1. Definisi
Spinal Cord Injury meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung atau
tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik,
autonomik, dan refleks, baik komplet ataupun inkomplet. [1,2] Spinal Cord Injury dapat
didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai medula spinalis baik yang
menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap
atau sebagian. [3]
2. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO tahun 2013, didapatkan kejadian Spinal Cord Injury di 6 negara
yang melakukan penelitian.
Studi yang dilakukan di Kanada tahun 2010 meneliti angka kejadian Spinal Cord
Injury berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Gambar 2.1 Insiden Spinal Cord Injury berdasarkan usia dan jenis kelamin di Kanada tahun
2010[4]
Berdasarkan tabel diatas, angka kejadian Spinal Cord Injury sering terjadi pada dewasa
muda (usia 20-29 tahun pada laki-laki dan usia 15-19 tahun pada wanita) dan pada usia 70
tahun ke atas baik pada laki-laki dan perempuan. [4]
3. Etiologi
Penyebab terjadinya Spinal Cord Injury meliputi kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian, korban kerusuhan pada umumnya korban penembakan, kecelakaan saat olahraga,
dan berbagai penyebab lainnya meliputi penyakit vaskuler, tumor, spondilosis,fraktur vertebra
pada osteoporosis. WHO menjelaskan berbagai penyebab terjadinya Spinal Cord Injury di
berbagai wilayah di dunia, dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Gambar 3.1 Penyebab terjadinya Spinal Cord Injury berdasarkan wilayah di dunia
4. Anatomi
Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal vertebralis
(dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di
otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbar pertama
pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar ketiga pada anak-anak.4 Medulla spinalis
dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater.
Selain itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga
memberikan perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.5]
Gambar 4.1 Anatomi Spinal Cord[6]
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal (Gambar 4.1). Nervus
spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah 31 pasang nervus
spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots (radiks) dan sensory atau posterior
root. Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut
melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1 sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis
C1-C7, sedangkan C8 diantara kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul
dari bawah kolumna vertebralis yang bersangkutan. [5,6]
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-otot
leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1
mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Beberapa dermatom
penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis, antara lain C2-
C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah areola mamae, T10 untuk
umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan
tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis),
T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2
(bagian anterior dari femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari
1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).[6]
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara
eksternal.4,5 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi menjadi 10
lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang tersusun dari nukleus-nukleus
yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron.[6,7]
Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju ke pusat
sensorik di korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 4.3. Traktus sensorik (ascending
tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus spinotalamik lateral yang membawa
sensorik untuk nyeri dan temperatur (Gambar 4.4), anterior spinotalamik untuk perabaan
(kasar/ crude touch) dan tekanan (Gambar 4.5), traktus kolumna dorsalis (posterior white
column) untuk raba halus (two-point discrimination), fungsi proprioseptif dan getaran (Gambar
4.6), dan traktus-traktus lainnya seperti, spinocerebellar (posterior dan anterior),
cuneocerebellar, spinotectal, spinoreticular, spinotectal, dan spino-olivary.[6,7]
Gambar 4.3 Gambaran umum perjalanan rangsang sensorik dari sistem saraf perifer sampai
pusat sensorik di korteks serebral[6]
Gambar 4.7 Perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik (descending tract) dari pusat
motor di girus presentral ke efektor (otot)[6]
Gambar 4.8 Traktus kortikospinali anterior dan lateral[6]
Gambar 4.9 Gambar penampang melintang medulla spinalis dengan arteri spinalis anterior
dan gambar perfusi medulla spinalis.[6]
5. Patofisiologi
5.1 Mekanisme Cedera
Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5-
C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme cedera umumnya
merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla spinalis, contohnya motor
vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah
servikal (akibat hiperekstensi dan hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi
tergantung bagian yang terjatuh menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki
menumpu melibatkan daerah thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh
di tangga dimana leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal),
jatuh dengan bokong menumpu tanah melibatkan daerah lumbar).[8,9]
Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan menjadi
fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relatif 3:1:1). Ketiga
tipe dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara lain kompresi vertikal
dengan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera
fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang
bersangkutan akan mengalami stres maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra
yang berada diatas akan terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior
dari korpus vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan memberikan
kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan jenis
yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan daerah C5/C6 (terjadi
subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari interspinous dan posterior
longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak stabil.Cedera yang lebih ringan
dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan dislokasi. Cedera medulla spinalis terjadi akibat
kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular.[9,10]
Gambar 5.1.1 Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan pada
interspinous dan posterior longitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus intervertebralis
posterior[10]
Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera dengan mekanisme ini,
korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin terjadi wedge compression fracture
atau burst fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk ke dalam kanal spinalis. Wedge
fracture umumnya stabil karena ligamentum intak, namun apabila terdapat fragmen yang
masuk kedalam kanal spinalis dan biasanya terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong
tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop
fracture (digolongkan tidak stabil).[10]
Gambar 5.1.4 Cedera kompresi[10]
Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), cedera medulla spinalis komplit
didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla spinalis yaitu
S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali), sedangkan cedera inkomplit
tidak melibatkan dua segmen sakral tersebut (fungsi S4-S5 masih ada antara fungsi motorik
dan atau sensorik) dan dapat masuk dalam salah satu dari 4 sindrom klasik medulla spinalis
(Anterior cord syndrome, posterior cord syndrome, central cord syndrome, dan Brown-
Sequard syndrome) ataupun gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.[10]
Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus sensorik
(termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral), motorik (kortikospinal anterior dan
lateral), dan fungsi otonom dari level lesi kebawah. Pada complete cord transection, terdapat
dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase hyperrefleksia. Presentasi klinis
pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi komplit adalah tetraplegia (gangguan atau
hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada segmen servikal dari medulla spinalis karena
adanya kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat
ekstremitas, dan organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan
atau sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sakral (tetapi tidak servikal) akibat dari
kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis (sebagaimana didefinisikan oleh International
Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi 2011 yang
dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada level dibawah lesi, shok neurogenik
(hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia kompensasi), gangguan nafas (pada lesi servikal
atas), hilangnya tonus rektum dan buli-buli, retensio urin dan usus menyebabkan ileus,
dan priapism. Pada fase hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali dan meningkat
tonusnya. Babinski sign (dorsifleksi dari ibu jari), refleks achilles, patellar, bulbocavernous,
dan refleks lainnya akan kembali dan meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan meningkat
dan tidak dapat dikendalikan.[10]
Gambar 5.3.1 Sindrom klasik medulla spinalis. central cord syndrome (b), Anterior cord
syndrome (c), Brown-Sequard syndrome(d), posterior cord syndrome (e)[10]
Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu sindrom
lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum dan terjadi akibat cedera hiperekstensi
pada daerah servikal dengan kompresi medulla spinalis oleh osteophyte secara anterior dan
ligamentum flavum secara posterior. Sindrom ini merupakan akibat dari proses patologi yang
terjadi di dalam dan sekitar kanal sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus
spinotalamik yang mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat. Seiring
dengan meluasnya lesi ke lateral,traktus kortikospinal akan terlibat dan menyebabkan
kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah
(tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada traktus yang lebih medial yaitu traktus
kortikospinal untuk ekstremitas atas). Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal,
berbentuk shawl-like (seperti syal) atau nonspesifik dan terjadi dibawah lesi. Disfungsi buli-
buli yang menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.[10]
Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome merupakan sindroma
klinis pada cedera medulla spinalis akibat retropulsi dari tulang atau diskus yang
mengakibatkan kompresi dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior (anterior
spinal artery). Hal ini menyebabkan kerusakan pada traktus kortikospinal dan spinotalamik,
tetapi tidak pada traktus kolumna dorsalis (perfusi utama berasal dari posterior spinal
artery). Sindrom ini umumnya terjadi setelah cedera fleksi atau kompresi (axial loading).
Adanya kelemahan motorik, dan sensorik pada beberapa level dibawah level motorik tanpa
adanya gangguan bermakna pada fungsi proprioseptif, raba halus, dan getaran sugestif
mengarahkan diagnosis pada anterior cord syndrome.[10]
Brown-Squards syndrome (BSS) terjadi karena hemisection dari medulla spinalis
akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka tembak) atau fraktur tulang
belakang. Kondisi ini jarang terjadi, dan umumnya datang dengan presentasi berupa parase
motorik ipsilateral dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri, temperatur, dan raba
pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif ipsilateral dari lesi.[10]
Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medulla spinalis
yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point
discrimination. Sindrom ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi
dengan multiple sclerosis.Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik
(atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari sindrom ini.[10]
6. Diagnosis
6.1 Evaluasi Klinis
Dalam melakukan evaluasi klinis terhadap pasien yang dicurigai mengalami Spinal
Cord Injury, ada 3 prinsip dasar yang harus diperhatikan, yaitu ABC (Airway, Breathing,
Circulation), penanganan pasien secara hati-hati sangatlah penting, selalu mencurigai
terjadinya cedera atau fraktur sampai temuan radiologis dilakukan dan diinterpretasi, pasien
yang datang dalam keadaan tidak sadar, diasumsikan mengalami cedera servikal sampai tidak
terbukti.[10,11]
Dugaan terhadap adanya Spinal Cord Injury didapatkan melalui anamnesis yang
menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma
pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik. Selain itu,
Spinal Cord Injury akut harus diduga apabila ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin,
konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia), defisit motorik (hemiplegia, tetraplegia,
paraplegia), dan sensorik (hemianestesia, hemihipestesia).[10,11]
Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan fungsi
sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari Spinal Cord Injury. Praktik klinik
yang umum dilakukan adalah mendefinisikan Spinal Cord Injury sesuai dengan International
standards for neurological classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh
ASIA.[10.11]
Langkah-langkah dalam penilaian status neurologis berturut-turut, antara lain
menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensory points, menentukan
level motorik dengan key motor muscles, menentukan single neurological level, menentukan
apakah cedera komplit atau inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir
menentukan ASIA impairment scale.[10,11]
Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal untuk fungsi
nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik pada level dibawahnya
tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri mungkin memiliki perbedaan, sehingga
nilai keduanya harus ditentukan. Level motorik ditentukan dengan mengevaluasi key
muscle paling rendah dengan kekuatan minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi
motorik pada segmen diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological
Level ditentukan dengan level neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang
ditemukan (level sensorik dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).[10,11]
Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan pemeriksaan
refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya periode dari shok spinal. Reflex
ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis. Tidak adanya BCR tanpa adanya Spinal Cord
Injury pada bagian sakral mengindikasikan adanya shok spinal, dan umumnya refleks ini akan
kembali pertama kali setelah periode shok spinal berakhir. Tidak adanya sacral sparing setelah
BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera komplit dari Spinal Cord Injury. Di sisi lain tidak
adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya
lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equina.[10,11]
Gambar 6.1.1 Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex[10]
Gambar 6.1.2 Metode ASIA dalam menglasifikasikan Spinal Cord Injury[10,11]
8. Penatalaksanaan
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat diperbaiki
sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut yang
belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi dari cedera tersebut. Prinsip utama dari
tatalaksana Spinal Cord Injury, antara lain mencegah kerusakan sekunder dari Spinal Cord
Injury, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan ligamen), mencegah dan menangani
komplikasi dari Spinal Cord Injury, dan rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya
tatalaksana Spinal Cord Injury dibagi menjadi dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan
fase di rumah sakit.[10,11]
8.1. Penatalaksanaan Pre-Rumah Sakit
Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di rumah
sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan survei primer ABCD
(Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi tanda-tanda vital dan survei
sekunder. Survei sekunder pada fase ini umumnya hanya fokus terhadap gejala dan tanda klinis
Spinal Cord Injury (nyeri di leher atau punggung, nyeri tekan pada tulang belakang,
paraplegia/tetraplegia, paraesthesia, inkontinensia, priapism, peningkatan temperatur dari kulit
atau eritema). Titik utama yang membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di rumah
sakit adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke unit gawat
darurat (UGD) rumah sakit.[10,11]
Mobilisasi dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat krusial pada
pasien CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral (anatomis),
stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung pasir (sandbags) atau bolster di kedua
sisi leher dan wajah, spinal board, penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk
memindahkan pasien dengan minimum 4 penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi
tulang belakang agar tidak mengalami cedera lebih lanjut. Tindakan imobilisasi terus
dipertahankan sampai pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya
apabila MRI sudah menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang belakang maka
penggunaan collar sudah dapat dilepas.[10,11]
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital yang ada
merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan pasien trauma,
kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk melihat gejala dan tanda klinis
untuk Spinal Cord Injury. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan Spinal Cord
Injury dapat mengalami respiratory insufficiency akibat dari lesi Spinal Cord Injury yang
tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan hipotensi sehingga
tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan sekunder akibat hipoksia dan hipotensi tersebut
harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan adekuat. Intubasi harus dilakukan bila memang
dibutuhkan, tidak hanya untuk memberikan oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk
mempertahankan patensi jalan napas.[10,11]
Pada pasien Spinal Cord Injury yang tidak stabil membutuhkan dokter atau paramedis
yang berpengalaman dalam teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi
dari leher karena tindakan tersebut dapat memperparah CMS dan menyebabkan
kematian. Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah 90 mmHg dan bradikardia (nadi
dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik (hipovolemik bila takikardia).
Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan dua IV line large bore (16-18 G), pemberian
cairan isotonis, penggunaan vasopressor (norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan
nadi.[10,11]
Gambar 8.1 Macam-macam Skeletal traction Cone (kiri), Gardner-Wells (kanan atas), dan
University of Virginia (kanan bawah).[10]
Gambar 8.2 Gardner-Well tongs[10]
Gambar 8.3 Penanganan konservatif pada pasien Spinal Cord Injury daerah torakolumbal[10]
Spinal Cord Injury pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya fleksi-
rotasi. Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu dengan postural
reduction di ranjang (Gambar 8.3). Pada kondisi tertentu dibutuhkan fiksasi internal pada
fraktur-dislokasi yang tidak stabil untuk mencegah kerusakan medulla spinalis dan radiksnya.
Banyak kontroversi mengenai penanganan secara operatif pada pasien Spinal Cord
Injury. Kerusakan pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu terjadinya trauma sehingga
tidak mengherankan bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi neurologis yang bermakna
terjadi setelah penanganan operatif dekompresi akut dari tulang belakang. Indikasi umum
dilakukan intervensi operatif, antara lain perburukan dari defisit neurologis (indikasi absolut)
yang ditunjukan dari adanya lesi kompresi dengan menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien
dengan CMS inkomplit yang tidak mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan
adanya lesi kompresi (dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau tusuk untuk
mengeluarkan benda asing, dan untuk kepentingan stabilisasi (terutama karena instabilitas
hebat dengan lesi inkomplit, tidak bisa dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring
tidak terlalu lama).
Referensi
1. Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic mechanisms, clinical
neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol. 2001;24:25464.
2. Westgren N, Levi R. Quality of life and traumatic spinal cord injury. Arch Phys Med Rehabil.
1998 Nov. 79(11):1433-9.
3. Dumont, Randall J; Okonkwo, David O; Verma, Subodh ; Hurlbert, C John ; Boulos, Paul T;
Dumont, Aaron S;. (2001). Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms.
Clinical Neuropharmacology , 24 (5), 254-264.
4. WHO. 2013. SCI on International Perspectives on Spinal Cord Injury. Chapter 2:16
5. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. (2006). Therapeutic Intervention After
Spinal Cord Injury. Nature Publishing Group , 7, 628-640.
6. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal Cord.
Emedicine Medscape 2013.
7. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., & Galloway, A. C.
(2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA: McGraw-Hill.
8. Tjokorda GBM, Maliawan S. Diagnosis dan tatalaksana kegawat daruratan tulang belakang.
Jakarta:Sagung Seto; 2009.
9. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-
38
10. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In: Ropper AH, Samuels
MA, eds.Adams and Victors Principles of Neurology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625. Accessed October 3, 2013.
11. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3rdEdition.
Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33