Anda di halaman 1dari 43

Penyakit Pembuluh Darah Arteri

1. Diseksi Aorta

1.1 Definisi
Aorta adalah pembuluh darah terbesar yang memiliki peranan vital sebagai
pembawa darah keluar dari ventrikel kiri ke berbagai jaringan di tubuh untuk kebutuhan
nutrisinya. Secara umum, aorta memiliki dinding tebal yang tersusun oleh tiga lapisan
otot yang mampu menahan perubahan tekanan yang dihasilkan pada setiap jantung
berdenyut. Ketidakmampuan lapisan dinding aorta menahan tekanan yang tinggi
sehingga timbulnya robekan pada lapisan tersebut menimbulkan suatu keadaan yang
disebut diseksi aorta.1
Diseksi aorta ditandai oleh robekan lapisan intima dinding aorta yang diawali
oleh suatu proses degenerasi atau disertai nekrosis kistik dari lapisan tunika media.
Darah akan mengalir melalui robekan yang memisahkan lapisan intima dengan lapisan
media atau lapisan adventisia yang kemudian membentuk ruang palsu (false lumen).1,2

1.2 Epidemiologi
secara epidemiologis menurut Global Burden Disease tahun 2010, penyakit
aneurisma aorta dan diseksi aorta memiliki angka kematian global yang meningkat
hingga 2,78 per 100.000 orang, dengan rasio laki-laki yang lebih tinggi dari wanita.1

1.3 Patofisiologi
Diseksi aorta terjadi ketika lapisan intima robek dan menyebabkan darah masuk
pada lapisan antara intima dan adventitia. Nekrosis kistik medial (pelemahan tunika
media) dan hipertensi berkontribusi dalam proses ini yaitu sebanyak 75%. Peningkatan
tekanan arteri dapat menyebabkan penebalan lapisan intima, fibrosis, dan kalsifikasi.
Proses ini dapat mengurangi suplai darah dinding arteri sehingga matriks ekstraselular
mengalami modifikasi kehilangan kemampuan elastisitasnya (elastolisis) dan
apoptosis. Nekrosis pada sel otot polos dan fibrosis pada struktur elastis yang terdapat
pada tunika media menyebabkan pembuluh darah akan tegang dindingnya, rapuh dan
mudah mengalami robekan. Sebanyak 90% seluruh kasus diseksi terjadi pada dinding
lateral kanan bagian proksimal aschending aorta, sisanya terjadi pada distal arteri
subklavia kiri.

1.4 Klasifikasi

Stanford membagi diseksi aorta ke dalam dua tipe yaitu: tipe A – disekan
meliputi aorta ascenden dan desenden, tipe B - disekan hanya terjadi di aorta desenden.
Klasifikasi DeBakey membagi diseksi aorta menjadi tiga tipe, yaitu: tipe I – disekan
melibatkan seluruh bagian aorta, tipe II – disekan hanya melibatkan aorta ascenden,
tipe III – disekan hanya melibatkan aorta descenden. Beberapa penelitian terkini
menunjukkan bahwa perdarahan intramural, hematoma intramural dan ulkus aortic
merupakan tanda-tanda yang menyertai suatu proses disekan. Klasifikasi terkini
membagi diseksi aorta kedalam lima tipe. Berbagai jenis klasifikasi ini dilukiskan
dalam gambar 12. 3

Diseksi aorta akut tipe B klasifikasi Stanford memiliki tingkat mortalitas yang
lebih rendah dibanding tipe A. Pasien dengan diseksi aorta tipe B tanpa komplikasi,
angka mortalitasnya 10% dalam 30 hari. Pasien yang mengalami komplikasi iskemik
pada organ ginjal atau visceral hingga.3
1.5 Diagnosis

Anamnesis4
- Perlu ditanyakan mengenai karakteristik nyeri karena pada diseksi aorta terjadi
dua mekanisme yakni pertama ketika lapisan intima mengalami sobekan,
diinterpretasikan dengan rasa nyeri serta kehilangan stroke volume dan kedua
yakni ketika tekanan sudah mencapai ambang batas dan terjadi ruptur aorta.
- Nyeri pada diseksi aorta sangat khas yaitu sensasi tertusuk, robekan yang
terlokalisis pada dada (tipe A) dan punggung (tipe B).
- Perlu ditanyakan mengenai onset nyeri. Karena pada diseksi aorta, nyeri hebat
berlangsung tiba-tiba dan terjadi langsung saat onset diseksi terjadi.

Pemeriksaan fisik4,5
- Takikardi disertai dengan hipertensi jika pasien sudah memiliki riwayat
hipertensi primer.
- Takikardi dan hipotensi, sebagai hasil dari ruptur aorta, tamponade jantung,
regurgitasi aorta dan infark miokard akut.
- Pasien bisa mengalami sinkope karena malperfusi otak
- kehilangan pulsasi ekstremitas
- Murmur diastolik, yang dapat ditemukan pada regurgitasi aorta.

Pemeriksaan Penunjang5,6
CT, MRI, dan ekokardiografi dapat digunakan tergantung ketersediaan. Pada
foto polos toraks dapat ditemukan kalsifikasi lapisan intima yang ukurannya lebih 6
mm dari tepi, mediastinum yang melebar, kardiomegali (efusi perikard) dan kekaburan
sudut costo-phrenic yang disebabkan oleh adanya hemothoraks. Pemeriksaan
penunjang gold standar dari diseksi aorta adalah aortografi karena dengan aortografi
dapat dibedakan antara true lumen dan false lumen. Namun kelemahannya pemeriksaan
ini tidak diperuntukkan untuk orang dengan kondisi hemodinamik tidak stabil, begitu
juga CT scan dan MRI.
1.6 Tata Laksana
Tatalaksana awal mencakup stabilisasi pasien, menurunkan tekanan darah dan
kekuatan kontraksi ventrikel kiri dan mengontrol nyeri. Terapi lini pertama adalah
beta blocker untuk menurunkan kekuatan kontraksi ventrikel kiri, tekanan darah
(target tekanan darah sistolik 100-120 mmHg), frekuensi jantung (target
60kali/menit).

2. ATEROSKLEROSIS

2.5 Definisi
Istilah aterosklerosis berasal dari bahas Yunani, yang berarti penebalan tunika
intima arteri (sklerosis, penebalan) dan penimbunan lipid (athere, pasta) yang
mencirikan lesi yang khas. Secara morfologi, aterosklerosis terdiri atas lesi-lesi
fokal yang terbatas pada arteri-arteri otot dan jaringan elastis berukuran besar dan
sedang. Seperti aorta (yang dapat menyebabkan penyakit aneurisma), arteri poplitea
dan femoralis (menyebabkan pembuluh darah perifer), arteri karotis (menyebabkan
stroke), arteri koroner menyebabkan penyakit jantung iskemik atau infark
miokardium.7

2.6 Faktor Risiko7


A. Yang dapat diubah
- Usia (laki-laki >45 tahun, perempuan >55 tahun atau menopouse prematur
tanpa pengganti terapi estrogen)
- Riwayat CAD pada keluarga (MI pada ayah atau saudara laki-laki sebelum
usia 55 tahun atau pada ibu atau saudara perempuan sebelum berusia 65
tahun)
B. Yang tidak dapat diubah
- Hiperlipidemia
- Hipertensi
- Merokok
- Diabetes
- Obesitas
2.7 Patogenesis8
Patogenesis aterosklerosis saat ini didasarkan pada teori hipotesis respons
terhadap cedera, yang menjelaskan bahwa aterosklerosis merupakan suatu respons
radang kronik dinding arteri yang dicetuskan oleh adanya cedera endotel (disfungsi
endotel).8,9
Cedera endotel merupakan dasar pertama dari hipotesis respons terhadap
cedera. Penyebab dari cedera atau disfungsi endotel adalah peningkatan kadar LDL
dan radikal bebas yang disebabkan oleh merokok sigaret, hipertensi, diabetes
melitus, faktor genetik, peningkatan konsentrasi plasma homosistein, infeksi
mikroorganisme seperti virus herpes atau chlamydia pneumoniae, dan kombinasi
dari faktor-faktor ini. Hal-hal penting yang terutama menyebabkan cedera endotel
adalah gangguan hemodinamik dan hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia
kronik akan menyebabkan penimbunan kolesterol LDL dalam intima pada tempat
dimana permeabilitas endotel meningkat. Dengan dilepaskannya radikal bebas
maka LDL akan teroksidasi dan dicerna oleh makrofag untuk membentuk sel-sel
busa, hal ini yang merupakan prekursor terhadap pembentukan bercak ateroma.8,9
Mekanisme radang berperan penting dalam memacu proses aterogenesis
dengan menginisiasi, meningkatkan secara progresif, bahkan sampai menimbulkan
komplikasi dari lesi-lesi aterosklerosis.8,10
Saat ini beberapa kepustakaan telah menyebutkan bahwa proses radang
berperan penting pada perjalanan penyakit arteri koroner serta manifestasi
aterosklerosis lainnya.11 Sel otot polos pembuluh darah juga berperan dalam
aterogenesis. Sel otot polos bermigrasi dari tunika media ke tunika intima,
kemudian berproliferasi dan menimbun komponen matriks ekstrasel, yang akan
mengubah fatty streak menjadi suatu ateroma fibrofatty yang matang dan
menyokong pertumbuhan lesi aterosklerotik menjadi progresif.8,9,12
Patogenesis aterosklerosis mencakup peran cedera endotel, radang, lemak, sel-
sel otot polos, dan faktor lain seperti oligoklonal dan infeksi. Pembahasan diawali
dengan menampilkan penjelasan tentang perkembangan aterosklerosis dari lesi
awal sampai lesi komplikasi dan korelasi klinikopatologiknya.
Perkembangan aterosklerosis telah dimulai sejak usia dini, yaitu mulai dekade
pertama dengan pembentukan fatty streak yang kemudian pada dekade ketiga
berubah menjadi bercak ateroma (fase praklinik). Umumnya bercak ateroma secara
progresif terus menerus berubah, menjadi lebih besar dan dapat menimbulkan
komplikasi bercak yang kemudian menimbulkan manifestasi klinik pada usia
pertengahan dan usia lanjut (fase klinik)8,9 Aterosklerosis merupakan bentuk
arteriosklerosis yang paling sering, dan secara karakteristik ditandai oleh adanya
lesi pada intima yang disebut bercak ateroma. Bercak ini dapat menonjol ke dalam
dan menutupi lumen pembuluh darah, serta dapat melemahkan tunika media
dibawahnya.8,9 Dalam perkembangan aterosklerosis maka pembentukan bercak
ateroma sepanjang dinding pembuluh darah arteri akan menyebabkan pembuluh
darah itu menyempit dan mengeras.8,10 Pembentukan bercak ateroma diawali oleh
adanya fatty streak, yang merupakan lesi terawal dari aterosklerosis. Fatty streak
ini tidak menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah dan tidak menyebabkan
gangguan aliran darah. Biasanya fatty streak muncul sebagai bintik pipih berwarna
kuning, multipel, dengan diameter < 1 mm, yang menyatu dalam larikan panjang
sekitar 1 cm atau lebih. Fatty streak terdiri dari sel makrofag dan sel otot polos
dengan sitoplasma distensi karena mengandung lemak dan membentuk sel busa.8,10
Fatty streak merupakan prekursor bercak ateroma, yang sudah dibentuk sejak usia
dini, tersering pada dekade pertama, namun tidak semuanya akan berkembang
menjadi bercak ateroma atau lesi-lesi lanjut.8,9
Pembentukan bercak ateroma atau disebut juga ateromatosa, atau bercak
fibrolipid (fibrous atau fibrofatty) merupakan proses utama pada aterosklerosis dan
secara morfologik ditandai oleh penebalan tunika intima dan penimbunan lemak.
Bercak ateroma berupa suatu lesi fokal yang meninggi pada tunika intima, lembut,
warna kekuningan dengan bagian pusat mengandung lemak (terutama terdiri dari
kolesterol dan ester kolesterol), ditutupi oleh suatu penutup warna putih yang keras
disebut fibrous cap. Ukuran bercak ateroma bervariasi 0,3-1,5 cm, kadang-kadang
menyatu sehingga membentuk massa yang lebih besar.8,10
Umumnya bercak ateroma secara progresif terus menerus berubah, menjadi
lebih besar, terdapat kematian sel dan degenerasi, sintesis dan degradasi matriks
ekstrasel (remodeling) dan organisasi trombus. Manifestasi klinik akibat
aterosklerosis terutama disebabkan oleh karena penyempitan arteri, dan bila
penyempitan >70% maka dapat terjadi iskemik pada organ yang dipasoknya.10
Pada stadium lanjut bercak-bercak ateroma dapat mengalami komplikasi yang
secara klinis sangat berarti. Komplikasi dapat berupa ruptur fokal, ulserasi, atau
erosi fokal dari permukaan lumen bercak ateroma, perdarahan ke dalam bercak serta
trombosis yang merupakan komplikasi yang penting dan paling ditakuti karena
dapat menyebabkan penutupan arteri sebagian atau secara total, kalsifikasi, dan
dilatasi aneurisma.8,10

2.8 Diagnosis dan diagnosis banding7


Anamnesis
Keluhan pada pasien aterosklerosis tergantung pada tempat pembuluh darah yang
terkena
- Eksremitas maka keluhan nyeri saat berjalan
- Ginjal menyebabkan Hipertensi
- Jantung menyebabkan keluhan angina
- Otak menyebabkan lemah pada anggota gerak, dan gangguan saraf

Pemeriksaan Fisik
- Lakukan pemeriksaan nadi secara keseluruhan untuk mengetahui denyutan,
kesamaan dan kekuatan.
- Tes menggantung untuk evaluasi penyakit oklusi pada arteri

Pemeriksaan penunjang
- USG Dopler
- CT-scan
- MRI
- ABI (Ankle Brachial Index)

2.9 Tata laksana

Pada tingkat tertentu, tubuh akan melindungi dirinya dengan membentuk

pembuluh darah baru di daerah yang terkena. Bisa diberikan obat-obatan untuk

menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah seperti kolestiramin, kolestipol,

asam nikotinat, gemfibrozil, probukol, dan lovastatin. Untuk mengurangi resiko

terbentuknya bekuan darah, dapat diberikan obat-obatan seperti aspirin, ticlopidine dan

clopidogrel atau anti-koagulan.

Sementara angioplasti balon dilakukan untuk meratakan plak dan meningkatkan

aliran darah yang melalui endapan lemak. Enarterektomi merupakan suatu pembedahan

untuk mengangkat endapan. Pembedahan bypass merupakan prosedur yang sangat

invasif, dimana arteri atau vena yang normal dari penderita digunakan untuk membuat

jembatan guna menghindari arteri yang tersumbat.

3. TAO/BUERGER’S DISEASE
3.1 Definisi
Burger’s disease atau disebut juga dengan tromboangitis obliterans merupakan
penyakit inflamasi non- aterosklerotik pada arteri ukuran sedang, arteri kecil serta
vena ekstremitas.13

3.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit ini pada masyarakat di Jepang sekitar 5/100.000 populasi.
Umumnya, Buerger’s disease terjadi pada orang dewasa muda usia 20-45 tahun.
Rasio antara laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini adalah 3:1.4
Beberapa studi melaporkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi pada wanita dari
11% ke 23%. Buerger’s disease jarang terjadi pada individu keturunan Eropa Utara
dan Amerika Serikat, namun individu asli India, Korea, dan Jepang serta Israel
memiliki insidensi penyakit Buerger’s disease yang tertinggi.4 Prevalensi penyakit
ini pada populasi di Jepang diestimasikan sebanyak 5/100.000 orang pada tahun
1985.5 Prevalensi penyakit arteri perifer berkisar antara 0.5-5.6% di Eropa Barat,
45%- 63% di India, 16-66% di Korea dan Jepang, dan 80% pada orang Yahudi di
Israel.14,15

3.3 Faktor resiko16


- Merokok
- Hiperkoagulabilitas
- Genetik

3.4 Patogenesis16
Inflamasi menimbulkan penyumbatan lumen pembuluh darah arteri berukuran
sedang dan kecil dan merambat ke vena dan syaraf yang berdampingan. Hal ini bisa
terjadi pada Arteri dan vena ukuran kecil ekstremitas inferior dan superior (pada
jari-jari kaki dan tangan). Pembuluh darah arteriotak, renalis, arteri koroner,
mesenterika, thorakalis interna.

3.5 Diagnosis16
1. Anamnesis
Nyeri merambat pada ekstremitas inferior dan superior khususnya dibagian
distal, yang umumnya ditemukan pada perokok.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pada fase akut 2-3 minggu pertama segmen vena berwarna merah gelap dan
nyeri pada perabaan.
b. >3 minggu, nyeri berkurang atau menghilang, warna segmen vena berwarna
lebih gelap dan teraba keras seperti kawat. Hilangnya pulsasi arteri di bagian
distal.
c. Nekrosis atau gangren pada jari
d. Ekstremitas inferior dan superior bagian distal (Phalanx)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG

b. Laboratorium: Hb, Ht, Leucocyte, Trombocyte, electrolyte, ureum kreatinine,


GDS, GDP, GD2JPP, HbSAg, enzimhati, penanda imunologik: diagnosis untuk
sindroma CREST, CRP, Faktor V Leiden
c. Ekokardiografi

d. Doppler arteri-vena
e. Arteriografi
4. Kriteria diagnostik
a. Klinis
Bagian distal dari ekstrimitas inferior dan superior berwarna merah gelap,
seiring waktu bertambah gelap disertai nyeri pada perabaan dan hilangnya
pulsasi arteri di bagian distal dengan/ tanpa disertai nekrosis/ ganggren
b. Simptom
Nyeri disertai perubahan warna kulit (merah kehitaman) pada bagian distal
ekstremitas inferior dan superior
3.6 Diagnosis banding
a. Insufesiensi vena kronis
b. Acute limb ischemia
c. Penyakit Raynoud
d. Sklerodaktili
3.7 Tata laksana16

Umum (non bedah) :

- Edukasi
- Perawatan luka
- Pengobatan infeksi
- Cilostazole 2-3x 50 mg/hari
- Beraprost sodium (2-3 x 20 mcg)
- Dipyridamole 3 x 50-75 mg
- Pentoxyfilin
Khusus:
Operasi bedah pintas dengan atau tanpa amputasi
3.8 Prognosis16
Prognosis pada pasien dengan penyakit buerger’s disease adalah dubia at bonam

4. RAYNAUD’S PHENOMENOM

4.1 Definisi16
Sindrom Raynaud’s adalah kumpulan gejala akibat vasospasme priodik pembuluh
darah jari-jari.

4.2 Epidemiologi17
Pada tahun 2010 di Indonesia sindroma raynaud menjadi penyebab kematian
penyakit tidak menular dengan prevalensi sekitar 27,91%.

4.3 Faktor resiko16


Etiologi dari Buerger’s disease masih belum diketahui, namun sebagian besar
individu yang terkena penyakit ini adalah perokok berat. Penyakit ini
diidentifikasikan sebagai respon autoimun terhadap nikotin, sehingga
penyalahgunaan tembakau adalah faktor risiko utama.

4.4 Patogenesis17
Patogenesis fenomena Raynaud belum sepenuhnya dipahami. Namun, 20 tahun
terakhir telah menyaksikan peningkatan luar biasa dalam pemahaman kita tentang
mekanisme yang berbeda yang, secara tunggal atau dalam kombinasi, dapat
berkontribusi. Poin utamanya adalah fenomena Raynaud dapat bersifat primer
(idiopatik) atau sekunder terhadap sejumlah kondisi yang mendasarinya, dan
patogenesis serta patofisiologi bervariasi di antara kondisi-kondisi ini. Ulasan ini
berkonsentrasi pada subtipe fenomena Raynaud yang paling menarik bagi para ahli
reumatologi: fenomena Raynaud yang berhubungan dengan sklerosis sistemik,
fenomena Raynaud primer dan fenomena Raynaud sekunder akibat sindrom getaran
tangan-lengan. Dalam ulasan ini, saya akan membahas mekanisme utama yang
dianggap penting dalam patofisiologi di bawah tiga judul luas 'vaskular', 'saraf' dan
'intravaskular'. Sementara ini adalah perbedaan palsu karena semua saling
berhubungan, mereka memfasilitasi diskusi tentang elemen kunci: dinding
pembuluh darah (terutama endotelium), kontrol saraf nada vaskular, dan banyak
faktor yang beredar yang dapat mengganggu aliran darah dan / atau menyebabkan
cedera endotel. . Abnormalitas vaskular mencakup baik struktur maupun fungsinya.
Abnormalitas saraf termasuk defisiensi vasodilator kalsitonin terkait peptida gen
(dilepaskan dari aferen sensoris), alfa (2) -adrenoreceptor aktivasi (mungkin dengan
up-regulasi normal 'diam' alfa (2C) -adrenoreceptor) dan sistem saraf pusat
komponen. Kelainan intravaskular termasuk aktivasi trombosit, gangguan
fibrinolisis, peningkatan viskositas dan mungkin stres oksidan. Ketika pemahaman
kita tentang patofisiologi fenomena Raynaud meningkat, begitu juga kemungkinan
kita untuk mengidentifikasi perawatan yang efektif.

4.5 Diagnosis16
Anamnesis: gejala yang bersifat priodik berupa:
- Jari-jari sulit di gerakkan, rangsangan perabaan berkurang, rasa seperti
kesemutan
- Terjadi setelah diawali oleh ketegangan atau stress emosional , terpapar
hawa dingin dan merokok

Pemeriksaan Fisik: Gejala yang bersifat priodik berupa:

- Jari-jari yang sulit digerakkan (numbness)


- Perubahan warna kulit (pallor)
- Sianosis sampai kemerahan (rubor)
- Hiperhidrosis

Kriteria diagnosis

- Serangan vasoprastik dipresipitasi oleh suatu suhu dingin atau rangsangan


emosi
- Diderita oleh eksremitas bilateral atau simetris
- Tanpa adanya ganggren
- Gejala telah berlangsung minimum 2 tahun
- Tidak ditemukan adanya penyakit yang mendasari keluhan vasospasme

Diagnosis banding

- Penyakit Buerger
- Arteritis takayasu

4.6 Tata laksana16


Proteksi terhadap trauma dingin
Obat oral: Nifedipin 1 x 30-60 mh: Prazosin 2x1-5mg, losartan 1 x 50mg, cilostazol
2x50mg
Obat injeksi: PGE1 5-10 mg/kg/min selama 72 jam
Revaskularisasi : Trombolitik atau bedah
Debridemant
Amputasi

4.7 Prognosis16
Prognosis pada pasien ini umumnya dubia at bonam

5. Vaskulitis
5.1 Definisi
Vaskulitis adalah reaksi kutaneus maupun sistemik, yang secara mikroskopik
digambarkan sebagai infiltrasi sel-sel inflamatorik pada dinding pembuluh darah,
dengan derajat nekrosis sel endotel dan dinding pembuluh darah yang bervariasi.
Ukuran pembuluh darah yang terkena bervariasi, mulai dari arteri besar (giant cell
arteritis) sampai kapiler dermis dan venula (lekocytoclastic vasculitis).17,18

5.2 Klasifikasi
The American Collage of Rematology mengklasifikasikan vaskulitis yaitu
poliarteritis nodusa, sindrom Chrug-Strauss, Wegener granulomatosis, vaskulitis
hipersensitivitas, purpura Henoch-Schonlein, arteritis sel raksasa dan Takayasu
arteritis.19

5.3 Patogenesis

Patogenesis dari vaskulitis sangat sulit dimengerti. Tiga mekanisme yang mungkin

terjadi adalah akibat kompleks imun, humoral respon dan respon T-limfosit dengan

pembentukan granulosit. Akhir dari jalurr-jalur ini adalah aktivasi sel endotel dengan

obstruksi pembuluh darah hingga iskemik jaringan. Hal ini dapat menyebabkan hemorage

jaringan, dalam beberapa kasus melemahkan dinding pembuluh dan berakhir dengan

aneurisma.19

5.4 Manifestasi klinis

Pasien dengan vaskulitis dapat menunjukkan gejala demam, kemerahan, mialgia,

artralgia, malaise hingga penurunan berat badan.19

5.5 Tatalaksana

Identifikasi tipe vaskulitis sangatlah penting karena berhubungan dengan terapi. Tipe
tipe tertentu bersifat self-limited, sementara tipe lainnya membutuhkan terapi
kortikosteroid, dengan atau tanpa agen sitotoksik, atau membutuhkan modalitas terapi lain,
seperti plasmaferesis. Pada awal penegakan diagnosis, harus segera ditentukan apakah ada
organ dalam yang terlibat, sehingga dapat segera diberi terapi yang tepat dan adekuat.
Kortikosteroid dosis tinggi (prednison 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi) adalah terapi
standar untuk sindrom vaskulitis sistemik. Imunosupresan, seperti siklofosfamid,
azatioprin, dan metotreksat, dikombinasi dengan kortikosteroid, telah digunakan secara
luas, tetapi masih sedikit bukti ilmiah yang mendukung efektivitas terapi kombinasi ini.20

6. Aneurisma Aorta

6.1 Definisi

Aneurisma adalah dilatasi dinding arteri yang terlokalisasi. Aneurisma sejati timbul

akibat atrofi tunika media arteri. Dinding arteri berdilatasi tetapi tetap utuh walaupun

mengalami distorsi, dan terutama terdiri dari jaringan fibrosa. Aneurisma dapat timbul

dimana-mana dalam aorta atau pembuluh darah perifer.21

6.2 Klasifikasi

Aneurisma dapat digolongkan berdasarkan bentuknya: sakular dan fusiform.

