Anda di halaman 1dari 36

REFARAT

TATALAKSANA NSTEMI

Pembimbing:
dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K)

Oleh:
Khairunnisa Lubis 130100235
Janvagrith 160100143
Novia Febiola Sihite 170100227

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KARDIOLOGI
DAN KEDOKTERAN VASKULAR

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
i

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :


Nilai :

PIMPINAN SIDANG

dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K)


ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Tatalaksana NSTEMI”. Refarat ini disusun sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan persyaratan Kepaniteraan Klinik Program Studi Pendidikan dan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Kardiologi dan Kedokteran
Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulisan refarat ini diselesaikan karena adanya bimbingan, petunjuk, nasihat,
dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada dokter pembimbing yaitu dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K) yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan refarat ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan refarat ini masih belum sempurna. Untuk
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik sebagai masukan dalam penulisan
refarat di kemudian hari. Penulis juga berharap agar refarat ini dapat bermanfaat.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 26 Mei 2021

Penulis
iii

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan..................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan................................................................................2

1.3 Manfaat Penulisan..............................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3


2.1 Anatomi dan Fisiologi Koroner Jantung.............................................3

2.2 NSTEMI (Non ST-segment Elevation Myocardial Infarction)..........5

2.2.1 Definisi....................................................................................5

2.2.2 Faktor Risiko...........................................................................5

2.2.3 Etiologi....................................................................................5

2.2.4 Patogenesis..............................................................................6

2.2.5 Diagnosis.................................................................................9

2.2.6 Tatalaksana...........................................................................16

2.2.7 Komplikasi............................................................................27

2.2.8 Prognosis...............................................................................28

BAB III. KESIMPULAN.....................................................................................29


DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu penyakit yang tidak menular
di mana terjadi perubahan patologis atau kelainan dalam dinding arteri koroner
yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokardium dan UAP (Unstable
Angina Pectoris) serta Infark Miokard Akut (IMA) seperti Non-ST Elevation
Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI).1
Sindrom koroner akut disebabkan oleh aterosklerosis yaitu suatu proses
terbentuknya plak yang berdampak pada intima dari arteri, yang mengakibatkan
terbentuknya trombus sehingga membuat lumen menyempit, yang menyebabkan
terjadinya gangguan suplai darah sehingga kekuatan kontraksi otot jantung
menurun. Jika trombus pecah sebelum terjadinya nekrosis total jaringan distal,
maka terjadilah infark pada miokardium.1
Faktor risiko SKA terbagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi meliputi riwayat penyakit jantung koroner (PJK) pada
keluarga, usia, jenis kelamin, dan etnik, sementara faktor risiko yang dapat
dimodifikasi meliputi hipertensi, diabetes melitus, hiperkolestrolemia, merokok,
gaya hidup sedenter, diet tinggi lemak, obesitas, dan stres.2
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama secara global,
lebih banyak orang meninggal setiap tahun akibat penyakit kardiovaskular
daripada penyebab lainnya.3 Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak
menular yang menyebabkan sebanyak >17 juta kematian di dunia setiap tahun
(30% dari semua kematian), 80% dari yang terjadi pada negara-negara dengan
pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini diperkirakan akan meningkat
menjadi 23,6 juta pada tahun 2030.4 Pada tahun 2016 penyakit jantung koroner
menyebabkan 36,32% penyebab kematian.5
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi penyakit jantung di Indonesia sebesar
1,5%, dan prevalensi penyakit jantung di Sumatera Utara sebesar 1,3%. 6 Di
2

Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem


sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni
sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang
disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu di antara empat
orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK.7

1.2 TUJUAN PENULISAN

Refarat ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai tatalaksana NSTEMI serta


untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Kardiologi dan
Kedokteran Vaskular Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Refarat ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan


pembaca yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan kepada
masyarakat umum agar menjadi lebih mengetahui dan memahami tentang
tatalaksana pada NSTEMI.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KORONER JANTUNG

Pembuluh darah jantung terdiri dari arteri dan vena koroner serta saluran
limfe. Komponen terbesar struktur ini terletak di dalam jaringan ikat longgar di
lemak epikardial. Otot jantung dipasok dengan oksigen dan nutrisi oleh arteri
koroner kanan dan kiri yang keluar dari akar aorta tepat di atas kantong katup
aorta. Setelah keluar, arteri ini berjalan ke anterior, masing-masing satu di setiap
sisi dari arteri pulmonal (lihat gambar 2.1).8
Arteri koroner kiri utama yang besar lewat di antara atrium kiri dan trunkus
pulmonal untuk mencapai alur atrioventrikular. Arteri koroner kiri utama terbagi
menjadi arteri koroner desenden anterior kiri (left anterior descending / LAD) dan
arteri sirkumfleks. LAD berjalan di dalam alur interventrikel anterior menuju ke
apeks jantung. Selama perjalanannya ke bawah pada bagian permukaan anterior,
LAD memberikan cabang-cabang septal yang menyuplai 2/3 anterior dari septum
interventrikel dan porsi apikal dari otot papiler anterior. LAD juga memberikan
cabang diagonal yang menyuplai permukaan anterior dari ventrikel kiri. Arteri
sirkumfleks berlanjut di dalam alur AV kiri dan melewati seputar batas kiri
jantung untuk mencapai permukaan posterior. Arteri ini memberikan cabang
obtuse marginal yang besar yang menyuplai dinding lateral dan posterior dari
ventrikel kiri.8
Arteri koroner kanan (right coronary artery / RCA) berjalan di alur AV
kanan, lewat di antara atrium dan ventrikel kanan di posterior. Arteri ini
menyuplai darah ke ventrikel kanan melalui cabang-cabang marginal akut. Pada
kebanyakan orang, distal RCA memberikan cabang besar, yaitu arteri desenden
posterior. Pembuluh darah ini berjalan dari aspek inferoposterior jantung ke apeks
dan menyuplai darah ke dinding inferior dan posterior ventrikel serta 1/3 posterior
dari septum interventrikel. Tepat sebelum bercabang menjadi cabang desenden
posterior, RCA memberikan percabangan ke arteri nodus AV.8
4

Gambar 2.1 Arteri koroner dan vena kardiak.9

Arteri desenden posterior dan nodus AV timbul dari RCA pada 85% dari
populasi. Pada orang-orang tersebut, sirkulasi koroner disebut dominan kanan
(lihat gambar 2.2). Pada sekitar 8%, arteri desenden posterior timbul dari arteri
sirkumfleks dan membentuk sirkulasi yang dominan kiri (lihat gambar 2.3). Pada
sisa populasi, suplai darah posterior jantung dikontribusikan dari cabang-cabang
keduanya, baik RCA dan arteri sirkumfleks, membentuk sirkulasi ko-dominan
(lihat gambar 2.4).8
Suplai darah ke nodus SA paling sering (70% kasus) berasal dari RCA.
Meskipun demikian, pada 25% jantung normal, arteri nodus SA berasal dari arteri
sirkumfleks, dan pada 5% kasus, baik RCA dan arteri sirkumfleks berkontribusi
pada pembuluh darah ini.8
Vena koroner mengikuti distribusi yang mirip dengan arteri koroner utama.
Pembuluh darah ini mengembalikan darah dari kapiler miokard ke atrium kanan
5

terutama melalui sinus koronarius. Vena mayor yang terletak di lapisan lemak
epikardium biasanya terletak superfisial dari arteri yang bersangkutan.8

2.2 NSTEMI (Non ST-segment Elevation Myocardial Infarction)

2.2.1 DEFINISI

NSTEMI merupakan salah satu subgrup dari sindrom koroner akut. 10 NSTEMI
adalah sindroma klinik yang disebabkan oleh oklusi parsial atauu emboli distal
arteri koroner, tanpa elevasi segmen ST pada gambaran EKG. 11 Pada NSTEMI
ditemukan peningkatan biomarka jantung seperti troponin.10

2.2.2 FAKTOR RISIKO

Secara garis besar, faktor risiko SKA dapat dibagi dua. Pertama adalah faktor
risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable), yaitu
hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia,
aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life style).12
Faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga adalah
faktor-faktor yang tidak dapat diperbaiki.12

2.2.3 ETIOLOGI

Penyebab tersering dari sindrom koroner akut adalah trombus akut di arteri
koroner. Plak ateromatosa terkadang menjadi tidak stabil atau meradang dapat
ruptur dan mengeluarkan materi trombogenik yang dapat mengaktivasi trombosit
dan kaskade koagulasi sehingga menghasilkan trombus akut. Aktivasi trombosit
melibatkan perubahan pada reseptor membran glikoprotein (GP) IIb / IIIa, yang
memungkinkan terjadinya ikatan silang (dan agregasi) trombosit. Bahkan ateroma
yang menyebabkan obstruksi minimal dapat pecah dan menyebabkan trombosis
pada> 50% kasus. Trombus yang dihasilkan dapat mengganggu aliran darah ke
bagian miokardium. Trombolisis spontan terjadi pada sekitar dua pertiga pasien;
6

24 jam kemudian, obstruksi trombotik ditemukan hanya pada sekitar 30%.


Namun, pada hampir semua kasus, obstruksi berlangsung cukup lama untuk
menyebabkan nekrosis jaringan dengan derajat yang berbeda-beda.13
Penyebab yang lebih jarang dari sindrom koroner akut adalah emboli arteri
koroner, spasm arteri koroner, diseksi arteri koroner. Emboli arteri koroner dapat
terjadi pada stenosis mitral, stenosis aorta, endokarditis infektif, atau fibrilasi
atrium. Penggunaan kokain dan penyebab spasm arteri koroner lainnya terkadang
dapat menyebabkan infark miokard. Indfark miokard yang diinduksi spasm dapat
terjadi pada arteri koroner normal atau aterosklerotik.13
Penyalahgunaan kokain dapat juga menyebabkan SKA. Kokain meningkatkan
tonus simpatik dengan menghambat pengambilan ulang presinaptik dari
norepinefrin dan dengan meningkatkan pelepasan katekolamin adrenal yang dapat
juga menyebabkan vasospasme dan penurunan oksigen miokard. Sindrom coroner
akut dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang terjadi
karena rangsangan simpatik miokard yang dipicu oleh kokain (peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah) pada kondisi penurunan suplai oksigen.8

2.2.4 PATOGENESIS

Garis lemak (fatty streaks) adalah lesi aterosklerosis yang terlihat paling awal.
Plak aterosklerotik adalah ciri khas dari aterosklerosis, yang merupakan evolusi
dari garis lemak dan memiliki 3 komponen utama yaitu migrasi sel otot polos,
gangguan sintesis dan degradasi matriks, formasi inti lemak.14
Aterosklerosis adalah proses berkelanjutan dari pembentukan plak yang
melibatkan intima arteri dan akan berkelanjutan tanpa henti sebelum akhirnya
muncul manifestasi sebagai peristiwa iskemik akut. Beberapa faktor risiko
memengaruhi proses ini, termasuk hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes, dan
merokok. Faktor risiko ini merusak endotel pembuluh darah dan mengakibatkan
disfungsi endotel, yang memainkan peran penting dalam memulai proses
aterosklerotik. Disfungsi endotel ditandai dengan berkurangnya produksi oksida
nitrat dan peningkatan produksi endotelin 1 yang berlebihan, yang merusak
7

hemostasis vaskular dan peningkatan ekspresi molekul adhesi (misalnya, selektin,


molekul adhesi sel vaskular, dan molekul adhesi antar sel), serta peningkatan
trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa zat aktif lokal.15
Setelah endotelium rusak, sel-sel inflamasi, terutama monosit, bermigrasi ke
subendotel dengan mengikat molekul adhesi endotel dan mengalami diferensiasi
menjadi makrofag. Makrofag memfagositosis lipoprotein densitas rendah (LDL)
teroksidasi yang juga menembus dinding arteri, berubah menjadi sel busa dan
menyebabkan pembentukan garis lemak. Makrofag yang diaktifkan melepaskan
kemoatraktan dan sitokin (misalnya, protein kemoatraktan monosit 1, faktor
nekrosis tumor α, dan interleukin) yang mensintesis komponen matriks
ekstraseluler di lokasi plak.15
Plak aterosklerotik mungkin stabil atau tidak stabil. Plak stabil mengalami
regresi, tetap statis, atau tumbuh perlahan selama beberapa dekade hingga dapat
menyebabkan stenosis atau oklusi. Plak yang tidak stabil rentan terhadap erosi,
fisura, atau ruptur spontan, menyebabkan trombosis akut, oklusi, dan infark jauh
sebelum menyebabkan stenosis yang bermakna secara hemodinamik. Sebagian
besar kejadian klinis disebabkan oleh plak yang tidak stabil, yang tidak tampak
parah pada angiografi.14
Stabilisasi plak dapat menjadi cara untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Kekuatan serat dan ketahanannya terhadap pecah bergantung pada
keseimbangan relatif dari deposisi dan degradasi kolagen. Pecahnya plak
melibatkan sekresi metaloproteinase, katepsin, dan kolagenase oleh makrofag
yang teraktivasi di dalam plak yang dapat menjadi ruptur. Sel T pada plak
berkontribusi dengan mensekresi sitokin. Sitokin menghambat sel otot polos
untuk mensintesis dan menyimpan kolagen, yang biasanya memperkuat plak.
Begitu plak pecah, isi plak terpapar darah yang bersirkulasi dan memicu
trombosis.14
Stabilitas plak tergantung pada beberapa faktor, termasuk komposisi plak
(proporsi relatif dari lipid, sel inflamasi, sel otot polos, jaringan ikat, dan
trombus), tekanan dinding, ukuran dan lokasi inti, dan konfigurasi plak di
kaitannya dengan aliran darah. Dengan berkontribusi pada pertumbuhan cepat dan
8

deposisi lipid, perdarahan intraplak mungkin memainkan peran penting dalam


mengubah plak stabil menjadi tidak stabil. Secara umum, plak arteri koroner yang
tidak stabil memiliki kandungan makrofag yang tinggi, inti lipid yang tebal, dan
tutup berserat yang tipis dan dapat mempersempit lumen pembuluh darah hingga
<50% dan cenderung pecah tak terduga.14

Gambar 2.2 Mekanisme formasi trombus di Koroner.8

Pecahnya plak aterosklerotik yang mengakibatkan oklusi sebagian atau


seluruhnya dari arteri koroner epikardial adalah mekanisme yang paling umum
yang menyebabkan ACS. Gangguan plak mengekspos kolagen subendotel, yang
mengakibatkan aktivasi trombosit dan kaskade koagulasi, menyebabkan
pembentukan trombus. Penurunan aliran darah akibat oklusi koroner dan/ atau
sebagian oklusi mengakibatkan gejala iskemik. Pasien dengan oklusi lengkap
umumnya datang dengan ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Jika
oklusi tidak terselesaikan tepat waktu, hal itu dapat mengakibatkan infark
transmural. Hal ini memberikan alasan untuk reperfusi dini dengan pendekatan
farmakologis atau berbasis kateter pada pasien rawat inap dengan STEMI.16
Pasien dengan arteri koroner yang tersumbat sebagian umumnya tidak
memiliki elevasi segmen ST tetapi mungkin memiliki perubahan lain yang
menunjukkan iskemia (misalnya, penurunan segmen ST, inversi gelombang T).
9

Klasifikasi sebagai angina tidak stabil (UA) atau non-STEMI (NSTEMI),


tergantung pada bukti cedera miokard (peningkatan troponin). Karakteristik
anatomi tertentu dari plak aterosklerotik membuatnya lebih mungkin untuk pecah
dan menyebabkan ruptur. Adanya lapisan fibrosa yang tipis, inti lipid besar yang
dipenuhi oleh banyak sel inflamasi, produksi matriks metaloproteinase yang
melimpah, dan relatif kurangnya sel otot halus merupakan risiko ruptur plak. Plak
semacam itu dapat menghindari deteksi angiografik, karena mungkin tidak
obstruktif secara anatomis, dan mungkin tetap diam sampai memicu trombosis.16

Gambar 2.3 Konsekuensi trombosis koroner.8

2.2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis infark miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar


keluhan angina tipikal yang dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik,
dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka jantung meningkat,
diagnosis mengarah NSTEMI. Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami
evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan dengan
STEMI, prevalensi NSTEMI lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia
10

lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal
NSTEMI lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas
keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi.
Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI adalah perawatan
dalam Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi beserta
gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.17

2.2.5.1 Presentasi Klinik

Presentasi klinik NSTEMI pada umumnya berupa:


1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%).17
2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.17
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo):
menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat, minimal kelas III
klasifikasi CCS.17
4. Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard.17
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen, terutama
pada wanita dan kaum lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah
awitan baru atau perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang
menentukan bahwa keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan,
riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko tradisional.17
Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat PJK,
terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari SKA.
Keluhan yang sama pada seorang pria berumur lanjut (> 70 tahun) dan menderita
diabetes berpeluang menengah suatu SKA. Angina ekuivalen atau yang tidak
seutuhnya tipikal pada seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang
kecil merupakan presentasi dari SKA (Tabel 2.1).17
11

Tabel 2.1 Tingkat Peluang SKA Segmen ST Non Elevasi.17

2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis


banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika
digabungkan dengan keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat
kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai representasi SKA (Tabel 2.1).17

2.2.5.3 Elektrokardiogram

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang
mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI antara lain:17
12

1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan


elevasi segmen ST yang tidak persisten ( < 20 menit).
2. Gelombang Q yang menetap.
3. Nondiagnostik.
4. Normal.
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di
daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil
EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.17
Depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif
untuk diagnosis NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen
ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST
≥1 mm. Depresi segmen ST ≥ 1 mm dan/atau inversi gelombang T ≥ 2 mm di
beberapa sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis NSTEMI
(tingkat peluang tinggi). Gelombang Q ≥ 0,04 detik tanpa disertai depresi segmen
ST dan/atau inversi gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap
SKA tidak tinggi (Tabel 2.1) sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah
Kemungkinan SKA atau Definitif SKA (Gambar 2.4).17

Gambar 2.4 Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA.17


13

Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara


angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam
juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat
sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG
ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.17
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis
NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil
(0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri
dada hilang sangat sugestif diagnosis NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk
provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG
tetap nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal
jantung. Hasil stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan
persangkaan tinggi NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis
SKA diragukan dan dilanjutkan dengan rawat jalan (Gambar 2.4).17

2.2.5.4 Marka Jantung

Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis


NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam
waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus
digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG.
Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui
nilai normal atas (upper limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka
jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam
menentukan awitan angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal
tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut.17
Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah
perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu.
Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari,
14

namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu
(Gambar 2.5).17

Gambar 2.5 Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung.17

Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang
peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang
ditetapkan oleh laboratorium setempat. Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI
dan NSTEMI, peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:17
1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
2. Miokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut atau kronik
6. Stroke atau perdarahan subarakhnoid
7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat
digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai
puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.17
15

2.2.5.5 Pemeriksaan Noninvasif

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan


gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan
diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri
dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain
itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau
diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus
tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin
bagi pasien tersangka SKA.17
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat
membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien
tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka jantung yang negatif.17
Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK
sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga
menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.17

2.2.5.6 Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat


keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik
pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas.
Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat
penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin
namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit
pembuluh multipel dan mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki
risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner
disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi
yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan
yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.17
16

2.2.6 TATALAKSANA

2.2.6.1 Terapi Antitrombotik

Terapi antitrombotik wajib pada pasien NSTE-ACS dengan maupun tanpa


manajemen invasif. Pemilihan jenis antitrombotik, kombinasi, waktu pemberian,
dan durasi pengobatan bergantung pada faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsik berupa: karakteristik pasien seperti usia, jenis kelamin, riwayat iskemik
atau perdarahan; manifestasi klinis seperti sindrom koroner kronis dan sindrom
koroner akut dengan atau tanpa ST elevasi; komorbiditas seperti penyakit ginjal
kronis, diabetes, atau gagal jantung. Sementara, faktor ekstrinsik merupakan terapi
kombinasi dan aspek prosedur yang memengaruhi pilihan, dosis, dan durasi
pengobatan antitrombotik. Iskemik dan komplikasi perdarahan secara signifikan
memengaruhi keadaan pasien NSTE-ACS dan risiko kematian secara
keseluruhan. Dengan demikian, pilihan pengobatan harus bersamaan
mencerminkan iskemik dan risiko perdarahan pasien.20

Gambar 2.6 Terapi antitrombotik pada pasien NSTE-ACS.20


17

Tabel 2.2 Regimen Obat Antiplatelet dan Antikoagulan pada Pasien NSTE-ACS.20

2.2.6.1.1 Obat antiplatelet dan pra-terapi

Aktivasi trombosit dan kaskade koagulasi memiliki peran penting pada fase
awal dan fase perubahan pada NSTE-ACS. Oleh karena itu, antiplatelet dan
antikoagulasi sangat penting pada pasien NSTE-ACS, terutama pada pasien yang
menjalani revaskularisasi miokardium dengan PCI. Aspirin dianggap sebagai
pilihan dalam menghambat tromboksan A2. Terapi aspirin dimulai dengan dosis
awal 150-300 mg secara oral atau 75-250 mg secara intravena diikuti dengan
dosis pemeliharaan 75-100 mg secara oral sekali sehari.20
Berdasarkan hasil uji coba tahap III PLATO dan TRITON-TIMI 38, DAPT
(dual antiplatelet therapy) termasuk aspirin dan penghambat reseptor P2Y12 yang
kuat (ticagrelor atau prasugrel) adalah terapi standar yang direkomendasikan
untuk pasien NSTE-ACS.22 Clopidogrel dengan potensi lebih rendah dapat
digunakan ketika prasugrel atau ticagrelor tidak tersedia, kontraindikasi bagi
pasien, atau tidak dapat ditoleransi karena risiko perdarahan tinggi. 20
Berdasarkan uji coba kelima ISAR-REACT yang membandingkan prasugrel
dengan ticagrelor pada 4018 pasien sindrom koroner akut (dengan atau tanpa ST
elevasi) dengan indikasi terapi invasif, ditemukan bahwa pengobatan dengan
prasugrel atau ticagrelor menurunkan angka kematian, infark miokard, ataupun
18

stroke tanpa adanya peningkatan risiko perdarahan. Penggunaan ticagrelor lebih


banyak diberhentikan akibat dari efek samping yang ditimbulkan.20
Strategi pengobatan yang sebenarnya adalah PCI pada >80% pasien yang
dirandomisasi dan prasugrel harus dianggap sebagai penghambat reseptor P2Y12
yang terbaik untuk pasien NSTE-ACS yang akan dilakukan PCI. Keuntungan
yang mungkin dari penggunaan prasugrel dibandingkan dengan ticagrelor atau
clopidogrel yaitu terkait dengan peningkatan fungsi endotelial. Algoritma terapi
dan durasi terapi yang direkomendasikan, serta pilihan untuk pengobatan yang
diperpanjang (>12 bulan) pada pasien NSTE-ACS, ditunjukkan pada Gambar
2.7.20
Pada pra-terapi, obat antiplatelet yang digunakan biasanya penghambat
reseptor P2Y12, diberikan sebelum angiografi koroner dan ketika anatomi koroner
tidak diketahui. Berdasarkan uji coba ACCOAST dalam membandingkan
penggunaan prasugrel ketika PCI dan penggunaan prasugrel sebagai pra-terapi
ketika diagnosis NSTEMI ditegakkan menunjukkan kurangnya keuntungan terkait
iskemia pada pra-terapi pasien NSTE-ACS, tetapi sebaliknya, pra-terapi prasugrel
meningkatkan risiko terjadinya perdarahan. Sejalan dengan hasil ini, data
observasional pada 64.857 pasien NSTE-ACS yang dilaporkan oleh SCAAR
mengenai pra-terapi dengan ticagrelor, prasugrel, dan clopidogrel menyatakan
praterapi dengan penghambat reseptor P2Y12 tidak terkait dengan hasil
peningkatan iskemia, tetapi sebaliknya, terjadi peningkatan risiko perdarahan.20
Pemberian rutin pra-terapi penghambat reseptor P2Y12 tidak
direkomendasikan pada pasien NSTE-ACS yang anatomi koronernya tidak
diketahui dan telah direncanakan manajemen invasif dini. Untuk pasien dengan
penundaan manajemen invasif, pra-terapi dengan penghambat reseptor P2Y12
dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu dan berdasarkan risiko perdarahan dari
pasien.20
Terapi standar yang direkomendasikan dengan penghambat reseptor P2Y12
yang kuat (ticagrelor atau prasugrel) menunjukkan onset kerja yang cepat,
sehingga memungkinkan pemberian dosis awal setelah diagnosis menggunakan
angiografi koroner dan langsung sebelum PCI.20
19

Gambar 2.7 Algoritma terapi antitrombotik pada pasien SKA tanpa elevasi
segmen ST tidak disertai fibrilasi atrium yang menjalani intervensi koroner
perkutan.20

2.2.6.1.2 Terapi antikoagulan peri-intervensi

Terapi peri-intervensi untuk pasien NSTE-ACS yaitu antikoagulan untuk


menghambat trombin dan aktivitas trombin. Antikoagulan direkomendasikan
sebagai terapi tambahan untuk semua pasien yang diberi terapi antiplatelet selama
manajemen invasif untuk NSTE-ACS. UFH (Unfractionated Heparin)
direkomendasikan sebagai antikoagulan pada pasien NSTE-ACS.22 Pemberian
antikoagulan bersamaan harus dihindari, terutama pemberian UFH bersamaan
dengan LMWH (low molecular weight heparin), kecuali penambahan UFH
setelah pemberian fondaparinux pada pasien yang melanjutkan terapi PCI setelah
terapi fondaparinux.20
20

Penggunaan penghambat GP IIb/IIIa, yang selektif dan seimbang dengan


pemberian bivalirudin dan UFH pada uji coba terbaru, sangat berbeda dengan
22
penelitian sebelumnya. Berdasarkan uji coba MATRIX, dijelaskan bahwa tidak
ada manfaat yang signifikan pada kejadian iskemia menggunakan bivalirudin
dibandingkan UFH. Bivalirudin meningkatkan risiko stent trombosis dan secara
signifikan menurunkan risiko perdarahan. Penelitian VALIDATE-
SWEDEHEART, yang membandingkan UFH dengan bivalirudin pada
pembatasan pemberian penghambat GP IIb/IIIa, memaparkan insiden penyebab
kematian dan iskemik yang sama setelah PCI pada sindrom koroner akut pada
keduanya.20
Singkatnya, dan berdasarkan uji coba yang disebutkan di atas, UFH terutama
direkomendasikan sebagai antikoagulan untuk PCI. Karena waktu paruhnya yang
pendek dan hasil yang baik dalam beberapa penelitian, bivalirudin dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif UFH dalam kasus tertentu.20
Pasien mungkin menjalani kateterisasi jantung setelah fase pengobatan
konservatif dan diobati dengan fondaparinux selama periode ini. Regimen ini
didasarkan pada uji coba yang dilakukan OASIS-5. Sebagai catatan, pembentukan
trombus kateter adalah efek samping dari fondaparinux, oleh karena itu, UFH
dosis penuh harus ditambahkan untuk mencegah pembentukan trombus ketika
pasien melanjutkan melakukan PCI.20
Enoxaparin, sebuah LMWH dengan risiko yang lebih rendah untuk
trombositopenia yang diinduksi heparin dibandingkan dengan UFH, dapat
dipertimbangkan sebagai antikoagulan untuk PCI pada pasien yang mendapatkan
pra-terapi dengan enoxaparin subkutan. Manfaat enoxaparin dibandingkan UFH
yaitu mengurangi mortalitas dan komplikasi perdarahan yang dilaporkan dalam
sebuah meta-analisis yang mencakup pasien NSTE-ACS, tetapi uji coba skala
besar khusus yang membandingkan enoxaparin dengan UFH pada pasien NSTE-
ACS masih kurang.20
21

Tabel 2.3 Rekomendasi Terapi Antitrombotik pada Pasien NSTE-ACS yang Akan
Menjalani PCI.20

2.2.6.1.3 Terapi antiplatelet peri-intervensi

Obat untuk peri-intervensi yaitu terapi antiplatelet intravena termasuk


cangrelor dan penghambat GP IIb / IIIa (abciximab, eptifibatide, dan tirofiban).
Sebagian besar uji coba yang mengevaluasi penghambat GP IIb / IIIa pada pasien
ACS yang diterapi dengan PCI diinisiasi DAPT dini termasuk dosis awal
penghambat reseptor P2Y12. Saat ini, dengan penghambat reseptor P2Y12 oral
yang rutin, tidak ada bukti yang meyakinkan untuk manfaat tambahan
penggunaan rutin penghambat GP IIb / IIIa pada pasien NSTE-ACS yang akan
menjalani angiografi koroner. Terlebih lagi, dengan pemberian penghambatan
22

platelet yang kuat dengan ticagrelor atau prasugrel, serta data mengenai
penggunaan GP IIb / IIIa yang terbatas, penggunaan rutin obat tersebut tidak
direkomendasikan. Namun demikian, penggunaan harus dipertimbangkan untuk
keadaan komplikasi trombotik dan dapat dipertimbangkan pada pasien risiko
tinggi yang menjalani terapi PCI tanpa pra-terapi dengan penghambat reseptor
P2Y12.20
Cangrelor adalah penghambat reseptor P2Y12 kerja pendek yang telah
dievaluasi selama PCI pada pasien CCS dan ACS yang stabil pada uji klinis yang
membandingkan cangrelor dengan clopidogrel, diberikan sebelum PCI
[Cangrelor versus Standard Therapy to Achieve Optimal Management of Platelet
Inhibition (CHAMPION)] atau setelah PCI (CHAMPION PLATFORM dan
CHAMPION PHOENIX). Metaanalisis dari uji coba ini menunjukkan manfaat
sehubungan dengan iskemik yang diikuti dengan peningkatan komplikasi
perdarahan minor. Oleh karena keampuhannya yang terbukti dalam mencegah
stent thrombosis baik ketika intra-prosedural dan paska-prosedural pada pasien
tanpa pemberian penghambat reseptor P2Y12, penggunaan cangrelor dapat
dipertimbangkan berdasarkan kasus per kasus pada pasien NSTE-ACS yang
menjalani PCI tanpa pemberian penghambat reseptor P2Y12.20

2.2.6.1.4 Paska-intervensi dan terapi pemeliharaan

Setelah dilakukannya PCI pada NSTE-ACS, penggunaan DAPT berupa


penghambat reseptor P2Y12 yang kuat sebagai tambahan pada aspirin umumnya
direkomendasikan selama 12 bulan, terlepas dari jenis stentnya, kecuali ada
kontraindikasi. Dalam skenario klinis tertentu, durasi pemberian DAPT bisa
dipersingkat (<12 bulan), diperpanjang (> 12 bulan), atau dimodifikasi
(pergantian DAPT) yang bergantung pada penilaian klinis individu dilihat dari
risiko iskemik dan perdarahan pasien, terjadinya efek samping, komorbiditas,
pengobatan tambahan, dan ketersediaan obat masing-masing.20
Pada pasien dengan NSTE-ACS dan implantasi stent yang berisiko tinggi
mengalami perdarahan (misalnya, kriteria PRECISE-DAPT ≥ 25 atau kriteria
ARC-HBR terpenuhi), penghentian terapi penghambat reseptor P2Y12 setelah 3-6
23

bulan harus dipertimbangkan. Pada pasien dengan risiko perdarahan yang sangat
tinggi, didefinisikan sebagai episode perdarahan dalam satu bulan terakhir atau
akan menjalani operasi yang tidak dapat ditunda, pemberian aspirin dan
clopidogrel selama satu bulan dapat dipertimbangkan.20
Pergantian antara penghambat reseptor P2Y12 oral sering terjadi dan
pemicunya mungkin termasuk komplikasi perdarahan (atau kekhawatiran akan
perdarahan), efek samping non-perdarahan (misalnya sesak napas pada ticagrelor,
reaksi alergi), serta faktor sosio-ekonomi. De-eskalasi DAPT (beralih dari obat
yang poten seperti prasugrel atau ticagrelor ke clopidogrel) pada pasien NSTE-
ACS dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan alternatif. Namun, penting untuk
dicatat bahwa ada potensi peningkatan risiko iskemik dengan penurunan seragam
penghambat reseptor P2Y12 yang setelah terapi PCI, terutama jika dilakukan lebih
awal (<30 hari) setelah terapi.20

Tabel 2.4 Rekomendasi Terapi Antitrombotik Paska-intervensi dan Terapi


Pemeliharaan pada Pasien NSTE-ACS.20
24

Tabel 2.5 Rekomendasi Pemendekan Durasi Pemberian Antitrombotik Paska-


intervensi dan Terapi Pemeliharaan pada Pasien NSTE-ACS.20
25

2.2.6.2 Terapi Farmakologi Iskemia

2.2.6.2.1 Terapi farmakologi suportif

Pada pasien NSTE-ACS penting diberikan terapi untuk meredakan rasa nyeri
dada dan juga untuk mengurangi aktivasi simpatik. Opioid (misalnya morfin
intravena) adalah analgesik yang paling umum digunakan dalam kasus seperti ini.
Namun, harus diingat bahwa penggunaan morfin dikaitkan dengan penyerapannya
yang lebih lambat dan menunda onset kerja dari antiplatelet, yang dapat
menyebabkan kegagalan pengobatan dini pada individu.20
Secara umum, pemberian oksigen diindikasikan pada pasien hipoksia dengan
saturasi oksigen <90% atau pada pasien dengan gangguan pernapasan.
Menariknya, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hiperoksia mungkin
berbahaya pada beberapa pasien, diduga karena peningkatan cedera miokard. Oleh
26

karena itu, pemberian oksigen turin tidak direkomendasikan pada kasus di mana
saturasi oksigen >90%.20

2.2.6.2.2 Nitrat dan penghambat beta

Nitrat intravena lebih efektif daripada nitrat sublingual dalam mengurangi


gejala dan resolusi depresi segmen ST di EKG. Selama pemantauan tekanan
darah, dosis harus dititrasi meningkat sampai gejalanya hilang, dan pada pasien
hipertensi sampai tekanan darah normal, kecuali muncul efek samping (terutama
sakit kepala atau hipotensi). Di luar dari untuk mengontrol gejala, terapi nitrat
tidak diindikasikan. Pada pasien yang sebelumnya mengonsumsi penghambat
phosphodiesterase 5 (misalnya sildenafil atau vardenafil dalam 24 jam dan
tadalafil dalam 48 jam), nitrat tidak boleh diberikan karena risiko hipotensi
parah.20
Penghambat beta mengurangi konsumsi oksigen miokard dengan menurunkan
denyut jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas jantung. Nitrat sublingual atau
intravena dan inisiasi awal terapi penghambat beta direkomendasikan pada pasien
dengan gejala iskemik yang sedang berlangsung dan tanpa kontraindikasi terhadap
kelas obat masing-masing. Disarankan untuk melanjutkan terapi beta-blocker
kronis kecuali pasien berada pada kategori Killip kelas III atau lebih tinggi.20
Studi observasional pada 21.822 pasien NSTEMI ditemukan bahwa, pada
pasien yang berisiko terkena syok kardiogenik (CS) (setidaknya terdapat dua
karakteristik berikut, yaitu usia > 70 tahun, denyut jantung >110 kali/menit,
dan/atau tekanan darah sistolik <120 mmHg), kejadian syok atau kematian
meningkat secara signifikan pada pasien yang menerima penghambat beta sangat
awal di departemen kegawatdaruratan bila dibandingkan dengan pasien yang
diterapi kemudian, tetapi dalam 24 jam di rumah sakit.20
Oleh karena itu, pemberian awal penghambat beta harus dihindari di pasien
ini, terutama jika fungsi ventrikel tidak diketahui. Penghambat beta tidak boleh
diberikan pada pasien dengan gejala mungkin terkait dengan vasospasme koroner
atau penggunaan kokain, karena mendukung kejang dengan meninggalkan
27

vasokonstriksi yang dimediasi alfa tidak optimal oleh vasodilatasi yang dimediasi
beta.20

Tabel 2.6 Rekomendasi Obat Anti-iskemia pada Fase Akut NSTE-ACS.20

2.2.6.3 Terapi Konservatif

Manfaat revaskularisasi koroner pada pasien NSTE-ACS yaitu menyebabkan


penurunan yang signifikan pada penatalaksanaan medis saja, dari 60% pada dua
dekade yang lalu menjadi 10-30% di era PCI masa kini. Penatalaksanaan medis
terdiri dari pasien yang tidak menjalani angiografi koroner, tetapi juga pasien
dengan CAD ekstensif yang tidak dapat menerima revaskularisasi atau mereka
yang tanpa CAD obstruktif.20

2.2.6.4 Coronary artery bypass grafting (CABG)

Sekitar 5-10% pasien NSTE-ACS membutuhkan CABG dan ini merupakan


subkelompok yang menantang mengingat karakteristik risiko tinggi mereka
dibandingkan dengan pasien yang menjalani CABG elektif. Dengan tidak adanya
data acak, waktu optimal untuk CABG tidak darurat pada pasien NSTE-ACS
harus ditentukan secara individual.20
Risiko kejadian iskemik, mungkin terkait dengan terapi antiplatelet
suboptimal saat menunggu operasi yaitu kurang dari 0,1%, sedangkan komplikasi
perdarahan perioperatif terkait dengan antiplatelet lebih tinggi dari 10%. Pada
pasien yang sedang mengalami iskemia atau ketidakstabilan hemodinamik dan
28

dengan indikasi CABG, operasi darurat harus dilakukan dan tidak ditunda sebagai
konsekuensi dari paparan pengobatan antiplatelet.20

2.2.6.6 Kondisi Tertentu

2.2.6.6.1 Tatalaksana pasien yang sedang mengalami iskemia miokard

Karakteristik pasien ini ditandai dengan risiko yang tinggi untuk berkembang
menjadi STEMI, onset aritmia yang mengancam jiwa, gagal jantung akut, dan CS
(cardiogenic shock). Pasien-pasien ini harus menjalani angiografi koroner dalam 2
jam setelah masuk rumah sakit dengan kemungkinan dilakukannya
revaskularisasi. Berdasarkan data yang dipublikasikan, pendekatan ini mengurangi
mortalitas di rumah sakit dan mortalitas pada saat awal dan tindak lanjut jangka
menengah, serta menurunkan risiko MI baru selama periode pra-kateterisasi dan
mengurangi lamanya tinggal di rumah sakit.20

2.2.6.6.2 Terapi pasien dengan serangan jantung

Penatalaksanaan pasien yang mengalami resusitasi jantung dan NSTE-ACS


secara bersamaan dapat dinilai menurut status hemodinamik dan neurologis. Pada
saat henti jantung di luar rumah sakit dan tidak ada elevasi ST tanpa CS, strategi
invasif langsung yang tidak dipilih tidak lebih unggul daripada strategi invasif
tertunda, seperti yang baru-baru ini ditunjukkan dalam uji coba yang dilakukat
COACT. Percobaan ini pada 552 pasien yang telah berhasil diresusitasi ketika
kejadian henti jantung di luar rumah sakit dan tidak memiliki tanda-tanda STEMI.
Tidak ada perbedaan dalam kelangsungan hidup 90 hari yang diamati antara
kedua strategi ini, 64,5% dilakukan angiografi segera dibandingkan 67,2%
dilakukan angiografi yanng tertunda. Oleh karena itu, muncul alasan untuk
menunda dilakukannya angiografi koroner invasif pada pasien NSTE-ACS.20

2.2.7 KOMPLIKASI

Komplikasi NSTEMI sekunder terhadap efek sistemik penyakit daripada


komplikasi struktural STEMI. Kardiomiopati dengan hipotesis difus dapat terlihat
29

tetapi aneurisma ventrikel kiri atau disfungsi otot papiler jarang terjadi. Edema
paru karena output jantung yang buruk dapat terlihat dalam kasus yang parah.
Komplikasi lain dari output jantung yang buruk seperti disfungsi ginjal dapat
terlihat juga.21

2.2.8 PROGNOSIS

Pasien yang datang dengan NSTEMI memiliki angka kematian 6 bulan yang
lebih rendah dibandingkan mereka yang datang dengan angina tidak stabil.
Morbiditas dan mortalitas lebih lanjut tergantung pada derajat peningkatan
troponin serta kondisi komorbiditas seperti tingkat keparahan pada diabetes,
adanya penyakit pembuluh darah perifer, adanya disfungsi ginjal, dan demensia.22
30

BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Koroner Akut merupakan salah satu manifestasi klinis yang


utama dan paling sering mengakibatkan kematian. Sindrom ini merupakan PJK
progresif dan pada perjalanan penyakitnya sering terjadi perubahan dari keadaan
stabil menjadi keadaan tidak stabil atau akut. Mekanisme terjadinya SKA
berhubungan dengan adanya gangguan pada plak ateroklerosis sehingga
merangsang agregasi dari platelet dan pembentukan trombus.
Manifestasi klinis SKA dapat berupa Angina Pektoris tidak stabil/UAP,
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) atau ST elevation myocardial
infarction (STEMI). SKA di diagnosis dengan adanya nyeri dada tipikal, hasil
EKG, dan biomarker jantung. UAP dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan
presentasi kinis yang sama. Bila ditemukan petanda biokimia nekrosis miokard
yaitu adanya peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB maka diagnosis
adalah NSTEMI.
Pada pasien NSTE-ACS penting diberikan terapi untuk meredakan rasa
nyeri dada dan juga untuk mengurangi aktivasi simpatik. Opioid (misalnya morfin
intravena) adalah analgesik yang paling umum digunakan dalam kasus seperti
ini.20 Secara umum, pemberian oksigen diindikasikan pada pasien hipoksia dengan
saturasi oksigen <90% atau pada pasien dengan gangguan pernapasan. Pada
pasien NSTE-ACS pemberian morfin intravena penting untuk meredakan rasa
nyeri dada dan juga untuk mengurangi aktivasi simpatik.
Nitrat juga menambah suplai oksigen dengan vasodilatasi pembuluh
koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Nitrat intravena lebih efektif
daripada nitrat sublingual dalam mengurangi gejala dan resolusi depresi segmen
ST di EKG. Nitrat sublingual atau intravena dan inisiasi awal terapi penghambat
beta direkomendasikan pada pasien dengan gejala iskemik yang sedang
berlangsung dan tanpa kontraindikasi terhadap kelas obat masing-masing. Dual
Anti Platelet diberikan merupakan standar dari pengobatan pada pasien dengan
NSTEMI.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhibbah, Wahid A, Agustina R, Illiandri O. Karakteristik Pasien Sindrom


Koroner Akut pada Pasien Rawat Inap Ruang Tulip di RSUD Ulin Banjarmasin.
Indonesian Journal for Health Sciences. 2019; 3(1): 6-12.

2. Suling FRW, Patricia MI, Suling TE. Prevalensi dan Faktor Risiko Sindrom
Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia. Majalah
Kedokteran UKI. 2018; 34(3): 110-4.

3. World Health Organization. Cardiovascular diseases [Internet]. 2017 [cited 20


May 2021]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/cardiovascular-diseases-(cvds)

4. Tumade B, Jim EL, Joseph VFF. Prevalensi Sindrom Koroner Akut di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014.
Jurnal e-Clinic. 2016; 4(1): 223-30.

5. Wahidah, Harahap RA. PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan SKA (Sindrom
Koroner Akut) dari Prespektif Epidemiologi. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2021;
6(1): 54-65.

6. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: 2018.

7. P2PTM Kemenkes RI. Hari Jantung Sedunia (World Heart Day): Your Heart is
Our Heart Too [Internet]. 2019 [cited 20 May 2021]. Available from:
http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/hari-jantung-sedunia-world-
heart-day-your-heart-is-our-heart-too

8. Lilly LS. Patofisiologi Penyakit Jantung Edisi 6. Jakarta: 2016.

9. Hansen JT. Netter’s Clinical Anatomy 4th Edition. Elsevier Inc: 2019.

10. Basit H, Malik A, Huecker MR. Non ST Segment Elevation Myocardial


Infarction [Internet]. 2021 [cited 20 May 2021]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513228/
32

11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik Klinis


dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: 2016.

12. Torry SRV, Panda AL, Ongkowijaya J. Gambaran Faktor Risiko Penderita
Sindrom Koroner Akut. e-CliniC. 2014; 2(1): 1-8.

13. Sweis RN, Jivan A. Overview of Acute Coronary Syndromes [Internet]. 2020
[cited 24 May 2021]. Available from:
https://www.msdmanuals.com/professional/cardiovascular-disorders/coronary-
artery-disease/overview-of-acute-coronary-syndromes-acs
14. Thanassoulis G, Afshar M. Atherosclerosis [Internet]. 2019 [cited 24 May 2021].
Available from: https://www.msdmanuals.com/professional/cardiovascular-
disorders/arteriosclerosis/atherosclerosis

15. Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management,
Part I [Internet]. 2009 [cited 24 May 2021]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2755812/

16. Makki N, Brennan TM, Girotra S. Acute Coronary Syndrome. Journal of


Intensive Care Medicine. 2013; 00(0):1-15.

17. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga. Jakarta: 2015.

18. American Heart Association. 2014 AHA/ACC Guidelines for the Management of
patients with Non-ST-Elevation acute coronary syndrome. 2014.

19. PERKI. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Edisi 2020. Jakarta:
2011.

20. Collet JP, Thiele H, Barbato E, et al. 2020 ESC Guidelines for The Management
of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting Wothout Persistent ST-
segment elevation. European Heart Journal. 2021; 42: 1289-1376.

21. Elbadawi A, Elgendy IY, Mahmoud K, et al. Temporal Trends and Outcomes of
Mechanical Complications in Patients With Acute Myocardial Infarction. JACC
Cardiovasc Interv. 2019; 12(18): 1825-36.

22. Sanchis J, Nunez J, Bodi V, et al. Influence of comorbid conditions on one-year


outcomes in non-ST-segment elevation acute coronary syndrome. Mayo Clin
Proc. 2011; 86(4): 291-6.

Anda mungkin juga menyukai