Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

STROKE

Disusun Oleh :
Maulina Syafakamila 22710257
Afuw Annisa 22710282
I Gede Wahyu Terra Pranata 22710180

Pembimbing :
dr. Wahyu Sasono, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGY


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD NGANJUK
2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas berkat dan karuniaNya lah, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Stroke”. Penyusunan referat ini bertujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
di SMF Neurology di RSUD Nganjuk.
Penulis berharap referat ini kedepannya dapat berguna bagi kita semua,
khususnya bagi kami dokter muda yang sedang menjalani kepaniteraan klinik untuk
memperlancar studi. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada :
1. dr. Dyah Anetta Afri Rukmi, Sp.S selaku kepala SMF Obgyn Rumah
Sakit Daerah Nganjuk
2. dr.Wahyu Sasono, Sp.S yang telah membimbing saya dalam
menyelesaikan referat ini
3. dr. Edi Eko Tjahjono, Sp. KFR AIFO-K
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan segala masukan demi sempurnanya tulisan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak
yang terkait.

Nganjuk, 22 Januari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................3
2.1 Definisi......................................................................................................3

2.2 Epidemiologi............................................................................................3

2.3 Anatomi....................................................................................................3

2.4 Faktor Risiko...........................................................................................5

2.5 Etiologi......................................................................................................6

2.6 Patofisiologi..............................................................................................7

2.7 Manifestasi Klinis....................................................................................7

2.8 Klasifikasi.................................................................................................7

2.9 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................7

2.10 Penatalaksanaan....................................................................................7

2.11 Komplikasi.............................................................................................8

2.12 Pencegahan.............................................................................................8

2.13 Prognosis................................................................................................8

BAB III KESIMPULAN...............................................................................................9


DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Otak merupakan organ kompleks manusia yang terdiri dari sel-sel saraf (nerve
cell) yang bertanggung jawab pada semua sinyal dan sensasi yang membuat tubuh
manusia dapat berpikir, bergerak, dan menimbulkan reaksi dari suatu kejadian atau
keadaan. Otak adalah organ yang memerlukan suplai oksigen dan nutrisi secara terus-
menerus karena otak tidak dapat menyimpan energi. Suplai oksigen dan nutrisi
didapatkan dari darah yang disirkulasikan dari jantung melalui arteri yang ada pada
tubuh manusia menuju otak (Setiawan, 2020).
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan penyebab
kematian nomor tiga di dunia. Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dapat menyebabkan kematian,
tanpa penyebab lain selain vasikuler. Menurut World Health Organization (WHO),
ada 15 juta orang menderita stroke di seluruh dunia setiap tahun. Dari jumlah
tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta lainnya cacat permanen. Pervalensi stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis penduduk yang terkena serangan stroke meningkat
pada tahun 2018, ada sejumlah 7% penduduk yang terkena stroke pada tahun 2013
dan menjadi 10,9% pada tahun 2018 (Putra Kusuma et al., 2022).
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai
dengan kematian jaringan otak yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan
oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan oleh
adanya penyumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah. Jumlah penduduk
pada usia produktif antara umur 15-64 tahun memiliki jumlah yang lebih banyak
daripada penduduk non produktif maupun usia lansia di Indonesia. Berdasarkan data
penduduk sasaran program pembangunan kesehatan tahun 2007-2011, usia produktif
berada pada penduduk yang berusia 15-64 tahun. Sehingga menunjukan bahwa pada
usia tersebut sangat berpotensi terserang penyakit tidak menular khususnya stroke
(Wardhani & Martini, 2018).

1
Secara teoritis, stroke merupakan penyakit multikausal dimana ada banyak
faktor yang bisa menyebabkan kejadian stroke. Diantaranya dari faktor yang tidak
dapat dimodifikasi yakni usia, jenis kelamin, dan lain-lain. Faktor kondisi kesehatan
seperti hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Faktor perilaku seperti kebiasaan
aktivitas fisik, pola makan, dan merokok. Selain itu, faktor sosial ekonomi seperti
wilayah tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan juga diduga
berperan dalam kejadian stroke (Azzahra & Ronoatmodjo, 2023).
Stroke perdarahan intraserebral (Intracerebral Hemorrhage, ICH) atau yang
biasa dikenal sebagai stroke hemoragik, yang diakibatkan pecahnya pembuluh
intraserebral. Kondisi tersebut menimbulkan gejala neurologis yang berlaku secara
mendadak dan seringkali diikuti gejala nyeri kepala yang berat pada saat melakukan
aktivitas akibat efek desak ruang atau peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Efek
ini menyebabkan angka kematian pada stroke hemoragik menjadi lebih tinggi
dibandingkan stroke iskemik. Pada stroke hemoragik yang didominasi oleh gejala
peningkatan TIK yang membutuhkan penanganan segera sebagai tindakan life-
saving. Oleh karena itu, penegakan diagnosis pada stroke hemoragik sangat penting
untuk memberikan terapi yang efektif (Setiawan, 2020).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Stroke merupakan gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda klinis fokal atau global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali
ada tindakan dari pembedahan atau kematian) tanpa tanda-tanda penyebab non
vaskuler, termasuk didalamnya tanda- tanda perdarahan subarakhnoid,
perdarahan intraserebral, iskemik atau infark serebri (Mutiarasari, 2019).
2.2 Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit
jantung koroner dan kanker pada negara maju ataupun negara berkembang. Satu
dari 10 kematian disebabkan oleh stroke. Data World Stroke Organization
menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada 13,7 juta kasus baru penyakit stroke,
dan sekitar 5,5 juta kematian terjadi akibat stroke (Setiawan, 2020).
Menurut data Riskesdes pada tahun 2018 dinyatakan bahwa prevalensi
stroke (permil) berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15tahun
provinsi dengan pasien stroke tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Timur
sebesar 14,7% dan terendah ada di Provinsi Papua sebesar 4,1%. Prevalensi
pasien stroke berdasarkan diagnosis dokter meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, tertinggi ada pada usia ≥ 75tahun yaitu sebesar 50,2%
(Setiawan, 2020).
2.3 Anatomi
Otak memiliki berat sekitar 2,5% dari berat tubuh dan menerima sekitar
seperenam curah jantung dan seperlima oksigen yang dikonsumsi oleh tubuh.
Aliran darah ke otak berasal dari arteri carotis interna dan arteri vertebralis yang
terletak di dalam spatium subarachnoid. Arteri carotis interna (ACI) dan
percabangannya secara klinis memegang sirkulasi anterior otak, sedangkan arteri

3
vertebralis dekstra dan sinistra akan menyatu pada batas caudal pons membentuk
arteri basilaris dan memegang sirkulasi posterior otak (Ayre et al., 2022).
Ketiga arteri di atas akan saling beranastomosis membentuk suatu
lingkaran berbentuk cincin yang disebut the circle of Willis (Circulus arteriosus
Willis) (Mutiari et al., 2019).

Gambar 2. 1 Sirkulus Willisi


Sumber: (Ayre et al., 2022)

Karakteristik klinis pada infark didaerah arteri serebri anterior meliputi:


defisit motorik, dan sensorik kontralateral dimana bagian lengan lebih ringan
dibanding tungkai, deviasi mata dan kepala kearah lesi, afasia
motoriktranskortikal, gangguan perilaku, disartria (Mutiari et al., 2019).
Lokasi perdarahan pada stroke hemoragik umumnya terjadi pada basal
ganglia, thalamus, pons dan serebelum. Perdarahan di basal ganglia, berasal dari
arteri ascending lenticulostriate, cabang middle cerebral artery. Perdarahan di
thalamus berasal dari arteri ascending thalmogeniculote, cabang posterior

4
cerebral artery. Perdarahan di pons berasal dari arteri paramedian, cabang arteri
basilaris. Perdarahan di serebelum berasal dari arteri posterior inferior serebri
atau arteri anterior inferior serebri atau arteri serebralis superior (Ayre et al.,
2022).

Gambar 2. 2 Lokasi tersering terjadinya hemoragik intracranial (A) Basal Ganglia, (B) dan (C)
Talamus, (D) Pons, (E) Cerebelum.
Sumber: (Ayre et al., 2022)

2.4 Faktor Risiko


Faktor risiko stroke dapat dikategorikan menjadi faktor yang dapat
dimodifkasi dan tidak dapat dimodifikasi (Utama & Nainggolan, 2022):
a. Yang tidak dapat dimodifikasi
1) Usia
2) Jenis kelamin
3) Rasa tau etnik
4) Riwayat keluarga
5) Riwayat TIA/stroke
6) Penyakit jantung koroner
7) Fibrilasi atrium
8) Resiko penyumbatan arteri ekstrakranial (arteri karotis interna dan arteri
vertebralis) yaitu pada laki-laki dan kulit putih.

5
9) Resiko penyumbatan arteri intracranial (arteri basiler, arteri serebri
media, arteri serebri anterior, arteri serebri posterior) yaitu pada wanita
dan kulit berwarna
b. Yang dapat dimodifikasi
1) Hipertensi
2) Diabetes Mellitus
3) Merokok
4) Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan
5) Kontrasepsi oral
6) Bruit karotis asimtomatik
7) Hiperurisemia
8) Dislipidemia
2.5 Klasifikasi
a. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu perdarahan
intraserebral dan ekstraserebral. Pada intraserebral terjadi perdarahan dari
salah satu arteri otak ke dalam jaringan otak. Sementara pada ekstra serebral
(subarakhnoid) dicirikan oleh perdarahan arteri di ruang antara dua meningen
yaitu piameter dan arakhnoid dan akan tibul gejala seperti mengalami sakit
kepala yang sangat parah dan biasanya terjadi gangguan kesadaran serta kaku
kuduk. Letak perdarahan pada stroke perdarahan diklasifikasikan oleh
beberapa bagian, yaitu (Julianti, 2018):
1) Hemisfer serebri
Hemisfer serebri dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer serebri
sinistra (kiri) dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri kiri
mengendalikan kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa serta
berkaitan dengan berpikir ”matematis” atau ”logis”, sedangkan hemisfer
serebri dextra berkaitan dengan ketrampilan, perasaan dan kemampuan
seni.

6
2) Ganglion Basalis
Fungsional peranan umum ganglion basal adalah untuk bekerja
sebagai stasiun-stasiun pemprosesan yang menghubungkan korteks
serebrum dengan nucleus thalamus tertentu dan akhirnya berproyeksi ke
korteks serebrum. Kerusakan pada ganglion basalis akan mengakibatkan
penderita mengalami kesukaran untuk memulai gerak yang diinginkan.
3) Batang Otak
Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer
serebri dan serebelum diangkat. Medula oblongota, pons dan otak tengah
merupakan bagian bawah atau bagian infratentorium batang otak.
Kerusakan pada batang otak akan mengakibatkan gangguan berupa nyeri,
suhu, rasa kecap, pendengaran, rasa raba, raba diskriminatif, dan apresiasi
bentuk, berat dan tekstur.
4) Serebelum
Serebelum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu archiserebelum
berfungsi untuk mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap
ruangan. Kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan ataxia tubuh,
limbung. Paleoserebelum, mengendalikan otot-otot antigravitas dari
tubuh, apabila mengalami kerusakan akan menyebabkan peningkatan
refleks regangan pada otot-otot penyokong. Neoserebelum, berfungsi
sebagai pengerem pada gerakan di bawah kemauan, terutama yang
memerlukan pengawasan dan penghentian, serta gerakan halus dari
tangan. Kerusakan pada neoserebelum akan mengakibatkan dysmetria,
intention tremor dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan
mengubah-ubah yang cepat.
b. Stroke Non Hemoragik
Berdasarkan lokasi gumpalan atau sumbatannya (Wijaya, 2018):
1) Trombosis serebri

7
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin
lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia. Trombosis serebri
adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau
lebih pembuluh darah lokal.
2) Emboli serebri
Infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi
ateromatus yang terletak pada pembuluh yang lebih distal. Gumpalan-
gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa
ke tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri
yang terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi tersumbat, aliran darah
fragmen distal akan terhenti, mengakibatkan infark jaringan otak distal
karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari
penyebab stroke non hemoragik.
Berdasarkan waktu terjadinya (Wijaya, 2018):
1) Transient Ischaemic Attack (TIA), apabila defisit neurologis membaik
dalam waktu kurang dari 24 jam.
2) Reversible Ischaemic Neurological Deficit (RIND), apabila defisit
neurologis membaik dalam waktu 24 jam atau lebih.
3) Stroke in Evolution, apabila defisit neurologis berkembang menjadi
gangguan yang lebih berat.
4) Complete Stroke, apabila defisit neurologis menetap dan ireversibel.
2.6 Etiologi
Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah didalam otak.
Kasus stroke ini paling sering dikaitkan dengan tekanan darah tinggi yang
berlangsung secara terus menerus. Ada juga kasus dimana pembuluh darah pada
permukaan jaringan otak yang pecah. Kasus stroke ini dikaitkan dengan penyakit
pembuluh darah otak bawaan, misalnya aneurisma arteri serebral atau

8
malformasi arteriovenosa. Darah akan keluar dibawah ruang arachnoid (ruang
antara jaringan otak dan tengkorak) dan menekan jaringan otak. Selain itu,
pembuluh darah akan menyempit setelah terjadinya pendarahan, yang ikut
mengurangi laju aliran darah (Sanjaya & Kurniawan, 2022).
Stroke non hemoragik dapat disebabkan oleh trombus dan emboli. Stroke
non hemoragik akibat trombus terjadi karena penurunan aliran darah pada tempat
tertentu di otak melalui proses stenosis. Trombus adalah pembentukan bekuan
platelet atau fibrin di dalam darah yang dapat menyumbat pembuluh vena atau
arteri dan menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal. Trombus ini bisa
terlepas dari dinding pembuluh darah dan disebut tromboemboli. Trombosis dan
tromboemboli memegang peranan penting dalam patogenesis stroke iskemik.
Lokasi trombosis sangat menentukan jenis gangguan yang ditimbulkannya,
misalnya trombosis arteri dapat mengakibatkan infark jantung, stroke, maupun
claudicatio intermitten, sedangkan trombosis vena dapat menyebabkan emboli
paru. Trombosis merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen
utama hemostasis yang meliputi faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah,
permukaan vaskuler, dan konstituen seluler, terutama platelet dan sel endotel.
Trombosis arteri merupakan komplikasi dari aterosklerosis yang terjadi karena
adanya plak aterosklerosis yang pecah (Sahla delia azzahra, 2023).
2.7 Patofisiologi
a. Stroke Hemoragik
Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi.
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih sebesar 20 %
adalah stroke hemoragik dan masing-masing 10% untuk perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Yueniwati, 2016).
Pada ICH, perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini
diperkirakan terjadi akibat bocornya darah dari pembuluh yang rusak akibat
hipertensi kronis. Tempat predileksi antara lain thalamus, putamen,

9
serebellum, dan batang otak. Selain hipoperfusi, parenkim otak juga terkena
kerusakan akibat tekanan yang disebabkan oleh efek massa hematoma atau
kenaikan tekanan intrakranial (TIK) secara keseluruhan. ICH memiliki tiga
fase, yaitu perdarahan awal, ekspansi hematoma, dan edema peri-hematoma.
Perdarahan awal disebabkan oleh faktor-faktor risiko di atas. Prognosis sangat
dipengaruhi oleh kedua fase berikutnya. Ekspansi hematoma, yang terjadi
dalam beberapa jam setelah fase perdarahan awal terjadi, akan meningkatkan
TIK yang pada gilirannya akan merusak BBB (Blood Brain Barrier).
Peningkatan TIK berpotensi menyebabkan herniasi. Kerusakan BBB ini
menyebabkan fase berikutnya yaitu pembentukan edema peri-hematoma. Fase
terakhir ini dapat terjadi dalam beberapa hari setelah fase pertama terjadi dan
merupakan penyebab utama perburukan neurologis, akibat penekanan bagian
otak normal (Yueniwati, 2016).
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter
100–400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh
darah tersebut yaitu berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah
yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri yang kecil.
Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada
arteriola dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah
juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Yueniwati,
2016).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemia akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul
karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis
(Yueniwati, 2016).
Perdarahan subarachnoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar
permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang

10
subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya
aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
SAH mengakibatkan vasokonstriksi akut, agregasiplatelet, dan kerusakan
mikrovaskular. Hal ini mengakibatkan penurunan bermakna perfusi otak dan
iskemia (Yueniwati, 2016).
b. Stroke Non Hemoragik
Iskemia adalah suatu kondisi atau keadaan dimana jaringan seperti otak
mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen karena adanya obstruksi
pembuluh darah arteri atau aliran darah yang tidak adekuat. Meskipun hanya
membentuk kurang lebih 1% sampai 2% dari total berat tubuh, otak perlu
pasokan oksigen dan glukosa yang cukup dan disuplai melalui sirkulasi darah.
Otak menerima 15% curah jantung dan mengonsumsi 20% total konsumsi
oksigen tubuh. Aliran darah otak dalam keadaan normal sekitar 50 ml/100 g
jaringan otak/menit dan tetap konstan meskipun tekanan darah maupun
tekanan intrakranium berubah – ubah. Hal tersebut akibat adanya autoregulasi
resistensi vascular (Widyaningsih & Herawati, 2022).
Stroke iskemik atau non hemoragik disebabkan oleh fokal iskemia
serebral, dimana terjadi penurunan aliran darah yang cukup sehingga
mengganggu metabolisme neuronal dan fungsi otak. Jika keadaan iskemi tidak
ditangani dalam masa kritis, yang akan terjadi kemudian adalah cedera seluler
ireversibel dan mengakibatkan infark serebral (Widyaningsih & Herawati,
2022).
Beberapa faktor risiko stroke non hemoragik yang dapat diubah berperan
dalam patofisiologi terjadinya stroke. Seperti hipertensi yang dapat membuat
pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga menyebabkan terjadinya
hialinisasi otot pembuluh darah yang mengakibatkan diameter pembuluh
darah menjadi lebih kecil. Penyakit kardiovaskular serta diabetes melitus
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah melalui emboli kardiogenik dan
makroangiopati diabetika. Kadar HDL yang rendah dapat menyebabkan

11
dislipidemia yang nantinya juga menimbulkan adanya penumpukan plak di
dinding pembuluh darah arteri. Anemia hemolitik juga menyebabkan
terjadinya stroke. Di Amerika, merokok merupakan penyebab tunggal
terjadinya stroke non hemoragik melalui pembentukan agregasi butir – butir
darah yang menyumbat pembuluh darah. Aktifitas fisik, nutrisi dan indeks
massa tubuh yang normal dapat menurunkan risiko terjadinya stroke
(Widyaningsih & Herawati, 2022).
Jika aliran darah ke otak dipulihkan sebelum terjadi cedera neuron dan
seluler yang ireversibel, maka gejala klinis dan tanda – tanda stroke yang
terjadi hanyalah sementara. Gangguan berkepanjangan pada aliran darah ke
otak akan menyebabkan defisit neurologis yang menetap karena cedera pada
neuron yang ireversibel (infark serebral). Dua mekanisme patogenesis yang
dapat menyebabkan stroke iskemik adalah trombosis dan emboli dimana
sekitar dua pertiga kasus stroke iskemik disebabkan oleh trombosis serta
sepertiganya oleh karena emboli (Wijaya, 2018).
1) Trombosis
Trombosis menyebabkan terjadinya stroke iskemik dengan cara
menyumbat arteri cerebralis besar (terutama arteri carotis interna, arteri
cerebri media, atau arteri basilaris), arteri kecil, vena cerebralis, atau sinus
venosus. Gejala biasanya berkembang dari menit ke jam. Stroke
trombotik sering didahului oleh TIA yang cenderung menghasilkan gejala
serupa karena trombosis mempengaruhi bagian otak yang sama secara
berulang (Wijaya, 2018).
2) Emboli
Emboli mengakibatkan stroke ketika arteri cerebralis tersumbat oleh
trombus dari jantung, arcus aorta, atau arteri cerebralis besar lainnya.
Emboli dalam sirkulasi otak bagian depan paling sering menyumbat arteri
cerebri media atau cabang – cabangnya, karena sekitar 85% dari aliran
darah hemisfer otak dibawa oleh pembuluh darah ini. Emboli dalam

12
sirkulasi otak bagian belakang biasanya berada pada puncak dari arteri
basilaris atau pada arteri cerebri posterior. Stroke emboli khas
menghasilkan defisit neurologis yang maksimal pada saat onset. Apabila
TIA mendahului stroke emboli, terutama yang bersumber dari jantung,
gejala dapat bervariasi antara serangan tergantung daerah otak yang
terkena (Widyaningsih & Herawati, 2022).
2.8 Manifestasi Klinis
a. Stroke Hemoragik
1) Perdarahan Intracerebral
Meskipun pada beberapa individu, ICH terjadi saat beraktivitas atau
tekanan emosional tiba-tiba, kebanyakan ICH terjadi selama aktivitas
rutin. Gejala neurologis biasanya memperparah selama beberapa menit
atau beberapa jam. Tempat yang paling umum dari ICH adalah putamen,
dan presentasi klinis bervariasi menurut ukuran dan lokasi ICH. Gejala
ICH yang umum seperti sakit kepala, mual, dan muntah (Yueniwati,
2016).
Defisit neurologi fokal yang terjadi dapat diperkirakan dari daerah
otak yang terserang, yaitu seperti berikut (Yueniwati, 2016):
a. Hemisfer kanan Hemiparesis kiri, hipertesia kiri, penurunan
penglihatan pada mata kiri, afasia
b. Hemisfer kiri Hemiparesis kanan, hipertesia kanan, penurunan
penglihatan pada mata kanan
c. Serebellum Penurunan kedaran drastis, apneu, dan kematian,
ataksia ipsilateral, merot
d. Putamen Hemiparesis kontralateral, hipesthesia
kontralateral, heminopsia homonym, afasia,
apraksia
e. Thalamus Hemiparesis kontralateral, hipestesia
kontralateral, hemianopsia homonim, afasia,
miosis, kebingungan
f. Nucleus kaudatus Hemiparesis kontralateral, kebingungan
g. Batang otak Tetraparesis, merot, penurunan kesadaran,
miosis, instabilitas autonomic, ocular bobbing

13
2) Perdarahan Subarachnoid
Kebanyakan aneurisma tidak memberikan gejala sama sekali hingga
pada saat aneurisma itu ruptur. Nyeri kepala yang tejadi mendadak
merupakan tanda khas untuk pendarahan subaraknoid. Pada sekitar 30%
pasien sakit kepala ini terjadi ipsilateral aneurisma yang rupture. Pasien
yang datang dengan sakit kepala khas seperti ini meskipun tidak memiliki
tanda deficit neurologis lain, namun memiliki kemungkinan terkena
pendarahan subarcnoid sebanyak 10-16%. Sekitar 5-15% pasien ini salah
diagnosis (Yueniwati, 2016).
Nyeri kepala pada pendarahan subaracnoid dapat disertai atau tidak
disertai dengan gejala lain seperti kaku kuduk akibat iritasi meningen,
hilang kesadaran sesaat, mual, muntah atau defisit neurologis fokal,.
Sebaliknya, jika pasien dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar,
keluhan nyeri kepala mungkin tidak terlaporkan. Sakit kepla pada
beberapa pasien muncul terlambat. Pada beberapa kasus, sakit kepala ini
membaik dengan pemberian obat anti nyeri. Satu dari lima pasien dengan
pendarahan intercerebral melaporkan bahwa beberapa hari sebelumnya
terdapat nyeri kepala serupa dengan intesitas lebih rendah (sentinel
headache) (Yueniwati, 2016).
Kaku kuduk hanya muncul 3-12 jam setelah rupture dan mungkin
tidak muncul sama sekali pada pasien dengan koma dalam atau dengan
pendarahan subarachnoid kecil. Nyeri punggung dan /atau tungkai dapat
muncul. Gejala ini disebabkan oleh iritasi radiks nervus lumbal sacral
oleh darah. Pada beberapa pasien, gejala dan tanda klinis ringan tersebut
dapat terjadi beberapa hari setelah rupture sesungguhnya terjadi
(Yueniwati, 2016).
Pasien dengan pendarahan subaracnoid disertai paralisis nervus
okkulomatorius, nistagmus, dizziness, dan ataksia sangat digestif yang

14
diakibatkan oleh rupture aneurisma PcomA. Sementara itu, paraparesis
dan abulia terjadi pada rupture AcomP dan hemiparesis dan afasia
menandai rupture aneurisma MCA (Yueniwati, 2016).
b. Stroke Non Hemoragik
Pada stroke iskemik dapat timbul muntah, disfagia (kesulitan menelan),
kebutaan monokuler, afasia/gangguan bahasa, gangguan sensorik dan motorik,
hilangnya kesadaran, vertigo, kebas atau kelemahan baik pada tangan atau
kaki dan dapat mengganggu fungsi serebelar (Mutiarasari, 2019).
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan sebagai penunjang pada penyakit
stroke, antara lain (Mutiarasari, 2019):
1) Angiografi Serebral
Pemeriksaan yang dilakukan untuk membantu menentukan penyebab dari
stroke secara spesifik.
2) CT Scan.
Pemeriksaan ini dapat membantu untuk memperlihatkan secara spesifik
letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia,
dan posisinya secara pasti. Umumnya hasil pemeriksaan didapatkan hiperdens
fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan
otak.
3) MRI (Magnetic Imaging Resonance).
Pemeriksaan ini menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan
posisi dan besar/ luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
4) USG Doppler.
Pemeriksaan ini membantu untuk mengidentifikasi adanya penyakit
arteriovena (masalah sistem karotis).
5) EEG (Electroencephalogram)

15
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan
otak.
2.10 Penatalaksanaan
a. Stroke Hemoragik
1) Terapi Umum
2) Terapi Khusus
a) Perdarahan Intracerebri
(1) Terapi Farmakologi
(2) Terapi Pembedahan
(3) Evakuasi Hematom
(4) Rehabilitasi dan Pemulihan
b) Perdarahan Subarachnoid
b. Stroke Non Hemoragik
2.11 Komplikasi
Pada pasien stroke yang berbaring lama dapat terjadi masalah fisik dan
emosional
diantaranya (Wahyuni et al., 2023):
1) Bekuan darah (Trombosis)
Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan
cairan, pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang
mengalirkan darah ke paru.
2) Dekubitus
Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat,
sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan
terjadi ulkus dekubitus dan infeksi.
3) Pneumonia

16
Pasien stroke tidak bisa batuk dan menelan dengan sempurna, hal ini
menyebabkan cairan terkumpul di paru-paru dan selanjutnya menimbulkan
pneumoni.
4) Atrofi dan kekakuan sendi (Kontraktur)
Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi.
5) Depresi dan kecemasan
Gangguan perasaan sering terjadi pada stroke dan menyebabkan reaksi
emosional dan fisik yang tidak diinginkan karena terjadi perubahan dan
kehilangan fungsi tubuh.
2.12 Pencegahan
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (2009) di Indonesia, upaya
yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke, yaitu (Mutiarasari, 2019):
1. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor resiko stroke
bagi individu yang mempunyai faktor resiko dengan cara melaksanakan gaya
hidup sehat bebas stroke, antara lain:
a. Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.
b. Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.
c. Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit Jantung (misalnya fibrilasi
atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit
vaskular aterosklerotik lainnya.
d.Menganjurkan konsumsi makanan dengan gizi yang seimbang seperti:
makan banyak sayuran, buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna,
minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang rendah
lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak serta dianjurkan berolahraga
secara teratur.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.
Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar
stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah
( DIAH MUTIARASARI):
1. pemeriksaan MRI pada beberapa pasien dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan informasi tambahan dalam penegakan diagnosis dan dalam
membuat perencanaan perawatan selanjutnya
2. pencitraan non invasif rutin dilakukan dalam waktu 24 jam sejak pasien
masuk RS, dimana hanya untuk pasien dengan Modified Rankin Scale (MRS)
0-2

17
3. monitoring jantung harus dilakukan setidaknya selama 24 jam pertama
4. pemeriksaan diabetes mellitus dengan pengujian glukosa plasma darah,
hemoglobin A1c atau tes toleransi glukosa oral
5. pengukuran kadar kolesterol darah pada pasien yang telah medapatkan
terapi statin
6. penilaian troponin awal dapat diberikan, tetapi tidak boleh menunda
alteplase IV atau trombektomi
7. pemberian antikoagulasi pada pasien yang memiliki hasil tes koagulasi
abnormal pasca stroke iskemik
8. pemberian antitrombotik pada pasien stroke iskemik akut non
kardioembolik, yakni pemilihan antiplatelet dapat mengurangi risiko stroke
berulang dan
kejadian kardiovaskular lainnya
9. pemberian terapi statin pada pasien selama periode akut
10. revaskularisasi karotid dapat dilakukan untuk pencegahan sekunder pada
pasien stroke dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2, jika tidak ada
kontraindikasi.
11. inisiasi intervensi di RS dengan menggabungkan farmakoterapi dan
dukungan terapi perilaku pada pasien stroke yang memiliki kebiasaan
merokok, serta melakukan konseling rutin agar membantu pasien berhenti
merokok.
12. memberikan pendidikan tentang stroke. Pasien harus diberikan informasi,
saran, dan kesempatan untuk berdiskusi mengenai dampak stroke dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
3. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke
agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari. Pencegahan tertier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik,
mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari
dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli
okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga.
a. Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu
proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang
pertama adalah fisioterapi yakni latihan rentang geral ROM (Range of
Motion), diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita
seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan
keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi
okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih
kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi,
memakai baju, makan, dan buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara
dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan

18
makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan orang
lain.
b.Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat
mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung,
tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami
akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses
rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan
melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis.
c. Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke
menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup,
hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas
sosial akan memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan
badan-badan bantuan sosial.
2.13 Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death,
disease, disability, discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam
aspek prognosis tersebut terjadi pada stroke fase awal atau pasca
stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak menjadi lebih buruk
maka semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-hati
terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan
darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam setelah
serangan stroke.

Prognosis setelah serangan stroke iskemik sangat


bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan stroke dan pada
kondisi premorbid pasien, usia, dan komplikasi pasca stroke.
Seorang penderita stroke memiliki risiko
3%-10% dalam 30 hari pertama untuk mengalami stroke
Rekuren. Beberapa pasien stroke iskemik akan mengalami transformasi
menjadi stroke hemoragik dari 30%-80% pada perdarahan
intraserebral dan 20%-50% pada perdarahan subarachnoid. Prognosis pasien setelah
stroke iskemik jauh lebih positif dibandingkan setelah stroke hemoragik. Selain
membunuh sel-sel otak, stroke hemoragik meningkatkan risiko komplikasi berbahaya
seperti peningkatan tekanan intrakranial atau kejang pada pembuluh darah otak.

19
Menurut Sacco (2005) penderita stroke yang bertahan
hidup memiliki risiko 3 sampai 5 kali lipat untuk mengalami
kematian dibandingkan dengan populasi seusianya yang tidak
mengalami stroke.

BAB III
KESIMPULAN
Retensio urine merupakan suatu kondisi tidak adanya proses berkemih spontan
dalam enam jam setelah kateter menetap dilepaskan, atau bisa berkemih spontan
dengan urine residu > 200 ml untuk kasus Obstetri dan urine residu > 100 ml untuk
kasus Ginekologi. Retensio urin merupakan salah satu komplikasi yang bisa terjadi
pasca tindakan, baik tindakan obstetri maupun ginekologi.
Retensio urin pada masa nifas disebabkan oleh trauma intra partum, merupakan
penyebab utama terjadinya retensio urin, dimana terdapat perlukaan pada uretra dan
vesika urinaria. Sedangkan retensio urine pasca operasi ginekologi disebabkan oleh
ketidak hati-hatian operator dalam mengidentifikasi kandung kemih, nyeri edema,
spasme otot pubokoksigeus, dan cedera nervus pudendus.
Tatalaksana berupa kateterisasi, obat-obatan yang bekerja pada system saraf
simpatis, parasimpatis dan otot polos, pemberian cairan, antibiotika dan analgesik.
Prognosis retensio urine sebagian besar baik dengan tatalaksana sesuai. Semakin
banyak residu yang ada pada saat dekompresi, semakin buruk prognosis.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ayre, J. R., Bazira, P. J., Abumattar, M., Makwana, H. N., & Sanders, K. A. (2022). A
new classification system for the anatomical variations of the human circle of
Willis: A systematic review. Journal of Anatomy, 240(6), 1187–1204.
https://doi.org/10.1111/joa.13616
Azzahra, V., & Ronoatmodjo, S. (2023). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stroke pada Penduduk Usia ≥15 Tahun di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Analisis Data Riskesdas 2018). Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Indonesia, 6(2). https://doi.org/10.7454/epidkes.v6i2.6508
Julianti, N. (2018). Haemorrhagic Stroke on Elderly Man With Uncontrolled
Hypertension. Jurnal Agromed Unila, 2(1), 33–38.
Mutiarasari, D. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and Prevention.
Jurnal Ilmiah Kedokteran Medika Tandulako, 1(1), 60–73.
Mutiari, S. E., Dewi, D. R. L., & Zakiah, M. (2019). Hubungan Antara Nilai
Hematokrit dan Early Neurological Deterioartion pada Pasien Stroke Iskemik
Akut. Jurnal Cerebellum, 5(3), 1376–1387.
Putra Kusuma, A., Tri Utami, I., & Purwono, J. (2022). Pengaruh Terapi
“Menggengam Bola Karet Bergerigi” Terhadap Perubahan Kekuatan Otot Pada
Pasien Stroke Diukur Menggunakan Hangryp Dynamometer Di Ruang Syaraf
Rsud Jend a Yani Kota Metro. Jurnal Cendikia Muda, 2(1), 17–23.
sahla delia azzahra, F. (2023). Laporan Kasus: Stroke Non Hemoragik. 7(1), 573–
580.
Sanjaya, N., & Kurniawan, S. N. (2022). Persistent Headache After Cerebellum
Hemorrhage Stroke. Jurnal of Pain Headache and Vertigo, 24(3), 44–49.
https://doi.org/10.21776/ub.jphv.2022.003.02.4
Setiawan, P. A. (2020). Diagnosis Dan Tatalaksana Stroke Hemoragik. Jurnal Medika

21
Utama, 02(01), 402–406.
Utama, Y. A., & Nainggolan, S. S. (2022). Faktor Resiko yang Mempengaruhi
Kejadian Stroke: Sebuah Tinjauan Sistematis. Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi, 22(1), 549. https://doi.org/10.33087/jiubj.v22i1.1950
Wahyuni, E., Darmawan, I., & Anugrahwati, R. (2023). Studi Kasus Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Stroke Non Hemoragik Di Rumah Sakit
Hermina Bekasi. Jurnal Ilmiah Keperawatan Altruistik, 6(1), 25–33.
https://doi.org/10.48079/jikal.v6i1.98
Wardhani, N. R., & Martini, S. (2018). Faktor yang berhubungan dengan
pengetahuan tentang stroke pada pekerja institusi pendidikan tinggi. Universitas
Airlangga, 2, 13–23. https://e-journal.unair.ac.id/JBE/article/download/149/23
Widyaningsih, D. A. D., & Herawati, I. (2022). Peran Fisioterapi Dalam
Meningkatkan Kemampuan Fungsionalpada Kasus Post Stroke Hemiparrese
Dextra E. C Non Hemoragik (Case Study). Journal of Innovation Research and
Knowledge, 2(3), 797–804.
https://www.bajangjournal.com/index.php/JIRK/article/view/3140
Wijaya, A. K. (2018). Patofisiologi Stroke Non-Hemoragik Akibat Trombus. E-
Jurnal Medika Udayana, 2(10), 1–14.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/6694

22

Anda mungkin juga menyukai