Aneurisma sakular menyerupai kantong (sack ) kecil, aneurisma hanya melibatkan

sebagian dari lingkar arteri dimana aneurisma berbentuk seperti kantong yang menonjol

dan berhubungan dengan dinding arteri melalui suatu leher yang sempit; aneurisma

fusiformis menyerupai kumparan, dilatasi simetris dan melibatkan seluruh lingkar

arteri.22
Berdasarkan etiologi aneurisma umunya dibedakan:(1) degenerative

aneurysms, disebabkan oleh perubahan aterosklerosis pada dinding pembuluh darah.

Patogenesis aneurisma akan dijelaskan di bagian lain, proses melibatkan berbagai

faktor antara lain predisposisi genetik, penuaan/aging , aterosklerosis, inflamasi dan

aktivasi enzim proteolitik lokal. (2) Aneurisma kongenital dan aneurisma yang

berhubungan dengan arteritis dan penyakit jaringan ikat sangat jarang.

Berdasarkan letak yang tersering aorta torasika dan aorta abdominalis.


Aneurisma torasika dapat menyerang aorta torasika desenden dibawah arteri
subklavia kiri, aorta asenden diatas katup aorta, dan arkus aorta. Aorta desenden
paling sering terserang. Aoneurisma aorta abdominal dibagi menjadi aneurisma aorta
infrarenal ---aneurisma mengenai sebagian segmen aorta dibawah arteri renalis;
aneurisma aorta juxtarenal—mengenai seluruh segmen aorta dibawah arteri renalis;
aneurisma aorta pararenalis—sampai mengenai pangkal arteri renalis; aneurisma aorta
suprarenalis— aneurisma meluas sampai diatas arteri renalis. Pada aneurisma
aortaabdominal lokasi tersering adalah infrarena.

6.3 Patofisiologi
Pembentukan aneurisma timbul akibat degenerasi dan melemahnya tunika

media arteri. Degenerasi media dapat terjadi karena keadaan-keadaan congenital atau

didapat, seperti arterosklerosis, atau sindrom Marfan. Dilatasi vascular dapat pula

terjadi akibat efek semprotan aliran darah melalui suatu plak vascular yang menyumbat,

menimbulkan aliran turbulen di distal lesi; dilatasi pasca stenosis ini melemahkan

dinding arteri. Selain sebab-sebab yang diketahui ini, interaksi dari banyak factor lain

dapat menjadi predisposisi pembentukan aneurisma pada dinding arteri. Aliran turbulen
pada daerah bifurkasio dapat ikut meningkatkan insiden aneurisma di tempat-tempat

tertentu. Suplai darah ke pembuluh darah melalui vasa vasorum diduga dapat terganggu

pada usia lanjut, memperlemah tunika media dan menjadi factor predisposisi

terbentuknya aneurisma. ApapunApapun penyebabnya, Aneurisma akan menjadi

semakin besar menurut hukum Laplace. Tegangan atau tekanan pada dinding berkaitan

langsung dengan radius pembuluh darah dan tekanan intraarteri. Dengan melebar dan

bertambahnya radius pembuluh darah, tekanan dinding juga meningkat sehingga

menyebabkan dilatasi dinding pembuluh darah. Sehingga angka kejadian rupture

aneurisma juga meningkat seiring meningkatnya ukuran aneurisma. Selain itu, sebagian

besar individu yang mengalami aneurisma juga menderita hipertensi sehingga

menambah tekanan dinding dan pembesaran aneurisma.21

Kontribusi potensial dari ukuran arteri terhadap pembentukan aneurisma juga

sudah dipikirkan. Individu dengan arteri-arteri utama yang besar, atau arteriomegali,

dan permukaan tubuh yang luas cenderung memiliki insiden aneurisma yang lebih

tinggi. Peningkatan aliran darah aorta dapat berpengaruh pada perkembangan

aneurisma. Aneurisma biasanya membentuk lapisan bekuan darah sepanjang dinding

akibat aliran yang lambat. Trombi mural merupakan sumber emboli dan thrombosis

aneurisma spontan yang potensial. 21

6.4 Gejala dan tanda

Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa tahun dan sering tanpa

gejala. Jika aneurisma mengembang secara cepat, maka terjadi robekan (ruptur

aneurisma), atau kebocoran darah disepanjang dinding pembuluh darah (aortic

dissection), gejala dapat muncul tiba-tiba.23


a. Aneurisma aorta abdominal

Aneurisma asimptomatik. Aneurisma ini biasanya ditemukan saat pemeriksaan

fisik rutin dengan dideteksinya pulsasi aorta yang prominen. Lebih sering aneurisma

asimptomatik ditemukan sebagai penemuan insidental saat pemeriksaan USG abdomen

atau CT scan. Denyut perifer biasanya normal, tetapi penyakit arteri oklusif pada renal

atau ekstremitas bawah sering ditemukan pada 25% kasus.

Aneurisma simptomatik. Nyeri midabdominal atau punggung bawah atau

keduanya dan adanya pulsasi aorta prominen dapat mengindikasikan pertumbuhan

aneurisma yang cepat, ruptur, atau aneurisma aorta inflamatorik. Aneurisma

inflamatorik terhitung kurang dari 5% dari aneurisma aorta dan dikarakteristikkan

dengan inflamasi ekstensif periaortic dan retroperitoneal dengan sebab yang belum

diketahui. Pada pasien ini terdapat demam ringan, peningkatan laju endap darah, dan

riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru saja, pasien sering sebagai perokok

aktif. Infeksi aneurisma aorta (baik dikarenakan oleh emboli septik atau kolonisasi

bakteri aorta normal dari aneurisma yang ada) sangat jarang terjadi tetapi harus

diperkirakan pada pasien dengan aneurisma sakular atau aneurisma yang bersamaan

dengan fever of unknown origin.

Ruptur aneurisma. Pasien dengan ruptur menderita nyeri hebat pada punggung,

abdomen, dan flank serta hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal

dengan prognosis yang lebih baik daripda ruptur anterior ke rongga peritoneum.

Sembilan puluh persen meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Satu-satunya kesempatan

untuk menolong adalah perbaikan bedah emergensi. Gejala ruptur antara lain:

o Sensasi pulsasi di abdomen


o Nyeri abdomen yang berat, tiba-tiba, persisten, atau konstan

o Nyeri dapat menjalar ke selangkangan, pantat, atau tungkai bawah

o Abdominal rigidity

o Nyeri pada punggung bawah yang berat, tiba-tiba, persisten,atau konstan, dapat

menjalar ke selangkangan, pantat, atautungkai bawah

o Anxietas

o Nausea dan vomiting

o Kulit pucat

o Shock

o Massa abdomen

b. Aneurisma aorta thoracica

Manifestasi klinisnya tergantung dari besarnya ukuran, posisi aneurisma, dan

kecepatan tumbuhnya. Sebagian besar adalah asimptomatik dan ditemukan dalam

prosedur diagnostik untuk keadaan lain Pada anamnesis aneirisma aorta torakalis

umumnya asimptomatik, tetapi apabila aneurisma membesar dapat menekan dan

mengakibatkan erosi jaringan sekitar. Maka keluhan yang timbul berupa nyeri dada,

sesak nafas, batuk, wheezing, atau pneumonia rekuren, akibat dari efek penekanan dari

trakea dan bronkus utama, Yang lainnya menderita dispneu, stridor, atau batuk akibat

penekanan pada trakhea, disphagia akibat penekanan pada esophagus, hoarseness

akibat penekanan pada nervus laryngeus recurrent sinistra, atau edema leher dan lengan

akibat penekanan pada vena cava superior. Pada rupture aneurisma aorta torakal bisa

ditemukan keluhan sindrom akut aorta berupa nyeri dada hebat, baik dileher, punggung
dan abdomen disertai tanda-tanda syok.. Regurgitasi aorta karena distorsi anulus

valvula aortikus dapat terjadi dengan aneurisma aorta ascenden.23

6.5 Pemeriksaan penunjang

a. Ultrasound adalah pemeriksaan skrining dan untuk mengetahui perkembangan

aneurisma pada pasien dengan aneurisma yang kecil (<5 cm). Biasanya aneurisma

membesar 10% diameter per tahunnya; sehingga USG abdomen direkomendasikan

untuk aneurisma yang lebih besar 3,5 cm

b. Radiologi thorak pelebaran mediastinum, pembesaran aortic knob, atau

tertariknya trakea

c. CT scan — metode yang sangat akurat untuk mendiagnosa adanya aneurisma

maupun mengetahui ukuran aneurisma.

d. Angiography aorta (aortography) — gold standard adanya aneurisma aorta dan

bagian aorta yang terlibat. Diindikasikan sebelum repair aneurisma arterial

oclusive disease pada viseral dan ekstremitas bawah atau saat repair endograft akan

dilakukan.

e. Ekokardigrafi : Dapat mengukur diameter aorta relatif terhadap diameter yang

berdasarkan umur dan besar tubuh pada aneurisma torakalis.

Aneurisma aorta abdominalis

Aneurisma berukuran kecil dan tidak ada gejala (misalnya aneurisma yang

ditemukan saat pemeriksan kesehatan rutin), maka direkomendasikan pemeriksaan

kesehatan periodik saja, meliputi pemeriksaan USG tiap tahunnya, untuk memantau

apakah aneurisma menjadi besar.


Penatalaksanan aneurisma aorta adalah dengan cara mengontrol penyakit yang

dapat memperburuk aneurisma aorta, yaitu mengontrol tekanan darah, optimalisasi profil

lemak, berhenti merokok dan mereduksi hal yang lain yang dapat menyebabkan

aterosklerosis.

Pada pasien dengan hipertensi sebaiknya target tekanan darah sibawah 140/90

mmHg pada pasien tanpa diabetes atau di bawah 130/80 mmHg pada pasien dengan

diabetes. Obat anti hipertensi yang jadi pilihan adalah angiotensin-converting enzyme

inhibitor, angiotensin reseptor blockers, dan beta adrenergic blocker.21

Penatalaksanaan dengan statin untuk mencapai target LDL kolesterol kurang dari

70 mg/dl untuk pasien dengan risiko yang setara dengan penyakit jantung koroner dan

pada risiko tinggi timbulnya penyakit jantung koroner akibat kejadian iskemik koroner,

dengan target terapi adalah LDL kurang dari 100mg/dl. Terapi awal sebaiknya diberikan

statin.

Indikasi operasi: pasien dengan diagnosis aneurisma ≥ 5 cm atau dengan pelebaran

aneurisma yang progresif dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Perubahan

mendadak seperti nyeri yang sangat hebat merupakan tanda bahaya dan dapat merupakan

suatu tanda pelebaran aneurisma yang progresif, kebocoran, dan ruptur. Tujuan tindakan

bedah adalah melaksanakan operasi sebelum komplikasi terjadi.

Ada dua pendekatan tindakan bedah. Dahulu dengan membuka abdomen.

Pembuluh darah yang abnormal digantikan oleh graft yang dibuat dari material sintetis,

seperti Dacron. Pendekatan lain disebut endovascular repair. Endovascular Aortic

Aneurysm Repair (EVAR) teknik EVAR, stent-graft dimasukkan ke dalam lumen

aneurisma melalui arteri femoralis dan difiksasi ditempatnya pada leher aorta yang
tidak mengalami aneurisma dan arteri iliaca dengan melebarkan stent atau balloon-

expandable stents.

Aneurisma aorta Thoracica

Indikasi untuk pembedahan meliputi adanya gejala, ekspansi cepat, atau ukuran

yang lebih besar dari 5 cm. Risiko operasi dari kondisi komorbid harus

dipertimbangkan jika merekomendasikan repair aneurisma yang asimtomatik.

Morbiditas dan mortalitas tinggi dibandingkan dengan aneurisma aorta abdominal..

Repair endovascular dari aneurisma aorta thoracica mengurangi risiko

kardiopulmonal, tetapi lokasi aneurisma yang sulit, dapat menggantikan repair

endovascular dengan metode terkini.

7. ACUTE LIMB ISCHEMIA

7.1 Definisi

Suatu kondisi dimana terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas secara tiba tiba

yang menyebabkan gangguan pada pergerakan, rasa nyeri atau tanda tanda iskemik berat

dalam jangka waktu 2 minggu. Pria dan wanita mempunyai prevalensi yang seimbang hal

ini dapat terjadi ketika ekstremitas kekurangan aliran darah yang adekuat. Gejalanya

tergantung pada tingkat keparahan hipoperfusi, prosesnya dapat berkembang mendadak.

Aterosklerosis adalah penyebab yang paling umum pada iskemia ekstremitas bawah.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan peningkatan prevalensi dan insiden iskemia

ekstremitas bawah adalah penuaan, meningkatnya aterosklerosis, perifer aneurisma, dan

lesi vaskular yang lain yang terkait dengan usia lanjut. Faktor kedua adalah meningkatknya

insidensi diabetes. Diabetes mempercepat perkembangan aterosklerosis dan iskemia


ekstremitas bawah. Faktor ketiga adalah meningkatnya jumlah pasien yang memiliki

riwayat operasi bypass arteri perifer yang berpotensi oklusi pada graft.24

7.2 Etiologi

Iskemia tungkai akut dapat terjadi akibat embolisasi atau in-situ trombosis. Emboli

berasal dari jantung dan biasanya terjadi pada lokasi bifurkasio arteri seperti arteri

femoralis komunis distal atau arteri poplitea. Trombus yang terbentuk di dalam jantung

sering disebut macrotrombus yang menyumbat dari percabangan arteri. Sumber trombus

lainnya adalah dari trombus yang terbentuk pada anerisma aorta, yang sering disebut

microtrombus. Microtrombus berasal dari anerisma aorta yang menyumbat di aretri kecil-

kecil pada jari kaki (disebut bluetoes) akan menimbulkan bintik-bintik kecil-kecil bewarna

biru yang lama-kelamaan bersatu bertambah besar dan bewarna gelap.

7.3 Diagnosis

Iskemia tungkai akut adalah diagnosis klinis. Pasien mengeluhkan mati rasa dan nyeri

di ekstremitas, pada kasus yang berat hilangnya fungsi motorik dan kekakuan otot. Pain,

pallor, paresthesia, paralysis, pulselessness yang menunjukkan iskemia tungkai akut.

Proses ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan trombosis vena dalam. Meskipun

trombosis vena dalam dapat bermanifestasi sebagai iskemia tungkai yang berat

(phlegmasia cerulea dolens), edema ekstremitas bawah jarang disebabkan oleh iskemia

arteri murni. Nyeri dapat berupa konstan atau ditimbulkan oleh gerakan pasif ekstremitas

yang terlibat. Oklusi emboli biasanya tiba-tiba dan dengan intensitas yang besar, sehingga

onset timbul dalam beberapa jam. Riwayat penyakit dahulu yang mempengaruhi seperti

klaudikasio intermiten, bypass kaki, aritmia jantung dan aneurisma aorta. Faktor risiko
aterosklerosis seperti merokok, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, riwayat keluarga yang

memiliki penyakit jantung atau pembuluh darah.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi letak obstruksi, kemungkinan

penyebab dan derajat iskmia. Informasi tersebut diperlukan untuk pengobatan yang tepat.

Anamnesis melihat durasi dan progresi, riwayat penyakit jantung sebelumnya bisa

menyulitkan pengobatan. Pada klaudikasio menandakan sebelumnya mendapat penyakit

aterosklerotif oklusi. Pemeriksaan fisik mendapatkan kemungkianan sumber dari emboli.

Tanda-tanda iskemia kronis tungkai bawah, hipertropic kuku, atrofi kulit, rambut rontok

pada kaki menandakan sebelumnya mempunyai penyakit oklusi. Adanya insufisiensi arteri

akut biasanya ditandai dengan perubahan suhu pada ekstremitas distal pada level obstruksi.

Kemampuan untuk dorsifleksi dan plantarfleksi dari jari-jari kaki menunjukkan viabilitas

dari otot-otot betis, ketidak mampuan menggerakkan dari jari-jari kaki menandakan

impending nekrosis pada otot otot betis.24

7.4 Penatalaksanaan

1. Preoperatif anticoagulation dengan IV heparin.

2. Resusitasi cairan, koreksi asidosis sistemik, inotropic support.

3. Terapi pembedahan dilakukan untuk iskemik yang mengancam ekstremitas.

4. Trombectomy atau embolectomy.

5. Melindungi vascular bed distal terhadap obstruksi proksimal merupakan hal

yang sangat penting dan dapat dipenuhi oleh antikoagulan sistemik yang

diberikan segera, dengan heparin intravena.

6. Terapi utama dari iskemi akut adalah rekontruksi pembedahan vascular yang

pantas.
Penyakit Pembuluh Darah Vena

8. DEEP VEIN TROMBOSIS

8.1 Definisi
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk
arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi.25 Trombus dapat terjadi pada arteri atau
pada vena, trombus arteri di sebut trombus putih karena komposisinya lebih banyak
trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi pada
aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam jaringan
fibrin sehingga berwarna merah.25 trombosis vena dalam merupakan kondisi dimana darah
pada vena-vena profunda pada tungkai atau pelvis membeku. Sering kali emboli paru
merupakan tanda dari thrombosis vena.26

8.2 Epidemiologi
Insidens DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per 100.000
populasi/tahun. Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 –
20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada usia di
atas 70 tahun.27 Insidens DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan lebih rendah
dibandingkan pada ras Kaukasia, Afrika-Amerika Latin, dan Asia Pasifik. Tidak ada
perbedaan insidens yang signifikan antara pria dan wanita.27,28

8.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam proses
terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan
aliran darah dan perubahan daya beku darah.
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah
dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.29
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah :

Stasis Imobilitas

Bed rest

Tindakan anestesi
Gagal Jantung Kongestif
Riwayat trombosis vena sebelum- nya
Hiperkoagulabilitas Keganasan

Antibody Antikardiolipin

Sindrom nefrotik

Trombositosis esensial

Terapi esterogen

Heparin induced

Trombositopenia

Inflammatory bowel disease

Paroxysmal nocturnal hemogrobinuria

Disseminated intravascular coagulation

Defisiensi protein C and 5

Defisiensi antitrombin III


Kerusakan dinding pembuluh darah Trauma pembedahan

8.4 Patofisiologi

Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :26


1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.

1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.

Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah
sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

2. Kerusakan pembuluh darah


Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena, melalui
:30,31,32

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.


b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan
dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh
bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti
prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat
mencegah terbentuknya trombin.30

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan
ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada
jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang
melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang
trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel
endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.31

3. Perubahan daya beku darah


Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem
fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat
atau aktifitas fibrinolisis menurun.

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah
meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.25,30

8.5 Manifestasi klinis


Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:32

1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah
betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan
anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau
kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika
penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan peradangan
jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka lokasi bengkak adalah di
bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan
perivaskuler, bengkak timbul
di daerah trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika berjalan
dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena
dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa
berubah pucat dan kadangkadang berwarna ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan
dingin pada perabaan merupakan tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme
arteri, disebut flegmasia alba dolens.

8.6 Diagnosis
- Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam

pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal

yang penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya, serta

adanya riwayat trombosis pada keluarga juga. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema,

eritema, peningkatan suhu lokal di tempat yang terkena, homan sign (+) dan pembuluh vena

teraba. Diagnosis klinis ini harus dikombinasikan dengan skor Well agar diagnosis lebih

akurat.

Well’s rule sebagai tes awal untuk diagnosis DVT33


Karakteristik Klinis Skor

Kanker aktif (sedang dalam pengobatan, atau riwayat menjalani pengobatan dalam
1
bulan terakhir atau sedang dalam terapi paliatif)

Paresis, paralisis, atau imobilisasi akibat bidai pada ekstremitas bawah 1

Tirah baring >3 hari atau baru menjalani bedah mayor dalam 4 minggu terakhir 1

Nyeri lokal terbatas pada daerah yang sesuai dengan sistem distribusi vena dalam 1

Pembengkakan seluruh bagian tungkai 1

Pembengkakan tungkai bawah dengan diameter 3 cm lebih besar dari tungkai bawah
1
kontralateral (diukur 10 cm di bawah tuberositas tibia)

Pembengkakan tungkai terbatas pada daerah yang simptomatik 1

Kolateral vena-vena superfisial (bukan varises) 1

Diagnosis alternatif yang mirip atau sama kuatnya dengan trombosis vena dalam -2

Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau
kurang, menandakan kemungkinan DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT
sedang, dan skor 3 atau lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi.

- Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-dimer dan penurunan

antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Pemeriksaan D-dimer dapat

dilakukan dengan ELISA atau latex agglutination assay. D-dimer <0,5 mg/ mL dapat

menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik, sehingga

hasil negatif sangat berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik

untuk DVT, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT.

- Radiologis

Pemeriksaan radiologis penting untuk mendiagnosis DVT. Beberapa jenis pemeriksaan

radiologis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis DVT, yaitu:

- Magnetic Resonance Venography

Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara daerah dan

aliran darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah. Pemeriksaan ini

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun belum luas digunakan. Saat ini

sedang dikembangkan pemeriksaan resonansi magnetik untuk deteksi langsung bekuan

darah dalam vena. Pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan

kandungan methemoglobin bekuan darah.


- Venografi

Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast phlebography atau contrast

venography. Prinsip pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam sistem

vena, akan terlihat gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal vena

iliaca. Venografi dapat mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan

darah serta menilai kondisi vena dalam. Venografi digunakan pada kecurigaan kasus DVT

yang gagal diidentifikasi menggunakan pemeriksaan non-invasif.Venografi adalah

pemeriksaan paling akurat untuk mendiagnosis DVT. Sensitivitas dan spesifisitasnya

mendekati 100%, sehingga menjadi gold standard diagnosis DVT. Namun, jarang

digunakan karena invasif, menyakitkan, mahal, paparan radiasi, dan risiko berbagai

komplikasi.

- FlestimografiImpedans

Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah tungkai. Pemeriksaan

ini lebih sensitif untuk trombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di daerah

betis.

- Ultrasonografi(USG)Doppler

Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif. USG memiliki

tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien yang dicurigai menderita DVT

simptomatis dan terletak di daerah proksimal.

- Magnetic Resonance Venography

Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara daerah dan

aliran darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah. Pemeriksaan ini

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun belum luas digunakan. Saat ini
sedang dikembangkan pemeriksaan resonansi magnetik untuk deteksi langsung bekuan

darah dalam vena. Pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan

kandungan methemoglobin bekuan darah.

8.7 Tata Laksana


Terapi farmakologi :
1. Heparin unfractioned, bolus i.v.10.000 U, dilanjutkan drip IV selama 5 hari dengan
target APTT 2,5 X control atau low molecular weight heparin, s.c.2 x 0,6 ml/hari
selama 5 hari
2. Anticoagulant oral mulai hari ke 2 pemberian heparin, dilanjutkan selama 6 bulan dan
bila ada gangguan koagulasi maka dilanjutkan seumur hidup.
3. Trombolitik perkutan, diindikasikan pada TVD proximal dimana thrombus mencapai
vena iliofemoralis
4. Bila diperlukan implantasi filter vena cava, bedah cross over, Endovaskular stenting
Graft, Operasi reseksi/graft

Non-farmakologi :

1. Tinggikan ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena


2. Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskuler
3. Latihan lingkup gerak sendiri
4. Pemakaian alas kaki elastic

9. Varises Vena Tungkai


9.1 Definisi
Varises merupakan suatu kondisi terjadinya pelebaran pembuluh darah, terutama
pembuluh darah balik (vena). Varises bisa terjadi di bagian tubuh manapun, namun
lebih banyak ditemukan di daerah betis dan kaki. Hal ini dikarenakan peningkatan
tekanan pada pembuluh vena saat tubuh berdiri dan berjalan. Selain itu, kaki juga
menopang berat badan. Hal-hal ini dapat meningkatkan tekanan pada pembuluh darah
vena di bagian kaki.34
Varises dapat ditimbulkan pula dari pola aktivitas sehari-hari seperti kebiasaan
berdiri
dan duduk lama. Sekitar 60% orang dengan varises vena mempunyai riwayat
keluarga/proses penuaan menyebabkan vena melemah dan tidak berfungsi baik. Wanita
berisiko mengalami varises vena 2-3 kali lebih besar daripada pria. Perubahan hormon
akibat pubertas, kehamilan, monepouse, atau menggunakan obat kontrasepsi
meningkatkan risiko varises pada wanita. Pada kehamilan, pertumbuhan janin
berpengaruh meningkatkan tekanan vena tungkai, tetapi varises mengalami perbaikan
3-12 bulan setelah melahirkan. Kelebihan berat badan dan obesitas dapat menambah
tekanan pada vena dan mengakibatkan varises. Berdiri atau duduk terlalu lama,
terutama dengan tungkai bersilang, menyebabkan vena bekerja lebih keras untuk
memompa darah ke atas.35 Varises tungkai adalah vena superfisial yang mengalami
dilatasi, pemanjangan dan berkelok – kelok dengan fumgsi katup yang abnormal.36

9.2 ETIOPATOGENESIS
Patofisiologis terjadinya varises tungkai pada dasarnya dibagi menjadi 4 faktor yang
dapat saling tumpang tindih yaitu:
a. Peningkatan tekanan vena profunda
b. Inkompetensi katup primer
c. Inkompetensi katup sekunder
d. Kelemahan fascia

Pada keadaan yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena profunda adalah
peningkatan tekanan intra abdomen (keganasan abdominal, ascites, kehamilan),
inkompetensi safenofemoral, inkompetensi katup vv. perforantes, obstruksi vena
intraluminal. Kembalinya darah yang efisien ke jantuing tergantung pada fungsi sistem
vena profunda. Pada posisi berdiri saat istirahat tekanan pada pergelangan kaki akan
meningkat sekitar 100 – 140 mmHg, selanjutnya akan turun sekitar 40% saat
berjalan/aktivitas. Kontraksi otot betis dapat menghasilkan tekanan sekitar 200 – 300
mmHg. Bila terjadi inkompetensi katup, maka tekanan tersebut dapat menyebabkan aliran
darah berbalik dari vv. profunda ke vv.superfisial, sehingga setiap gerakan otot akan
semakin menambah jumlah darah kearah v. profunda dan superfisial, akibatnya terjadi
peningkatan tekanan vena dan gangguan mikrosirkulasi1.
Hipertensi vena kronis pada tungkai menyebabkan aliran tidak beraturan sehingga
terjadi dilatasi vena dan inkompetensi katup lebih lanjut. Katup yang lemah atau tidak
berfungsi dapat merupakan faktor pencetus yang mengubah hemodinamik vena sehingga
terjadi varises1. Inkompetensi katup primer dapat terjadi karena kerusakan katup yang
menetap, misalnya destruksi atau agenesis katup. Inkompetensi katup sekunder merupakan
penyebab tersering varises, katup tersebut dapat normal, tetapi menjadi inkompeten akibat
pelebaran dinding vena atau Karen destruksi pasca thrombosis vena profunda. V. saphena
magna dan cabangnya merupakan tempat yang sering mengalami varises, sebab dinding
vena superfisial ini lemah, hanya mempunyai sedikit jaringan penyangga berupa jaringan
ikat, lemak subkutis dan kulit sehingga tidak mampu menahan tekanan hidrostatik yang
tinggi akibat gaya gravitasi.

Patofisiologi varises tungkai


9.3 KLASIFIKASI DAN GAMBARAN KLINIS
Varises tungkai terdiri dari varises primer dan sekunder. Varises primer terjadi jika katup
sistem vena superfisial (v. saphena magna, v. saphena parva, dan vv. perforantes) gagal untuk
menutup sebagaimana mestinya, sehingga akan terjadi refluks kea rah bawah dan terjadi
dilatasi vena yang kronis, sedangkan sistem v. profunda masih normal. Varises sekunder terjadi
akibat sistem v. profunda mengalami thrombosis / tromboplebitis atau adanya fistula
arteovenosa, semula keadaan katupnya normal selanjutnya terjadi kompensasi pelebaran pada
vena superfisial.
Secara klinis varies tungkai dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu36,37
a. Varises trunkal
Merupakan varises v. saphena magna dan v. saphena parva, diameter lebih dari 8 mm, warna
biru – biru kehijauan.
b. Varises retikuler
Varises yang mengenai cabang v. saphena magna atau v. saphena parva yang umunya kecil
dan berkelok – kelok, diameter 2 – 8 mm, warna biru – biru kehijauan.
c. Varises kapiler
Merupakan vena subkutis yang tampak sebagai kelompok serabut halus dari pembuluh
darah, diameter 0,1 – 1 mm, warna merah atau sianotik (jarang)

Berdasarkan berat ringannya, varises tungkai dibagi atas 4 stadium, yaitu


Stadium 1
Keluhan samar (tidak khas) rasa berat, mudah lelah pada tungkai setelah berdiri atau
duduk lama. Gambaran pelebaran vena berwarna kebiruan tidak jelas.
Stadium 2
Mulai tampak pelebaran vena, palpable dan menonjol.
Stadium 3
Varises tampak jelas, memanjang, berkelok – kelok pada paha atau tungkai bawah, dapat
disertai telangiektasis / “spider vein”
Stadium 4
Terjadi kelainan trofik berupa ulkus varikosum.

9.4 Diagnosis

ANAMNESIS
Gejala varises seringkali tidak seimbang dengan perubahan patologis yang ada.
Penderita varises stadium awal dan kecil mungkin mempunyai keluhan lebih berat
dibandingkan pada varises besar dan kronis. Anamnesis yang penting ditanyakan
meliputi:
1. Keluhan
Terdiri atas keluhan rasa berat, rasa lelah, rasa nyeri, rasa panas / sensasi terbakar
pada tungkai, kejang otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik. Keluhan biasanya
berkurang dengan elevasi tungkai, untuk berjalan atau pemakain bebat elastik dan
makin bertambah setelah berdiri lama, selama kehamilan, menstruasi, atau
pengobatan hormonal1.
2. Faktor predisposisi
Ditanyakan keadaan yang menyangkut faktor predisposisi yang telah disebutkan
sebelumnya, antara lain: riwayat varises dalam keluarga, usia, paritas, keluhan saat
menstruasi,
pemakaian kontrasepsi hormonal atau terapi hormonal lain, lama duduk / berdiri1.
3. Penyakit sistemik, pengobatan dan tindakan medis / pembedahan sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik yang perlu ditanyakan antara lain adalah riwayat penyakit
kardiovaskular, stroke, penyakit diabetes, imobilisasi yang lama, fraktur / trauma pada
tungkai, keganasan, riwayat operasi daerah abdomen.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi tungkai dilakukan dibawah penyinaran yang cukup pada posisi sksorotasi tungkai dan
pemeriksaan pada tungkai yang abduksi dari arah belakang akan membantu visualisasi varises.
Perlu diperhatikan tanda kronisitas dan kelainan kulit seperti telangiektasis, atrofi blanch,
dermatitis stasis, edem, perdarahan,ulkus. Daerah vena yang berkelok diraba untuk menilai
ketegangan varises danbesarnya pelebaranvena, pulsasi arteri harus teraba, bila tidak
teraba maka harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada obstruksi
arteri.

PEMERIKSAAN KHUSUS VENA


Beberapa pemeriksaan untuk evaluasi IVK pada varises tungkai antara lain adalah:
Ultrasonografi Doppler
Dengan alat ini kita dapat mengetahui refluks dan menentukan lokasinya. Pancaran
gelombang ultra yang terus – menerus dipakai untuk mendeteksi sel darah merah yang
bergerak, kemudian pancaran gelombang suara ini direfleksikan kembali ke probe penerima
dan diubah menjadi suara yang dapat didengar atau dicatat dalam bentuk grafik1
Plethysmography (Photoplethysmography, strain gauge plethysmography)
Photoplethysmography menggunakan diode yang terdiri atas sebuah pemancar cahaya
dan sebuah sensor penerima untuk mengukur perubahan volume darah dalam pleksus venosus
subkutan, dengan mencatat perubahan intensitas warna kulit dibawah diode. Perubahan volume
tersebut dapat mencerminkan volume darah dari seluruh tungkai.
 Strain gauge plethysmography (SPG) merupakan pemeriksaan kwantitatif
hemodinamik vena dengan cara mengukur kapasitas, distensibilitas dan waktu
pengosongan (Emptying time / EM) vena. Strain gauge plethysmography (SPG)
digunakan untuk mengukur perubahan lingkar tungkai dengan cara mengikatkan alat
seperti manset kecil sekeliling betis.
 Duplex venous scanning
Alat ini pada umumnya digunakan untuk evaluasi sistem vena profunda, terutama
thrombosis.
 Phlebography
Plebography merupakan pemeriksaan invasive yang menggunakan medium kontras.
Terdapat 4 teknik pemeriksaan yaitu: ascending, descending, intra osseus dan
varicography.
Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya sumbatan dan menunjukkan vena yang melebar,
berkelok – kelok serta katup yang rusak1.

9.4 PENATALAKSANAAN
Penanganan varises tungkai dapat berupa konservatif (non bedah) dan/atau pembedahan,
tergantung keadaan penderita serta berat ringannya penyakit. Penanganan ditujukan bukan
hanya
untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki fungsi vena, perbaikan kosmetik dan mencegah
komplikasi, tetapi juga memperbaiki kwalitas hidup penderita1.
a. TERAPI KOMPRESI
Dasar penanganan terhadap insufisiensi vena kronis adalah terapi kompresi. Cara
ini berfungsi sebagai katup vena yang membantu pompa otot betis untuk mencegah kembalinya
aliran darah vena, edem kaki dan bocornya bahan fibrin sehingga mencegah
pembesaran vena lebih lanjut, tetapi tidak mengembalikan ukuran vena.
Terapi kompresi dapat berupa : bebat elastic atau “elastic stockings” (kaus kaki khusus),
digunakan sepanjang hari kecuali penderita tidur dan pemakaiannya harus tepat paada telapak
kaki sampai bawah lutut (tuber anterior tibia) dengan kompresi sekitar 30– 40 mmHg1.
b. SKLEROTERAPI
Merupakan tindakan penyuntiksn larutan ke dalam pembuluh darah vena yang
melebar secara abnormal atau yang tidak dapat diterima secara kosmetik. Terapi ini bukan
hanya untuk kosmetik dengan hilangnya gambaran vena, selain itu juga akan menghilangkan
keluhan nyeri dan rasa tidak enak dan mencegah komplikasi seperti phlebitis yang kambuhan
dan ulserasi1.

TERAPI PEMBEDAHAN
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita dengan varises ukuran besar, varises pada
tungkai atas sisi medial atau anterior, adanya komplikasi stasis (pigmentasi, dermatitis, ulkus),
simtomatik dan insufisiensi perforante. Hasil yang ingin dicapai adalah menghilangkan gejala,
mengatasi komplikasi dari stasis, mengembalikan fisiologi vena.

Daftar Pustaka
1. Erbel R, Victor A, Catherine B, et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis

and treatment of aortic diseases. Document covering acute and chronic aortic diseases

of the thoracic and abdominal aorta of the adult 2014.

2. Hiratzka LF, Bakris GL, Beckman JA, et al. 2010

ACCF/AHA/AATS/ACR/ASA/SCA/SCAI/SIR/STS/SVM Guidelines for the

Diagnosis and Management of Patient With Thoracic Aortic Disease: Executive

Summary. A Report of the American College of Cardiology Foundation/ American

Heart Association Task Force on Practice Guidelines 2010; vol.55(14-18).

3. Elefteriades JA, Olin JW, Halperin JL. Diseases of the aorta. In: Fuster V, Walsh RA,

Hunt SA, Prystowsky EN, King SB, Roberts R, editors. Hurst’s the heart. 13th ed. New

York: McGraw-Hi11; 2011. p. 2261-89.

4. Letman M, Suzuki k, Wengrofsky AJ, et al. Early recognition of acute thoracic aortic

dissection and aneurysm. World Journal of Emergency Surgery 2013, 8:47.

5. Hebbali R, Swanevelder J. Diagnosis and management of aortic dessection. Continuing

Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2009. Vol 9 (14-18)

6. Fritz DA. Current Diagnosis and Treatment on Emergency Medicine, 7th ed.United

States: Mc Graw Hill; 2011.

7. Price, Sylvia A, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

8. Kumar, Abbas, Fausto, Mitcheel. Robbins Basic Pathology. 8th edition. Elsevier . 2007.

p343-353.

9. Schoen J Frederick. Blood Vessels. In: Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran

Pathologic Basis of disease. 7th ed. Elsevier Saunders, 2005. p.516-524.


10. Chandrasoma Parakrama, Taylor Clive R. concise Pathology 3rd edition. 1998.

Appleton & Lange Stamford, Connecticut . p.315-322.

11. Ross Russell. Atherosclerosis – An Inflammatory Disease. N.Engl.J.Med. 199 340:115-

126.

12. Rudijanto Achmad. The Role of vascular Smooth Muscle Cells on the Pathogenesis of

Atherosclerosis. Acta Medica Indonesiana. Vol.XXXIX, 2007, 4: 86-91.

13. Lazarides MK, Georgiadis GS, Papas TT,Nikolopoulos ES. Diagnostic criteria and

treatment of buerger's disease: a review.Int J Low Wounds. 2006; 5(2):89-95.

14. Ramin M, Salimi J, Meysamie A. An iranian scoring system for diagnosing buerger’s

disease. Acta Med Iran. 2014; 52(1):60–5.

15. Rivera-Chavarría IJ, Brenes-Gutiérrez JD. Thromboangiitis obliterans (buerger’s

disease). Ann Med Surg

16. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. 2016. Panduan praktik klinik

(PPK) dan clinical pathway (CP). Perki. Jakarta

17. Hood AF, Farmer ER. Vasculitis. In: Pathology of the skin. Baltimore: Prentice-Hall

International. 1990. pp. 175-92.

18. Lever S, Barnhill RL, Busam KJ, Vascular Disease. In: Histopathology of the skin. 8th

ed. Philadelphia: Lippincott-Raven. 1997. pp. 185-207.

19. Miller A, Chan M, Wiik A, Misbah SA, Luqmani RA. An approach to the diagnosis

and management of systemic vasculitis revised version with tracked changes removed.

Clin Exp Immunol :160(2). 2010

20. Gonzalez-Gay MA, Garcia-Porrua C, Salvarani C, et al. Cutaneous vasculitis: a

diagnostic approach. Clin Exp Rheumatol. 2003; 21(6 Suppl 32):S85-8.


21. Price, S.A, Wilson, L. M. Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, Edisi 6

Vol. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005

22. Gloviczki, P & Ricotta, JJ. Aneurysmal Vascular Disease. In Sabiston Textbook of

Surgery.18th ed.2007.

23. Sjamsuhidajat. R., de Jong. W., Bab 28 Jantung, Pembuluh Arteri, Vena, dan Limfe:

Aneurisma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, ed.2. Jakarta, EGC, 2004.

24. Tendera, et al. ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of peripheral artery

diseases. European Heart Journal (2011) 32, 2851–2906.

25. Karmel Tambunan : Thrombosis. KONAS PHTDI Semarang, September 2001.

26. Jayanegara AP. Diagnosis dan tatalaksana deep vein thrombosis. Continuing medical

education. Palangkaraya. 2016; vol 3 :652-6.

27. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of

pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis. Circ J. 2011; 75: 1258-81

28. Lin F, Zhang S, Sun Y, Ren S, Liu P. The management of varicose veins. Int Surg:100.

2015

29. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll Cardiol. 2010;

56:1-7

30. Kitchens CS. How i treat superficial venous thrombosis. Blood J: 117(1). 2011

31. Rayu S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction. Surgery

123:637-644, 1999.

32. Acang, Nuzirwan. Trombosis vena alam. Maj Kedokt Andalas 2001; 25(2) : 46-55.
33. Dupras D, Bluhm J, Felty C, Hansens C, Johnsons T, Lim K. Venous thromboembolism

diagnosis and treatment. Institute for Clinical System Improvement. 2013; 5 : 1-36.

34. Malik, Diah Adriani. Efektivitas Flavonoid Terhadap Insufisiensi Vena Kronik Pada

Varises Tungkai. [serial online] 20 desember 2018

http://eprints.undip.ac.id/12198/1/1999PPDS260.pdf

35. Budhy, Julijanto. 2001. Pedoman Bedah Minor. Staf bagian ilmu bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr.Soetomo Surabaya.

36. Poerwadi et all.2008. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Bedah Edisi III.

Staf bagian ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr.Soetomo

Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai