Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MAKALAH

SYNDROME DIGEORGE

Disusun Oleh : Kelompok 7

Vivi Alia Pratiwi 18700053


Wisnu Pratama Putra 18700055
Komang Aneni Mugi R 18700057
M. Femy Ramdhani 18700059

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Sindrom
Digeorge ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dr. Haryson
Tondy Winoto, M.Si.,Med.,Sp.A.pada Ilmu Kesehatan Anak. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Sindrom DiGeorge bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….……….........


DAFTAR ISI ..……………………..………………………………..…………………...................
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………….

A. Latar Belakang………………………………………………………………………………….

B. Rumusan Masalah ………………………….…………………………………………………..

C. Tujuan ………………………………………………………………………………………....

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………….……………

2.1 Definisi………………………………………………………………….….………………

2.2 Tanda dan Gejala…………………………………………………………..………………

2.3 Diagnosis…………………………………………….……………………………….……

2.4 Penatalaksanaan……………………………………………….……………………...……

2.5 Prognosis………………………………………………………...…………………………

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………..

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………...……

3.2. Saran………………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………

LAMPIRAN………………………………………………………………………………………..

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Gangguan immunodefisiensi primer (PID) merujuk beragam gangguan
yang ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau lebih
komponen dari sistem kekebalan tubuh. Gangguan tersebut dapat bersifat
kronis dan biasanya merupakan gangguan yang cukup penting. IPD
menyebabkan pasien tidak dapat merespon secara adekuat infeksi yang ada
sehingga respon terhadap gangguan infeksi tidak adekuat. Lebih dari 130
gangguan IPD yang berbeda telah diidentifikasi hingga saat ini, dan dengan
adanya penemuan baru yang terus-menerus didapatkan perkembangan
identifikasi lainnya. PID kebanyakan merupakan hasil dari cacat bawaan dalam
pengembangan sistem kekebalan tubuh dan/atau fungsi. Penting untuk dicatat
bahwa PID berbeda dari immunodefisiensi sekunder yang mungkin timbul dari
penyebab lain, seperti infeksi virus atau bakteri, malnutrisi atau pengobatan
dengan menggunakan obat yang menginduksi imunosupresi (Kusumo, 2012).
Sindrom DiGeorge, sindrom mikrodelesi yang paling umum,
memengaruhi banyak organ, termasuk jantung, sistem saraf, dan ginjal. Ini
disebabkan oleh penghapusan pada kromosom 22q11.2; penyebab genetik dari
kerusakan ginjal tidak diketahui.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Sindrom DiGeorge?
2. Bagaimana manifestasi klinis dari Sindrom DiGeorge?
3. Bagaimana cara mendiagnosis Sindrom DiGeorge?
4. Bagaimana penatalaksanaan dari Sindrom DiGeorge?
5. Bagaimana prognosis dari Sindrom DiGeorge?

1
C. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seputar


Sindrom DiGeorge sehingga menjadi bekal untuk penulis di dunia kesehatan
untuk kedepannya. kami harap dengan adanya makalah ini dapat memberikan
manfaat dan sumbangan pengetahuan bagi penulis dan pembaca sehingga kita
semua bisa lebih sadar akan permasalahan kesehatan di sekitar kita

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Delesi di Chromosome 22q11.2 adalah penyebab paling umum dari
sindrom Di-George (nomor Online Mendelian In-heritance in Man [OMIM],
188400) dan sindrom velocardiofacial (nomor OMIM, 192430) dan merupakan
gangguan penghapusan mikro yang paling umum pada manusia, dengan
perkiraan prevalensi 1 dalam 2000 sampai 4000 kelahiran hidup. Sindrom
DiGeorge adalah kondisi multi-sistemik yang melemahkan yang menampilkan
(dengan ekspresifitas variabel) malformasi jantung, insufisiensi velopharyn-
geal, hipoparatiroidisme dengan hipokalsemia, dan aplasia timus dengan
defisiensi imun.

B. Tanda & Gejala

Menurut definisi, sindrom DiGeorge lengkap ditandai dengan ketiadaan


atau keterbelakangan (hipoplasia) timus yang mengakibatkan jumlah sel T
yang sangat rendah. Ketiadaan atau keterbelakangan timus menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus, jamur dan bakteri (defisiensi
imun). Tingkat kerentanan dapat bervariasi. Gejala khusus akan bervariasi
tergantung pada jenis infeksi, kesehatan bayi secara keseluruhan, dan faktor
lainnya. Infeksi saluran pernafasan yang sering terjadi seringkali menyebabkan
gangguan pernafasan. Infeksi oportunistik juga sering terjadi. Infeksi
oportunistik mengacu pada infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang
biasanya tidak menyebabkan penyakit pada individu dengan sistem kekebalan
yang berfungsi penuh atau penyakit yang menyebar luas (sistemik) oleh
mikroorganisme yang biasanya hanya menyebabkan infeksi lokal dan ringan.
Bayi yang terkena tidak hanya lebih rentan terhadap infeksi, tetapi tubuh
mereka juga tidak dapat melawan infeksi secara efektif.

3
Bayi dengan sindrom DiGeorge lengkap memiliki gejala tambahan
termasuk kelainan jantung bawaan dan / atau hipoparatiroidisme. Komplikasi
ini bisa jadi signifikan. Cacat kesehatan bawaan adalah masalah dengan
struktur jantung. Ini termasuk dinding, katup, dan arteri dan vena jantung.
Lebih dari 50 persen bayi dengan sindrom DiGeorge lengkap memerlukan
pembedahan untuk memperbaiki kelainan jantung.

Hipoparatiroidisme adalah kondisi langka di mana kelenjar paratiroid,


yang terletak di leher, gagal menghasilkan hormon paratiroid dalam jumlah
yang cukup. Hormon paratiroid berperan dalam mengatur kadar kalsium dan
fosfor dalam darah. Karena kekurangan hormon paratiroid, individu dengan
hipoparatiroidisme mungkin menunjukkan kadar kalsium dalam darah yang
sangat rendah (hipokalsemia) dan fosfor tingkat tinggi. Kadar kalsium yang
rendah dalam darah dapat menyebabkan kejang. Manajemen kadar kalsium
bisa sulit dilakukan pada bayi dengan sindrom DiGeorge lengkap. Meskipun
bayi dengan sindrom DiGeorge parsial biasanya mengatasi hipoparatiroidisme
dalam waktu sekitar 12 bulan, sekitar 80% bayi dengan sindrom DiGeorge
lengkap memiliki masalah jangka panjang dalam mempertahankan kadar
kalsium yang aman.

Beberapa bayi mengalami pelunakan jaringan kotak suara (laring), suatu


kondisi yang disebut laringomalasia. Hal ini dapat menyebabkan suara bising.
Terkadang bisa menyebabkan kesulitan makan.Bayi dengan sindrom
penghapusan kromosom 22q11.2 dan sindrom CHARGE akan memiliki gejala
tambahan yang berhubungan dengan diagnosis spesifik mereka. Bayi dengan
sindrom DiGeorge lengkap yang lahir dari ibu penderita diabetes mungkin juga
hanya memiliki satu ginjal (agenesis ginjal).Peneliti telah mengidentifikasi
bentuk atipikal dari sindrom DiGeorge lengkap. Bayi yang terkena, selain
imunodefisiensi, memiliki kemerahan, seringkali gatal, ruam dan pembesaran
kelenjar getah bening (limfadenopati). Mereka mengembangkan sel T
oligoklonal. Untuk memahami proses ini, akan sangat membantu jika
menganggap timus sebagai gedung sekolah. Pada anak-anak normal, sel punca
dari sumsum tulang pergi ke timus ("gedung sekolah") untuk berkembang

4
menjadi sel T. Sel T yang berkembang belajar untuk tidak menyerang tubuh
bayi (diri) dan melawan infeksi. Jika sel T yang berkembang berhasil
mempelajari kedua pelajaran ini, mereka "lulus", dan meninggalkan gedung
sekolah. Para lulusan memiliki protein khusus di permukaan sel dan disebut sel
T "naif". Setelah sel T naif melawan infeksi, mereka kehilangan penanda
khusus dan disebut sel T memori. Sel T memori dapat dengan cepat melawan
infeksi jika kambuh. Pada sindrom DiGeorge lengkap atipikal, tidak ada timus
(tidak ada gedung sekolah). Namun, sel punca di sumsum tulang berkembang
menjadi sel yang terlihat seperti sel T, tetapi tidak memiliki penanda sel T yang
"naif". Sel T "atipikal" ini belum bersekolah dan belum mempelajari apa itu
"diri". Sel T atipikal kemudian menyerang tubuh yang menyebabkan ruam, dan
seringkali juga diare atau kerusakan hati. Diagnosis sindroma DiGeorge
atipikal dibuat ketika pasien mengalami ruam dan jumlah sel T yang tinggi
tetapi tidak ada, atau sangat sedikit, sel T naif dalam darah.

Gambar di atas : Ciri wajah dismorfik berbeda pada usia muda dan tua dan
antar ras. Micrognathia menjadi kurang jelas seiring bertambahnya usia. Temuan
telinga tetap berbeda. Fitur dysmorphic wajah tertentu kurang menonjol pada latar
belakang ras lainnya. Perhatikan wajah menangis asimetris pada anak laki-laki di
sebelah kiri. Ciri-ciri lain yang perlu diperhatikan adalah mata berkerudung dan
akar hidung yang lebar pada anak laki-laki di sebelah kiri.

5
Gambar diatas : Anak yang terkena dismorfik memiliki beberapa fitur umum
pada anak-anak dengan sindrom penghapusan (delesi) kromosom 22q11.2,
termasuk mata berkerudung, ujung hidung yang bulat, dagu kecil, dan heliks
telinga yang kusut.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiografi: untuk mengetahui abnormalitas dari kelenjar timus,
menentukan kelainan anatomi, mengevaluasi sistem saraf pusat, kelainan
kraniofasial, sistem muskuloskeletal, dan kandungan kardiotoraks
2. Pemeriksaan FISH (Fluorescent In Situ Hybridization): merupakan teknik
sitogenetik molekuler yang digunakan untuk mendeteksi abnormalitas
kromosom dan kelainan genetik tertentu, dengan menggunakan mikroskop
fluoresens.
3. X-ray dan CT Scan: untuk memberikan gambaran bagian dalam tubuh
yang membantu mengidentifikasi cacat pada jantung dan organ lainnya.
4. Tes darah

D. TATA LAKSANA

 Penderita sindrom digeorge dapat diberikan beberapa penanganan, seperti:

 Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D untuk mengobati kekurangan


kalsium.
 Terapi bicara jika pasien mengalami hambatan atau kesulitan berbicara.
 Fisioterapi untuk mengatasi masalah pergerakan tubuh.
 Psikoterapi jika terdapat masalah psikologis atau gangguan
mental.Penanganan untuk mengatasi gangguan sistem kekebalan tubuh.

6
 Operasi untuk mengatasi gangguan organ atau bagian tubuh tertentu,
seperti cacat bawaan lahir pada jantung dan bibir sumbing.

Ada beberapa rekomendasi khusus untuk pengobatan pasien sindrom


DiGeorge. Kombinasi perawatan psikofarmakologis dan psikoterapi
direkomendasikan untuk gangguan kejiwaan masing-masing, tetapi selain dari
peningkatan risiko kejang (sekitar 5-7 kali lipat dibandingkan dengan subjek
sehat), hanya sedikit rekomendasi khusus yang tersedia. Yang penting, perawatan
psikososial seumur hidup sangat penting untuk meningkatkan hasil pasien.

E. Prognosis
Kurang dari 1% pasien dengan mikrodelesi 22q11.2 memiliki DGS lengkap,
subtipe DGS yang paling parah dengan prognosis yang sangat buruk. Tanpa
transplantasi sel timus atau hematopoietik, pasien ini meninggal pada usia 12
bulan. Meskipun dengan transplantasi, prognosisnya tetap buruk. Dalam sebuah
penelitian terhadap 50 bayi yang menerima transplantasi timus untuk DGS
lengkap, hanya 36 yang bertahan hingga dua tahun.
Pasien dengan DGS parsial tidak memiliki prognosis yang pasti, karena ini
tergantung pada tingkat keparahan patologi yang terkait dengan penyakit ini.
Meskipun beberapa tidak dapat bertahan hidup saat masih bayi karena kelainan
jantung yang parah, banyak yang bertahan hingga dewasa. DGS mungkin sangat
kurang terdiagnosis, dan banyak orang dewasa yang tidak terdiagnosis dengan
DGS berkembang dalam komunitas dengan anomali kongenital yang tidak
terdeteksi dan gangguan intelektual dan / atau sosial ringan. Perbaikan dalam
diagnosa genetik diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang DGS di
masa yang akan datang.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sindrom DiGeorge adalah kondisi multi-sistemik yang melemahkan yang
menampilkan (dengan ekspresifitas variabel) malformasi jantung, insufisiensi
velopharyn-geal, hipoparatiroidisme dengan hipokalsemia, dan aplasia timus
dengan defisiensi imun. Penyebabnya besar kemungkinan disebabkan oleh
delesi kromosom 22q11.2. Kromosom 22q11.2DS dikaitkan dengan berbagai
masalah termasuk: penyakit jantung bawaan, kelainan langit-langit, disfungsi
sistem kekebalan termasuk penyakit autoimun, kalsium rendah
(hipokalsemia ) dan kelainan endokrin lainnya seperti masalah tiroid dan
defisiensi hormon pertumbuhan, masalah pencernaan, kesulitan makan,
kelainan ginjal, gangguan pendengaran, kejang, kelainan tulang, perbedaan
wajah minor, dan perbedaan belajar dan perilaku. CHARGE adalah singkatan
dari [C] oloboma, bawaan [H] eart defects, choanal [A] tresia, growth [R]
etardation, [G] enital hypoplasia dan [E] ar anomaly or deafness. Pengobatan
sindrom digeorge mungkin ditujukan untuk mengatasi gejala dan kelainan
yang ditimbulkan oleh penyebab dari penyakit sindrom digeorge.

3.2 Saran
Diharapkan seluruh masyarakat memperhatikan masalah kesehatan yang
terjadi saat ini, bila setiap permasalahan kesehatan yang menjadi kewajiban
semua warga Negara dibebankan kepada pemerintah, tentu perwujudan
masyarakat yang sehat akan tidak mudah dilaksanakan. Masyarakat juga
perlu memiliki dan meningkatkan pengetahuan tentang berbagai macam
penyakit yang terjadi saat ini dan bagaimana masyarakat mengetahui tentang
pencegahan dan pengendalian dari penyakit tersebut. Sehingga dengan itu,
masyarakat bisa terhindar dari berbagai macam penyakit-penyakit yang ada.

8
PENUNTUN BELAJAR
PENYAKIT DEFISIENSI IMUN

No Kegiatan / Langkah Klinik Pilihan


Ya Tidak
I. Mengenali tanda dan gejala penyakit Defisiensi imun
1. Tanyakan apakah anak sering mendapatkan V
infeksi rinosinusitis kronik atau berulang?
2. Tanyakan apakah ada tanda gejala berikut pada anak?
- Infeksi berulang terutama oleh V
karena bakteri
- Kadar serum IgE meningkat V
- Penyembuhan inkomplit antar
episode infeksi, atau respons V

pengobatan pengobatan inkomplit


3. Periksa dan simpulkan apakah ada tanda dan gejala berikut?
- Gagal tumbuh atau retardasi mental V
- Jarang ditemukan kelenjar atau V
tonsil yang membesar
- Infeksi oleh mikroorganisme yang V
tidak lazim
- Infeksi kulit (akses, furunkel, dan V
sellulitis)
- Pada beberapa minggu pertama V
terdapat eczematosa
- Priuritis berat V
- Rash menyebar secara diffuse V
- Likenifikasi V
- Oral trush yang tidak menyembuh V
dengan pengobatan
- Candidiasis mukokutaneus V
- Jari tabuh V
- Kuku mengalami distrofi V
- Gambaran wajah “coarse facies” V
- Diare dan malabsorpsi V
- Mastoiditis dan otitis persisten V
- Pneumonia dengan bronkiektasis V
- Penyakit autoimun V
- Kelainan hematologis (anemia V
aplastik, anemia hemolitik,
neutropenia, trombositopenia)

9
4. Periksa dan simpulkan apakah ada tanda dan gejala berikut?
- Berat badan turun
V
- Demam
V
- Periodontitis
V
- Limfadenopati
V
- Limfadenitis V

- Hepatosplenomegali V

- Penyakit virus yang berat V

- Artritis atau artralgia V

- Ensefalitis kronik V

- Meningitis berulang V

- Pioderma gangrenosa V

- Kolangitis sklerosis V

- Hepatitis kronik (virus atau V


autoimun)
- Reaksi simpang terhadap vaksinasi V

- Bronkiektasis V

- Infeksi saluran kemih V

- Lepas/puput tali pusat terlambat (> V


30 hari)
- Stomatitis kronik V

- Granuloma V

- Keganasan limfoid V

- Fraktur tulang V

10
- Osteopenia V

5. Apakah anak mengalami sekumpulan tanda-


tanda berikut ini: V
- Delapan atau lebih infeksi baru
dalam satu tahun V
- Dua atau lebih infeksi sinus serius
dalam satu tahun V
- Dua bulan atau lebih menggunakan
antibiotik dengan efek sedikit atau
V
tidak berefek
- Dua atau lebih pneumonia dalam
satu tahun V
- Kegagalan seorang bayi untuk
mendapatkan berat dan tumbuh
V
normal
- Abses pada kulit atau jaringan
V
kambuhan
- Sariawan mulut atau di tempat lain
yang menetap setelah umur 1 tahun V
- Perlu antibiotik intravena untuk
menghilangkan infeksi V
- Silsilah Sindrome Hyper - IgE dalam
V
keluarga
6. Apakah anak mengalami sekumpulan tanda
kombinasi yang berat sebagai berikut: V

- Terdapat pada minggu atau bulan


pertama kehidupan V

- Sering terjadi infeksi virus atau


jamur dibandingkan bakteri V

11
- Diare kronik umum terjadi (sering
disebut gastroenteritis) V
- Infeksi respiratorius dan oral thrush
umum terjadi V
- Terjadi failure to thrive tanpa
adanya infeksi V
- Limfopenia ditemui pada hampir
semua bayi V
II. Menjelaskan pengelompokan penyakit defisiensi imun penyakit
defisiensi imun primer dan sekunder IUIS 2003
1. Defisiensi predominan antibodi V
2. Imunodefisiensi kombinasi V
3. Imunodefisiensi selular lainnya V
4. Defek fungsi fagosit V
5. Imunodefisiensi terkait kelainan V
limfoproliferatif
6. Imunodefisiensi selular lainnya V
7. Defek fungsi fagosit V
8. Imunodefisiensi terkait kelainan V
limfoproliferatif
9. Defisiensi komplemen V
10. Imunodefisiensi terkait dengan atau V
sekunder penyakit lain
11. Imunodefisiensi lainnya V
III. Menjelaskan indikasi, makna klinik, keterbatasan, dan interpretasi uji
dan prosedur diagnostic untuk menilai fungsi kekebalan untuk
skrening
1. Pemeriksaan darah tepi V

 Hemoglobin
 Leukosit total
 Hitung jenis leukosit (persentasi)
 Morfologi limfosit
 Hitung trombosit
2. Pemeriksaan immunoglobulin kuantitatif V
(IgG, IgA, IgM, IgE)
3.
 Kadar antibodi terhadap imunisasi

12
sebelumnya (fungsi IgG)
 Titer antibody tetanus, Difteri
 Titer antibody H.influenzae
4. Penilaian komoplemen (KOmplemen V
hemolysis total = (CH50)
5. Evaluasi infeksi (laju endap darah atau V
CRP,kultur dan pencitraan yang sesuai)
6. Pemriksaan darah tepi V

 Hemoglobin
 Leukosit total
 Hitung jenis leukosit(persentasi)
 Morfologi limfosit
 Hitung trombosit
IV. Mendemonstrasikan pendekatan awal untuk pengobatan dan persiapan
rujukan
1. Pengobatan suportif V
2. Pengobatan substitusi V
3. Pengobatan imunomodulasi V
4. Pengobatan kausal V

PENJELASAN TABEL :
ROMAWI I
Pada kolom tabel I nomor 1 saya mengatak iya dikarenakan pada penderita
mudah sekali terinfeksi oleh virus, bakteri dan lainnya dikarenakan sistem
imunnya yang tidak adekuat.

13
Pada soal nomor 2 saya mengatakan iya dikarenakan pada penyakit ini
diketahui bahwa ada masalah dengan timusnya. Diketahui bahwa organ limfoid
dibagi menjadi organ limfoid primer dan organ limfoid sekunder. Organ yang
tergolong dalam organ limfoid primer yaitu sumsum tulang dan timus. Sel-sel
limfosit yang mengalami pematangan di sumsum tulang disebut sebagai limfosit
B, sedangkan sel limfosit yang masih bersifat immature akan didistribusikan ke
organ timus. Didalam timus, limfosit mengalami proliferasi intensif dimana
proses proliferasi ini tidak bergantung pada stimulasi antigen, setelah
berdiferensiasi limfosit pada organ timus atau limfosit T akan didistribusikan
menuju organ limfoid perifer yang termasuk didalamnya yaitu organ limpa.
Limpa berfungsi sebagai complicated filter yang disisipkan dalam peredaran darah
untuk membersihkan darah dari zat renik dan sel-sel darah yang telah tua. Limpa
juga terlibat dalam pertahanan imun terhadap antigen yang terbawa darah. Oleh
karena itu jika timus kita terganggu maka pertahanan imun kita juga terganggu
jadi mudah terkena infeksi bakteri berat atau infeksi yang berulang.

Pada soal nomor 3 saya mengatakan iya karena diare, tanpa atau dengan
malabsorpsi, lebih sering disebabkan oleh infestasi Giardia lamblia, pertumbuhan
bakteri berlebihan di usus kecil atau infeksi persisten oleh Cryptosporidium,
Campylobacter, rotavirus atau enterovirus. Fenomena autoimun merupakan
kejadian yang umum, sebanyak 15% muncul sebagai anemia hemolitik autoimun
dan trombositopenia autoimun. Di soal juga dikatakan bahwa penyakit ini pada
beberapa kasus mengganggu psikologis anak yang menderita dan mengenai gejala
neuropsikiatri katekol-ometil transferase ( COMT) penghapusan mengakibatkan
peningkatan kerentanan untuk gangguan neuropsikiatri. Usia rata-rata saat
diagnosis untuk gangguan kejiwaan adalah 12,4 tahun untuk individu dengan
delesi. Risikonya sangat tinggi untuk disabilitas intelektual, sangat tinggi untuk
skizofrenia dan gangguan spektrum psikotik, dan masih meningkat secara
substansial untuk gangguan mood dan kecemasan. Dan untuk infeksi mudah
bakteri dan yang lainnya mudah sekali menginfeksi dikarenakan sistem imunnya
yang tidak adekuat sehingga penderita rentan terhadap berbagai macam infeksi.

Pada soal nomor 4 saya mengatakan iya karena gejala yang terdapat
dinomor 4 tidak semua muncul bersamaan atau bisa dikatakan jarang ditemukan

14
tetapi bukan berarti tidak ada, seperti halnya demam muncul karena proses
pertahanan tubuh yang sedang melawan antigen yang masuk kedalam tubuh.
Sedangkan berat badan penderita bisa turun karena bisa terpengaruh oleh masalah
kejiwaan seseorang dan gejala lainnya seperti infeksi bakteri yang masuk yang
menimbulkan beberapa penyakit diatas timbul karena sel T penderita yang
harusnya bertugas melawan antigen tetapi tidak mature dikarenakan ada masalah
pada timusnya.

Pada soal nomor 5 Anak di bawah 2 tahun tidak berespons terhadap


antigen polisakarida dan mempunyai kadar IgG2 yang rendah. Respons antibodi
spesifik IgG2 berkembang perlahan dan mencapai kadar puncak seperti dewasa
pada usia 4-6 tahun. Oleh karena itu, anak usia muda rawan terkena infeksi oleh
organisme berkapsul polisakarida. Defisiensi IgG1 dan IgG3 biasa terjadi
bersamaan, menyebabkan resposn imun yang kurang baik terhadap antigen
protein dan dikaitkan dengan infeksi rekuren. Defisiensi subklas IgG juga
dikaitkan dengan defisiensi IgA dan dikaitkan dengan masalah paru.

Pada soal nomor 6 saya mengatakan iya karena antibodi IgG maternal
secara aktif ditransfer melalui plasenta ke sirkulasi fetal mulai dari bulan ke-4
gestasional dan mencapai puncaknya saat 2 bulan terakhir. Saat lahir, bayi
mempunyai kadar IgG serum yang sama dengan ibu. Katabolisme IgG maternal
hanya dikompensasi sebagian oleh IgG yang dibentuk bayi. Periode 3-6 bulan
merupakan fase hipogamaglobulinemia fisiologik. Bayi normal tidak terlalu
rawan terhadap infeksi karena masih terdapat antibodi yang berfungsi meskipun
kadar IgG rendah. Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila IgG yang didapat
dari ibu sedikit, seperti pada prematuritas. Bayi-bayi yang lahir pada minggu
gestasi ke 26-32 mungkin membutuhkan perawatan intensif agar dapat bertahan
hidup, di sisi lain perawatan invasif dapat meningkatkan risiko infeksi. Terapi
pengganti imunoglobulin dapat bermanfaat pada bayi berat lahir rendah di negara
dengan prosedur invasif dan insidens infeksi bakteri cukup tinggi, sampai bayi
tersebut mampu memproduksi antibodi protektif sendiri. Hipogamaglobulinemia
transien juga dapat terjadi bila bayi lambat dalam memproduksi IgG. Dengan
menurunnya kadar IgG serum yang diperoleh dari ibu, bayi lebih rawan mendapat
infeksi piogenik rekuren. Pembentukan IgG secara spontan dapat membutuhkan

15
waktu berbulan-bulan. Keadaan ini harus dapat dibedakan dari
hipogamaglubulinemia patologik, karena ada perbedaan tatalaksana. Pada
sebagian besar bayi, bayi tetap sehat dan tidak memerlukan terapi spesifik, bahkan
jika kadar imunoglobulin di bawah ambang normal. Disamping itu juga perlu
diperhatikan depresi imunitas sel T biasanya disertai dengan variasi abnormalitas
fungsi sel B. Hal ini menunjukkan kerjasama sel T dan B dalam produksi antibodi
terhadap sebagian antigen. Defisiensi berat ini biasanya muncul dalam bulan
pertama kehidupan (Tabel 28-5). Bayi yang sama sekali gagal dalam fungsi
limfosit T dan B akan terkena defisiensi imun kombinasi berat (severe combined
immunodeficiency, SCID).

ROMAWI II

Sindrome Digeorge termasuk dalam klasifikasi IDP kategori kombinasi


defisiensi sel T dan sel B

Sistem kekebalan dipengaruhi sekitar 75% dari waktu, dan efek diperkirakan
timbul akibat hipoplasia timus. Ukuran timus tidak memprediksi jumlah sel-T
yang bersirkulasi sebagian karena sel epitel timus di lokasi yang menyimpang.
Dengan ruang organ yang terbatas untuk perkembangan sel T, darah perifer
memiliki suplai sel T yang berkurang, dan jumlah sel T rendah kompartemen sel
T yang menua sebelum waktunya akan diantisipasi menjadi kurang efektif dalam
pertahanan antivirus dan kurang efektif dalam memberikan bantuan ke sel B untuk
produksi antibody.

ROMAWI III

Pada Kolom 1
Terdapat peningkatan trombosit mungkin merupakan tes skrining. Penulis studi
retrospektif menyarankan bahwa temuan trombosit dapat membantu dokter untuk
dengan cepat memutuskan apakah akan memesan produk darah yang diradiasi
untuk mencegah cangkok terkait transfusi yang berpotensi fatal dibandingkan

16
penyakit pejamu jika terjadi defisiensi imun yang parah dan dapat mengingatkan
dokter untuk memantau kadar kalsium serum dengan cermat. untuk mencegah
kejang hipokalsemik. Pada tes darah selalu menunjukkan trombositopenia (jumlah
trombosit berkisar antara 128.000 sampai 175.000 / µL dengan kisaran referensi
200.000-400.000 / µL) dan trombosit besar.
Pada kolom 2
Karena pada sindrom digeorge berhubungan dengan defisiensi sel limfosit T
yang dimana tempat pematangannya di timus dan tidak ada hubungannya dengan
sel B pembentuk antibodi. Disana juga tertera titer antibodi pemeriksaan tetanus,
difteri, dan influenza yang tidak berhubungan dengan timbulnya sindrom
digeorge. Skrining bayi baru lahir mengidentifikasi bayi dengan tingkat sel T yang
rendah, yang dapat mengarah pada identifikasi bayi baru lahir dengan sindrom
DiGeorge lengkap.
Pada Kolom 3
Karena pada sindrom digeorge berhubungan dengan defisiensi sel limfosit T
yang dimana tempat pematangannya di timus dan tidak ada hubungannya dengan
sel B pembentuk antibodi. Disana juga tertera titer antibodi pemeriksaan tetanus,
difteri dan influenza yang tidak berhubungan dengan timbulnya sindrom digeorge.
Pada Kolom 4
Karena sebagian besar kekurangan komplemen diwariskan sebagai sifat resesif
autosom dan karena biasanya heterozigot normal secara klinis, seseorang dapat
membuat diagnosis sebagian besar cacat signifikan dengan menentukan bahwa
hasil CH50 pasien adalah 0; artinya, tidak ada lisis pada sel darah merah. Pada
sindrom digeorge merupakan autosom dominan, yang berarti bahwa hanya satu
kromosom yang terpengaruh yang diperlukan agar kondisi tersebut terjadi.
Diagnosis dicurigai berdasarkan gejala dan dikonfirmasi oleh pengujian genetik
Pada Kolom 5
Flow cytometry dilakukan secara in vitro untuk memperkirakan jumlah sel T
dalam darah tepi dan respons proliferatifnya terhadap mitogen dan antigen. Studi
sitometri aliran yang mengukur sel CD45RA + T dan CD45RO + juga harus
dilakukan, untuk membedakan pasien dengan sindrom DiGeorge lengkap dari
pasien dengan sindrom DiGeorge parsial yang lebih umum. Flow cytometer dapat
menentukan jumlah dan persentase berbagai sel jenis dalam sampel darah.
Kemajuan dalam flow cytometry multiwarna, teknik pencitraan non-invasif, dan
penilaian molekuler fungsi timus. Teknik-teknik ini sangat berharga dalam
memantau pemulihan sel T setelah pencangkokan timus terapeutik untuk 21q11.2
DS complete.

17
Pada Kolom 6
Terdapat peningkatan trombosit mungkin merupakan tes skrining. Penulis studi
retrospektif menyarankan bahwa temuan trombosit dapat membantu dokter untuk
dengan cepat memutuskan apakah akan memesan produk darah yang diradiasi
untuk mencegah cangkok terkait transfusi yang berpotensi fatal dibandingkan
penyakit pejamu jika terjadi defisiensi imun yang parah dan dapat mengingatkan
dokter untuk memantau kadar kalsium serum dengan cermat. untuk mencegah
kejang hipokalsemik. Pada tes darah selalu menunjukkan trombositopenia (jumlah
trombosit berkisar antara 128.000 sampai 175.000 / µL dengan kisaran referensi
200.000-400.000 / µL) dan trombosit besar.
ROMAWI IV

1. Pada pengobatan suportif, perawatan mungkin memerlukan upaya


terkoordinasi dari tim spesialis. Dokter anak, dokter yang mengkhususkan
diri dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan sistem kekebalan (ahli
imunologi), dokter yang berspesialisasi dalam mendiagnosis dan mengobati
kelainan darah (ahli hematologi), dokter yang berspesialisasi dalam
mendiagnosis dan mengobati gangguan endokrin (ahli endokrin), dan
profesional perawatan kesehatan lainnya mungkin perlu. Pengobatan
antibiotik dan antiviral digunakan untuk infeksi sampai transplan kultur
jaringan thymus yang investigasional dapat dilakukan pada pasien sindrom
digeorge. Beberapa bayi memerlukan suplementasi kalsium atau versi sintetis
vitamin D3 yang disebut kalsitriol untuk hipoparatiroidisme pada pasien
sindrom digeorge. Bayi yang terkena laringomalasia atau aspirasi mungkin
memerlukan trakeostomi.

2. Tidak ada pengobatan substitusi. Karena pada studi yang kami dapatkan,
hanya pengobatan primer berupa transplantasi timus dan sekunder untuk
pengobatan jika ada infeksi dari bakteri maupun virus.

3. Tidak ada pengobatan imunomodulasi, dokter anak atau ahli imunologi


mungkin diperlukan dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan sistem
kekebalan dengan tujuan memperbaiki keadaan imunitas seperti sel induk
hematopoietic yang memproduksi sel T untuk pengobatan sindrom digeorge
yang dipelajari oleh peneliti. Tetapi, sel induk hematopoietic tersebut belum
terbukti efektif dalam pengobatan sindrom digeorge.

18
4. Ada pengobatan kausal. Pada pengobatan kausal untuk defisiensi imun
sekunder hanya diberikan antibiotic / antiviral pada pasien sindrom digeorge
jika ada infeksi pada transplantasi timus. Untuk defisiensi imun primer hanya
bisa dilakukan trasplantasi timus karena pada sindrom digeorge mengalami
delesi kromosom 22q11.2, sehingga penderita tidak mempunyai timus atau
ada gangguan pada timusnya.

 DAFTAR PUSTAKA

McDonald-Mcginn, D. M. and Sullivan, K. E. (2011). Chromosome 22q11.2


deletion syndrome (DiGeorge syndrome/velocardiofacial syndrome). Medicine.
No. 1. Vol. 90, Hal. 1–18.
Lopez-Rivera, E. et al. (2017).Genetic Drivers of Kidney Defects in the DiGeorge
Syndrome. New England Journal of Medicine. No. 8. Vol. 376. Hal. 742–754.
G. Discussion. Complete DiGeorge Syndrome. NORD gratefully acknowledges
M. Louise Markert, MD, PhD, Professor of Pediatrics and Immunology, Duke

19
University Medical Center, for assistance in the preparation of this report. Hal 1–
9.
Hidayahturrahmi & Tirthaningsih, N.W. 2015. Peran Tehnik Sitogenetik
Molekuler Fluorescent In Situ Hybridization (FISH) pada Diagnostik Genetik.
Majalah Biomorfologi. Vol. 28, No.1, hh. 1-5

Kathleen E. S. et al. 2015. 22q11.2 Deletion Syndrome. Disease Primers.


https://www.nature.com/articles/nrdp201571 Diakses 29 Maret 2021

Lackey, A . 2020 . Digeorge Syndrome . Statpearls

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/n/statpearls/article-20513 Diakses 29 Maret


2021

Notoatmojo. S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka


Cipta.

Kusumo, P. D. 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID). Widya Kedokteran. No.


324. Vol. 29 Hal. 14–22.

20

Anda mungkin juga menyukai