Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

HEPATITIS B

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Infeksi virus Hepatitis B (HBV) yang pertama kali ditemukan pada tahun 1996,
telah terjadi pada lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia. Infeksi HBV saat ini
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar serta serius, karena selain
manifestasinya sebagai penyakit HBV akut beserta komplikasinya, lebih penting lagi
ialah dalam bentuk sebagai karier, yang dapat menjadi sumber penularan bagi
lingkungan.1
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui kontak perkutaneus
atau permukosal terhadap cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi HBV, melalui
hubungan seksual dan transmisi perinatal dari seorang ibu yang terinfeksi ke bayinya.
Manifestasi klinis dapat bervariasi mulai dari hepatitis subklinik hingga hepatitis
simtomatik, dan meskipun jarang dapat terjadi hepatitis fulminan. Komplikasi jangka
panjang dari hepatitis mencakup sirosis hepatis dan hepatoma. 1
Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih 350 juta orang pengidap HBV
persisten, hampir 74 % (lebih dari 220 juta) pengidap bermukim dinegara-negara Asia.
Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi adalah terutama Asia yaitu Cina, Vietnam,
Korea, dimana 50–70 % dari penduduk berusia antara 30 – 40 tahun pernah kontak
dengan HBV, dan sekitar 10 – 15 % menjadi pengidap Hepatitis B Surface Antigen
(HbsAg). Menurut WHO Indonesia termasuk kelompok daerah dengan endemisitas
sedang dan berat (3,5 – 20 %).1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan
oleh Virus Hepatitis B.1,2,3,4,5 Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan kronis 1

 Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus beberapa kasus berubah menjadi
hepatitis fulminan.
 Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan

II. EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun
2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah
(HBsAg 0,2%-0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-
HBs 20%-55%), dan prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%).

Dinegara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Negara-negara Skandinavia


prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-0,2% sedangkan di Afrika Timur 10%-15%.
Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di Alaska prevalensi dapat mencapai
45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%. Pada daerah dengan endemisitas tinggi
infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak maupun
horizontal diantara anak kecil. Sebaliknya pada daerah dengan prevalensi rendah
penularan secara horizontal terjadi oleh penyalahgunaan obat, penggunaan instrumen
yang tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun telinga, dan tattoo.

Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar


didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2% dengan frekuensi terbanyak antara 5-
10%. Pada umumnya di luar Jawa angka ini lebih tinggi. Di Jakarta prevalensi HBsAg
pada suatu populasi umum adalah 4,1%. Angka-angka ini sangat tinggi sehingga
diperlukan suatu cara untuk menurunkannya. 2

III. ETIOLOGI

Gambar 1. Virus Hepatitis B7

Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam family
Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena virus bersifat
hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk dalam family ini
adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika Utara) yang telah
diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis B pada bebek Peking,
dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak bersifat sitopatik.1,2,5

Gambar 2. Rantai DNA Virus Hepatitis B7

Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi alat
yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan
penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran 42 nm
dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis ganda dengan
selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam. Nukleokapsid ini berukuran 27
nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang sebagian berantai ganda (partially
double stranded) dengan bentuk sirkular. Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam
partikel virus yang terdapat dalam darah yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga
partikel Dane dan selubung virus yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong
1
berukuran 22 nm, dapat berbentuk seperti bola atau filament.

Gambar 3. Genom Virus Hepatitis B7

Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah diketahui
adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya berhimpitan.
Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C untuk gen C (core), X
untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF lainnya (ORF5 dan ORF6) telah
dideskripsikan tetapi masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut. 1
Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan pre-
C mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri dari 87
nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C mengkode 212
asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian pre-S2, pre-S2, dan S,
1,2,3,4
mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226 asam amino.
Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen ini juga
berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang bekerja
sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi virus. Gen ini
merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan protein X VHB
(HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga berperan pada pathogenesis
karsinoma hepatoselualar (KHS).1,2,3
Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai aktivitas
replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi atau dengan
metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction (PRC). DNA-VHB
kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons penyakit terhadap
terapi.1.8,9

Gambar 4. Perkembangbiakan Virus Hepatitis B di Hati8

Siklus hidup Hepatitis B virus adalah kompleks. Hepatitis B adalah satu dari
beberapa non-retroviral yang menggunakan transkripsi kebalikan sebagai sebuah
bagian dari proses replikasinya. Virus meningkatkan masukan ke sel dengan cara
membuat suatu sel peka rangsangan terhadap permukaan dari sel dan masuk ke sel
tersebut dengan endocytosis. Secara parsial lilitan ganda DNA virus kemudian
membuat secara penuh lilitan ganda serta mentransformasikan ke dalam covalently
menutup DNA melingkar (cccDNA) yang bertindak sebagai satu cetakan (template)
untuk penyalinan empat mRNA virus. MRNA paling besar, (adalah lebih panjang dari
genom virus), digunakan untuk membuat copy baru dari genom dan untuk membuat inti
capsid protein serta DNA virus polymerase. Empat catatan virus Ini mengalami
pemrosesan tambahan dan meneruskan untuk membentuk keturunan virions yang
bebas dari sel atau kembali ke nukleus serta re-cycled untuk menghasilkan lebih lagi
mengcopy. MRNA lama kemudian mengangkut kembali ke sitoplasma dimana virion P
2
protein mensintesa DNA melalui kebalikan aktivitas transkriptase.
IV. CARA TRANSMISI
Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral) yang
terdiri dari transmisi vertikal (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal terjadi dari
ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat antar keluarga /
individu. Transmisi perinatal dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis B (VHB) ke bayi
adalah salah stu cara transmisi yang paling serius karena bayi lahir akan memiliki risiko
tertinggi untuk menjadi hepatitis kronis dan dapat berlanjut menjadi sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Transmisi vertical ini dapat terjadi intrauterin (pranatal), saat
lahir (intranatal), dan setelah lahir (pascanatal). Transmisi intrauterin sangat jarang,
hanya terjadi pada <2% dari seluruh kejadian transmisi perinatal. Besarnya risiko
transmisi vertikal ini sangat ditentukan oleh status serologi ibu. Bila HBsAg dan HBeAg
ibu positif, risiko transmisi vertikal sangat tinggi yaitu sebanyak 70-90%, sementara bila
hanya HBsAg yang positif, risiko transmisi vertikal tersebut lebih rendah yaitu 10-67%.
Bila anti HBe ibu positif, berpotensi untuk menimbulkan hepatitis fulminan pada bayi,
walaupun jarang terjadi. 1,3,4

V. PATOGENESIS
Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatik yang
mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah
pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan
munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini
mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg.
Antigen-antigen ini, bersama dengan protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I,
1,4,5
membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel T sitotoksis.
Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan baik.
Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas I
tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme
lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari
sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan
hidup.1,4,5
Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadaan
ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Kompleks imun yang
sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pada penderita yang
mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika, krioglobulinemia, dan
sindrom Guillan Barre yang terkait.1,3
Mutasi HBV lebih sering terkait untuk virus DNA biasa, dan sederetan strain
mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebebkan kegagalan
mengekspresikan HBAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat
dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 1,3
Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme sistem imun diaktivasi untuk
mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan
serum transaminase, dan terbentuk antibodi spesifik terhadap protein HBV, yang
terpenting adalah anti-HBs.1
Untuk dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan respons imun
non-spesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera setelah
infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun non-spesifik diaktifkan, antara lain
interferon. Interferon ini meningkatkan ekspresi HLA kelas I pada permukaan sel
hepatosit yang terinfeksi VHB, sehingga nantinya memudahkan sel T sitotoksis
mengenal sel hepatosit yang terinfeksi dan melisiskannya. Selanjutnya antigen
presenting cell (APC) seperti sel makrofag atau sel Kupffer akan memfagositosis dan
mengolah VHB. Sel APC ini kemudian akan mempresentasikan antigen VHB dengan
bantuan HLA kelas II pada sel CD4 (sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan dan
membentuk suatu kompleks. Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan produk
sitokin. Sel CD4 ini mulanya adalah berupa Th0, dan akan berdiferensiasi menjadi Th1
1
atau Th2. Diferensiasi ini tergantung pada adanya sitokin yang mempengaruhinya.
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan IFN γ,
sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel hepatosit yang
terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga melisiskan virus. Pada
hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi. Diferensiasi ternyata lebih dominan ke
arah Th2, sehingga respons imun yang dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus
intrasel.1
Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan mengaktifkan
sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang secara non-spesifik akan
melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi sitotoksis dan proliferasi sel NK ini
bergantung pada interferon. Walaupun peran sel NK yang jelas belum diketahui,
tampaknya sel ini berperan penting untuk terjadi resolusi infeksi virus akut. Pada
hepatitis B kronis siketahui terdapat gangguan fungsi sel NK ini. 1

VI. GEJALA KLINIS


1. Hepatitis Akut

Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimptomatis ini terbukti
dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila
menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi
dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu
dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan
pembesaran hati dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan peningkatan kadar AST dan ALT sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7
minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum
sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula, dan
makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8
minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang
terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun dan 30% pada
dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simptomatis akan sembuh tetapi dapat
menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, 80% bayi. 2

2. Hepatitis Kronis

Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase


atau HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sedangkan sebagian besar
penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik.
Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20
kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut.
Fluktuasi kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons
imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul
gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejela klinis ini tidak berhubungan
langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum , atau
kerusakan jaringan hati pada biopsi.

Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan


histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang
menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang
akan menjadi sirosis selama 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin
berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke
waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar
untuk ditentukan.

3. Gagal hati Fulminan

Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut
simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum
dengan beberapa minggu setelah munculnya gejela pertama hepatitis, disertai ikterus,
gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum sehingga
ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan
dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.

4. Pengidap Sehat

Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar
aminotransferase serum dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis
sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi
didaerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap
sehat adalah membaik (anti HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, menderita sirosis
pada umur diatas 30 tahun sebesar 1% dan menderita karsinoma hati kurang dari 1%. 2
Gambar 5. Keadaan hati pada hepatitis yang menjadi kronis 9

VII. DIAGNOSIS
Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat
awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk kedalam sel hati
melalui aliran darah. Dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan
hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc
terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun terutama
pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap
selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusukan sel hati yang terinfeksi.
Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis. 2
Antigen Interpretasi Bentuk Klinis

HBsAg Sedang infeksi (aktif) Hepatitis akut, hepatitis


kronis, penanda kronis

HBeAg Proses replikasi dan sangat Hepatitis akut, hepatitis


menular kronis

Anti-HBs Resolusi infeksi Kekebalan


Anti- HBc Total
Sedang infeksi atau infeksi Hepatitis akut, hepatitis
kronis yang kambuh kronis, penanda kronis,
kekebalan

IgM anti-HBc Infeksi akut atau infeksi Hepatitis akut, hepatitis


kronis yang kambuh kronis

Anti-HBe Penurunan aktivitas Penanda kronis, kekebalan


replikasi (resolusi)

PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis


kronis, penanda kronis

Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat Hepatitis akut, hepatitis
menular kronis

VIII. DIAGNOSA BANDING


Diagnosis banding hepatitis B kronis adalah hepatitis C, defisiensi α 1-antitrypsin,
tyrosinemia, cystic fibrosis, gangguan metabolism asam amino atau gangguan
metabolisme karbohidrat atau gangguan oksidasi asam lemak. Penyebab lain dari
hepatitis kronis pada anak termasuk penyakit Wilson’s, hepatitis autoimun, dan
1,4
pengobatan yang hepatotoksik.

IX. PENATALAKSANAAN
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian
kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit.
Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar
SGOT-SGPT >10 kali nilai normal atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun
tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak dibawah 3 tahun dimana infeksi HBV
tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi
kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit dan sampai saat
ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B
kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga infeksi tersebut dieliminasi
dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati
terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi
aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan
peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap
pengobatan.
1. Interferon Alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa 2b (IFN-α2b) adalah pengobatan standar
untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites,
ensefalopati, koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif
(HBeAg dan DNA HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum.
Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan
jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3
MU/m2 secara subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu. Efek
samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,
neurologis, dan psikologis.
Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi,
anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok.
Efek auto imun ditandai dengan timbulnya auto antibodi, antibody anti-interferon,
hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura
trombositopenik.
Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih
dan kadar hemoglobin.
Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakrerial seperti bronchitis,
sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis.
Efek neurologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur,
delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinnitus, vertigo,
penurunan pengelihatan, dan perdarahan retina.
Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan
libido, dan usaha bunuh diri.

2. Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang
menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping
daripada interferon: dosisnya 3mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun.
Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya
HBeAg dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan
serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi
hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh.
Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan
peningkatan kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi
penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati.
Penderta dengan mutasi pre-core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama
dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan
interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi
mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan
lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3mg/kgBB memberi respons
yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudin
tidak lebih baik dibanding pengobatan lamivudin saja. 2

X. KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus hepatitis
lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau
superinfeksi dengan virus hepatitis D. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar dari 30%.
Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif; perawatan pendukung yang
ditujukan untuk mempertahankan penderita sementara memberi waktu yang dibutuhkan
untuk regenerasi sel hati adalah satu per satu.

XI. PENCEGAHAN

Imunisasi Pada Bayi


Bayi yang dilahirkan oleh wanita yang HBsAg positif harus mendapat vaksin
pada saat lahir, umur 1 bulan dan 6 bulan. Dosis pertama harus diseertai dengan
pemberian 0,5 ml immunoglobulin hepatitis B (IGHB) sesegera mungkin sesudah lahir
(12 jam) karena efektivitasnya berkurang dengan cepat dengan bertambahnya waktu
sesudah lahir. AAP (American Academy of Pediatrics) merekomendasikan bahwa bayi
yang dilahirkan dari ibu yang HBsAg negative mendapat dosis vaksin pertama pada
saat lahir, kedua pada umur 1-2 bulan, dan ketiga
Indonesia adalah Negara dengan angka prevalensi HB berkisar antara 5-20%
termasuk Negara dengan endemisitas sedang sampai dengan tinggi, dengan transmisi
verikal 48%. Oleh jarena itu, strategi yang paling tepat untuk Indonesia adalah vaksinasi
bayi secepat mungkin setelah dilahirkan.
Pemberian vaksinasi bertujuan untuk merangsang system imun agar membentuk
kekebalan humoral (antigen-spesifik humoral antibody) dan kekebalan seluler. Tidak
seperti kekebalan pasif yang berlangsung sementara, maka kekebalan aktif biasanya
bertahan untuk beberapa tahun. Vaksin akan berinteraksi dengan system imun dan
umumnya menghasilkan respons imun yang sama dengan yang dihasilkan oleh infeksi
alami, tetapi penerima vaksin tidak menjadi sakit atau terserang komplikasi. Vaksin juga
menimbulkan immunologic memory yang serupa dengan yang didapat dari infeksi
alami.4
Banyak faktor yang mempengaruhi imun respons terhadap vaksinasi, antara lain
adanya antibodi maternal, sifat dan dosis antigen, cara pemberian dan adanya
adjuvant. Faktor penerima vaksin juga berpengaruh antara lain, umur, status nutrisi,
genetik, dan penyakit yang sedang diderita. 3,4
Vaksin HB ternasuk vaksin inactivated, yaitu vaksin yang terdiri dari bagian dari
virus dan tidak mengandung virus hidup. Oleh karena itu, vaksin HB tidak
menyebabkan replikasi virus hepatitis dan tidak menyebabkan penyakit. Ia juga tidak
dapat bermutasi kearah lebih pathogen. Vaksin HB merupakan HBsAg murni yang
terikat dengan adjuvant alum. HBsAg adalah glikoprotein yang membentuk selubung
(envelope) luar dari virus HB. HBsAg bisa berasal dari proses pemurnian plasma
pengidap (plasma derived vaccine) atau diproduksi dalam yeast atau sel mamalia
menggunakan teknologi rekombinan (recombinant vaccine).3,4

Vaksin Derivat Plasma5


Pada infeksi alamiah dengan virus HB, sel hati akan memproduksi HBsAg
secara berlebihan dari yang dibutuhkan untuk membungkus partikel virus. Kelebihan
HBsAg ini adalah kemampuan untuk membentuk partikel sferis dan tubular berukuran
22mm. vaksin HB dibuat dengan memurnikan partikel HBsAg yang berasal dari plasma
pengidap. Bahan vaksin diinaktivasi untuk menjamin tidak ada lagi virus maupun mikro-
organisme lain yang infeksius. Vaksin HB asal plasma telah diberikan pada lebih dari 70
juta orang dengan kemanan dan efektivitas yang luar biasa.
Program imunisasi nasional Indonesia menggunakan vaksin jenis ini yang
diproduksi PT Bio Farma dengan teknologi KGCC (Koren Green Cross Corporation)
sejak 1991 sampai dengan 1998.
Vaksin HB asal plasma ini memiliki beberapa keterbatasan bila digunakan dalam
program universal :
1. Terbatasnya darah pengidap HB yang sehat
2. Perlu ketelitian dalam proses pemurnian dan inaktivasi
3. Kekhawatiran akan kontaminasi pathogen yang berasal dari darah.
Keterbatasan ini menyebabkan harga vaksin asal plasma ini terlalu mahal untuk
Negara berkembang, sehingga para ahli mengembangkan vaksin dengan teknologi
rekombinan.

Vaksin Rekombinan HB5


Vaksin HB ini dibuat dari yeast atau sel mamalia, sel-sel ini berisi plasmid yang
sudah disisipi gen HBsAg, sehingga dengan replikasi yeast maka plasmid turut ber-
replikasi dan menghasilkan HBsAg dalam jumlah banyak. Bentuk HBsAg sferis yang
dihasilkan serupa dengan partikel sferis 22 nm alami, baik dalam hal komposisi kimia
maupun imunogenisitasnya. Vaksin HB ini dapat diproduksi dalam jumlah tidak terbatas
di dalam fermentor, sehingga tak ada lagi kekhawatiran akan habisnya bahan asal
antigen sebagaimana halnya dengan pemakaian vaksin asal plasma.
Sejak tahun 1998 program nasional telah menggunakan vaksin rekombinan
produksi PT Bio Farma dengan teknologi KGCC. Yeast yang digunakan bukan
Saccharomyces cerevisiae tetapi Hansenula polymorpha yang memiliki banyak
keunggulan antara lain plasmid yang stabil dan produktivitas yang tinggi.
Efikasi vaksin HB rekombinan5
Setelah 3 x suntikan IM, lebih dari 90 % orang dewasa sehat dan lebih dari 95 %
bayi dan anak usia kurang dari 19 tahun akan memberikan repons imun yang cukup.
Walaupun terjadi penurunan imunogenisitas yang tergantung dari faktor umur (setelah
umur 40 tahun). Sejumlah 90 % penerima vaksin masih memperlihatkan respons imun
yang adekuat. Namun demikian, mendekati umur 60 tahun hanya 70 % yang
menunjukkan respons imun.
Dosis vaksin yang direkomendasikan dapat berbeda tergantung dari umur penerima vaksin, kondisi tertentu, dan tipe vaksin
5
Kelompok Vaksin
Recombivax HB Engerix-B Bio Farma/KGCC
Dosis (ml) Dosis (ml) Dosis (ml)
Bayi + anak < 11 tahun 5 µg (0,5) 10 µg (0,5) 10 µg (0,5)
Anak 11-19 tahun 5 µg (0,5) 10 µg (0,5) 20 µg (1,0)
Dewasa > 20 tahun 10 µg (1,0) 20 µg (1,0) 20 µg (1,0)

Penyuntikan yang dianjurkan adalah intramuscular pada musculus deltoideus


untuk anak besar dan orang dewasa, sedangkan pada bayi sebaiknya pada bagian
anterolateral paha. Penyuntikan orang dewasa di bokong akan mengurangi
imunogenisitas vaksin.
Antibody yang ditimbulkan karena vaksinasi akan menurun dengan waktu, tetapi
immune memory akan menetap sampai kira-kira 13 tahun setelah imunisasi, sehingga
baik anak maupun dewasa denagn antibody yang menurun ini masih terlindung
terhadap infeksi HBV yang serius (klinis, antigenemia, kelainan fungsi HB). Paparan
dengan HBV akan menimbulkan respons anamnestik anti-HBs yang akan mencegah
timbulnya gejala klinis infeksi.

Vaksin HB dalam kemasan uniject4


Uniject adalah alat suntik terbuat dari plastic yang disposable, pre-filled dengan
obat dosis tunggal. Obatnya tertutup rapat dalam blister, dengan jarum yang terpasang
permanent. Uniject ini dirancang untuk mencegah penggunaan ulang alat suntik,
sehingga menjamin safe infection, tidak ada risiko tertular penyakit lain melalui suntik
bekas yang terkontaminasi.
Di samping itu mengingat sifat vaksin HB yang relative stabil terhadap
perubahan suhu, yaitu hanya sedikit kehilangan potensi setelah penyimpanan pada
37ºc selama 6 bulan, maka WHO menganggap vaksin HB adalah calon vaksin yang
dalam kondisi tertentu dapat dipakai di luar rantai dingin.hal ini bertujuan agar dapat
memperluas cakupan imunisasi universal pada bayi.

Upaya pencegahan umum terhadap HBV yang seyogianya dilakukan pula adalah : 5
1. Uji tapis donor darah terhadap HBV
2. Sterilisasi alat operasi, alat suntik, peralatan gigi
3. Penggunaan sarung tangan oleh tenaga medis
4. Mencegah kemungkinan terjadinya mikrolesi yang dapat menjadi tempat masuknya
virus, seperti pemakaian sikat gigi, sisir, alat pencukur rambut pribadi
5. Untuk mencegah transmisi vertical, semua ibu hamil terutama yang berisiko terinfeksi
HBV sebaiknya dianjurkan untuk diperiksa terhadap HBV. Pemeriksaan sebaiknya
dilakukan pada awal dan trimester ketiga kehamilan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hepatitis B adalah penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan


hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B. WHO memperkirakan adanya 400 juta
orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Di Indonesia pada penelitian terhadap
donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2%
dengan frekuensi terbanyak antara 5-10%. Virus hepatitis B merupakan kelompok virus
DNA dan tergolong dalam family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini
disebut demikian karena virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan
genom DNA.

Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral) yang
terdiri dari transmisi vertical (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal terjadi dari
ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat antar keluarga /
individu. Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatik yang
mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah
pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan
munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini
mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg.

Gejala klinis hepatitis dibagi menjadi hepatitis akut, hepatitis kronis, gagal hati
fulminan, dan pengidap sehat. Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan
serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk
kedalam sel hati melalui aliran darah. Dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya
kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis.

Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian
kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit.
Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar
SGOT-SGPT >10 kali nilai normal atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan.

Pemberian vaksinasi bertujuan untuk merangsang system imun agar membentuk


kekebalan humoral (antigen-spesifik humoral antibody) dan kekebalan seluler. Tidak
seperti kekebalan pasif yang berlangsung sementara, maka kekebalan aktif biasanya
bertahan untuk beberapa tahun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In


Harrison’s : Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical
Publishing Division, 2005.
2. Mohammad Juffrie, dkk. Gastroenterologi-Hepatologi. Jilid 1. IDAI. 2011
3. Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD,
Michael P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition. Saunders
Elsevier. Canada. 2006
4. Hanifah Oswari,Tinjauan Multi Aspek Hepatitis B pada Anak – Tinjauan
Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000
5. Lina Herlina Soemara, Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan Komprehensif
Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000
6. Julfina Bisanto. Hepatitis virus – Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak
dengan Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Jakarta. 2007
7. www.wikipedia.org/wiki/Hepatitis_B_virus diakses pada19 Oktober 2015
8. www.healthtap.com/topics/hepatitis-b-virus diakses pada 19 Oktober 2015
9. www.slideshare.net/christinedunn92/b75-chapter-24-gallbladder-liver-and-
pancreatic-disorder diakses pada 19 Oktober 2015

Anda mungkin juga menyukai