(SKA)
YY
Disusun oleh :
030.12.137
Pembimbing :
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai salah satu syarat
menyelesaikan Kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit TNI AL dr.
Mintohardjo, Jakarta.
Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah serta
hikmah-Nya kepada penulis atas kesempatanya yang telah diberikan. Terima kasih
juga kepada dr. Etra Ariadno, Sp. PD selaku pembimibing atas waktu, pengarahan,
masukan serta berbagai ilmu yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul Sindroma Koroner Akut (SKA) sebagai salah
satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di rumah sakit
TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo periode 16 mei – 30 juli 2016.
Adapun tugas ini di tulis berdasarkan acuan dari berbagai sumber yang ada.
Tentunya dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang
tidak dapat dihindari. Oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan
referat ini sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
terutama dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN………………………………......……………….........….i
KATA PENGANTAR……………………………………………......………….........ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
2.3 Definisi.........................................................................................................7
2.4 Etiologi.........................................................................................................7
2.6 Etiologi.......................................................................................................11
2.7 Patofisiologi...............................................................................................12
2.8 Diagnosis...........….....................................................................................15
2.11 Penatalaksanaan.......................................................................................24
2.12 Komplikasi...............................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
mitral. Katup trikuspid dan katup mitral berfungsi mencegah darah yang telah
dipompakan atrium ke ventrikel kembali lagi ke atrium ketika ventrikel
berkontraksi. Ujung-ujung katup ini diikat oleh korda tendinea ke muskulus
papillaris. Darah dari ventrikel kanan akan dipompa ke paru melalui arteri
pulmonaris. Sedangkan darah dari ventrikel kiri akan dipompakan ke seluruh
tubuh melalui aorta dan sebagian kecil akan dipompakan ke jantung untuk
menyuplai oksigen dan nutrisi untuk otot jantung melalui arteri koroner.(4)
Perdarahan otot jantung berasal dari 2 pembuluh koroner utama yang keluar
dari sinus valsava aorta yang cabang utamanya terletak di sulkus interventrikuler
dan atrioventrikuler. Pembuluh koroner pertama adalah ateri koroner kiri atau Left
Main Coronary Artery (LMCA) yang berjalan di belakang arteri pulmonal
sepanjang 1-2 cm untuk kemudian bercabang menjadi Left Circumflex Artery
(LCX) yang berjalan pada sulkus artrio-ventrikuler mengelilingi permukaan
posterior jantung dan arteri desenden anterior kiri atau Left Anterior Descendent
Artery (LAD) yang berjalan pada sulkus interventrikuler sampai ke apeks.
Pembuluh darah ini juga bercabang-cabang mendarahi daerah diantara kedua
sulkus tersebut. Diameter arteri koroner kiri lebih besar dari diameter arteri
koroner yang kanan dan menyuplai darah lebih banyak ke miokardium termasuk
seluruh ruang jantung dan septum interventrikuler, kecuali yang right dominance
(dominan kanan) dimana arteri koroner kanan yang menyuplai bagian posterior
3
jantung. Arteri koroner kiri yang keluar dar aorta jarang memberikan percabangan
ke SA node dan ketika mencapai sulkus atrioventrikuler, bercabang menjadi 2 atau
3 cabang utama. Arteri interventrikuler anterior merupakan cabang pertamanya
yang sering digambarkan sebagai kelanjutan dari arteri koroner kiri. Arteri ini
berjalan ke bawah, oblik, depan, dan ke kiri di sulkus interventrikuler dan
mencapai apeks jantung.(4)
Pembuluh koroner kedua, disebut sebagai arteri koroner kanan, Arteri koroner
kanan muncul dari sinus aorta anterior dan berjalan ke depan melalui trunkus
pulmonaris dan atrium kanan, serta menyelusuri sulkus atrioventrikuler bagian
kanan. Dekat dengan asalnya, arteri koroner kanan selalu memberikan
percabangan ke nodus sinoatrial (SA node) yang memberikan percabangan ke
nodus tersebut. Arteri koroner kanan kemudian berjalan turun melalui sulkus
koroner dan bercabang menjadi arteri marginalis kanan, yang menyuplai darah ke
bagian pinggir kanan jantung, dan berjalan ke apeks jantung, tetapi tidak
mencapainya. Setelah memberikan percabangan ini, arteri koroner kanan berbelok
ke kiri dan terus menyelusuri sulkus koroner ke arah posterior jantung. Pada
bagian posterior, dimana pertemuan antara septum interatrial dan septum
interventrikuler di antara 4 ruang jantung, arteri koroner kanan memberikan
percabangan ke nodus atrioventrikuler (AV node).(4)
4
Fungsi pembuluh vena jantung diperankan oleh vena koroner yang selau
berjalan berdampingan dengan arteri koroner, yang kemudian akan bermuara ke
dalam atrium kanan melalui sinus koronarius. Selain itu terdapat pula vena
thebesii, yaitu vena-vena kecil yang langsung bermuara ke dalam atrium kanan.
5
Sistem Peredaran Darah Koroner
Pembuluh koroner dibagi menjadi Right Coronary Artery (RCA), Left Coronary
Artery (LCA), Left Arterior Descending Artery dan Circum Flex Artery, sistem
sirkulasi darah koroner terpisah dari sistem aliran darah kecil maupun sistem
aliran darah besar. Artinya khusus untuk menyuplai darah ke otot jantung, yaitu
melalui pembuluh koroner dan kembali melalui vena dan kemudian menyatu serta
bermuara langsung ke dalam atrium kanan melalui sistem peredaran darah
koroner ini, jantung mendapatkan oksigen, zat makanan, serta zat-zat lain agar
dapat menggerakkan jantung sesuai dengan fungsinya.(1,4)
6
2.3 DEFINISI
2.4 EPIDEMIOLOGI
7
2.5 FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang ada hubungannya dengan proses aterosklerosis antara
lain adalah : (2,4)
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah :
a) Umur
Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan
umur. Perubahan utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan
tunika intima disertai tunika media yang mengalami fibrosis.
Ketebalan dari tunika intima yang diamati secara bertahap meningkat
ketika dekade keempat dan kemudian menipis secara bertahap. Umur
berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner karena
dapat mempengaruhi faktor resiko lain, seperti tekanan darah tinggi,
obesitas, dan kadar lemak. Sekitar 82% orang meninggal akibat
penyakit jantung koroner berumur di atas 65 tahun dan jumlah kasus
pada umur antara 75 sampai 84 tahun akan menjadi 2 kali lipat pada 30
tahun kemudian
b) Jenis kelamin
Pria memunyai resiko lebih besar dari perempuan dan mendapat
serangan lebih awal dalam kehidupannya dibandingkan wanita. Itu
dikarenakan kebanyakan faktor resikonya tidak mau diubah oleh pria,
seperti merokok, alkohol, dan kadar HDL yang lebih rendah dari
wanita. dan sebelum menopause, estrogen memberikan perlindungan
kepada wanita dari penyakit jantung koroner. Setelah masa
menopause, ketika angka kematian pada wanita akibat penyakit
jantung koroner meningkat.
c) Riwayat penyakit dalam keluarga.
Riwayat penyakit jantung koroner dini pada keluarga merupakan
faktor resiko yang bebas, dan diduga ada variasi urutan DNA yang
diturunkan yang berperan dalam resiko penyakit jantung. Baik pria
maupun perempuan yang memiliki paling sedikit satu orang tua yang
memiliki penyakit jantung koroner beresiko 1,4 sampai 1,6 kali terkena
penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang tanpa orang tua
yang menderita penyakit jantung koroner.
8
2. Faktor risiko yang dapat diubah :
a) Merokok
Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida,
ammonia, formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya
adalah nikotin (efek akut) dan tars (efek kronis). Efek nikotin pada
sistem kardiovaskuler adalah efek simpatomimetik, seperti
menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol,
meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac
output, dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan
aterosklerotik, penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL
menjadi lebih mudah memasuki dinding arteri yang berperan dalam
patogenesis penyakit jantung koroner. Merokok juga meningkatkan
oksidasi dari LDL.
b) Hiperlipidemi
Kolesterol sangat penting bagi sel yang sehat, tetapi bila tubuh
mengakumulasikannya dalam jumlah banyak, kolesterol akan
berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan
kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, resiko
serangan jantung akan meningkat. Kolesterol terdiri dari 2 bentuk
utama, yaitu HDL (high density lipoprotein) yang berperan dalam
membawa kadar lemak yang tinggi dalam jaringan ke hati untuk
dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang berperan
membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL
yang tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan resiko
penyakit jantung, terutama penyakit jantung koroner.
c) Hipertensi
Tekanan darah tinggi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan
dinding jantung menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung
tidak berkerja dengan baik. Ini meningkatkan resiko kejadian stroke,
serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit jantung kongestif.
Patofisiologi dari hipertensi menyebabkan penyakit jantung koroner
melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan pada
endotel yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat
9
keluar dan membuat penumpukan okigen reaktif serta penumpukan
faktor-faktor inflamasi yang mendukung perkembangan dari
aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan pembuluh darah. Kedua,
hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan
hipertropi dari ventrikel kiri. Itu menyebabkan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokardium dan menurunnya aliran darah koroner.
d) Aktivitas fisik yg kurang
Aktivitas fisik yang kurang meningkatkan resiko penyakit jantung
koroner sebesar 2 kali lipat dan dapat memperburuk faktor-faktor
resiko yang lain, seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol dan
trigliserida yang tinggi, diabetes, dan berat badan yang berlebih.
e) Obesitas
Obesitas, khususnya obesitas sentral, menyebabkan berbagai hal. Salah
satunya adalah menyebabkan peningkatan kadar insulin dan resistensi
insulin (diabetes melitus) dimana insulin menyebabkan peningkatan
sistem saraf simpatis dan mempengaruhi ginjal untuk meretensi garam
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Obesitas juga
menyebabkan defisiensi leptin dimana leptin berperan dalam mengatur
rasa kenyang dan juga mengaktifkan sistem renin angiotensin
aldosteron yang akan meningkatkan tekanan darah. Selain
meningkatkan tekanan darah, obesitas dapat meningkatkan level
kolesterol dan trigliserida, serta menurunkan HDL
f) DM
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
pembentukan plak ateromatous pada arteri. Hiperglikemi pada orang
diabetes menyebabkan banyak perubahan pada biomolekuler tubuh,
yaitu peningkatan reduksi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+)
menjadi NADH yang belum terbukti sebagai stressor oksidatif seluler,
peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP) N-acetyl
glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi enzimatik seluler,
dan pembentukan advanced glycation end product (AGE) yang secara
langsung menganggu fungsi sel endotel dan mempercepat
aterosklerosis, serta peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang
menganggu produksi nitrit oksida endotel dan menipiskan plak
10
aterosklerosis sehingga mudah ruptur. Bahkan ketika kadar glukosa
dalam darah dapat dikontrol, diabetes tetap akan meningkatkan resiko
penyakit jantung dan stroke walaupun tidak separah yang tidak
terkontrol kadar gula darahnya. Sekitar 65% orang yang terkena
diabetes meninggal karena berbagai penyakit pada jantung dan
pembuluh darah.
2.6 ETIOLOGI
11
2.7 PATOFISIOLOGI
12
miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau
progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses
aterosklerosis yang bersifat tidak stabil/progresif yang dikenal juga dengan sindroma
koroner akut.(5,7)
Gambar 3. Aterosklerosis
SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade
pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang
mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous
cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’.
Setelah plak mengalami ruptur maka tissue factor ‘faktor jaringan’ dikeluarkan dan
bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X
menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak.
Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus
arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis ‘trombosis akut’.(6,7)
13
Gambar 4. Proses koagulasi pada rupture plak koroner
14
Gambar 5. Perbandingan Sindroma Koroner Akut
Letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan
elevasi ST adalah dari jenis trombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan
trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan
pada elevasi ST adalah trombus komplet/oklusif. Apabila pembuluh darah tersumbat
100% maka terjadi infark miokard dengan elevasi ST segmen. Namun bila sumbatan
tidak total, tidak terjadi infark, hanya unstable angina atau infark jantung akut tanpa
elevasi segmen ST.(6,7,8)
2.8 DIAGNOSIS
15
leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina
tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop. Sementara pada angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien
usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes,
gagal ginjal menahun, atau demensia.(9)
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan faktor risiko yang mendukung ke arah penyakit jantung coroner, memiliki
penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer atau karotis), diketahui
mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner
(CABG) atau Intervensi koroner perkutan (PCI).(9)
Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk
menapis kontraindikasi terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi
aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas
atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.(9,10)
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan kecurigaan SKA antara lain EKG, tes
marka jantung, laboratorium dan foto polos dada. Gambaran EKG yang dijumpai
pada pasien dengan keluhan angina dapat bervariasi yaitu normal, nondiagnostik,
LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang
persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau
16
tanpa inversi gelombang T. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit
sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point
dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST
untuk diagnosis STEMI pada sebagian besar sadapan adalah >1mm. Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. Adanya
keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar >1 mm. Bersamaan dengan depresi segmen
ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan
dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2
mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.(10,11)
17
gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi,
dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan
disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi
dari troponin T.
Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran
limfatik. Profil kadar petanda biokimia terhadap waktu pengambilan di sirkulasi
perifer bergantung pada berat molekulnya, lokasi dalam sel dan karakteristik
pelepasannya dan kecepatan aliran vaskuler atau limfatik dan klirens sistemik.
Protein-protein intraseluler ini meliputi aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase , creatine kinase isoenzime MB (CK-MB), myoglobin, carbonic
anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI
dan cTnT).(12)
perforasi ulkus peptikum atau saluran cerna, emboli paru, dan tension
pneumothorax.
18
b. Non iskemik: miokarditis, perikarditis, kardiomyopati hipertropik,
psikogenik.
19
risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau
intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.(9)
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing-
masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun, ≥3
faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali
keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan
penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis
koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi.
Tabel 1. Skor TIMI
Parameter
Usia > 65 tahun 1
Lebih dari 3 faktor risiko* 1
Angiogram koroner sebelumnya menunjukkan stenosis >50% 1
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Setidaknya 2 episode nyeri saat istirahat dalam 24 jam terakhir 1
Deviasi ST > 1 mm saat tiba 1
Peningkatan marka jantung (CK, Troponin) 1
Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 :
risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi
(risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk
prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk
UAP/NSTEMI.
Tabel 2. Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI
20
Tabel 3. Skor GRACE
Prediktor Skor
Usia dalam tahun
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali per menit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (µmol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
≥354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
Peningkatan marka jantung 15
Deviasi segmen ST 30
Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu,
pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko
kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan
setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap
mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor
risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-
8%) dan tinggi (>8%).
21
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut
dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi
Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi GRACE.
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala
upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-
variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama
perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar
hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung,
penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik. Dalam
skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap
berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi
dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.
22
≤70 0
71-80 1
81-90 3
91-100 6
101-110 8
111-120 10
≥121 11
Jenis kelamin
Pria 0
Wanita 8
Tanda gagal jantung saat datang
Tidak 0
Ya 7
Riwayat penyakit vaskular sebelumnya
Tidak 0
Ya 6
Diabetes
Tidak 0
Ya 6
Tekanan darah sistolik, mmHg
≤90 10
91-100 8
101-120 5
121-180 1
181-200 3
≥200 5
Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai tingkat risiko
perdarahan.
Tabel 5. Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE
Selain stratifikasi risiko yang telah disebutkan di atas, untuk tujuan revaskularisasi
dan strategi invasif, pasien juga dibagi dalam beberapa kelompok risiko, yaitu risiko
sangat tinggi dan risiko tinggi. Penentuan faktor risiko ini berperan dalam penentuan
perlu-tidaknya dilakukan angiografi dan waktu dari tindakan tersebut
.
23
2.11 PENATALAKSANAAN
24
Tabel 6. Kontraindikasi terapi fibrinolitik
25
d. Inisiasi Anti trombotik
a. Kombinasi anti platelet
Inisiasi anti platelet yang digunakan yaitu dengan
menggunakan kombinasi penghambat siklooksigenase-1
/COX-1 yaitu aspirin loading dose 162-325 mg PO,
dilanjutkan dengan pemberian maintenance 75-162 mg PO
dan penghambat receptor P2Y12 yaitu klopidogrel loading
dose 300-600 mg PO, serta dosis maintenance klopidogrell
75 mg/hari PO diberikan selama minimal 12 bulan.
b. Anti koagulan
Pilihan antikoagulan yang dapat digunakan adalah
penghambat thrombin indirek (unfractioned heparun/ufh)
atau low molecular weight heparin (LMWH) bolus IV 60-
70 U/KgBB, dilanjutkan dengan infus 12-15 U/KgBB/jam
yang di titrasi hingga nilai aPTT 50-70 detik.(3)
26
2.12 KOMPLIKASI
1. Gagal jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan
IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi,
namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi
mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis
disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai
konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi
mekanis. Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-
BNP menandakan peningkatan stress dinding miokardium dan telah
terbukti berperan dalam menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat
jalan atau pemulangan pasien dan mengenali pasien yang berisiko
mengalami kejadian klinis yang tidak diharapkan.(3,9,12)
2. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit
mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah
awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien
pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK (SHould we
emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK)
menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan
75% syok terjadi dalam 24 jam. Pasien biasanya datang dengan
hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat,
perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti
paru.
3. Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen
basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Foto
polod dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi
27
vasodilator.
4. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah
90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat
juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi
mekanis.
5. Aritmia
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi
dari kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard,
kegagalan pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan
elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa.
6. Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan
semakin majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala
perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam
dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan
pernapasan. Nyeri biasanya menghilang dengan pemberian aspirin
dosis tinggi, paracetamol atau kolkisin. Perikardiosentesis jarang
diperlukan, namun perlu dilakukan apabila terdapat perburukan
hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade.(9)
7. Komplikasi mekanik :
o Ruptur korda
o Ruptur septum ventrikel
o Ruptur dinding bebas
28
BAB III
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Delima. Faktor Determinan Gejala Angina Pektoris pada Masyarakat yang Belum
Pernah Terdiagnosis Penyakit Jantung. Maj Kedokt Indon.2009;59;(11).p 519-25.
2. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati
Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 .p.1606- 23.
3. Liwang F, Wijaya IP. Penyakit Jantung Koroner in Kapita Selekta Kedokteran 4th
Ed. Media Aesculapius Jakarta. 2014. P 748-55.
4. Lily S Leonard. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia :
Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins ; 2011 .p.135- 89.
5. Rhee JW, Sabatine MS, & Lilly LS. Ischemic Heart Disease in Pathophysiology
of Heart Disease 5TH Ed. Lippincott Williams & Wilkins USA. 2011. P 135-60.
6. Crossman DC. Pathophysiology of myocardial ischaemia. UK : Heart
2004;90:576–580. doi: 10.1136/hrt.2003.029017.
7. Bentzon JF, Otsuka F, Virmani R, Falk E. Mechanisms of plaque formation and
rupture. Circ Res 2014;114:1852-1866.
8. Rentrop KP. Thrombi in acute coronary syndromes. Circ. 2000;101:1619-1626.
doi: 10.1161/01.CIR.101.13.1619
9. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut 3rd Ed. PERKI Jakarta. 2015. P 15-39.
10. Samsu N, Sargowo D. Sensitivitas dan spesifisitas troponin T dan I pada
diagnosis infark miokard akut. Malang, Penyakit dalam FKUB. Maj Kedokt
Indon 2007 ;57:10:363-72.
11. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-Segment elevation. European Heart Journal
2011;32: 2999–3054.doi:10.1093/eurheartj/ehr236.
12. Kumar A, Cannon CP. Acute coronary syndromes : Diagnosis and management
Part I. Mayo Clin Proc. 2009;84(10):917-938
13. Bates MS, Weitz JI. Prevention of activation of blood coagulation during acute
coronary ischemic syndromes : beyond aspirin and heparin. Cardiovasc Res.
2000. P 418-32.
30