1. Diseksi Aorta
1.1 Definisi
Aorta adalah pembuluh darah terbesar yang memiliki peranan vital sebagai
pembawa darah keluar dari ventrikel kiri ke berbagai jaringan di tubuh untuk kebutuhan
nutrisinya. Secara umum, aorta memiliki dinding tebal yang tersusun oleh tiga lapisan
otot yang mampu menahan perubahan tekanan yang dihasilkan pada setiap jantung
berdenyut. Ketidakmampuan lapisan dinding aorta menahan tekanan yang tinggi
sehingga timbulnya robekan pada lapisan tersebut menimbulkan suatu keadaan yang
disebut diseksi aorta.1
Diseksi aorta ditandai oleh robekan lapisan intima dinding aorta yang diawali
oleh suatu proses degenerasi atau disertai nekrosis kistik dari lapisan tunika media.
Darah akan mengalir melalui robekan yang memisahkan lapisan intima dengan lapisan
media atau lapisan adventisia yang kemudian membentuk ruang palsu (false lumen).1,2
1.2 Epidemiologi
secara epidemiologis menurut Global Burden Disease tahun 2010, penyakit
aneurisma aorta dan diseksi aorta memiliki angka kematian global yang meningkat
hingga 2,78 per 100.000 orang, dengan rasio laki-laki yang lebih tinggi dari wanita.1
1.3 Patofisiologi
Diseksi aorta terjadi ketika lapisan intima robek dan menyebabkan darah masuk
pada lapisan antara intima dan adventitia. Nekrosis kistik medial (pelemahan tunika
media) dan hipertensi berkontribusi dalam proses ini yaitu sebanyak 75%. Peningkatan
tekanan arteri dapat menyebabkan penebalan lapisan intima, fibrosis, dan kalsifikasi.
Proses ini dapat mengurangi suplai darah dinding arteri sehingga matriks ekstraselular
mengalami modifikasi kehilangan kemampuan elastisitasnya (elastolisis) dan
apoptosis. Nekrosis pada sel otot polos dan fibrosis pada struktur elastis yang terdapat
pada tunika media menyebabkan pembuluh darah akan tegang dindingnya, rapuh dan
mudah mengalami robekan. Sebanyak 90% seluruh kasus diseksi terjadi pada dinding
lateral kanan bagian proksimal aschending aorta, sisanya terjadi pada distal arteri
subklavia kiri.
1.4 Klasifikasi
Stanford membagi diseksi aorta ke dalam dua tipe yaitu: tipe A – disekan
meliputi aorta ascenden dan desenden, tipe B - disekan hanya terjadi di aorta desenden.
Klasifikasi DeBakey membagi diseksi aorta menjadi tiga tipe, yaitu: tipe I – disekan
melibatkan seluruh bagian aorta, tipe II – disekan hanya melibatkan aorta ascenden,
tipe III – disekan hanya melibatkan aorta descenden. Beberapa penelitian terkini
menunjukkan bahwa perdarahan intramural, hematoma intramural dan ulkus aortic
merupakan tanda-tanda yang menyertai suatu proses disekan. Klasifikasi terkini
membagi diseksi aorta kedalam lima tipe. Berbagai jenis klasifikasi ini dilukiskan
dalam gambar 12. 3
Diseksi aorta akut tipe B klasifikasi Stanford memiliki tingkat mortalitas yang
lebih rendah dibanding tipe A. Pasien dengan diseksi aorta tipe B tanpa komplikasi,
angka mortalitasnya 10% dalam 30 hari. Pasien yang mengalami komplikasi iskemik
pada organ ginjal atau visceral hingga.3
1.5 Diagnosis
Anamnesis4
- Perlu ditanyakan mengenai karakteristik nyeri karena pada diseksi aorta terjadi
dua mekanisme yakni pertama ketika lapisan intima mengalami sobekan,
diinterpretasikan dengan rasa nyeri serta kehilangan stroke volume dan kedua
yakni ketika tekanan sudah mencapai ambang batas dan terjadi ruptur aorta.
- Nyeri pada diseksi aorta sangat khas yaitu sensasi tertusuk, robekan yang
terlokalisis pada dada (tipe A) dan punggung (tipe B).
- Perlu ditanyakan mengenai onset nyeri. Karena pada diseksi aorta, nyeri hebat
berlangsung tiba-tiba dan terjadi langsung saat onset diseksi terjadi.
Pemeriksaan fisik4,5
- Takikardi disertai dengan hipertensi jika pasien sudah memiliki riwayat
hipertensi primer.
- Takikardi dan hipotensi, sebagai hasil dari ruptur aorta, tamponade jantung,
regurgitasi aorta dan infark miokard akut.
- Pasien bisa mengalami sinkope karena malperfusi otak
- kehilangan pulsasi ekstremitas
- Murmur diastolik, yang dapat ditemukan pada regurgitasi aorta.
