HEPATITIS B
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Infeksi virus Hepatitis B (HBV) yang pertama kali ditemukan pada tahun 1996,
telah terjadi pada lebih dari 350 juta penduduk di seluruh dunia. Infeksi HBV saat ini
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar serta serius, karena selain
manifestasinya sebagai penyakit HBV akut beserta komplikasinya, lebih penting lagi
ialah dalam bentuk sebagai karier, yang dapat menjadi sumber penularan bagi
lingkungan.1
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui kontak perkutaneus
atau permukosal terhadap cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi HBV, melalui
hubungan seksual dan transmisi perinatal dari seorang ibu yang terinfeksi ke bayinya.
Manifestasi klinis dapat bervariasi mulai dari hepatitis subklinik hingga hepatitis
simtomatik, dan meskipun jarang dapat terjadi hepatitis fulminan. Komplikasi jangka
panjang dari hepatitis mencakup sirosis hepatis dan hepatoma. 1
Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih 350 juta orang pengidap HBV
persisten, hampir 74 % (lebih dari 220 juta) pengidap bermukim dinegara-negara Asia.
Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi adalah terutama Asia yaitu Cina, Vietnam,
Korea, dimana 50–70 % dari penduduk berusia antara 30 – 40 tahun pernah kontak
dengan HBV, dan sekitar 10 – 15 % menjadi pengidap Hepatitis B Surface Antigen
(HbsAg). Menurut WHO Indonesia termasuk kelompok daerah dengan endemisitas
sedang dan berat (3,5 – 20 %).1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Penyakit infeksi akut pada yang menyebabkan peradangan hati yang disebabkan
oleh Virus Hepatitis B.1,2,3,4,5 Infeksi HBV mempunyai 2 fase akut dan kronis 1
Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus beberapa kasus berubah menjadi
hepatitis fulminan.
Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan
II. EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun
2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah
(HBsAg 0,2%-0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-
HBs 20%-55%), dan prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%).
III. ETIOLOGI
Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam family
Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena virus bersifat
hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk dalam family ini
adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika Utara) yang telah
diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis B pada bebek Peking,
dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak bersifat sitopatik.1,2,5
Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi alat
yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan
penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran 42 nm
dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis ganda dengan
selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam. Nukleokapsid ini berukuran 27
nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang sebagian berantai ganda (partially
double stranded) dengan bentuk sirkular. Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam
partikel virus yang terdapat dalam darah yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga
partikel Dane dan selubung virus yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong
1
berukuran 22 nm, dapat berbentuk seperti bola atau filament.
Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah diketahui
adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya berhimpitan.
Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C untuk gen C (core), X
untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF lainnya (ORF5 dan ORF6) telah
dideskripsikan tetapi masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut. 1
Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan pre-
C mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri dari 87
nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C mengkode 212
asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian pre-S2, pre-S2, dan S,
1,2,3,4
mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226 asam amino.
Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen ini juga
berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang bekerja
sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi virus. Gen ini
merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan protein X VHB
(HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga berperan pada pathogenesis
karsinoma hepatoselualar (KHS).1,2,3
Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai aktivitas
replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi atau dengan
metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction (PRC). DNA-VHB
kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons penyakit terhadap
terapi.1.8,9
Siklus hidup Hepatitis B virus adalah kompleks. Hepatitis B adalah satu dari
beberapa non-retroviral yang menggunakan transkripsi kebalikan sebagai sebuah
bagian dari proses replikasinya. Virus meningkatkan masukan ke sel dengan cara
membuat suatu sel peka rangsangan terhadap permukaan dari sel dan masuk ke sel
tersebut dengan endocytosis. Secara parsial lilitan ganda DNA virus kemudian
membuat secara penuh lilitan ganda serta mentransformasikan ke dalam covalently
menutup DNA melingkar (cccDNA) yang bertindak sebagai satu cetakan (template)
untuk penyalinan empat mRNA virus. MRNA paling besar, (adalah lebih panjang dari
genom virus), digunakan untuk membuat copy baru dari genom dan untuk membuat inti
capsid protein serta DNA virus polymerase. Empat catatan virus Ini mengalami
pemrosesan tambahan dan meneruskan untuk membentuk keturunan virions yang
bebas dari sel atau kembali ke nukleus serta re-cycled untuk menghasilkan lebih lagi
mengcopy. MRNA lama kemudian mengangkut kembali ke sitoplasma dimana virion P
2
protein mensintesa DNA melalui kebalikan aktivitas transkriptase.
IV. CARA TRANSMISI
Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral) yang
terdiri dari transmisi vertikal (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal terjadi dari
ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat antar keluarga /
individu. Transmisi perinatal dari ibu yang terinfeksi virus hepatitis B (VHB) ke bayi
adalah salah stu cara transmisi yang paling serius karena bayi lahir akan memiliki risiko
tertinggi untuk menjadi hepatitis kronis dan dapat berlanjut menjadi sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Transmisi vertical ini dapat terjadi intrauterin (pranatal), saat
lahir (intranatal), dan setelah lahir (pascanatal). Transmisi intrauterin sangat jarang,
hanya terjadi pada <2% dari seluruh kejadian transmisi perinatal. Besarnya risiko
transmisi vertikal ini sangat ditentukan oleh status serologi ibu. Bila HBsAg dan HBeAg
ibu positif, risiko transmisi vertikal sangat tinggi yaitu sebanyak 70-90%, sementara bila
hanya HBsAg yang positif, risiko transmisi vertikal tersebut lebih rendah yaitu 10-67%.
Bila anti HBe ibu positif, berpotensi untuk menimbulkan hepatitis fulminan pada bayi,
walaupun jarang terjadi. 1,3,4
V. PATOGENESIS
Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatik yang
mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah
pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan
munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini
mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg.
Antigen-antigen ini, bersama dengan protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I,
1,4,5
membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel T sitotoksis.
Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan baik.
Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas I
tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme
lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari
sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan
hidup.1,4,5
Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadaan
ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Kompleks imun yang
sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pada penderita yang
mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika, krioglobulinemia, dan
sindrom Guillan Barre yang terkait.1,3
Mutasi HBV lebih sering terkait untuk virus DNA biasa, dan sederetan strain
mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebebkan kegagalan
mengekspresikan HBAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat
dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 1,3
Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme sistem imun diaktivasi untuk
mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan
serum transaminase, dan terbentuk antibodi spesifik terhadap protein HBV, yang
terpenting adalah anti-HBs.1
Untuk dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan respons imun
non-spesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera setelah
infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun non-spesifik diaktifkan, antara lain
interferon. Interferon ini meningkatkan ekspresi HLA kelas I pada permukaan sel
hepatosit yang terinfeksi VHB, sehingga nantinya memudahkan sel T sitotoksis
mengenal sel hepatosit yang terinfeksi dan melisiskannya. Selanjutnya antigen
presenting cell (APC) seperti sel makrofag atau sel Kupffer akan memfagositosis dan
mengolah VHB. Sel APC ini kemudian akan mempresentasikan antigen VHB dengan
bantuan HLA kelas II pada sel CD4 (sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan dan
membentuk suatu kompleks. Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan produk
sitokin. Sel CD4 ini mulanya adalah berupa Th0, dan akan berdiferensiasi menjadi Th1
1
atau Th2. Diferensiasi ini tergantung pada adanya sitokin yang mempengaruhinya.
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan IFN γ,
sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel hepatosit yang
terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga melisiskan virus. Pada
hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi. Diferensiasi ternyata lebih dominan ke
arah Th2, sehingga respons imun yang dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus
intrasel.1
Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan mengaktifkan
sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang secara non-spesifik akan
melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi sitotoksis dan proliferasi sel NK ini
bergantung pada interferon. Walaupun peran sel NK yang jelas belum diketahui,
tampaknya sel ini berperan penting untuk terjadi resolusi infeksi virus akut. Pada
hepatitis B kronis siketahui terdapat gangguan fungsi sel NK ini. 1
Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimptomatis ini terbukti
dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila
menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi
dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu
dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan
pembesaran hati dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan peningkatan kadar AST dan ALT sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7
minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum
sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula, dan
makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8
minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang
terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun dan 30% pada
dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simptomatis akan sembuh tetapi dapat
menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, 80% bayi. 2
2. Hepatitis Kronis
Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut
simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum
dengan beberapa minggu setelah munculnya gejela pertama hepatitis, disertai ikterus,
gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum sehingga
ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan
dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.
4. Pengidap Sehat
Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar
aminotransferase serum dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis
sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi
didaerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap
sehat adalah membaik (anti HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, menderita sirosis
pada umur diatas 30 tahun sebesar 1% dan menderita karsinoma hati kurang dari 1%. 2
Gambar 5. Keadaan hati pada hepatitis yang menjadi kronis 9
VII. DIAGNOSIS
Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat
awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk kedalam sel hati
melalui aliran darah. Dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan
hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc
terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun terutama
pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap
selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusukan sel hati yang terinfeksi.
Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis. 2
Antigen Interpretasi Bentuk Klinis
Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat Hepatitis akut, hepatitis
menular kronis
IX. PENATALAKSANAAN
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian
kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit.
Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar
SGOT-SGPT >10 kali nilai normal atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun
tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak dibawah 3 tahun dimana infeksi HBV
tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi
kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit dan sampai saat
ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B
kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga infeksi tersebut dieliminasi
dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati
terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi
aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan
peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap
pengobatan.
1. Interferon Alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa 2b (IFN-α2b) adalah pengobatan standar
untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites,
ensefalopati, koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif
(HBeAg dan DNA HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum.
Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan
jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3
MU/m2 secara subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu. Efek
samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,
neurologis, dan psikologis.
Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi,
anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok.
Efek auto imun ditandai dengan timbulnya auto antibodi, antibody anti-interferon,
hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura
trombositopenik.
Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih
dan kadar hemoglobin.
Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakrerial seperti bronchitis,
sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis.
Efek neurologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur,
delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinnitus, vertigo,
penurunan pengelihatan, dan perdarahan retina.
Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan
libido, dan usaha bunuh diri.
2. Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang
menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping
daripada interferon: dosisnya 3mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun.
Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya
HBeAg dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan
serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi
hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh.
Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan
peningkatan kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi
penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati.
Penderta dengan mutasi pre-core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama
dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan
interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi
mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan
lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3mg/kgBB memberi respons
yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudin
tidak lebih baik dibanding pengobatan lamivudin saja. 2
X. KOMPLIKASI
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus hepatitis
lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau
superinfeksi dengan virus hepatitis D. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar dari 30%.
Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif; perawatan pendukung yang
ditujukan untuk mempertahankan penderita sementara memberi waktu yang dibutuhkan
untuk regenerasi sel hati adalah satu per satu.
XI. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan umum terhadap HBV yang seyogianya dilakukan pula adalah : 5
1. Uji tapis donor darah terhadap HBV
2. Sterilisasi alat operasi, alat suntik, peralatan gigi
3. Penggunaan sarung tangan oleh tenaga medis
4. Mencegah kemungkinan terjadinya mikrolesi yang dapat menjadi tempat masuknya
virus, seperti pemakaian sikat gigi, sisir, alat pencukur rambut pribadi
5. Untuk mencegah transmisi vertical, semua ibu hamil terutama yang berisiko terinfeksi
HBV sebaiknya dianjurkan untuk diperiksa terhadap HBV. Pemeriksaan sebaiknya
dilakukan pada awal dan trimester ketiga kehamilan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Transmisi VHB terutama melalui darah atau cairan tubuh (jalur parenteral) yang
terdiri dari transmisi vertical (perinatal) dan horizontal. Transmisi perinatal terjadi dari
ibu ke bayi, sedang transmisi horizontal umumnya karena kontak erat antar keluarga /
individu. Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatik yang
mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun. Langkah
pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV, menyebabkan
munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini
mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg.
Gejala klinis hepatitis dibagi menjadi hepatitis akut, hepatitis kronis, gagal hati
fulminan, dan pengidap sehat. Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan
serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk
kedalam sel hati melalui aliran darah. Dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya
kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis.
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian
kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit.
Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar
SGOT-SGPT >10 kali nilai normal atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan.