunwald, hlm.
1562).
II.2.3.6 Diagnosis
a) Anamnesis
Pada anamnesis, pasien dapat ditemukan gejala
gagal jantung kongestif, seperti dyspnea on effort,
paroxysmal nocturnal dyspnea, kelelahan, pusing,
penambahan berat badan. Kadang juga terdapat gejala
seperti nyeri pada perut akibat adanya hepatomegali,
bengkak pada perut akibat asites, bengkak pada
tungkai, atau nyeri dada meskipun sangat jarang terjadi.
Perlu juga ditanyakan mengenai faktor risiko seperti,
peminum alkohol yang kronik, pernah mengalami
penyakit infeksi, dsb. (Braunwald, hlm. 1567).
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda
penurunan cardiac output seperti akral dingin, tekanan
arteri yang lemah, dan takikardia. Tanda kongesti vena
pulmonal menghasilkan suara crackles (rales) pada
auskultasi, suara dullness pada perkusi dada bagian
basalis yang diakibatkan efusi pleura. Pada
pemeriksaan jantung menunjukan pembesaran jantung
dengan pergeseran impuls apeks jantung. Pada
auskultasi, terdapat suara bunyi jantung S3 sebagai

17
tanda fungsi sistolik yang menurun. Jika gagal jantung
nya sudah mencapai kanan, maka dapat terdapat tanda-
tanda kongesti vena sisteik seperti distensi vena jugular,
hepatomegali, asites, dan edema perifer (Lily, hlm.
248).
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium berguna dalam
melakukan pemriksaan penunjang pada kardiomiopati
dilatasi. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
elektrolit, fosfor, kalsium, fungsi ginjal (ureum dan
kreatinin), fungsi tiroid, dan LED. Selain itu kita bisa
melakukan pemeriksaan dari kemungkinan penyebab
lain seperti tes HIV. Pemeriksaan biomarker jantung
seperti troponin beguna untuk memeriksa infark
miokard pada pasien (Braunwald, hlm. 1567-1568)
Pada pemeriksaan rontgen dada menunjukan siluet
pembesaran jantung. Jika terdapat terdapat gejala gagal
jantung, maka bisa jadi terdapat bayangan efusi pleura
(Lily, hlm. 248).
Elektrokardiogram (EKG) biasanya menunjukan
pembesaran atrium dan ventrikel. Fibrosis pada
myofibers dapat menyebabkan aritmia, utamanya atrial
fibrillation dan ventricular tachycardia. Dapat terjadi
juga left atau right bundle branch block pada banyak
kasus. Abnormalitas pada gelombang repolarisasi dapat
terlihat banyak kasus (Lily, hlm. 248-249).
Echocardiography merupakan pemeriksaan
penunjang yang berguna dalam mendiagnosis
kardiomiopati dilatasi. Pada pemeriksaan ini, dapat
terlihat pembesaran pada 4 ruang jantung dengan
sedikit hipertrofi dan penurunan dari fungsi kontraktil
sistolik (Lily hlm. 249). Pada pemeriksaan dengan

18
Doppler juga mungkin terlihat regurgitasi mitral
dan/atau trikuspid, pola pengisian restriktif pada
jantung, dan efusi perikardial (Braunwald, hlm. 1568).
Kateterisasi jantung juga dilakukan untuk
menunjukan apakah terdapat penyakit jantung koroner
yang dapat mengganggu fungsi ventrikel. Pemeriksaan
ini sangat berguna pada pasien dengan gejala angina
dan pada EKG menunjukan adanya tanda infark
miokard (Lily, hlm. 29).
II.2.3.7 Tata Laksana
Tujuan dari terapi kardiomiopati dilatasi adalah untuk
mengurangi gejala, menghindari komplikasi, dan
meningkatkan angka bertahan hidup yang lebih lama.
Dalam melakukan terapi pada kardiomiopati dilatasi,
dapat dilakukan terapi pada keadaan berikut:
a) Terapi pada Gagal Jantung
Dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kongesti
vaskular, dan meningkatkan cardiac output. Terapi
awal meliputi pembatasan garam, diuretik, terapi
vasodilator seperti Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) Inhibitor, Angiotension II Receptor Blocker, dan
β-blocker. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih
berat, dapat diberikan diuretik hemat kalium, yaitu
spironolakton (Lily, hlm. 249).
b) Terapi pada Artimia
Dalam mencegah aritmia pada pasien, harus
dilakukan pemantauan elektrolit terutama pada pasien
yang sedang menggunakan obat diuretik. Terapi dengan
obat yang cukup efektif dalam aritimia adalah
penggunaan amiodarone. Selan iu dapat dipasang juga
implantable cardioverter-defibrillator (ICD) dimana
pemasangan ini direkomendasikan pada pasien dengan

19
kardiomiopati dilatasi dengan gejala kronik dan
penurunan fungsi sistolik sedang (ejection fraction <
35%). Pada pasien dengan gangguan konduksi, dapat
dipasang electronic pacemaker untuk menstimulasi
ventrikel (Lily, hlm. 249-250).
c) Terapi Pencegahan Tromboemboli
Tromboemboli pada kardiomiopati dilatasi dapat
diakibatkan oleh: 1) stasis pada ventrikel akibat fungsi
sistolik yang memburuk, 2) stasis pada atrium akibat
pembesaran ruang atrium atau atrial fibrillation, 3)
stasis vena akibat aliran sirkulasi yang buruk. Trombus
pada vena perifer atau ventrikel kanan dapat
menyebabkan emboli paru, sedangkan pada ventrikel
kiri dapat menyumbat pada arteri sistemik dan
menghasilkan: iskemia serebri, miokardium, atau
ginjal. Satu-satunya indikasi pada kardiomiopati
dilatasi untuk pemberian antikoaguan sistemik adalah
atrial fibrillation, kejadian tromboemboli sebelumnya,
atau terdapat trombus intrakardiak yang dibuktikan
dengan echocardiography. Obat antikoagulan (contoh:
warfarin) diberikan pada pasien dengan penurunan
fungsi ventrikel berat (contoh: ejection fraction
ventrikel kiri <30%) untuk mencegah tromboemboli
(Lily, hlm. 250).
II.2.3.8 Prognosis
Efek bertahan hidup jangka panjang pada kardiomiopati
dilatasi didapatkan lebih baik kecuali pada pasien dengan
komorbid berat, contohnya dengan HIV (Braunwald, hlm.
1564).
II.2.4 Kardiomiopati Hipertrofik
II.2.4.1 Etiologi

20
Kardiomiopati hipertrofik merupakan penyakit
keturunan dengan diwariskan mengikuti pola dominan
pada autosom dengan mutasi pada berbagai gen yang telah
terlibat. Protein yang terkodekan pada gen yang
bertanggung jawab merupakan bagian dari kompleks
sarkomer dan termasuk β-myosin heavy chain (β-MHC),
troponin jantung, dan myosin-binding protein C.
Penyatuan pada peptida yang termutasi ini dengan

sarkomer mungkin menjadi penyebab gangguan fungsi


kontraktilitas. Hasil dari peningkatan stres miosit ini
kemudian menjadi hipotesis bahwa terjadi hipertrofi
kompensasi dan proliferasi dari fibroblas (Lily, hlm. 250).
Gambar 7. Makroskopis Kardiomiopati Hipertrofik (Harrison, hlm.
1568)

II.2.4.2 Epidemiologi
Kardiomiopati hipertrofi merupakan penyakit yang
dilaporkan berada pada > 50 negara (Braunwald, hlm.
1582). Prevalensi kardiomiopati dilatasi pada Amerika
Utara, Jepang, dan China diperkirakan sekitar 1:500.
Kardiomiopati hipertrofi menjadi penyebab utama
kematian mendadak pada pasien muda dan merupakan

21
salah satu penyebab dari gagal jantung. Perkembangan
penyakit ini mulai berkembang pada usia 40 tahun, dengan
30% nya menjadi bebas hipertrofi setelah usia 70 tahun
(Harrison, hlm. 1568).

II.2.4.3 Patologi
Kardiomiopati hipertrofi dapat menyerang pada seluruh
bagian ventrikel, dengan hipertrofi simetrik pada septum
ventrikel menjadi tersering. Kardiomiopati hipertrofi yang
jarang terjadi adalah kardiomiopati yang menyerang
dinding ventrikel secara simetris atau terlokalisi pada
apeks atau bagian tengan dari ventrikel kiri. Pada
kardiomiopati hipertrofi, serat jantung berbentuk lebih
pendek, lebar, dan hipertrofi dengan orientasi arah yang
berantakan dan dikelilingi oleh sejumlah fibroblas jantung
dan matriks ekstraseluler. Miosit yang tidak terarah dan
fibrosis merupakan karakteristik kardiomiopati hipertrofi
dan memiliki peran pada kekakuan diastolik yang
abdnormal dan aritmia pada penyakit ini (Lily, hlm. 251).
II.2.4.4 Patofisiologi
a) Kardiomiopati Hipertrofi tanpa Obstruksi Saluran
Outtflow
Meskipun kontraksi sistolik dari ventrikel kiri
biasanya menggebu-gebu pada kardiomiopati
hipertrofi, dinding jantung yang mengalami hipertrofi
menghasilkan peningkatan kekakuan dan gangguan
relaksasi dari ruang jantung. Kekurangan compliance
ventrikel mengubah hubungan tekanan normal dengan
volume, menyebabkan kurva pengisisan diastolik yang
pasif bergeser ke atas. Peningkatan dari diastolik
ventrikel kiri ini akan di transmisikan ke belakang,
menyebabkan peningkatan atrium kiri, vena pulmonal,

22
dan tekanan kapiler pulmonal; dan dispneu pada
aktivitas (Lily, hlm. 252).

Gambar 8. Grafik Compliance Ventrikel (Lily, hlm 225)

b) Kardiomiopati Hipertrofi dengan Obstruksi


Saluran Outflow
Mekanisme dari obstruksi sistolik melibatkan
gerakan abnormal pada katup mitral yang anterior
terhadap outflow ventrikel kiri dimana penebalan
septum ini mengalami penonjolan. Proses nya adalah
sebagai berikut: 1) Pada kontraksi ventrikel, ejeksi dari
darah terhadap katup aorta lebih cepat dari biasanya,
karena harus melewati saluran outflow yang sempit
akibat penebalan septum, 2) Aliran yang cepat
menyebabkan gaya Venturi yang secara abnormal
menarik katup mitral anterior terhadap septum selama
kontraksi, 3) Katup mitral bagian anterior dekat dan
berbatas dengan septum yang hipertrofi menyebabkan
obstruksi aliran darah yang transien menuju aorta (Lily,
hlm 252-253).
Pada pasien dengan obstruksi outflow, peningkatan
tekanan pada atrium kiri dan kapiler pulmonal

23
menghasilkan penurunan compliance ventrikel dan
penurunan outflow selama kontraksi. Peningkatan
tekanan sistolik ventrikel meningkatkan stres dinding
jantung dan konsumsi oksigen miokardium, sehingga
akan menyebabkan angina. Selain itu, akibat dari
penutupan katup mitral yang tidak sempurna selama
sistol akibat gangguan gerakan katup akibat obstruksi
menyebabkan tanda regurgitasi mitral, yang dapat

meningkatkan tekanan atrium kiri dan vena pulmonal


sehingga dapat memperburuk keadaan dispneu hingga
dapat menyebabkan atrial fibrillation (Lily, hlm. 253).
Gambar 9. Patofisiolofi Kardiomiopati Hipertrofi pada
Tahap Awal Sistolik dan Tahap Tengah
Akhir Sistolik (Lily, hlm. 253)

II.2.4.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada kardiomiopati hipertrofi adalah
manifestasi klinis dari gagal jantung yang berkembang
tidak terprediksi pada berbagai usia dengan keterbatasan
fungsi akibat dispneu akibat aktivitas atau lelah, dan pada
tahap yang lebih lanjut dapat menyebabkan ortopneu atau
paroxysmal nocturnal dyspnea. Nyeri dada, baik angina
pektoris tipikal maupun atipikal merupakan akibat dari

24
abnormalitas struktur mikrovaskular yang bertanggung
jawab terhadap iskemia miokardium yang berkembang
secara diam-diam. Kardiomiopati dilatasi dapat juga
mengganggu kesadaran dengan pingsan (atau penurunan
kesadaran) dan pusing yang dapat diakibatkan oleh aritmia
atau obstruksi outflow (Braunwald, hlm 1588).
II.2.4.6 Diagnosis
a) Anamnesis
Pasien dengan kardiomiopati hipertrofi akan
memiliki gejala berupa dispneu akibat aktivitas, angina,
atau sinkop. Selain itu, dapat di anamnesis dari faktor
risiko keluarga mengenai penyakit ini. Pada anamnesis,
dapat ditanyakan apakah keluarga pernah mendapat
kardiomiopati dilatasi atau tidak (Harrison, hlm. 1569).
b) Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan kardiomiopati hipertrofi yang ringan
biasanya asimtomatik dan pemeriksaan fisik yang
hampir normal. Pemeriksaan yang biasanya didapatkan
biasanya meliputi bunyi jantung keempat (S4), yang
diakibatkan oleh kontraksi atrium kiri terhadap
kekakuan ventrikel kiri. Kontraksi atrium dengan
tekanan kuat dapat menyebabkan impuls presistolik
yang teraba pada apeks jantung (Lily, hlm. 254)
Pada denyut karotis, biasanya meningkat pada awal
tahap sistolik dan menghilang secara cepat akibat
obstruksi. Terdapat murmur sistolik yang kasar yang
dapat didengar pada bagian kiri bawah sternum akibat
turbulensi aliran yang melewati jalur outflow yang
sempit. Manuver Valsava pada pasien juga akan
meningkatkan tekanan intratorakal, yang mana akan
menurunkan aliran balik vena kepada jatung dan secara
transien mengurangi ukuran ventrikel kiri. Hal inii akan

25
membuat hipertrofi pada septum dan bagian anterior
katup mitral, menyebabkan obstruksi hebat pada aliran
maju, sehingga akan meningkatkan intesitas murmur.
(Lily, hlm. 254-255).
c) Pemeriksaan Penunjang
EKG pada kardiomiopati hipertrofi menunjukan pola
yang abnormal, meskipun tidak ada yang menjadi
karakteristik kardiomiopati hipertrofi. Abnormalitas
tersering pada EKG pasien dengan kardiomiopati
hipertrofi termasuk hipertrofi ventrikel kiri, perubahan
ST-T termasuk ditandai dengan inversi gelombang T
pada lead prekordial lateral, pembesaran atrium kiri,
gelombang Q yang dalam dan sempit, dan penyusutan
gelombang R pada lead prekordial lateral (Brauwald,
hlm. 1588)
Echocardiography dapat mengukur derajat hipertrofi
ventrikel kiri dan melihat bagian penebalan dinding
asimetris. Tanda obstruksi outflow ventrikel kiri juga
bisa dapat terlihat dan termasuk pergerakan abnormal
anterior dari katup mitral yang tergambarkan oleh
septum yang hipertrofi selama sistol dan penutupan
parsial dari katup aorta pada midsistolik. Pemeriksaan
Doppler pada echocardiography dapat mengukur secra
akurat gradien tekanan outflow dan dapat menghitung
regurgitasi mitral yang berhubungan (Lily, hlm. 255).
Kateterisasi jantung dapat dilakukan pada pasien
dengan diagnosis yang belum pasti atau jika sudah
direncanakana percutaneous septal ablation.
Pemeriksaan yang terakhir yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan genetic pada pasien dan keluarga pasien
(Lily, hlm. 255).
II.2.4.7 Tata Laksana

26
Tatalaksana pada kardiomiopati hipertrofi berfokus
pada pengobatan dari gejala dan pencegahan dari kematian
mendadak dan stroke. Obstruksi outflow ventrikel kiri bisa
dikontrol dengan menggunakan β-adrenergic blocking
agents dan L-type calcium channer blockers (contoh:
verapamil) yang merupakan agen lini pertama untuk
mengurangi keparahan obstruksi (Harrison, hlm. 1569).
β-adrenergic blocking agents atau β-blockers memiliki
efek: 1) mengurangi kebutuhan oksigen miokardium
dengan menurunkan denyut jantung dan menurunkan
tekanan kontraksi (dan selanjutnya mengurangi gejala
angina dan dispneu); 2) mengurangi gradien outflow
ventrikel kiri selama beraktivitas dengan mengurangi
tekanan pada kontraksi (sehingga dapat membuat ukuran
ruang jantung meningkat, sehingga dapat memisahkan
bagian anterior katup mitral dari septum ventrikel); 3)
meningkatkan pengisian pasif diastolik ventrikel dengan
menurunkan denyut jantung; 4) mengurangi frekuensi dari
ventricular ectopic beats (Lily, hlm. 255).
L-type calcium channer blockers dan mengurangi
kekakuan ventrikel dan terkadang dapat berguna untuk
meningkatkan kapasitas jantung saat beraktifitas pada
pasien yang gagal respons dengan β-blockers. Pasien
dengan kongesti paru, memiliki manfaat jika diberikan
terapi diuretik ringan tetapi harus diberikan secara hati-
hati (Lily, hlm. 256).
Atrial fibrillation sangat tidak ditoleransi dalam kondisi
kardiomiopati hipertrofi dan harus dikontrol secara
agresif, yang biasanya dapat digunakan obat antiaritmia,
termasuk amiodarone dan disopyramide (obat antiaritmia
tipe IA yang juga memiliki sifat ainotropic negatif yang
dapat mengurangi obstruksi outflow ventrikel kiri).

27
Digitalis tidak diberikan karena memiliki efek inotropic
positif yang meningkatkan tekanan pada kontraksi (Lily,
hlm 256).
Kematian mendadak sering terjadi pada kardiomiopati
hipertrofi, dengan diawali oleh aktivitas fisik seperti
latihan berat dan olahraga berat, sehingga harus dihindari.
Kematian mendadak sering diakibatkan oleh ventricular
tachycardia atau ventricular fibrillation. Pemberian
amiodarone dapat bermanfaat kecuali pada pasien dengan
risiko tinggi (riwata kematian mendadak pada keluarga
pasien, hipertrofi ventrikel kiri dengan ketebalan dinding >
30 mm, episode sinkop yang baru, riwayat dengan
ventricular tachyarryhtmia), sehingga harus diberikan
ICD karena selain mengobati serangan juga dapat
mencegah kematian mendadak (Lily, hlm. 256).
Jika tidak terjadi adanya perbaikan dengan
menggunakan obat-obatan, seperti masih terdapat gejala
gagal jantung, atau disabilitas fungsional yang terlihat,
dapat dilakukan operasi transaortice ventricular septal
myectomy (Prosedur Morrow). Dilakukan dengan cara
reseksi pada bagian kecil dari otot (3-10 gram) dari bagian
basal septum. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengurangi
gejala gagal jantung dan meningkatkan kualitas hidup
dengan mengurangi obstruksi outflow (Braunwald, hlm.
1592).
II.2.4.8 Prognosis
Kardiomiopati hipertrofi memiliki prognosis yang baik.
Kejadian kematian mendadak hanya kurang dari 1% per
tahun, meskipun begitu, 1 dari 20 pasien akan berkembang
mengalami disfungsi sistolik dengan pengurangan ejection
fraction dengan atau tanpa remodeling sehingga risiko
pasien untuk mengalami kematian dari gagal jantung atau

28
kematian mendadak cukup tinggi kecuali sudah menjalani
transplantasi jantung (Harrison, hlm. 1570).

II.2.5 Kardiomiopati Restriktif


II.2.5.1 Etiologi
Kardiomiopati restriktif terjadi akibat: 1) fibrosis atau
jaringan parut pada endomiokardium, atau 2) infiltrasi dari
miokardium oleh zat abnormal. Penyebab tersering
kardiomiopati restriktif adalah amiloidosis yang jika
primer membentuk serat amiloid dari deposisi
immunoglobulin yang tersekresi dari plasma sel tumor,
jika sekunder merupakan hasil inflamasi kronis, dan secara
herediter maupun karena penuaan. Serat amiloid memiliki
sifat tidak larut dan akan mengendap di dalam jaringan
termasuk di dalam jantung sehingga menyebabkan
disfungsi organ (Lily, hlm. 257). Terdapat juga penyebab
lain selain amiloidosis akan tetapi etiologi nya masih tidak
jelas, akan tetapi peranan inflamasi dan faktor genetik
memiliki peranan penting (Braundwald, hlm. 1569).

Gambar 10. Makroskopis Kardiomiopati Restriktif (Harrison, hlm.


1566)

29
II.2.5.2 Epidemiologi
Kardiomiopati restriktif terjadi dengan frekuensi yang
lebih rendah dibanding kardiomiopati dilatasi maupun
hipertrofik pada negara maju. Kasus terbanyak yang dapat
menyebabkan kardiomiopati restriktif adalah amiloidosis
(Braunwald, hlm. 1569).
II.2.5.3 Patologi
Kardiomiopati restriktif secara makroskopis akan
menunjukan tanda pembesaran pada kedua atrium. Secara
mikroskopis, akan terlihat tanda fibrosis pada miokardium.
Selain itu, terdapat juga infiltrasi atau jaringan parut pada
permukaan endomiokardium, dan juga terdapat hipertrofi
miosit (Braunwald, hlm. 1569-1570).
II.2.5.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari kardiomiopati restriktif akan
menunjukan tanda penurunan compliance dari ventrikel,
baik akibat infiltrasi maupun akibat fibrosis, sehingga
menyebabkan upward shift pada kurva pengisian pasif
ventrikel. Hal ini akan mengakibatkan tekanan tinggi pada
diastolik yang abnormal. Konsekuensi dari hal ini adalah:
1) peningkatan tekanan vena sistemik dan pulmonal,
dengan tanda kongesti vaskular sisi kanan dan kiri, dan 2)
penurunan ukuran ruang ventrikel dengan penurunan
stroke volume dan cardiac output (Lily, hlm. 257).
II.2.5.5 Manifestasi Klinis
Berdasarkan patofisiologi di atas, maka kejadian untuk
terjadinya gagal jantung sisi kanan dan kiri akan mungkin
terjadi. Penurunan cardiac output memiliki manifestasi
kelelahan, dan penurunan toleransi aktivitas. Kongesti
sistemik akan menyebabkan distensi vena jugular, edema
perifer, dan asites dengan terdapat pembesaran hepar dan

30
adanya nyeri tekan pada hepar. Aritmia, termasuk atrial
fibrillation, sering terjadi pada kardiomiopati restriktif.
Infiltrasi pada kardiomiopati restriktif yang mengenai
sistem konduksi jantung akan dapat menyebabkan blok
konduksi (Lily, hlm. 257-258). Manifestasi lain yang
mungkin terdapat adalah dispneu, nyeri dada saat
beraktivitas, dan dapat menyebabkan juga edema anasarka
(Braunwald, hlm. 1570).
II.2.5.6 Diagnosis
a) Anamnesis
Pada anamnesis, dapat ditemukan gejala gagal
jantung baik pada sisi kanan, seperti adanya distensi
vena jugular, edema perifer, dan asites, dan gejala gagal
jantung sisi kiri seperti dispneu, kelelahan, dan
penurunan toleransi aktivitas (Lily, hlm. 257-258).
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kardiomiopati restriktif juga
didapatkan tanda-tanda gagal jantung kongestif,
termasuk adanya rales pada auskultasi paru, distensis
vena jugular, asites, dan edema perifer. Distensi vena
jugular biasanya memburuk ketika inspirasi akibat
kekakuan ventrikel kanan yang tidak bisa
mengakomodasi peningkatan aliran vena balik (Lily,
hlm. 258). Pada auskultasi jantung, terdapat suara
gallop S3 dan S4, dan pada pemeriksaan palpasi jantung,
teraba iktus kordis pada pasien (Braunwald, hlm.
1570).
c) Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan rontgen dada menunjukan tanda
jantung yang normal dengan tanda kongesti pada paru.
EKG menunjukan ketidakspesifikan pada abnormalitas
gelombang ST-T. Pada EKG juga, mungkin terlihat

31
adanya blok atrioventricular atau bundle branch block
(Lily, hlm. 258).
Pemeriksaan echocardiography merupaan
pemeriksaan rutin yang harus dilakukan pada pasien
dengan kecurigaan kardiomiopati restriktif. Pada
pemeriksaan echocardiography, terdapat pembesaran
pada kedua atrium, dan peningkatan penebalan dinding
yang diasosiasikan dengan infiltrasi miokardium.
Doppler echocardiography menunjukan gangguan pada
relaksasi miokardium dengan peningkatan kecepatan
pengisian awal ventrikel kiri, penurunan kecepatan
pengisian atrium, dan penurunan waktu relaksasi
isovolumetric. Pada pemeriksaan kadar BNP, terdapat
peningkatan BNP pada kardiomiopati restriktif
(Braunwald, hlm. 1570-1571).
Pemeriksaan lain yang berguna adalah pemeriksaan
CT-Scan dan MRI-Scan, untuk membedakan
kardiomiopati restriktif dngan perikarditis konstriktif.
Pemeriksaan lain, yaitu transvenous endomyocardial
biopsy, dapat memeriksan sampel hasil biopsy untuk
melihat adanya tanda infiltratif seperti amiloid,
penumpukan besi, atau hasil metastasis tumor (Lily,
hlm. 258).
II.2.5.7 Tata Laksana
Penatalaksanaan dari kardiomiopati restriktif harus
ditargetkan pada etiologi yang mendasari. Pada
hemochromatosis stadium awal, dapat dilakukan
phlebotomy dan terapi pengganti besi (Lily, hlm. 258).
Penggunaan glukokortikoid dan kemoterapi juga
memberikan manfaat untuk menekan hipereosinofilia yang
ada. Pembedahan dengan melakukan reseksi pada apeks
dan penggantian katup yang terfibrosis dapat memberikan

32
manfaat yang baik, akan tetapi tingkat morbiditas dan
mortalitas pembedahan masih tinggi (Harrison, hlm.
1568).
Terapi simptomatik pada pasien kardiomiopati
restriktif, termasuk pada restriksi garam, dan penggunaan
diuretik. Penggunaan vasodilator tidak dapat bermanfaat
karena fungsi sistolik nya masih bertahan. Selanjutnya,
adalah harus dipertahankan ritme sinus pada pasien.
Penggunaan antikoagulan disarankan karena penderita
kardiomiopati restriktif sangat rentan terhadap
pembentukan thrombus di dalam ventrikel (Lily, hlm.
258).
II.2.5.8 Prognosis
Prognosis pada kardiomiopati restriktif memiliki variasi
tergantung pada etiologi yang mendasari. Pada
amiloidosis, biasanya bergejala progresif dan sangat cepat
mortalitasnya (Braunwald, hlm. 1570). Angka bertahan
hidup pada pasien dengan amiloidosis berkisar sekitar 6-
12 bulan setelah gejala terdapat gejala gagal jantung
(Harrison, hlm. 1567).
II.3 Peripartum Cadiomyopathy
Peripartum cardiomyopathy (Kardiomiopati peripartum) merupakan
bentuk kardiomiopati dilatasi yang ditandai dengan gejala gagal jantung
diantara bulan terakhir kehamilan hingga 6 bulan post partum (Lily, hlm.
246). Pasien dengan riwayat penyakit miokardium di ekslusikan dari
penyakit ini, dan oleh karena nya, penyakit ini sukar didiagnosis pada pasien
yang tidak pernah menjalani foto rontgen dada atau echocardiogram
(Braunwald, hlm. 1776).
II.3.1. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian kardiomiopati
peripartum adalah tingginya usia ibu, meningkatnya paritas, hamil
kembar, malnutrisi, penggunaan terapi tokolitik untuk persalinan

33
premature, dan preeklampsia atau toxemia pada kehamilan
(Harrison, hlm. 1562). Faktor risiko lain adalah pada pasien dengan
ras Afrika atau Amerika, dan pada pasien dengan hipetensi
(Braunwald, hlm. 1776).
II.3.2. Epidemiologi
Insidens sebenarnya dari kardiomiopati peripartum masih belum
diketahui. Diperkirakan, sekitar 1 pasien dari 3000 pasien
mengalami kardiomiopati peripartum (Braunwald, hlm. 1776).
Frekuensi terjadinya kardiomiopati peripartum pada persalinan
diperkirakan 1:2.000 dan 1:15.000 (Harrison, hlm. 1562).
II.3.3. Patofisiologi
Terdapat beberapa hipotesis dalam penentuan patofisiologi dari
kardiomiopati peripartum. Teori pertama ada penyakit ini terjadi
akibat miokarditis limfositik. Hal ini akan menyebabkan inflamasi
sehingga dihipotesiskan meningkatkan kemampuan miokarditis
viral atau miokarditis autoimun akibat dari reaksi silang dari
antibody anti-uterine yang melawan otot jantung. Teori yang kedua
adalah yaitu adanya pengeluaran fragmen prolaktin yang abnormal.
Abnormalitas ini menginduksi berbagai stress oksidatif dan
mungkin memicu apoptosis jantung (Harrison, hlm. 1562).
II.3.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kardiomiopati peripartum meliputi gejala
dari gagal jantung (Lily, hlm. 246). Gejala yang paling sering
adalah kelelahan, pusing, dan dispneu ketika beraktivitas akibat
dari turunnya perfusi jaringan. Kongesti pada paru menghasilkan
dispneu, ortopneu, dan paroxysmal nocturnal dyspnea, dimana
yang lainnya dapat menyebabkan kongesti vena sistemik kronik
yang dapat menyebabkan asites dan edema perifer (Lily, hlm. 248).
II.3.5. Diagnosis
a) Anamnesis
Anamnesis pada pasien dengan kardiomiopati peripartum
harus dilihat dahulu usia pasien, usia berapa minggu setelah

34
persalinan, atau usia kandungan saat ini (AHA, hlm. 1399). Pada
pasien dapat ditemukan gejala gagal jantung kongestif, seperti
dyspnea on effort, paroxysmal nocturnal dyspnea, kelelahan,
pusing, penambahan berat badan. Terdapat gejala seperti nyeri
pada perut akibat adanya hepatomegali, bengkak pada perut
akibat asites, bengkak pada tungkai, atau nyeri dada meskipun
sangat jarang terjadi. (Braunwald, hlm. 1567).

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kardiomiopati peripartum dapat
ditemukan tanda penurunan cardiac output seperti akral dingin,
tekanan arteri yang lemah, dan takikardia. Tanda kongesti vena
pulmonal menghasilkan suara crackles (rales) pada auskultasi,
suara dullness pada perkusi dada bagian basalis yang
diakibatkan efusi pleura (Lily, hlm. 248).
Pada pemeriksaan jantung menunjukan pembesaran jantung
dengan pergeseran impuls apeks jantung. Pada auskultasi,
terdapat suara bunyi jantung S3 sebagai tanda fungsi sistolik
yang menurun. Jika gagal jantung nya sudah mencapai kanan,
maka dapat terdapat tanda-tanda kongesti vena sistemik seperti
distensi vena jugular, hepatomegali, asites, dan edema perifer
(Lily, hlm. 248).
c) Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan rontgen dada menunjukan pembesaran
jantung. Pada pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) biasanya
menunjukan pembesaran atrium dan ventrikel. Fibrosis pada
myofibers dapat menyebabkan aritmia, utamanya atrial
fibrillation dan ventricular tachycardia. Dapat terjadi juga left
atau right bundle branch block pada banyak kasus.
Abnormalitas pada gelombang repolarisasi dapat terlihat banyak
kasus (Lily, hlm. 248-249).

35
Echocardiography merupakan pemeriksaan penunjang yang
berguna dalam mendiagnosis kardiomiopati peripartum. Pada
pemeriksaan ini, dapat terlihat pembesaran pada ventrikel kiri,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, regurgitasi mitral dan tricuspid,
dan hipertensi pulmonal (AHA, hlm. 1399).
II.3.6. Tata Laksana
Tata laksana dari kardiomipati peripartum sama dengan
penatalaksanaan pada gagal jantung, kecuali ACE-Inhibitor dan
ARB karena keduanya kontraindikasi terhadap kehamilan. Untuk
menurunkan preload dan meningkatkan kesembuhan gejala,
dapat digunakan hidralazin, beta-blocker, dan digoksin. Pada
pasien dengan ejection fraction < 35%, maka risiko untuk
terbentuk nya trombus dalam jantung lebih tinggi. Oleh karena
nya perlu di lakukan pemberian heparin unfractioned
(Braunwald, hlm. 1777).
Pada pasien dengan risiko aritmia hingga kematian
mendadak, dapat dipasangkan alat Implantable Cardioverter-
Defibrillator (ICD) untuk menjadi alat pencegah utama dari
risiko ini (AHA, hlm. 1400).
II.3.7. Prognosis
Terdapat peningkatan angka kesembuhan pada kardiomiopati
peripartum. Pada salah satu penelitian, 71% wanita berhasil
sembuh ejection fraction ventrikel kiri nya hingga >50%.
Sedangkan hanya 13% kardiomiopati peripartum yang tetap
bertahan dengan ejection fraction < 35% (AHA, hlm. 1401).

36
BAB III
RINGKASAN

Kardiomiopati merupakan sekumpulan gangguan pada jantung, terutama


keabnormalitas struktur pada miokardium (Lily, hlm 244). Penyakit pada
miokardium / otot jantung pada kardiomiopati merupakan hasil dari banyak sekali
pengaruh, baik dari defek genetik, cedera pada otot jantung, dan infiltrasi dari
jaringan mikoardium (Braunwald, hlm 1561). Terminologi kardiomiopati
dimaksudkan untuk mengecualikan disfungsi jantung yang berakibat dari penyakit
pada struktur jantung lain, seperti penyakit jantung koroner, penyakit katup
primer, atau hipertensi berat (Harrison, hlm. 1553).
Kardiomiopati di klasifikasikan menjadi 3 tipe berdasarkan pada penampakan
anatomi dan abnormalitas fisiologi dari ventrikel kiri, diantara nya adalah (Lily,
hlm. 244): 1) Kardiomiopati dilatasi merupakan kardiomiopati yang
dikarakteristikan dengan pembesaran pada ruang ventrikel dengan gangguan
fungsi kontraktilitas sistolik (Lily, hlm. 244). Penurunan fungsi sistolik pada
kardiomiopati dilatasi diukur dengan ejection fraction ventrikel kiri yang
menunjukan karakteristik kardiomiopati dilatasi (Harrison, hlm. 1556). 2)
Kardiomiopati Hipetrofik, merupakan kardiomiopati dengan penebalan dari
dinding ventrikel yang abnormal dengan relaksasi diastolik abnormal tetapi
biasanya dengan fungsi sistolik yang utuh (Lily, hlm. 244). 3) Kardiomiopati
Restriktif, Kardiomiopati dengan adanya kekakuan pada miokardium yang
abnormal akibat dari fibrosis atau proses infiltratif, yang menyebabkan gangguan
relaksasi diastolik (Lily, hlm. 244). Pada kardiomiopati restriktif, terjadi gangguan
pengisian diastolik, dengan fungsi sistolik yang normal (Lily, hlm. 257)
Peripartum cardiomyopathy (Kardiomiopati peripartum) merupakan bentuk
kardiomiopati dilatasi yang ditandai dengan gejala gagal jantung diantara bulan
terakhir kehamilan hingga 6 bulan post partum (Lily, hlm. 246). Pasien dengan
riwayat penyakit miokardium di ekslusikan dari penyakit ini, dan oleh karena nya,
penyakit ini sukar didiagnosis pada pasien yang tidak pernah menjalani foto
rontgen dada atau echocardiogram (Braunwald, hlm. 1776).

37
Manifestasi klinis dari kardiomiopati peripartum meliputi gejala dari gagal
jantung (Lily, hlm. 246). Gejala yang paling sering adalah kelelahan, pusing, dan
dispneu ketika beraktivitas akibat dari turunnya perfusi jaringan. Kongesti pada
paru menghasilkan dispneu, ortopneu, dan paroxysmal nocturnal dyspnea, dimana
yang lainnya dapat menyebabkan kongesti vena sistemik kronik yang dapat
menyebabkan asites dan edema perifer (Lily, hlm. 248).
Pemeriksaan fisik pada kardiomiopati peripartum dapat ditemukan tanda
penurunan cardiac output seperti akral dingin, tekanan arteri yang lemah, dan
takikardia. Tanda kongesti vena pulmonal menghasilkan suara crackles (rales)
pada auskultasi, suara dullness pada perkusi dada bagian basalis yang diakibatkan
efusi pleura (Lily, hlm. 248). Pada pemeriksaan jantung menunjukan pembesaran
jantung dengan pergeseran impuls apeks jantung. Pada auskultasi, terdapat suara
bunyi jantung S3 sebagai tanda fungsi sistolik yang menurun. Jika gagal jantung
nya sudah mencapai kanan, maka dapat terdapat tanda-tanda kongesti vena
sistemik seperti distensi vena jugular, hepatomegali, asites, dan edema perifer
(Lily, hlm. 248).
Pada pemeriksaan rontgen dada menunjukan pembesaran jantung. Pada
pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) biasanya menunjukan pembesaran atrium
dan ventrikel. Fibrosis pada myofibers dapat menyebabkan aritmia, utamanya
atrial fibrillation dan ventricular tachycardia. Dapat terjadi juga left atau right
bundle branch block pada banyak kasus. Abnormalitas pada gelombang
repolarisasi dapat terlihat banyak kasus (Lily, hlm. 248-249).
Tata laksana dari kardiomipati peripartum sama dengan penatalaksanaan pada
gagal jantung, kecuali ACE-Inhibitor dan ARB karena keduanya kontraindikasi
terhadap kehamilan. Untuk menurunkan preload dan meningkatkan kesembuhan
gejala, dapat digunakan hidralazin, beta-blocker, dan digoksin. Pada pasien
dengan ejection fraction < 35%, maka risiko untuk terbentuk nya trombus dalam
jantung lebih tinggi. Oleh karena nya perlu di lakukan pemberian heparin
unfractioned (Braunwald, hlm. 1777). Pada pasien dengan risiko aritmia hingga
kematian mendadak, dapat dipasangkan alat Implantable Cardioverter-
Defibrillator (ICD) untuk menjadi alat pencegah utama dari risiko ini (AHA, hlm.
1400).

38
39
DAFTAR PUSTAKA

Tortora, GJ, Derrickson, B 2014, Principles of Anatomy and Physiology 14th


edition, Wiley: Hoboken
Drake, RL, Vogl, AW, Mitchell, AWM 2012, Gray’s Basic Anatomy, Elsevier:
Philadelphia
Lily, LS 2011, Pathophysiology of Heart Disease 5th Edition, Lippincot Williams
& Wilkins: Baltimore
Braunwald, E, Bonow, RO, Mann, DL, Zipes, DP, Libby, P 2012, Brauwald’s
Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine Ninth Edition,
Elsevier: Philadelphia
Kasper, DL, Hauser, SL, Jameson, JL, Fauci, AS, Longo, DL, Loscalzo, J 2015,
Harrison’s Principle of Internal Medicine 19th Edition, McGraw-Hill: New
York
Arany, Z, Elkayam, U 2016, Peripartum Cardiomyopathy, hlm. 1397-1409,
diakses 17/01/2020,
https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/CIRCULATIONAHA.115.02
0491

40

Anda mungkin juga menyukai