Anda di halaman 1dari 115

Management and First Handling Treatment of Acute Coronary Syndromes in Patients

with Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah Keperawatan
Medikal Bedah Lanjut I

Dosen Pengampu : Eri Yanuar, SKp., Ns., MSc

OLEH: KELOMPOK IV

Diah Hastuti (16/403424/PKU/16242)


Dzurriyatun Thoyyibah (16/403425/PKU/16243)
Happy Kurniati Sulaiman (16/403476/PKU/16294)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
Management and First Handling Treatment of Acute Coronary Syndromes in Patients with
Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) anugerah-Nya Kelompok bisa
menyelesaikan makalah
Makalah penelitian ini disusun dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas kelompok
mata kuliah Keperawatan Medikal Lanjut I dalam Program Studi Magister Keperawatan di
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta semester dua tahun ajaran
2016/2017. Kelompok menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kelompok menerima saran dan kritik yang bersifat membangun sebagai upaya menjadi
lebih baik.
Selama proses penyusunan makalah ini, kelompok banyak mendapatkan bimbingan,
bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami sampaikan rasa terima
kasih pada bapak Eri Yanuar, SKp., Ns., MSc selaku dosen pengampu dan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa senantiasa memberikan kemudahan dalam setiap proses pembelajaran.

Yogyakarta, 10 Maret 2017


Penulis

DAFTAR ISI

hal
SAMPUL
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 7
C. Tujuan............................................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Tetanus.............................................................................................. 8
B. Pengelolaan pasien terkait tetanus................................................................. 12
BAB III GUIDELINE
A. Guideline yang tepat dan sesuai di terapkan di Indonesia............................. 15
B. Analisis penerapan guidline di indonesia....................................................... 16
C. Kompetensi yang harus dimiliki perawat untuk menerapkan guidline ......... 18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.................................................................................................... 24
B. Saran............................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan dan Latar Belakang


Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di Negara-negara
maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan diseluruh dunia,
penyakit kardiovaskuler akan meningkat prevalensinya pada tahun 2020 dan menjadi
pembunuh pertama tersering yaitu 36% dari seluruh kematian. Penyakit kardiovaskular
sangat erat kaitannya dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas. Gejala klinis
penyakit kardiovaskular diantaranya silent iskemia, angina pektoris stabil, angina
pektoris tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan kematian mendadak (Hamm WC,
Heeschen C, Falk E, 2004).
Penyakit jantung iskemik dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyakit arteri koroner
kronik atau chronic coronary artery disease (CAD) yang sering disebut sebagai angina
pektoris stabil (stable angina), dan sindrom koroner akut (SKA) atau acute coronary
syndromes (ACS) (Leistner et al., 2014). Penyakit ini termasuk kedalam penyakit tidak
menular (non communicable disease), menurut WHO (Mendis, 2014) NCD adalah
penyakit yang paling utama menyebabkan kematian. Pada tahun 2012 NCD
menyebabkan 38 milyar (68%) dari 56 miyar angka kematian dan 40% dari jumlah ini
(16 milyar) meninggal diusia premature atau dibawah usia 70 tahun. Hampir tiga
perempat dari kematian karena penyakit NCD ini (28 milyar), dan mayoritasnya
merupakan kematian premature (82%). Hal ini mayoritas terjadi pada negara dengan
ekonomi menengah kebawah.
Sindrom koroner akut atau acute coronary syndromes (ACS) disebabkan karena
ketidakseimbangan antara pasokan oxigen dan kebutuhan oxigen oleh miokard.
Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan karena adanya robekan plak ateroskerotik dan
berkaitan dengan proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Acute coronary syndrome (ACS) ini dapat dibagi kedalam beberapa kelompok
berdasarkan ada tidaknya ST-Elevasi (ST-Elevation Myocardial Infraction or Acute
Coronary Syndrome, STEMI or STEACS dan Non ST-Elevation Myocardial Infration)
(Anton, 2013). Non STEMI dapat dibedakan dengan yang lainnya dengan dua tahapan.
Tahapan pertama untuk membedakan non stemi dengan STEMi bisa dilihat dari ada
tidaknya peningkatan segmen ST pada hasil pemeriksaan EKG, selanjutnya untuk
membedakan Non STEMI dengan unstable angina adalah adanya infrak moikard yang
ditandai dengan peningkatan biomarker jantungnya (PERKI, 2015).
Management terapi pada sindrom koroner akut (SKA) dilakukan berdasarkan
karakteristik SKA yang terjadi yaitu NSTEMI maupun STEMI. Pada STEMI biasanya
terjadi karena adanya oklusi/sumbatan mayor pada arteri koroner yang disebabkan oleh
trombus, sehingga tujuan terapi pada STEMI yaitu memperbaiki reperfusi jaringan
dengan menggunakan trombolisis dan secara mekanik yaitu dengan melakukan PCI
(Percutaneous coronary intervention). Sebaliknya pada kasus NSTEMI, biasanya terjadi
karena obstruksi pada koroner tidak lengkap atau intermitten, sehingga penggunaan
trombolisis tidak direkomendasikan pada keadaan NSTEMI (Latour-Perez, 2012)
(Latour-Perez dan de-Miguel-Balsa, 2009).
Berdasarkan ESC guideline terapi sindrom coroner akut meliputi anti iskemik,
antiplatelet, antikoagulan dan revaskulerisasi coroner (Task et al., 2011). Anti koagulan
yang direkomendasikan berdasarkan ESC dan ACC/AHA guideline yaitu UFH,
fondaparinux, LMWHs dan direct thrombin inhibitor (bivalirudin). Sementara menurut
(Gibson et al., 2007) penggunaan antikoagulan pada syndrome coroner akut masih
kontroversial karena adanya indeks terapi yang sempit dan adanya resiko efek samping
terjadinya pendarahan sehingga diperlukan monitoring yang sangat hati-hati.
Beberapa penelitian telah mengkaji peraturan management invasive pertama
(seperti: diagnose menggunakan angiography untuk membantu tindakan revascularisasi
jika diperlukan) pada pasien dengan non ST-segment elevation myocardial infraction
(NSTEMI). Secara umum strategy tindakan invasive awal yang rutin ini banyak
memberikan keuntungan pada pasien, terutama ketika dijumpai indikasi resiko tinggi,
seperti ST-segment depression atau peningkatan troponin atau keduanya. Association
American College of Cardiology guidelines (2011) menetapkan class I yang terindikasi
untuk dilakukan manajemen tindakan invasive rutin untuk pasien dengan NSTEMI, yaitu
mereka yang secara dasar stabil namun memiliki peningkatan resiko secara klinis,
sebagai mana yang telah diindikasikan peningkatan score yang telah ditetapkan oleh
Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) yaitu >140 (Anderson et al., 2013).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Milosevic, 2016 tentang Immediate
Versus Delayed invasive Intervention For Non-STEMI Patients. Pada penelitian ini,
peneliti ingin melihat clinical impact dari penanganan segera dibandingkan dengan
penanganan terlambat pada pasien dengan Non STEMI, dimana peneliti memilih 323
pasien NSTEMI secara random untuk menjadi grup mendapatkan intervensi secara cepat
(<2 jam setelah randomisasi n=162) dan kelompok berintervensi terlambat (2-72 jam,
n=161). Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa strategi penanganan cepat pada pasien
non-STEMI sangat berhubungan dengan rendahnya angka kematian atau myocardiac
infraction dibandingkan mereka yang mendapatkan strategi penanganan yang terlambat
pada follow up awal pertengahan, terutama menurunkan resiko dari serangan MI baru
dalam periode kateterisasi.
Pemilihan akan tindakan pertama untuk pasien dengan sindrom koroner akut ini
sangat penting. Mengingat resiko kematian yang besar pada penderita dan resiko
kecacatan, maka diperlukan ketepatan penanganan yang segera dan berakurasi tinggi.
Oleh karena itu, diperlukan suatu guideline terbaru yang bisa menjadi rujukan yang valid
dalam penanganan pasien.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas tim penulis ingin memcari tahu
guideline mana yang paling mutakhir dan berevidance base dari beberapa guideline yang
telah dipublikasikan sehingga didapatkan suatu guideline yang tepat untuk diterapkan
ditatanan pelayanan klinik Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan dan latar belakang diatas, penulis menyusun
rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran teori tentang gangguan sistem kardiovaskular (angina
pectoris)?
2. Bagaimana penatalaksanaan terbaru dalam pengelolaan gejala pada pasien dengan
gangguan sistem kardiovaskular (angina pectoris) ?
3. Apakah ada guidelines terbaru terkait penyakit ini dan guidelines manakah yang
paling cocok digunakan di Indonesia?
4. Apa sajakah kompetensi yang harus dimiliki perawat dalam penerapan guideline
tersebut

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut ini:
1. Menjelaskan tinjauan teori tentang gangguan sistem kardiovaskular (angina
pectoris)
2. Menjelaskan tatalaksana terbaru terkait pengelolaan gejala pada pasien dengan
angina pectoris yang telah terbukti dan mempunyai evidence basednya
3. Mengumpulkan guideline terbaru terkait angina pectoris dan menganalisa
guideline yang tepat untuk diterapkan di Indonesia
4. Menjelaskan kompotensi perawat terkait penerapan guideline terbaru
BAB III
GUIDELINES DAN PEMBAHASAN

A. Guideline yang tepat dan sesuai diterapkan di Indonesia


Di Indonesia untuk penatalaksanaan Infark Miokard Non ST Elevasi dilakukan
penatalaksanaan dengan menggunakan acuan pedoman yang dibuat oleh PERKI (2015).
Adapun hal-hal yang diatur dalam buku pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penegakan Diagnosa
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non
ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat
disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka
jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak
meningkat, diagnosis mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan
mengalami evolusi menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan
dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih tinggi, dimana pasien-pasien
biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu,
mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan,
mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI
lebih tinggi.
Strategi awal dalam penatalaksanaan pasien dengan NSTEMI dan UAP adalah
perawatan dalam Coronary Care Units, mengurangi iskemia yang sedang terjadi
beserta gejala yang dialami, serta mengawasi EKG, troponin dan/atau CKMB.
Adapun dalam pendiagnosaan ini bertujuan untuk membedakan infark miokard
dengan Non Stemi dengan jenis Infark Miokard lainnya. Langkah-langkah yang
ditempuh untuk membedakan tersebut dapat dilakukan dengan:
a. Presentasi klinik yang dihasilkan
b. Pemeriksaan fisik
c. Elektrokardiogram
d. Marka jantung
e. Pemeriksaan non invasive
f. Pemeriksaan Invasive
2. Menentukan diagnosa banding
Pasien dengan keluhan nyeri dada disertai dengan perubahan EKG,
peningkatan marka jantung dapat terjadi dengan gangguan jantung lainnya seperti
miokarditis dan pericarditis. Demikian juga dengan diagnose banding non kardiak
seperti stroke, emboli paru dan diseksi aorta.
3. Stratifikasi Resiko
Dalam menstratifikasi resiko dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
panduan yang bisa memudahkan penstratifikasi, diantaranya: TIMI (Thrombolysis In
Myocardial Infraction) dan GRACE (Global Registery of Acute Coronary Event).
Sedangkan dalam penstratafikasian pendarahan dilakukan dengan menggunakan
CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patient Suppress
ADverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines).
Stratifikasi ini berguna untuk menentukan pemilihan antitrombotik.
4. Pertanda peningkatan Resiko
Ada beberapa indikasi peningkatan resiko yang bisa dipantau pada pasien
NSTEMI, yaitu:
a. Pertanda klinik
b. Pertanda EKG
5. Terapi
Berdasarkan straatifikasi resiko dapt ditentukan kebutuhan untuk pelaksanaan
strategi invasive dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasive ini
melibatkan pelaksanaan angiografi yang ditujukan kepada pasien dengan tingkat
resiko tinggi hingga sangat tinggi. Pelaksanaan angiosgrafi ini dapat diklasifikasikan
kedalam empat kategori berdasarkan waktu pelaksanaannya:
a. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent): Kelas I-C
b. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam: Kelas I-A
c. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam: Kelas I-A
d. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografielektif: Kelas III-
A

Adapun penggunaan obat-obatan yang dilakukan dalam melaksanakan strategi terapi


ini adalah sebagai berikut:

a. Anti Iskemia
1) Penyekat beta (beta blocker), berfungsi menahan reseptor beta-1 yang
menurunkan konsumsi oksigen miokardium. Penyekat beta ini
direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat
hipertens dan/atau takikardi, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (kelas
I-B).Penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (kelas I-
B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (kelas I-B). pemberian
penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis
yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi
kilip III (kelas I-B). beberapa penyekat beta yang sering dpakai dalam
praktek klinik dapat dilihat pada table berikut:

Penyekat beta Selektifitas Aktivitas agonis parsial Dosis untuk angina


Atenolol B1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol B1 - 10 mg/hari
Carvedilol dan + 2x6,25 mg/hari, titrasi
sampai masimum
2x25 mg/hari
Metoprolol B1 - 50-200mg/hari
Propranolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

2) Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan kekurangan preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat
adalah dilatasi pembuluh darah coroner baik yang normal maupun yang
mengalami aterosklerosis
a) Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut
dari episode angina (kelas I-C)
b) Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitratsublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3
kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada indikasi kontra (kelas I-C)
c) Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam UAP/NSTEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin
converting enzymes inhibitor (ACE-I) (kelas I-B).
d) Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg dibawah nilai awal, bradikadia berat (<50 kali
/menit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan
(kelas III-C)
e) Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodiesterase: sildenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam.
Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum
dapat ditentukan (Kelas III-C)

Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5-15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglycerin (trinitrin, TNT, Sublingual tablet 0,3-0,6 mg- 1,5mg
Intravena 5-200 mcg/menit
glyceryl trinitrate

3) Calcium Channel Blocker (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai


efek vasodilator arteri dengan sedikt atau tanpa efek pada SA Node atau AV
Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA
Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua
CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh
karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan
untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP
dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan
penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
a) CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi
pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B)
b) CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI
dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B)
c) CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B)
d) CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (kelas I-
C)
e) Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta (Kelas
III-B).

Penghambat kanal kalsium Dosis


Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 mg/hari
b. Anti Pletelet
1) Aspirim harus iberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (Kelas I-A)
2) Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra
seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A)
3) Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy-aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan
saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan
beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia 65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A)
4) Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12
bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis
(Kelas I-C)
5) Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan) (Kelas I-B)
6) Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari (Kelas I-A)
7) Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300
mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk
pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa
mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B)
8) Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)
perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP
tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B)
9) Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi
(Kelas IIa-C)
10) Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas IIa-B)
11) Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2
selektif dan NSAID non-selektif) (Kelas III-C).

Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan


jenis stent.

Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari

c. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian
iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan
DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan
diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang
mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif.
d. Antikogulan, terapi koagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin
1) Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A)
2) Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas
I-C).
3) Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan (Kelas I-A)
4) Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP
(Kelas I-B).
5) Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan
risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B)
6) Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia (Kelas I-C)
7) Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A)
8) Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Antikoagulan Dosis
fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1 mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60 U/g, dosis maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis

1
maksimal 1000 U/jam target aPTT 1 2 -2x

kontrol
e. Kombinasi Antiplatelet dengan Antikoagulan
1) Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan
risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A)
2) Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan
dipilih targen INR terendah yang masih efektif (Kelas IIa-C)
3) Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama
pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5
lebih terpilih (Kelas IIb-B).
f. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-
miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal
jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik
tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek
antiaterogenik.
1) Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang,
kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri 40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit
ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A)
2) Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C)
3) Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark
mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung
(Kelas I-B).

Inhibitor ACE Dosis


Captropil 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/haridalam 1 atau 2 dosis
g. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas
I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah
sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL
(Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin
untuk dicapai. Perhatian khusus perlu diberikan pada pasien dengan diabetes,
usia lanjut, jenis kelamin wanita, penyakit ginjal kronik, dan anemia.

6. Manajemen Jangka Panjang dan Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder penting dilakukan karena kejadian iskemik cenderung
terjadi dengan laju yang tinggi setelah fase akut. Beberapa pengobatan jangka
panjang yang direkomendasikan adalah:
a. Aspirin diberikan seumur hidup, apabila dapat ditoleransi pasien.
b. Pemberian penghambat reseptor ADP dilanjutkan selama 12 bulan
kecuali bila risiko perdarahan tinggi
c. Statin dosis tinggi diberikan sejak awal dengan tujuan menurunkan
kolesterol LDL <70 mg/dL (Kelas I-B)
d. Penyekat beta disarankan untuk pasien dengan penurunan fungsi sistolik
ventrikel kiri (LVEF 40%) (Kelas I-A)
e. ACE-I diberikan dalam 24 jam pada semua pasien dengan LVEF 40% dan yang
menderita gagal jantung, diabetes, hipertensi, atau PGK, kecuali
diindikasikontrakan (Kelas I-B)
f. ACE-I juga disarankan untuk pasien lainnya untuk mencegah berulangnya
kejadian iskemik, dengan memilih agen dan dosis yang telah terbukti
efikasinya (Kelas I-B)
g. ARB dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi ACE-I, dengan
memilih agen dan dosis yang telah terbukti efikasinya (Kelas I-B)
h. Antagonis aldosteron disarankan pada pasien setelah MI yang sudah
mendapatkan ACE-I dan penyekat beta dengan LVEF 35% dengan diabetes
atau gagal jantung, apabila tidak ada disfungsi ginjal yang
bermakna (kreatinin serum >2,5 mg/dL pada pria dan >2 mg/dL pada
wanita) atau hiperkalemia (Kelas I-A)

Selain rekomendasi di atas, pasien juga disarankan menjalani perubahan gaya


hidup terutama yang terkait dengan diet dan berolahraga teratur.

B. Analisis penerapan guidline di indonesia


1. Guideline 2014
Guideline pertama yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah guideline
tentang manajemen untuk pasien dengan NSTEMI pada tahun 2014 oleh
American Heart Association (AHA). AHA (2014) menjelaskan bahwa manajemen
pada pasien dengan ACS (Acute Coronary Syndromes) NSTEMI sebagai berikut :
a. Diagnosis NSTEMI
1) Riwayat NSTEMI
NSTEMI paling sering muncul sebagai jenis nyeri dada dengan
tekanan yang biasanya pada saat istirahat atau dengan tenaga minimal.
Berlangsung 10 menit. Rasa sakit yang paling sering dimulai di daerah
retrosternal dan dapat menjalar ke salah satu atau kedua lengan, leher, atau
rahang. Nyeri juga dapat terjadi di daerah-daerah yang independen dari
nyeri dada. Pasien dengan NSTE-ACS juga dapat hadir dengan
diaphoresis, dyspnea, mual, sakit perut, atau sinkop atau kehilangan
kesadaran. Onset baru yang tidak dapat dijelaskan atau peningkatan
dyspnea saat aktivitas adalah tanda angina umum yang setara. Hal lain
yang kurang umum dijumpai termasuk mual dan muntah, diaphoresis,
kelelahan yang tidak dapat dijelaskan, dan sinkop.
Faktor-faktor yang meningkatkan probabilitas dari NSTE-ACS adalah
usia lebih tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga positif CAD, dan
adanya penyakit arteri perifer, diabetes mellitus, insufisiensi ginjal,
Myocard infark dan revaskularisasi koroner sebelumnya. Meskipun pasien
yang lebih tua (75 tahun) dan wanita biasanya hadir dengan gejala khas
dari ACS, frekuensi presentasi atipikal meningkat pada kelompok ini serta
pada pasien dengan diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal, dan
demensia. gejala atipikal, termasuk nyeri epigastrium, gangguan
pencernaan, menusuk atau nyeri pleuritik, dan meningkatkan dyspnea
dengan tidak adanya nyeri dada harus meningkatkan perhatian untuk
kejadian NSTE-ACS (NSTEMI). Gangguan kejiwaan (misalnya, gangguan
somatoform, serangan panik, gangguan kecemasan) yang penyebab nyeri
dada non cardiac yang dapat dianggap ACS.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan NSTEMI dapat normal. Akan
tetapi, tanda-tanda HF harus mempercepat diagnosis dan pengobatan
kondisi ini. Iskemia miokard akut dapat menyebabkan S4, sebuah
membelah paradoksal S2, atau murmur baru dari regurgitasi mitral karena
disfungsi otot papilaris. Namun, tanda-tanda ini mungkin juga ada tanpa
NSTEMI sehingga tidak spesifik. Nyeri pada saat palpasi menunjukkan
penyakit muskuloskeletal atau peradangan dengan massa perut berdenyut
yang dapat menunjukkan adanya aneurisma aorta abdominal. Hal tersebut
harus diperhatikan karena dapat menjadi penanda akan terjadinya atau
penyebab non iskemik dari NSTEMI.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan alternatif diagnosis pada pasien
dengan nyeri dada, beberapa di antaranya adalah mengancam nyawa.
Diseksi aorta disarankan apabila mengalami back pain, tidak setaranya
volume nadi saat perabaan, perbedaan sebesar 15 mm Hg antara kedua
lengan tekanan darah pada sistolik (BP), atau regurgitasi murmur aorta.
Perikarditis akut dapat dicurigai apabila adanya friction rub pada
perikardial. Tamponade jantung dapat tercermin pulsus paradoksus.
Pneumotoraks dicurigai ketika dyspnea akut, pleuritik dada nyeri, dan
napas diferensial suara yang hadir. Sebuah pleura friction rub mungkin
menunjukkan pneumonitis atau pleuritis.
3) Elektrokardiogram
Semua lead EKG (12 lead) harus diperiksa dan ditafsirkan dalam 10
menit dari kedatangan pasien di fasilitas atau ruang gawat darurat untuk
menilai kejadian iskemia jantung atau cedera. Perubahan EKG terjadi pada
pasien dengan NSTEMI termasuk ST depresi, transient ST-elevasi, atau
inversi gelombang T baru. Persistent ST-elevasi atau depresi anterior ST
merupakan indikasi kebenaran tentang terjadinya myocard infark posterior
dan harus diperlakukan sesuai dengan STEMI CPG. EKG dapat relatif
normal atau awalnya non diagnostic. Apabila hal ini terjadi, EKG harus
diulang (misalnya, pada 15 hingga interval 30 menit selama jam pertama),
terutama jika gejala kambuh. Sebuah EKG yang normal tidak berarti
terhindar dari ACS dan terjadi pada 1% sampai 6% dari pasien tersebut.
Sebuah EKG yang normal mungkin berkaitan dengan sirkumfleks kiri atau
oklusi arteri koroner kanan, yang bisa elektrisitasnya tidak berfungsi
(dalam hal ini elektrokardiografi bagian posterior yaitu lead [V7 sampai
V9] mungkin membantu). Sisi kanan lead (V3R ke V4R) biasanya
dilakukan dalam kasus rendah STEMI untuk mendeteksi bukti infark
ventrikel kanan. Ventrikel kiri (LV) hipertrofi, bundle branch blok dengan
kelainan repolarisasi, dan pacing ventrikel dapat menutupi tanda-tanda
iskemia/cedera.
4) Biomarker pada Necrosis Myocardial
Troponin jantung adalah yang paling sensitif dan biomarker spesifik
untuk NSTEMI. Biomarker naik dalam beberapa jam dari onset gejalanya
dan biasanya tetap tinggi selama beberapa hari (tapi mungkin tetap tinggi
sampai 2 minggu dengan infark yang besar). Sebuah troponin jantung
negatif diperoleh dengan lebih sensitif pada tes troponin jantung pada nilai
prediksi negatif> 95% untuk MI dibandingkan dengan tes sensitivitas
tinggi yang memberi sebuah prediksi negative dengan nilai 99%.
5) Pencitraan (Imaging)
Sebuah pemeriksaan radiologis dada berguna untuk mengidentifikasi
potensi penyebab nyeri dada dan mungkin menunjukkan pelebaran
mediastinum pada pasien dengan diseksi aorta. Dihitung tomography (CT)
dari dada dengan intravena Sebaliknya dapat membantu menyingkirkan
emboli paru dan pembedahan aorta. Echocardiography transthoracic dapat
mengidentifikasi efusi perikardial dan tamponade fisiologi dan mungkin
juga berguna untuk mendeteksi kelainan gerakan dinding regional.
Transesophageal echocardiography dapat mengidentifikasi proksimal
diseksi aorta. Pada pasien berisiko rendah dengan dada nyeri, koroner CT
angiografi dapat menghasilkan lebih cepat, lebih diagnosis hemat biaya
daripada miokard stress perfusi pencitraan.

b. Prognosis- Stratifikasi Resiko Awal : Rekomendasi


Rangkuman rekomendasi untuk pasien dengan masalah NSTEMI
Kelas 1
1. Pada pasien dengan nyeri dada atau gejala lain yang mengarah ke ACS,
pemeriksaan EKG di 12 lead nya harus dilakukan dan dilakukan evaluasi
perubahan iskemik dalam 10 menit dari kedatangan pasien di fasilitas
emergency (level of evidence C)
2. Apabila EKG awal tidak mendiagnosa pasien mengalami iskemik
tetappasien mengalami gejala yang mengarah ke iskemik dan terdapat
tanda klinik kuat adanya ACS, serial EKG harus dilakukan untuk
mendeteksi perubahan EKG (15 sampai 30 menit intervalnya pada jam
pertama) (level of evidence C)
3. Serial troponin I atau T jantung (ketika uji komponennya digunakan) harus
diperoleh pada 3 sampai 6 jam dari onset gejala pada semua pasien dengan
gejala yang konsisten dengan ACS untuk mengidentifikasi pola naik atau
turun dari nilai-nilai yang diperoleh (level of evidence A)
4. Tingkat penambahan troponin harus diperoleh diluar atau setelah 6 jam
dari onset gejala pada pasien dengan level troponin normal pada serial
pemeriksaan yang dilakukan ketika terjadi perubahan EKG dan atau
presentasi klinis atau kondisi klimis menunjukkan adanya kecurigaan ACS
yang sedang sampai tinggi (level of evidence A)
5. Skor resiko harus digunakan untuk mengkaji prognosis pada pasien
dengan NSTEMI (level of evidence A)
Kelas 2a
1. Model stratifikasi resiko dapat digunakan dalam management pasien (level
of evidence B)
2. Memberikan atau menyediakan suplementasi elektrokardiagrafi lead 7
sampai 9 pada pasien yang awalnya tidak terdiagnosa saat EKG awal dan
orang yang beresiko sedang atau tinggi mengalami ACS tersebut dapat
diterima (reasonable) (level of evidence B)

Kelas 2b
1. Monitoring yang dilakukan berkesinambungan atau terus menerus dengan
pengukuran EKG 12 lead merupakan alternatif pilihan yang beralasan
untuk pasien yang pada EKG awal tidak terdiagnosa ACS dan yang
memiliki resiko sedang atau tinggi ACS (level of evidence B)
2. Pengukuran dari B-type natriuretic peptide atau N-terminal pro B-type
natriuretic peptide dapat digunakan untuk mengkaji resiko pada pasien
yang dicurigai mengalami ACS (level of evidence B)

1) Rasional dilakukannya stratifikasi resiko dan spektrum dari resiko : tinggi,


sedang dan rendah
Pengkajian tentang prognosis akan menuntun atau mengarahkan
evaluasi awal dan treatment dan berguna untuk memilih bagian perawatan
(unit perawatan koroner, unit yang mengobservasi naik turunnya, unit yang
mengobservasi pasien rawat jalan), terapi antibiotik (contoh : P2Y12,
inhibitor, platelet glycoprotein (GP) inhibitor IIb/IIIa dan manajemen
invasif). Terdapat osishubungan yang sangat erat antara iskemik kaena
CAD dan prognosis. Pasien dengan kemungkinan tinggi iskemik karena
CAD memiliki resiko yang lebih besar mengalami kejadian kejadian yang
tidak diinginkan (adverse event) dibandingkan dengan orang dengan
kemungkinan kecil untuk mengalami iskemik karena CAD. Setelah 6
bulan, mortalitas akibat NSTEMI dapat sama atau lebih besar
dibandingkan dengan STEMI. Setelah 12 bulan, angka kematian, myocard
infark, dan ketidakstabilan berulang pada pasien >10%. Kejadian awal
terkait dengan plak koroner yang pecah dan
trombosis, kejadian selanjutnya lebih dekat hubungannnya dengan
patofisiologi dari atherosclerosis dan fungsi systolic LV.
2) Estimasi dari level resiko
Pada presentasi awal, riwayat klinis, gejala angina dan equivalen,
pemeriksaan fisik, EKG, fungsi renal, dan pengukuran troponin jantung
dapat diintegrasikan untuk mengetahui resiko dari kematian dan kejadian
nonfatal cardiac ischemic.
Timi Risk Score All cause mortality, new or reccurent MI, or severe
reccurent ischemic requiring urgent revascularization
through 14 d after randomization, %
0-1 4.7
2 8.3
3 13.2
4 19.9
5 26.2
6-7 4.09

a) Riwayat : Gejala Angina dan Angina Equivalents


Pada pasien dengan atau tanpa CAD, dokter harus dapat
menentukan apakah presentasi atau tampilannya konsisten dengan
iskemik akut, penyakit jantung iskemik stabil, atau sebuah etiologi
alternatif. Faktor-faktor riwayat klinis awal berhubungan dengan
kemungkinan dari iskemik akut termasuk umur, jenis kelamin, gejala,
riwayat awal adanya CAD, dan berbagai resiko yang lain.
Karakterisitik angina termasuk kedalaman, nyeri dada lokal
atau lengan yang buruk yang dihasilkan terkait dengan tenaga atau
stres emosional. Pasien dengan NSTEMI dapat mendapatkan gejala
angina khas atau atypical, tetapi episodenya lebih panjang atau parah,
dapat terjadi pada saat istirahat atau dapat dipicu oleh kurangnnya
tenaga dari yang pernah dialami oleh pasien sebelumnya. Beberapa
pasien tidak memiliki atau mengalami nyeri dada tetapi hadir dengan
hanya dengan dyspnea atau dengan ketidaknyamanan pada lengan,
bahu, punggung, rahang, leher, epigastrium atau telinga. Gejala-gejala
yang tidak termasuk sebagai karakteristik dari myocardial ischemia
termasuk
Nyeri pleuritic (tajam atau nyeri seperti oleh pisau diprovokasi oleh
respirasi atau batuk)
Lokasi utama atau satu-satunya ketidaknyamanan yang berada di
tengah atau bawah abdomen
Neyri yang terlokalisasi oleh ujung 1 jari, terutama pada LV apex
atau costochondral junction
Nyeri yang timbul akibat dari pergerakan atau palpasi dinding dada
atau lengan
Episode singkat dari nyeri berlangsung beberapa detik atau kurang
Nyeri yang menjalar atau memancar dengan intensitas maksimal
pada onset
Nyeri yang menjalar hingga mencapai ekstremitas bawah
evaluasi yang dilakukan harus mecakup kesan dari klinisi apakah nyeri
kemungkinan termasuk dalam iskemia akut tinggi, sedang atau rendah.
Walaupun karakteristik khas menignkatkan kemungkinan dari
CAD, gejala atypical juga tidak dapat dipisahkan atau ditinggalkan.
Pada penelitian nyeri dada yang berada di ruang emergency dengan
nyeri tajam atau menusuk dan 13% dari pasien dengan nyeri pleuritic.
7% pasien yang mengalami nyeri pada saat di palpasi memiliki ACS.
Proyek ACI-TIPI (Acute Cardiac Ischemia Time-Insensitive Predictive
Instrument) ditemukan bahwa usia yang lebih tua, laki-laki, nyeri pada
dada atau lengan kiri dan nyeri dada atau tekanan adalah penemuan
yang paling penting dan masing-masing meningkatkan kemungkinan
dari ACS.
Menghilangkan nyeri dada dengan nitrogliserin tidak prediktif
ACS. Satu studi melaporkan bahwa nitrogliserin sublingual melegakan
gejala pada 35% pasien dengan ACS dibandingkan dengan 41% dari
pasien tanpa ACS. Menghilangkan nyeri dada oleh "gastrointestinal
cocktails" (misalnya, campuran dari antasida cair, dan / atau lidokain
kental, dan / atau agen antikolinergik) tidak memprediksi adanya ACS.
b) Demografi dan riwayat di Diagnosis dan Stratifikasi Resiko
Riwayat adanya MI sebelumnya memiliki hubungan dari
obstruktif dan multivessel CAD. Wanita yang dicurigai mengalami
ACS lebih sedikit yang memiliki CAD obstruktif dibandingkan laki-
laki. Apabila terdapat wanit ayng menderita CAD obstruktif
keparahannya tetap lebih sedikit dibandingkan pada laki-laki.
Riwayat keluarga dengan CAD prematur berasosiasi dengan
peningkatan skor kalsium ateri koroner dan resiko peningkatan dari 30
hari kejadian jantung pada pasien dengan ACS. Faktor resiko
perburukan outcome pada pasien dengan ACS adalah diabetes mellitus,
extracardiac (carotid, aortic, atau periperal) atau penyakit arteri, dan
hipertensi.
Penggunaan aspirin sebelumnya maupun baru dapat
berhubungan dengan peningkatan resiko kardiovaskular. Pasien yang
mendapatkan resep aspirin dapat memiliki resiko yang lebih besar
untuk megnalami penyakit atau masalah dalam kardiovaskular.
Merokok juga merupakan faktor resiko terjadinya ACS dengan resiko
lebih rendah untuk terjadinya kematian. Overweight dan/atau obesitas
berhubungan dengan resiko jangka pendek yang lebih rendah dari
kematian. Penggunaan kokain juga dapat menyebabkan ACS dengan
menginduksi vasospasme koroner, diseksi, trombosis, aksi hipertensi.
c) Estimasi awal dari resiko
Estimasi dapat dilakukan dengan menggunakan skor TIMI
yang memiliki skor 7. Skor ini efektif digunakan untuk
mengidentifikasi atau memprediksi mortalitas pada 30 hari dan 1 tahun
pada pasien dengan NSTEMI. Model lain yang dapat digunakan adalah
model resiko GRACE digunakan untuk memprediksi kematian setelah
kepulangan dari rumah sakit dan kejadian myocard infark.
Pada pasien dengan skor TIMI yang lebih besar (misal 3)
terdapat manfaat yang lebih besar dalam pemberian terapi seperti low
molecular-weight heparin (LMWH), platelet GP Iib/IIIa inhibitors, dan
strategi invasif. Hal yang sama dapat diperoleh dengan penggunaan
skor GRACE yaitu dapat menngidentifikasi pasien dari strategi invasif
awal.
d) Electrocardiogram
Pemeriksaan 12 lead EKG sangat penting dalam memutuskan
pathway dalam mengevaluasi dan memberikan manajemen terapi pada
pasien dengan gejalan ACS. Perubahan transient ST (0.5 [0.05 mV])
terjadi selama gejala diprediksi mengalami iskemik dan penyakit CAD
yang berat. ST depresi (khususnya horizontal dan downsloping)
diprediksi besar merupakan NSTEMI. Perubahan tidak spesifik
terhadap ST-T (biasanya didefinisikan sebagai deviasi ST < 0,5 mm
[0.05 mV] atau inversi T wave<2 mm [0.2 mV]) tidak membantu
secara diagnostik. Normalnya EKG pada pasien dengan nyeri dada
tidak dapat diexclude dari ACS karena 1-6% pasien tersebut dapat
mengalami MI dan setidaknya terdapat 4% yang mengalami unstable
angina. Terapi fibrinolitik kontraindikasi untuk pasien dengan ACS
tanpa ST-elevasi, kecuali pada mereka yang setelah pemeriksaan EKG
menunjukkan adanya MI pada bagian posterior. Hal ini dapat
dievaluasi ketika dicurigai AMI tetapi perubahan EKGnya sedang atau
tidak terlihat. Transthoracic echocardiogram digunakan untuk
mengevaluasi abnormalitas pergerakan dinding dada bagian posterior.
e) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat membantu untuk mengkaji dampak
hemodinamik yang disebabkan oleh kejadian iskemik. Pasien yang
dicurigai mengalami ACS harus dilakukan pemeriksaan vital sign
(tekanan darah diukur pada kedua lengan apabila pembedahan
dianggap perlu) dan harus juga dilakukan pemeriksaan kardiovaskular
(adanya gallop, S3, dll) atau regurgitasi akut mitral memiliki
kemungkinan mengalami CAD yang buruk atau parah dan memiliki
resiko yang buruk terkait hasil atau outcomenya. Pada SHOCK
(Should we Emerrgently Revascularize Occluded Coronaries for
Cardiogenic Shock, NSTEMI dihitung mencapai 20% dari shock
kardiogenik komplikasi MI. Pemeriksaan fisik juga dapat membantu
dalam mengidentifikasi jondisi komorbiditas yang dapat berdampak
pada resiko terapeutik dan pengambilan keputusan.

c. Biomarker jantung dan Definisi Universal dari MI


1) Biomarkers : Diagnosis
Kelas I
a) Level troponin jantung (troponin I atau T ketika pengujian dilakukan)
harus dilakukan dan 3 sampai 6 jam setelah onset gejala pada semua
pasien yang mengalami gejala dengan ACS untuk mengidentifikasi
peningkatan atau penurunan bentuk (level of evidence A)
b) Level penambahan troponin harus diperoleh setelah 6 jam setelah
gejala pada pasien dengan normal troponin pada serial pemeriksaan
ketika perubahan EKG atau presentasi klinis pada orang yang dicurigai
mengalami ACS sedang atau tinggi (level of evidence A)
c) Apabila waktu onset gejala ambigu, waktu presentasi atau munculnya
harus mempertimbangkan waktu onset untuk mengkaji nilai troponin
Kelas III : tidak ada manfaat (No Benefit) (level of evidence A)
a) Dengan pemeriksaan troponin dengan kontemporer atau terus
dilakukan, CKMB (Creatinine kinase myocardial isoenzyme) dan
myoglobin tidak berguna untuk mendiagnosa ACS (level of evidence
A)
2) Biomarkers : Prognosis
Kelas I
b) Ada dan besarnya peningkatan troponin berguna untuk prognosis
jangka pendek dan panjang (level of evidence B)
Kelas II b
a) Pengukuran kembali troponin di hari ke-3 atau ke-4 pada pasien
dengan MI sebagai indeks ukuran infark dan dinamika dari nekrosis
(level of evidence B)
b) Penggunaan biomarker baru yang dipilih terutama B-type natriuretic
peptida, untuk memberikan tambahan informasi prognosis (level of
evidence B)
3) Troponin Jantung
Troponin merupakan biomarker jantung yang digunakan untuk
mendiagnosa dan menentukan resiko pasien ACS. Diagnosis primer
adanya myocardial necrosis adalah troponin I dan T. Troponin jantung
terdiri dari 3 subunit dan 2 diantaranya merupakan turunan dari gen yang
terdapat di myocardium.
4) CK-MB dan Myoglobin dibandingkan dengan Troponin
CK-MB sebelumnya digunakan oleh penelitian atau bukti ilmiah untuk
mendeteksi adanya MI karena molekulnya yang kecil, ia dihasilkan dari
infark myocardium. CK-MB memiliki sensitifitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan troponin. Adanya CK-MB, myoglobin dan troponin,
maka biomarker lain tidak perlu untuk dilakukan pemeriksaan. CK-MB
digunakan untuk mengestimasi ukuran MI.
d. Manajemen Awal
1) Discharge atau Kepulangan dari ruang emergency atau unit nyeri dada
Rekomendasi yang diberikan adalah

Kelas II a
a) Rasional apabila dilakukan observasi pada pasien dengan gejala
konsisten dengan ACS tanpa adanya bukti objektif dari iskemik
myocard (non inskemik pada EKG awal dan troponin jantung normal)
pada unit nyeri dada atau unit telemetry dengan serial EKG yang
dilakukan dan troponin jantung pada interval 3 dan 6 jam (level of
evidence B)
b) Rasional apabila pasien dengan kemungkinan ACS yang memiliki
EKG serial dan troponin jantung normal untuk memiliki treadmill
EKG, stress, myocardial perfusion imaging, atau stres ekokardiografi
sebelum kepulangan atau dalam 72 jam setelah kepulangan (level of
evidence B)
c) Pada pasien yang kemungkinan memiliki ACS dan dengan EKG
normal, troponin jantung juga normal, dan tidak memiliki riwayat
CAD, rasional apabila diinisiai untuk melakukan coronary CT
angiography (tanpa melakukan EKG serial dan troponin) untuk
mengkaji anatomi arteri koroner atau istirahatkan pencitraan perfusi
myocardial dengan techetium-99m radiopharmaceutical untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya myocardial ischemia (level of
evidence B)
d) Rasional untuk memberikan pasien dengan resiko rendah yang dirujuk
untuk pengujian pasien rawat jalan terkait dengan penggunaan aspirin,
short-acting nitroglycerin dan medikasi lain yang tepat dalam
kesehariannya (misalnya bera bloker) dengan instruksi tentang level
aktivitas dan follow up dokter (level of evidence C)

Early Hospital Care


1. Terapi Medis Standar
a. Oxygen : Rekomendasi
Kelas I
1) Suplemental oxigen harus diberikan kepada pasien dengan NSETMI
dengan saturasi oksigen arterial kurang dari 90%, distress respirasi atau
resiko tinggi lainnya yang bersanding dengan adanya hipoksemia (level of
evidence C)
Berdasarkan bukti ilmiah tahun 2007 disebutkan bahwa pemberian
suplementasi oxygen diberikan selama 6 jam pertama setelah kejadian dan
dapat mengurangi hypoxemia.
Rangkuman dari rekomendasi untuk early hospital care
b. Pengobatan Anti Iskemik dan Analgesik
1) Nitrat : Rekomendasi
Kelas I
a) Pasien dengan NSTEMI dengan nyeri iskemik yang berlanjut harus
mendapatkan nitrogliserin sublingual (0.3 mg sampai 0.4 mg setiap 5
menit sampai 3 dosis, setelah penilaian harus dibuat tentang peerlunya
nitroglisserin intravena apabila tidak kontraindikasi) (level of evidence
C)
b) Nitrogliserin intravena diindikasikan untuk pasien dengan NSTEEMI
untuk pengobatan iskemia persisten, HF atau hipertensi (level of
evidence B)
Kelas III : Harm (Berbahaya)
a) Nitat tidak boleh dibberikan kepadda pasien dengan NSTEMI yang
baru menerima inhibitor phosphodiesteerase, khussusnya dalam 24 jam
dari sidenafil atau vardenafil atau dalam 48 jam dari tadafil (level of
evidence B)
Nitrat adalah vasodilator independen dari edndhotelium dengan efeek
perigfer dan vaskular koroner. Dengan melebarkan kapasitansi pembuluh
atau vasodilatasi, nitrat menrunkan preload jantung dan mengurangi
ketegangan dinding ventrikel. efek lebih sederhana dari
hasil sirkulasi arteri dalam pengurangan afterload dan selanjutnya
penurunan MVO2. Hal ini mungkin sebagian diimbangi dengan refleks
peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas, yang menangkal
pengurangan MVO2 kecuali beta blocker merangkap
diberikan. Nitrat juga dilatasi normal dan aterosklerosis
arteri koroner dan meningkatkan aliran kolateral koroner.
Nitrat juga dapat menghambat agregasi platelet. Nitriglserin intratvena
bermanfaat unutk pasien dengan HF, hipertensi atau gejala yang tidak
dapat diatasi dengan nitrigliserin sublingual dan pemberrian beta blocker.
2) Terapi Analgesik : Rekomendasi
Kelas II b
1) Dengan tidak adanya kontraindikasi, mungkin rasional untuk
mengelola morfin sulfat intravena untuk pasien dengan NSTEMI jika
ada nyeri dada iskemik berlanjut meskipun pengobatan dengan
maksimal ditoleransi obat anti-iskemik (level of evidence B)
Kelas III : Harm (Berbahaya)
1) Nonsteroids anti-inflammatory drugs (NSAIDs) kecuali aspirin tidak
boleh diberikan dan harus dihentikan selama perawatan di rumah sakit
untuk NSTTEMI karena dapat meningkattkan resiko MACE
berhubungan dengan penggunaannya (level of evidencce B)
Morfin sulfat memiliki efek kuat analgesik dan anxiolytic, seperrti aksi
hemodinamik tindakan hemodinamik, yang berpotensi untuk NSTEMI.
Hal tersebut menyebabkan venodilation dan menghasilkan pengurangan
sederhana dalam denyut jantung (melalui peningkatan tonus vagus) dan
sistolik tekanan. Pada pasien dengan gejala meskipun pengobatan
antiangina, morfin (1 mg sampai 5 mg IV) dapat diberikan selama terapi
nitrogliserin intravena dengan pemantauan tekanan darah. Dosis morfin
dapat diulang setiap 5 sampai 30 menit untuk meredakan gejala dan
mempertahankan kenyamanan pasien. Penggunaannya seharusnya tidak
menghalangi penggunaan terapi anti-iskemik lainnya yang terbukti
manfaatnya pada pasien dengan NSTEMI.
3) Beta-Adrenergik Blockers : Rekomendasi
Kelas I
a) Terapi oral beta blocker harus diberikan dalam 24 jam pertama
yang tidak memiliki tanda-tanda adanya HF, evidence of low-
output state, peningkatan risiko syok kardiogenik, atau
kontraindikasi lain untuk
beta blocker (misalnya, Interval PR> 0,24 detik; derajat kedua atau
ketiga dari blok jantung tanpa sebuah cardiac pacemaker, asma
aktif atau penyakit saluran napas reaktif) (level of evidence A)
b) Pada pasien dengan NSTEMI, HF yang stabil, dan penurunan
fungsi sistolik, direkomendasikan untuk terus melakukan terapi
beta-blocker dengan 1 dari 3 obat yang terbukti dapat mengurangi
kematian pada pasien dengan HF; sustained-release metoprolol
succinate, carvedill atau bisoprolol (level of evidence C)
c) Pasien dengan kontraindikasi penggunaan beta blocker pada 24 jam
pertama NSTEMI harus dievaluasi kembali untuk menentukan
kesesuaiannya (level of evidence C)
Kelas IIa
a) Rasional untuk terus menggunakan terapi beta blocker pada
pasien dengan fungsi LV normal dengan NSTEMI (level of
evidence C)
Kelas III : HARM (Berbahaya)
b) Pemberian beta blocker secara intravena berpotensi untuk
membahayakan pasien dengan NSTEMI yang memiliki faktor
resiko untuk terjadinya shock (level of evidence B)

4) Calcium channel blocker : rekomendasi


Kelas I
a) Pada pasien dengan NSTEMI yang iskemianya berlanjut atau
sering terjadi dan kontraindikasi terhadap penggunaan beta blocker,
sebuah non dihydropyridine calcium channel bocker (CCB) harus
diberikan sebagai terapi awal pada tidak adanya disfungsi LV
signifikan secara klinis, peningkatan resiko untuk shock
kardiogenik, interval PR lebih besar dari 0.24 detik, atau tingkat
kedua atau ketiga block atrioventricular tanpa sebuah cardiac
pacemaker (level of evidence B)
b) Oral non dihydropyridine calcium antagonist direkomendasikan
pada pasien dengan NSTEMI yang mengalami iskemia berulang
yang tidak memiliki kontraindikasi, setelah penggunaan beta
blocker dan nitrat tepat (level of evidence C)
c) CCBs direkomendasikan untuk gejala iskemia dengan beta blocker
tidak berhasil digunakan, kontraindikasi atau disebabkan karena
efek samping yang tidak dapat diterima (level of evidence C)
d) Waktu paruh CCBs dan nitrat yang panjang direkomendasikan
pada pasien dengan spasme arteri koroner (level of evidence C)
Kelas III : HARM (Berbahaya)
a) Immediate release nifedipine tidak boleh diberikan untuk pasien
dengan NSTEMI yang tidak mendapatkan trapi beta blocker (level
of evidence B)
5) Intervensi Anti Iskemik Lain
a) Ranolazine
Ranolazine merupakan pengobatan antiangina dengan efek
minimal pada denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini
digunakan untuk pengobatan atau treatment angina kronis.
b) Intra-Aortic Ballon Pump (IABP) Counterpulsation
Digunakan untuk mengobati iskemia persisten yang buruk atau
berulang, khususnya pada pasien yang menunggu untuk
dilakukannya angiografi invasif dan revaskularisasi, eskipun
mendapatkan terapi medis internsif.
6) Manajemen Kolesterol
Kelas I
a) Terapi high-intensity statin harus diberikan atau dilanjutkan
pemberiannya pada semua pasien dengan NSTEMI dan tidak ada
kontraindikasi dalam penggunaannya (level of evidence A)

Kelas IIa

a) Rasional untuk memperoleh fasting lipid profile pada pasien


dengan NSTEMI, lebih disukasi dalam 24 jam presentasi atau
munculnya gejala (level of evidence C)
c. Inhibitor dari Sistem Renin-Angiotensin Aldosterone : Rekomendasi
Kelas I
1) ACE inhibitor harus dimulai dan dilanjutkan pemberiannya pada
semua pasien dengan LVEF kurang dari 0.40 dan pada orang yang
dengan hipertensi, DM, atau stable CKD, kecuali apabila
kontraindikasi (level of evidence A)
2) ARBs direkomendasikan pada pasien dengan HF atau MI dengan
LVEF kurang dari 0.04 yang intolerant terhadap ACE inhibitor (level
of evidence A)
3) Aldosterone blockade direkomendasikan pada pasien dengan post MI
tanpa disfungsi renal signifikan (kreatinin>2.5 mg/dL pada laki-laki
atau >2.0 mg/dL pada wanit) atau hyperkalemia (K+ >5.0 mEq/L)
yang mendapatkan dosis terapeutik dari ACE inhibitor dan beta
blocker dan mempunyai LVEF kurang dari 0.40 atau kurang, DM atau
HF (level of evidence A)

Kelas IIa

1) ARBs rasional pada pasien-pasien lain dengan penyakit jantung atau


vaskular yang intolerant ACE inhibitor (level of evidence B)

Kelas IIb

1) ACE inhibitor dapat rasional pada semua pasien dengan penyakit


jantung atau vaskular (level of evidence B)
d. Terapi Initial Antiplatelet/Anticoagulant pada Pasien dengan Definite or
Likely NSTEMI
1) Terapi awal atau inisial oral dan intravena pada pasien dengan
NSTEMI pasti atau kemungkinan yang mendapatkan inisial invasif
atau strategi ischemia-guide
Kelas 1
a) Non-enterik berlapis, aspirin kunyah (162 mg sampai 325 mg)
harus diberikan kepada semua pasien dengan NSTEMI tanpa
kontraindikasi sesegera mungkin setelah presentasi adanya gejala,
dan dosis pemeliharaan aspirin (81 mg / d 325 mg / d) harus
dilanjutkan tanpa batas waktu. (Level of evidence A)
b) Pada pasien dengan NSTEMI yang tidak mampu untuk
menggunakan aspirin karena hipersensitivitas atau intoleransi
gastrointestinal utama, loading dosis clopidogrel diikuti oleh dosis
pemeliharaan harian harus diberikan (Level of evidence B)
c) P2Y12 inhibitor (baik clopidogrel atau ticagrelor) di samping
aspirin harus diberikan hingga 12 bulan untuk semua
pasien dengan NSTEMI tanpa kontraindikasi yang
mendapatkan treatment dengan baik sebagai invasif awal atau
strategi penanganan iskemia. Pilihan meliputi:
Clopidogrel: 300-mg atau 600 mg dosis loading, kemudian 75
mg sehari Level of Evidence: B)
Ticagrelork: dosis loading 180 mg, kemudian 90 mg dua kali
sehari (Level of Evidence: B)

Kelas IIb
a) Rasional untuk menggunakan ticagrelor dalam preferensi untuk
clopidogrel untuk perawatan P2Y12 pada pasien dengan NSTEMI
yang menjalani
awal invasif awal atau iskemia-dipandu strategi (Level of Evidence: B)

KELAS IIb

a) Pada pasien dengan NSTEMI yang diobati dengan strategi invasif awal
Strategi dan terapi antiplatelet ganda (DAPT) dengan berisiko tinggi
(misalnya, troponin positif), inhibitor GP IIb / IIIa dapat dianggap
sebagai bagian dari awal terapi awal antiplatelet. Pilihan yang lebih
disukai adalah eptifibatide atau tirofiban (Level of Evidence: B)

1) Aspirin
Aspirin merupakan first line terapi adalah pada pasien
dengan NSTEMI dan mengurangi kejadian berulang MI
dan kematian. Sebuah dosis muatan non-enteric coated aspirin 162
mg sampai 325 mg adalah antiplatelet awal terapi. Dosis
pemeliharaan berikutnya adalah 81 mg per hari ke 162 mg per hari;
dalam keadaan khusus, lebih tinggi pemeliharaan dosis hingga 325
mg sehari-hari telah digunakan. Dosis rendah disukai dan semua
pasien yang diobati dengan ticagrelor harus menerima hanya 81 mg
per hari. Di negara-negara lain, tersedia formasi aspirin dosis
rendah mungkin termasuk 75 mg dan 100 mg. Dosis tinggi ( 160
mg) versus-dosis rendah (<160 mg) aspirin dikaitkan dengan
peningkatan risiko pendarahan dalam ketiadaan ditingkatkan hasil.
Kebanyakan NSAID reversibel mengikat COX-1, mencegah
penghambatan oleh aspirin dan dengan COX-2 dan dapat
menyebabkan efek prothrombotic. Aspirin enteric harus dihindari
awalnya karena yang tertunda dan mengurangi penyerapan.
2) P2Y12 receptor inhibitors
Terdapat 3 jenis yang biasa digunakan yaitu clopidogrel,
prasugrel dan ticagrelor. Pemberian Clopidogrel dengan
administrasi clopidogrel dengan aspirin lebih unggul dibandingkan
pemberian aspirin saja dalam mengurangi insiden kematian
kardiovaskular dan nonfatal MI atau Stroke kedua akut dan selama
11 bulan berikutnya.
Pada pasien dengan NSTE-ACS dan didefinisikan anatomi
koroner yang menjalani PCI direncanakan, 60-mg dosis muatan
prasugrel diikuti oleh 10 mg sehari-hari adalah dibandingkan
dengan 300-mg dosis loading dan 75 mg sehari-hari clopidogrel.
Komposit akhir primer (kardiovaskular kematian, nonfatal MI, dan
stroke) berkurang di pasien yang diobati dengan prasugrel.
2) Terapi inisial parenteral antikoagulan pada pasien dengan definite
NSTEMI : rekomendasi
Kelas I
a) Pada pasien dengan NSTEMI, antikogulasi, ditambahkan untuk
terapi antiplatelet, hal ini direkomendasikan untuk semua pasien
terlepas dari strategi pengobatan awal atau inisial (yang tidak
mendapatkan terapi awal atau inisial). Pilihan pengobatannya
adalah
o Enoxaparin
Pemerian dengan dosis 1 mg/kg subcutaneous (SC) setiap
12 jam (kurangi dosisnya hingga 1 mg/kg SC sekali sehari
pada pasien dengan once daily in patients with creatinine
clearance [CrCl] <30 mL/min), lanjutkan untuk durasi
rawat inap atau hingga dilakukannya PCI. Pemberian awal
dengan loading dose 30 mg digunakan untuk pasien-pasien
terrtentu (Level of evidence A)
o Bivalirudin : 0.10 mg/kg dosis yang diberikan diikuti
dengan pemberian 0.25 mg/kg per jam (hanya pada pasien
yang mendapatkan strategi invasif awal),
o Fondaparinux: 2,5 mg SC harian, terus untuk durasi
rawat inap atau sampai PCI dilakukan dengan hanya
menggunakan sementara dari inhibitor GP IIb / IIIa,
tersedia pasien juga diobati dengan DAPT (Level of
Evidence: B)
o Jika PCI dilakukan saat pasien berada pada fondaparinux,
sebuah antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti-IIa
(baik UFH atau bivalirudin) harus diberikan karena risiko
kateter trombosis (Level of Evidence: B)
o UFH IV: awal pemuatan dosis 60 IU / kg (maksimum
4.000 IU) dengan infus awal 12 IU / kg per jam
(Maksimum 1.000 IU / h) disesuaikan per diaktifkan parsial
tromboplastin waktu untuk mempertahankan antikoagulan
terapi sesuai dengan protokol rumah sakit tertentu,
terus selama 48 jam atau sampai PCI dilakukan
(Level of Evidence: B)

3) Terapi fibrinolitik pada pasien dengan definite NSTEMI :


Rekomendasi
Kelas III : HARM (berbahaya)
a) Pada pasien dengan NSTEMI (yaitu, tanpa ST-elevasi, benar
posterior MI, atau block bundel-cabang kiri tidak diketahui
tua), terapi fibrinolitik intravena sebaiknya tidak digunakan. (Level
of Evidence: A)
e. Ischemia-Guided Strategy Versus Early Invasive Strategies
1) Early Invasive and Ischemia-Guided Strategies : Rekomendasi
Kelas I
a) Strategi invasif mendesak / langsung (angiografi diagnostik
dengan maksud untuk melakukan revaskularisasi jika sesuai
berdasarkan anatomi koroner) diindikasikan pada pasien (laki-laki
dan perempuan dengan NSTEMI yang memiliki angina refrakter
atau hemodinamik atau ketidakstabilan listrik (tanpa serius
komorbiditas atau kontraindikasi untuk prosedur tersebut) (Level of
Evidence : A)
b) Sebuah strategi invasif awal (diagnostik angiografi dengan
tujuan untuk melakukan revaskularisasi jika sesuai berdasarkan
anatomi koroner) diindikasikan pada pasien awalnya stabil
dengan NSTEMI (tanpa komorbiditas serius atau kontraindikasi
dengan prosedur) yang memiliki risiko tinggi untuk
peristiwa klinis (Level of Evidence: B)

Kelas IIa
a) Rasional untuk memilih strategi invasif awal (dalam
24 jam pemberian) dibandingkan dengan menunda strategi invasif
(Dalam waktu 25 sampai 72 jam) untuk awalnya pada pasien
berisiko tinggi dengan NSTEMI. Bagi mereka yang tidak pada
resiko tinggi/ menengah, pendekatan invasif ditunda rasiona untuk
dilakukan (Level of Evidence: B)

Kelas IIb

a) Pada pasien stabil awalnya menggunakan ischemia-guided strategy

dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan NSTEMI (tanpa


komorbiditas serius atau kontraindikasi untuk pendekatan ini)
yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian klinis (Level of
Evidence: B)
b) Keputusan untuk menerapkan ischemia-guided strategy pasien
yang baru stabil (tanpa komorbiditas serius atau kontraindikasi
untuk pendekatan ini), wajar atau rasional setelah
mempertimbangkan preferensi dokter dan pasien (Level of
Evidence: B)

Kelas III : tidak bermanfaat

a) Strategi invasif awal (yaitu angiografi diagnostik dengan tujuan


untuk melakukan revaskularisasi) tidak dianjurkan pada pasien :
o komorbiditas yang luas (misalnya, hati, ginjal, paru
kegagalan; kanker), di antaranya risiko revaskularisasi dan
kondisi komorbiditas cenderung lebih besar daripada
manfaat dari revaskularisasi. (Level of Evidence: C)
o Nyeri dada akut dan kemungkinan rendah ACS yang
yang pemeriksaa troponin-negatif (Level of Evidence: C),
terutama wanita (Level of Evidence: B)
b) Perbandingan Angiografi awal dan ditunda (Early versus delayed
angiography)
Pelaksanaan angiografi awal lebih efektif dibandingkan dengan
yang ditunda atau delayed angiography untuk mengurangi
komplikasi koroner, khususnya pada pasien dengan resiko tinggi
(didefinisikan dengan skor GRACE> 140)
(139.336). pada pasien dengan resiko rendah sampai menengah
dapat melakukan delayed angiography. Terdapat kontroversi dalam
dalam pengobatan perbedaan revaskularisasi laki-laki dan wanita
dengan ACS.
Angiografi koroner didesign untuk menyediakan informasi secara
detail atau menyeluruh tentang ukuran dan distribusi dari pembuluh
darah koroner, lokasi dan tingkat ostruksi atherosclerotic dan
kecocokan dilakukannya revaskularisasi.
c) Stratifikasi resiko sebelum kepulangan pasien yang mendapatkan
Ischemia-Guided Strategy dari NSTEMI : rekomendasi
Kelas I
a) Pemeriksaan stress non invasif dianjurkan untuk pasien dengan
resiko rendah sampai sedang yang terbebas dari iskemik pada
saat istirahat atau dengan aktivitas tingkat rendah selama
minimal 12 sampai 24 jam (Level of Evidence: B)
b) Pengujian dengan latihan treadmill berguna pada pasien yang
terbebas dari perubahan EKG pada saat istirahat yang
dapat mengganggu interpretasi (Level of Evidence: C)
c) Pemeriksaan Stres dengan pencitraan modalitas harus
digunakan dalam pasien yang mengalami perubahan EKG pada
saat istirahat yang dapat mengganggu interpretasi. Pada pasien
menjalani tes latihan tingkat rendah, sebuah pencitraan
modalitas dapat menambahkan informasi prognostic
d) Pemeriksaan stress farmakologi dengan pencitraan dianjurkan
ketika keterbatasan fisik menghalangi latihan yang memadai
untuk stress. (Level of Evidence: C)
e) Sebuah tes pencitraan non-invasif disarankan untuk
mengevaluasi fungsi LV pada pasien dengan ACS (Level of
Evidence: C)

Tujuan pemeriksaan non invasif pada pasien dengan resiko


kemungkinan rendah atau sedang CAD dan pasien dengan resko
tinggi yang tidak mendapatkan strategi invasif dini atau awal
adalah untuk mendeteksi iskemia dan memperkirakan prognosis.
Informasi ini dapat memandu untuk langkah pemeriksaan
diagnostik selanjutnya dan mengukur terapeutik. Berbeda dengan
angiografi koroner, pemeriksaan ini dapat memberikan informasi
secara lengkap atau menyeluruh tentang pengkajian terkait
prognosis dan manajemen yang tepat. Ketika dikombinasikan
dengan angiografi LV, pemeriksaan tersebut memberikan informasi
tentang pengkajian secara global dan regional tentang fungsi LV.
Angiografi koroner biasanya diindikasikan untuk pasien NSTEMI
yang mendapatkan gejala berulang atau iskemia meskipun terapi
medikal telah adekuat diberikan atau pada seseorang yang memiliki
resiko tinggi dengan dikategorikan berdasarkan penemuan klinis
(HF, aritmia ventrikuler serius), penemuan berdasarkan
pemeriksaan non invasif (disfungsi signifikan LV dengan EF<0.40,
large anterior or multiple perfusion defects atau
abnormalitas gerakan dinding dari echocardiography, resiko tinggi
Duke Treadmill Score -11) reiko tinggi TIMI atau GRACE skor
aau level troponin menigkat. Pasien yang mendapatkan PCI atau
CABG sebelumnya harus dipertimbangkan untuk mendapatkan
angiografi koroner dini atau awal, kecual angiografi koroner
sebelumnya menunjukkan bahwa memungkinkan untuk
revaskularisasi kedepannya.

Myocardial Revascularisasi
Perbedaan pokok antara pasien dengan stable ischemic heart disease
dan NSTE-ACS adalah kekuatan pendorong di iskemik stabil lebih kuat
dibandingkan pada NSTE-ACS. Myocardial iskemik pada ACS
mempunyai peluang MI dan berpotensi besar mengancam kehidupan.
Selanjutnya (pada pasien ACS) angina akan mudah dikurangi dengan
rwvaskuarisasi dibandingkan dengan medical terapi.
Sebuah pendekatan heart team untuk membuat keputusan
revaskularisasi,(melibatkan intervensi dari ahli kardiologi dan ahli bedah
jantung) dilakukan pada pasien yang memiliki CAD yang komplek dan
tidak aman. Kalkulasi SYNTAX (synergi antara PCI dengan TAXUS dan
pembedahan jantung) dan score STS dijadikan pertimbangan pada pasien
tersebut untuk menmantau pemilihan revaskularisasi yang dilakukan.
Factor-faktor yang mempengaruihi pemilihan prosedur revaskularisasi
dengan melihat keluasan dan kekompleksitas CAD, resiko jangka pendek
dan jangka panjang dari daya tahan PCI, kematian saat tindakan (yang
dikalkulasi dari skore STS), diabetes mellitus, CKD, kompleksitas
revaskularisasi, disfungsi sistolik ventrikel kiri, riwayat CABG
sebelumnya, dan kemampuan pasien untuk bertoleransi dan menerima
proses dari DAPT. Secara umum semakin komplek dan luas
perkembangan penyakit akan mempengaruhi kekomplek CABG. Pada
pasien dengan NSTE-ACS, PCI dengan tidak melindungi arteri utama
jantung kiri dan merupakan pilihan terakhir bagi pasien yang tidak bisa di
CABG.
a. Tindakan PCI
a. Keadaan umum yang direkomendasikan PCI
kelas IIb
a) Sebuah strategi dari multivessel PCI, berbeda untuk culprit-

lesion PCI, adalah hal wajar pada pasien yang menjalani

revaskularisasi koroner sebagai bagian dari pengobatan untuk

NSTEMI (Level of Evidence: B)

Diperkirakan setengah dari semua procedure PCI dilakukan

pada pasien dengan UA dan NSTEMI, dan kiria-kira 32%-40% dari

pasien NSTEMI diindikasikan PCI. Sebagaimana yang didiskusi

sebelumnya pada pasien dengan NSTE-ACS, strategi dari awal

angiosgraphi dan revaskularisasi (tindakan primer dengan PCI)

menghasilkan penurunan kekambuhan kembali UA, kekambuhan

rehospitalitation, MI, dan kematian. Banyak laporan yang

membandingkan lesi yang berbahaya (hanya PCI dengan

multivessel PCI pada waktu yang sama) pada pasien dengan

NSTE-ACS tidak ditemukan peningkatan resikodari MACE

dengan multivessel PCI dan ditemukan pengurangan kebutuhan

pengulangan revaskularisasi.

b. PCI: antiplatelet dan antikoagulan terapi


a. Oral dan intravena agen antiplatelet yang direkomendasikan
Kelas I
a) Pasien telah mengkonsumsi aspirin harian sebelum PCI

mendapatkan 81-325 mg non-enteric-coated aspirin

sebelum PCI (level evidence: B)


b) Pasien yang tidak mendapatkan terapi aspirin diberikan

non-enteric coated aspirin 325 mg segera (level evidence:

B)
c) Setelah PCI, aspirin harus dilanjutkan tanpa ada ketentuan

dengan dosis 81-325 mg per hari (level evidence: B)


d) Pemberian dosis dari P2Y12 receptor inhibitor harus

diberikan sebelum prosedur pada pasien yang sedang

dilakukan PCI denganpemasangan stent (level evidence: A)

dengan pilihan
Clopidogrel: 600 mg (level evidence: B) atau
Prasugrel: 60 mg (level evidence: B) atau
Ticagrelor: 180 mg (level evidence: B)
e) Pada pasien dengan NSTE-ACS dan ciri-ciri resiko tinggi

tidak adekuat pre-treated dengan clopidogrel or ticagrelor.

Hal ini berguna untuk mengatur GP IIb/IIIa inhibitor

(abciximab, double bolus eptifibatide, atau bolus dosis

tinggi tirofiban) pada saat PCI (level evidence: A)


f) Pada pasien dengan stent (stent dasar metal atau drugeluting

stent/ DES) selama PCI untuk NSTE-ACS, P2Y12 inhibitor

terapi harus diberikan paling lambat 12 bulan dengan

pilihan:
Clopidogrel: 75 mg/ hari (level evidence: B) atau
Prasugrel: 10 mg/ hari (level evidence: B) atau
Ticagrelor: 90 mg/ hari (level evidence: B)

Kelas IIa

a) Merupakan sesuatu yang rasional untuk memilih ticagrelor

dari clopidogrel untuk P2Y12 inhibitor treatment pada

pasien dengan NSTE-ACS dengan strategi invasive awal

dan/ atau coronary stent (level evidence: B)


b) Merupakan sesuatu yang beralasan untuk memilih prasegrel

dari clopidogrel untuk P2Y12 inhibitor treatment pada

pasien dengan NSTE-ACS yang sedang melakukan PCI


yang tidak beresiko tinggi terhadap komplikasi pendarahan

(level evidence: B)
c) Pada pasien dengan NSTE-ACS dan mempunyai tanda

beresiko tinggi (seperti: peningkatan troponin) di lakukan

tindakan UFH dan pre perlakuan yang adekuat dengan

clopidogrel. (abciximab, double bolus eptifibatide, atau

bolus dosis tinggi tirofiban) pada saat PCI (level evidence:

B)
d) Setelah PCI, ada alasan untuk menggunakan 81 mg/ hari

aspirin dengan dosis yang dipertahankan (level evidence:

B)
e) Jika resiko kematian karena pendarahan diantisipasi

rekomendasi dari P2Y12 inhibitor terapi setelah penanaman

stent, dilanjutkan < 12 bulan dari P2Y12 inhibitor terapi

Kelas IIb

Lanjutan dai DAPT lebih dari 12 bulan harus diperhatikan pada

pasien yang sedang dilakukan penanaman stent

Kelas II: Harm

Presugrel seharusnya tidak diberikan untuk pasien dengan

riwayat Stroke atau transient ischemic attack (level evidence:

B).

Aspirin mengurangi frekuensi dari komplikasi iskemik setelah PCI dan


diatur selama 2 jam dan lebih baik 24 jam.. DAPT yang terdiri dari aspirin dan
P2Y12 inhibitor pada pasien dengan pemasaangan stent mengurangi resiko dari
thrombosis stent dan gabungan kejadian iskemik gabungan. Dibandingkan
dengan dosis 300 mg clopidogrel, dosis muatan 600 mg clopidogrel pada
pasien yang menjalani PCI mencapai inhibisi platelet yang lebih besar dengan
responden yang lebih rendah dan mengurangi kejadian MACE. Pada pasien
dengan ACS yang telah menjalani pemasangan stent jantung, pengobatan
dengan prasugrel atau ticagrelor bila dibandingkan pengobatan dengan
clopidogrel menghasil penurunan kejadian iskemik gabungan yang lebih besar
dan kejadian thrombosis pada stent, meskipun meningkat risiko pada
pendarahan non- CABG. Durasi optimal terapi DAPT tidak boleh diberikan
pada pasien yang tidak berhasil diobati dengan terapi DES. Namun, aspirin
dilanjutkan tanpa batas pada semua pasien yang berhasil pada terapi
pemasangan stent metal atau DES, dan terapi DAPT merupakan pilihan > 12
bulan pada pasien yang telah menerima DES. Penentuan ini harus
menyeimbangkan risiko thrombosis pada stent dan komplikasi iskemik dengan
membandingkan perdarahan yang harus dipertimbangkan bersama-sama oleh
dokter dan pasien.

Melanjutkan dan mempertahankan dosis jangka pendek clopidogrel


dipelajari di CURRENT-OASIS 7 (Clopidogrel Optimal Loading Dose Usage
to Reduce Recurrent Events-Organization to Assess Straategies in Ischemic
Syndromes), yang menunjukkan potensi manfaat dari pemberian clopidogrel
dosis tinggi (600 -mg dosis segera , 150 mg/hari selama 6 hari, 75 mg sehari
sesudahnya) pada pasien dengan NSTE-ACS yang menjalani manajemen
invasive. Meskipun secara keseluruhan percobaan gagal menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara clopidogrel dan aspirin (4,2% vs 4,4%), pada
PCI yang disetingkan pada suatu bagian (n1/417,263) menunjukkan perbedaan
yang signifikan pada kelompok yang menggunakan clopidogrel. Terutama,
dosis tinggi terapi clopidogrel meningkat pendarahan dalam seluruh kelompok
(2,5% vs 2,0%; p=0.012) dan subgrup PCI (1,1% vs 0,7%; p=0.008). Selain
itu, selama periode dari beberapa jam yang diperlukan untuk konversi
clopidogrel menjadi aktif dalam metabolisme terlihat berkurang
efektivitasnya. Namun, menjadi efektif lagi dalan konversi berikutnya.

Pasien yang menjalani PCI yang sebelumnya telah menerima dosis 300
mg clopidogrel dan pada dosis pemeliharaan harian 75-mg harus menerima
dosis 300 mg lainnya. Tidak ada data yang sesuai untuk prasugrel karena obat
ini diberikan sebelum PCI. Untuk ticagrelor, tidak ada data tambahan yang
mendukung.

b. Rekomendasi GP IIb/ IIIa inhibitor


Kelas I
3) Pada pasien dengan NSTE-ACS dan tanda resiko tinggi ( seperti:
peningkatan troponin) yang tidak adekuat pre perlakuan dengan
clopidogrel atau ticagrelor, sangat berguna diberikan GP IIb/ III a
inhibitor (abciximab, double-bolus eptifibatide, atau bolus resiko
tinggi tirofiban) pada saat dilakukan PCI (level evidence: A)
Kelas IIa
4) Pada pasien dengan NSTE-ACS dan memiliki tanda berisiko tinggi
(misalnya, peningkatan troponin) diobati dengan UFH dan
diberikan pre treatment dengan clopidogrel, adalah wajar
(beralasan) untuk dikelola dengan inhibitor GP IIb/ IIIa
(abciximab, double-bolus eptifibatide, atau bolus dosis tinggi
tirofiban) pada saat PCI (Level of Evidence: B)

Terapi antagonis reseptor GP IIb / IIIa pada pasien dengan NSTE-ACS


yang menjalani PCI dapat mengurangi kejadian iskemik gabungan, terutama
melalui penurunan MI, meskipun dalam beberapa uji coba ini kontra-
seimbang dengan peningkatan laju perdarahan. Kebanyakan pada percobaan
acak dari penggunaan inhibitor GP IIb / IIIa dilakukan di era sebelum terapi
clopidogrel. Abciximab, bolus ganda eptifibatide, dan bolus dosis tinggi
tirofiban berhasil di tingkat tinggi inhibisi platelet, mengurangi komplikasi
iskemik pada pasien yang menjalani PCI, bisa dilihat pada hasil angiografi dan
clinical outcomes. Sebagai uji coba, inhibitor GP IIb / IIIa umumnya
dikecualikan pada pasien risiko tinggi perdarahan dan direkomendasikan
untuk penggunaan inhibitor GP IIb / IIIa pada pasien tidak berisiko tinggi
komplikasi perdarahan. Meskipun GP IIb / IIIa inhibitor telah digunakan pada
27% dan 55% dari pasien, hasil PLATO (Platelet Inhibition dan Patient
outcomes) dan studi TRITON dari ticagrelor dan prasugrel terdapat data yang
cukup untuk menjadi referensi yang membuat rekomendasi spesifik tentang
penggunaan inhibitor GP IIb / IIIa pada pasien yang diobati dengan salah satu
dari P2Yini.

c. Antikoagulan Terapi pada pasien yang menjalani PCI: Rekomendasi


Kelas I
1) Antikoagulan harus diberikan kepada pasien dengan NSTE-ACS
yang menjalani PCI untuk mengurangi risiko pembentukan
intracoronary dan kateter trombus. (Level of Evidence: C)
2) Intravenous UFH berguna pada pasien dengan NSTE-ACS yang
menjalani PCI. (Level of Evidence: C)
3) Bivalirudin bermanfaat sebagai antikoagulan dengan atau tanpa
pengobatan sebelumnya yang menggunakan UFH pada pasien
dengan NSTE-ACS menjalani PCI (Level of Evidence: B)
4) Dosis tambahan 0,3 mg / kg enoxaparin IV harus diberikan pada
saat PCI untuk pasien dengan NSTE-ACS yang telah menerima
kurang dari 2 dosis subkutan terapi (misalnya, 1 mg/ kg SC ) atau
menerima dosis enoxaparin subkutan terakhir 8 sampai 12 jam
sebelum PCI (Level of Evidence: B)
5) Jika PCI dilakukan saat pasien yang mendapatkan fondaparinux,
tambahan 85 IU/ kg UFH harus diberikan secara intravena segera
sebelum PCI karena risiko kateter trombosis (60 IU / kg IV jika GP
IIb / IIIa inhibitor digunakan dengan UFH dosis berdasarkan waktu
target pembekuan diaktifkan) (Level of Evidence: B)
6) Pada pasien dengan NSTE-ACS, terapi antikoagulan harus
dihentikan setelah PCI kecuali ada alasan kuat untuk melanjutkan
terapi tersebut (Level of Evidence: C)
Kelas IIa
5) Pada pasien dengan NSTE-ACS yang menjalani PCI yang berisiko
tinggi perdarahan, adalah wajar untuk menggunakan bivalirudin
monoterapi dalam preferensi untuk kombinasi UFH dan antagonis
reseptor GP IIb / IIIa ( 310.396). (Level of Evidence: B)
Kelas IIb
6) Kinerja PCI dengan enoxaparin mungkin wajar pada pasien yang
diobati dengan enoxaparin subkutan untuk NSTE-ACS (Level of
Evidence: B)
Kelas III: HARM
1) Fondaparinux tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya antikoagulan
untuk mendukung PCI pada pasien dengan NSTE-ACS karena
peningkatan risiko kateter trombosis (Level of Evidence: B)

Terapi antikoagulan mencegah pembentukan trombus di lokasi cedera


arteri, pada kawat yang akan digunakan untuk kateterisasi pada PCI.
Intravena UFH dan bivalirudin direkomendasi pada kelas I pada pasien
yang menjalani PCI. Pasien yang telah menerima beberapa dosis
enoxaparin subkutan sebelumnya menjalani PCI dalam waktu 8 jam dari
dosis subkutan terakhir umumnya telah menerima antikoagulan yang
memadai untuk menjalani PCI, tetapi tingkat antikoagulasi dapat dikurangi
8 sampai 12 jam setelah dosis subkutan terakhir. Pada pasien tersebut,
serta pada pasien yang telah menerima kurang dari 2 dosis subkutan
enoxaparin, penambahan enoxaparin (0,3 mg / kg IV) pada saat PCI
memberikan antikoagulan tambahan merupakan praktek standarnya.
Pasien yang menjalani PCI> 12 jam setelah dosis subkutan terakhir dari
enoxaparin biasanya ditreatment dengan dosis penuh de novo anti
koagulasi dengan rejimen stabil (misalnya, dosis penuh UFH atau
bivalirudin). Fondaparinux sebagai antikoagulan tunggal selama PCI
sangat berkaitan dengan kateter trombosis, dan penggunaan antikoagulan
yang memiliki aktivitas anti-IIa dianjurkan bila pasien yang diobati dengan
fondaparinux menjalani PCI. Satu rejimen lain yang disarankan adalah
UFH 85 IU / kg IV jika tidak ada pengunaan inhibitor GP IIb / IIIa dan 60
IU / kg IV jika inhibitor GP IIb / IIIa digunakan dengan dosis UFH
diberikan berdasarkan target waktu- pembekuan diaktifkan

d. Waktu penting pengunaan CABG Pasien NSTE-ACS yang berkaitan


dengan penggunaan antiplatelet Agen: Rekomendasi

Kelas I

1) Non-enteric- coated aspirin (81 mg sampai 325 mg setiap hari)


harus diberikan sebelum operasi untuk pasien yang menjalani
CABG (Level of Evidence: B)
2) Pada pasien yang dirujuk penggunaan CABG sebagai elektif,
clopidogrel dan ticagrelor harus dihentikan selama setidaknya 5
hari sebelum operasi (Level of Evidence: B) dan prasugrel
setidaknya 7 hari sebelum operasi (Level of Evidence: C)
3) Pada pasien yang dirujuk untuk CABG segera, clopidogrel dan
ticagrelor harus dihentikan selama setidaknya 24 jam untuk
mengurangi pendarahan besar (Level of Evidence: B)
4) Pada pasien yang dirujuk untuk CABG, short-acting intravena
inhibitor GP IIb / IIIa (eptifibatide atau tirofiban) harus dilanjutkan
selama minimal 2 sampai 4 jam sebelum operasi dan abciximab
selama lebih kurang 12 jam sebelum tindakan untuk membatasi
kehilangan darah dan transfusi (389). (Level of Evidence: B)

Kelas IIb

c. Pada pasien yang dirujuk untuk CABG segera, adalah wajar untuk
melakukan operasi kurang dari 5 hari setelah clopidogrel atau
ticagrelor dihentikan dan kurang dari 7 hari setelah prasugrel telah
dihentikan (Level of Evidence: C)

Didalam rumah sakit CABG dilakukan pada 7% sampai 13% dari


pasien rawat inap dengan NSTE-ACS sekitar sepertiga dari pasien dengan
NSTEMI menjalani CABG dalam waktu 48 jam dari waktu masuk rumah
sakit. Pada pasien ini, CABG dilakukan pada waktu rata-rata 73 jam
setelah penerimaan/ masuk rumah sakit (kisaran: 42-122 jam). Mortalitas
di rumah sakit pada pasien dengan NSTEMI menjalani CABG adalah
sekitar 3,7%.

Rekomendasi untuk manajemen pasien yang diobati dengan agen


antiplatelet oral dan intravena yang menjalani CABG terdapat dalam 2011
CABG CPG. Aspirin pra operasi mengurangi morbiditas dan mortalitas
operatif, dan CABG dapat dilakukan dengan aman pada pasien yang
mendapat terapi aspirin dengan sedikit peningkatan resiko pendarahan.
Penggunaan P2Y12 inhibitor pada pasien dengan NSTE- ACS dikaitkan
dengan peningkatan perdarahan pasca-CABG dan kebutuhan transfusi.
Meskipun dianjurkan bahwa clopidogrel dan ticagrelor dihentikan
setidaknya 5 hari sebelum operasi dan prasugrel minimal 7 hari sebelum
operasi pada pasien dirujuk untuk CABG elektif, waktu tindakan CABG
pada pasien dengan NSTE-ACS yang diobati dengan P2Y 12 inhibitor harus
mampu mencerminkan keseimbangan potensi kenaikan perdarahan lebih
besar terjadi jika tidak menunda operasi 5 sampai 7 hari. Risiko
komplikasi perdarahan lebih besar meningkat ketika CABG dilakukan <24
jam setelah penghentian clopidogrel. Pada pasien yang menjalani CABG 1
sampai 4 hari setelah penghentian clopidogrel, tampak bahwa kejadian
perdarahan yang mengancam jiwa tidak meningkat secara signifikan,
namun peningkatan transfusi darah akan terjadi. Dalam percobaan
TRITON-TIMI 38, kejadian pendarahan CABG lebih tinggi pada pasien
yang diobati dengan prasugrel dibandingkan pasien yang diobati dengan
clopidogrel. Dalam percobaan PLATO, tingkat perdarahan dan transfusi
memiliki rentang yang sama antara pasien yang diobati dengan ticagrelor
dan pasien yang diobati dengan clopidogrel. Pemulihan cepat fungsi
trombosit dalam studi farmakokinetik dari ticagrelor tidak bearti obat ini
memiliki risiko lebih rendah perdarahan atau mengurangi kebutuhan
transfusi dibandingkan dengan clopidogrel ketika CABG dilakukan dawal
(yaitu, <5 hari) setelah penghentian obat.

Perawatan Rumah Sakit Yang Telat, Keluar Rumah Sakit Dan Perawatan Setelah Keluar
Rumah Sakit

1. Prinsip Umum (Terapi kardioprotektif dan Manajemen Gejala)


Tujuan terapi setelah NSTE-ACS adalah untuk mengembalikan pasien ke
aktivitas normal semaksimal mungkin dan menggunakan kejadian akut untuk
mengevaluasi kembali rencana perawatan (terutama gaya hidup dan modifikasi faktor
risiko). Modifikasi faktor risiko secara agresif dapat memperpanjang kelangsungan
hidup menjadi tujuan utama pengelolaan jangka panjang pasien dengan CAD stabil.
Pasien dengan NSTE-ACS merupakan kelompok berisiko tinggi di antaranya
penyakit kardiovaskular sekunder, pencegahan mungkin merupakan cara yang sangat
efektif. Dokter memiliki kesempatan untuk memberikan evidence based perawatan
pada kasus kohort berisiko tinggi dan untuk agresif mengobati proses aterosklerosis
melalui modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis yang efektif. Dalam
kebanyakan kasus, pada pasien rawat inap terapi medis anti-iskemik harus dilanjutkan
setelah pulang, dan antiplatelet / obat antikoagulan harus diubah untuk pasien rawat
jalan. Tujuan dilanjutkannya terapi medis setelah kepulangan ini berpotensi manfaat
bagi prognostis penyakit (terutama ditunjukkan untuk agen antiplatelet, beta blocker,
statin, dan inhibitor sistem renin angiotensin aldosteron, terutama untuk LVEF <0,40).
Tindakan bermanfaat lainnya adalah treatment pengontrol gejala iskemik
(nitrat, beta blockers, CCBs, dan Ranolazine) dan pengobatan faktor risiko utama
seperti merokok, hipertensi, dislipidemia, aktivitas fisik, obesitas, dan diabetes
mellitus. Pemilihan terapi medis harus individual untuk setiap pasien berdasarkan
temuan di rumah sakit, seperti faktor risiko CAD, tolerasi terhadap obat, dan prosedur
intervensi yang baru dilakukan. Jembatan kedelai "ABCDE" (Aspirin, Antianginals,
dan ACE Inhibitor; Beta Blockers dan BP; Kolesterol dan Rokok; Diet dan Diabetes
Mellitus, Pendidikan dan Latihan) berguna mengingatkan pasien dalam membimbing
pengobatan.
2. Regimen medis dan Penggunaan Obat untuk Kepulangan: Rekomendasi
Kelas I
a. Obat diperlukan di rumah sakit untuk mengontrol iskemia harus dilanjutkan
setelah keluar rumah sakit pada pasien dengan NSTE-ACS yang tidak menjalani
revaskularisasi koroner, pasien dengan tidak lengkap atau tidak berhasil
revaskularisasi, dan pasien dengan gejala berulang setelah revaskularisasi. Titrasi
dosis mungkin diperlukan (Level of Evidence: C)
b. Semua pasien pasca-NSTE-ACS harus diberikan sub-lingual atau nitrogliserin
semprot dengan instruksi lisan dan tertulis untuk penggunaannya (Level of
Evidence: C)
c. Sebelum keluar dari rumah sakit, pasien dengan NSTE-ACS harus diberitahu
tentang tanda dan gejala iskemia miokard dan MI dan harus diberikan secara lisan
dan tertulis petunjuk tentang bagaimana dan kapan untuk mencari perawatan
darurat untuk gejala tersebut (Level of Evidence: C)
d. Sebelum keluar dari rumah sakit, pasien pasca-NSTE-ACS dan/ atau pengasuh
yang bertanggung jawab harus diberikan penkes dengan mudah dipahami dan
instruksi lisan dan tertulis tentang jenis obat, tujuan, dosis, frekuensi, efek
samping, dan durasi penggunaannya (Level of Evidence: C)
e. Bagi pasien pasca-NSTE-ACS dan memiliki tanda gejala angina awal yang
berlangsung lebih dari 1 menit, dianjurkan memakai nitrogliserin (sublingual atau
semprot), jika angina tidak mereda dalam waktu 3 sampai 5 menit; segera untuk
mengakses layanan medis darurat (Level of Evidence: C)
f. Jika pola atau tingkat keparahan angina berubah menunjukkan memburuknya
iskemia miokard (misalnya, nyeri lebih sering atau parah atau terjadi dengan
aktivitas ringan atau terjadi saat istirahat), pasien harus menghubungi dokter
segera untuk menilai kebutuhan perawatan tambahan atau pengujian (Level of
Evidence: C)
g. sebelum kepulangan, pasien harus dididik tentang memodifikasi faktor risiko
kardiovaskular (Level of Evidence: C)
3. Perawatan hospitalisasi yang telat dan Posthospital Oral antiplatelet Terapi:
Rekomendasi
Kelas I
a. Aspirin harus dilanjutkan tanpa batas. Dosis pemeliharaan 81 mg/ hari pada pasien
yang diobati dengan ticagrelor dan 81-325 mg/ hari pada semua pasien lainnya
(Level of Evidence: A)
b. Selain aspirin, P2Y12 inhibitor (baik clopidogrel atau ticagrelor) harus dilanjutkan
hingga 12 bulan pada semua pasien dengan NSTE-ACS yang tidak memiliki
kontraindikasi yang disebutkan dalam strategi panduan iskemia. Pilihan meliputi:
Clopidogrel: 75 mg/ hari (Level of Evidence: B) atau
Ticagrelor: 90 mg dua kali sehari (Level of Evidence: B)
c. Pada pasien yang menerima pmasangan stent (bare-metal stent atau DES) selama
PCI pada pasien NSTE-ACS harus mendapatkan terapi P2Y 12 inhibitor yang
diberikan minimum 12 bulan. Dengan pilihan:
Clopidogrel: 75 mg/ hari (Level of Evidence: B)
Prasugrel: 10 mg/ hari (Level of Evidence: B) atau
Ticagrelor: 90 mg/ Hari (Level of Evidence: B)
Kelas II a
a Merupakan hal yang wajar untuk mempertahankan dosis penggunaan aspirin 81
mg/ hari dalam pilihan mempertahankan dosis tinggi pada pasien dengan NSTE-
ACS yang ditindakan invasive lain atau pemasangan stent jantung(Level of
Evidence: B)
b Merupakan hal yang wajar untuk memilih menggunakan ticagrelor daripada
clopidrogel untuk mempertahankan treatment P2Y12 pada pasien dengan NSTE-
ACS yang menjalani tindakan invasive awal atau mengikuti panduan strategi
penanaganan iskemik (Level of Evidence: B)
c Merupakan hal yang wajar untuk memilih prasugrel diatas clopidogrel untuk
mempertahankan treatment P2Y12 pada pasien dengan NSTE-ACS yang menjalani
PCI yang tidak beresiko tinggi komplikasi pendarahan (Level of Evidence: B)
d Jika terdapat resiko kematian karena pendarahan hebat dianjurkan antisipasi
pemberian terapi inhibitor P2Y12 setelah implantasi stent, pemberian awal yang
tidak dilanjutkan dari terapi P2Y12 adalah wajar (Level of Evidence: C)
Kelas II b
a Melanjutkan terapi DAPT selama 12 bulan dapat dianjurkan pada pasien yang
menjalani implantasi stent (Level of Evidence: C)
b Kombinasi oral antikoagulan terapi dan antiplatelet terapi pada pasien dengan
NSTE-ACS
Kelas I
a Durasi dari triple antitrombosis terapi yang terdiri dari Vitamin K antagonis, aspirin
dan receptor inhibitor P2Y12 pada pasien dengan NSTE-ACS harus di minimalkan
untuk mengurangi kemungkinan dari resiko pendarahan (Level of Evidence: C)
b Penghambat pompa proton harus diresepkan pada pasien dengan NSTE-ACS
dengan riwayat pendarahan saluran cerna yang mendapatkan triple antitrombosis
terapi yang terdiri dari antagonis vit K, aspirin dan penghambat reseptor P2Y12
(Level of Evidence: C)
Kelas II a
a Penggunaan penghambat pompa proton merupakan hal yang wajar pada pasien
dengan NSTE-ACS yang tidak diketahui riwayat pendarahan saluran cerna yang
mendapatkan triple antitrombosis terapi yang terdiri dari antagonis vit K, aspirin
dan penghambat reseptor P2Y12 (Level of Evidence: C)
Kelas II b
b Target dari pemberian terapi antikoagulan oral untuk menurunkan International
Normalized Ratio (INR)merupakan hal yang wajar pada pasien dengan NSTE-ACS
yang dimanage dengan aspirin dan inhibitor P2Y12

4. Strategi Penurunan Resiko Pada Pencegahan Sekunder


Pencegahan primer merupakan aspek yang kritis dalam manajemen perawatan
untuk survivor NSTEMI. Menurut penelitian diketahui bahwa morbiditi dan
mortalitas dapat dikurangi dengan melakukan pendekatan yang komprehensif untuk
memodifikasi resiko yang dimilikinya. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
merubah gaya hidup, edukasi tentang faktor resiko, terapi medikal dan ketika
tiperlukan dapat melakukan revaskularisasi.
a. Rehabilitasi Jantung dan Aktivitas Fisik : Rekomendasi
Kelas I
Semua pasien yang memenuhi syarat NSTEMI harus dirujuk ke program
rehabilitasi kardiovaskular yang komprehensif sebelum pulang atau
kepulangan dari rumah sakit atau selama kunjungan pertama pasien rawat
jalan

Program tersebut menyediakan pasien tentang edukasi, menambah latihan


reguler, monitoring faktor resiko dan modifikasi gaya hidup. Latihan erobik dapat
dilakuakan mulai dari 1 sampai 2 minggu setelah kepulangan pada pasien yang
mendapatkan PCI atau CABG. Pelatihan ketahanan ringan sampai sedang dapat
dipilih dan dimulai 2 sampai 4minggu setelah pelatihan erobik. Latihan yang tidak
mendapatkan supervisi dapat menjadikan range denyut nadi adalah 60-75% dari
maksimul prediksi denyut nadi berdasarkan umur pada tes latihan stres. Sebaliknya
untuk latihan yang disupervisi dapat diprediksi mengahasilkan denyut nadi yang
lebih tinggi yaitu 70% sampai 85% dari prediksi maksimum umur. Berjalan sehari-
hari dapat dilakukan setelah kepulangan untuk semua pasien. Aktivitas fisik regular
dapat mengurangi gejala pengakir kardiovaskular, meningkatkan kapasitas
fungsional, memperbaiki faktor resiko yang lain seperti resistensi insulin dan
kontrolglukosa dan melakukan kontrol berat badan termasuk hal yang penting
untuk dilakukan.

b. Edukasi Pasien : Rekomendasi


Kelas I
Pasien harus diedukasi tentang manajemen kolesterol yang tepat, tekanan
darah, berhenti merokok dan manajemen gaya hidup
Pasien yang sudah menjalani PCI atau CABG dapat memperoleh keuntungan
dari modifikasi faktor resiko dan harus mendapatkan konseling tentang
revaskularisasi tidak meniadakan kebutuhan untuk merubah gaya hidup

Hasil dapat didiskusikan dengan pasien, keluarga pasien dan atau advokat
pasien. Hasil tes harus digunakan untuk membantu menentukan kemungkinan
untuk melakukan coronary angiography, kebutuhan untuk pengaturan pada
regimen medis dan pengukuran spesifik pada pencegahan sekunder.

c. Pneumococcal Pneumonia : Rekomendasi


Kelas I
Vaksin Pneumococcal direkomendasikan untuk pasien dengan umur 65 tahun
maupun diatasnya dan pada pasien dengan resiko tinggi dengan penyakit
kardiovaskular
d. NSAIDs : Rekomendasi
Kelas I
Sebelum kepulangan dari rumah sakit, pasien membutuhkan treatment dari
ketidaknyamanan muskuloskeletal kronis harus dikaji dan pendekatan
perawatan yang bertahap harus digunakan untuk memilih perawatan atau tata
laksana. Tata laksana nyeri sebeleum mempertimbangkan NSAIDs harus
dimulai dengan acetaminophen, nonacetylated salicylates, tramadl atau dosis
kecil dari narkotika jika medikasi/ pengobatan dengan obat tersebut tidak
adekuat.

Kelas II a
Rasional untuk menggunakan nonselective NSAIDs, seperti naproxen, apabila
terapi awal dengan acetaminophen, nonacetylated salicylates, tramadl atau
dosis kecil dari narkotika tidak cukup
Kelas II b
NSAID dengan peningkatan derajat relatif COX-2 selektivitas dapat
dipertimbangkan untuk menghilangkan rasa sakit hanya untuk situasi di mana
ketidaknyamanan yang tidak dapat ditoleransi terus berlanjut meskipun upaya
perawatan bertahap dengan terapi dengan acetaminophen, salisilat
nonacetylated, tramadol, dosis kecil narkotika, atau NSAID nonselektif.
Dalam semua kasus, penggunaan dosis efektif yang terendah untuk waktu
terpendek yang mungking didorong pelaksanaannnya.
Kelas III : Harm
NSAID dengan peningkatan derajat relatif COX-2 selektivitas tidak boleh
diberikan pada pasien dengan STEMI dan ketidaknyamanan muskuloskeletal
kronis bila terapi dengan acetaminophen, salisilat nonacetylated, tramadol,
kecil dosis kecil narkotika, atau NSAID nonselektif memberikan pereda sakit
yang dapat diterima
e. Terapi Hormon : Rekomendasi
Terapi hormon dengan estrogen dan progestin atau estrogen saja, tidak boleh
diberikan sebagai obat baru untuk pencegahan primer dari kejadian koroner kepada
wanita post menopause setelah NSTEMI dan tidak boleh dilanjutkan pada
pengguna sebelumnya kecuali manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan
kerugian yang timbul
e Vitamin antioksidan dan asam folat: Rekomendasi

Kelas II : Tidak Memberikan Manfaat


suplemen vitamin antioksidan (misalnya, vitamin E, C, atau beta karoten) tidak
boleh digunakan untuk pencegahan sekunder di pasien dengan STEMI
Asam folat, dengan atau tanpa vitamin B6 dan B12, tidak harus digunakan
untuk pencegahan sekunder pada pasien dengan NSTEMI
f Rencana Perawatan untuk Pasien Dengan NSTE-ACS: Rekomendasi
Kelas I
Sistem perawatan setelah dari rumah sakit dirancang untuk mencegah pasien
kembali dirawat di rumah sakit harus digunakan untuk memfasilitasi transisi ke
arah efektifiitas pasien, perawatan pasien rawat jalan yang terkoordinasi untuk
semua pasien dengan STEMI
Rencana perawatan berbasis bukti perawatan (misalnya, GDMT) yang
mempromosikan kepatuhan pengobatan, tepat waktu tindak lanjut dengan tim
kesehatan kegiatan diet dan fisik yang sesuai, dan sesuai dengan intervensi
untuk pencegahan sekunder harus diberikan kepada pasien dengan NSTE-ACS
Selain petunjuk rinci untuk latihan sehari-hari, pasien harus diberikan instruksi
khusus tentang kegiatan (misalnya, mengangkat, naik tangga, pekerjaan
halaman, dan kegiatan rumah tangga) yang diperbolehkan dan yang untuk
menghindari. menyebutkan secara spesifik dimulainya kembali mengemudi,
kembali bekerja, dan aktivitas seksual
Sebuah vaksinasi influenza tahunan direkomendasikan untuk pasien dengan
penyakit kardiovaskular

Sistem untuk Mempromosikan Koordinasi Perawatan


Terdapat perubahan yang berarti dan sesuai yang dibutuhkan untuk
memperoleh perawatan yang aman bagi pasien. Contohnya adalah standar keamanan
pasien setelah AMI termasuk perbaikan komunikasi antar dokter, perawat dan
farmasis, pengobatan rujukan, transisi antara kehidupan sehari-hari dengan seting
perawatan dan dokumentasi yang konsisten. Terdapat pula perawtan berpusat pada
pasien yang dinamakan Preferred Practices for Care Coordination yang
memberikan spesifikasi yang komprehensif yang dibutuhkan untuk mencapai
kesuksesan perawatan untuk pasien dan keluarganya. Contohnya adalah manajemen
kolesterol darah, obesitas dan gaya hidup.
Kelompok Pasien Spesial/Khusus (Special Patient Groups)
1. NSTEMI pada Pasien Lanjut Usia : Rekomendasi
Kelas I
a. pasien yang lebih tua atau lansia dengan NSTEMI harus ditangani dengan
GDMT, strategi invasif awal, dan revaskularisasi yang sesuai atau tepat
b. Farmakoterapi pada pasien yang lebih tua dengan NSTEMI harus individual dan dosis
disesuaikan dengan berat badan dan/atau CrCl untuk mengurangi efek samping yang
disebabkan oleh perubahan yang berkaitan dengan usia di farmakokinetik/dinamika,
volume distribusi, komorbiditas, interaksi obat, dan kepekaan obat meningkat
c. keputusan Manajemen untuk pasien yang lebih tua dengan NSTEMI harus berpusat
pada pasien, dan mempertimbangkan preferensi pasien/tujuan, komorbiditas, status
fungsional dan kognitif, dan harapan hidup
Kelas II a
a. Bivalirudin, daripada inhibitor GP IIb/IIIa ditambah UFH, adalah
wajar diberikan pada pasien yang lebih tua dengan NSTEMI, pada orangang awal
terkena maupunn pada PCI, mengingat khasiat serupa tetapi risiko perdarahan kurang
b. Hal ini wajar untuk memilih CABG dibandingkan atau melebihi PCI pada pasien
yang lebih tua dengan NSTEMI yang merupakan calon yang tepat, terutama orang-
orang dengan diabetes mellitus atau kompleks 3-pembuluh darah CAD (Mis,
SYNTAX skor> 22), dengan atau tanpa keterlibatan LAD arteri proksimal, untuk
mengurangi kejadian penyakit kardiovaskular dan penerimaan kembali pasien di
rumah sakit dan meningkatkan harapan hidup
2. HF : Rekomendasi
Kelas I
a. Pasien dengan riwayat HF dan NSTEMI harus dirawat sesuai dengan panduan
stratifikasi resiko yng sama dan rekomendasi untuk pasien HF
b. Pemilihan strategi revaskularisasi harus berdasarkan atas tingkatan, keparahan, dan
luasnya CAD; terkait lesi jantung; luasnya disfungsi LV; dan riwayat prosedur
revaskularisasi sebelumnya
3. Aritmia
Aritmia venttrikel biasanya diawal setelah onset NSTEMI dan tidak semuanya
memerlukan interrvensi. Mekanisme dari aritmia termasuk didlamnya addalah iskemia
yang berlanjut, abnormalitas hemodinmika dan elektrolit, re-entry dan ditingkatkan
seccara otomatis. Hampir 5-10% dari pasien yang dirawat di rumah sakit akan
mengalami ventrikeel takikardi atau ventrikel fibrilasi, biasanya dalam 48 jam setelah
kejadian. Insdensi terjadinya ventrikel ibrilasi tampaknya mulai menurun dalm beberapa
tahun terkhir dari> 4% sampai <2%, yang 59% dari pasien memiliki non-Q-wave MI.
studi dari 277 pasien berturut-turut dengan NSTEMI yang kateterisasi jantung menjalani
dalam waktu 48 jam ditemukan VT / VF terjadi di 7,6% dari pasien, 60% dari yang
dikembangkan dalam waktu 48 jam setelah penerimaan. Faktor resiko VT / VF termasuk
HF, hipotensi, takikardia, shock, dan TIMI aliran kelas rendah. Pengobatan terdiri dari
defibrilasi langsung atau kardioversi untuk VF atau pulseless berkelanjutan VT.
administrasi awal beta bloker berhubungan dengan penurunan insidenssi ventrikel
fibrilasi.
4. Shock Kardiogenik : rekomendasi
Kelas I
Revaskularisasi awal direkomendasikan pada paien yang tepat yaitu pasien dengan
shock kardiogeenik yang disebakan kaeena kegagalan pompa jantung setelah
NSTEMI
5. Diabetes Mellitus : Rekomendasi
Kelas I
Perawatan atau pengobatan pada fasse akut dari NSTEMI dan keputusan untuk
melakukan uji stess, angiografi dan revaskularisasi harus mirip pda pasien dengan
atau tanpa diabetes mellitus
6. Terapi Adjunctive
Sebuah meta-analisis dari efek GP IIb/IIIa reseptor platelet inhibitor (Abciximab,
eptifibatide, dan tirofiban) pada kematian di NSTEMI mengungkapkan bahwa untuk
kelompok pasien seluruh, GP sebuah inhibitor IIb/IIIa dikaitkan dengan penurunan
mortalitas 30-hari mortalitas, keuntungn ini terutama pda pasien dengan diabetes mellitus
dengan PCI. Bivalirudin ditambah inhibitor GP IIb/IIIa menghasilkan peningkatan yang
sama dari iskemia komposit dibandingkan dengan heparin ditambahinhibitor GP IIb/IIIa.
Bbalirudin sendiri berhubungan dengan derajat peningkatan yang sama dari iskemia
kompisit tetapi pendarah utama sedikit.

7. Post-CABG
Kelas I
Pasien dengn CABG seeelumnya dan NSTEMI harus mendapatkan terapi
antiplatelet dan antikoagulan berdasarkan pada GDMT dan harus dipertimbangkan
dengan kut untuk strategi invasif awal karena meningkaktkn resiko
8. Perioperatif NSTEMI berhubungan dengan Pembedahan Noncardia : Rekomendsi
Kelas I
Pasien yang dalam perkembangan NSTEMI yang diikuti dengan pembedahan
noncrdiac harus mendpatkan GDMT seperti direkomendassikan untuk pasien pada
populasi ggeneral tetapi dengan modifikasi dengan pprosedur pembedahan noncardiac
dan keparahan dari NSTEMI
Pada pasien yang dalam perkembangan NSTEMI setelah pembeahan noncardia,
manajemenharus lngsung pada penyebab awalnya
9. CKD : Rekomendsi
Kelas I
CrCl harus diperkirakan pada pasien dengan NSTEMI, dan dosis obat renally yng
diberikan harus disesuaikan menurut data farmakokinetik untuk pengobatan yang
spesifik
Pasien yang menjalani angiografi koroner dan LV harus menerima hidrasi yang
memadai
Kelas IIa
Strategi invasif adalah wajar pada pasien dengan CKD ringan
(Tahap 2) dan sedang (tahap 3)
10. Terapi Antiplatelet
Pasien CKD dengan ACS memiliki resiko yang lebih untuk komplikasi iskemik,
termasuk didalamnya adalah trombosis dan kejadian iskemik post-PCI. Selain itu juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan hebat. Pasien dengan CKD berat
menunjjukkan adanya reaktivitas residual platelet walaupun tta laksana dengan
clopidogrel independen dari adanya diabeetes mellitus. Hiporesponsif pada nopyridines
berhubungan dengan peningkatn efek lain pada kardiovaskular.

11. Wanita : Rekomendasi


Kelas I
Wanita dengan NSTEMI harus diatur dengan terapi farmkologi yang sama seperti
laki-laki untuk perwatan akut dan untuk pencegahan sekunder, dengan perhatian
penmbahan dan/atau dosis total renlly dari antiplatelet dan antikoaguln gen untuk
mengurrangi resiko perdarahan (Level of Evidence B)
Wanita dengan NSTEMI dan disertai dengn resiko tinggi (troponin positif) haus
melakukan strtegi invasi lebih awal (level of evidence A)
Kelas II a
Revaskularisasi miokardial wajar diberikan kepad wwanita hamil dengn NSTEMII
apbi strategi panduan iskemi tidak efekttif untuk manajemen komplikasi yang
mengancam jiwa (level of evidence C)
Kelas III : No Beneit (tidak ada manfaat)
Wanita dengan NSTEMI dan diikuti degan resiko ringan tidak harus melakukan
pengobatan invasif lebih awal karena kurangnnya manfat yang diperoleh dan
kemungkinan untuk dapat menyebbkan bahaya pad pasien (Level o evidence B)

Wanita dengan semua kelompok umur memiliki angka kejadian yang lebih
besar di rumah sakit dan komplikasi jangka panjang dari NSTEMI dibandingkan pda
laki-laki termasuk perdarahan, MI baru, stroke dan perawatan kembali dirumah sakit..
wanit dilaporkan memiliki gejala atipical yang lebih banyak dibandingkan dengan
laki-laki.
12. Anemia, Perdarahan dan Transfusi : Rekomendasi
Kelas I
Semua pasien dengan nstemi harus dievaluasi untuk resiko perdarahan (level of
evidence C)
Terapi antikoagulan dan antiplatelet harus diukur dengan sesuai dan haru diberikan
ketika dibutuhkan untuk CKD untuk menurunkan resiko perdarahan pada pasien
dengan NSTEMI (leveel of evidence B)
Kelas III : No benefit (tidak ada manfaat)
Sebuah strategi rrutin transfusidarah pad pasien yang secara hemodinamik stabil
dengan NSTEMI dan level hemoglobin lebih tinggi dari 8 g/dL tidak
direkomendasikan (level of evidence B)
13. Thrombocytopenia
Insiden terjadinya thrombocytopenia pada pasien dengan NSTEMI bervasiasi dari 1-
13%. Sepertigga dari pasien diberikan terapi prolonged heparin dapat mengembangkan
atau menyebabkan thrombocytopenia termsuk penghitungan jumlah platelet rendah,
umur lebih tua ACS, pembedahan jantung dan embuluh darah, intravena UFH atau
kkeduanya UFH dan LMWH, selama terapi heparin, dan rendahnya BMI. Resiko
keadaan ini meningkat pada pasien yang mendaatkan pengobatan dengn abciximab dan
lebih sedikit dengn eptifibate atau tirofiban.
14. Penggunaan Kokain dan Methamphetamine : Rekomendasi
Kelas I
Pasien dengan NSTEMI dan memiliki riwayat bbaru penggunaan kokain atau
methamphetamine hrus dirawat dengan cra yang sama dengan pasien bukn pemakai.
Ha yang berbeda adalah pada pasien dengan tanda-tanda dari intoksikasi akut
(euforia, takikardi, dan/atau hipertensi) dan penggunaan beta blocker, kecuali pasien
menerima terraoi vasodilator koroner (level of evidence C)
Kelas IIa
Benzodiazepines sendiri atau kombinasi dengan nitroglycerin wajar diberikan atau
rasional diberikan untuk manajemen hipertensi ddan takikrdi pada pasien dengan
NSTEMI dan tanda-tanda intoksikasi akut kokain atau methampethamine (level of
evidence C)
Kelas III : Harm (Bahaya)
Beta blocker tidak boleh diberikan kepd pasien dengan ACS dengan riwayat
penggunaan baru kokain atau methampethmine yang menunjukkan adanya gejalan
intoksikasi akut karena resiko potensial terjadinya spasme koroner (level of evidence
C)
15. Angina Vasospastik : Rekomendasi
Kelas I
CCBs sendiri atau kombinasi dengan penggunaan nitrat yang waktu paruhnya jngka
panjang berguna untuk pengobatn dan mengurangi frekuensi dri angina vsospastik
(level of evidence B)
Pengobatan dengan inhibitor HMG-CoA reductase berhenti merokok dan tambahan
modifikasi faktor resiko atherosclerosis berguna pada pasien dengn angina vsospastik
Angiografi koroner (invasif atupun non invasif) direkomendasikan pada pasien dengn
nyeri dada episodik yang diikuti dengn transient ST-elevasi untuk mengetahui adanya
CAD osbtruktif yng buruk (level of evidence C)
Kelas II b
Penilaian provokatif selama angiografi koroner invsif dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan dicurigai mengalami angina vasospastik ketika kriteria klinis dn
penilaian non invasif ggal untul menegakkan diagnosa (level of evidence B)
Nyeri dada angina vasospastik (Prinzmetal) jenisnya muncul tnpa provokasi yang
berhubungan dengan ST-elevasi dan biasanya dipecahkan secara spontan atau dengan
nitrogliserin dengan waktu paruh yang cepat
16. ACS dengan Secara Angiograsi Memiliki Arteri Koroner Normal
Kelas II b
Apabila angiografi koroner menunjukkan arteri koroner normal dan dicurigai adanya
disfungsi endhotel, pengkajian prikologikal invasif seperti pengukuran aliran koroner
dpat dipertimbangkn (level of evidence B)
17. sttress (takotsubo) Carrdiomyopathy Rekomendsi
Kelas I
Kardiomiopati strres harus dipertimbangkan pda pasien yang menunjukkan ACS yng
jelas dan saat pangiografi menunjukkan CAD non obstruktif (level of evidence C)
Pencitraan tau imging dengan ventrikulografi, ekokardiogrfi, atau magnetic
resonance imaging harus dilakukan untuk mengkonfirmasi atau menyingkirkan
diagnosa dari stres karddiomiopati tersebut (level of evidencce B)
Pasien harus dirawat dengan agen konvensional (ACE inhibitor, beta blocker, aspirin,
dan diuretik) yang diindikasikan apabila hemodinamikanya stabil (level of evidence
C)
Antikoagulan harus diberikan pada pasien yang mengalami LV thrombi (level of
evidence C)
Kelas II a
Wajar atau rasional untuk menggunakan cathecolamin untuk pasien dengan gejala
hiptensi apabila obstruksi aliran tract atau saluran tidak dijumpai (level of evidence C)
Penggunaan IABP rasional untuk pasien dengan shock refraktori
Rasional untuk menggunakan beta blocker dan agen alpha adrenergik pada pasien
dengan obstruk s aliran tract
Kelas II b
Antikoagulasi profilaksis dapat dipertimbangkan untuk menghalangi perkembangan
dari trhombus LV
18. Obesitas
Obesitas berhubungan dengan kondisi seperti dislipidemia, diabetes mellitus,
hipertensi, aritmia, dan HF yang berefek merugikan pada outcome ACS. Pada percobaan
MADIT-II (Multicenter Automatic Defiblirator Implementation), terdapat hubungan
terbalik antara BMI dan kedua penyebab dari mortalitas dan kematian jantug mendadak
pada pasien dengan disfungsi LV setelah MI. Standar pendekatan untuk penurunan berat
badan pada pasien obesitas biasanya tidak berhasil untuk penurunan besar berat badan.
Sebuah studi penurunan berat obesitas dan pasien obesitas dengan AMI mengakibatkan
kehilangan berat badan hanya 0,5% pada pasien obesitas dan 3,5% di bukan pasien
obesitas setelah 1 tahun.
19. Pasien dengan Terapi Antineoplastic/Immunosuppressif
Terapi Antineoplastic/Immunosuppressif dapat berkontribusi untuk perkembangan
NSTEMI. Contohnya adalah agen antineoplastik seperti geemcitabine, sorafenib
sunitinib, dan 5-fluorouracil mempunyai hubungan dengan spasme arteri koroner atau
stenosis. Trastuzumub dan obat anti kanker lain yang mungkin dapat mengubah level
biomarker. Agen antineoplastik dapat meenyebabkan perubahan pada dinding arteri dan
modulator darri inflamasi dapat menyebaban atau mengarahkan pada aterogenesis. Padda
pasien yang meendapatkan agen teersebut, bijaksana untuk mengkomunikasikan dengan
dokter terkait pereesepa untuk kebutuhan keberlanjutan perawatannya selama NSTEMI
dan perawatan selanjutnya.

Kualitas Perawatan dan Hasil Untuk Penggunaan Ukuran Kinerja dan Registriees
a Penggunaan dari Ukuran Kinerja dan Registries : Rekomendasi
Kelas II a
Partisipasi dalam kualitas kualitas perawatanndata standar dirancang untuk melacak
dan mengukur hasil, komplikasi dan pengukuran performa atau kinerja dapat
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dai NSTEMI

2 Guideline 2015
Guideline kedua yang dibahas dalam makalah ini adalah guideline yang diterbitkan ESC
tahun 2015 yang berjudul 2015 ESC Guidelines for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Guideline
tersebut menjelaskan tentang :
a Definisi, Patofisiologi dan Epidemiologi
Berdasarkan pemeriksaan EKG terdapat 2 kelompok yang dapat dibedakan yaitu :
1) Pasien dengan nyeri dada akut dan elevasi segmen ST persisten (>20 menit)
Kondisi ini terjadi karena elevasi segmen ST dan mencerminkan terjadinya oklusi
koroner akut yang total. Pengobatan terbaik yang dapat dilakukan pada pasien ini
adalah dengan segera melakukan reperfusi oleh angioplasti primer atau terapi
fibrinolitik
2) Pasien dengan nyeri dada akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten
Perubahan EKG dapat termasuk elevasi transient segmen ST, depresi segmen ST
persisten atau transient, inversi gelombang T, gelombang T datar atau flat atau EKG
dapat pula normal.
a) Definisi Universal untuk Infark Myocardial
Acute myocardial infarction (MI) didefinisikan sevagai nekrosis
cardiomyocyte pada setting klinik konsisten dengan iskemia myocardial akut.
Kombinasi kriteria yang diperlukan untuk memenuhi diagnosis Ami yaitu
peningkatan dan/atau penurunan biomarker jantung, troponin jantung lebih
disukai karena tingkat sensitivitasnya tinggi, dengan setidaknya 1 nilai berada
diatas 99 percentile dari batas atas referensi dan setidaknya 1 dari gejala
o Gejala iskemia
o Baru atau diduga baru terdapat perubahan yang signifikan pada gelombang atau
segmen ST atau terdapat block pada bundle branch pada ke-12 lead EKG
o Perkembangan patologis dari gelombang Q pada EKG
o Bukti pencitraan baru atau diduga baru hilangnya viable myocardiuum atau
gerakan dindingnya abnormal
o Thrombus intracooroner yang terdeteksi pada angiografi atau otopsi

(1) Tipe 1 MI
karakteristik jenis ini adalah adanya ruptur plaq aterosklerosis, ulserasi,
fissura, erosi atau diseksi yang menyebabkan trombus intraluminal
trombus dalam satu atau lebih arteri koroner yang menyebabkan penurunan
aliran darah miokard dan / atau embolisasi distal dan selanjutnya
nekrosis miokard.
(2) Tipe 2 MI
Jenis inni terjadi pada kondisi ketidakstabilan plak koroner berkontribusi
terhadap ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke dalam miokard dan
kebutuhannya.
(3) unstable angina pada pemeriksaan troponin jantung
unstable angina atau angina yang tidak stabil didefinisikan sebagai iskemia
miokard pada saat istirahat atau minimal tenaga tanpa adanya nekrosis
cardiomyocyte.
b Diagnosis
1) presentasi klinis
Nyeri angina pada NSTEMI pasien dapat mengalami gejala klinis sebagai berikut :
a) adanya nyeri anginal yang lama atau panjang atau prolonged saat istirahat (>20 menit)
b) onset baru angina (de novo) (kelas 1 atau 2 dari klasifikasi Canadian
Cardiovascular Society)
c) destabilisasi baru-baru angina sebelumnya stabil dengan setidaknya
Karakteristik angina Cardiovascular Society Kelas III Kanada
(Angina crescendo); atau
d) post MI-angina
2) Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik pada orang yang mengalami NSTEMI sering kali
tidak terlihat. Tanda adanya kegagalan jantung atau hemodinamik atau
ketidakstabilan kelistrikan membutuhkan diagnosa dan treatment yang
cepat.jantung auskultasi dapat menghasilkan suara murmur sistolik
karenaregurgitasi iskemik mitral, yang berhubungan dengan prognosis yang buruk,
atau aorta stenosis (meniru ACS) 0,25 Jarang, murmur sistolik mungkin
menunjukkan komplikasi mekanik (misalnya ruptur otot papilaris atau ventrikel
cacat septum) dari subakut dan mungkin tidak terdeteksi MI. Pemeriksaan fisik
dapat mengidentifikasi tanda-tanda penyebab non-koroner nyeri dada nyeri
(misalnya emboli paru, sindrom aorta akut, myopericarditis, stenosis aorta) atau
patologi extracardiac patologi (misalnya pneumothorax, pneumonia atau penyakit
muskuloskeletal).
c. Alat diagnostik
1) Elektrokardiogram
Penilaian awal didasarkan pada integrasi kemungkinan rendah dan/atau
kemungkinan tinggi dari presentasi klinis (misalnya, gejala, tanda-tanda vital),
12-lead EKG, dan troponin jantung. Proporsi dari diagnosis akhir berasal dari
integrasi parameter ini divisualisasikan dengan ukuran masing-masing kotak.
Jantung lain termasuk, antara lain, miokarditis, Tako-Tsubo kardiomiopati,
atau takiaritmia. Non-jantung mengacu pada penyakit toraks seperti
pneumonia atau pneumotoraks. troponin jantung harus ditafsirkan sebagai
penanda kuantitatif: semakin tinggi tingkat, semakin tinggi kemungkinan
untuk kehadiran infark miokard. Pada pasien dengan serangan jantung atau
ketidakstabilan hemodinamik yang diduga berasal dari kardiovaskular,
echocardiography harus dilakukan / ditafsirkan oleh dokter yang terlatih segera
setelah EKG 12-lead. Jika evaluasi awal menunjukkan diseksi aorta atau
emboli paru, D-dimer dan multi-detektor computed tomography angiography
dianjurkan sesuai dengan algoritma khusus

Pemeriksaan EKG 12 lead merupakan lini pertama alat diagnostik dalam


penilaian pasien yang dicurigai mengalami ACS. Direkomendasikan bahwa
pemeriksaan ini dilakukan dalam 10 menit pertama pasien datang ke
pelayanan gawat darurat atau idelanya pada saat kontak atau berhubungan
langsung dengan pelayanan medis darurat di setting pre hospital dan telah
diinterpretasikan segera oleh dokter.
Pemeriksaan EKG pada orang NSTEMI dapat normal pada sekitar lebih
dari 1/3 pasien, karakteristik abnormalnya yaitu depresi ST, elevasi transient
ST dan perubahan gelombang W. Jika lead standar tidak dapat disimpulkan
dan pasien memiliki tanda-tanda atau gejala sugestif dari iskemia miokard
yang sedang berlangsung, tambahan lead harus dicatat; oklusi arteri
sirkumfleksa kiri atau kanan ventrikel MI dapat dideteksi hanya dalam V7-V9
dan V3R dan V4R, masing-masing. Pada pasien dengan tanda-tanda sugestif
dan gejala, temuan dari elevasi ST persisten menunjukkan STEMI, yang
menunjukkan untuk segera reperfusion. Direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan 12 lead lengkap untuk kasus gejala persisten atau berulang atau
ketidakpastian diagnostik. Pada pasien dengan block bundle branch atau paced
rhytm, pemeriksaan EKG tidak membeanu dalam diagnosis NSTEMI.
2) Biomarkers
Biomarker melengkapi penilaian klinis dan 12 lead pada diagnosis,
stratifikasi resiko dan pengobatan pasien yang dicurigai NSTEMI. Pengukuran
biomarker dari cedera cardiomyocyte, sensitifitas tinggi troponin jantung,
merupakan hal utama pada semua pasien yang dicurigai NSTEMI. Troponin
jantung lebih sensitif dan tanda atau marker spesifik dari cedera
cardiomyocyte dibandingka dari creatinin kinase (CK), isoenzimnya MB dan
myoglobin. Apabila presentasi klinis sesuai dengan myocardial ischemia,
selanjutnya peningkatan secara dinamis dari troponin jantung diatas 99th
persentil dari individu yang sehat mengindikasikan MI. Pada pasien dengan
MI, level troponin jantung meningkat secara cepat (misalnya biasanya dalam 1
jam apabila menggunakan pemeriksaan dengan sensitifitas tinggi) setelah
onset gejala dan tetap meningkat berdasarkan variabel waktu (biasanya
beberapa hari).
Terdapat banyak biomarker tambahan yamng dievaluasi untuk
mendiagnosis NSTEMI, hanya CK-MB dan copeptin merupakan plihan tepat
untuk melihat relevansi klinis. CK-MB menunjukkan penurunan depat setelah
MI yang dibandingkan dengan troponin jantung dan dapat menyediakan nilai
tambahan untuk waktu cedera mikard dan deteksi dari reinfarksi dini.
3) Algoritma rule in dan rull out

Berdasarkan sensitivitas yang lebih tinggi dan akurasi diagnostik untuk


mendeteksi adanya MI, time interval untuk pengkajian troponin jantung dapat
dipependek dengan menggunakan pemeriksaan sensitivitas tinggi. Hal ini
dapat mengurangi secara substansial penundaan diagnosis, sehingga pasien
dapat tinggal di departemen gawat darurat lebih pendek. Direkomendasikan
untuk menggunakan algoritma 0 h/3 jam. Sebagai alternatif, pengkajian 0
jam/1 jam direkomendasikan ketika pemeriksaan troponin jantung sensitivitas
tinggi dengan algoritma yang valid tersedia. Algoritma 0 jam/ 1 jam terdiri dari
2 konsep yaitu troponin jantung sensitivitas tinggi adalah variabel lanjut dan
kemungkinan MI meningkat dengan peningkatan nilai troponin jantung
sensitivitas tinggi, serta perubahan absolut dini dari levelnya dalam 1 jam
dapat digunakan untuk pengganti untuk perubahan selama 3-6 jam dan
menyediakan nilai diagnostik tambahan dari pengkajian troponin jantung.

Angka 0 jam dan 1 jam menunjukkan waktu pemeriksaan darah pertama


dilakukan. Diagnosa NSTEMI dapat dikesampingkan apabila pemeriksaan
troponin jantung sensitivitas tinggi pada pemeriksaan memiliki onsentrasi
yang rendah. Peningkatan yang signifikan dari troponin janutng dapat di jam
pertama dapat digunakan sebagai kemungkinan terjadinya NSTEMI.
Algoritma ini dapat digunakan apabila nyeri dada dengan onser 3 jam.
Algoritma tersebut harus diintegrasikan dengan hasil pengkajian klinis yang
lengkap dan pemeriksaan EKG 12 lead seta pengulangan pengambilan sample
darah dianjurkan apabila nyeri dada berlanjung atau berulang.
Angiografi koroner harus dipertimbangkan pada pasien dengan terdapat
kecurigaan tinggi NSTEMI, sedangkan pada pasien dengan kemungkinan
rendah atau sedang untuk mengalami keadaan tersebut, computed tomography
(CT) angiografi koroner yang harus dipertimbangkan. Tidak ada pemeriksaan
diagnostik di departemen gawat darurat diindikasikan ketika kondisi alternatif
seperti respon cepat denyut ventrikel terhadap fibrilasi atrium atau
hypersensitif kegawat daruratan telah diidentifikasi.
Pada rapid rule out, 2 pendekatan alternatif untuk algoritma 0 jam/ 1 jam
atau 0 jam/ 3 jam telah secara adekuat divalidasi dan dipertimbangkan.
Pertama adalah pada 2 jam pertama mengkombinasikan skor resiko
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) dengan EKG dan troponin
jantung sensitivitas tinggi merupakan pilihan yang aman hingga 40% pasien.
Kedua, strategi dual marker yaitu mengkombinasikan level normal troponin
jantung dengan level rendah dari copeptide (<10 pmol/L) pada presenasi
menunjukkan hasil bahwa nilai terjadinya MI sangat negatif, hindari
kebutuhan pemeriksaan serial pada pasien tertentu. Ketika menggunakan
algoritma tertentu, terrdapat 3 hal yang harus diperhatikan yaitu
a) algoritma harus hanya digunakan berhubungan dengan seluruh informasi
klinis yang tersedia, termasuk di dalamnya yaitu pengkajian lengkap
karakteristik nyeri dada dan EKG
b) pada pasien yang menunjukkan gejala lebih awal (dalam 1 jam pertama
dari onset nyeri), level troponin jantung kedua harus sudah diperoleh pada
3 jam, karena berdasarkan waktu release troponin dependen
c) peningkatan troponin jantung telat terjadi pada sekitar 1 % pasien,
pemeriksaan troponin jantung serial harus dilakukan apabila kecurigaan
secara klinis masih tinggi atau kapapnpun pasien mengalami nyeri dada
berulang.
Pemeriksaan troponin jantung sensitivitas tinggi juga menjaga akurasi
diagnostik yang tinggi pada pasien dengan disfungsi renal. Untuk menentukan
pilihan terbaik di klinis, pemeriksaan spesifik optimal cutt of levels harus lebih
tinggi pada pasien dengan disfungsi renal.
4) Non invasive imaging
a) Evaluasi Fungsional
Transthoracic echocardiography harus secara rutin tersedia di ruang
gawat darurat dan unit nyeri dada dan dilakukan atau diinterpretasikan oleh
dokter terlatih pada semua pasien yang dirawat inap untuk NSTEMI.
Pemeriksaan ini berguna untuk mengidentifikasi abnormalitas yang
mungkin dari myocardial ischemia atau nekrosis (misalnya segmental
hypokinesia atau kinesia). Tidak adanya abnormalitas signifikan pada
pergerakan dinding, gangguan perfusi miokard dideteksi dengan
menggunakan contrast echocardiography atau mengurangi fungsi regional
menggunakan strain atau regangan dan pencitraan atau imaging laju strain
dapat memperbaiki nilai diagnosa dan prognosis dari conventional
echocardiography. Echocardiography juga dapat membantu untuk
mendeteksi alternatif patologi yang berhubungan dengan nyeri dada, seperti
diseksi akut aortic, efusi perikardium, stenosis aortic valve, dilatasi ventikel
kanan, dan lain-lain. Selain itu, alat ini meruakan alat diagnostik yang dapat
menjadi pilihan bagi pasien yang tidak seimbang hemodinamika tubuhnya
yang dicurigai berasal dari jantung. Evaluasi dari fungsi sistolik ventrikel
kiri (LV), paling terakhir dilakukan sebelum pasien pulang penting untuk
dilakukan. Hal ini untuk memprediksi prognosis dan echocardiography
dapat memberikan informasi ini.
Pasien tanpa perubahan iskemik pada pemeriksaan EKG 12 lead dan
troponin jantung negatif yang bebas nyeri dada selama beberapa jam,
pencitraan stress dapat dilakukan selama pengobatan atau setelah pasien
pulang. Pencitraan stres lebih disukai dibandingkan dengan latihan EKG
disebabkan karena akurasi diagnostiknya lebih besar. Penambahan kontras
dapat meningkatkan deteksi batas endocardial yang dapat memfasilitasi
atau menunjukkan adanya deteksi iskemia.
Cardiac magnetic resonance (CMR) dapat mengkaji abnormalitas
perfusi dan pergerakan dinding, dan pasien yang menunjukkan nyeri dada
akut dengan normal stres CMR mempunyai prognosis rrendah dan sedang.
CMR juga dapat digunakan untuk mendeteksi danya luka jaringan
(menggunakan late gadolium enhancement) dan dapat membedajan hal ini
dari infark sebelumnya. Selain itu, CMR juga dapat memberikan perbedaan
diagnosis antara infark dan myocarditid atau tako-tsuboro cardiomyopathy.
Perfusi
b) Evaluasi anatomi
Multi detector computed tomography (MDCT) memungkinkan untuk
visualisasi dari arteri koroner dan scan normal kecuali CAD. MDCT
berhubungan dengan peningkatan penggunaan angiografi invasif. MDCT
angiografi koroner dapat digunakan untuk menyingkirkan CAD, karena
pemeriksaan ini tidak berguna atau tidak bermanfaat bagi pasien CAD.
Kekurangan lain dari MDCT yaitu kalsifikasi buruk (skor kalsium nya
tinggi) dan meningkatkan atau menyebabkan denyut jantung irreguler.
Selanjutnya pencitraan dengan CT dapat secara efektif menyinngkirkan
penyebab lain dari nyeri dada akut yang jika tidak diobati terkait dengan
tingginya angka kematian, emboli paru yaitu, diseksi aorta dan ketegangan
pneumothorax.

d. Diagnosis Pembeda (Differential Diagnosis)


Pada pasien di departemen gawatdarurat terdapat banyak pasien dengan nyeri
dada akut yang disebabkan oleh berbagai penyebab, sehingga bukan penyebab
jantung saja. Kondisi ini harus diatasi dengan menggunakan diagnosis pembeda
untuk NSTEMI karena potensi untuk mengancam nyawa, namun masih dapat
dilakukan pengobatab, termasuk diseksi aorta, embolisme paru dan tension
pneumothorax. Echocardiography harus dilakukan segera pada semua pasien
dengan ketidakstabilan hemodinamik dari kecurigaan kardiovaskular.
X-ray dada juga direkomendasikan untuk semua pasien yang NSTEMI untuk
mempertimbangkan adanya pnemonia, pneumothoraz, fraktur iga atau thoracic
disorder. Stroke dapat diikuti dengan perubahan EKG, abnormalitas dari gerakan
dinding dan peningkatan dari troponin jantung. Sebagian besar pasien
menunjukkan adanya nyeri dada akut di departemen kegawat daruratan mempunyai
kondisi atau disebabkan oleh bukan jantung dan hanya disebabkan oleh
ketidaknyaman dada. Karakteristik nyeri pada pasien dapat membantu untuk
menentukan identifikasi awal pasien.

e. Penilaian risiko dan hasil


1) Presentasi klinis, elektrokardiogram dan biomarker
a) Presentasi klinis
Selain beberapa gejala klinis yang umum seperti , usia, diabetes
dan gagal ginjal, nyeri dada pada saat istirahat membawa prognosis
yang lebih buruk daripada gejala yang ditimbulkan selama
beraktifitas. Pada pasien dengan gejala intermiten, peningkatan
jumlah episode mempengaruhi pronogsis yang buruk . selain itu
takikardia, hipotensi, gagal jantung dan mitral regurgitasi pada
presentasi memprediksi prognosis buruk, dan membutuhkan
pronogsis serta manajemen yang tepat.

b) Elektrokardiogram
EKG merupakan awal prediksi dari resiko. Pasien dengan ST
depressi memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien
dengan EKG normal. Jumlah lead menunjukkan ST depresi dan
kekuatan dari ST depresi mengindikasikan iskemia dan di satu sisi
berhubngan dengan pronogsis, serta keuntungan dari tindakan
invasive. Kombinasi ST depressi dengan ST elevasi transient
mengindikasikan kelompok risiko tinggi, meskipun gelombang T
inversi tidak menurunkan prognostik dari ST depresi.
c) Biomarker
Kadar troponin jantung dapat dijadikan prognostik mortality.
Meskipun sensitivitas troponin T dan I harus dibandingkan dengan
diagnostik yang akurat sensitivitas troponin T lebih tinggi
akurasinya. Tingginya kadar troponin mengindikasikan besarnya
resiko kematian. Beberapa biormarker dihubungkan dengan
kematian pada pasien NSTEACS sebagian menambahkan nilai
prognostik melalui troponin. Serum kreatinin dan perkiraan GFR
juga harus ditentukan pada semua pasien NSTEACS karena
mempengaruhi prognosis dan merupakan elemen dalam
penghitungan resiko. Selain itu dapat juga menggunakan protein C-
reactive dan biormarker baru seperti midregional pro-
adrenomedullin, growth differentiation factor 15 and copeptin.
2) Penilaian risiko iskemik
The grace risk score merupakan alat penilaian yang akurat baik
saat dirawat ataupun sesudah pulang. The grace membantu
menyediakan estimasi secara langsung melalui penghitungan skor,
kematian di rumah sakit pada 6 bulan ,1 tahun dan 3 tahun. Selain itu
juga dapat memberikan resiko kematian atau infark miokard pada
rentang 1 tahun. Variabel yang digunakan pada the grace meliputi
umur, tekanan darah sistolik, nadi, serum kreatinin, adanya killip, henti
jantung dirumahsakit, peningkatan biomarker jantung dan
penyimpangan segmen ST.
a) Penilaian resiko akut
Pasien dengan suspect NSTEACS harus segera dievaluasi
untuk mengidentifikasi kearah miokard iskemik yang mempunyai
resiko aritmia dan membutuhkan koronari angiografi segera.
Pasien harus diobservasi secara interdisiplin diruang gawat darurat
sampai kemngkinan diagnosis miokard infark terkonfirmasi.
Pengkajian resiko akut memandu evaluasi awal pemilihan
perawatan dan terapi, termasuk anti trombotik dan waktu yang
tepat untuk koronari angiografi.
b) Monitoring ritme kardioakut
Revaskularisasi dini sama baiknya dengan penggunaan
antitrombotik dan betabloker yang dapat menurunkan insidensi
aritmia yang mengancam jiwa pada fase akut hingga kurang dari 3
%. Sebagian besar aritmia muncul 12 jam setelah onset. Pasien
NSTEMI dengan resiko rendah terjadinya aritmia membutuhkan
monitoring < 24 jam sampai revaskularisasi koroner. Sedangkan
pada resikosedang dan tinggi membutuhkan monitoring < 24 jam
tergantung pada kondisi klinis yang muncul, derajat revaskularisasi
dan tindakan setelah revaskularisasi.
c) Resiko jangka panjang
Selain faktor resiko jangka pendek beberapa kondisi
dihubungkan dengan resiko jangka panjang meliputi tindakan
klinis yang kompleks, disfungsi sistolik LV,atrial fibrilasi
keparahan CAD status revaskularisasi dan komorbid non cardiac.
Pada 1 tahun tingkat kematian, miokardinfark dan ACS yang
berulang > 10%. Kejadian berhubungan dengan rupturnya plak di
koroner dan berhubungan dengan trombosis.
3) Penilaian resiko perdarahan
The Crusade bleeding risk score menentukan kondisi awal
karektiristik pasien ( jenis kelamin perempuan,riwayat diabetes,
riwayat stroke), variabel klinik ( denyut jantung, tekanan darah sistolik,
tanda gagal jantung) dan nilai laboratorium ( hematokrit,kreatinin
clearence) untuk memperkirakan kejadian perdarahan dirumah sakit.
4) Rekomendasi untuk diagnosis, resiko stratifikasi, pencitraan dan
monitoring ritme padapasien dengan gejala Non-ST-elevation sindrom
koroner akut
f. Pengobatan
1) Terapi farmakologis dari iskemia
a) langkah-langkah dukungan Umum
Tujuan terapi anti-iskemik farmakologis adalah dengan
menurunkan kebutuhan oksigen miokard (penurunan denyut
jantung, tekanan darah, preload atau kontraktilitas miokard) atau
meningkatkan suplai oksigen miokard (dengan pemberian oksigen
atau melalui vasodilatasi koroner). Jika setelah pengobatan pasien
tidak cepat menjadi bebas dari tanda-tanda iskemik, segera
coronary angiography direkomendasikan meskipun hanya dengan
temuan EKG dan tingkat troponin jantung. Oksigen harus
diberikan jika saturasi oksigen kurang dari 90%atapaien dengan
distress pernafasan. Pada pasien dengan gejala iskemik, tidak dapat
dikurangi dengan pemberian nitrat dan beta blocker, pe,berian
opiad merupakan alasan sambil menunggu tindakan angiografi,
dengan pertimbangan bahwa morphin mungkin lambat
untukdiabsorbsi pada intestinal.
b) Nitrat
Nitrat per Iv lebih efektifdibandingkan dengan nitrat sub
lingual nutuk menurunkan gejala dan regresi dari ST depresi.
Monitoring tekanan darah secara hati-hati, dosisi titrasi samapai
gejala dapat diturunkan danhipertensi pasien sampai tekanan darah
normal, meskipun efek samping muncul (sakit kepala, hipotensi).
Pasien yang baru saja mendapatkan phosphosiasterase tipe 5
inhivitor, nitrat tidak diberikan karena alasan resiko hipotensi.
c) Beta-blockers
Beta blocker menghambat efek miokardial dan menurunkan
konsumsi oksigen dengan menurunkan denyut jantung,
tekanandarah, dan kontraktilitas miokard. Pemberian beta bloker
secara dini harus menghindari pada pasien dengan fungsi
ventrikelyang tidak diketahui. Beta bloker tidak diberikan pada
pasien dengan gejalayang memungkinkan vasospasme koroner
atau penggunaan kokain.
d) Golongan obat lainnya (terlampir)
e) Rekomendasi obat anti iskemikpada fase akut non ST elevai
sindromkoroner akut

2) Platelet inhibiton
a) Aspirin
Aspirin menunjukkan efek yang efektif pada pasien dengan
unstable angina. Pemberian aspirin sampai lebih dari 2 tahun
berhubungan dengan penurunan kejadian vaskuler yang signifikan.
Pemberian aspirin oral 150-300mg direkomendasikan, sedangkan
aspirin per IV direkomendasikan 150 mg.
b) P2Y12 inhibitors
(4) Clopidogrel
Clopidogrel 300-600 mg dan 75 mg/ hari untuk dosis
maintenance merupakan obat yang membutuhkan oksidassi
hepar cytochrome P450. Dual antiplatelet therapy (DAPT),yait
kombinasi aspirin dan clopidogrel menunjukkan penurunan
kejadian iskemik pada NSTE ACS dibandingkan dengan hanya
mengguanakan aspirin.
(5) Prasugrel
Prasugrel 60mg dan 10 mg/ hari dosis maintenance,
merupakan obat yang memblok reseptor P2Y12 dengan onset
yang lebih cepat dibandingkan clopidrogel. Pasugrel
dikontraindikasi pada pasien stroke/transient (TIA).
(6) Ticagrelor
Ticagrelor merupakan obat oral, berikatan dengan
inhibitor P2Y12 dengan plasma,waktu paruh 6-12 jam. Obat ini
juga menghambat pengambilan kembali adenosin melalui
equilabrative nucleoside transporter 1 (ENT1). Obat ini
meningkatkan metabolisme obat lain seperti simvastatin,
sementara inhibitor CYP3A golongan sedang seperti
diltiazem,meningkatkan plasma ticagelor dan memungkinkan
tertundanya efek obat.
(7) Cangrelor
Cangrelor merupakan analog adenosin triphosphat per
IV yang mengikat dengan afinitas tinggi terhadap platelet
P2Y12. Obat ini efektif menghambat ADP yang dipengarhuhi
agregasi platelet segera setelah pemberian per I.V. Cangrelor
diberikan dengan dosis 30 g/kg bolus dan 4 g/kg/menit
dengan infus.

c) Waktu pemberian inhibitor P2Y 12


Pemberian inhibitor P2Y 12 segera setelah diagnosis NSTE-
ACS terlepas dari strategi pengobatan yang telah
direkomendasikan. Ini berarti sebelum treatment inhibitor P2Y 12
pasien dijadwalkan untuk pendekatan invasif. Pendapat terhadap
pemberian pretreatment dengan inhibitor P2Y 12 pada pasien
NSTE-ACS telah dibahas secara meluas namun masalah ini masih
menjadi masalah sendiri.. Sebagai waktu optimal pemberian
ticagrelor atau clopidogrel pasien NSTE-ACS dijadwalkan untuk
strategi invasif belum memadai setelah dilakukan penelitian
Berdasarkan hasil ACCOAST , pretreatment dengan prasugrel
tidak dianjurkan. Pada pasien NSTE-ACS direncanakan untuk
manajemen konservatif, inhibitor P2Y12(sebaiknya dengan
ticagrelor) dianjurkan, dengan kontraindikasi, segera setelah
diagnosis dikonfirmasi.
d) Pemantauan P2Y12 inhibitor (lihat Web lampiran)
e) Penghentian terapi oral antiplatelet sebelum waktunya
Pemberian terapi antiplatelet secara oral dapat menyebabkan
peningkatan risiko kejadian berulang. Gangguan dapat segera
terjadi setelah stent implantasi karena dapat meningkatkan risiko
trombosis stent, terutama dalam bulan pertama setelah
penghentian.
f) Durasi antiplatelet Ganda
Pada pasien dengan NSTE-ACS, direkomendasikan
pemberian dengan aspirin dan clopidogrel telah direkomendasikan
selama 1 tahun dibandingkan hanya dengan aspirin saja.
g) Inhibitor Glycoprotein IIb / IIIa
Intravena GPIIb / IIIa inhibitor memblokir agregasi platelet
dengan menghambat ikatan fibrinogen pada dua trombosit yang
berdekatan. Penggunaan inhibitor GPIIb / IIIa dikaitkan dengan
peningkatan komplikasi pendarahan besar tanpa peningkatan yang
signifikan dalam perdarahan intrakranial.
h) Vorapaxar (lihat Web lampiran)
i) Rekomendasi untuk penghambatan platelet di non-ST-elevasi
sindrom koroner akut
Rekomendasi untuk penghambatan platelet di non-ST elevasi
sindrom koroner akut
Tabel 10 Dosis glikoprotein IIb / IIIa inhibitor di pasien dengan fungsi ginjal normal
dan terganggu

3) Antikoagulasi
a) Antikoagulan selama fase akut
Antikoagulan digunakan untuk menghambat pembentukan
trombinsehingga mengurangi peristiwa terkait trombus. Ada bukti
bahwa antikoagulan efektif dalam mengurangi kejadian iskemik di
NSTE-ACS dan bahwa kombinasi dengan inhibitor trombosit lebih
efektif daripada baik pengobatan alone. Beberapa lants
antikoagulan, bertindak pada tingkat yang berbeda dari kaskade
koagulasi, telah disetujui atau diselidiki untuk indikasi ini (Gambar
4). Dosis antikoagulan pada pasien dengan gangguan tion func-
ginjal dilaporkan dalam Tabel 11.
(1) Unfractionated heparin
UFH bervariasi pada masing-masing individ.
Pemberiannya berdasarkan dengan berat badan 60-70 IU / kg
bb sampai maksimum 5000 IU, diikuti dengan infus 12-15
IU / kg / jam sampai maksimal 1000 IU / jam. Tingkat
antikoagulan biasanya dimonitoring pada saatkateterisasi
jantung.

Tabel 11 Dosis antikoagulan pada pasien dengan normal dan gangguan fungsi ginjal
b) Antikoagulan selama fase akut
Pemberian aspirin dan clopidogrel masih direkomendasikan
selama fase akut yang tidak memiliki fibrilasi atrium atau indikasi
lainnya untuk antikoagulan oral (OAC). Sedangkan pemberian
faktor Xa inhibitor apixaban 5 mg dua kali sehari, meningkatan
risiko perdarahan berat, termasuk perdarahan intrakranial, tanpa
manfaat yang jelas dalam hal kejadian iskemik dibandingkan
dengan plasebo
c) Rekomendasi untuk antikoagulasi di non-ST-elevasi sindrom
koroner akut. Rekomendasi untuk antikoagulasi di non-ST elevasi
sindrom koroner akut
4) Mengelola agen antiplatelet oral pada pasien yang memerlukan
antikoagulan jangka panjang
a) Pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan
Sekitar 6-8% dari pasien yang menjalani PCI memiliki
indikasi untuk OAC jangka panjang dengan VKA atau NOACs
karena berbagai kondisi seperti fibrilasi atrium, katup jantung
mekanik atau trombo emboli vena. Pada tahap periprosedural harus
mempertimbangkan untuk melakukan angiografi koroner pada
OAC, karena indikasi dari OAC dan mennghubungkan dengan
antikoagulan parenteral dapat menyebabkan peningkatan
tromboemboli dan darah. Strategi untuk meminimalkan komplikasi
yang berhubungan dengan PCI pada pasien antikoagulan oral

tercantum dalam Tabel 12.

b) Managemen medis pasien atau kebutuhan operasi bypass arteri


coroner
Operasi koroner pada pasien sepenuhnya dikaitkan dengan
risiko perdarahan meningkat, sehingga gangguan VKA sebelum
CABG adalah direkomendasikan. Dalam operasi darurat, kombinasi
dari protrombin konsentrat kompleks inaktif dan vitamin K oral
diperlukan untuk mendapatkan pemulihan yang cepat dan
berkelanjutan hemostasis pada saat surgery. Sementara dalam
keadaan terdesak operasi pada pasien yang diobati dengan NOACs
terbatas, disarankan untuk menggunakan protrombin konsentrat
kompleks faktor diaktifkan untuk mengembalikan haemostasis.
c) Rekomendasi untuk menggabungkan agen antiplatelet dan
antikoagulan pada pasien sindrom koroner akut non-ST-elevasi
membutuhkanantikoagulan oral kronis
Rekomendasi untuk menggabungkan agen antiplatelet dan antikoagulan pada pasien sindrom
non-ST-elevasi koroner akut yang membutuhkan kronis antikoagulan oral
5) Manajemen kejadian perdarahan akut (lihat Web lampiran)
a) Tindakan suportif Umum (lihat Web lampiran)
b) Pendarahan kegiatan untuk agen antiplatelet (lihat Web lampiran)
c) Pendarahan peristiwa pada vitamin K antagonis (lihat Web
lampiran)
d) Pendarahan acara di antikoagulan oral non-antagonis vitamin K
(lihat Web lampiran)
e) Terjadinya pendarahan Non-terkait-akses (lihat Web lampiran)
f) Peristiwa pendarahan terkait dengan intervensi koroner perkutan
(lihat Web lampiran)
g) Peristiwa pendarahan yang terkait dengan operasi bypass arteri
koroner (lihat Web lampiran)
h) Terapi transfusi (lihat Web lampiran)
i) Rekomendasi untuk perdarahan manajemen dan transfusi darah di
non-ST-elevasi sindrom koroner akut

rekomendasi untuk perdarahan manajemen dan


transfusi darah di non-ST-elevasi akut sindrom
koroner
6) Invasif Angiografi koroner dan revaskularisasi
Invasif Angiografi koroner dilakukan jika ada indikasi
revaskularisasi koroner. keputusan untuk memilih tindakan invasif
harus hati-hati dengan mempertimbangkan resiko dan keuntungannya.
Keputusan untuk revaskularisasi koroner memperhitungkan risiko
dalam hal morbiditas dan mortalitas terkait dengan tujuan dari tindakan
(PCI atau CABG) dan manfaat dalam hal prognosis jangka pendek dan
jangka panjang, pengurangan gejala, kualitas hidup dan durasi tinggal
di rumah sakit.
a) invasif angiografi koroner
Tindakan ini memainkan peran sentral dalam manajemen pasien
dengan NSTE-ACS. Pada sebagian besar kasus memungkinkan
dokter untuk:

o Mengkonfirmasi diagnosis ACS terkait dengan obstruktif CAD


epicardial (atau untuk menyingkirkan asal koroner nyeri dada)
dan, sebagai konsekuensi, untuk memandu pengobatan
antitrombotik dan menghindari ketidaksuksesan paparan agen
antitrombotik

o Mengidentifikasi penyebab lesi


o Menetapkan indikasi untuk revaskularisasi koroner

o Menilai kesesuaian anatomi koroner untuk PCI dan CABG dan


stratifikasi risiko jangka pendek dan jangka panjang pasien.

(1) Pola penyakit arteri koroner

Pola angiografi dari CAD pada pasien NSTE-ACS


cukup beragam, mulai dari arteri koroner epicardial yang
normal dan berat dan. Sampai dengan 20% dari pasien dengan
NSTE-ACS tidak memiliki lesi atau lesi non-obstruktif dari
epicardial arteri koroner, sementara di antara pasien dengan
CAD obstruktif, 40- 80% memiliki penyakit multivessel

(2) Identifikasi penyebab lesi

Untuk mengkarakterisasi lesi koroner sebagai penyebab


pada angiografi, setidaknya dua dari morfologi berikut sugestif
ruptur plak akut harus ada. Intraluminal yang terisi oleh
trombus (yaitu oklusi akut tiba), ulserasi plak (yaitu keadaan
kontras dan kontur di luar lumen pembuluh), plak irregularity ,
diseksi atau gangguan aliran

b) Pendekatan invasif rutin vs pendekatan invasif


Tindakan invasif secara rutin pada NSTEACS menunjukan
peningkatan outcome klinik dan menurunkan kekambuhan
episodeACS, menurunkan angka kunjungan kerumah sakit kembali
dan revakularisasi. Invasif strategi berhubungan dengan angka
kematian yang rendah.
c) Waktu strategi invasif
(1) strategi invasif yang segera (< 2 jam)
Strategi invasif dengan tujuan untuk melakukan
revakularisasi direkomendasikan. Penatalaksanaan pasien
dengan henti jantung tanpa ST Elevasi diluar lingkup rumah
sakit spesifik pada individu dan memerlukan konsultasi
multidisiplin di bagian gawat darurat. Ketika korban sadar dan
harus menjalani angiografi koroner segera, langkah pertama
harusdiidentifikasi untuk kondisi non koronerjika diperlukan
tindakan angiografi dilakkan setelah penyebabnya ditangani.
(2) Strategi awal invasif ( < 24 jam)
Strategi invasif awal didefinisikan sebagai angiografi
koroner dilakukan dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah
sakit. Strategi invasif awal direkomendasikan pada pasien
dengan setidaknya satu kriteria risiko tinggi. Ini
mengindikasikan pasien harus dtransfer kerumah sakit untuk
mendapatkan katerisasi.
(3) Strategi Invasif ( < 72 jam)
Ini merupakan penundaan maksimal yang
direkomendasikan untuk angiografi pada pasien dengan
setidaknya satu kriteria risiko menengah, gejala yang berulang
atau dicurigai gejala iskemik.
(4) Strategi invasif Selektif
Pasien dengan tanpa gejala kekambuhan dan tidak ada
kriteria dimasukkan dalam risiko rendah iskemik. Pada pasien
ini, test non-invasif ( pencitraan) direkomendasikan sebelum
memutuskan tindakan invasif.

Gambar 6 Pemilihan non-ST-elevasi akut sindrom koroner (NSTE-ACS) strategi


pengobatan dan waktu sesuai dengan risiko awal
d) Penanganan konservatif
(1) Pada pasien dengan penyakit arteri koroner
(a) Non-obstruktif CAD
Ketika evaluasi untuk tindakan invasif itu diperlukan
dan mungkin untuk dilakukan revaskularisasi diindikasikan
pada pasien dengan resiko tinggi iskemik. Namun dalam
pertimbangan strategi ini tidak disarankan karena pasien
tidak diuntungkan mengacu pada meningkatnya resiko
tindakan angiografi dan kualitas hidup.
e) Intervensi koroner perkutan
(1) Aspek teknis dan tantangan
Untuk semua manifestasi dari CAD, penanaman stent
membantu menurunkan penutupan katup menggunakan balon
angioplasti dan itu harusdilakukan dengan treatment terstandar.
Sementara itu FFR menjadi gold standard untuk tindakan invasif
yang bertujan mengkaji keparahan lesi pada CAD, namun
perannya dalam NSTEACS masih perlu didefinisikan dengan
jelas.
(2) Akses vaskular
Direkomendasikan pusat penanganan pasien ACS
mengimplementasikan transisi dari transfemoral ke transradial.
Bagaimanapun pendekatan melalui femoral harus dipertahankan
karena sangat diperlukan dalam berbagai prosedur meliputi
penanaman balon intraaortik, intervensi yang berkaitan pada
struktur jantung dan revakularisasi perifer.
(3) Strategi Revaskularisasi dan outcome
Strategi revaskularisasi berdasarkan dua pertimbangan.
Pertama, keuntungan intervensi dini dibandingkan dengan
pendekatan konservatif pada pasien dengan NSTEACS dapat
mengidentifikasi dan atau mengobati lesi . Kedua, PCI dapat
menangani dampak dari revaskularisasi yang tidak sempurna.
f) Operasi Pemotongan Arteri Koroner
Sekitar 10% dari pasien NSTE -ACS kemungkinan besar
memerlukan CABG selama perawatan dirumahsakit. Sebuah
penelitian kohort yang berskala nasional di Denmark menunjukkan
bahwa proporsi pasien yang menjalani CABG untuk NSTE-ACS
menurun 2001-2009, sedangkan proporsi pasien yang menjalani
angiografi koroner dan PCI meningkat drastis. Pasien NSTE ACS
yang membutuhkan CABG mewakili kelompok pasien yang
mempunyai rintangan dalam perawatannya, terutama karena
kesulitan dalam menyeimbangkan resiko iskemik dan resiko
perdarahan disaat operasi dan terapi antitrombotik perioperatif.
Selain itu, pasien dengan NSTE-ACS ditandai dengan proporsi
berisiko tinggi dalam pembedahan, seperti: usia yang lebih tua, jenis
kelamin perempuan, meninggalkan penyakit koroner utama dan
disfungsi Left Ventrikel dibandingkan dengan pasien yang menjalani
CABG elective. Dengan tidak adanya data acak, waktu yang optimal
untuk CABG non emergensi pada pasien NSTE-ACS harus
ditentukan secara individual, seperti yang dijelaskan dalam bagian
5.6.6.1 (lihat lampiran web).
(1) Waktu operasi dan penghentian obat antitrombotik (lihat
lampiran Web)
(2) Rekomendasi manajemen perioperatif terapi antiplatelet pada
pasien sindrom non-ST-elevasi koroner akut yang membutuhkan
operasi bypass koroner arteri
(3) Aspek teknis dan hasil (lihat lampiran Web)
g) Intervensi koroner perkutan vs operasi bypass arteri coroner
Sementara keuntungan utama dari PCI dalam pengaturan
NSTE-ACS adalah revaskularisasi lebih cepat dari terjadinya jejas,
risiko lebih rendah terkena stroke dan tidak adanya efek buruk dari
cardiopulmonary bypass pada miokardium iskemik, CABG
mungkin lebih sering menawarkan revaskularisasi lengkap dalam
lanjutan multivessel CAD. Namun, tidak ada RCT kontemporer
yang membandingkan PCI dengan CABG pada pasien dengan
NSTE-ACS dan CAD multivessel yang tersedia hingga kini.
Dengan demikian, di hampir semua percobaan yang
membandingkan pasien yang mendapat strategi invasive segera
dengan yang tertunda, atau invasif rutin dengan strategi invasif
selektif, keputusan untuk melakukan PCI atau CABG itu diserahkan
kepada kebijaksanaan dari tim medis.
Sebuah post hoc analysis dari 5.627 pasien NSTE-ACS dengan
multivessel CAD termasuk dalam uji coba ketajaman menunjukkan
bahwa 78% menjalani PCI ketika pasien masih menjalani perlakuan
pembedahan. Setelah pencocokan skor kecenderungan dilakukan,
tidak ada perbedaan di antara 1.056 pasien yang kematian pada 1
bulan (CABG 2,5% vs PCI 2,1%; P 1/4 0.69) dan 1 tahun (CABG
4,4% vs PCI 5.7%; P 1/4 0.58). Pasien yang diobati dengan PCI
kejadian yang lebih rendah dari kejadian stroke (0% vs 1,1%; P 1/4
0,03), MI (8,8 %% vs 13,3%; P 1/4 0,03), perdarahan besar (9,1% vs
45,5% ; P, 0,001) dan cedera ginjal (14,2% vs 31,7%; P, 0,001),
tetapi memiliki tingkat signifikan lebih tinggi pada pasien yang
menjalani revaskularisasi tidak direncanakan dibandingkan CABG
(3,1% vs 0,2%; P, 0,001) selama periode periprocedural. Pada 1
tahun, risiko stroke tetap rendah di antara pasien yang diobati
dengan PCI (0% vs 1,1%; P 1/4 0,03), sedangkan pasien yang
menjalani revascularization tidak direncanakan (12% vs 0,2%; P,
0,001) dan MACE cenderung menjadi lebih normal (25,0% vs
19,2%; P 1/4 0,053). Sebuah analisis pada subkelompok data meta-
analisis individu pasien pada 10 penelitian RCT membandingkan
CABG dan PCI, melaporkan angka kematian yang sama setelah
follow up rata-rata 5,9 tahun, di antara 2.653 stabil pasien NSTE-
ACS dengan multivessel CAD [9,6% pada kelompok CABG vs .
11,1% pada kelompok PCI; HR 0,95 (95% CI 0,80, 1,12)].
Kedua SYNergy Yield dari Strategi Baru Enoxaparin,
Revaskularisasi dan Glycoprotein IIb/ IIIa Inhibitor (SYNERGY)
dan evaluasi revaskularisasi lanjutan pada pasien dengan diabetes
mellitus. Percobaan manajemen yang optimal dari penyakit multi
(FREEDOM) membandingkan PCI dan CABG pada pasien dengan
multivessel CAD dan mengikut sertakan sepertiga pasien dengan
angina tidak stabil atau NSTE-ACS, disimpulkan merupakan hal
wajar untuk menggunakan kriteria yang diterapkan pada pasien
dengan CAD stabil untuk memandu pemilihan modalitas
revaskularisasi antara pasien stabil dengan NSTE-ACS.
Sementara sebahagian besar pasien dengan single-vessel CAD
harus menjalani PCI untuk menghindari lesi, strategi revaskularisasi
secara individu pada pasien NSTE-ACS dengan multivessel CAD
harus dibahas dengan Tim Ahli Jantung dan didasarkan pada status
klinis serta keparahan dan distribusi CAD dan karakteristik lesi.
Skor SYNTAX berguna dalam prediksi kematian, MI dan
revaskularisasi antara pasien NSTE-ACS yang menjalani PCI dan
membantu pemilihan antara strategi-strategi revascularisasi. Lesi
akibat PCI tidak perlu ditinjau kasus per kasus oleh tim ahli jantung
pada saat melakukan ad hoc intervention yang diindikasikan
berdasarkan alasan klinis atau angiografi, seperti berlangsungnya
iskemia, ketidakstabilan hemodinamik, edema paru, aritmia
ventrikel yang berulang atau total oklusi arteri koroner yang
membutuhkan revaskularisasi segera. Berdasarkan lesi yang terjadi
akibat PCI, pada pasien NSTE-ACS stabil dengan multivessel CAD
dapat dibahas dalam tim ahli jantung jika CABG ditunda dari
nonculprit vessel.

h) Manajemen pasien dengan syok kardiogenik


Syok kardiogenik dapat berkembang 3% pada pasien NSTE-
ACS selama dirawat di rumah sakit dan merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit. Satu atau lebih dari setengah atau lengkap
vessel occlusions dapat mengakibatkan gagal jantung parah,
khususnya pada kasus dengan disfungsi LV, penurunan curah
jantung dan perfusi perifer yang tidak efektif. Lebih dari dua pertiga
dari pasien memiliki tiga vessel CAD. Syok kardiogenik juga dapat
berkaitan dengam komplikasi mekanik NSTEMI, termasuk
regurgitasi mitral berhubungan dengan disfungsi papiler otot atau
pecah dan septum ventrikel atau pecahnya dinding vaskuler. Pada
pasien dengan syok kardiogenik, angiografi koroner segera
dilakukan dan PCI merupakan revaskularisasi modalitas yang paling
sering digunakan. Jika anatomi koroner tidak cocok untuk PCI,
pasien harus menjalani CABG. Nilai balon konterpulsasi intra-aorta
di MI rumit oleh syok kardiogenik merupakan tantangan tambahan.
Extra-corporeal membrane oxygenation dan / atau implantable LV
dapat membantu dan dipertimbangkan pada pasien tertentu.
i) Rekomendasi untuk angiografi koroner invasif dan revaskularisasi
di NSTE-ACS

7) Kekhususan Gender (lihat lampiran web)


8) Populasi dan kondisi Khusus (lihat lampiran web)
a) pasien usia lanjut dan lemah (lihat lampiran web)
(1) Rekomendasi untuk pengelolaan pasien usia lanjut dengan non-ST-
elevasi sindrom koroner akut
b) Diabetes mellitus
Rekomendasi untuk manajemen pasien diabetes dengan NSTE-ACS
c) Penyakit Ginjal Kronik (lihat lampiran web)
(1) Dosis pemberian agent antitrombotik (lihat lampiran web)
(2) Rekomendasi untuk manajemen pasien dengan penyakit ginjal kronik
dan NSTE-ACS

d) Disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung (lihat lampiran web)


(1) Rekomendasi manajemen pada pasien dengan gagal jantung akut pada
setting NSTE-ACS
(2) Rekomendasi untuk pengelolaan pasien dengan gagal jantung berikut
non-ST-elevasi akut sindrom koroner
e) Fibrilasi atrium (lihat lampiran web)
(1) Rekomendasi untuk manajemen fibrilasi atrium pada pasien dengan
NSTE-ACS
f) Anemia (lihat lampiran web)
g) Trombositopenia
(1) Trombositopenia terkait dengan GPIIb / IIIa inhibitor (lihat lampiran
web)
(2) Heparin diinduksi trombositopenia (lihat lampiran web)
(3) Rekomendasi pengelolaan trombositopenia pada NSTE-ACS

(4) Pasien yang membutuhkan analgesik kronis atau pengobatan anti-


inflamasi (lihat lampiran web)
(5) Operasi Non-jantung (lihat lampiran web)
h) Long-term manajemen
(1) Terapi medis untuk pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder kejadian CV (termasuk optimalisasi
terapi medis) adalah strategi lain untuk modifikasi faktor risiko dan
perubahan gaya hidup seperti diet, olahraga dan berhenti merokok,
adalah sangat penting setelah kejadian ACS, pasien tetap berisiko
tinggi untuk kejadian iskemik ulang. Pencegahan sekunder telah
terbukti berdampak besar pada hasil jangka panjang pada pasien.

(a) Pengobatan penurun lipid


Disarankan untuk memulai intensitas tinggi terapi statin yaitu
pemberian statin yang mengurangi low-density lipoprotein (LDL)
kolesterol sebesar 50%, sedini mungkin pada semua pasien setelah
ditegakkan diagnose NSTE-ACS (dengan tidak adanya
kontraindikasi). Intensitas terapi statin harus ditingkatkan pada
pasien yang menerimaterapi rendah atau intensitas sedang, kecuali
mereka memiliki riwayat intoleransi tinggi terapi statin atau
karakteristik lain yang mungkin mempengaruhi keselamatan pasien.
(b) Terapi antitrombotik
Durasi dari pengobatan antiplatelet dan antikoagulan selama
fase kronis dibahas dalam bagian 5.2.6 dan 5.3.2, masing-masing.
(c) ACE inhibitor
Penghambatan ACE direkomendasikan pada pasien dengan
disfungsi sistolik LV atau gagal jantung, hipertensi atau diabetes
(agen dan dosis yang baik dan terbukti harus digunakan). ARBs
terindikasi pada pasien yang tidak toleran dari ACE inhibitors.
(d) Beta-blocker
Beta-blocker yang direkomendasikan (tanpa kontraindikasi)
pada pasien dengan penurunan fungsi sistolik LV (LVEF 40%).
Agen dan dosis yang baik harus terbukti. Terapi beta-blocker belum
diteliti di RCT pada pasien setelah NSTE-ACS dan tidak
menurunkan fungsi LV atau gagal jantung. Dalam studi
observasional kecenderungan dan kecocokan skala besar pada
pasien yang diketahui riwayat MI penggunaan beta-blocker tidak
berkaitan dengan risiko yang lebih rendah kejadian CV atau
mortalitas.
(e) Terapi antagonis reseptor mineralokortikoid
Terapi antagonis aldosteron dianjurkan di pasien dengan
disfungsi LV (LVEF 40%) dan gagal jantung atau diabetes setelah
NSTE-ACS. Terapi eplerenon telah terbukti mengurangi morbiditas
dan mortalitas pada pasien setelah ACS.
(f) Terapi antihipertensi
Terapi antihipertensi (tujuan tekanan darah, 140/90 mmHg)
dianjurkan menurut European Society of Hypertension/ ESC
guidelines pada pengelolaan hipertensi articular.
(g) Terapi penurun glukosa pada pasien diabetes
Topik ini berdasarkan ruang lingkup dokumen ini dan dibahas
di guidelines baru ini, sebagai aturan umum dalam kemajuan
pengobatan penyakit CV, pasien lansia, durasi diabetes yang
dialamai dan komorbiditas yang hadir pada pasien ini, yang kurang
ketat pengontrolan glukosa.
Komponen inti dan tujuan dari rehabilitasi jantung (konseling
aktivitas fisik, diet/ konseling gizi, penghentian merokok,
mengendalikan berat badan dan tujuan manajemen lipid dan tekanan
darah harus dinyatakan dalam surat kepulangan.
(2) Perubahan gaya hidup dan rehabilitasi jantung
Pengaturan dalam rehabilitasi/ program pencegahan sekunder
penyakit jantung yang terstruktur dengan baik setelah pendiagnosaan
NSTE-ACS harus dipertimbangkan, karena dapat meningkatkan
kepatuhan pasien dengan terapi medis dan mempromosikan perubahan
gaya hidup (termasuk latihan fisik secara teratur dan penghentian
merokok dan mengikuti konseling diet). Latihan aerobic dalam
program rehabilitasi jantung harus ditawarkan kepada pasien setelah
NSTE-ACS, dengan pengevaluasi kapasitas latihan dan risiko olahraga
terkait. Jika memungkinkan, pelatihan olahraga teratur tiga kali dalam
lebih seminggu dengan durasi 30 menit persesi merupakan
rekomendasi baru dalam guideline ini. Pasien harus didorong untuk
memulai program latihan intensitas ringan jika terindetifikasi risiko
yang berhubungan dengan olahraga. Berhenti merokok sangat efektif
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien setelah ACS.

(3) Rekomendasi untuk manajemen jangka panjang setelah NSTE-ACS


g. Pengukuran kinerja
Variasi dalam penerapan strategi yang berevidence based yang terkait
dengan perbedaan hasil yang signifikan. Beberapa data besar telah
menunjukkan kekurangan dalam pengobatan pasien NSTE-ACS bila
dibandingkan dengan rekomendasi dari pedoman terkini. Kepatuhan
terhadap pedoman menunjukkan hasil yang berkorelasi dengan
peningkatan hasil perawatan pasien ACS, termasuk mengurangi mortalitas.
Jadi prioritas perlu diberikan untuk meningkatkan pemanfaatan pedoman
berbasis bukti. Pemantauan kontinyu indikator kinerja sangat dianjurkan
untuk meningkatkan kualitas pengobatan dan meminimalkan perawatan
yang tidak berdasarkan bukti. Aplikasi terapi yang konsisten dapat dilihat
berdasarkan bukti yang kuat memiliki efek yang lebih besar pada
kehidupan CV daripada yang terlihat pada populasi uji coba yang dipilih,
terutama dengan pelaksanaan gabungan dari beberapa modalitas
pengobatan yang efektif. Program-program tersebut telah dilaksanakan
dengan sukses di beberapa negara, di- daerah, termasuk Swedia, Jerman,
Italia dan Israel secara regional, atau program-program intermiten di
banyak negara lain. Program mengukur kinerja ini juga diusulkan dan
dikembangkan oleh ESC melalui pendataan ACS terus menerus dalam
Euro Heart Survey Program. Indikator kinerja yang paling berguna untuk
memantau dan improv- ing standar perawatan di NSTEMI tercantum
dalam Tabel berikut:

Tabel 14 Pengukuran kinerja pada pasien NSTE-ACS


Penggunaan aspirin
Penggunaan ticagrelor / prasugrel / clopidogrel
Penggunaan fondaparinux / bivalirudin / UFH / enoxaparin
Penggunaan beta-blocker pada pasien yang akan pulang dengan
disfungsi LV
Penggunaan statin
Penggunaan ACE-inhibitor atau ARB pada pasien dengan disfungsi
sistolik LV atau gagal jantung, hipertensi atau diabetes
Gunakan prosedur invasif awal pada pasien intermediate hingga
pasien berisiko tinggi

Saran penghentian merokok/ konseling

Pendaftaran pada pencegahan sekunder/ Program rehabilitasi jantung


Pengembangan program regional dan/ atau nasional untuk mengukur
indikator kinerja sistematis dan memberikan umpan balik ke rumah
sakit
Ket:

ACE= angiotensin-converting enzyme; ARB= angiotensin


reseptor blocker; LV= left ventrikel; NSTEMI= non-ST-elevasi
miokard infark; UFH= unfractionated heparin

h. Ringkasan manajemen strategi


Bagian ini merangkum langkah-langkah diagnostik dan terapeutik
yang didiskusikan pada bagian sebelumnya. Tujuannya adalah untuk
menguraikan langkah-langkah paling penting dalam pengelolaan pasien
dengan NSTE-ACS. Dalam setiap pasien, pengambilan keputusan harus
mempertimbangkan riwayat pasien (misalnya usia, komorbiditas),
presentasi klinis (misalnya iskemia miokard yang terjadi, ketidakstabilan
hemodinamik atau kelistrikan jantung), temuan yang diperoleh selama
penilaian awal (yaitu EKG, troponin jantung), waktu dan rasio risiko-
manfaat yang diharapkan dari terapi yang tersedia (yaitu farmakologis,
penilaian invasif, revaskularisasi).

Langkah 1: Evaluasi awal dan Pathway

Nyeri dada atau gejala tidak khas lainnya menyebabkan pasien


untuk mencari bantuan medis. Semua pasien dengan dugaan NSTE-ACS
harus dirawat di unit gawat darurat dan dievaluasi dengan cepat oleh
dokter yang berkualitas. Penundaan kontak medis pertama dan ECG harus
10 min. Irama jantung pasien harus dipantau (Tabel 7).

Penegakan diagnosis NSTE-ACS dan manajemen awal harus


didasarkan pada parameter berikut:

Karakteristik nyeri dada, durasi dan lamanyan serta pemeriksaan


gejala fisik (misalnya tekanan darah sistolik, denyut jantung,
cardiopulmonary auskultasi, Killip klasifikasi )
Penilaian probabilitas CAD berdasarkan pada karakteristik nyeri
dada, usia, jenis kelamin, faktor risiko CV, CAD yang dikenali serta
manifestasi non-jantung dari aterosklerosis
12-lead EKG (untuk mendeteksi ST deviasi atau kelainan lainnya
yang diduga disebabkan karena miokard iskemia atau nekrosis)
Atas dasar temuan ini, pasien dapat diberikan ke salah satu dari
empat diagnosa berikut:

STEMI
NSTE-ACS dengan iskemia yang sedang berlangsung atau
ketidakstabilan hemodinamik
NSTE-ACS tanpa iskemia yang sedang berlangsung atau
ketidakstabilan hemodinamik
NSTE-ACS tidak spesifik

Pengobatan pasien dengan STEMI tercantum dalam masing-


masing ESC guidelines. Pengkajian untuk kategori 'tidak spesifik harus
dilakukan dengan hati-hati, terutama pada pasien dengan kondisi tertentu,
seperti lansia dan dengan riwayat diabetes mellitus serta hanya saat
penjelasan lain jelas. Standar pengobatan awal harus mencakup pemberian
nitrat (sublingual atau iv) jika ada tahanan nyeri didada, hipertensi atau
gagal jantung. Terapi oksigen harus diterapkan apabila saturasi oksigen
darah 90% atau gangguan pernapasan. Morfin (iv atau sc) atau alternatif
opiat yang diberikan untuk pasien dengan tahanan nyeri dada yang parah.
Pada pasien dengan nyeri dada yang sedang berlangsung dan EKG tidak
meyakinkan, pertimbangkan penatalaksanaan echocardiography segera
untuk meniadakan diagnosis banding lainnya (jika terdapat hubungan
dengan CT angiography) seperti emboli paru, perikarditis atau diseksi
aorta yang terjadi pada saat yang sama untuk memperkuat dugaan NSTE-
ACS (yaitu dengan mengidentifikasi kelainan gerakan dinding fokal).
Dalam penatalaksanaan iskemik miokardial yang sedang berlangsung atau
kompromi hemodinamik (kecurigaan klinis harus dikuatkan dengan hasil
echocardiography adanya kelainan gerakan dinding jantung) pasien harus
menjalani angiografi koroner segera terlepas hasil ECG atau temuan
biomarker untuk mencegah ventrikel aritmia yang mengancam jiwa dan
membatasi nekrosis jantung. Darah harus dapat bekerja dan memiliki
penerimaan (lebih memiliki sensitivitas tinggi) terhadap troponin T atau
troponin I jantung, kreatinin serum, hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit, glukosa darah dan INR pada pasien VKA.
Hasil pengukuran troponin harus tersedia dalam waktu 60 menit
dan troponin pengukuran ment harus diulang pada 1-3 jam jika sensitivitas
tinggi tes troponin digunakan. Tanda-tanda vital harus dinilai secara
teratur. Dalam kasus perawatan di rumah sakit, pengunaan pilihan
guidelines dijelaskan pada Tabel 7. Pasien yang dicurigai NSTE-ACS
harus diamati di departemen darurat interdisipliner atau unit nyeri dada
sampai diagnosis MI dikonfirmasi atau dibatalkan. Jika diagnosis NSTE-
ACS dikonfirmasi, lipid harus dinilai pada awal masuk. Dalam kasus
iskemia yang sedang berlangsung, defibrillator harus ditempatkan ditempat
pasien sampai revaskularisasi segera dilakukan. Disarankan agar tenaga
medis dan paramedis merawat pasien yang diduga NSTE-ACS memiliki
akses ke peralatan defibrilator dan memdapat pelatihan Advance Cardiac
Life Support.

Langkah 2: Validasi diagnosis, penilaian risiko dan pemantauan


irama

Setelah penilaian klinis awal, dilengkapi dengan 12-lead EKG dan


pengukuran troponin jantung pertama, memiliki substansial penting dalam
diagnosis NSTE-ACS, pengobatan antitrombotik (seperti yang dijelaskan
pada langkah 3 ) serta pengobatan anti-angina (yaitu beta blocker dan
nitrat) harus dimulai. Manajemen lebih lanjut dari pasien dilakukan
berdasarkan respon pasien terhadap pengobatan anti-angina dan penilaian
risiko, seperti yang diukur dengan skor risiko GRACE 2.0
(http://www.gracescore.org/WebSite/default.aspx? ReturnUrl=% 2f),
sebaik hasil pengukuran troponin selanjutnya (pada 1-3 jam, jika tes
sensitivitas tinggi yang digunakan). Echocardiography berguna untuk
mengidentifikasi kelainan yang diduga akibat iskemia miokard atau
nekrosis (yaitu segmental hypokinesia atau akinesia) dan harus dilakukan
segera pada pasien dengan instabilitas hemodinamik diduga terjadi CV.
Jika diduga terjadi diseksi aorta atau emboli paru, echocardiography,
penilaian D-dimer dan CT angiografi harus dilaksanakan sesuai dengan
ESC guidelines. Pemantauan rhythm hingga 24 jam atau PCI harus
dipertimbangkan pada pasiem NSTEMI -berisiko rendah untuk aritmia
jantung (yaitu dengan tidak ada kriteria: hemodinamik tidak stabil, aritmia
utama, LVEF, 40%, gagal reperfusi, serta stenosis coronary kritik atau
komplikasi yang berhubungan dengan PCI). Pemantauan rhythm >24 jam
harus dipertimbangkan pada pasien NSTEMI berisiko tinggi untuk aritmia
jantung (yaitu jika salah satu atau lebih dari kriteria di atas yang hadir).

Langkah 3: pengobatan antitrombotik

Pemilihan terapi antitrombotik pada pasien NSTE-ACS harus


didasarkan pada strategi manajemen yang dipilih (yaitu konservatif vs
invasive) serta modalitas revaskularisasi yang dipilih (PCI vs CABG).
Dosis agen antitrombotik (Tabel 8, 10and 11) dengan mempertimbangkan
usia pasien, rekening dan fungsi ginjal. Aspirin dan antikoagulan parental
direkomendasikan. Pada pasien tersebut sebaiknya dilakukan pengobatan
konservatif dan tidak berisiko pendarahan tinggi, ticagrelor (digantikan
clopidogrel) dianjurkan setelah NSTEMI diagnosa didirikan. Pada pasien
diharapkan mendapatkan strategi invasif, waktu yang optimal administrasi
ticagrelor (lebih disukai pidogrel clo-) belum diteliti secara memadai,
sementara prasugrel adalah re- dipuji setelah angiografi koroner sebelum
PCI.

Langkah 4: Strategi invasif

Akses Radial untuk angiografi koroner dan, jika diperlukan,


revascularisasi dianjurkan. Strategi untuk mengurangi komplikasi
perdarahan yang berhubungan dengan PCI dirangkum dalam Tabel 12.
Waktu angiography (dihitung dari kontak medis pertama) dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori berdasarkan profil risiko,
masing-masing pasien ac- cording untuk Tabel 13 dan Gambar 6.

Segera strategi invasif (<2 jam). sejalan dengan jalur STEMI, strategi ini
harus dilakukan untuk pasien dengan iskemia yang sedang berlangsung,
ditandai dengan setidaknya didapat satu resiko yang sangat tinggi dari
kriteria yang sudah ada. Pelayanan kesehatan tanpa program STEMI yang
sedang berlangsung harus segera mentransfer pasien.
Strategi Awal invasif (<24 jam). Kebanyakan pasien dalam kategori ini
mendapatkan pengobatan farmakologi awal namun beresiko tinggi dan
perlu angiografi awal yang diikuti revascularisasi. Pasien memenuhi
syarat jika mereka memiliki setidaknya satu kriteria berisiko tinggi.
Penerapan transfer pasien tepat waktu untuk pasien yang dirawat di rumah
sakit tanpa fasilitas kateterisasi dirumah sakit tersebut.
Strategi invasif (<72 jam). Ini adalah batas keterlambatan maksimal yang
direkomendasikan untuk angiografi koroner pada pasien tanpa
kekambuhan gejala tetapi memiliki setidaknya satu kriteria berisiko
menengah. Tidak terlalu penting pentransferan segera kerumah sakit yang
memiliki fasilitas kateterisasi tetapi selama 72 jam tindakan angiografi
koroner harus selesai dilakukan.
Strategi invasif selektif. Pasien yang tidak memiliki kambuhan nyeri dada,
tidak ada tanda-tanda gagal jantung, tidak ada kelainan hasil pemeriksaan
EKG awal atau tidak ada peningkatan ( dengan pemeriksaan sensitivitas
lebih tinggi) tingkat troponin jantung yang menunjukkan beresiko rendah
terjadinya CV berikutnya. Dalam pengaturan ini, pemeriksaan stress non-
invasif (sebaiknya dengan pencitraan) untuk mengidentifikasi iskemia
dianjurkan sebelum memutuskan melakukan strategi invasif.

Langkah 5: Modalitas revaskularisasi

Dengan tidak adanya uji coba yang disepakati, rekomendasi untuk


melakukan PCI dan CABG paada NSTE-ACS stabil juga dianjurkan untuk
CAD stabil. Pada pasien dengan penyakitsingle-vessel, PCI dengan
pemasangan stent dari kejadian terjadinya lesi adalah pilihan pertama.
Pada pasien dengan penyakit multi-vessel, tidak boleh diputuskan mandiri
sebelum berkonsultasi dengan tim ahli jantung. Pendekatan sekuensial,
yang terdiri dari mengobati penyebab terjadinya lesi dengan PCI diikuti
oleh elektif CABG dengan bukti iskemia dan/ atau FFR dari lesi yang
terjadi tanpa penyebab, mungkin menguntungkan pada pasien tertentu.
Pada pasien yang mengkonsumsi agen tunggal antiplatelet (aspirin)
menjalani PCI, dianjurkan penambahan inhibitor P2Y12 (prasugrel atau
ticagrelor lebih disukai daripada clopidogrel). Antikoagulan harus dipilih
dengan mempertimbangkan iskemik dan risiko perdarahan yang terjadi
dan tidak boleh berubah selama PCI. Pada pasien pra-perawatan dengan
fondaparinux, UFH harus ditambahkan sebelum PCI. Pada pasien tidak
bereaksi dengan antikoagulan, pertimbangkan bivalirudin. Jika
direncanakan melakukan CABG maka pemberian inhibitor P2Y12, ini
harus dihentikan dan operasi ditangguhkan jika kondisi klinik dan temuan
angiografi mengindikasikan demikian. Jika pemeriksaan coronary
angiography tidak memungkinkan dilakukan revaskularisasi, karena
luasnya lesi dan/ atau miskin vaskularisasi distal, pembebasan dari angina
harus menjadi tujuan utama dengan mengintensifkan terapi medis.

Langkah 6: Keluar Rumah Sakit dan manajemen pasca-kepulangan

Meskipun kejadian NSTE-ACS memiliki kemungkinan terjadi


Adverse events paling buruk terjadi pada fase awal, risiko MI atau
kematian tetap tinggi selama beberapa bulan. Tingkatan modifikasi faktor
risiko dan perubahan gaya hidup yang diperlukan pada semua pasien
dengan NSTE-ACS, dan pendaftaran dalam program rehabilitasi jantung
setelah kepulangan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap perawatan
terapi medis, yang mungkin mendukung modifikasi faktor risiko dan
meningkatkan hasil yang lebih baik .

i. Gaps dalam Evidence


Peran pengujian genetik pada individu yang menjalani pengobatan
dan peraturan meningkatkan hasil perawatan pasien masih harus
didapatkan.
Sementara sensitif dan sensitivitas tinggi hasil tes troponin jantung
menunjukkan akurasi diagnostik unggul dibandingkan dengan tes
konvensional, tidak diketahui apakah tes sensitivitas tinggi
memberikan keuntungan klinis yang lebih berarti dari tes sensitif dan
apakah ada perbedaan klinis yang relevan antara berbagai tes
sensitivitas tinggi. Nilai incremental of copeptin lebih bersensitivitas
tinggi terhadap tes troponin jantung masih harus sepenuhnya
dijelaskan.
Kinerja algoritma 1 jam untuk menegakkan dan mengesampingkan
MI akut pada pasien dengan nyeri dada ke gawat darurat belum diuji
dalam sebuah penelitian RCT. Manajemen terbaik bagi pasien yaitu
ditempatkan dalam 'zona pengamatan' sesuai- ing dengan algoritma 1
jam masih harus didefinisikan.
Peran CT angiografi sebagai alat mengurangi untuk MI akut di
departemen darurat perlu ditinjau kembali dalam konteks sensitivitas
tinggi terhadap tes troponin jantung.
Pengembangan skor risiko klinis tunggal yang menilai iskemik dan
perdarahan risiko dengan baik sangat diperlukan.
Peran beta-blocker selama dan setelah episode NSTE-ACS pada
pasien dengan fungsi LV normal atau sedikit tertekan perlu diselidiki.
Waktu optimal pemberian ticagrelor pada pasien untuk strategi invasif
perlu didefinisikan.
Data tambahan yang diperlukan untuk menetapkan durasi optimal
antara pemberian terapi antiplatelet ganda dengan implantasi stent.
Pengembangan penangkal untuk menormalkan hemostasis pada
pasien NTS dengan pendarahan berkelanjutan pada saat pemberian
inhibitor P2Y12 atau NOACs harus dipercepat.
Keamanan, efektivitas dan durasi optimal pengkombinasian
pemberian antikoagulan oral dan terapi antiplatelet pada pasien yang
membutuhkan antikoagulan oral kronis perlu dilakukan penyelidikan
lebih lanjut.
Sementara beberapa penelitian RCT telah membandingkan CABG
dan PCI pada populasi yang terdiri dari pasien CAD stabil dengan
pasien multivessel, penyelidikan perbandingan terkini dalam
pengaturan NSTE-ACS kurang.
Nilai FFR-memandu tindakan PCI pada NSTE-ACS
membutuhkanyang penyelidikan lebih lanjut.
Beban dari kejadian CV yang terlambat penanganan meskipun
mendapatan farmakologis yang optimal, termasuk keefektifan
pemberian inhibitor P2Y12 dan statin, perlu penilaian kembali
patofisiologi yang dihasil dan mungkin merugikan serta strategi
pencegahan yang inovatif.
Uji klinis yang sedang dilakukan untuk memeriksa apakah LDL
dengan kolesterol rendah atau immune-modulating terapi (misalnya
penghambatan PCSK-9, penghambatan CETP, methotrexate atau
antibodi anti-IL-1b monoklonal) untuk memaksimalkan toleransi
dengan pengobatan statin yang dapat meningkatkan prognosis jangka
panjang.
Ambang hemoglobin/ hematokrit optimal yang harus dipertahankan
dengan mentigger transfusi darah pada pasien anemia dengan NSTE-
ACS perlu ditentukan.
j. Pesan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dari
Guidelines

Rekomendasi Classa Levelb


Diagnosa
1 Protokol yang sama pada 0 jam dan 3 jam, protokol rule-out dan I B
rule-in secara cepat pada 0 jam dan 1 jam dianjurkan jika
didapatkan sensitivitas tinggi tes troponin jantung dengan algoritma
0 jam/ 1jam yang tervalidasi. Pemeriksaan tambahan setelah 3-6
jam diindikasikan jika dua pengukuran troponin pertama tidak
konklusif dan kondisi klinis masih sugestif dari ACS.
2 Echocardiography disarankan untuk mengevaluasi fungsi Left I C
Ventrikel regional dan global dan untuk menerima atau
menyingkirkan diagnosis yang sama
Pengobatanantiplatelet
3 Pemberian inhibitor P2Y12 dianjurkan, selain aspirin, selama 12 I A
bulan kecuali jika ada kontraindikasi seperti risiko perdarahan yang
berlebihan.
Ticagrelor (180 mg dosis total, 90 mg selama dua kali sehari) I B
dianjurkan, dengan tidak adanya kontraindikasi, untuk semua pasien
moderat sampai pasien dengan risiko tinggi kejadian iskemik
(misalnya peningkatan troponin jantung), terlepas dari strategi
pengobatan awal dan termasuk yang pra-perawatan dengan
clopidogrel (yang harus dihentikan ketika ticagrelor dimulai).
Prasugrel (60 mg dosis total,10 mg dosis harian) dianjurkan pada I B
pasien yang melanjutkan ke PCI jika tidak terdapat kontraindikasi
Clopidogrel (300-600 mg dosis total, 75 mg dosis harian) I B
direkomendasikan untuk pasien yang tidak dapat menerima
ticagrelor atau prasugrel atau yang membutuhkan antikoagulan oral.
4 Hal ini tidak dianjurkan untuk mengelola prasugrel pada pasien III B
yang tidak diketahui anatomi arteri koronernya
Invasif strategi
5 Strategi invasif langsung (<2 jam) dianjurkan pada pasien dengan I C
setidaknya satu dari kriteria resiko tinggi berikut: ketidakstabilan
hemodinamik atau syok kardiogenik; berulang atau sedang
berlangsung nyeri dada yang membutuhkan untuk perawatan medis;
aritmia atau gagal jantung yang mengancam jiwa; komplikasi
mekanik dari MI; gagal jantung akut dengan angina refraktori atau
ST deviation; ST dinamis berulang atau perubahan gelombang T,
terutama dengan elevasi ST berselang.
6 Strategi invasive awal (<24 jam) dianjurkan pada pasien dengan I A
satu dari kriteria berisiko tinggi berikut: naik atau turunnya troponin
jantung yang kompatibel dengan MI; ST dinamis atau perubahan
gelombang T (gejala atau diam); dan dengan skor GRACE >140.
7 Strategi invasif (<72 jam) dianjurkan pada pasien dengan satu dari I A
kriteria menengah risiko berikut:
- diabetes mellitus
- insufisiensi ginjal (EGFR, 60 mL / menit / 1,73 m2)
- LVEF <40% atau gagal jantung kongestif
- awal pasca-infark angina
- Baru saja menjalani PCI
- Sebelum CABG
- Risiko GRACE skor >109 dan <140, atau gejala berulang
atau iskemia dikenal pada pengujian non-invasif.
Koroner revaskularisasi
8 Di pusat-pusat yang berpengalaman dengan akses radial, I A
pendekatan radial direkomendasikan untuk angiografi koroner dan
PCI.
9 Pada pasien dengan multivessel CAD,dianjurkan untuk ditangani I C
berdasarkan strategi revaskularisasi (seperti: ad hoc culprits-lesion
PCI, multivessel PCI, CABG) pada status klinis dan komorbiditas
serta keparahan penyakit (termasuk distribusi, karakteristik lesi
angiografi, dan SYNTAX skor) sesuai dengan protokol Tim ahli
jantung.
Sekunder kardiovaskular pencegahan
10 Disarankan untuk memulai intensitas tinggi terapi statin sedini I A
mungkin (kecuali jika terdapat kontraindikasi) dan
mempertahankannya dalam jangka panjang.
Ket:

ACS= sindrom koroner akut; CABG= koroner artery bypass graft; CAD= penyakit
arteri koroner; eGFR= laju filtrasi glomerulus; GRACE= Pendataan kejadian Koroner
Akut Global; LV= ventrikel kiri; LVEF= fraksi ejeksi ventrikel kiri; MI= infark
miokard; PCI= intervensi koroner perkutan; SYNTAX= sinergi antara intervensi
koroner perkutan dengan Taxus dan operasi jantung.
*a) = Class rekomendasi
*b)= Level Bukti.
*c)= Kontraindikasi untuk ticagrelor: perdarahan intrakranial sebelumnya atau
perdarahan yang sedang berlangsung. Kontraindikasi untuk prasugrel: perdarahan
intrakranial sebelumnya, stroke iskemik sebelumnya atau transient ischemic attack
atau perdarahan yang sedang berlangsung; prasugrel umumnya tidak dianjurkan
selama bertahun-tahun pasien 75 usia atau dengan berat badan, 60 kg.

C. Kompetensi yang harus dimiliki perawat untuk menerapkan guideline


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai