Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARURATAN PADA KASUS ACS

(ACUTE CORONARY SYNDROM)

Dosen Pengampu: Salis Miftahul Khoeriyah, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :

Nama : Reska Silvia Febriyanti

Nim : 181100399

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

0SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada ALLAH SWT atas nikmat kepada kita semua, baik itu
nikmat kesehatan maupun nikmat umur panjang yang diberikan kepada kita sehingga kita semua
khususnya kepada kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul ”Asuhan Kegawat
Daruratan Acute Coronery Syndrom”.

Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan


terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis,
terutama kepada Dosen Pembimbing dan teman-teman.

Penulis sadari tanpa adanya bantuan dari pihak lain, makalah yang menulis susunan
dalam beberapa hari ini tidak akan tersusun dan terselesaikan. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi kita semua terutama kepada penulis khususnya. Amin.

Yogyakarta, 27 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ii

BAB I PNDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Tujuan..............................................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Kasus ACS
a. Pengertian ACS.........................................................................................................5
b. Anatomi......................................................................................................................5
c. Klasifikasi..................................................................................................................6
d. Etiologi.......................................................................................................................6
e. Patofisiologi................................................................................................................10
f. Tanda dan Gejala......................................................................................................13
g. Pathway......................................................................................................................14
h. Penatalaksanaan........................................................................................................15
2. Konsep Kegawatdaruratan Pada Kasus ACS
a. Fokus Pengkajian......................................................................................................18
a. Keluhan utama......................................................................................................18
b. Triase.....................................................................................................................18
c. Pengkajiam Primer................................................................................................18
d. Pengkajian Sekunder.............................................................................................18
b. Diagnosa.....................................................................................................................21
c. Intervensi...................................................................................................................21
d. Implementasi.............................................................................................................23
e. Evaluasi......................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

ii
iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Acute Coronary Syndrome (ACS) atau Sindrom koroner akut mengacu pada
konstelasi tanda dan gejala klinis yang disebabkan oleh iskemia miokard yang
memburuk. Tidak adanya kerusakan miokard, dinilai dengan mengukur kadar
biomarker jantung sehingga pasien dapat diklasifikasikan sebagai mengalami angina
tidak stabil (Griffin & Menon, 2018).
Infark miokard (MI) menggambarkan proses kematian sel miokard yang
disebabkan oleh iskemia atau ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard
melalui arteri koroner dan kebutuhan. Menurut laporan World Health Organization
terbaru pada tahun 2015 penyakit jantung koroner tetap menjadi penyebab utama
kematian di seluruh dunia. Pengenalan dini dan diagnosis MI akut serta waktu
serangan sangat penting untuk pertimbangan terapi sehingga dapat membatasi
kerusakan miokard serta mempertahankan fungsi jantung dan mengurangi mortalitas
(Humphyreys, 2011)
Profil Penyakit Tidak Menular (2017) Kementerian Kesehatan menyebutkan
bahwa penderita penyakit jantung koroner mencapai 4.920 penderita baru setiap
tahunya, dimana 2.320 penderita berjenis kelamin lakilaki, dan 2.600 penderita
berjenis kelamin perempuan. Secara global World Health Organization (2015)
melaporkan bahwa insiden kematian akibat penyakit jantung mencapai 17,7 juta
(45%) (Kemenkes.RI, 2017)
Prevalensi penderita jantung koroner di Jawa Timur mencapai 3.000 penderita
yang dirawat inap pada seluruh Rumah Sakit (Kemenkes.RI, 2017). Data nasional
yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan (2019) menyebutkan bahwa prevalensi
Sindrom koroner akut yang terdiagnosis oleh prefesional kesehatan mencapai 1,5%
dari penyakit tidak menular lainya, dengan prevalensi kematian mencapai 12,9% dari
penyebab kematian lainya (Kementerian Kesehatan RI, 2019).

1
Data Rumah Sakit Daerah dr Haryoto Lumajang menunjukkan bahwa sepanjang
bulan Januari – Agustus 2020 tercatat kasus jantung sebesar 377 kasus serta kasus
STEMI sebanyak 84 kasus (Register RSUD dr Haryoto Lumajang, 2020).
Ketika terjadi kerusakan miokard, pasien dengan ACS dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori utama MI akut yakni pasien dengan elevasi segmen ST baru
pada elektrokardiogram (EKG) yang merupakan diagnostik infark miokard akut
elevasi segmen ST (STEMI), dan pasien dengan infark miokard elevasi segmen non-
ST (NSTEMI) yang mengalami peningkatan biomarker jantung dalam pengaturan
klinis yang sesuai, dengan atau tanpa perubahan EKG iskemik. Uji klinis telah
menyatakan manfaat terapi reperfusi dini pada pasien dengan STEMI dan strategi
invasif dini pada pasien dengan NSTEMI risiko tinggi oleh karena itu, penilaian yang
cepat dan akurat dari pasien dengan dugaan MI akut sangat penting untuk manajemen
yang optimal (Jeremias & Brown, 2019).
Sindrom koroner akut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
negara maju. Penyakit Jantung Koroner jenis infark miokard sendiri 3 merupakan
penyebab utama kematian di sebagian besar negara Barat. Prevalensi yang meningkat
pesat di negara berkembang, khususnya Asia Selatan dan Eropa Timur ditambah
dengan peningkatan insiden penyalahgunaan tembakau, obesitas, dan diabetes
diprediksi akan membuat penyakit kardiovaskular semakin meningkat. penyebab
kematian global utama pada tahun 2020. Meskipun Penyakit Jantung Koroner pada
pasien dengan arteri koroner normal semakin dikenali, pembentukan plak
aterosklerotik dalam arteri koroner dengan gangguan lesi berikutnya, agregasi
trombosit, dan pembentukan trombus tetap menjadi penyebab utama sindrom koroner
akut di manusia (Jeremias & Brown, 2019).
Keberhasilan pertolongan penyakit jantung koroner sangat bergantung kecepatan
pertolongan pertama baik di tingkat masyarakat maupun petugas kesehatan.
Kesadaran penderita mengenal gejala-gejala serangan dan kecepatan mendapat
pertolongan sangat dibutuhkan sehingga mampu meminimalisir angka kematian dan
kecacatan yang diakibatkan oleh penyakit jantung koroner. Persepsi atau interpretasi
dan pengetahuan tentang serangan jantung juga diperkirakan menjadi penyebab

2
lamanya waktu untuk membuat keputusan dalam pencarian pertolongan
(Humphyreys, 2011).
Keterlambatan di bawa ke rumah sakit pada dasarnya tergantung pada pasien
serta pada organisasi layanan medis darurat (Emergency Medical Service), namun
masih banyak masyarakat belum mengenal EMS. Kegagalan untuk mengenali IMA
dikaitkan dengan peningkatan keterlambatan pertolongan prahospital.
Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dibutuhkan saat terjadi 4 serangan, namun yang
sering terjadi adalah waktu pre hospital yang panjang sehingga terjadi keterlambatan
ke rumah sakit (George, 2013).
Keterlambatan dalam mencari pertolongan setelah gejala awal bisa memiliki
pengaruh yang besar pada prognosis penyakit dalam manajemen penanganan
Sindrom koroner akut. Lamanya waktu pencarian pertolongan adalah penyebab utama
keterlambatan dalam memulai tindakan penanganan di Rumah Sakit (Farshidi et al.,
2013). Manajemen pertolongan yang buruk sampai saat ini masih menjadi masalah
yang sulit terpecahkan. Keharusan pertolongan singkat menjadi salah satu hambatan
dalam meminimalkan angka kematian akibat penyakit jantung koroner (Waly, 2014).
Beberapa studi menunjukkan bahwa luasan infark miokard pada klien Sindrom
koroner akut cukup beragam. Proporsi luasan infark kurang dari 10% mencapai 10%,
luasan infark 10-205 mencapai 40%, luasan infak 21-30% mencapai 30%, serta lebih
dari 30% mencapai 15%. Luasan infark penting untuk mengetahui prognosis skor
luasan infark melebihi 10% memiliki angka mortalitas lebih tinggi dimana angka
kematianya mencapai 5,6%. Pada 25% episode Infark Miokard Akut (IMA),
kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit setelah serangan, karena itu banyak
yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas keseluruhan adalah 15-30%. Risiko
kematian tergantung pada banyak faktor termasuk usia penderita, riwayat penyakit
jantung koroner sebelumnya, adanya penyakit lain dan luasnya infark. Luas infark
miokard dapat diukur dengan beberapa metode. Pemakaian metode yang paling
sering digunakan sekarang adalah metode skoring QRS yang dikembangkan oleh
Selvester. Metode ini menggunakan kompleks QRS yang didapat dari gambar hasil 5
rekaman 12-lead EKG standar dengan melihat perubahan progresif komplek QRS
(Susilo, 2013; Susilo, 2015; Primanda, 2016; Syaifullah, 2017; Agustini, 2017).

3
Penyakit jantung koroner terus menjadi beban yang sangat berat bagi pasien,
keluarga, layanan kesehatan dan masyarakat. Kematian mendadak merupakan bagian
utama dari beban itu. Strategi pencegahan terus diupayakan secara nasional.
Karenanya kementerian kesehatan mengalami reorganisasi yang signifikan dan
perawatan menjadi lebih berfokus pada komunitas. Perawat jantung perlu terus
mengembangkan keterampilan dan keahlian mereka untuk bekerja di masa-masa yang
menantang ini untuk berkontribusi dalam 6 mengurangi risiko jantung. Selain itu
akses ambulan disetiap desa dikembangkan untuk mempercepat penanganan pasien
dengan serangan jantung dan latihan bantuan hidup dasar hingga fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
Berdasarkan latar belakang tersebut diketahui bahwa angka kejadian serangan
jantung di masyarakat cukup tinggi hal ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan
sebuah studi yaitu hubungan lama penanganan serangan jantung dengan gambaran
elektrokardiografi dan kadar troponin pada Klien Acut Coronary Syndrome di Ruang
ICU RSUD dr Haryoto Lumajang.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lama penanganan
serangan jantung dengan gambaran elektrokardiografi dan kadar troponin pada
Klien Acut Coronary Syndrome di Ruang ICU RSUD dr Haryoto Lumajang
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi lama penanganan serangan jantung pada Klien Acut Coronary
Syndrome di Ruang ICU RSUD dr Haryoto Lumajang
b. Mengidentifikasi gambaran elektrokardiografi dan kadar troponin pada Klien
Acut Coronary Syndrome di Ruang ICU RSUD dr Haryoto Lumajang
c. Menganalisis hubungan lama penanganan serangan jantung dengan gambaran
elektrokardiografi dan kadar troponin pada Klien Acut Coronary Syndrome di
Ruang ICU RSUD dr Haryoto Lumajang

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kasus ACS
a. Pengertian ACS
Sindrom koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sekelompok kondii yang dihasilkan dari iskemia miokardut (aliran darah keotot
jantung). Kondii yang terkait dengan berbagai tingkatan peenyempitan atau
penyumbatan arteri koroner satu atau beberapa yangmenyediakan darah, oksigen, dan
nutrisi ke jantung (Torpy, et all 2008).Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian
kegawatan pada pembuluhdarah koroner. Wasid (2007) menambahkan bahwa
SKA adalah suatu faseakut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang
disertai Infark Miocardakut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST
elevasi (NSTEMI) atautanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi
(STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil(Andra, 2006)

b. Anatomi
Anatomi Arteri Jantung Jantung merupakan organ yang terdiri dari otot, memiliki
bentuk kerucut, berongga, basisnya di atas, dan puncaknya di bawah. Apeksnya
(puncak) miring ke sebelah kiri. Jantung memiliki berat kira-kira 300 gram dan
memiliki ukuran kira-kira sebesar kepalan tangan (Pearce, 2013).
Jantung memilik dua belahan yang di pisahkan oleh septum (sekat) yaitu kiri dan
kanan. Setiap belahan memiliki dua buah ruang yaitu ruang atas disebut atrium dan
ruang bawah disebut dengan ventrikel. Maka bagian kanan terdapat 1 atrium kanan
dan ventrikal kanan, dan bagian kiri terdapat 1 atrium kiri dan ventrikel kiri. Pada
setiap bagian ada hubungan antara atrium dan ventrikel melalui lubang atrio-
ventrikuler dan pada setiap lubang tersebut memiliki katup yaitu katup bagian kanan
yang disebut katup (valvula) trikuspidalis dan bagian kiri disebut katup mitral atau

5
katup bikuspidalis. Dinding otot ventrikel jantung sebelah kiri lebih tebal dari dinding
ventrikel jantung sebelah kanan, Karena kekuatan kontraksi ventrikel kiri jauh lebih
besar dari ventrikel kanan. Sedangkan otot atrium tersusun atas otot yang lebih tipis
(Pearce, 2013). 6 Pembuluh darah yang tersambung dengan jantung. Vena kava
superior dan inferior menuangkan darahnya ke dalam atrium kanan. Lubang vena
kava inferior di jaga katup semilunar Eustakhius. Arteri pulmonalis membawa darah
keluar dari ventrikel kanan. Empat vena pulmonalis membawa darah dari paru-paru
ke atrium kiri. Aorta membawa darah keluar dari ventrikel kiri (Pearce, 2013).
Penyaluran darah dan saraf ke jantung. Arteri koronaria kanan dan kiri yang pertama-
tama meninggalkan aorta dan kemudian bercabang menjadi arteriarteri lebih kecil.
Arteri kecil ini mengitari jantung dan menghantarkan darah ke semua bagian organ
ini. Darah yang kembali dari jantung terutama di kumpulkan sinus koronaria dan
langsung kembali ke dalam atrium kanan (Pearce, 2013).

c. Klasifikasi
Klasifikasi dari penyakit jatung koroner yaitu sebagai berikut : 1. Angina Pektoris
Stabil (APS) Klasifikasi yang paling ringan ini disebut stabil karena penyempitan
masih sangat minimal, belum terjadikerusakan miokardium dan belum terjadi
obstruksi koroner. Nyeri yang ditimbulkan hanya berdurasi singkat namun
berlangsung berulang dalam pperiode yang lama dengan intensitas dan durasi yang
sama. Lokasi nyeri dada biasanya meluas hingga kelengan dan sekitar dada leher.
Nyeri hanya bila diprovokasi oleh kelelahan, dan asupan serta dapat mereda dengan
istirahat atau pemberian nitrat. 2. Acutte Coronary Syndrome (ACS) Acute coronary
syndrome (ACS) atau sindrom koroner akut merupakan kumpulan gejala yang
berhubunggan dengan derajat penyempitan berat dengan thrombosis hingga obstruksi
arteri koroner. Nyeri dada adalah gejala yang paling umum dan disertai mual, muntah
dan diaphoresis.

d. Etiologi

1. Merokok

6
Orang yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih banyak untuk menderita
penyakit kardiovaskular dibanding orang yang tidak merokok. Efek merokok
terhadap terjadinya aterosklerosis antara lain dapat menurunkan kadar HDL,
trombosit lebih mudah mengalami agregasi, mudah terjadi luka endotel karena
radikal bebas dan pengeluaran katekolamin berlebihan serta dapat meningkatkan
kadar LDL dalam darah. Kematian mendadak karena SKA 2 – 3 kali lebih banyak
pada perokok dibandingkan bukan perokok. Orang yang merokok mempunyai
risiko kematian 60% lebih tinggi, karena merokok dapat menstimulasi
pengeluaran katekolamin yang berlebihan sehingga fibrilasi ventrikel mudah
terjadi.
2. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah sistolik dan atau
tekanan darah diastolik yang tidak normal. Nilai yang dapat diterima berbeda
sesuai usia dan jenis kelamin. Hipertensi merupakan faktor risiko yang secara
langsung dapat menyebabkan kerusakan penbuluh darah. Perjalanan penyakit
hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan
gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan
penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala,
sifatnya non spesifik misalnya sakit kepala atau pusing. Kalau hipertensi tetap
tidak diketahui dan tidak dirawat, maka akan mengakibatkan kematian karena
SKA, payah jantung, stroke atau payah ginjal. Diagnosis dini hipertensi dan
perawatan yang efektif dapat mengurangi kemungkinan morbiditas dan
mortalitas.
3. Dislipidemia
Dislipidemia adalah meningkatnya kadar kolesterol dan bentuk ikatannya dengan
protein seperti trigliserida dan LDL, tetapi sebalikya kadar HDL menurun.
Dislipidemia tidak lepas dari keterpajanan terhadap asupan lemak sehari – hari
terutama asupan lemak jenuh dan kolesterol, yang dapat meningkatkan insidens
penyakit jantung koroner. Dikatakan setiap penurunan 200 mg asupan kolesterol
per 1000 kalori akan menurunkan 30% insidens Poltekkes Kemenkes Jakarta I
penyakit jantung koroner. Sedangkan asupan lemak jenuh dalam ukuran normal

7
maksimal 10% dari 30% total lemak yang dibutuhkan untuk keperluan sehari –
hari, asupan kolesterol tidak lebih dari 30 gram perhari. WHO merekomendasikan
asupan lemak jenuh maksimal 10% dari 30% lemak keseluruhan yang digunakan
sebagai bahan kalori ( Hartono,2004; Mann,2000). Study Multiple Risk Factor
Intervention Trial (MRFIT) mengemukakan bahwa angka kematian meningkat
sesuai dengan angka kanaikan kolesterol. Pada kadar kolesterol diatas 300 mg%
angka kematian SKA sebanyak 4 kali dibandingkan dengan kadar kolesterol
dibawah 200 mg%.
4. Diabetes Melitus
Pada penderita diabetes terjadi kelainan metabolisme yang disebabkan oleh
hiperglikemi yang mana metabolit yang dihasilkan akan merusak endotel
pembuluh darah termasuk didalamnya pembuluh darah koroner. Pada penderita
diabetes yang telah berlangsung lama akan mengalami mikroangiopati diabetik
yaitu mengenai pembuluh darah besar, dimana pada penderita ini akan sering
mengalami triopati diabetik / mikrongopati yaitu neuropati, retinopati dan
nefropati. Dan bilamana makroangiopati ini terjadi bersama – sama dengan
neuropati maka terjadilah infark tersembunyi ataupun angina yang tersembunyi
yaitu tidak ditemukan nyeri dada, dimana keadaan ini mencakup hampir 40%
kasus.
5. Stress
Banyak ahli yang mengatakan bahwa faktor stres erat kaitannya dengan kejadian
penyakit jantung koroner. Dalam kondisi stres yang kronis dan berkepanjangan
syaraf simpatis akan dipacu setiap waktu, dan adrenalin pun akan meningkat,
yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah bersamaan dengan
meningkatnya kadar kolesterol dalam darah. Hal ini tentunya akan membebani
jantung dan merusak pembuluh darah koroner. Stress merupakan salah satu risiko
koroner yang kuat, tapi sukar diidentifikasi.
6. Umur dan jenis kelamin
Semakin bertambahnya umur akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
penyakit jantung koroner. SKA lebih sering timbul pada usia lebih dari 35 tahun
keatas dan pada usia 55 – 64 tahun terdapat 40% kematian disebabkan oleh

8
penyakit jantung koroner. Dikutip dari American Heart Association / American
College of Cardiologi (2001). Menurut Kusmana (2002), umur merupakan faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dimana seseorang yang berumurblebih atau
sama dengan 60 tahun memiliki risiko kematian sebesar 10,13 kali dibandingkan
yang berumur 25 – 49 tahun. Insidens SKA dikalangan wanita lebih rendah
daripada laki – laki, tetapi hal ini akan berubah begitu memasuki periode
menopause, dimana insidens penyakit ini akan mendekati insiden pada pria. Hariri
(1997) mengemukakan bahwa laki – laki lebih dominan untuk terkena SKA
sebesar 2,34 kali jika dibandingkan dengan perempuan.
7. Genetik
Penelitian Rastogi (2004), menyatakan bahwa, orang yang mempunyai riwayat
keluarga positif penyakit jantung memiliki risiko 2,3 kali untuk mendapatkan
SKA dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga.
Riwayat orang tua atau dari beberapa generasi sebelumnya yang menderita
penyakit jantung Poltekkes Kemenkes Jakarta I koroner akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya aterosklerosis pada orang tersebut. Tidak hanya faktor
keturunan saja yang dapat menyebabkan ateroseklerosis tetapi juga familal lipid
mempunyai andil dalam meningkatkan penyakit aterosklerosis tersebut. Riwayat
keluarga dapat juga menggambarkan gaya hidup seseorang yang dapat
menyebabkan terjadinya stres dan kegemukan (Santoso & Setiawan, 2005).
Penelitian Saxena (2011) di India menyatakan bahwa ada korelasi antara kejadian
hipertensi dengan riwayat keluarga aterosklerosis. Seseorang memiliki risiko
empat kali lebih besar terkena ACS, jika kita mempunyai salah satu dari orang tua
kita yang mempunyai riwayat penyakit aterosklerosis.
8. Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai berat badan lebih yang terutama disebabkan oleh
akumulasi lemak tubuh. Obesitas adalah apabila indeks masa tubuh (IMT) > 27,
dimana IMT adalah berat badan dalam kg dibanding tinggi dalam m2. Orang
dengan obesitas mempunyai risiko 2,68 kali untuk terjadinya SKA. Dikutip dari
American Heart Association / American College of Cardiologi (2001). Studi
Farmingham mengemukakan bahwa pada orang dengan obesitas kemungkinan

9
untuk mengalami payah jantung dan SKA lebih besar pada laki – laki dibanding
perempuan.
9. Inaktifitas fisik
Aktifitas fisik atau olahraga akan menstimulasi pembentukan pembuluh darah
kolateral yang berperan protektif terhadap kejadian miokard infark. Penelitian
Monica (1993) yang dilakukan terhadap 2040 orang di 3 kecamatan wilayah
Jakarta Selatan menunjukkan mereka yang teratur berolahraga atau bekerja fisik
cukup berat mempunyai presentase terendah untuk terkena hipertensi ataupun
SKA. Orang yang tidak berolahraga mempunyai risiko terkena SKA 2 kali lebih
besar dibanding yang berolahraga teratur atau beraktifitas fisik cukup berat
(Kusmana,2002 ).

e. Patofisiologi
Oleh karena terjadi perubahan morfologi pembuluh darah koroner akibat
penimbunan lemak pada area lumen pembuluh darah koroner, maka Poltekkes
Kemenkes Jakarta I lambat laun plak tersebut menjadi rapuh. Pada saat plak yang
rapuh tersebut lepas, maka terbentuk sumbatan pada aliran darah koroner. Dilain
pihak pada lapisan pembuluh darah koroner tersebut akan terjadi kikisan maka inilah
pemicu terjadinya thrombus, kadang kejadian ini diserta tanda atau keluhan dari klien
seperti nyeri dada. Keluhan nyeri dada timbul sebagai tanda supply oksigen tidak
sesuai dengan kebutuhan otot jantung. Dengan demikian otot jantung menjadi iskemi.
Terjadinya ACS pada umumnya diawali dengan terjadinya proses aterosklerosis
pada saat monosit berpindah dari aliran darah dan melekat pada lapisan dinding
pembuluh darah koroner, yang akan mengakibatkan terjadinya penumpukkan lemak.
Setiap daerah penebalan atau plak selain terdiri dari monosit dan lemak menimbulkan
jaringan ikat dari sekitar area perlekatan. Hipertensi juga menyebabkan gesekan
antara aliran darah dengan ateroma. Ateroma atau plak aterosklerosis dapat menyebar
dimana saja, tetapi umumnya ada di daerah percabangan. Pada ateroma yang pecah
dapat mempersempit lumen pembuluh darah arteri yang kemudian mengakibatkan
pembentukan bekuan darah yang mengalir (trombus), bekuan ini dapat menyebabkan
sumbatan (tromboemboli) di tempat lain Dengan adanya sumbatan pada arteri

10
koroner dapat mengakibatkan menurunnya suplai darah (Smeltzer, Bare, Hinkle &
Cheever, 2010).
Penurunan suplai darah akan menyebabkan beberapa hal, yang pertama memicu
metabolisme anaerob, perubahan aktivitas biolistrik miokard, dan pelepasan enzim-
nzim jantung. Metabolisme anaerob yang akan melepaskan asam laktat, histamin dan
kinin yang akan menstimulasi rasa nyeri yang dihantarkan syaraf aferen ke sistem
syaraf pusat. Nyeri yang dirasakan biasanya dibagian atas sternum, menjalar kelengan
kiri, leher dan wajah, hingga ke bagian lengan dan bahu pada sisi yang berlawanan.
Yang kedua adalah perubahan aktivitas biolistrik miokard akan merangsang
pengeluaran kalium sehingga terjadi gangguan potensial aksis fase 3 dan akhirnya
akan terjadi perubahan segmen ST (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
Yang ketiga adalah merangsang pelepasan enzim-enzim jantung dan hormon
jantung seperti peningkatan N-Terminal pro-Btype Natriuretic Peptide (TproBNP), B-
type Natriuretic Peptide (BNP), Trop-T, CK-CKMB, dan Lactate dehydrogenase,
berfungsi untuk mengatur keseimbangan pengeluaran air, garam, dan tekanan darah.
Ketika otot jantung meregang, proBNP akan dipecah menjadi BNP dan NT-ProBNP.
Jika ventrikel kiri fungsinya terganggu, maka akan terjadi peningkatan NT-ProBNP
sebagai CHF marker, indikator diagnosis, prognosis individu dengan dugaan CHF
(Ingle & Clark, 2014; Hayward et al., 2015). Poltekkes Kemenkes Jakarta I
Yang keempat adalah berpengaruh pada peningkatan hormon leptin yang
merupakan hormon yang disekresikan jaringan adiposa kemudian menimbulkan
infiltrasi lemak yang pada akhirnya menyebabkan kardiomiopati akibat obesitas
(Galland 2011). Selain itu juga merangsang resistensi insulin sehingga terjadi
peningkatan hormon insulin yang mengaktivasi IGF-1 sehingga menyebabkan
terjadinya Left Ventricular Hypertrophy (LVH). Peningkatan insulin juga akan
mengaktivasi ATP-sensitive potassium (KATP) ditandai dengan interval QT
corrected (QTC) and interval QT dispersion yang pada akhirnya terjadi ventricular
arrhytmia susceptibility (Lee et al., 2015).
Yang kelima adalah merangsang tumor necrosis factor-α (TNF-α) sehingga terjadi
penurunan adiponectin yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan kadar lamak dan
gula darah dalam tubuh. Selain itu LVH juga menyebabkan peningkatan premature

11
ventricular contraction sehingga terjadi ventricular arrhytmia susceptibility berupa
perubahan gambaran EKG yaitu ventrikel ekstra sistolik (VES) yang pada akhirnya
menyebabkan kematian jantung mendadak sudden cardiac death (SDH). Gangguan
metabolisme akan merangsang TNF-α sehingga terjadi penurunan Adiponectin lalu
akan menyebakan LVH (Lee et al., 2015).
Yang keenam adalah peregangan dinding jantung (wall stres) menimbulakan
kecemasan dan depresi. Dimana keadaan tersebut merangsang hipotalamus untuk
mensekresikan adreno cortico tropin (ACTH), yang kemudian menstimulasi korteks
adrenal untuk mengeluarkan hormon kortisol yang berdampak pada perubahan
hemodinamik pasien ACS (Hare, Beierle, Toufexis, Hammack, &Falls, 2014).
Perubahan hemodinamik dapat memicu timbulnya iskemia miokard (Onk et al.,
2016).
Iskemia miokard menyebakan ruptur endokardium, kerusakan katup, ventricular
septal defects (VSD), dan aneurisma ventrikel. Selain itu, iskemia mikoard juga akan
menyebabkan penurunan kontraktilitas miokard yang akan berdampak pada
penurunan cardiac output (CO). Penurunan CO menyebabkan LVH yang Poltekkes
Kemenkes Jakarta I kemudian akan meningkatkan tekanan secara persisten yang
menyebabkan penebalan dan kekakuan dinding ventrikel. Proses ini dikenal dengan
cardiac remodeling. Hasil dari remodeling ini adalah pembesaran dan pompa jantung
tidak efektif. Hal ini memicu aktivasi berlebihan sistem neurohormonal yang dapat
menyebabkan tachicardi. Akibatnya terjadi penurunan perfusi koroner peningkatan
konsumsi oksigen jantung. Kondisi patologi ini menghasilkan gejala sesak nafas
akibat kongesti pembuluh darah paru, intoleransi aktivitas akibat kerusakan alirah
darah ke otot, dan edema akibat retensi cairan (Mandoa, 2004; Ignatavicius and
Workman, 2006; Mears, 2006; Figueroa and Peters, 2006; Black and Hawks, 2010).
Selain itu, LVH juga akan merangsang syaraf simpatis sehingga akan terjadi
peningkatan heart rate (HR) ditandai produksi keringat yang berlebihan. Kemudian
akan melakukan adaptasi neurohormonal modification of autonomic tone dan heart
rate variability dengan cara mengaktivasi Renin-Angiotensin Aldosterone System
(RAAS) yang akan meningkatkan hormon aldactone yang merupakan reseptor
antagonis aldosteron yang dapat menyebabkan ginjal menghilangkan air dan natrium

12
dari tubuh, dengan penurunan kalium. LVH juga akan menyebabkan fibrosis miokard
sehingga berdampak pada abnormal signal-averaged electro cardiogram (SAECG)
dan late potential yang akan berpengaruh pada peningkatan konsumsi oksigen
miokard, dimana penurunan CO akan menyebabkan penurunan kapasitas fungsional
jantung (Lee et al., 2015).
Penurunan CO akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen (PO2) Arteri
menjadi 75 mmHg yang akan mengganggu proses oksihemoglobin dan O2 tidak
terangkut semua ke jaringan sehingga pengambilan oksigen maksimal (VO2 max)
kedalam tubuh yang menurun. Setelah umur 30 tahun terjadi penurunan kapasitas
aerobik (oxygen comsumtion: VO2 max). Kapasitas aerobik atau VO2 max
menunjukkan kapasitas fungsional jantung seseorang sebagai salah satu parameter
pemakaian O2 oleh jantung, dan untuk metabolisme dalam kesehatan olahraga.
Dalam latihan ini kondisi jantung untuk bekerja lebih efisien. Semakin besar VO2
max, berarti semakin baik kapasitas fungsional jantung pada pasien ACS (Richter et
al., 2016).
f. Tanda dan Gejala
Gejala-gejala yang sering dikeluhkan pasien antara lain:
1. Nyeri dada, 20-25% dari keseluruhan nyeri dada yang ditemukan pada pada
pasien di ruang gawat darurat merupakan pasien sindroma koroner akut.
Nyeri seperti terhimpit atau tertindih beban berat dan berlangsung lebih dari 15
menit. Nyeri juga seperti panas yang menjalar dari perut. Nyeri dada kadang dapat
berkurang dengan pemberian nitrogliserin yang mengindikasikan nyeri
merupakan nyeri kardiak dan dapat dibedakan dengan nyeri akibat lambung
dengan pemberian antasid
2. Nyeri menjalar ke lengan kiri, namun penjalarannya dapat juga ke bahu kiri atau
rahang kiri
3. Mual hingga muntah akibat rangsangan vagal
4. Keringat dingin
5. Sesak napas

Gejala lainnya yang dapat muncul adalah:

13
1. Pusing
2. Hilang kesadaran

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus segera dilakukan pada kecurigaan sindroma koroner akut.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah:

1. Tanda-tanda vital, perlu diwaspadai jika terjadi takikardi, takipnue dan tanda-
tanda syok kardiogenik
2. Auskultasi
3. Murmur pada regurgitasi mitral atau apabila terjadi peningkatan intensitas
murmur yang sudah ada sebelumnya
4. Bunyi jantung S3, S4
5. Bunyi ronki pada paru

g. Pathway

Hipertensi Perokok Usia DM Displinemia

Tekanan darah Peningkatan


Pembuluh Penumpukan
meningkat darah
darah kaku lemak di pmbulu
viskositas darahh

Kerussakan pmblh Terjadinya aterosklerosis kelainan metabolisme


Darah /pnymptn pmblh darah

Penurunan suplai O2 kurangnya pengetahuan


Ke miokard
Metabolisme Cemas/ansietas
Anaerob Integritas sel berubah

14
Resiko penurunan peningkatan denyut
curah jantung jantung

pningktn produksi pengembangan paru

asam laktat tidak optimal

Nyeri ketidakefektifan pola napas

h. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana awal
 Oksigen 4 liter / menit ( saturasi O2 dipertahankan > 90 % ).
 Nitrogliserin 5 mg sl untuk memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard dan
menurunkan kebutuhan oksigen di miokard. Dapat diulang 3 kali lalu di drip
bila masih nyeri.
 Aspirin 160 mg kunyah bila tidak ada kontra indikasi, untuk menghambat
agregasi platelet dan mencegah konstriksi arterial.
 Morphin 2-4 mg IV untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan,
mengurangi rasa sakit akibat iskemia, menurunkan tahanan pembuluh
sistemik, menurunkan afterload dan preload sehingga menurunkan kerja
jantung. Morphine juga merelaksasikan bronkhiolus untuk meningkatkan
oksigenasi.
 Clopidogrel, dosis awal diberikan 300 mg pada pasien tanpa riwayat
pemakaian clopidogrel sebelumnya.
2. Tatalaksana lanjut
a. UAP dan NSTEMI
 Heparin Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparatpreparat
baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih
mudah pemantauannya (tanpa APTT). Heparin mempunyai efek
menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat
merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir
15
(1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam
maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk
pasien dengan berat badan < 70 kg . Poltekkes Kemenkes Jakarta
 Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH) Diberikan pada
UAP atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih
lama; high bioavailability.

b. STEMI sesuai indikasi dan kontraindikasi ( jangan tunda/ reperfusi )


 Terapi Fibrinolitik dengan Streptokinase atau Alteplase
Dianjurkan pada :
✓ Presentasi < 3 jam
✓ Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau terlambat
✓ Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon > 90 menit
✓ Waktu antara sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu antara
pasien tiba sampai dengan fibrinolitik > 1 jam.
✓ Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik
Kontraindikasi absolut :
✓ Riwayat perdarahan intrakranial kapanpun
✓ Lesi struktur cerebrovaskular
✓ Tumor intrakranial ( primer maupun metastasis )
✓ Stroke iskemik dalam tiga bulan atau 3 jam terakhir
✓ Dicurigai adanya suatu diseksi aorta
✓ Adanya trauma/pembedahan/trauma kepala dalam 3 bulan terakhir.
✓ Adanya perdarahan aktif tidak termasuk menstruasi
✓ Diseksi aorta Poltekkes Kemenkes Jakarta
 Percutanius coronary intervension ( PCI ) Menurut The American
College of Cardiology/American Heart (ACC/AH) Cardiac nursing
(2011), PCI adalah menggambarkan kelompok atau kumpulan

16
beberapa prosedur yang menggunakan tehnik percutaneous untuk
memperbaiki atau membuka kembali arteri koroner yang menyempit,
prosedur utamanya meliputi angioplasty, arterectomy dan intra
coronary stenting.
1. Primary PCI
Didefinisikan sebagai intervensi pada culprit vessel (pembuluh
darah yang terlibat serangan) dalam 12 jam setelah onset nyeri
dada, tanpa sebelumnya diberi trombolitik atau terapi lain untuk
menghancurkan sumbatan tersebut. Indikasi primary PCI
dilakukan pada pasien STEMI kurang dari 12 jam dengan LBBB,
serta STEMI dengan komplikasi gagal jantung severe.
2. Rescue PCI
Adalah tindakan PCI yang segera dilakukan pada pasien STEMI
pasca pemberian terapi fibrinolitik, tetapi terapi fibrinolitiknya
gagal mengembalikan aliran darah koroner yang tersumbat total
(failed fibrinolytic).
3. Elective PCI
Adalah tindakan perfusi yang dilakukan pada pasien dengan gejala
nyeri berulang dan pemasangan stent berulang.
PCI Dianjurkan pada :
✓ Presentasi > 3 jam
✓ Tersedia fasilitas PCI
✓ Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon <
90’
✓ Waktu antara sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu
antara pasien tiba sampai dengan fibrinolitik > 1 jam.
✓ Terdapat kontraindikasi fibrinolitik
✓ Risiko tinggi ( gagal jantung kongestif, killip >3 ) Poltekkes
Kemenkes Jakarta I
✓ Diagnosis infark dengan elevasi ST masih diragukan

17
 Bedah pintas koroner
Indikasi:
✓ Kegagalan PCI dimana terjadi oklusi mendadak arteri koroner
selama peroses kateterisasi.
✓ PCI tidak memungkinkan.
✓ Pada pasien syok kardiogenik, pasien dengan komplikasi.
✓ Pasien dengan iskemik berkepanjangan atau berulang setelah
optimalisasi dikamentosa.

2. Konsep Kegawatdaruratan Pada Kasus ACS


a. Fokus Pengkajian
a. Keluhan utama
Sakit perut dan nyeri dada
b. Triase
Merah
c. Pengkajian Primer
1. Airways
 Sumbatan atau penumpukan secret
 Wheezing atau krekles
2. Breathing
 Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
 RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
 Ronchi, krekles
 Ekspansi dada tidak penuh
 Penggunaan otot bantu nafas
3. Circulation
 Nadi lemah , tidak teratur
 Takikardi
 TD meningkat / menurun

18
 Edema
 Gelisah
 Akral dingi
 Kulit pucat, sianosis
 Output urine menurun
d. pengkajian sekunder.
1. Aktifitas Gejala :
 Kelemahan
 Kelelahan
 Tidak dapat tidur
 Pola hidup menetap
 Jadwal olah raga tidak teratur Tanda :
a. Takikardi
b. Dispnea pada istirahat atau aaktifitas
2. Sirkulasi Gejala : sesak napas
Tanda :
a. Tekanan darah : 100/70mmHg
b. Nadi : 115/mnt-reguler
c. Bunyi jantung : meredam, rales basal
d. Irama jantung tidak teratur.
e. Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau
bibir.
3. Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir
tentang keuangan , kerja , keluarga, cemas dengan kondisinya.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah,
marah, perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma nyeri.
4. Eliminasi Tanda : normal, bunyi usus menurun.
5. Makanan atau cairan

19
Gejala : mual, anoreksia, nyeri ulu hati atau terbakar
Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,
perubahan berat badan.
6. Hygiene Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan.
7. Neurosensori Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun
(duduk atau istrahat ).
Tanda : perubahan mental, kelemahan .
8. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
 Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau
nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral).
 Lokasi : dada kiri
 Kualitas : tertekan.
 Intensitas : 7
9. Pernafasan:
Gejala :
a. Dispnea tanpa atau dengan kerja
b. Batuk dengan atau tanpa produksi sputum
c. Riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis

Tanda :

a. peningkatan frekuensi pernafasan


b. nafas kuat
c. pucat, sianosis
d. bunyi nafas krekles
10. Interkasi social
Gejala : Stress, Kesulitan koping dengan stressor yang ada misal :
penyakit, perawatan di RS
Tanda : Kesulitan istirahat dengan tenang, Respon terlalu emosi (marah
terus-menerus, takut) dan menarik diri

20
11. Riwayat atau adanya faktor-faktor risiko :
a. Perokok
b. Kegemukan
c. kolestrol
12. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG, adanya perubahan segmen ST, gelombang Q, dan perubahan
gelombang T.
b. Hemoglobin 14g/dl
c. WBC 9800/mm3
d. Tromboit 214,000mm3
e. Kolestrol total 345 mg%
f. Trigliserida 180mg%
g. LDL 194 mg%
h. HDL 38 mg%
i. Glukosa darah 155 mg/dl,
13. Test tambahan termasuk pemeriksaan elektrolit serum, lipid serum,
hematologi, GDS, analisa gas darah (AGD).
1. Dignosa Keperaatan
1. Ketidakefektifan pola napas (228 kelas 4 domain 4)
2. Ansietas (324 kelas 2 domain 9)
2. Interveni Keperaatan
o Ketidakefektifan pola napas (NIC 186 manajemen jalan napas dan NOC
status pernapasan 556)
Setelahah dilakukan tindakan 1x 24 jam diharapkan klien mampu
memenuhi kriteria hasil sebagai berikut :
Frekuensi pernapasan
123 4 5
12345
Irama perna
12345
12345

21
Kedalaman inspirasi
12345
12345
Suara auskultasi pernapasan
12345
12345

O:
- Auskultasi suara nafas, catat area yang di ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara tambahan
- Monitor status pernafasan dan oksigenasi sebagaimana mestinya
N:
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya
- Posisikan untuk meringankan sesak nafas

E:

- Instruksikan bagaimana batuk efektif


- Ajarkan pasien menggunakan inhaler

o Ansietas ( NIC 319 pengurangan kecemasan dan NOC 572 tingkat


kecemasan)
Setelahah dilakukan tindakan 1x 24 jam diharapkan klien mampu
memenuhi kriteria hasil sebagai berikut :
Tidak dapat beristirahat
123 4 5
12345
Perasaan gelisah
123 4 5
12345
Peningkatan tekanan darah

22
123 4 5
12345

O:
- Identifikasi pada saat terjadi perubahan tingkat kecemacan
N:
- Bantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
E:
- Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi

3. Implementasi
a. Ketidakefektifan pola napas
- meauskultasi suara nafas, catat area yang di ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara tambahan
- Memonitor status pernafasan dan oksigenasi sebagaimana
mestinya
- memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- melakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya
- memposisikan untuk meringankan sesak nafas
- meinstruksikan bagaimana batuk efektif
- mengajarkan pasien menggunakan inhaler
b. Anietas
- mengidentifikasi pada saat terjadi perubahan tingkat kecemacan
- membantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- mengkaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
- menginstruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi

4. Evaluasi
a. Ketidakefektifan pola napas

23
S: klien mengatakan perut dan dada masih nyeri, sesank napas berkurang dan
masih sesekali mual.
O: klien tampak masih pucat dan sesekali meringis kesakitan
N. 115x RR 24x TD 100/70
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
- Auskultasi suara nafas, catat area yang di ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara tambahan
- Monitor status pernafasan dan oksigenasi sebagaimana mestinya
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya
- Posisikan untuk meringankan sesak nafas
- Instruksikan bagaimana batuk efektif
- Ajarkan pasien menggunakan inhaler

b. Ansietas
S: klien mengatakan cemas dengan kondisinya, bingung harus bagaimana
O: klien tampak gelisah dan tampak terus bertanya perkembangan
penyakitnya kepada keluarganya
N 115x RR 24x TD 100/70
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
- Identifikasi pada saat terjadi perubahan tingkat kecemacan
- Bantu klien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan
- Instruksikan klien untuk menggunakan teknik relaksasi

24
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). (2017). Cardiovascular Disease and Diabetes


http://www.org/HEARTORG/Conditions/Diabetes/whyDiabetesMatters/Cardiovascular-Disease
Diabetes UCM 313865 Article.jsp Archbold, R. A. (2016).

Comparison Between National Institute for Health and Care Excellence (NICE) and
European Society of Cardiology (ESC) Guidelines for The Diagnosis and Management of Stable
Angina: Implications for Clinical Practice. Open Heart, 3(1), e000406.
http://doi.org/10.1136/openhrt-2016-000406.

Katz, M. J., & Ness, S. M. (2015). Coronary Artery Disease ( CAD ). Iris, Wild Education, Medical.

Herdan, T. H. Dan S.K. 2018. NANDA-I Diagnosa Keperawatan : Defisi dan Klasifikasi
2018-2020. Jakarta:EGC

Mooerhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, M.L.,& Swanson, Elizabeth. (2016). Nursing
OutcomesClassification (NOC), Edisi 5. Philadelpia:Elsevier.

Bulecheck, G.M., Butcher, H.K.,Dochterman, J,M,&Wagner, C.M(2016). Nursing


Interventions Classifications (NIC), Edisi 6. Philadelpia: Elsevier

25
26

Anda mungkin juga menyukai