Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hepatocellular carcinoma (HCC) atau kanker hati merupakan penyakit
neoplasma ganas primer hati yang tersering, terdiri dari sel yang menyerupai
hepatosit dengan derajat diferensiasi bervariasi. Sebagian besar keganasan ini
muncul akibat dari hepatitis kronis maupun sirosis (Alianto, 2015).
Hepatocellular carcinoma menjadi masalah kesahatan secara global
maupun nasional. Karsinoma ini merupakan kanker terbanyak didunia yakni
5,4 % dari semua jenis kanker dan penyebab kematian ketiga tertinggi akibat
kanker. HCC menjadi satu diantara keganasan terbanyak pada pria dewasa
dibandingkan wanita dewasa dengan perbandingan 2-4 : 1 serta tertinggi
kejadiannya di Asia dan Afrika dengan populasi usia 20-40 tahun (Alianto,
2015).
Secara umum, semua tumor ganas dapat bermetastasis ke otak.
Metastasis adalah menyebaran sel kanker dari tumor primer ke organ-organ
vital atau tempat yang jauh pada tubuh pasien. Proses tersebut merupakan
hasil rangkaian perubahan genetic, kejadian-kejadian epigenetic dan reaksi
tubuh terhadap tumor. Metastasis suatu kanker memerlukan aktifasi gen-gen
efektor metastasis tambahan atau inaktifasi gen-gen supresor metastasis yang
merupakan jalur kaskade yang berbeda dan lebih komplek daripada kaskade
tumorigenesis (Corwin, 2009).
Metastasis otak merupakan penyebab penting dari morbiditas dan
mortalitas bagi pasien kanker. Metastasis otak lebih umum dari tumor otak
primer. Insiden metastase otak telah meningkat dari waktu ke waktu sebagai
konsekuensi dari peningkatan kelangsungan hidup keseluruhan untuk
berbagai jenis kanker dan peningkatan deteksi dengan MRI. Metastasis otak
dapat terjadi pada 20-40% pasien dengan kanker, yang bergejala selama
hidup di 60-75% (Corwin, 2009).
Dari penjelasan diatas, penyusun sangat tertarik untuk membahas
tentang hepatoma yang bermetastasis ke otak dan menimbulkan bermacam
permasalah. Pada kesempatan kali penyusun akan membahas kasus serta
manajemen keparawatan yang tepat pada klien.

1
1.2. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang, sangat penting sekali kita sebgaai
perawat untuk mengetahui serta memahami:
1. Konsep teori dari hepatocellular carcinoma ?
2. Bagaimana permasalahan pada klien yang mengalami hepatocellular
carcinoma dengan metastasis ke otak ?
3. Bagaimana asuhan keparawatan yang tepat pada klien ?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui serta memahami bagaimana asuhan
keperawatan yang komprehensif pada klien.
1.3.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui serta memahami konsep teori dari hepatoma
Untuk mengetahui serta memahami petofisiologi hepetoma yang
bermatastase ke otak serta permaslahan yang ditimbulkan
Untuk mengetahui serta memahami asuhan keperawatan
komprehensif pada klien serta manajemen keperawatan yang tepat
pada klien

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1. Definisi
Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler adalah keganasan primer pada
hati yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan kematian.
Karsinoma hepatoseluler biasanya tidak dapat direseksi kerena pertumbuhan
dan metastasisnya sangat cepat (Smeltzer & Bare, 2015).

2.2. Etiologi
Penyebab dari hepatoma adalah sirosis (60-80 %), infeksi kronik virus
hepatitis B (HBV) sebanyak 80 %, infeksi virus hepatitis C (HCV) 30-50 %).

2
Kebiasaan merokok juga merupakan faktor resiko, yang disertai kebiasaan
mengkonsumsi alkohol. Substansi lain yang cukup berperan adalah aflatoksin
atau karsinogen dalam preparat herbal, dan nitrosamin (Langhorne et al.,
2007; Smeltzer & Bare, 2015).
1. Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis
hati. Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di
hubungkan dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan
displasia praganas. Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi
karsinoma, tetapi hubungan ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis
terinduksi virus dan sirosis alkoholik (Langhorne, 2007; Husodo,2009).
2. Virus Hepatitis B
Karsinogenisitas HBV terhadap hati terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam
DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan
gen hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
(quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat
dipicu oleh ekspresi berlebihan beberapa gen yang berubah akibat HBV
(Husodo,2009).
3. Virus Hepatitis C (HCV)
Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Afrika Selatan
sekitar 30% sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70-80 %. Prevalensi
anti HCV jauhlebih tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg-negatif
daripada HbsAg-positif. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat
transfusi darah dengan anti HCV positif, interval saat transfusi hingga
terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat
infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis
hati (Langhorne, 2007).
4. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh
jamurAspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen.Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan

3
karsinogen utama darikelompok aflatoksin yang mampu membentuk
ikatan dengan DNA maupun RNA(Husodo, 2009) .
5. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum
beratalkohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk
menderita HCC melaluisirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya
efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan
risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau
HCV (Langhorne, 2007; Husodo, 2009) .

2.3. Manifestasi Klinis


Menurut Langhorne et al (2007), persentase menifestasi klinis dari
hepatoma, yakni Nyeri abdomen (91 %), hepatomegali (89 %), asites (43%),
Anoreksia atau penuranan berat badan (35-71%), Splenomegali (27-42%),
peningkatan suhu (11-54%), Hepatic arterial bruits (6-25%), Jaundice (4-
35%), Kelemahan dan gejala non-spesifik (25%)

Manifestasi dini penyakit keganasan hepatoma mencakup tanda-tanda


dan gejala gangguan nutrisi yaitu penurunan berat badan yang baru saja
terjadi, kehilangan kekuatan anoreksia dan anemia. Nyeri abdomen dapat
ditemukan, disertai dengan pembesaran hati yang cepat serta permukaan yang
teraba irreguler pada palpasi. Gejala ikterus hanya terjadi jika saluran empedu
yang besar tersumbat oleh tekanan nodul maligna dalam hilus hati. Asites
timbul setelah nodul tersebut menyumbat vena porta atau bila jaringan tumor
tertananamm dalam rongga peritoneal (Smeltzer & Bare, 2015).

2.4. Patofisiologi
Mekanisme perkembangan karsinoma hepatoseluler berbeda-beda
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Infeksi HBV dapat menyebabkan
karsinoma hepatoseluler tanpa melalui sirosis, meskipun sebagian besar
pasien dengan karsinoma hepatoseluler yang terkait HBV memiliki penyakit
sirosis. Sebaliknya, karsinoma hepatoseluler yang terkait HCV hampir selalu
terjadi fibrosis lanjut atau sirosis (Husodo, 2009).
Hepatokarsinogenesis pada pasien dengan sirosis diawali dengan
perkembangan nodul diplastik (DN). Nodul yang berhubungan dengan sirosis

4
hati secara histologist dibagi menjadi 6 kategori berdasarkan klasifikasi oleh
Kelompok Studi Kanker Hati di Jepang: nodul regenerasi yang besar,
hyperplasia adenomatosa (AH), AH atipikal, karsinoma hepatoseluler tahap
awal, karsinoma hepatoseluler yang berdiferensiasi baik, dan karsinoma
hepatoseluler yang berdiferensiasi sedang atau buruk (yang disebut juga
karsinoma hepatoseluler klasik). Klasifikasi lain nodul karsinoma
hepatoseluler dibagi menjadi 2 kategori, yaitu nodul displastik (DNs), dan
karsinoma hepatoseluler (Husodo, 2009).
DNs adalah nodul diplastik dari hepatosit yang memiliki diameter
minimal 1 mm dengan dysplasia namun kriteria histologisnya tanpa tanda-
tanda keganasan. Dibagi menjadi 2 subtipe, yaitu Low-grade Dysplastic
Nodules (LGDN) yang merupakan sebuah nodul dengan atipia ringan, dan
High-grade Displastic Nodule (HGDN) yang merupakan sebuah nodul
dengan atipia sedang namun tidak cukup untuk mendiagnosis adanya suatu
keganasan. Transforming growth factor- (TGF-) danInsulin-like growth
factor 2 (IGF-2) adalah salah satu mediator yang mempercepat proliferasi
hepatosit selama fase ini (Husodo, 2009).
Di sisi lain, karsinoma hepatoseluler didefinisikan sebagai neoplasma
ganas terdiri dari sel-sel dengan diferensiasi hepatoseluler. Selama periode
lanjutan selama 2 tahun, sekitar sepertiga dari HGDN akan berubah menjadi
karsinoma hepatoseluler, dan pada 5 tahun risiko karsinoma hepatoseluler
meningkat menjadi 81 %. Untuk membedakan antara HGDN dan karsinoma
hepatoseluler merupakan hal yang sulit, karena ahli patolog yang berbeda
mungkin mengklasifikasikan lesi yang sama dengan klasifikasi yang berbeda.
Identifikasi invasi stroma adalah kunci untuk mengidentifikasi transisi ini.
Karsinoma hepatoseluler tahap awal (yaitu 2cm atau lebih kecil) biasanya
bernodul dan berdiferensiasi baik (Corwin, 2009)
Ketika penyakit ini berkembang, terjadi invasi vaskular mikroskopis,
kemudian terjadi invasi intrahepatik dan akhirnya menyebar secara sistemik,
biasanya pada tahap ini tumor telah mencapai diameter sekitar 3 cm. Pada
perkembangan lebih lanjut, tumor dapat meluas ke pembuluh darah hati yang
lebih besar, paling sering adalah sistem portal, tetapi juga vena hepatika.
Setelah ini terjadi, pengobatan kuratif tidak memungkinkan (Kumar, 2013).

5
Selain itu, HBx juga dapat berpengaruh melalui efeknya dalam
homeostatis Ca+ dan aktivasi Ca dependen kinase dalam NF-kB (Kumar,
2007). Faktor transkripsi untuk mengontrol respon imun yang juga
berhubungan dengan HVC polipeptida. Protein HBV lain yang berpengaruh
adalah protein pembungkus (L dan M) yang secara tidak langsung dapat
memediasi terjadinya HCC melalui protein pembungkus karena stres seluler
(Kumar, 2013).

2.5. Pemeriksaan penunjang


1. Uji Laboratorium
a. Pemeriksaan Alfa-Fetoprotein
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan
Alfa-fetoprotein (AFP) yaitu protein serum normal yang disintesis oleh
sel hati fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/ml, kadar AFP
meningkat pada 60-70 % pada penderita kanker hati (Desen, 2011).
b. Fungsi Hati dan Sistem Antigen-Antibody Hepatitis B
Jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda hepatitis B atau
Hepatitis C positif artinya terdapat dasar penyakit untuk hepatoma, itu
dapat mebantu dalam diagnosis (Desen, 2011).
2. Uji Diagnostik
Ultrasonografi (USG)
Perkembangan yang cepat dari gray-scale ultrasonografi
menjadikan gambaran parenkim hati lebih jelas. Keuntungan hal ini
menyebabkan kualitas struktur eko-jaringan hati lebih udah dipelajari
sehingga identifikasi lesi-lesi lebih jelas, baik merupakan lesi lokal
maupun kelainan parenkim diufs. Pada hepatoma/karsinoma
hepatoseluler sering diketemukan adanya hepar yang membesar,
permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intrahepatik dengan
struktur eko yang beneda dengan parenkim hati normal (Smeltzer &
Bare, 2015).
CT-Scan
Ct dapat membantu dalam memperjelas diagnosis, menunjukkan
lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati, hubungan dengan
pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah
penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin
dapat dilakukan CT dipadukan dengan angiografi (CTA) atau kedalam

6
arteri hepatika disuntikan lipiodal, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi
pemeriksaan CT, pada waktu CT-lipidol dalam menemukan hepatoma
sekecil 0,5 cm (Desen, 2011).
MRI
Pemeriksaan MRI dipilih sebagai alternatif bila gambaran CT-
Scan meragukan atau penderita memiliki risiko bahaya radiasi sinar X
dan zat kontras sehingga pemriksaan CT angiografi tidak
memungkinkan (Smeltzer & Bare, 2015).

Angiografi Hepatika
Metode ini penting dalam diagnosis hepatoma, namun karena
metode ini tergolong invasif, penampilan untuk hati kiri dan hepatoma
tipe avaskular kurang baik, sulit menetukan sifat lesi (Desen, 2011).
Biopsi
Untuk pemastian diagnosis karsinoma hati, diperlukan biopsi dan
pemeriksaan histopatologi. Biopasi dilakukan terhadap massa yang
terlihat pada ultrasonografi, Ct-scan atau melalui angiografi. Biopsi
aspirasi jarum halus dapat dilakukan secara buta (blind). Ada kalanya
dibutuhkan tindakan laparoskopi atau laparatomi untuk melakukan
biopsi (Smeltzer & Bare, 2015).

2.6. Penatalaksanaan
1. Medis
a. Metode Hepaktomi
Hepaktomi merupakan cara terapi dengan hasil terbaik dewasa
ini. Hepaktomi terdiri atas hepaktomi beraturan dan hepaktomi tak
beraturan. Hepaktomi beraturan adalah sebelum insisi hati dilakukan
diseksi, memutus aliran darah ke lobus hati (segmen, sub segmen)
terkait, kemudian menurut lingkup lobus hati (segmen, sub segmen)
tersebut dilakukan reseksi jaringan hati. Hepatektomi tak beraturan
tidak perlu mengikuti secara ketat distribusi anatomis pembuluh dalam
hati, tapi hanya perlu berjarak 2-3cm dari tepi tumor, mereseksi
jaringan hati dan percabangan pembuluh darah dan saluran empedu
yang menuju lesi, lingkup reseksi hanya mencakup tumor dan jaringan
hati sekitarnya. Komplikasi utama pasca hepatektomi adalah: Gagal
fungsi hati; timbul beberapa hari hingga beberapa minggu pasca

7
operasi, sering kali berkaitan dengan penyakit hatiaktif kronis, sirosis
sedang atau lebih, volume hepatektomi terlalu besar, perdarahan selama
operasi berlebih, waktu obstruksi porta hati terlalu lama dan obat-
obatan perioperatif (termasuk obat anastetik) bersifat hepatotoksik
(Desen, 2011).
b. Tansplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan
kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim
hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun
mencapai 80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi
perioperatif dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan
interferon dapat dicapai survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca
transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor
bahkannmungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan.
Tumor yang berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh
dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5cm (Husodo,
2009) .
c. Ablasi Tumor Perkutan
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk
tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta
relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis,
oklusi vaskular dan fibrosis. Untuk tumor (diameter <5cm). PEI
bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya
terbatas karena adanya sirosis hati non -child A.Radiofrequency
ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi
daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari
3cm,namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien.
Selain itu, Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam
poliprenoik (polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat
menurunkan angka rekurensi pada bulan ke-38 secara bermakna
dibandingkan dengan kelompok placebo(kelompok plasebo 49%,
kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Husodo,2009; Desen,
2011).

8
2.7. Pencegahan
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan yang dilakukan untuk mengindari kemunculan
keterpaparan dari gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko
penyakit, dilakukan dengan:
a. Mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta
karoten, mineral, dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh
agar tetap sehat
b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.
c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan
nitrit.
d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.
e. Hindari stres.
f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari
penyakit menular (Aziz, 2008).
2. Pencegahan Primer
a. Pencegahan primer adalah langka yang harus dilakukan untuk
menghindari insidens penyakit dengan mengendalikan penyakit dan
faktor risiko.
b. Memperhatikan menu makanan terutama mengkonsumsi protein
hewani cukup.
c. Hindari mengkonsumsi minuman alcohol
d. Mencegah penularan virus hepatitis, imunisasi bayi secara rutin
menjadi strategi utama untuk pencegahan infeksi VBH dan dapat
memutuskan rantai penularan (Aziz, 2008).
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah pengobatan penderita dan mengurangi
akibat-akibat yang serius dari penyakit melalui diagnosa dini dan
pemberian pengobatan.Hepatoma sering ditemukan pada stadium lanjut
maka perlu dilakukan pengamata berlaku pada kelompok penderita yang
kemungkinan besar akan menderita hepatoma dengan pemeriksaan USG
dan AFP (Corwin, 2009).
2.8. Prognosis
Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa
pengobatan, kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul

9
keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang
sekitar 11-12 bulan. Bila karsinoma hati dapat dideteksi secara dini, usaha-
usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya
dengan cara sub-segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi
lebih panjang lagi. Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase lanjut
mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan
oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya
didahului dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma hati. Oleh
karena itu langkahlangkah terhadap pencegahan karsinoma hati haruslah
dilakukan. Pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan infeksi
terhadap HBV dan HCV serta menghindari konsumsi alkohol untuk
mencegah terjadinya sirosis (Campbell, 2014).

BAB 3
TINJAUAN KASUS
Seorang pria berusia 50 tahun didiagnosis Hepatoma stadium lanjut dengan
dugaan metastase sistem saraf pusat, saat ini telah masuk fase paliatif. Tindakan
operasi pernah dilakukan 1 tahun yang lalu. Saat ini ia hanya mendapatkan
kemoterapi jenis doxorubicin (Adriamycin) dan medikasi secara simptomatis.
Secara umum kondisi klien menurun ditandai dengan disorientasi, agitasi, sulit
tidur, kekakuan otot tangan, kata-kata yang tidak jelas maknanya hingga
perubahan afek emosi. Kualitas hidup pasien terlihat semakin menurun, diduga
prognosis memburuk. Hal ini semakin meningkatkan respons stres keluarga yang

10
mendampingi. Pasien pernah memiliki riwayat kejang diduga adanya metastase
otak.

3.1. Hepatoma dengan Metastasis Otak


Metastasis hepatoma sering terjadi. Mikrokarsinoma hati stadium dini
juga mungkin bermetastasis, umumnya menyebar didalam hati terlebih
dahulu, kemudian menyebar keluar hati. Sel hepatoma memasuki sinusoid
darah lebih dahulu, lalu menginvasi percabangan vena portal atau
percabangan vena hepatik, setelah vena porta terkena dapat timbul
penyebaran intrahepatik. Bila vena hepatik pernah terkena, dapat masuk ke
sirkulasi sistemik bermetastasis ke seluruh tubuh. Matastasis karsinoma
kolangioseluler lebih banyak melalui saluran limfatik, seringkali
bermetastasis ke kelenjar limfe porta hati dan kelenjar limfe supraklavikular
(Desen, 2011).
Dua puluh lima persen pasien yang memiliki tumor atau kanker akan
mengalami metastasi ke otak. Sekitar 1,700 di United State mengalami tumor
metastasis ke otak. Jalur utama metastasis kanker adalah melalui pembuluh
darah. Tidak terdapat system limfatik pada otak, sehingga tidak mungkin
terjadi metastasis ke otak melalui jalur ini. Sejalan dengan pertumbuhan dan
kembang biaknya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas
yang menyusup ke jaringan sehat di sekitarnya yang dikenal sebagai invasif.
Di samping itu, sel kanker dapat menyebar (metastasis) ke bagian organ
tubuh lainnya yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan
pembuluh getah bening sehingga tumbuh kanker baru di tempat lain dan
hasilnya adalah suatu kondisi serius yang sangat sulit untuk diobat (National
Cancer Institute, 2009).
Desiminasi sel-sel maligna melalui aliran darah (hematogen secara
langsung berhubungan dengan vaskularitas tumor, hanya sedikit sel maligna
yang mampu bertahan dalam turbulensi alamiah sirkulasi arteri, insufisiensi
oksigenasi atau pengerusakan oleh sistem imun tubuh. Sel-sel maligna dapat
bertahan pada lingkungan yang ganas mampu melekat pada endotelium dan
fibrin, trombosit dan faktor-faktor pembekuan untuk melindungi sel-sel
maligna dari surveilens sistem imun (Smeltzer & Bare, 2015).

11
Sel-sel kanker yang berkembang di dalam otak dapat menekan,
mengiritasi, dan atau menghancurkan jaringan otak normal. Akibatnya, tumor
metastase otak dapat menimbulkan gejala seperti sakit kepala, kejang,
gangguan masalah verbal, kelemahan, pengambil keputusan yang buruk, rasa
sakit atau mati rasa, gangguan masalah gerak, kelumpuhan, mual, atau
muntah. Metastase otak juga dapat menyebabkan perasaan kelelahan. Selain
itu, metastase otak dapat menyebabkan masalah dengan gangguan memori,
membaca, dan berbicara. Namun, tidak semua orang bisa timbul gejala
tersebut. Bahkan, sekitar sepertiga dari orang dengan tumor otak metastase
tidak memiliki gejala sama sekali. Perkembangan metastase otak dapat
menyebabkan sakit kepala, mual dan muntah, defisit neurologis dan
penurunan kognitif, delirium dan akhirnya berujung pada kematian (National
Cancer Institute, 2009).
Gejala dari tumor metastasis intrakranial sama dengan tumor primer
intrakranial dan tergantung dari lokasi tumor tersebut. Sakit kepala dan
kejang adalah gejala yang paling sering timbul. Sakit kepala terjadi akibat
edema dari kebocoran pembulu darah dan penekanan dari tumor itu sendiri.
Kejang adalah suatu episode singkat yang abnormal dari aktivitas listrik di
otak. Gangguan kognitif dapat berupa gangguan memori (memori jangka
pendek) atau kepribadian dan perubahan perilaku. Gangguan dalam motorik
dapat berupa kelemahan pada salah satu sisi tubuh, atau ketidakseimbangan
pada saat berjalan, hal ini dapat terjadi akibat tumor terdapat pada bagian otak
yang mengatur fungsi tersebut. timbul gejala dan tanda neurologis spesifik.
Menurut urutan perkembangan desakan setempat terhadap otak, khususnya
kekhasan gejala dan tanda fisik awal dapat dibuat diagnosis lokalisasi tumor.
a. Lobus frontal
Pada 60% penderita mengalami perubangan psikis. Didapatkan 50%
penderita mengalami epilepsy. Separuh dari padanya secara klinik tidak
dapat ditunjukkan adanya gejala fokal. Sebagian serangan diikuti oleh
deviasi kepala dan mata kearah kontralateral tumor. Gejala pyramidal
didapatkan pada 70% kausu, berupa hanya paresis fasialis saja, sampai
hemiplegic yang komplit. Pada 30% kasus didapatlkan gangguan miksi.
Ataksia didapatkan pada 40% kasus , dengan tendensi untuk jatuhg ke

12
belakang terutama ketika disuruh jalan mundur. Tremor didapatkan pada
15% kasus. Bias homolateral, kontralateral, maupun bilateral. Gangguan
penghidu didapatkan pada 15% kasus. Terdapat pada tumor bagian basal.
Biasanya terjadi hipertonus, kadang-kadang rigiditas. Bis aberkombinasi
dengan reflex genggam bilateral dan katalepsi. Afasia motorik didapatkan
pada 20% kasus dengan tumor lobus frontalis kiri
b. Lobus temporal
Gangguan psikis didapatkann 60% dari kasus, berupa apati,
bradipsikisme kadang-kadang moria. Epilepsy terjadi pada 40% kasus.
Gangguan piramidalis terdapat pada 40% kasus. Terutama didapatkan
pasre N. fasialis tiper supranuklear atau pseudoperifer. Afasia sensorik
terdapat pada tumor lobus termporalis kiri, kadang-kadang disertai dengan
logorea. Hemanopsia didapatkan pada 71% kasus. Biasanya tipe
homonym. Kadang kadang bias didapatkan hemianopsia traktus atau
hemianopsia kuadran.
c. Lobus parietalis
Tumor ini terletak di daerah motorik (girus sentralis anterior), girus
sentralis posterior dan daerah dibelakangnya. Epilepsy biasa terjadi dan
didominasi oleh epilepsy Jackson. Hemiparesis terdapat pada semua kasus.
Hemipersis yang disertai dengan astreognosia biasanya hipotoni. Kadang-
kadang terjadi monoparesis dengan atrofi otot-otot. Gangguan sensibilitas
juga bisa terjadi pada tumor ini.
d. Lobus oksipita
Disini terutama didapatkan hemianopsia homonym, walaupun
kadanng kadang didapatkan hemiakromatopsia, dan hemianopsia
kuadran. Tumor pada lobus kiri bisa memberikan gejala aleksia, gangguan
ingatan optic dan gangguan orientasi ruang. Kadang-kadang didapatkan
hemiparesis, hemihipestesi disamping hemianopsia (National Cancer
Institute, 2009).

3.2. Disorientasi
1. Definisi
Disorientasi merupakan gangguan kemampuan seseorang
mengaitkan keadaan sekitar dengan pengalaman lampau. Gangguan

13
orientasi merupakan gangguan memori jangka pendek yanitu kemapuan
memantau perubahan lingkungan sekitar (Lumbantobing, 2010).
2. Patofisiologi
Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel. Amonia diproduksi
oleh berbagai organ, secara fisiologis amonia akan dimetabolisme menjadi
urea dan glutamin di hati. Amonia akan masuk kedalam hati melalui vena
porta dan proses detoksifikasi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua
tempat, yaitu sel hati periportal yang memetabolisme amonia menjadi urea
melalui siklus Krebs-Henseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral
dimana urea akan digabungkan kembali menjadi glutamin. Pada keadaan
sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat menyebabkan
menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya shunting
porto sistemik yang membawa darah yang mengandung amonia masuk ke
aliran sistemik tanpa melalui hati. Peningkatan kadar amonia dalam darah
menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar
darah otak untuk amonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas
amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme
amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang
ditimbulkan terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan
molekul osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia
secara langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit
melalui peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi
mitokondria dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan
pori-pori transisi mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA
dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab
pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi sehingga
mengganggu aktivitas pensignalan intraselular (Wakim, 2011).
Amonia yang menumpuk sebagai akibat kerusakan sel-sel hepar
gagal untuk mendetoksifikasi dan mengubah amonia menjadi urea.
Peningkatan konsentrasi amonia dalam darah menyebabkan disfungsi dan
kerusakan otak, gangguan neurologis, yang akhirnya mengganggu
koordinasi otot, orientasi menurun, ingatan menurun, disorientasi hingga
koma (Baradero, 2008).

14
Disorientasi disebabkan oleh adanya metastase hepatoma ke sistem
saraf pusat khususnya otak telah terganggu. Dimana seperti yang telah
diketahui fungsi otak khususnya bagian hemisfer kanan dan hemisfer kiri
adalah sebagai pusat kognitif, berfikir, memori, bahasa, berbicara dan
sebagainya (Corwin, 2009).

3.3. Agitasi
1. Definisi
Agitasi adalah suatu bentuk gangguan yang menunjukan aktivitas
motorik berlebihan dan tak bertujuan atau kelelahan, biasanya
dihubungkan dengan keadaan tegang dan ansietas. Pada beberapa literatur
dikatakan bahwa agitasi adalah gangguan psikomotor yang yang memiliki
karakterisasi peningkatan aktivitasi motor dan psikologi pada pasien.
Adanya gerakan berjalan bolak-balik dalam satu ruang tanpa alasan,
melepas baju dan memakainya lagi dalam kondisi terbalik, dan tindakan
motorik dan tak berlasan lainnya. Pada keadaan yang parah, gerakan yang
ditimbulkan bisa membahayakan orang lain, seperti merobek-robek ,
menggigit kuku jari. Agitasi psikomotor ini merupakan tipikal symptom
yang dapat dijumpao pada kelainan obsesi dan terkadang dijumpai pada
gangguan bipolar, meskipun kalianan ini merupakan akibat dari kelebihan
stimulus diterima. Usia pertengahan dan usia tua merupakan usia yang
penuh dengan resiko terjadinya kelainan ini. Gejala ini bisa saja timbul
sendiri atau disertai oleh kelianan mental lainnya seperti ansietas berat dan
delirium. Kebanyakan agitasi merupakan tanda dari disfungsi otak atau
insufisiensi pada kasus gawat darurat, biasanya pada orang dewasa dan
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya bisa karena suatu penyakit
(gangguan metabolik, sepsisassocated enselopathy, pengobatan) dan faktor
eksternal (keributan, ketidaknyamanan, rasa sakit). Agitasi merupakan
masalah yang gawat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup
besar (dihubungkan dengan penyebab gangguan metabolik) adanya gejala
penyerta yang biasanya menyertai gejala ini seperti delirium memperburuk
prognosis pasien. Agitasi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab
diantaranya akibat efek samping penggunaan obat antipskotik.

15
Menurut Asisiasi Psiaktri Anerika di dalam DSM-IV-TR. Agitasi
didefinisikan sebagai aktivitas motorik yang berlebih-lebihan terkait
perasaan ketegangan dari dalam diri. Gangguan perilaku yang kompleks
yang dikarakateristik dengan agitasi terdapat pada sejumlah gangguan
psiaktri seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dimensia (termasuk
penyakit Alzheimer) dan penyalahgunaan zat (obat dan/ atau alkohol)
(Sadock, 2007).

Perilaku Fisik Non-Agresif Perilaku Verbal Non-Agresif

Kegelisahan umum Negativsm


Manenerism berulang Tidak menyukai apapun
Mencoba mencapai tempat Meminta perhatian
Berkata-kata seperti
yang berbeda
Menangani sesuatu secara seseorang yang berkuasa
Mengeluh
tidak sesuai
Interupsi yang relavan
Menyembunyikan barang
Berpakaian tidak sesuai atau
tidak berpakaian
Perilaku Fisik Agresif Perilaku Verbal Agresif

Memukul dan Mendorong Menjerit


Merebut barang Mengutuk
Menendang dan mengginggit Membuat suara aneh

2. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari agitasi sebagai sindrom terpisah dan spesifik.
Gangguan pada neurotranmiter tertentu terlibat dalam patofisiologi agitasi
a. Depresi dan Agitasi
Patofisiologi pada depresi dan agitasi melibatkan dua mekanisme yaitu
terjadi aktivitas berlebihan pada aksis hipotalamus-putuari-adrenal
(HPA axis) dan peningkatan respon terhadap serotonin. Peningkatan
terhadap aktivitas transmisi serotonin dapat menjadi pencetus ansietas
dan agitasi pada individu yang rentan. Kelainan regulasi
neurotransmiter lain yang dapat menyebabkan agitasi pada depresi

yaitu penurunan fungsi dari asam (GABA) dan peningkatan aktivitas

noradrenergik. Pada keadaan ini, diperlukan obat yang dapat


meningkatkan fungsi GABA-ergik dan menurunkan transmisi

16
nonadrenergik berfungsi sebagai agnosis GABA-ergik (contoh asam
yalproate; benzodiazeoine)
b. Dismensia dan Agitasi
Terdapat tiga sistem yang berhubungan dengan agitasi pada dimensia,
yaitu penurunan GABA-ergik, peningkatan sensitivitas terhadap
norepinefrin dan penurunan fungsi serotonin. Asam yalproate, agonis
GABA-egik dilaporkan efektif berfungsi sebagai antiagitasi pada
pasien dimensia dengan agitasi. Antagonis dopanime digunakan pada
pasien dengan peningkatan sensitifitas terhadap norepinefrin.
Antagonis dopanime diindikasi sebagai antipsikotik dengan dampak
minimal EPS (ekstrapiramidal sindrom)
c. Psikosis dan Agitasi
Agiotasi sering tejadi pada episode akut psikosis dan terkait dengan
gejala positif. Jalur dopaminergik merupakan jalur utama pada
patofisiologi dari gejala positif dan diikuti oleh gangguan fungsi pada
serotonergik, GABA-ergik dan glutamartegik. Pada psikotik akut
menggambarkan sindrom gangguan mesokortikal yang disebabkan
oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan dan gangguan
glutmatergik pada neurotransmisi dopaminergik yang berlebihan dan
gangguan glutaminergik pada neurotransmisi dopaminergic dan
penurunan inhibisi GABA-ergik. Hal tersebut mengakibatkan
penurunan aktivitas pada cortical perfontal dan menimbulkan gejala
negatif. Positif dan kognitif gangguan fungsi pada jalur serotonergic
juga dapat mrnjadi patofisiologi psikosis (Sadock, 2007).

3.4. Gangguan Pola Tidur


1. Definisi
Tidur bisa diartikan sebagai bagian dari periode alamiah kesadaran
yang terjadi ketika tubuh direstorasi (diperbaiki) yang dicirikan oleh
rendahnya kesadaran dan keadaan metabolisme tubuh yang minimal.
Secara otomatis, otak kita memprogram untuk tidur begitu gelap datang
dan terbangun ketika terang tiba. Pun kita bisa tidur kapan saja, baik
karena mengantuk ataupun dipengaruhi obat-obatan (Lumbantobing,
2010).

17
Insomnia merupakan masalah subjektif mengenai tidur yang tidak
cukup atau tidak memulihkan kesegaran walaupun terdapat kesempatan
tidur yang cukup, terjadi hampir semua orang dewasa. Insomnia ini dapat
diatasi secara sementara dengan pemberian obat tidur, terutama
golongan benzodiazepin, tetapi penggunaan jangka panjang obat-obat ini
tidaklah bijaksana karena menurunkan ketagihan (Lumbantobing, 2010).
2. Fisiologis Tidur
Jumlah tidur yang dibutuhkan pada usia 0-2 bulan 10,5-18 jam
perhari. Sifat tidur pada usia ini yaitu pola tidur yang tidak teratur (hingga
usia 6-8 minggu) yang berhubungan dengan rasa lapar, periode tidur yang
multipel pada siang dan malam hari, tidurnya bersifat aktif seperti
tersenyum, menghisap, pergerakan badan. Kebutuhan tidur untuk anak
usia 2-12 bulan . Jumlah tidur yang dibutuhkan sekitar 14-15 jam sehari.
Sifat tidur yaitu jumlah tidur malam bertambah, pola tidur mulai terlihat,
tidur siang yang awalnya berjumlah 3-4 kali berubah menjadi 1-2 kali di
akhir tahun pertama
Jumlah tidur yang dibutuhkan pada usia 1-3 tahun adalah 12-14 jam
(tidur siang antara 1,5-3,5 jam). Sifat tidur yaitu tidur di pagi hari semakin
berkurang pada usia sekitar 18 bulan. Perlu dilanjutkan rutinitas waktu
tidur, tetapkan waktu, dorong anak untuk berani tidur sendiri, diperhatikan
transisi dari tidur di tempat tidur bayi ke tempat tidur biasa. Jumlah tidur
yang dibutuhkan pada usia 3-5 tahun sekitar 11-13 jam dalam sehari. Tidur
siang biasanya tidak ditemukan lagi pada akhir tahun kelima, pada saat ini
mungkin dapat timbul ketakutan di malam hari.Jumlah tidur yang
dibutuhkan pada usia 5-12 sekitar 10-11 jam dalam sehari. Semakin
meningkatnya kegiatan anak dapat mengakibatkan berkurangnya tidur.
Pengaruh televisi, komputer dan keadaan medis dapat mengganggu tidur.
Waspadai adanya masalah tidur yang persisten dan keadaan mengantuk di
siang hari.
3. Patofisiologi
Insomnia familial fatal merupakan penyakit prion progresif, yang
diturunkan dan terjadi secara sporadis. Gejalanya berupa insomnia yang
semakin menghebat, gangguan fungsi autonom dan motorik demensia, dan
kematian. Penderita penyakit ini mengalami kerusakan saraf yang hebat

18
dan gliosis di nuklei talamus ventral mediodorsal dan oliva di medula
oblongata.

3.5. Kekakuan Otot Tangan


1. Definisi
- Kontraktur adalah kelainan atau pemendekan permanen dari otot atau
sendi yang terjadi saat jaringan lunak di bawah kulit berkurang
kelenturannya dan tidak dapat meregang. Kondisi ini juga dapat
mengenai tendon dan ligamen, dan dapat terjadi di seluruh bagian
tubuh.
- Kontraktur akan terjadi saat otot atau sendi terlalu tegang dalam waktu
yang lama, sehingga otot dan sendi menjadi lebih pendek dan tidak
dapat berfungsi dengan normal. Kontraktur seringkali menyebabkan
nyeri dan terbatasnya pergerakan bagian tubuh tersebut, sehingga
pasien akan mencari pengobatan yang berupa terapi fisik.
2. Patofisiologi
Saat jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek
dalam jangka waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan
menyesuaikan memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot
memendek dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut otot
yang menyebabkan kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan
sarkomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu atau lebih,
jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan
kontraktur
Apabila otot terasa kaku yang secara berkepanjangan dibagian
tubuh, dapat terjadi pada kondisi penyakit pada sistem saraf pusat. Serta
menyebabkan pemendekan otot yang disebabkan oleh penyakit yang
berhubungan dengan otak. Pada pasien yang mengalami fase paliatif maka
akan sangat sulit untuk menggerakan bagian tubuh yang sakit dalam waktu
yang lama sehingga membuat kontraktur terjadi maka akan susah untuk
dapat disembuhkan.
3. Manifestasi kaku otot pada metaphase otak
a. Nyeri
b. Peradangan
c. Terdapat jaringan ikat dan atropi
d. Mengalami gangguan mobilasi

19
e. Kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari.

3.6. Kata-Kata yang Tidak Jelas Maknanya


3.5.1. Definisi
Disartria merupakan gangguan pada artikulasi pengucapan kata.
Pada keadaan ini, kemampuan berbahasa seperti gramatika (tata
bahasa), komprehensi dan pemilihan kata tidak terganggu. Disartria
disebebakan olah gangguan pada kontrol neuromuskular pada proses
artikulasi (Lumbanatobing, 2010).
Afasia adalah gangguan bahasa yang meliputi semua modaritas yaitu
berbicara, menyimak,menulis dan membaca. Pada kasus gangguan
peredaran darah otak, sekitar 25% menderita afasia (Markam, 2012)
3.5.2. Klasifikasi
Dari segi klinik, jenis afasia yang mudah dikenali:
Tipe Gambaran Klinik Lokasi lesi Tanda yang menyertai
Afasia Bicara minimal, tidak Area hemisfer Hemiplegia,
Global lancar, gangguan dominan yang luas kontralateral,
mamahami bahasa dan meliputi lobus gangguan sensorik,
tulisan dan lisan frontalis, parietalis hemianopia
serta temporalis.
Infark secara khas
terjadi pada daerah
distribusi arteri
karotis interna atau
serebri media
Afasia Bicara tidak lancar Lesi kortikal dan Hemiparesis
Broca subkortikal pada regio kontralateral,
prefrontalis dan gangguan sesnorik
frontalis. Infark minimal atau tidak
secara khas terjadi ada, gangguan
pada daerah distribusi lapangan perlihatan,
cabang suparior arteri tidak terdapat,
serebri media gangguan

20
kemampuan menulis
yang berat.
Afasia Bicara lancar, bicara Struktur perisylvii Gangguan sensorik
Wernicke lisan dan tulisan sama posterior pada lobus lobus parietalis,
sekali tidak dapat parietalis dan gangguan motorik
dipahami temporal. Infark tidak terdapat
tipikal jadi pada
daerah distribusi
inferior arteri serberi
media

Penggolongan ini dilakukan dengan perinci ciri-ciri bicara


spontan pasien. Afasia dapat ditentukan jenisnya dari analisis
kemampuan linguistiknya (bicara spontan,menyimak,mengulaang dan
menyebut). Afasia yang berat dn sedang dapat ditetapkan secara klinik
non formal, sedangkan afasia yang ringan atau menggunakan perlu
ditetapkan secara nrmal dengan tes afasia. Penetapan jenis afasia
(broca, wernicke,dsb) diperlukan untuk menentukan letak lesi di otak
(diagnostik), dan program rehabilitasnya (bina wicara = speech terapy)
(Markam, 2012).

3.7. Perubahan Afek Emosi


Pada situasi yang sesuai, rasa cemas adalah suatu emosi normal, tetapi
rasa cemas yang berlebihan dan rasa cemas yang tidak pada tempatnya dapat
merugikan. Rasa cemas berkaitan dengan peningkatan bilateral aliran darah di
bagian tertentu ujung anterior dari tiap-tiap lobus temporalis. Rasa cemas
hilang oleh benzodiazepin, yang berikatan dengan reseptor GABA dan
meningkatkan hantaran CI dari saluran ion ini. Benzodaizepin juga
menyebabkan kantuk dan efek lain; namun, kini secara farmakologis efek
anti-cemas dapat dipisahkan dari efek lain. Data-data yang ada menunjukkan
bahwa reseptor GABA, memerantarai rasa cemas.
Manusia mempertahankan keseimbangan antara kemarahan dan
lawannya, yaitu suatu status emosi yang karena sulit menamakannya dengan
tepat, disebut ketenangan (placidity). Iritasi-iritasi yang kuat membuat

21
individu normal kehilangan kendali, tetapi iritasi yang lemah akan
diabaikan. Binatang dengan lesi otak tertentu dapat mengalami gangguan
keseimbangan tersebut. Beberapa lesi membuat suatu rangsang ringan
menghasilkan respons marah yang hebat; sedang lesi lain justru membuat
rangsang yang besar dan traumatis tidak mampu membangkitkan kemarahan
binatang. Respons marah terhadap rangsang lemah tampak setelah
pengangkatan neokorteks dan setelah perusakan nukleus-nukleus
ventromedial hipotalamus serta nukleus-nukleus septum pada binatang yang
korteks serebrinya utuh (Sadock, 2007).

BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN

Seorang pria berusia 50 tahun didiagnosis Hepatoma stadium lanjut dengan


dugaan metastase sistem saraf pusat, saat ini telah masuk fase paliatif. Tindakan
operasi pernah dilakukan 1 tahun yang lalu. Saat ini ia hanya mendapatkan
kemoterapi jenis doxorubicin (Adriamycin) dan medikasi secara simptomatis.
Secara umum kondisi klien menurun ditandai dengan disorientasi, agitasi, sulit
tidur, kekakuan otot tangan, kata-kata yang tidak jelas maknanya hingga
perubahan afek emosi. Kualitas hidup pasien terlihat semakin menurun, diduga

22
prognosis memburuk. Hal ini semakin meningkatkan respons stres keluarga yang
mendampingi. Pasien pernah memiliki riwayat kejang diduga adanya metastase
otak.

4.1. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Data Demografi
Nama : Tn. X
Usia : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Dx. Medis : Hepatoma stadium lanjut
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan: Klien saat ini didiagnosis hepatoma stadium
lanjut dengan dugaan metastase ke sistem saraf pusat yang telah
memasuki fase paliatif.
Riwayat Terdahulu : Tidak dijelaskan dalam kasus
Riwayat Pengobatan: Tindakan operasi pernah dilakukan 1 tahun
yang lalu. Saat ini klien mendapatkan kemoterapi jenis doxorubicin
(Adriamycin) dan medikasi secara simptomatis (sesuai gejala).
Riwayat penyakit keluarga: Tidak dijelaskan dalam kasus

4.2. Analisa Data


No Data Analisa Etiologi Masalah Keperawatan
1 - Hepatoma Hepatoma Menekan, Risiko ketidakefektifan
bermetastasis ke mengiritasi serta perfusi jaringan
Bermetastase ke otak
otak menghancurkan jar. serebral
- sulit tidur, sulit Ada massa di otak
otak
berkomunikasi,
Menekan, mengiritasi
kaku otot tangan
serta menghancurkan
- Agitasi, Kejang
- Penurunan jar. Otak
kesedaran
2 - Disorientasi Hepatoma Peningkatan Ansietas
- Agitasi
produksi amonia
- Sulit Tidur bermetastasis ke
- Prognosis
sistem saraf pusat
penyakit buruk
- Kualitas hidup terjadi peningkatan
pasien menurun produksi amonia
- Respon stres

23
keluarga yang
mendampingi
meningkat
3 - Agitasi Hepatoma prognosis Ketidakmampuan
- Prognosis memburuk Koping Keluarga
bermetastasis ke
penyakit buruk
sistem saraf pusat
- Kualitas hidup
pasien menurun prognosis memburuk
- Respon stres
keluarga yang
mendampingi
meningkat

4 - Sulit tidur Hepatoma Ansietas Gangguan Pola Tidur


- Prognosis
bermetastasis ke
penyakit buruk
- Kualitas hidup sistem saraf pusat
pasien menurun
perubahan dalam
status kesehatan

ansietas
5 - Kekakuan otot Hepatoma Penurunan kendali Hambatan Mobilitas
tangan dan penurunan Fisik
bermetastasis ke
kekuatan otot
sistem saraf pusat

pemendekan otot

Penurunan kendali
dan penurunan
kekuatan otot
6 - Disorientasi Hepatoma Kerusakan Hambatan komunikasi
- Afasia
hemisfer kanan dan verbal
- Kseulitan Bermetastatis ke
kiri
menyusun kata- sistem saraf pusat
kata (disartri)
Perubahan sistem
saraf pusat

24
Kerusakan hemisfer
kanan dan kiri

4.3. Diagnosa Keperawatan


1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
penekanan, iritasi serta penghancuran jaringan otak
2. Ansietas berhubungan dengan peningkatan produksi amonia
3. Ketidakmampuan koping keluarga berhubungan dengan prognosis
penyakit yang memburuk
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kendali otot;
penurunan kekuatan otot
6. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan sistem saraf
pusat.

4.4. Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1 Risiko ketidakefektifan Tujuan : setelah 1. Monitor tingkat
perfusi jaringan serebral dilakukan intervensi kesadaran klien serta
berhubungan dengan keperawatandalam waktu memantau GCS dan
penekanan, iritasi serta 3 x 24 jam klien PTIK (Almeida,
penghancuran jaringan menunjukkan perbaikan Miriam de Abreu et al
otak dalam perfusi jaringan (2015) dalam jurnalnya
serebral, dengan Clinical Indicators to
indikator: Monitor Patients With
Circulation status
Risk for Ineffective
Tissue prefusion:
Cerebral Tissue
serebral, dengan
Kriteria hasil: Perfusion.
Mendemonstrasikan 2. Monitor status
status sirkulasi dengan: oksigenasi dan
- Tekanan sistole dan pemberian oksigen
diastole dalam rentang 3. Batasi gerak kepala,
normal leher dan punggung
- Tidak ada (manuver valsava)
ortostikhipertensi 4. Monitor adanya
- Tidak ada tanda PTIK trombloplebitis. Obat-

25
( <15 mmHg ) obatan (kalium klorida,
Tingkat kesadaran
vancomycin,
membaik dan GCS amphotrecin B,
composmentis cephalosporins,
diazepam, midazolam
dan banyak obat
kemoterapi) (Rukiyah,
2010).
2 Ansietas berhubungan Tujuan : Setelah 1. Pahami perspektif klien
dengan peningkatan dilakukan intervensi terhadap situasi stres.
2. Temani klien untuk
produksi amonia keperawatan dalam
memberikan keamanan
waktu 2 x 24 jam klien
dan menangani takut.
tidak cemas, dengan
3. Identifikasi tingkat
indikator:
kecemasan.
Anxiety self-control
4. Dorong klien untuk
Anxiety level
Coping, Dengan mengungkapkan
Kriteria Hasil:
perasaan, ketakutan,
Klien mampu
persepsi.
mengidentifikasi dan 5. Berikan obat Alprazolam
mengungkapkan (ES: Mengantuk,
gejala cemas. kelemahan otot, ataksia,
Mengidentifikasi dan
amnesia, depresi,
mengungkapkan
bingung, halusinasi,
teknik untuk
pandangan kabur)
mengontrol cemas. 6. Berikan obat Buspiron
Vital sign dalam batas
(ES: Pusing, Mual, Sakit
normal
Postur tubuh, ekspresi kepala, Rasa gugup

wajah, baghasa tubuh berlebihan, Sensasi

dan tingkat aktifitas berkunang-kunang,

menunjukan Semangat berlebihan,

berkurangnya insomnia)
7. Fatmadona, Rika. 2015.
kecemasan.
Pijat Terapeutik
sebagai Evidence

26
Based Practice Pada
Pasien Kanker untuk
Mengurangi Distress
Termuat dalam Jurnal
Ners Jurnal
Keperawatan Vol. 11
No. 1)
3 Ketidakmampuan koping Tujuan: Setelah 1. Memfasilitasi
keluarga prognosis dilakukan tindakan pertisipasi keluarga
penyakit yang memburuk keperawatan selama 1 x dalam perawatan fisik
24 jam koping keluarga dan emosi klien
2. Menyediakan
meningkat, dengan
informasi, advokasi dan
indikator:
dukungan yang
Family coping
diperlukan keluarga
disasble
dan klien
Therapeutic regimen
3. Memfasilitasi
managemenet, dengan
partisipasi kelaurga
Kriteria hasil :
dalam perawatan emosi
Keluarga tidak
dan fisik pasien
mengalami penurunan 4. Sentana, Aan Dwi.
koping kelaurga 2016. Analisis Faktor-
Hubungan pasien Faktor Yang
dengan keluarga Mempengaruhi Tingkat
pemberi kesehatan Kecemasan Keluarga
adekuat Pasien Yang Dirawat Di
Kesejahteraan emosi
Ruang Intensif Care
pemberi asuhan
RSUD Provinsi NTB
kesehatan keluarga
Koping keluarga Tahun 2015. Termuat

meningkta dalam Jurnal Kesehatan


Normalisasi keluarga Prima Vol. 10 No. 2.
yang memuaskan
Performa yang baik
pemberi asuahan

27
langsung dan tidak
langsung
4 Gangguan pola tidur Tujuan: Setelah Sleep Enhancement
berhubungan dengan dilakukan tindakan 1. Jelaskan pentingnya
ansietas keperawatan selama 1 x tidur yang adekuat
2. Fasilitasi untuk
24 jam gangguan pola
mempertahankan
tidur pasien teratasi
aktivitas sebelum tidur
dengan indikator:
(membaca)
Anxiety Reduction
3. Ciptakan lingkungan
Sleep: extent and
yang nyaman
pattern, dengan 4. Kolaborasi pemberian
Kriteria hasil: obat Diazepam (ES:
Jumlah jam tidur dalam Mengantuk, ataksia.
batas normal kelelahan Erupsi pada
Pola tidur,kualitas kulit, edema, mual dan
dalam batas normal konstipasi, jaundice
Perasaan fresh sesudah dan neutropenia, sakit
tidur/istirahat kepala, amnesia,

Mampu hipotensi. gangguan

mengidentifikasi hal- visual dan retensi urin,

hal yang meningkatkan incontinence.


5. Foerwanto, et al. 2016.
tidur
Pengaruh Aroma
Terapi Mawar Terhadap
Kualitas tidur Lansia
Di Panti Sosial Tresna
Werdha Unit Budi
Luhur Kasongan Bantul
Yogyakarta. Termuat
dalam Jurnal Media
Ilmu Kesehatan Vol.5
No.1
5 Hambatan mobilitas fisik Tujuan: Setelah 1. Monitoring vital sign

28
berhubungan dengan dilakukan intervensi sebelum dans sesudah
ansietas; penurunan keperawatan 1 x 24 jam latihan dan lihat respon
kendali otot; penurunan mobilitas fisik klien pasien saat latihan
2. Konsultasikan dengan
kekuatan otot meningkat, dengan
terapi fisik tentang
indikator:
rencana ambulansi
Joint movement:
sesuai kebutuhan
active
3. Kaji kemampuan
Mobility level
pasien dalam mobilisasi
Self care: ADLs
(Murwaningsih. 2014.
Kriteria hasil :
Analisis Praktik Klinik
Klien meningkat dalam
Keperawatan Kes-Mas
aktivitas fisik
pada Pasien Kanker di
Mengerti tujuan dari
Ruang Rawat Bedah
peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan Gedung A RSUPN
perasaan dalam Cipto Mangkusumo.
4. Latih pasien dalam
meningkatkan kekuatan
pemenuhan kebutuhan
dan kemampuan
ADL secara mandiri
berpindah
Memperagaan sesuai kebutuhan
5. Dampingi dan bantu
penggunaan alat bantu
pasien saat mobilisasi
utnuk mobilisasi 6. Berikan alat bantu jika
pasien memerlukan
7. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
6 Hambatan komunikasi Tujuan: Setelah 1. Beri satu kalimat
verbal berhubungan dilakukan intervensi simpel setiap bertemu
dengan perubahan sistem keperawatan dalam jika di perlukan.
2. Konsultasikan dengan
saraf pusat: Lesi kortikal waktu 2 x 24 jam,
dokter kebutuhan terapi
dan subkortikal pada regio komunikasi klien
bicara.
prefrontalis dan frontalis membaik secara
3. Dorong klien untuk
bertahap, dengan

29
indikator: berkomunikasi secara
Anxiety self control
perlahan dan untuk
Coping
Fear self control, mengulangi
dengan permintaan.
Kriteria Hasil: 4. Dengarkan dengan
Komunikasi :
penuh perhatian.
penerimaan, 5. Berdiri didepan pasien
interpretasi dan ketika berbicara.
6. Anjurkan kunjungan
ekspresi pesan lisan,
keluarga secara teratur
tulisan, dan verbal
untuk memberi
meningkat.
Komunikasi ekspresif stimulus komunikasi.
7. Anjurkan ekspresi diri
(kesulitan berbicara) :
dengan cara lain dalam
ekspresi pesan ferbal
menyampaikan
dan atau non verbal
informasi (bahasa
yang bermakna.
Mampu mengontrol isyarat).
8. Berikan pujian positif
respon terhadap
jika diperlukan.
ketidak mampuan 9. Amila et al. 2013.
berbicara. Pengaruh
Mampu
Augmentative and
memanajemen
Alternative
kemampuan fisik
Communication
yang dimiliki.
terhadap Komunikasi
dan Depresi Pasien
Afasia Motorik Vol. 1
No. 3.

4.5. Manajemen Keperawatan


1. Perubahan Perfusi Jaringan Serebral
Almeida, Miriam de Abreu et al (2015) dalam jurnalnya Clinical
Indicators to Monitor Patients With Risk for Ineffective Cerebral Tissue
Perfusion mengatakan sangat penting memantau resiko perubahan perfusi
jaringan serebral pada klien dengan kasus kanker metastase otak kerena

30
dapat menunjukkan gejala yang sangat serius jika tidak ditangani hingga
kasus terparah dapat menyebabkan kematian.
Perubahan Perfusi Jaringan Serebral didefinisikan sebagai sebagai
ketidakcukupan aliran darah melalui pembuluh darah otak untuk
mempertahankan fungsi otak. Pemeriksaan neurologis pasien sangat
penting dalam perawatan pasien yang kritis. Penilaian dilakukan oleh
perawat didasarkan pada tiga aspek mendasar: penilaian tingkat
kesadaran, pemeriksaan penunjang dan klasifikasi respon motorik.
Frekuensi tergantung pada tingkat keparahan dan jenis penampilan pada
otak. Salah satu instrumen yang paling umum digunakan dalam penilaian
ini adalah Glasgow Coma Scale (GCS) Indikator Gangguan refleks saraf
menerima CVI lebih besar. Dalam hal ini, kita dapat menyesuaikan GCS
dalam pengoperasian indikator ini selain tingkat Penurunan kesadaran,
menelusuri parameter pada perkembangan pasien.
Indikator lain yang dianggap penting terkait dengan tekanan darah.
Hipertensi adalah salah satu faktor risiko untuk Cerebrovascular Accident-
stroke (CVA). Perlu dicatat bahwa sistolik (SBP) dan diastolik Tekanan
Darah (DBP) merupakan indikator penting untuk pengambilan keputusan
pengobatan dengan aktivator plasminogen jaringan (t-PA) intravena, dan
sebagai kriteria untuk pengecualian dari terapi trombolitik berkelanjutan
SBP> 185 mmHg atau berkelanjutan DBP> 110 mmHg.
Lebih lanjut manajemen tekanan darah dan penilaian tingkat
kesadaran terkait langsung dengan indikator risiko perfusi serebral tidak
efektif. Hal ini diketahui bahwa CPP didefinisikan sebagai tekanan arteri
rata-rata (tekanan darah sistolik + 2x tekanan darah diastolik / 3) dikurangi
nilai tekanan intrakranial (ICP). Dari itu, CPP nilai lebih rendah dari 60
mmHg. Dalam hal ini, tindakan terapeutik harus awal untuk mengatasi
ketidakefektifan perfusi jaringan otak. Peningkatan ICP dapat
menghasilkan perubahan pupil. Di antara indikator tambahan didapati
tanda-tanda neurologis atau gejala seperti Agitasi, Gangguan Kognisi,
Sinkop, Gelisah, Kecemasan Unexplained, kelesuan, mual dan muntah,
Variabilitas dari indikator ini dengan CVI antara 0,79 dan 0,50, bisa
memudahkan pemeriksaan klinis sesuai dengan keadaan hasilnya, tetapi

31
juga selama pemeriksaan awal pasien dengan dugaan cedera otak akut,
yang didasarkan pada skor awal indikator, sehingga pemantauan hasil
asuhan keperawatan. Indikator tambahan Sakit kepala, Demam dan
temuan angiografi serebral secara langsung berhubungan dengan prognosis
keparahan pasien neurologis kritis, misalnya, Sakit kepala yang hadir di
43,9% pasien dengan beberapa jenis rasa sakit.
2. Ansietas
(Fatmadona, Rika. 2015. Pijat Terapeutik sebagai Evidence Based
Practice Pada Pasien Kanker untuk Mengurangi Distress Termuat dalam
Jurnal Ners Jurnal Keperawatan Vol. 11 No. 1) Dalam jurnalnya
menyatakan bahwa terapi Masase (Pijat) Terapeutik dapat mengurangi
disstres pada pasien kanker.
Terapi masase (pijat) terapeutik adalah terapi komplementer dengan
sentuhan yang memberikan rasa nyaman dengan memberikan tekanan dan
melakukan pergerakan tubuh serta melakukan manipulasi lembut jaringan
tubuh untuk membawa perbaikan umum dalam kesehatan dan memiliki
makna bagi kesejahteraan dan kesembuhan pasien.
3. Ketidakmampuan Koping Keluarga
(Sentana, Aan Dwi. 2016. Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien Yang Dirawat Di
Ruang Intensif Care RSUD Provinsi NTB Tahun 2015. Termuat dalam
Jurnal Kesehatan Prima Vol. 10 No. 2) Menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada ketidakefektifan koping
keluarga daintaranya:
1. Faktor Umur
Menurut Long, (1996) dalam Nursalam, (2001), yaitu semakin tua umur
seorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap
masalah.
2. Faktor Jenis Kelamin
Pada umumnya seorang laki-laki dewasa mempunyai mental yang kuat
terhadap sesuatu hal yang dianggap mengancam bagi dirinya
dibandingkan perempuan (Sunaryo, 2004). Perempuan cemas akan

32
ketidakmampuannya dibandingkan dengan laki-laki, laki-laki lebih
aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif.
3. Faktor Pengalaman
Pengalaman masa lalu yang positif maupun negatif dapat
mempengaruhi perkembangan keterampilan menggunakan koping.
Keberhasilan seseorang dapat membantu individu untuk
mengembangkan kekuatan koping, sebaliknya kegagalan atau reaksi
emosional menyebabkan seseorang menggunakan koping yang
maladatif terhadap stressor tertentu (Roby, 2009).
4. Faktor Pengetahuan
Menurut Stuart &Laraia, (2006) mengatakan dengan pengetahuan yang
dimiliki, seseorang akan dapat menurunkan perasaan cemas yang
dialami dalam mempersepsikan suatu hal.
5. Faktor Tipe Kepribadian
Menurut Friedman (1999) orang yang berkepribadian A lebih mudah
mengalami gangguan kecemasan daripada orang dengan kepribadian B.
Orang yang mempunyai kepribadian tipe A sangat kompetitif dan
berorientasi pada pencapaian, merasa waktu selalu mendesak, sulit
untuk bersantai dan menjadi tidak sabar dan marah jika berhadapan
dengan keterlambatan atau dengan orang yang dipandang tidak
kompeten. Walaupun tampak dari luar tipe A sebagai orang yang
percaya diri, namun mereka cenderung mempunyai perasaan keraguan
diri yang terus-menerus dan itu memaksa mereka untuk mencapai lebih
banyak dan lebih banyak lagi dalam waktu yang lebih cepat.
4. Gangguan Pola Tidur
(Foerwanto, et al. 2016. Pengaruh Aroma Terapi Mawar Terhadap
Kualitas tidur Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur
Kasongan Bantul Yogyakarta. Termuat dalam Jurnal Media Ilmu
Kesehatan Vol.5 No.1) Dalam jurnalnya menyatakan bahwa penggunaan
aroma terapi mawar efektif dalam mengurangi gangguan kualitas tidur.
Aromaterapi merupakan salah satu bentuk terapi relaksasi. Aromaterapi
merupakan proses penyembuhan kuno yang menggunakan sari tumbuhan

33
aromaterapi murni yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan tubuh, pikiran, dan jiwa.
5. Hambatan Mobilisasi Fisik
Murwaningsih (2014) dalam jurnalnya Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Kes-Mas pada Pasien Kanker di Ruang Rawat Bedah
Gedung A RSUPN Cipto Mangkusumo, menyatakan bahwa pemilihan
ROM dengan klien kanker bermetastase otak sangat penting dilakukan.
Mobilitas atau mobilisasi merupakan suatu kemampuan individu
untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan aktifitas dalam rangka mempertahankan
kesehatannya. Mobilisasi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya, gaya hidup, proses penyakit, kebudayaan, tingkat energy dan
usia (Hidayat, 2012). Hambatan mobilitas fisik adalah keadaan ketika
individu mengalami keterbatasan atau beresiko mengalami keterbatasan
gerak fisik, tetapi bukan imobilisasi (Carpenito, 2009).
Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu rentang gerak
pasif, rentang gerak aktif , dan rentang gerak fungsional. Manajemen
dalam rentang gerak aktif yaitu untuk Hal ini untuk melatih kelenturan dan
kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara
aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan kaki. Latihan ROM pasif,
yaitu latihan ROM yang dilakukan pasien dengan bantuan dari orang lain,
perawat, ataupun alat bantu setiap kali melakukan gerakan. Indikasi pasien
semi koma atau tidak sadar, pasien usia lanjut dengan mobilitas terbatas,
pasien tirah baring total, atau pasien dengan paralisis ekstremitas total
dengan menggunakan kekuatan otot 50%
Faktor-faktor yang dapat menurunkan ROM, yaitu penyakit penyakit
sistemik, sendi, nerologis, ataupun otot, akibat pengaruh cedera atau
pembedahan, inaktivitas atau imobilitas. Aktivitas ROM diberikan untuk
memepertahakan mobilitas persendian dn jaringan lunak untuk
meminimalkan kehilangannya kelentukan jaringan dan pembentukan
kontraktur. Latihan ROM dapat memepertahankan mobilitas sendi dan
jaringan ikat, meminimlasir efek dari pembentukan kontraktur,

34
mempertahakan pergerakan synovial untuk nutrisi tulang rawan serta
difusi persendian, menurunkan pergerakkan synovial untuk nutrisi tulang
rawan serta difusi persendian, menurunkan atau mencegah rasa nyeri,
membantu proses penyembuhan pasca cedera atau operasi, membantu
memepertahankan kesadaran akan gerak dari pasien.
6. Gangguan Komunikasi
(Amila et al. 2013. Pengaruh Augmentative and Alternative
Communication terhadap Komunikasi dan Depresi Pasien Afasia Motorik
Vol. 1 No. 3). Dalam jurnalnya menyatakan bahwa Augmentative and
Alternative Communication dapat digunakan dalam membantu pasien
afasia untuk berkomunikasi dengan perawat keluarga untuk
mengekspresikan kebutuhannya, sehingga AAC dapat menjadi pengganti
komunikasi verbal seseorang. AAC yang menggunakan low technology
(tanpa menggunakan elektronik), seperti papan komunikasi yang berisi
gambar/ simbol dan tulisan berisi gambar, kertas, kartu gambar, dan
simbol yang dapat ditunjuk oleh pasien. Sedangkan AAC yang
menggunakan elektronik adalah high technology, seperti komputer/
elektronik dengan kemampuan multimedia.

4.6. Implementasi
1. Perubahan Perfusi Jaringan Serebral
Berdasarkan kasus klien mengalami perubahan pada perfusi jaringan
serebralnya sehingga pemeriksaan dan pemantauan pada klien harus tepat
dilakukan. Tiga aspek mendasar dalam pemantauan perfusi jaringan
perifer diantaranya: Penilaian tingkat kesadaran, pemeriksaan penunjang
dan klasifikasi respon motorik.
2. Ansietas
Berdasarkan kasus klien mengalami stres sehingga dapat diberikan
manajemen keperawatan dengan terapi pijat terapeutik. Setelah diberikan
intervensi sesi pijat terapeutik mampu menurunkan cemas pasien, itu
dibuktikan dengan penurunan skor ESAS cemas, sehingga mampu
merilekskan pasien.
Langkah-langkah:

35
Lakukan massage selama 5-10 menit
Lakukan massage dengan menggunakan telapak tangan dan jari dengan
tekanan halus.
Teknik massage dengan gerakan selang-seling (tekanan pendek, cepat,
dan bergantian tangan) dengan menggunakan telapak tangan dan jari
dengan memberikan tekanan ringan.
Teknik massage dengan gerakan menggesek dengan menggunakan ibu
jari dan gerakan memutar.
Teknik eflurasi dengan kedua tangan.
Teknik petrisasi dengan menekan punggung secara horizontal.
Teknik tekanan menyikat dengan menggunakan ujung jari.
3. Gangguan Pola Tidur
Aromaterapi mawar ini merupakan terapi nonfarmakologi yang
dapat meningkatkan kualitas tidur dan termasuk dalam relaxation therapy.
Teknik relaxation therapy ini melatih otot dan pikiran menjadi rileks
dengan cara yang cukup sederhana, selain aromaterapi juga dapat
dilakukan dengan meditasi, relaksasi otot, dan mengurangi cahaya
penerangan. Mekanisme kerja aromaterapi mawar dalam tubuh manusia
berlangsung melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan sistem
penciuman. Wewangian dapat memengaruhi kondisi psikis, daya ingat,
dan emosi seseorang. Essensial oil rose merupakan jenis aromaterapi yang
dapat digunakan untuk membantu meringankan depresi, ketegangan
syaraf, sakit kepala, dan insomnia.
4. Hambatan Mobilitas Fisik
Langkah ROM pasif, yaitu:
a. Pemberian posisi terlentang dan posisi setengah duduk
b. Pemberian posisi miring kiri
c. Pemberian posisi miring kekan
d. Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu
e. Gerakan menekuk dan meluruskan siku
f. Gerakan memutar pergelanagn tangan
g. Gerekan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan
h. Gerakan memutar ibu jari
i. Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan
j. Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha
k. Gerakan menekuk dan meluruskan lutut
l. Gerakan memutar pergelangan kaki

36
5. Hambatan komunikasi verbal
Penggunaan AAC dapat membantu pasien afasia untuk
berkomunikasi dengan perawat dan keluarga untuk mengekspresikan
kebutuhannya, sehingga AAC dapat menjadi pengganti komunikasi verbal
seseorang. AAC banyak memberikan keuntungan, seperti meningkatkan
kemampuan bahasa dan berkomunikasi, serta meningkatkan kemandirian
dan perkembangan hubungan sosial dan membantu perawat berkomunikasi
pada pasien yang mengalami keterbatasan komunikasi verbal. Hasil yang
dicapai pada pemberian AAC adalah kualitas hidup. Keadaan ini dapat
terjadi karena pasien yang menggunakan AAC pada umumnya memiliki
kepuasan dalam hubungan dengan keluarga, teman, dan aktivitas hidup
yang menyenangkan.
Pasien diajarkan setiap simbol/ gambar yang ada pada buku
komunikasi. Bantu pasien untuk menunjukkan setiap bagian/ label,
misalnya bila pasien nyeri/ tidak nyaman. Jika pasien tidak mampu
mengidentifikasi simbol-simbol gambar tersebut, ganti simbol gambar
menjadi yang lebih familiar, jelaskan hubungan antara simbol dengan
artinya dalam bentuk kalimat dan instruksikan pasien untuk mengulangnya
dalam bentuk simbol lain.
Pemberian AAC pada hari pertama sampai hari kesepuluh dapat
meningkatkan neuroplastisitas, reorganisasi peta kortikal, dan
meningkatkan fungsi motorik pada hari selanjutnya sehingga pada tiga
sampai enam bulan selanjutnya pemulihan wicara bahasa menjadi optimal

4.7. Evaluasi
1. Perubahan Perfusi Jaringan serebral
Setelah dilakukan pemantauan pada tanda-tanda perubahan perfusi
jaringan perifer klien, diharapkan perawat dapat mengenal dan mengetahui
ciri-ciri serta tanda-tanda klien yang mengalami perubahan pada perfusi
jaringan serebral sehingga dapat memberikan manajemen keperawatan

37
yang tepat dan cepat, karena hal tersebut mempengaruhi kesadaran klien
dan sangat mengancam nyawa klien.
2. Ansietas
Setelah dilakukan sesi pijat terapeutik, diharapkan bahwa sesi pijat
terapeutik mampu menurunkan cemas pasien, dilihat dari penurunan skor
ESAS cemas, mampu merilekskan pasien kanker.
3. Gangguan Pola Tidur
Dengan pemberian aroma terapi mawar pada klien dengan gangguan
pola tidur diharapkan hasilnya efektif dalam menangani kualitas tidur
sehingga dapat dijadikan masukan untuk intervensi dalam asuhan
keperawatan komplementer yaitu diberikan selama 5 menit dalam 5 hari
berturut-turut.
4. Hambatan Mobilitas Fisik
Setelah dilakukan imobilsasi diharapkan klien :
- Status kesehatan klien tidak menurun, baik tingkat kesedaran,
mempertahankan fungsi tubuh dan memperlancar peredaran darah.
- Membantu pernafasan menjadi lebih baik dan Mempertahankan tonus
otot.
- Mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali
normal dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian.
- Memberi kesempatan perawat dan pasien untuk berinteraksi atau
berkomunikasi.
5. Gangguan Komunikasi Verbal
Setelah dilakukan pemberian terapi AAC, diharapkan klien dengan
gangguan komunikasi verbal dapat berpengaruh secara bermakna terhadap
kemampuan fungsional komunikasi sehingga meningkatkan interaksi
antara pasien dengan keluarga, petugas kesehatan dan membantu
perkembangan hubungan sosial sehingga akan memengaruhi kualitas
hidup pasien afasia.

DAFTAR PUSTAKA

38
Adriani, Shinta Natalia & Monty P. Satiadarma. 2011. Efektivitas Art Therapy
dalam Mengurangi Kecemasan pada Remaja Pasien Leukemia. Indonesian
Journal of Cancer Vol. 5, No. 1.

Alianto, Ricky. 2015. Gambaran Histopatologi Karsinoma Hepatoseluler. CDK-


229/ vol. 42 no. 6. Data diperoleh dari http://www.kalbemed.com/Portals/
pada tanggal 18 Maret 2017.

Almeida, Miriam de Abreu et al. 2015. Clinical Indicators to Monitor Patients


With Risk for Ineffective Cerebral Tissue Perfusion. Nursing Research and
Education. Volume 33 No. 1. Data diperoleh dari
https://aprendeenlinea.udea.edu.co/revistas/index.php/ pada tanggal 7 April
2017.

Amila et al. 2013. Pengaruh Augmentative and Alternative Communication


terhadap Komunikasi dan Depresi Pasien Afasia Motorik. Vol. 1 No. 3.
Aziz, M. Farid. 2008. Acuan Nasional Onkologi Ginokologi. Jakarta : Bina
Pustaka Sarwono Prawiwardjo

Baradero, Mery. 2008. Klien Gangguan Hati: Seri Asuhan Keperawatan.


Jakarta: EGC.

Campbell, M et al. 2014. Essential of Phsyical Medicine and Rehabiltion.


Phileadelphia.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Ketiga. Jakarta: EGC.

Desen, Wan et al. 2011. Buku Ajar Onkologi Klinis. Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Fatmadona, Rika. 2015. Pijat Terapeutik Sebagai Evidence Based Practice Pada
Pasien Kanker Untuk Mengurangi Distress. Ners Jurnal Keperawatan,
Volume 11, No 1.

39
Foerwanto, et al. 2016. Pengaruh Aroma Terapi Mawar Terhadap Kualitas tidur
Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul
Yogyakarta. Jurnal Media Ilmu Kesehatan Vol.5 No.1.
Husodo, Budi. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta:
FKUI

Kumar, R. 2013. Dasar-dasar Patofisiologi Penyakit. Jakarta: Binarupa Aksara

Langhorne, Martha E. et al. 2007. Oncology Nursing. Fifth Edition. Philadelphia:


Mosby Elsevier.
Lumbantobing, S. M. 2010. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik & Mental.
Jakarta : Balai Penerbi FKUI

Markam, Soemarmo. 2012. Penuntun Neurologi. Jakarta : Binarupa Aksara


Murwaningsih. 2014. dalam jurnalnya Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kes-
Mas pada Pasien Kanker di Ruang Rawat Bedah Gedung A RSUPN Cipto
Mangkusumo

National Cancer Institute. 2009. What Is Cancer?. United State: National


Institutes of Health
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi.
Jogyakarta : Mediaction Publisher.
Rukiyah, Y. 2010. Patologi Neurologis. Jakarta: Tans Indo Media.
Sadock, B. J. 2007. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry Behavioral
Scinces/Cinical Psyhiatry. New York; Lippincot William & Wilkins
Sentana, Aan Dwi. 2016. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat
Kecemasan Keluarga Pasien Yang Dirawat Di Ruang Intensif Care RSUD
Provinsi NTB Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Prima Vol. 10 No. 2.
Smeltzer, Suzanne C. & Brenda G. Bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal-
Bedah Brunner and Suddart. Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC

Wakim, F. J. 2011. Hepatic Encephalopathy: Suspect It Early In Patients With


Cirrhosis. Cleve Clin J Med.

40

Anda mungkin juga menyukai