Pemeriksaan Penunjang5,6
CT, MRI, dan ekokardiografi dapat digunakan tergantung ketersediaan. Pada
foto polos toraks dapat ditemukan kalsifikasi lapisan intima yang ukurannya lebih 6
mm dari tepi, mediastinum yang melebar, kardiomegali (efusi perikard) dan kekaburan
sudut costo-phrenic yang disebabkan oleh adanya hemothoraks. Pemeriksaan
penunjang gold standar dari diseksi aorta adalah aortografi karena dengan aortografi
dapat dibedakan antara true lumen dan false lumen. Namun kelemahannya pemeriksaan
ini tidak diperuntukkan untuk orang dengan kondisi hemodinamik tidak stabil, begitu
juga CT scan dan MRI.
1.6 Tata Laksana
Tatalaksana awal mencakup stabilisasi pasien, menurunkan tekanan darah dan
kekuatan kontraksi ventrikel kiri dan mengontrol nyeri. Terapi lini pertama adalah
beta blocker untuk menurunkan kekuatan kontraksi ventrikel kiri, tekanan darah
(target tekanan darah sistolik 100-120 mmHg), frekuensi jantung (target
60kali/menit).
2. ATEROSKLEROSIS
2.5 Definisi
Istilah aterosklerosis berasal dari bahas Yunani, yang berarti penebalan tunika
intima arteri (sklerosis, penebalan) dan penimbunan lipid (athere, pasta) yang
mencirikan lesi yang khas. Secara morfologi, aterosklerosis terdiri atas lesi-lesi
fokal yang terbatas pada arteri-arteri otot dan jaringan elastis berukuran besar dan
sedang. Seperti aorta (yang dapat menyebabkan penyakit aneurisma), arteri poplitea
dan femoralis (menyebabkan pembuluh darah perifer), arteri karotis (menyebabkan
stroke), arteri koroner menyebabkan penyakit jantung iskemik atau infark
miokardium.7
Pemeriksaan Fisik
- Lakukan pemeriksaan nadi secara keseluruhan untuk mengetahui denyutan,
kesamaan dan kekuatan.
- Tes menggantung untuk evaluasi penyakit oklusi pada arteri
Pemeriksaan penunjang
- USG Dopler
- CT-scan
- MRI
- ABI (Ankle Brachial Index)
pembuluh darah baru di daerah yang terkena. Bisa diberikan obat-obatan untuk
menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah seperti kolestiramin, kolestipol,
terbentuknya bekuan darah, dapat diberikan obat-obatan seperti aspirin, ticlopidine dan
aliran darah yang melalui endapan lemak. Enarterektomi merupakan suatu pembedahan
invasif, dimana arteri atau vena yang normal dari penderita digunakan untuk membuat
3. TAO/BUERGER’S DISEASE
3.1 Definisi
Burger’s disease atau disebut juga dengan tromboangitis obliterans merupakan
penyakit inflamasi non- aterosklerotik pada arteri ukuran sedang, arteri kecil serta
vena ekstremitas.13
3.2 Epidemiologi
Prevalensi penyakit ini pada masyarakat di Jepang sekitar 5/100.000 populasi.
Umumnya, Buerger’s disease terjadi pada orang dewasa muda usia 20-45 tahun.
Rasio antara laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini adalah 3:1.4
Beberapa studi melaporkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi pada wanita dari
11% ke 23%. Buerger’s disease jarang terjadi pada individu keturunan Eropa Utara
dan Amerika Serikat, namun individu asli India, Korea, dan Jepang serta Israel
memiliki insidensi penyakit Buerger’s disease yang tertinggi.4 Prevalensi penyakit
ini pada populasi di Jepang diestimasikan sebanyak 5/100.000 orang pada tahun
1985.5 Prevalensi penyakit arteri perifer berkisar antara 0.5-5.6% di Eropa Barat,
45%- 63% di India, 16-66% di Korea dan Jepang, dan 80% pada orang Yahudi di
Israel.14,15
3.4 Patogenesis16
Inflamasi menimbulkan penyumbatan lumen pembuluh darah arteri berukuran
sedang dan kecil dan merambat ke vena dan syaraf yang berdampingan. Hal ini bisa
terjadi pada Arteri dan vena ukuran kecil ekstremitas inferior dan superior (pada
jari-jari kaki dan tangan). Pembuluh darah arteriotak, renalis, arteri koroner,
mesenterika, thorakalis interna.
3.5 Diagnosis16
1. Anamnesis
Nyeri merambat pada ekstremitas inferior dan superior khususnya dibagian
distal, yang umumnya ditemukan pada perokok.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pada fase akut 2-3 minggu pertama segmen vena berwarna merah gelap dan
nyeri pada perabaan.
b. >3 minggu, nyeri berkurang atau menghilang, warna segmen vena berwarna
lebih gelap dan teraba keras seperti kawat. Hilangnya pulsasi arteri di bagian
distal.
c. Nekrosis atau gangren pada jari
d. Ekstremitas inferior dan superior bagian distal (Phalanx)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
d. Doppler arteri-vena
e. Arteriografi
4. Kriteria diagnostik
a. Klinis
Bagian distal dari ekstrimitas inferior dan superior berwarna merah gelap,
seiring waktu bertambah gelap disertai nyeri pada perabaan dan hilangnya
pulsasi arteri di bagian distal dengan/ tanpa disertai nekrosis/ ganggren
b. Simptom
Nyeri disertai perubahan warna kulit (merah kehitaman) pada bagian distal
ekstremitas inferior dan superior
3.6 Diagnosis banding
a. Insufesiensi vena kronis
b. Acute limb ischemia
c. Penyakit Raynoud
d. Sklerodaktili
3.7 Tata laksana16
- Edukasi
- Perawatan luka
- Pengobatan infeksi
- Cilostazole 2-3x 50 mg/hari
- Beraprost sodium (2-3 x 20 mcg)
- Dipyridamole 3 x 50-75 mg
- Pentoxyfilin
Khusus:
Operasi bedah pintas dengan atau tanpa amputasi
3.8 Prognosis16
Prognosis pada pasien dengan penyakit buerger’s disease adalah dubia at bonam
4. RAYNAUD’S PHENOMENOM
4.1 Definisi16
Sindrom Raynaud’s adalah kumpulan gejala akibat vasospasme priodik pembuluh
darah jari-jari.
4.2 Epidemiologi17
Pada tahun 2010 di Indonesia sindroma raynaud menjadi penyebab kematian
penyakit tidak menular dengan prevalensi sekitar 27,91%.
4.4 Patogenesis17
Patogenesis fenomena Raynaud belum sepenuhnya dipahami. Namun, 20 tahun
terakhir telah menyaksikan peningkatan luar biasa dalam pemahaman kita tentang
mekanisme yang berbeda yang, secara tunggal atau dalam kombinasi, dapat
berkontribusi. Poin utamanya adalah fenomena Raynaud dapat bersifat primer
(idiopatik) atau sekunder terhadap sejumlah kondisi yang mendasarinya, dan
patogenesis serta patofisiologi bervariasi di antara kondisi-kondisi ini. Ulasan ini
berkonsentrasi pada subtipe fenomena Raynaud yang paling menarik bagi para ahli
reumatologi: fenomena Raynaud yang berhubungan dengan sklerosis sistemik,
fenomena Raynaud primer dan fenomena Raynaud sekunder akibat sindrom getaran
tangan-lengan. Dalam ulasan ini, saya akan membahas mekanisme utama yang
dianggap penting dalam patofisiologi di bawah tiga judul luas 'vaskular', 'saraf' dan
'intravaskular'. Sementara ini adalah perbedaan palsu karena semua saling
berhubungan, mereka memfasilitasi diskusi tentang elemen kunci: dinding
pembuluh darah (terutama endotelium), kontrol saraf nada vaskular, dan banyak
faktor yang beredar yang dapat mengganggu aliran darah dan / atau menyebabkan
cedera endotel. . Abnormalitas vaskular mencakup baik struktur maupun fungsinya.
Abnormalitas saraf termasuk defisiensi vasodilator kalsitonin terkait peptida gen
(dilepaskan dari aferen sensoris), alfa (2) -adrenoreceptor aktivasi (mungkin dengan
up-regulasi normal 'diam' alfa (2C) -adrenoreceptor) dan sistem saraf pusat
komponen. Kelainan intravaskular termasuk aktivasi trombosit, gangguan
fibrinolisis, peningkatan viskositas dan mungkin stres oksidan. Ketika pemahaman
kita tentang patofisiologi fenomena Raynaud meningkat, begitu juga kemungkinan
kita untuk mengidentifikasi perawatan yang efektif.
4.5 Diagnosis16
Anamnesis: gejala yang bersifat priodik berupa:
- Jari-jari sulit di gerakkan, rangsangan perabaan berkurang, rasa seperti
kesemutan
- Terjadi setelah diawali oleh ketegangan atau stress emosional , terpapar
hawa dingin dan merokok
Kriteria diagnosis
Diagnosis banding
- Penyakit Buerger
- Arteritis takayasu
4.7 Prognosis16
Prognosis pada pasien ini umumnya dubia at bonam
5. Vaskulitis
5.1 Definisi
Vaskulitis adalah reaksi kutaneus maupun sistemik, yang secara mikroskopik
digambarkan sebagai infiltrasi sel-sel inflamatorik pada dinding pembuluh darah,
dengan derajat nekrosis sel endotel dan dinding pembuluh darah yang bervariasi.
Ukuran pembuluh darah yang terkena bervariasi, mulai dari arteri besar (giant cell
arteritis) sampai kapiler dermis dan venula (lekocytoclastic vasculitis).17,18
5.2 Klasifikasi
The American Collage of Rematology mengklasifikasikan vaskulitis yaitu
poliarteritis nodusa, sindrom Chrug-Strauss, Wegener granulomatosis, vaskulitis
hipersensitivitas, purpura Henoch-Schonlein, arteritis sel raksasa dan Takayasu
arteritis.19
5.3 Patogenesis
Patogenesis dari vaskulitis sangat sulit dimengerti. Tiga mekanisme yang mungkin
terjadi adalah akibat kompleks imun, humoral respon dan respon T-limfosit dengan
pembentukan granulosit. Akhir dari jalurr-jalur ini adalah aktivasi sel endotel dengan
obstruksi pembuluh darah hingga iskemik jaringan. Hal ini dapat menyebabkan hemorage
jaringan, dalam beberapa kasus melemahkan dinding pembuluh dan berakhir dengan
aneurisma.19
5.5 Tatalaksana
Identifikasi tipe vaskulitis sangatlah penting karena berhubungan dengan terapi. Tipe
tipe tertentu bersifat self-limited, sementara tipe lainnya membutuhkan terapi
kortikosteroid, dengan atau tanpa agen sitotoksik, atau membutuhkan modalitas terapi lain,
seperti plasmaferesis. Pada awal penegakan diagnosis, harus segera ditentukan apakah ada
organ dalam yang terlibat, sehingga dapat segera diberi terapi yang tepat dan adekuat.
Kortikosteroid dosis tinggi (prednison 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi) adalah terapi
standar untuk sindrom vaskulitis sistemik. Imunosupresan, seperti siklofosfamid,
azatioprin, dan metotreksat, dikombinasi dengan kortikosteroid, telah digunakan secara
luas, tetapi masih sedikit bukti ilmiah yang mendukung efektivitas terapi kombinasi ini.20
6. Aneurisma Aorta
6.1 Definisi
Aneurisma adalah dilatasi dinding arteri yang terlokalisasi. Aneurisma sejati timbul
akibat atrofi tunika media arteri. Dinding arteri berdilatasi tetapi tetap utuh walaupun
mengalami distorsi, dan terutama terdiri dari jaringan fibrosa. Aneurisma dapat timbul
6.2 Klasifikasi
sebagian dari lingkar arteri dimana aneurisma berbentuk seperti kantong yang menonjol
dan berhubungan dengan dinding arteri melalui suatu leher yang sempit; aneurisma
arteri.22
Berdasarkan etiologi aneurisma umunya dibedakan:(1) degenerative
aktivasi enzim proteolitik lokal. (2) Aneurisma kongenital dan aneurisma yang
6.3 Patofisiologi
Pembentukan aneurisma timbul akibat degenerasi dan melemahnya tunika
media arteri. Degenerasi media dapat terjadi karena keadaan-keadaan congenital atau
didapat, seperti arterosklerosis, atau sindrom Marfan. Dilatasi vascular dapat pula
terjadi akibat efek semprotan aliran darah melalui suatu plak vascular yang menyumbat,
menimbulkan aliran turbulen di distal lesi; dilatasi pasca stenosis ini melemahkan
dinding arteri. Selain sebab-sebab yang diketahui ini, interaksi dari banyak factor lain
dapat menjadi predisposisi pembentukan aneurisma pada dinding arteri. Aliran turbulen
pada daerah bifurkasio dapat ikut meningkatkan insiden aneurisma di tempat-tempat
tertentu. Suplai darah ke pembuluh darah melalui vasa vasorum diduga dapat terganggu
pada usia lanjut, memperlemah tunika media dan menjadi factor predisposisi
semakin besar menurut hukum Laplace. Tegangan atau tekanan pada dinding berkaitan
langsung dengan radius pembuluh darah dan tekanan intraarteri. Dengan melebar dan
aneurisma juga meningkat seiring meningkatnya ukuran aneurisma. Selain itu, sebagian
sudah dipikirkan. Individu dengan arteri-arteri utama yang besar, atau arteriomegali,
dan permukaan tubuh yang luas cenderung memiliki insiden aneurisma yang lebih
akibat aliran yang lambat. Trombi mural merupakan sumber emboli dan thrombosis
Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa tahun dan sering tanpa
gejala. Jika aneurisma mengembang secara cepat, maka terjadi robekan (ruptur
fisik rutin dengan dideteksinya pulsasi aorta yang prominen. Lebih sering aneurisma
atau CT scan. Denyut perifer biasanya normal, tetapi penyakit arteri oklusif pada renal
dengan inflamasi ekstensif periaortic dan retroperitoneal dengan sebab yang belum
diketahui. Pada pasien ini terdapat demam ringan, peningkatan laju endap darah, dan
riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru saja, pasien sering sebagai perokok
aktif. Infeksi aneurisma aorta (baik dikarenakan oleh emboli septik atau kolonisasi
bakteri aorta normal dari aneurisma yang ada) sangat jarang terjadi tetapi harus
diperkirakan pada pasien dengan aneurisma sakular atau aneurisma yang bersamaan
Ruptur aneurisma. Pasien dengan ruptur menderita nyeri hebat pada punggung,
abdomen, dan flank serta hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal
dengan prognosis yang lebih baik daripda ruptur anterior ke rongga peritoneum.
Sembilan puluh persen meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Satu-satunya kesempatan
untuk menolong adalah perbaikan bedah emergensi. Gejala ruptur antara lain:
o Abdominal rigidity
o Nyeri pada punggung bawah yang berat, tiba-tiba, persisten,atau konstan, dapat
o Anxietas
o Kulit pucat
o Shock
o Massa abdomen
prosedur diagnostik untuk keadaan lain Pada anamnesis aneirisma aorta torakalis
mengakibatkan erosi jaringan sekitar. Maka keluhan yang timbul berupa nyeri dada,
sesak nafas, batuk, wheezing, atau pneumonia rekuren, akibat dari efek penekanan dari
trakea dan bronkus utama, Yang lainnya menderita dispneu, stridor, atau batuk akibat
akibat penekanan pada nervus laryngeus recurrent sinistra, atau edema leher dan lengan
akibat penekanan pada vena cava superior. Pada rupture aneurisma aorta torakal bisa
ditemukan keluhan sindrom akut aorta berupa nyeri dada hebat, baik dileher, punggung
dan abdomen disertai tanda-tanda syok.. Regurgitasi aorta karena distorsi anulus
aneurisma pada pasien dengan aneurisma yang kecil (<5 cm). Biasanya aneurisma
tertariknya trakea
oclusive disease pada viseral dan ekstremitas bawah atau saat repair endograft akan
dilakukan.
Aneurisma berukuran kecil dan tidak ada gejala (misalnya aneurisma yang
kesehatan periodik saja, meliputi pemeriksaan USG tiap tahunnya, untuk memantau
dapat memperburuk aneurisma aorta, yaitu mengontrol tekanan darah, optimalisasi profil
lemak, berhenti merokok dan mereduksi hal yang lain yang dapat menyebabkan
aterosklerosis.
Pada pasien dengan hipertensi sebaiknya target tekanan darah sibawah 140/90
mmHg pada pasien tanpa diabetes atau di bawah 130/80 mmHg pada pasien dengan
diabetes. Obat anti hipertensi yang jadi pilihan adalah angiotensin-converting enzyme
Penatalaksanaan dengan statin untuk mencapai target LDL kolesterol kurang dari
70 mg/dl untuk pasien dengan risiko yang setara dengan penyakit jantung koroner dan
pada risiko tinggi timbulnya penyakit jantung koroner akibat kejadian iskemik koroner,
dengan target terapi adalah LDL kurang dari 100mg/dl. Terapi awal sebaiknya diberikan
statin.
mendadak seperti nyeri yang sangat hebat merupakan tanda bahaya dan dapat merupakan
suatu tanda pelebaran aneurisma yang progresif, kebocoran, dan ruptur. Tujuan tindakan
Pembuluh darah yang abnormal digantikan oleh graft yang dibuat dari material sintetis,
aneurisma melalui arteri femoralis dan difiksasi ditempatnya pada leher aorta yang
tidak mengalami aneurisma dan arteri iliaca dengan melebarkan stent atau balloon-
expandable stents.
Indikasi untuk pembedahan meliputi adanya gejala, ekspansi cepat, atau ukuran
yang lebih besar dari 5 cm. Risiko operasi dari kondisi komorbid harus
7.1 Definisi
Suatu kondisi dimana terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas secara tiba tiba
yang menyebabkan gangguan pada pergerakan, rasa nyeri atau tanda tanda iskemik berat
dalam jangka waktu 2 minggu. Pria dan wanita mempunyai prevalensi yang seimbang hal
ini dapat terjadi ketika ekstremitas kekurangan aliran darah yang adekuat. Gejalanya
Aterosklerosis adalah penyebab yang paling umum pada iskemia ekstremitas bawah.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan peningkatan prevalensi dan insiden iskemia
lesi vaskular yang lain yang terkait dengan usia lanjut. Faktor kedua adalah meningkatknya
riwayat operasi bypass arteri perifer yang berpotensi oklusi pada graft.24
7.2 Etiologi
Iskemia tungkai akut dapat terjadi akibat embolisasi atau in-situ trombosis. Emboli
berasal dari jantung dan biasanya terjadi pada lokasi bifurkasio arteri seperti arteri
femoralis komunis distal atau arteri poplitea. Trombus yang terbentuk di dalam jantung
sering disebut macrotrombus yang menyumbat dari percabangan arteri. Sumber trombus
lainnya adalah dari trombus yang terbentuk pada anerisma aorta, yang sering disebut
microtrombus. Microtrombus berasal dari anerisma aorta yang menyumbat di aretri kecil-
kecil pada jari kaki (disebut bluetoes) akan menimbulkan bintik-bintik kecil-kecil bewarna
7.3 Diagnosis
Iskemia tungkai akut adalah diagnosis klinis. Pasien mengeluhkan mati rasa dan nyeri
di ekstremitas, pada kasus yang berat hilangnya fungsi motorik dan kekakuan otot. Pain,
Proses ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan trombosis vena dalam. Meskipun
trombosis vena dalam dapat bermanifestasi sebagai iskemia tungkai yang berat
(phlegmasia cerulea dolens), edema ekstremitas bawah jarang disebabkan oleh iskemia
arteri murni. Nyeri dapat berupa konstan atau ditimbulkan oleh gerakan pasif ekstremitas
yang terlibat. Oklusi emboli biasanya tiba-tiba dan dengan intensitas yang besar, sehingga
onset timbul dalam beberapa jam. Riwayat penyakit dahulu yang mempengaruhi seperti
klaudikasio intermiten, bypass kaki, aritmia jantung dan aneurisma aorta. Faktor risiko
aterosklerosis seperti merokok, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, riwayat keluarga yang
penyebab dan derajat iskmia. Informasi tersebut diperlukan untuk pengobatan yang tepat.
Anamnesis melihat durasi dan progresi, riwayat penyakit jantung sebelumnya bisa
Tanda-tanda iskemia kronis tungkai bawah, hipertropic kuku, atrofi kulit, rambut rontok
pada kaki menandakan sebelumnya mempunyai penyakit oklusi. Adanya insufisiensi arteri
akut biasanya ditandai dengan perubahan suhu pada ekstremitas distal pada level obstruksi.
Kemampuan untuk dorsifleksi dan plantarfleksi dari jari-jari kaki menunjukkan viabilitas
dari otot-otot betis, ketidak mampuan menggerakkan dari jari-jari kaki menandakan
7.4 Penatalaksanaan
yang sangat penting dan dapat dipenuhi oleh antikoagulan sistemik yang
6. Terapi utama dari iskemi akut adalah rekontruksi pembedahan vascular yang
pantas.
Penyakit Pembuluh Darah Vena
8.1 Definisi
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk
arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi.25 Trombus dapat terjadi pada arteri atau
pada vena, trombus arteri di sebut trombus putih karena komposisinya lebih banyak
trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi pada
aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah terperangkap dalam jaringan
fibrin sehingga berwarna merah.25 trombosis vena dalam merupakan kondisi dimana darah
pada vena-vena profunda pada tungkai atau pelvis membeku. Sering kali emboli paru
merupakan tanda dari thrombosis vena.26
8.2 Epidemiologi
Insidens DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per 100.000
populasi/tahun. Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 –
20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada usia di
atas 70 tahun.27 Insidens DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan lebih rendah
dibandingkan pada ras Kaukasia, Afrika-Amerika Latin, dan Asia Pasifik. Tidak ada
perbedaan insidens yang signifikan antara pria dan wanita.27,28
Stasis Imobilitas
Bed rest
Tindakan anestesi
Gagal Jantung Kongestif
Riwayat trombosis vena sebelum- nya
Hiperkoagulabilitas Keganasan
Antibody Antikardiolipin
Sindrom nefrotik
Trombositosis esensial
Terapi esterogen
Heparin induced
Trombositopenia
8.4 Patofisiologi
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.
Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah
sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Keadaan
ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir akan melekat pada
jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang
melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang
trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel
endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.31
Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah
meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.25,30
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah
betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan
anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau
kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika
penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan peradangan
jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka lokasi bengkak adalah di
bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan
perivaskuler, bengkak timbul
di daerah trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika berjalan
dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena
dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa
berubah pucat dan kadangkadang berwarna ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan
dingin pada perabaan merupakan tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme
arteri, disebut flegmasia alba dolens.
8.6 Diagnosis
- Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal
yang penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya, serta
adanya riwayat trombosis pada keluarga juga. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema,
eritema, peningkatan suhu lokal di tempat yang terkena, homan sign (+) dan pembuluh vena
teraba. Diagnosis klinis ini harus dikombinasikan dengan skor Well agar diagnosis lebih
akurat.
Kanker aktif (sedang dalam pengobatan, atau riwayat menjalani pengobatan dalam
1
bulan terakhir atau sedang dalam terapi paliatif)
Tirah baring >3 hari atau baru menjalani bedah mayor dalam 4 minggu terakhir 1
Nyeri lokal terbatas pada daerah yang sesuai dengan sistem distribusi vena dalam 1
Pembengkakan tungkai bawah dengan diameter 3 cm lebih besar dari tungkai bawah
1
kontralateral (diukur 10 cm di bawah tuberositas tibia)
Diagnosis alternatif yang mirip atau sama kuatnya dengan trombosis vena dalam -2
Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau
kurang, menandakan kemungkinan DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT
sedang, dan skor 3 atau lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi.
- Laboratorium
antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Pemeriksaan D-dimer dapat
dilakukan dengan ELISA atau latex agglutination assay. D-dimer <0,5 mg/ mL dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik, sehingga
hasil negatif sangat berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik
untuk DVT, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT.
- Radiologis
Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara daerah dan
aliran darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah. Pemeriksaan ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun belum luas digunakan. Saat ini
darah dalam vena. Pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan
vena, akan terlihat gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal vena
iliaca. Venografi dapat mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan
darah serta menilai kondisi vena dalam. Venografi digunakan pada kecurigaan kasus DVT
mendekati 100%, sehingga menjadi gold standard diagnosis DVT. Namun, jarang
digunakan karena invasif, menyakitkan, mahal, paparan radiasi, dan risiko berbagai
komplikasi.
- FlestimografiImpedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah tungkai. Pemeriksaan
ini lebih sensitif untuk trombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di daerah
betis.
- Ultrasonografi(USG)Doppler
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif. USG memiliki
tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien yang dicurigai menderita DVT
Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara daerah dan
aliran darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah. Pemeriksaan ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun belum luas digunakan. Saat ini
sedang dikembangkan pemeriksaan resonansi magnetik untuk deteksi langsung bekuan
darah dalam vena. Pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan
Non-farmakologi :
9.2 ETIOPATOGENESIS
Patofisiologis terjadinya varises tungkai pada dasarnya dibagi menjadi 4 faktor yang
dapat saling tumpang tindih yaitu:
a. Peningkatan tekanan vena profunda
b. Inkompetensi katup primer
c. Inkompetensi katup sekunder
d. Kelemahan fascia
Pada keadaan yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena profunda adalah
peningkatan tekanan intra abdomen (keganasan abdominal, ascites, kehamilan),
inkompetensi safenofemoral, inkompetensi katup vv. perforantes, obstruksi vena
intraluminal. Kembalinya darah yang efisien ke jantuing tergantung pada fungsi sistem
vena profunda. Pada posisi berdiri saat istirahat tekanan pada pergelangan kaki akan
meningkat sekitar 100 – 140 mmHg, selanjutnya akan turun sekitar 40% saat
berjalan/aktivitas. Kontraksi otot betis dapat menghasilkan tekanan sekitar 200 – 300
mmHg. Bila terjadi inkompetensi katup, maka tekanan tersebut dapat menyebabkan aliran
darah berbalik dari vv. profunda ke vv.superfisial, sehingga setiap gerakan otot akan
semakin menambah jumlah darah kearah v. profunda dan superfisial, akibatnya terjadi
peningkatan tekanan vena dan gangguan mikrosirkulasi1.
Hipertensi vena kronis pada tungkai menyebabkan aliran tidak beraturan sehingga
terjadi dilatasi vena dan inkompetensi katup lebih lanjut. Katup yang lemah atau tidak
berfungsi dapat merupakan faktor pencetus yang mengubah hemodinamik vena sehingga
terjadi varises1. Inkompetensi katup primer dapat terjadi karena kerusakan katup yang
menetap, misalnya destruksi atau agenesis katup. Inkompetensi katup sekunder merupakan
penyebab tersering varises, katup tersebut dapat normal, tetapi menjadi inkompeten akibat
pelebaran dinding vena atau Karen destruksi pasca thrombosis vena profunda. V. saphena
magna dan cabangnya merupakan tempat yang sering mengalami varises, sebab dinding
vena superfisial ini lemah, hanya mempunyai sedikit jaringan penyangga berupa jaringan
ikat, lemak subkutis dan kulit sehingga tidak mampu menahan tekanan hidrostatik yang
tinggi akibat gaya gravitasi.
9.4 Diagnosis
ANAMNESIS
Gejala varises seringkali tidak seimbang dengan perubahan patologis yang ada.
Penderita varises stadium awal dan kecil mungkin mempunyai keluhan lebih berat
dibandingkan pada varises besar dan kronis. Anamnesis yang penting ditanyakan
meliputi:
1. Keluhan
Terdiri atas keluhan rasa berat, rasa lelah, rasa nyeri, rasa panas / sensasi terbakar
pada tungkai, kejang otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik. Keluhan biasanya
berkurang dengan elevasi tungkai, untuk berjalan atau pemakain bebat elastik dan
makin bertambah setelah berdiri lama, selama kehamilan, menstruasi, atau
pengobatan hormonal1.
2. Faktor predisposisi
Ditanyakan keadaan yang menyangkut faktor predisposisi yang telah disebutkan
sebelumnya, antara lain: riwayat varises dalam keluarga, usia, paritas, keluhan saat
menstruasi,
pemakaian kontrasepsi hormonal atau terapi hormonal lain, lama duduk / berdiri1.
3. Penyakit sistemik, pengobatan dan tindakan medis / pembedahan sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik yang perlu ditanyakan antara lain adalah riwayat penyakit
kardiovaskular, stroke, penyakit diabetes, imobilisasi yang lama, fraktur / trauma pada
tungkai, keganasan, riwayat operasi daerah abdomen.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi tungkai dilakukan dibawah penyinaran yang cukup pada posisi sksorotasi tungkai dan
pemeriksaan pada tungkai yang abduksi dari arah belakang akan membantu visualisasi varises.
Perlu diperhatikan tanda kronisitas dan kelainan kulit seperti telangiektasis, atrofi blanch,
dermatitis stasis, edem, perdarahan,ulkus. Daerah vena yang berkelok diraba untuk menilai
ketegangan varises danbesarnya pelebaranvena, pulsasi arteri harus teraba, bila tidak
teraba maka harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada obstruksi
arteri.
9.4 PENATALAKSANAAN
Penanganan varises tungkai dapat berupa konservatif (non bedah) dan/atau pembedahan,
tergantung keadaan penderita serta berat ringannya penyakit. Penanganan ditujukan bukan
hanya
untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki fungsi vena, perbaikan kosmetik dan mencegah
komplikasi, tetapi juga memperbaiki kwalitas hidup penderita1.
a. TERAPI KOMPRESI
Dasar penanganan terhadap insufisiensi vena kronis adalah terapi kompresi. Cara
ini berfungsi sebagai katup vena yang membantu pompa otot betis untuk mencegah kembalinya
aliran darah vena, edem kaki dan bocornya bahan fibrin sehingga mencegah
pembesaran vena lebih lanjut, tetapi tidak mengembalikan ukuran vena.
Terapi kompresi dapat berupa : bebat elastic atau “elastic stockings” (kaus kaki khusus),
digunakan sepanjang hari kecuali penderita tidur dan pemakaiannya harus tepat paada telapak
kaki sampai bawah lutut (tuber anterior tibia) dengan kompresi sekitar 30– 40 mmHg1.
b. SKLEROTERAPI
Merupakan tindakan penyuntiksn larutan ke dalam pembuluh darah vena yang
melebar secara abnormal atau yang tidak dapat diterima secara kosmetik. Terapi ini bukan
hanya untuk kosmetik dengan hilangnya gambaran vena, selain itu juga akan menghilangkan
keluhan nyeri dan rasa tidak enak dan mencegah komplikasi seperti phlebitis yang kambuhan
dan ulserasi1.
TERAPI PEMBEDAHAN
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita dengan varises ukuran besar, varises pada
tungkai atas sisi medial atau anterior, adanya komplikasi stasis (pigmentasi, dermatitis, ulkus),
simtomatik dan insufisiensi perforante. Hasil yang ingin dicapai adalah menghilangkan gejala,
mengatasi komplikasi dari stasis, mengembalikan fisiologi vena.
Daftar Pustaka
1. Erbel R, Victor A, Catherine B, et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis
and treatment of aortic diseases. Document covering acute and chronic aortic diseases
3. Elefteriades JA, Olin JW, Halperin JL. Diseases of the aorta. In: Fuster V, Walsh RA,
Hunt SA, Prystowsky EN, King SB, Roberts R, editors. Hurst’s the heart. 13th ed. New
4. Letman M, Suzuki k, Wengrofsky AJ, et al. Early recognition of acute thoracic aortic
6. Fritz DA. Current Diagnosis and Treatment on Emergency Medicine, 7th ed.United
8. Kumar, Abbas, Fausto, Mitcheel. Robbins Basic Pathology. 8th edition. Elsevier . 2007.
p343-353.
9. Schoen J Frederick. Blood Vessels. In: Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran
126.
12. Rudijanto Achmad. The Role of vascular Smooth Muscle Cells on the Pathogenesis of
13. Lazarides MK, Georgiadis GS, Papas TT,Nikolopoulos ES. Diagnostic criteria and
14. Ramin M, Salimi J, Meysamie A. An iranian scoring system for diagnosing buerger’s
16. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. 2016. Panduan praktik klinik
17. Hood AF, Farmer ER. Vasculitis. In: Pathology of the skin. Baltimore: Prentice-Hall
18. Lever S, Barnhill RL, Busam KJ, Vascular Disease. In: Histopathology of the skin. 8th
19. Miller A, Chan M, Wiik A, Misbah SA, Luqmani RA. An approach to the diagnosis
and management of systemic vasculitis revised version with tracked changes removed.
22. Gloviczki, P & Ricotta, JJ. Aneurysmal Vascular Disease. In Sabiston Textbook of
Surgery.18th ed.2007.
23. Sjamsuhidajat. R., de Jong. W., Bab 28 Jantung, Pembuluh Arteri, Vena, dan Limfe:
Aneurisma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, ed.2. Jakarta, EGC, 2004.
24. Tendera, et al. ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of peripheral artery
26. Jayanegara AP. Diagnosis dan tatalaksana deep vein thrombosis. Continuing medical
27. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of
pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis. Circ J. 2011; 75: 1258-81
28. Lin F, Zhang S, Sun Y, Ren S, Liu P. The management of varicose veins. Int Surg:100.
2015
29. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll Cardiol. 2010;
56:1-7
30. Kitchens CS. How i treat superficial venous thrombosis. Blood J: 117(1). 2011
123:637-644, 1999.
32. Acang, Nuzirwan. Trombosis vena alam. Maj Kedokt Andalas 2001; 25(2) : 46-55.
33. Dupras D, Bluhm J, Felty C, Hansens C, Johnsons T, Lim K. Venous thromboembolism
diagnosis and treatment. Institute for Clinical System Improvement. 2013; 5 : 1-36.
34. Malik, Diah Adriani. Efektivitas Flavonoid Terhadap Insufisiensi Vena Kronik Pada
http://eprints.undip.ac.id/12198/1/1999PPDS260.pdf
35. Budhy, Julijanto. 2001. Pedoman Bedah Minor. Staf bagian ilmu bedah Fakultas
36. Poerwadi et all.2008. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Bedah Edisi III.
Staf bagian ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr.Soetomo
Surabaya.