Anda di halaman 1dari 32

Referat

MANAJEMEN NYERI

Oleh:
Rossy Clarissa Febriyanti 04084822225184
Muhammad Alfarizi Nasution 04084822225147

Pembimbing
dr. Hari Ciptadi, Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Manajemen Nyeri

Oleh:
Rossy Clarissa Febrianti 04084822225145
Muhammad Alfarizi Nasution 04084822225147

Pembimbing:
dr. Hari Ciptadi, Sp.An

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya periode 27 Februari – 26 Maret 2023.

Palembang, 16 Maret 2023


Pembimbing

dr. Hari Ciptadi, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan telaah ilmiah yang berjudul “Manajemen Nyeri” sebagai salah satu
syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSMH
Palembang. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pembimbing, dr.
Hari Ciptadi, Sp. An yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama
penulisan dan penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dari seluruh pihak agar telaah ilmiah ini menjadi lebih baik. Semoga telaah
ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan
pembaca.

Palembang, 16 Maret 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ..................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................2
2.1 Definisi ..............................................................................................3
2.2 Etiologi ..............................................................................................3
2.3. Faktor Resiko ....................................................................................3
2.4 Patofisiologi .......................................................................................5
2.5 Klasifikasi ..........................................................................................8
2.6 Diagnosis .........................................................................................12
2.6 Tatalaksana ......................................................................................14
2.7. komplikasi ......................................................................................11
2.8. edukasi ............................................................................................11
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................19

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 1. Verbal Rating Scale. .............................................................................10
Gambar 2 Numeral Rating Scale ...........................................................................11
Gambar 3 Visual Analogue Scale ..........................................................................11
Gambar 4 McGill Pain Questionnaire (MPQ) .......................................................12
Gambar 5 The Face Pain Scale ..............................................................................12
Gambar 6 WHO Three Steps Analgetic Ladder ....................................................15
Gambar 7 WFSA Step Ladder ...............................................................................17
Gambar 8 Arachidonic Acid Pathway ...................................................................18
Gambar 9 Algoritme pemberian opioid. ................................................................19
Gambar 10 Prosedur Spesifik Manajemen Nyeri pasca Operasi ...........................21
Gambar 11 Alur Manajemen Nyeri menurut Kemenkes RI ..................................23

v
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri ialah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Nyeri sering timbul sebagai manifestasi klinis pada suatu
proses patologis, dimana nyeri tersebut memprovokasi saraf - saraf sensorik nyeri,
menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distres, atau penderitaan. Setiap persepsi
nyeri yang timbul akan membuat tubuh merespons rangsangan nyeri tersebut, yang
kemudian akan mempengaruhi secara keseluruhan sistem organ penderita nyeri.
Nyeri dapat berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif, maupun penuntun
diagnostik. Intensitas nyeri sebaiknya harus dinilai sedini mungkin dan sangat
diperlukan komunikasi yang baik dengan pasien. Penilaian intensitas nyeri dapat
diukur menggunakan berbagai skala, beberapa yang sering digunakan seperti
Visual Analog Scale, Numeric Rating Scale, Verbal Rating Scale, dan Wong Baker
Rating Pain Scale. Berdasarkan patofisiologinya, nyeri terbagi menjadi nyeri
nosiseptif, neuropatik, campuran, dan psikogenik. Berdasarkan klinis dan waktu
terjadinya, nyeri terbagi menjadi akut dan kronis. Berdasarkan penyebabnya, nyeri
terbagi menjadi non-onkogenik dan onkogenik. Berdasarkan derajatnya, nyeri
terbagi menjadi nyeri ringan, sedang dan berat.1–6
Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas dan
menentukan terapi yang efektif. Bila tidak teratasi dengan baik nyeri dapat
mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis
meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur dan
gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Nyeri akut terjadi setelah cedera
jaringan yang terkait dengan operasi. Etiologi nyeri akut pasca operasi bersifat
multifaktorial. Prosedur bedah menyebabkan cedera pada jaringan yang berikutnya
memicu respons dalam matriks rasa sakit, dari kepekaan jalur nyeri perifer dan
sentral hingga perasaan takut, cemas, dan frustrasi. Bila pengelolaan dan penyebab

1
nyeri akut tidak ditatalaksana dengan baik, dapat berkembang menjadi nyeri
kronik.3,7,8 Oleh karena itu, referat ini diharapkan dapat bermanfaat untuk para
dokter agar memahami nyeri beserta manajemen yang tepat sesuai intensitasnya
agar mencegah komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Definisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain (IASP)
adalah pengalaman emosional serta sensori yang tidak menyenangkan dan
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, atau
digambarkan sebagai suatu kerusakan.9 Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik
yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan,
sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,
intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau
difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan
emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga
berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom.10 Ketika suatu
jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan-
bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion
kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon
nyeri.11

2.2. Etiologi
Nyeri biasanya dihubungkan dengan beberapa proses patologis spesifik.
Kelainan yang mengakibatkan rasa nyeri mencakup infeksi, keadaan inflamasi,
trauma, kelainan degenerasi, keadaan toksik metabolic atau neoplasma. Nyeri dapat
juga timbul karena distorsi mekanis ujung-ujung saraf misalnya karena
meningkatnya tekanan di dinding viskus/organ. Sebagian besar rasa nyeri hebat
oleh karena: trauma, iskemia atau inflamasi disertai kerusakan jaringan. Hal ini
mengakibatkan terlepasnya zat kimia tertentu yang berperan dalam merangsang
ujung-ujung saraf perifer.11

2.3. Faktor Risiko


Beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri antara lain.12

3
a. Usia
Variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Anak
kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur pengobatan
yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat
mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan
nyeri yang dialami, takut akan tindakan keperawatan yang harus diterima.
Pada pasien lansia, pengkajian nyeri harus lebih rinci. Seringkali lansia
memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-
beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh
nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan jantung, Nyeri dada dapat
timbul karena gejala arthritis pada spinal dan gangguan abdomen. Sebagai
lansia terkadang pasrah terhadap hal yang dirasakan, menganggap bahwa hal
tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari.13
b. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
berespon terhadap nyeri. Akan tetapi dari penelitian memperlihatkan hormon
seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri.
Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobataan
binatang, sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan/sensitivitas terhadap
nyeri. Pada manusia lebih komplek, dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya
dan lain-lain.13
c. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri
juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stress praoperatif
menurunkan nyeri saat pasca operatif. Namun, ansietas yang relevan atau
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap
nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi
pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara

4
yang efektif untuk nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri
ketimbang ansietas.14
d. Riwayat nyeri
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode
nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas
atau bahkan rasa takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami
nyeri dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut
berhasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk
menginterpretasikan sensasi nyeri. Akibatnya, klien akan lebih siap untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan nyeri.15

e. Efek plasebo
Plasebo dapat terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan
atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar-
benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan
efek positif. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak
petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif
intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi
diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan
nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien perawat yang
positif dapat juga menjadi peran yang penting dalam meningkatkan efek
plasebo.15

2.4. Patofisiologi
Patofisiologi nyeri secara umum berupa rangsangan nyeri diterima oleh
nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan
dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K+ dan
protein intraseluler. Peningkatan kadar K+ ekstraseluler akan menyebabkan
depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan

5
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan/inflamasi.
Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan
histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan
tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu
lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin
akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah
maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K+ ekstraseluler dan
H+ yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan
prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat
dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka mereka
melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitoningen terkait peptida (CGRP),
yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.Vasokonstriksi (oleh serotonin),
diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain.
Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri.10
Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator.
Neurotransmitter mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati rongga sinaps
antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat pula
mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator dipercaya bekerja secra tidak langsung
dengan meningkatkan atau menurunkan efek partokular neurotransmitter. Beberapa
neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls nyeri antara lain
adalah.10
a. Neurotransmiter
a) Substansi P (Peptida)
Ditemukan pada neuron nyeri di kornudorsalis (peptide eksitator)
berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer keotak dan dapat
menyebabkan vasodilatasi dan edema.

6
b) Serotonin
Dilepaskan oleh batang otak dan kornudorsalis untuk menghambat
transmisi nyeri.
c) Prostaglandin
Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid dimembran sel dipercaya
dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel.
b. Neuromodulator
a) Endorfin (morfin endogen)
Merupakan substansi sejenis morfin yangdisuplai oleh tubuh.
Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal,dan traktus
gastrointestinal. Berfungsi memberi efek analgesic
b) Bradikinin
Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada
daerah yang mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer,
menyebabkan peningkatan stimulusnyeri. Bekerja pada sel, menyebabkan
reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.
Impuls sepanjang saraf aferen sinaps di sumsum tulang belakang dan lulus
melalui anterolateral saluran ke talamus dan dari sana, antara lain, korteks
somatosensori, yang Cingular gyrus, dan insularkorteks. Koneksi yang tepat
memproduksi berbagai komponen sensasi nyeri: sensorik (Misalnya,persepsi
lokalisasi dan intensitas), afektif (penyakit), motor (refleks pelindung, tonus otot,
mimikri), dan otonom (perubahan di tekanan darah, takikardia, dilatasi pupil,
berkeringat, mual). Sambungan di thalamus dan sumsum tulang belakang dihambat
oleh yang turun saluran dari otak tengah, korteksperiaqueductal abu-abu materi, dan
rafe inti, initraktat mempekerjakan norepinefrin, serotonin, dan terutama
endorphines. Lesi thalamus, misalnya, dapat menghasilkan rasa sakit melalui tidak
adanya hambatan ini (Sindrom talamus). Untuk mengatasi nyeri, pengaktifan rasa
sakit reseptor dapat dihambat misalnya, dengan pendinginan daerah yang rusak dan
oleh prostaglandin inhibitor sintesis. Transmisi nyeri dapat dihambat dengan
pendinginan dan bloker kanal Na +. Transmisi di thalamus dapat dihambat oleh

7
anestesi dan alkohol. Jika penyebab nyeri tidak dihilangkan, konsekuensinya dapat
mengancam jiwa.10

2.5. Klasifikasi
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi.16,17
a. Nyeri somatik superficial
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan
terlokalisasi di tempat yang jelas.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang
menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini
dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi,
nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal. Nyeri visceral hanya bisa
ditimbulkan oleh beberapa organ visceral, tidak berhubungan dengan cedera
organ visceral, bersifat difus dan tidak terlokalisasi, disertai dengan refleks
otonomik dan motoric yang berlebihan sehingga pasien Nampak sakit berat
disertai gejala mual, muntah, berkeringat serta perubahan tekanan darah dan
nadi
Berdasarkan patofisiologi nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi.15
a. Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif terjadi akibat aktivasi nosiseptor saraf A-gamma dan
C yang berlangsung secara terus menerus oleh stimulus noxius. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf
sensoris dan simpatik.

8
b. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik disebabkan gangguan sinyal pada sistem saraf pusat
atau perifer yang biasanya disebabkan oleh trauma, inflamasi penyakit
metabolic, infeksi, tumor, toksin, atau penyakit neurologis primer. Sifat nyeri
neuropatik adalah terbakar atau panas, geli, tertusuk, seperti disengat listrik,
diremas, nyeri dalam, spasme.
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi.15,17
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, pucat dan midriasisdan perubahan wajah: menyeringai atau
menangis. Nyeri akut saat timbul awal jejasnya dirasakan sebagai nyeri
dengan intensitas tinggi kemudian berangsur-angsur menghilang bersamaan
dengan sembuhnya jejas yang mendasari dan nyeri akut bersifat nosiseptif.
Bentuk nyeri akut dapat berupa.16
1) Nyeri somatik luar
2) Nyeri somatik dalam
3) Nyeri viseral
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap
bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa
nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan.
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi.1
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari
dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dan dering terjaga akibat nyeri.

9
Skala Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit. Ada beberapa metoda yang umumnya
digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain:7,8
a. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri
yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada.
Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama
kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa
kategori nyeri yaitu:
1) Tidak nyeri (none)
2) Nyeri ringan (mild)
3) Nyeri sedang (moderate)
4) Nyeri berat (severe)
5) Nyeri sangat berat ( very severe)

Gambar 1. Verbal Rating Scale.18

b. Numeral Rating Scale (NMRs)


Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari
intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang
dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10”
menggambarkan nyeri yang hebat.

10
Gambar 2. Numeral Rating Scale.18

c. Visual Analogue Scale (VASs)


Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.
Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan
tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis
yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan
menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas
nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai
kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak
dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam
nyeri hebat.

Gambar 3. Visual Analogue Scale.18

d. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejal
nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek
antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan
merangking dari ”0” sampai ”3”.

11
Gambar 4. McGill Pain Questionnaire (MPQ).18

e. The Face Pain Scale


Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk
menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 5. The Face Pain Scale.18

2.6. Penegakan Diagnosis


Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini
diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri.
Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

12
laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan
lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab.
Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang.
Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan
sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat
bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah
pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral.13,19
a. Anamnesis
Metode SOCRATES dapat memudahkan pemeriksa dalam menanyakan
secara lengkap nyeri yang dirasakan pasien.
1) Site Of Pain: di daerah mana nyeri dirasakan? Apakah ada nyeri otot atau
sendi.
2) Onset: kapan nyeri terjadi, bagaimanan nyeri tersebut, kondisi apa yang dapat
memicu munculnya nyeri, apakah nyerinya berubah dalam kurun waktu
selama kejadian.
3) Character: bagimana tipe nyeri dirasakan, apakah seperti rasa tertusuk, teriris,
gatal, panas, terbakar, tertekan. