Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN SISTEMATIS

MANAJEMEN GULA DARAH

PADA PASIEN STROKE AKUT

Oleh:

Ketut Dewi Pratiwi 1902611122


Anak Agung Ngurah Yamanand 1902611125
Omprakash Nanda Kumar 1802612002

Pembimbing:

dr. I. G. N. Ketut Budiarsa, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
TAHUN 2019
MANAJEMEN GULA PADA PASIEN STROKE AKUT
Lembar Persetujuan Pembimbing

TINJAUAN SISTEMATIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL AGUSTUS 2019

Pembimbing,

dr. I. G. N. Ketut Budiarsa, Sp.S


NIP. 19570529 198601 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K)


NIP. 19561010 198312 1 001

ii
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmat-Nya tinjauan sistematis dengan judul “Manajemen Gula pada
Pasien Stroke Akut” ini selesai pada waktunya. Tinjauan sistematis ini disusun
sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu penyelesaian tinjauan sistematis ini. Ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada:
1. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan
memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini.
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S selaku Penanggung Jawab Pendidikan Dokter
Muda Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Denpasar yang telah
memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis selama proses
pembelajaran di bagian ini.
3. dr. I. G. N. Ketut Budiarsa, Sp. S selaku pembimbing dalam pembuatan
tinjauan sistematis ini yang telah memberikan saran, dan masukkan dalam
penyempurnaan tinjauan sistematis ini.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tinjauan sistematis ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
tinjauan sistematis ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Denpasar, Agustus 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL.................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1 Stroke...................................................................................................3
2.2 Stroke dan Hiperglikemia............................................................................3
2.4 Manajemen Gula Darah pada Stroke...........................................................6
BAB III KESIMPULAN........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

iv
iv
BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan suatu penyakit serebrovaskuler yang ditandai dengan


defisit neurologis fokal ataupun global, yang terjadi secara mendadak dan cepat
berlangsung lebih dari 24 jam serta berhubungan dengan adanya gangguan peredaran
pada darah otak. Gangguan peredaran pada otak merupakan suatu kelainan pada otak
yang disebabkan oleh proses patologik pembuluh darah, dapat berupa oklusi lumen
karena embolus ataupun trombus, adanya ruptur pada pembuluh darah. 1

Menurut WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke tahun
2011. Dari jumlah tersebut 5,5 juta jiwa telah meninggal dunia. Diperkirakan jumlah
stroke iskemik terjadi 85% dari jumlah stroke yang ada. Penyakit darah tinggi atau
hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Di Indonesia stroke
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Prevalensi stroke mencapai 8,3 per 1000 penduduk, 60,7 persennya disebabkan oleh
stroke non hemoragik. Sebanyak 28,5 % penderita meninggal dunia dan sisanya
mengalami kelumpuhan total atau sebagian. Hanya 15 % saja yang dapat sembuh
total dari serangan stroke atau kecacatan (Nasution, 2013; Halim dkk., 2013).2

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di


Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang
terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah pada
kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%. Prevalensi stroke berdasarkan jenis
kelamin lebih banyak laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan (6,8%).
Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi (8,2%)
dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%).3

Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia dalam jumlah terbanyak


penderita stroke pada tahun 2009. Data dari Kementrian Kesehatan RI (2014)
mencatat bahwa jumlah penderita stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan

1
2

diagnosis tenaga kesehatan (nakes) diperkirakan 1.236.825 orang. Setiap tahunnya di


Indonesia diperkirakan 500.000 penduduk terkena serangan stroke, ada sekitar 2,5%
atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Yayasan
Stroke Indonesia, 2012).Stroke memberikan dampak yang besar pada nutrisi dan
status gizi pasien yang terkena.3
Faktor resiko penyebab stroke berupa hipertensi, diabetes melitus,
hiperlipidemia, hiperhomosisteinemia, dan merokok. Hipertensi merupakan faktor
resiko utama penyebab stroke, sehingga penanganan yang baik pada hipertensi dapat
menurunkan insiden dan angka kematian akibat stroke.1
Pada episode stroke tahap akut memiliki resiko Kenaikan kadar gula darah
yang terjadi 48 jam pertama dimana hal tersebut dapat mempengaruhi morbiditas dan
luaran serta mortalitas penderita (Iqbal et al., 2014). Penderita stroke dengan kadar
glukosa >144 mg/dL akan meningkatkan risiko mortalitas 3 kali lebih besar
(Darmawan et al., 2011) dan diduga dapat memperburuk keluaran neurologi
(outcome) penderita stroke iskemik (Napitupulu, 2011). Berdasarkan kepentingan
prognosis pasien di masa depan, maka perlu dilakukan deteksi dini pada stroke yang
menyebabkan hiperglikemia pada pasien.4
2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke
Definisi stroke adalah suatu defisit neurologi fokal atau global yang terjadi
secara mendadak dan berlangsung lebih dari 24 jam disebabkan oleh karena
gangguan peredaran darah otak. Stroke menjadi penyebab kematian ketiga setelah
penyakit jantung dan kanker, serta menjadi penyebab kecacatan utama. 8 Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2007
menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah-rumah
sakit di Indonesia. Kemajuan teknologi kedokteran berhasil menurunkan angka
kematian akibat stroke, namun angka kecacatan akibat stroke cenderung tetap.3

Menurut patofisiologinya, stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan


stroke hemoragik. Kurang lebih 83% dari seluruh kejadian stroke berupa stroke
iskemik dimana 51% stroke iskemik disebabkan oleh thrombosis serta 32%
disebabkan oleh emboli. Sekitar 20% kejadian stroke merupakan stroke hemoragik.4

2.2 Stroke dan Hiperglikemia

Frekuensi hiperglikemia telah lama dilakukan penelitian terutama pada pasien


dengan stroke akut. Terlepas dari waktu antara onset stroke dan penilaian glukosa
atau kondisi di mana kadar glukosa darah dinilai (misalnya, pengambilan sampel acak
versus pengambilan sampel puasa), hiperglikemia merupakan kasus yang banyak
ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit untuk stroke iskemik akut.
Sebuah tinjauan sistematis dari 33 studi melaporkan bahwa 8 hingga 63% non-
diabetes dan 39-83% pasien diabetes dengan stroke iskemik memiliki hiperglikemia
(definisi dari hiperglikemia y adalah nilai glukosa darah> 6,1 mmol / L) . Beberapa
mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan hiperglikemia pada pasien dengan
stroke akut (Gambar 1). Tingginya insiden hiperglikemia setelah stroke iskemik
terjadi pada pasien dengangangguan metabolisme glukosa atau pada pasien DM.

3
4

Selanjutnya, 27 hingga 37% pasien dirawat di rumah sakit karena stroke dan
hiperglikemia tanpa riwayat DM memiliki ganguan toleransi glukosa tiga bulan
setelah stroke awal, dan sekitar sepertiga dari kasus bermanifestasi menjadi DM.
Stroke melibatkan aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Aktivasi sirkuit
neuron yang kompleks ini menyebabkan peningkatan kadar glukokortikoid serum,
termasuk kortisol, dan aktivasi dari sistem saraf otonom simpatis, menghasilkan
peningkatan pelepasan katekolamin. Oleh karena itu, fase akut stroke iskemik dan
minggu pertama setelah stroke disertai dengan kadar kortisol dan katekolamin
humoral yang tinggi. Peningkatan kadar hormon stres seperti peningkatan kortisol
glikogenolisis, glukoneogenesis, proteolisis, dan lipolisis, menghasilkan produksi
glukosa berlebihan. Sebagai tambahan ion, epinefrin menghambat transpor glukosa
ke dalam sel dengan menghambat pengikatan insulin ke reseptornya, dengan
demikian, peningkatan kadar epinefrin yang bersirkulasi dapat menyebabkan
resistensi insulin dengan hiperinsulinemia. Hipotesis bahwa reaksi stres itu sendiri
berkontribusi terhadap hiperglikemia setelah stroke iskemik lebih lanjut didukung
oleh pengamatan bahwa peningkatan keparahan stroke disertai dengan peningkatan
yang sesuai dalam kadar hormon stres, dengan peningkatan bersamaan dalam
hiperglikemia.

Hiperglikemia merangsang koagulasi dengan meningkatkan produksi


kompleks trombin-antitrombin dan dengan merangsang tissue factor pathway,
sedangkan hiperinsulinemia menurunkan aktivitas fibrinolitik dengan meningkatkan
produksipenghambat aktivator plasminogen. Selain itu, baik hiperglikemia dan
hiperinsulinemia telah terbukti mengurangi aktivitas rtPA Perubahan metabolisme
glukosa merusak rekanalisasi melalui peningkatan koagulasi dan penurunan aktivitas
fibrinolitik.

Hiperglikemia dikaitkan dengan penurunan reperfusi ke jaringan iskemik dan


peningkatan volume infark dibandingkan dengan kontrol normoglikemik. Aliran
darah otak hemisferik berkurangsebanyak 37% pada hiperglikemik dibandingkan
dengan normoglikemik. Selanjutnya, setelah rekanalisasi, aliran darah penumbral
5

terbukti 60% dari nilai pra-iskemik pada tikus hiperglikemik, dibandingkan dengan
89% nilai pra-iskemik pada tikus dengan normal kadar glukosa darah. Penghambatan
vasodilatasi merupakan mekanisme penting dimana hiperglikemia mengurangi aliran
darah otak. Infus glukosa akut telah terbukti mengurangi vasodilatasi dependen
endotelium pada manusia yang sehat. Vasodilatasi terutama dimediasi oleh oksida
nitrat yang diturunkan dari endotelium, yang disintesis oleh oksida nitrat sintase
endotel. Berkurangnya ekspresi gen NOS3 dikaitkan dengan lingkungan
hiperglikemik. Penurunan ekspresi gen ini dimediasi melalui aktivasi protein kinase
C. Hiperglikemia menstimulasi jalur lipooksigenase dan siklooksigenase, yang
mengarah pada peningkatan pembentukan prostaglandin vasokonstriktif seperti
tromboksan A2. Selain itu, hiperglikemia dapat meningkatkan produksi eikosanoid,
yang dapat memengaruhi tonus pembuluh darah dan mengakibatkan vasokonstriksi.

Meskipun pemulihan aliran darah ke jaringan iskemik sangat penting untuk


penyelamatan penumbral, reperfusi itu sendiri juga dapat menyebabkan cedera, dan
hiperglikemia dikaitkan dengan peningkatan cedera reperfusi. Mediator cedera
reperfusi adalah stres oksidatif dan proses ini tampaknya dipengaruhi oleh
hiperglikemia. Stres oksidatif terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara
produksi dan netralisasi reaktifspesies oksigen (ROS), seperti superoksida dan
peroksida. ROS telah terbukti merusak berbagai komponen sel, termasuk protein,
lipid dan DNA, yang dapat menyebabkan penurunan fungsi sawar darah-otak, serta
pembentukan edema dan peningkatan volume infark. Hiperglikemia meningkatkan
produksi ROS melalui jalur protein-mediase kinase C, dan dengan meningkatkan
produksi nikotinamid adenin dinukleotida fosfat. Dengan meningkatkan produksi
ROS, hiperglikemia dapat meningkatkan stres oksidatif, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian neuron. Faktanya, peningkatan stres oksidatif yang
disebabkan oleh pembentukan superoksida dianggap sebagai salah satu jalur utama
yang mengarah pada komplikasi hiperglikemik. Lain faktor penting dalam cedera
reperfusi adalah respons inflamasi. Selama iskemia pada manusia, respons inflamasi
berkembang melalui produksi sitokin pro-inflamasi (termasuk faktor nekrosis tumor,
6

serta berbagai interleukin dan molekul pensinyalan sel), dan melalui infiltrasi dari
jaringan oleh sel-sel inflamasi (seperti leukosit dan makrofag) . Respon inflamasi
menyebabkan kerusakan sawar otak darah, diapesis sel-sel inflamasi dari sirkulasi ke
interstitium, dan pembentukan edema yang mengakibatkan cedera jaringan dan
peningkatan ukuran infark. Faktor-faktor ini memiliki peran kunci dalam pengaturan
respon inflamasi dengan meningkatkan produksi sitokin pro-inflamasi dan
mempromosikan adhesi sel-sel inflamasi ke sel-sel inflamasi lainnya dan endotel
pembuluh darah.

Mekanisme lainnya menghubungkan glikolisis anaerob di bawah kondisi


hiperglikemik dengan akumulasi asam laktat dan pH homeostasis yang disfungsional,
yang telah diusulkan untuk berkontribusi pada peningkatan cedera otak.
Hiperglikemia berkorelasi positif dengan peningkatan konsentrasi laktat serebral dan
berkurangnya penumbral setelah infark. Hiperglikemia mungkin juga secara langsung
memengaruhi fungsi mitokondria dalam penumbra iskemik, sehingga menyebabkan
asidosis intraseluler yang substansial. Hiperglikemia juga dikaitkan dengan
peningkatan komplikasi hemoragik setelah pengobatan rPA. Satu studi khususnya
menunjukkan bahwa hiperglikemia (glukosa darah melebihi 11,1 mmol / L dalam
penelitian ini) dikaitkan dengan tingkat perdarahan simptomatik 25% pada pasien
dengan stroke iskemik akut yang diobati dengan rtPA. Namun, dalam studi ini, DM
juga dikaitkan dengan peningkatan angka perdarahan atau hubungan antara
hiperglikemia dan komplikasi hemoragik menghilang setelah penilaian multivariat.
Hiperglikemia menjadi penanda DM, dan ada bukti bahwa DM dikaitkan dengan
gangguan sawar darah-otak dan mikrovaskatur. Gangguan tersebut dapat
mengakibatkan peningkatan risiko perdarahan untuk pasien dengan stroke iskemik
akut..

2.3 Manajemen Gula Darah pada Stroke


Kejadian Hiperglikemia pada pasien stroke akut non-diabetes terjadi pada
hampir 60% pasien. Hiperglikemia yang terjadi setelah kejadian stroke akut berkaitan
7

dengan respon stress pada tubuh akibat luasnya volume infark, terjadinya gangguan
kortikal. Hiperglikemia ini berhubungan dengan hasil akhir yang biasanya lebih
buruk dibandingkan pada pasien stroke tanpa hiperglikemia.

Salah satu indikasi paling penting bahwa pasien dengan stroke iskemik mendapat
kontrol glikemik yang ketat dirancang untuk menjaga nilai glukosa darah dalam
kisaran fisiologis yang lebih rendah (<6,1 mmol / L), memiliki hasil klinis yang lebih
baik daripada pasien yang tidak menerima pengobatan control glikemik. Namun,
penggunaan kontrol glikemik yang ketat harus diperhatikan dengan hati-hati karena
meningkatkan risiko hipoglikemia berat ( kadar glukosa darah <2.2.mmol / L), yang
mungkin merupakan faktor kontribusi terhadap hasil klinis yang buruk pada pasien
yang diobati dengan kontrol glikemik yang ketat.

Pedoman saat ini dari American Heart Association dan European Stroke
Organization menyatakan bahwa setelah stroke iskemik, konsentrasi glukosa darah
melebihi 7,8 mmol / L menjamin pemberian insulin. Namun, cara di mana kadar
glukosa harus ditetapkan dan dipertahankan sepanjang perjalanan klinis pasien
tinggal di rumah sakit tidak jelas. Di sebagian besar rumah sakit, regimen insulin
skala geser digunakan untuk mengelola hiperglikemia.1Penggunaan ekstensif
regimen insulin skala geser mungkin karena kenyamanan, kesederhanaan, dan
ketepatan waktu pengobatan. Namun, penggunaan rejimen semacam itu, tidak secara
konsisten meningkatkan kontrol glikemik, dan itu terkait dengan peningkatan risiko
hipoglikemia. Keterbatasan utama dari protokol ini adalah bahwa mereka
memerlukan pendekatan reaktif daripada proaktif, yang membutuhkan modifikasi.
dosis insulin sebagai respons terhadap perubahan konsentrasi glukosa darah.
Sebaliknya, agen penurun glukosa oral mengurangi kadar glukosa darah secara
efektif, tetapi agen ini bertindak jauh lebih lambat daripada insulin.

Pada Indonesia, manjemen gula pada pasien stroke berdasarkan Pedoman Pelayanan
Nasional Kedokteran dimana pada pasien stroke penting untuk menghindari kadar
gula darah melebihi 180 mg/dL. Target kadar gula darah pada pasien stroke 140-180
mg/dL. Perlu dilakukan manajemen terapi dengan infus saline dan baiknya hindari
8

larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah serangan stroke akan berperan dalam
mengendalikan kadar gula darah.

Pada pasien dengan stroke akut perlu dilakukan beberapa hal yang
berhubungan dengan manajemen gula darah diantaranya :

1) Pasien stroke iskemik atau TIA sebaiknya dilakukan skrining diabetes dengan
gula darah puasa, HbAIc segera setelah pasien masuk rumah sakit (kelas II,
peringkat bukti C).
2) Semua pasien stroke dengan GD tidak terkendali diberikan insulin
3) Target pengendalian gula darah 140-180 mg/dL (kelas II, peringkat bukti C). Bila
>250 mg/dL, diberikan insulin intravena secara rutin, dosis sesuai dengan
protocol. Kontrol gula darah selama fase akut stroke

Pada pasien dengan hiper glikemia, perlu diberikan manajmen dengan


pemberian insulin, namun dalam pemberian insulin penting untuk memperhatikan
indikasi diantaranya :
 Stroke hemoragik dan non-hemoragik dengan IDDM atau NIDDM.
 Bukan stroke lakunar dengan diabetes melitus.
 Merupakan manjemene Kontrol gula darah selama fase akut stroke.
 Insulin reguler subkutan menurut skala luncur.
 Sangat bervariasi dan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien.

Pemberian Insulin reguler subkutan menurut skala luncur sangat bervariasi


dan harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien (tidak disebutkan diberikan
dalam berapa jam sekali). Pada hiperglikemia refrakter perlu diberikan insulin intra
vena (i.v.)
9

Tabel 1. Skala luncur insulin reguler

Gula darah (mg/dL) Dosis insulin subkutan (unit)


150 – 200 2
201 – 250 4
251 – 300 6
301 – 350 8
≥ 351 10

Pemberian insulin intravena juga perlu dilakukan pada pasien yang tidak reaktif
dengan pemberian subkutan atau pada pasien dengan hiperglikemia yang tinggi.
Target kadar glukosa darah dengan pemberian inslulin intravena adalah 140-180
mg/dL,9 (80-110 untuk kasus perawatan intensif, untuk kasus tertentu, tata laksana
glukosa pada stroke bisa mencapai 110-140mg/dL dengan memperhatikan risiko
terjadinya hipoglikemia ). Standar drip insulin 100 U/100 mL 0.9% NaCl via infus (1
U/1 mL). Infus insulin harus dihentikan bila pasien makan dan menerima dosis
pertama dari insulin subkutan.

Pemberian insulin intrvena didasarkan atas algoritme

1. Algoritme 1: mulai untuk sebagian besar pasien


2. Algoritme 2: untuk pasien yang tak dapat dikontrol dengan algoritme 1, atau
untuk pasien dengan diabetes yang menerima insulin >80 U/hari sebagai “out-
patient”.
3. Algoritme 3: untuk pasien yang tak dapat dikontrol dengan algoritme 2.
4. Algoritme 4: untuk pasien yang tak dapat dikontrol dengan algoritme 3.

Gula Darah Kecepatan infus insulin (U/jam)


Algoritme 1 Algoritme 2 Algoritme Algoritme 1
(mg/dL)
10

<60 (hipoglikemia
<70 0 0 0 0
70 – 109 0.2 0.5 1 1.5
110 – 119 0.5 1 2 3
120 – 149 1 1.5 3 5
150 – 179 1.5 2 4 7
180 – 209 2 3 5 9
210 – 239 2 4 6 12
240 – 269 3 5 8 16
270 – 299 3 6 10 20
300 – 329 4 7 12 24
330 – 359 4 8 14 28
>360 6 12 16 28

Periksa glukosa darah kapiler tiap jam sampai pada sasaran glukosa (glucose
goal range) selama 4 jam, kemudian diturunkan tiap 2 jam dan bila tetap stabil, dapat
dikurangi tiap 4 jam. Pemantauan tiap jam untuk pasien sakit kritis walaupun glukosa
darah stabil. Seluruh pasien yang memerlukan infus insulin secara berlanjut harus
mendapatkan sumber glukosa secara rutin baik melalui IV (D5W atau TPN) atau
melalui asupan enteral. Infus insulin dihentikan jika pasien harus meninggalkan ICU
untuk tes diagnostik ataupun karena memang sudah selesai perawatan ICU.

Untuk mencapai glukosa darah sesuai target, berilah dosis short-acting atau
rapid-acting insulin subkutan 1-2 jam sebelum menghentikan infus insulin intravena.
Dosis insulin “basal dan prandial” harus disesuaikan dengan tiap kebutuhan pasien.
Misalnya bila dosis rata-rata dari IV insulin 1.0 U/jam selama 8 jam sebelumnya dan
stabil, dosis total per hari adalah 24 U. Dari ini 50% (12 U) adalah basal sekali sehari
atau 6 U 2 x/hari, 50% selebihnya adalah prandial, misalnya short-acting (regular)
atau rapid actinginsulin 4 U sebelum tiap makan.

Tabel 3. Pemberian insulin subkutan

Gula Darah Dosis insulin (Unit)


Algoritme dosis Algoritme dosis Algoritme dosis
sebelum makan
rendah sedang tinggi
(mg/dL)
150 – 199 1 1 2
11

200 – 249 2 3 4
250 – 299 3 5 7
300 – 349 4 7 10
> 349 5 8 12

1. Algoritme dosis rendah dipakai untuk pasien yang membutuhkan <40 U


insulin/hari.
2. Algoritme dosis sedang dipakai untuk pasien yang membutuhkan 40 – 80 U
insulin/hari.
3. Algoritme dosis tinggi dipakai untuk pasien yang membutuhkan >80 U
insulin/hari.

Pemberian insulin untuk mempercepat penurunan kadar gula darah, namun


perlu dierhatikan juga bahwa pemberian insulin juga memiliki resiko terjadinya
hipoglikemia. Hipoglikemia dapat diklasifikasikan kedalam beberapa bagian terkait
derajat keparahannya, yaitu
1. Hipoglikemia berat.
2. Hipoglikemia simtomatik : GDS < 70 mg/dL disertai gejala hipoglikemia
3. Hipoglikemia asimtomatik : GDS < 70 mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
4. Hipoglikemia relatif : GDS > 70 mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
5. Probable hipoglikemia : apabila didapatkan gejala hipoglikemia tanpa
pemeriksaan GDS.

Manajemen yang dilakukan terhadap pasien dengan kondisi hipoglikemia :

a) Hipoglikemia ringan :
 Pemberian konsumsi makanan tinggi gula, gula murni merupakan pilihan
utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi glukosa juga efektif
untuk menaikkan glukosa darah.
 Glukosa 15-20 gr (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah
terapi pilihan pada pasien hipoglikemia yang masih sadar.
12

 Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer dilakukan tiap 15 menit,


bila tetap hipoglikemia pengobatan diatas dapat diulang kembali.
 Jika kadar glukosa darah normal, pasien dapat diminta untuk makan atau
makanan ringan untuk mencegah hipoglikemia berulang.
b) Hipoglikemia berat :
 Jika terdapat gejala neuroglikopenia, berikan dextrose 20% parenteral
50 cc (bila terpaksa dapat diberikan dextrose 40% sebanyak 25 cc)
diikuti dengan infus D5% atau D10%.
 Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer dilakukan tiap 15
menit, bila kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan
ulang pemberian dextrose 20%.
 Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam, bila
hipoglikemia berulang, pemberian dextrose 20% dapat diulang
BAB III
KESIMPULAN

Stroke merupakan suatu defisit neurologi fokal atau global yang terjadi secara
mendadak dan berlangsung lebih dari 24 jam disebabkan oleh karena gangguan
peredaran darah otak. Menurut patofisiologinya, stroke diklasifikasikan menjadi
stroke iskemik dan stroke hemoragik. Mayoritas stroke terjadi pada orang tua, yang
lebih rentan terhadap gangguan dari homeostasis cairan. Tujuan terapi dari stroke
akut adalah menstabilkan pasien dan mengevaluasi keadaan pasien, termasuk
melakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan imaging. Semua ini harus
tercapai dalam waktu kurang dari 60 menit.

Pasien stroke dengan hiperglikemia, memiliki resiko yang lebih buruk. Dua
mekanisme tuntuk menjelaskan pengaruh negatif hiperglikemia pada hasil setelah
stroke: (1) reperfusi yang lebih buruk karena cedera pembuluh darah dan hilangnya
tonus pembuluh darah melalui oksidasi mekanisme yang bergantung pada oksida
nitrat; dan (2) peningkatan asidosis, mungkin dari saluran penginderaan asam / asam
laktat, yang mengarah pada cedera jaringan lebih lanjut. Penatalaksanaan
hiperglikemia dapat melalui pemberin insulin subkutan maupun pemberian insulin
seara intravena. Perlu diperhatikan adanya resiko hipoglikemia saat pemberian insulin
tersebut.

13
11
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor’s Principles of
Neurology. 10th Edition. USA: McGraw Hill. 2014.
2. The Stroke Center UT Southwestern Medical Centre Department of
Neurology and Neurotherapeutics. 2013. Dallas.
3.

23

Anda mungkin juga menyukai