Anda di halaman 1dari 26

Spinal Cord Injury

1. Definisi
Spinal Cord Injury meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung atau
tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik,
autonomik, dan refleks, baik komplet ataupun inkomplet. [1,2] Spinal Cord Injury dapat
didefinisikan sebagai semua bentuk cedera yang mengenai medula spinalis baik yang
menimbulkan kelainan fungsi utamanya (motorik, sensorik, otonom dan reflek) secara lengkap
atau sebagian. [3]
2. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO tahun 2013, didapatkan kejadian Spinal Cord Injury di 6 negara
yang melakukan penelitian.

Tabel 2.1 Prevalensi Spinal Cord Injury [4]

Studi yang dilakukan di Kanada tahun 2010 meneliti angka kejadian Spinal Cord
Injury berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Gambar 2.1 Insiden Spinal Cord Injury berdasarkan usia dan jenis kelamin di Kanada tahun
2010[4]
Berdasarkan tabel diatas, angka kejadian Spinal Cord Injury sering terjadi pada dewasa
muda (usia 20-29 tahun pada laki-laki dan usia 15-19 tahun pada wanita) dan pada usia 70
tahun ke atas baik pada laki-laki dan perempuan. [4]

3. Etiologi
Penyebab terjadinya Spinal Cord Injury meliputi kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian, korban kerusuhan pada umumnya korban penembakan, kecelakaan saat olahraga,
dan berbagai penyebab lainnya meliputi penyakit vaskuler, tumor, spondilosis,fraktur vertebra
pada osteoporosis. WHO menjelaskan berbagai penyebab terjadinya Spinal Cord Injury di
berbagai wilayah di dunia, dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 3.1 Penyebab terjadinya Spinal Cord Injury berdasarkan wilayah di dunia

Gambar diatas menjelaskan didaerah Afrika, Amerika,Eropa,dan daerah Pasifik barat


kejadian Spinal Cord Injury paling tinggi terjadi karena kecelakaan lalu lintas, sedangkan di
daerah timur tengah dan Asia Tenggara kejadian Spinal Cord Injury terbanyak karena jatuh
dari ketinggian.[4]

4. Anatomi
Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal vertebralis
(dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di
otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbar pertama
pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar ketiga pada anak-anak.4 Medulla spinalis
dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater.
Selain itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga
memberikan perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.5]
Gambar 4.1 Anatomi Spinal Cord[6]

Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal (Gambar 4.1). Nervus
spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah 31 pasang nervus
spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots (radiks) dan sensory atau posterior
root. Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut
melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1 sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis
C1-C7, sedangkan C8 diantara kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul
dari bawah kolumna vertebralis yang bersangkutan. [5,6]
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-otot
leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1
mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Beberapa dermatom
penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis, antara lain C2-
C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah areola mamae, T10 untuk
umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan
tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis),
T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2
(bagian anterior dari femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari
1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).[6]
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara
eksternal.4,5 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi menjadi 10
lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang tersusun dari nukleus-nukleus
yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron.[6,7]

Gambar 4.2 Penampang melintang Spinal Cord setinggi midservikal[6]

Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju ke pusat
sensorik di korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 4.3. Traktus sensorik (ascending
tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus spinotalamik lateral yang membawa
sensorik untuk nyeri dan temperatur (Gambar 4.4), anterior spinotalamik untuk perabaan
(kasar/ crude touch) dan tekanan (Gambar 4.5), traktus kolumna dorsalis (posterior white
column) untuk raba halus (two-point discrimination), fungsi proprioseptif dan getaran (Gambar
4.6), dan traktus-traktus lainnya seperti, spinocerebellar (posterior dan anterior),
cuneocerebellar, spinotectal, spinoreticular, spinotectal, dan spino-olivary.[6,7]
Gambar 4.3 Gambaran umum perjalanan rangsang sensorik dari sistem saraf perifer sampai
pusat sensorik di korteks serebral[6]

Gambar 4.4 Traktus spinotalamik lateral[6]


Gambar 4.5 Traktus spinotalamik anterior[6]

Gambar 4.6 Traktus kolumna dorsalis (posterior white column)[6]


Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik (descending tract) dari
pusat motor di girus presentral ke efektor (otot) dapat dilihat pada Gambar 4.7. Traktus motorik
dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus kortikospinal (anterior dan lateral) untuk
gerakan otot volunter dan yang membutuhkan ketepatan (Gambar 4.8), rubrospinal untuk
fasilitasi aktivitas otot-otot fleksor dan menghambat otot ekstensor (atau otot antigravitasi),
vestibulospinal untuk fasilitasi otot-otot ekstensor dan menghambat otot fleksor terutama untuk
tujuan menjaga postur dan keseimbangan, dan olivospinal (fungsi belum diketahui).[6]

Gambar 4.7 Perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik (descending tract) dari pusat
motor di girus presentral ke efektor (otot)[6]
Gambar 4.8 Traktus kortikospinali anterior dan lateral[6]

Pengetahuan akan perjalanan traktus-traktus (terutama mengenai pada level mana


terjadi decusatio) yang ada dalam substansia alba medulla spinalis akan memberikan
pengertian yang komprehensif mengenai manifestasi klinis pasien-pasien dengan trauma
medulla spinalis. Persepsi raba halus, proprioseptif, dan getaran (dari traktus kolumna dorsalis)
tidak mengalami penyilangan (decusatio) sebelum rangsang tersebut mencapai medulla
oblongata, sedangkan traktus spinotalamik lateral dan anterior menyilang dalam 3 level segmen
tempat rangsang tersebut masuk. Di sisi lain, traktus motorik utama (kortikospinal)
mengalami decusatio pada level medulla oblongata. Hal ini menyebabkan adanya lesi pada
traktus kortikospinal atau kolumna dorsalis menyebabkan paralisis motor ipsilateral (untuk
kortikospinal) dan hilangnya persepsi raba halus, proprioseptif, dan getaran pada ipsilateral
dari lesi tersebut. Sebaliknya, lesi pada traktus yang membawa persepsi nyeri, suhu, tekanan,
dan raba kasar menyebabkan hilangnya persepsi tersebut pada daerah kontralateral dari lesi.[6]
Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga berperan dalam
fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-L3 (torakolumbal),
sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4. Lesi medulla spinalis pada daerah yang
bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf otonom sesuai dengan tingkat lesinya. Salah
satu korelasi klinis dari fungsi saraf simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari
T6 adalah neurogenic shock akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah
arteri, sedangkan gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis.[6]
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis
posterior. Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior dari medulla
spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan disfungsi dari traktus
kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom (paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan
temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri spinalis posterior secara utama memberikan suplai
darah untuk kolumna dorsalis dan substansia kelabu bagian posterior. Kedua arteri tersebut
muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan abdominalis
memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis.[6]

Gambar 4.9 Gambar penampang melintang medulla spinalis dengan arteri spinalis anterior
dan gambar perfusi medulla spinalis.[6]
5. Patofisiologi
5.1 Mekanisme Cedera

Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5-
C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme cedera umumnya
merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla spinalis, contohnya motor
vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah
servikal (akibat hiperekstensi dan hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi
tergantung bagian yang terjatuh menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki
menumpu melibatkan daerah thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh
di tangga dimana leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal),
jatuh dengan bokong menumpu tanah melibatkan daerah lumbar).[8,9]
Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan menjadi
fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relatif 3:1:1). Ketiga
tipe dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara lain kompresi vertikal
dengan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera
fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang
bersangkutan akan mengalami stres maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra
yang berada diatas akan terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior
dari korpus vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan memberikan
kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan jenis
yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan daerah C5/C6 (terjadi
subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari interspinous dan posterior
longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak stabil.Cedera yang lebih ringan
dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan dislokasi. Cedera medulla spinalis terjadi akibat
kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular.[9,10]
Gambar 5.1.1 Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan pada
interspinous dan posterior longitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus intervertebralis
posterior[10]

Gambar 5.1.2 Mekanisme cedera anterofleksi[10]


Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala ekstensi
(retrofleksi). Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel) dari vertebra
servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral, bilateral, dan robekan
dari ligamen anterior. Cedera hiperekstensi dari medulla spinalis umumnya terjadi tanpa
terlihat adanya kerusakan vertebra atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera
medulla spinalis yang terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi
akibat penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang sementara karena robekan
ligamen (ketika di-xray atau CT-scan alignment sudah kembali normal).[9]

Gambar 5.1.3 Mekanisme cedera hiperekstensi[10]

Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera dengan mekanisme ini,
korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin terjadi wedge compression fracture
atau burst fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk ke dalam kanal spinalis. Wedge
fracture umumnya stabil karena ligamentum intak, namun apabila terdapat fragmen yang
masuk kedalam kanal spinalis dan biasanya terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong
tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop
fracture (digolongkan tidak stabil).[10]
Gambar 5.1.4 Cedera kompresi[10]

5.2 Patofisiologi Molekuler


Spinal Cord Injury dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi
medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa rusaknya traktus pada medula
spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar,
lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik
dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah
trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural
luas. Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:[8]
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang paling
berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hipereksi. Toleransi medula spinalis
terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah kapiler
dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi tulang
Spinal Cord Injury dapat terjadi secara primer atau sekunder. Spinal Cord Injury
primer berasal dari gangguan mekanik, transeksi,atau distraksi elemen saraf. Cedera ini
biasanya berkaitan dengan fraktur atau dislokasi vertebra. Namun, Spinal Cord Injury primer
juga dapat terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi vertebra, misalnya karena luka tusuk atau
luka tembak. Distraksi longitudinal dengan atau tanpa fleksi atau ekstensi kolumna vertebra
juga dapat menyebabkan Spinal Cord Injury primer. Keadaan ini biasa disebut sebagai Spinal
Cord Injury without Radiologic Abnormality (SCIWORA). [3]
5.2.1 Mekanisme Spinal Cord Injury primer
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer: (1) gaya impact dan
kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi, (3) tarikan medula spinalis, (4) laserasi
dan medula spinalis terpotong akibat trauma. Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses
intraseluler akan turut berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis;
transmisi saraf terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat
pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam
pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam
setelah trauma.[10]

Gambar 5.1 Patofisiologi Spinal Cord Injury primer[3]

5.2.2 Mekanisme Spinal Cord Injury sekunder


Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan sekunder.
Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh hipoperfusi karena syok neurogenik, proses
vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi
kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada
mitokondria.[3]
Gambar 5.2 Patofisiologi Spinal Cord Injury sekunder[3]

5.2.3 Syok neurogenik


Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik. Terdapat beberapa
interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur umumnya didefinisikan sebagai
perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese serius pada vasomotor (yang berakibat gangguan
keseimbangan dari vasodilasi dan vasokontriksi pada arteriole dan venules). Neurogenik shok
merupakan akibat dari shok spinal yang merupakan manifestasi dari cedera medulla spinalis.
Cedera primer menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga ekstraselular sehingga
mengakibatkan hilangnya aktivitas somatik, refleks, dan autonomik dibawah level kerusakan
tersebut. Shok neurogenik disebabkan karena hilangnya tonus simpatis yang berakibat
munculnya bradikardia, hipotensi dengan penurunan resistensi perifer dan cardiac
output. Shok ini umumnya bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera diatas level T6 terjadi.
Shok spinal dan neurogenik merupakan kondisi sementara yang dapat bertahan antara 48 jam
sampai 6 minggu pascacedera (sangat bervariasi).[9]
Gambar 5.3 Patofisiologi syok neurogenik[9]

5.3 Defisit Neurologis pada Spinal Cord Injury

Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), cedera medulla spinalis komplit
didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla spinalis yaitu
S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali), sedangkan cedera inkomplit
tidak melibatkan dua segmen sakral tersebut (fungsi S4-S5 masih ada antara fungsi motorik
dan atau sensorik) dan dapat masuk dalam salah satu dari 4 sindrom klasik medulla spinalis
(Anterior cord syndrome, posterior cord syndrome, central cord syndrome, dan Brown-
Sequard syndrome) ataupun gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.[10]
Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus sensorik
(termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral), motorik (kortikospinal anterior dan
lateral), dan fungsi otonom dari level lesi kebawah. Pada complete cord transection, terdapat
dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase hyperrefleksia. Presentasi klinis
pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi komplit adalah tetraplegia (gangguan atau
hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada segmen servikal dari medulla spinalis karena
adanya kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat
ekstremitas, dan organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan
atau sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sakral (tetapi tidak servikal) akibat dari
kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis (sebagaimana didefinisikan oleh International
Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi 2011 yang
dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada level dibawah lesi, shok neurogenik
(hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia kompensasi), gangguan nafas (pada lesi servikal
atas), hilangnya tonus rektum dan buli-buli, retensio urin dan usus menyebabkan ileus,
dan priapism. Pada fase hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali dan meningkat
tonusnya. Babinski sign (dorsifleksi dari ibu jari), refleks achilles, patellar, bulbocavernous,
dan refleks lainnya akan kembali dan meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan meningkat
dan tidak dapat dikendalikan.[10]
Gambar 5.3.1 Sindrom klasik medulla spinalis. central cord syndrome (b), Anterior cord
syndrome (c), Brown-Sequard syndrome(d), posterior cord syndrome (e)[10]

Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu sindrom
lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum dan terjadi akibat cedera hiperekstensi
pada daerah servikal dengan kompresi medulla spinalis oleh osteophyte secara anterior dan
ligamentum flavum secara posterior. Sindrom ini merupakan akibat dari proses patologi yang
terjadi di dalam dan sekitar kanal sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus
spinotalamik yang mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat. Seiring
dengan meluasnya lesi ke lateral,traktus kortikospinal akan terlibat dan menyebabkan
kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah
(tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada traktus yang lebih medial yaitu traktus
kortikospinal untuk ekstremitas atas). Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal,
berbentuk shawl-like (seperti syal) atau nonspesifik dan terjadi dibawah lesi. Disfungsi buli-
buli yang menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.[10]
Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome merupakan sindroma
klinis pada cedera medulla spinalis akibat retropulsi dari tulang atau diskus yang
mengakibatkan kompresi dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior (anterior
spinal artery). Hal ini menyebabkan kerusakan pada traktus kortikospinal dan spinotalamik,
tetapi tidak pada traktus kolumna dorsalis (perfusi utama berasal dari posterior spinal
artery). Sindrom ini umumnya terjadi setelah cedera fleksi atau kompresi (axial loading).
Adanya kelemahan motorik, dan sensorik pada beberapa level dibawah level motorik tanpa
adanya gangguan bermakna pada fungsi proprioseptif, raba halus, dan getaran sugestif
mengarahkan diagnosis pada anterior cord syndrome.[10]
Brown-Squards syndrome (BSS) terjadi karena hemisection dari medulla spinalis
akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka tembak) atau fraktur tulang
belakang. Kondisi ini jarang terjadi, dan umumnya datang dengan presentasi berupa parase
motorik ipsilateral dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri, temperatur, dan raba
pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif ipsilateral dari lesi.[10]
Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medulla spinalis
yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point
discrimination. Sindrom ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi
dengan multiple sclerosis.Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik
(atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari sindrom ini.[10]

6. Diagnosis
6.1 Evaluasi Klinis
Dalam melakukan evaluasi klinis terhadap pasien yang dicurigai mengalami Spinal
Cord Injury, ada 3 prinsip dasar yang harus diperhatikan, yaitu ABC (Airway, Breathing,
Circulation), penanganan pasien secara hati-hati sangatlah penting, selalu mencurigai
terjadinya cedera atau fraktur sampai temuan radiologis dilakukan dan diinterpretasi, pasien
yang datang dalam keadaan tidak sadar, diasumsikan mengalami cedera servikal sampai tidak
terbukti.[10,11]
Dugaan terhadap adanya Spinal Cord Injury didapatkan melalui anamnesis yang
menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma
pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik. Selain itu,
Spinal Cord Injury akut harus diduga apabila ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin,
konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia), defisit motorik (hemiplegia, tetraplegia,
paraplegia), dan sensorik (hemianestesia, hemihipestesia).[10,11]
Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan fungsi
sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari Spinal Cord Injury. Praktik klinik
yang umum dilakukan adalah mendefinisikan Spinal Cord Injury sesuai dengan International
standards for neurological classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh
ASIA.[10.11]
Langkah-langkah dalam penilaian status neurologis berturut-turut, antara lain
menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensory points, menentukan
level motorik dengan key motor muscles, menentukan single neurological level, menentukan
apakah cedera komplit atau inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir
menentukan ASIA impairment scale.[10,11]
Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal untuk fungsi
nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik pada level dibawahnya
tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri mungkin memiliki perbedaan, sehingga
nilai keduanya harus ditentukan. Level motorik ditentukan dengan mengevaluasi key
muscle paling rendah dengan kekuatan minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi
motorik pada segmen diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological
Level ditentukan dengan level neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang
ditemukan (level sensorik dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).[10,11]
Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan pemeriksaan
refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya periode dari shok spinal. Reflex
ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis. Tidak adanya BCR tanpa adanya Spinal Cord
Injury pada bagian sakral mengindikasikan adanya shok spinal, dan umumnya refleks ini akan
kembali pertama kali setelah periode shok spinal berakhir. Tidak adanya sacral sparing setelah
BCR kembali mengindikasikan bahwa cedera komplit dari Spinal Cord Injury. Di sisi lain tidak
adanya BCR pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya
lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equina.[10,11]
Gambar 6.1.1 Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex[10]
Gambar 6.1.2 Metode ASIA dalam menglasifikasikan Spinal Cord Injury[10,11]

6.2 Pemeriksaan Radiologis


Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal. Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior merupakan
pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal, sedangkan pemeriksaan CT
dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih
superior dibandingkan plain x-ray karena dapat melihat dari potongan sagittal, koronal, atau
potongan lainnya sesuai dengan keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-
ray tetap memberikan gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi.
Pemeriksaan MRI yang normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi
dini, hal ini dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah
servikal dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada ligamen
dan jaringan lunak.[10,11]

6.3 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan, yaitu:
- Analisa gas darah, untuk melakukan evaluasi adekuatnya oksigenasi dan ventilasi
- Lactate level, digunakan untuk evaluasi status perfusi terutama dalam keadaan syok.
- Hemoglobin dan Hematokrit, untuk menilai ada tidaknya kehilangan darah.
- Urinalisis, untuk mengevaluasi adanya cedera genitourinary.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Spinal Cord Injury yaitu:
7.1 Sistem Respiratorik
Komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas dan mortailitas
utama pada pasien Spinal Cord Injury. Lesi yang berkatian langsung dengan fungsi pernapasan
adalah lesi setingkat C5 keatas, sedangkan lesi pada tingkat torakal hanya mengganggu fungsi
batuk dan lesi di lumbal tidak mempengaruhi sama sekali.[10,11]
7.2 Sistem Kardiovaskuler
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat Spinal Cord Injury
adalah syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi pada
lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut menyebabkan
vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok. Syok pada Spinal Cord
Injury harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena apabila pada syok
neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema paru.[10,11]
Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat Spinal Cord Injury. Insiden emboli paru paling tinggi
terjadi pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum pada
pasien Spinal Cord Injury yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma.[10,11]
7.3 Sistem Urologi
Setelah terjadinya Spinal Cord Injury berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin
secara spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio urin
yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal.[10,11] Komplikasi Spinal Cord Injury pada
saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih (ISK). ISK simptomatik yang disertai
demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari,
sedangkan infeksi asimtomatik tidak perlu diterapi secara rutin.[10,11]
7.4 Sistem Gastrointestinal
Pasien dengan Spinal Cord Injury setidaknya harus menerima cairan secara intravena
selama 48 jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada Spinal Cord Injury berat. Apabila
ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat menyebabkan gangguan
pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi dengan perdarahan atau perforasi,
walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi ini berbahaya.[10,11]
7.5 Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi Spinal Cord Injury, oleh karena itu
pencegahan perlu dilakukan sejak dini. [10,11]

8. Penatalaksanaan
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat diperbaiki
sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut yang
belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi dari cedera tersebut. Prinsip utama dari
tatalaksana Spinal Cord Injury, antara lain mencegah kerusakan sekunder dari Spinal Cord
Injury, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan ligamen), mencegah dan menangani
komplikasi dari Spinal Cord Injury, dan rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya
tatalaksana Spinal Cord Injury dibagi menjadi dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan
fase di rumah sakit.[10,11]
8.1. Penatalaksanaan Pre-Rumah Sakit
Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di rumah
sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan survei primer ABCD
(Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi tanda-tanda vital dan survei
sekunder. Survei sekunder pada fase ini umumnya hanya fokus terhadap gejala dan tanda klinis
Spinal Cord Injury (nyeri di leher atau punggung, nyeri tekan pada tulang belakang,
paraplegia/tetraplegia, paraesthesia, inkontinensia, priapism, peningkatan temperatur dari kulit
atau eritema). Titik utama yang membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di rumah
sakit adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke unit gawat
darurat (UGD) rumah sakit.[10,11]
Mobilisasi dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat krusial pada
pasien CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral (anatomis),
stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung pasir (sandbags) atau bolster di kedua
sisi leher dan wajah, spinal board, penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk
memindahkan pasien dengan minimum 4 penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi
tulang belakang agar tidak mengalami cedera lebih lanjut. Tindakan imobilisasi terus
dipertahankan sampai pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya
apabila MRI sudah menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang belakang maka
penggunaan collar sudah dapat dilepas.[10,11]
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital yang ada
merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan pasien trauma,
kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk melihat gejala dan tanda klinis
untuk Spinal Cord Injury. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan Spinal Cord
Injury dapat mengalami respiratory insufficiency akibat dari lesi Spinal Cord Injury yang
tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan hipotensi sehingga
tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan sekunder akibat hipoksia dan hipotensi tersebut
harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan adekuat. Intubasi harus dilakukan bila memang
dibutuhkan, tidak hanya untuk memberikan oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk
mempertahankan patensi jalan napas.[10,11]
Pada pasien Spinal Cord Injury yang tidak stabil membutuhkan dokter atau paramedis
yang berpengalaman dalam teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi
dari leher karena tindakan tersebut dapat memperparah CMS dan menyebabkan
kematian. Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah 90 mmHg dan bradikardia (nadi
dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik (hipovolemik bila takikardia).
Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan dua IV line large bore (16-18 G), pemberian
cairan isotonis, penggunaan vasopressor (norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan
nadi.[10,11]

8.2 Penatalaksanaan di Rumah Sakit


Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami
komplikasi dari Spinal Cord Injury, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular,
urologi, gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi baik non-operatif maupun
operatif.[10,11]
a. Penanganan awal
Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan sekunder. Apabila
pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan imobilisasi tulang belakang, maka
tindakan awal yang harus dilakukan adalah tindakan imobilisasi. Hal yang berbeda dengan
penanganan pra-rumah sakit adalah pada pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara
lengkap (apabila tanda-tanda vital ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap
dilakukan sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord
Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis awal
dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan ada-tidaknya fase shok
spinal. Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan untuk melihat atau menyingkirkan
kemungkinan terjadinya Spinal Cord Injury.[10,11]
b. Penanganan spesifik untuk komplikasi Spinal Cord Injury
1) Sistem Respiratorik
Pasien dengan lesi diatas C5 sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik
karena penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi. Fungsi respirasi harus dimonitor
secara ketat dengan memeriksa saturasi oksigen, kapasitas vital (vital capacity/VC) paru, dan
analisa gas darah berkala. Retensi sputum umumnya terjadi dalam beberapa hari setelah cedera
diakibatkan gangguan pada fungsi batuk yang efektif, hal ini akan menyebabkan atelectasis
dan pneumonia. Chest physiotherapy, assisted cough dan latihan nafas secara reguler dapat
mencegah atelektasis dan infeksi paru.[10,11]
2) Sistem Kardiovaskuler
Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan IV, vasopressor dengan
karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin, epinefrin, dan dopamine),
atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari hipotermia akibat vasodilasi.22 Mean Arterial
Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas 70 mmHg, waaupun beberapa studi menunjukan
MAP > 85 mmHg memberikan prognosis yang lebih baik.[10,11]
Pada tromboemboli apabila tidak ada kontraindikasi seperti trauma kapitis atau
toraks, stocking antiembolism digunakan selama 2 minggu pertama setelah trauma dan
penggunaan antikoagulan dimulai dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low
molecular weight heparin lebih baik daripada warfarin).[10,11]
3) Sistem Urologi
Segera setibanya pasien di RS harus dilakukan pemasangan kateter Foley. Waktu
pulihnya refleks berkemih bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada
literatur yang mengatakan bisa tidak kembali). Program kateterisasi intermiten dimulai saat
fase subakut, ketika intake dan output cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih. Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat terjadi
kerusakan otot detrusor dan refluks karena tekanan pengisian buli-buli yang tinggi. Penerapan
metode steril penting dilakukan untuk pencegahan ISK.[10,11]
4) Sistem Gastrointestinal
Pasien dengan Spinal Cord Injury setidaknya harus menerima cairan secara intravena
selama 48 jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada Spinal Cord Injury berat. Pada
kondisi tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai
bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya diberikan. Untuk mencegah
Ulkus diberikan antagonis reseptor H2 atau proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai
secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah trauma.[10,11]
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai secara
agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal. Ketinggian lesi
menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12 menyebabkan hiperrefleksia dan spastic
dari sfingter ani, sedangkan lesi dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter
tersebut. Metode pengosongan usus dengan kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal,
merangsang pola evakuasi pada kolon distal.[10,11]
5) Kulit
Pada fase akut Spinal Cord Injury , pasien diposisikan miring kiri-miring kanan setiap
2 jam untuk mencegah ulkus dekubitus. Penggunaan matras busa atau air bisa membantu
mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus tetap diubah tiap 2 jam.
c. Penggunaan Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini
mengalami kontroversi. Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute Spinal Cord
Injury Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam
15 menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23 jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah
Spinal Cord Injury tertutup meningkatkan prognosis neurologis pasien. Studi NASCIS 3
kemudian menambahkan bahwa terapi metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah
trauma harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma
harus dilanjutkan selama 48 jam. Consortium for Spinal Cord Medicine tidak
merekomendasikan penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside GM-1,
gacyclidine, tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis akhir belum
didapatkan secara definit.[10,11]
d. Terapi reduksi operatif dan non operatif
Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis. Setiap Spinal Cord Injury yang tidak
stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat pergerakan dan
juga melepaskan kompresi medulla spinalis. Pasien dengan Spinal Cord Injury daerah servikal
dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk mereduksi dislokasi, melepaskan
kompresi pada medulla spinalis pada burst fracture, dan splint tulang belakang. Skeletal
traction untuk mengembalikan atau mempertahankan alignment yang normal merupakan
metode yang cepat dan efektif. Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded
tongs (Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia. Beban yang digunakan tergantung
adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-
5 kg, sedangkan pada dislokasi digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total
25 kg) dalam posisi leher dalam keadaan fleksi. Pasien harus diperiksa status neurologis nya
setiap peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila terjadi perburukan
status neurologis.[10,11]

Gambar 8.1 Macam-macam Skeletal traction Cone (kiri), Gardner-Wells (kanan atas), dan
University of Virginia (kanan bawah).[10]
Gambar 8.2 Gardner-Well tongs[10]

Gambar 8.3 Penanganan konservatif pada pasien Spinal Cord Injury daerah torakolumbal[10]
Spinal Cord Injury pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya fleksi-
rotasi. Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu dengan postural
reduction di ranjang (Gambar 8.3). Pada kondisi tertentu dibutuhkan fiksasi internal pada
fraktur-dislokasi yang tidak stabil untuk mencegah kerusakan medulla spinalis dan radiksnya.
Banyak kontroversi mengenai penanganan secara operatif pada pasien Spinal Cord
Injury. Kerusakan pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu terjadinya trauma sehingga
tidak mengherankan bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi neurologis yang bermakna
terjadi setelah penanganan operatif dekompresi akut dari tulang belakang. Indikasi umum
dilakukan intervensi operatif, antara lain perburukan dari defisit neurologis (indikasi absolut)
yang ditunjukan dari adanya lesi kompresi dengan menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien
dengan CMS inkomplit yang tidak mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan
adanya lesi kompresi (dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau tusuk untuk
mengeluarkan benda asing, dan untuk kepentingan stabilisasi (terutama karena instabilitas
hebat dengan lesi inkomplit, tidak bisa dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring
tidak terlalu lama).
Referensi

1. Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic mechanisms, clinical
neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol. 2001;24:25464.
2. Westgren N, Levi R. Quality of life and traumatic spinal cord injury. Arch Phys Med Rehabil.
1998 Nov. 79(11):1433-9.
3. Dumont, Randall J; Okonkwo, David O; Verma, Subodh ; Hurlbert, C John ; Boulos, Paul T;
Dumont, Aaron S;. (2001). Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms.
Clinical Neuropharmacology , 24 (5), 254-264.
4. WHO. 2013. SCI on International Perspectives on Spinal Cord Injury. Chapter 2:16
5. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. (2006). Therapeutic Intervention After
Spinal Cord Injury. Nature Publishing Group , 7, 628-640.
6. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal Cord.
Emedicine Medscape 2013.
7. Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., & Galloway, A. C.
(2010). Principles of Surgery Companion Handbook. USA: McGraw-Hill.
8. Tjokorda GBM, Maliawan S. Diagnosis dan tatalaksana kegawat daruratan tulang belakang.
Jakarta:Sagung Seto; 2009.
9. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-
38
10. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In: Ropper AH, Samuels
MA, eds.Adams and Victors Principles of Neurology. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625. Accessed October 3, 2013.
11. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3rdEdition.
Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33

Anda mungkin juga menyukai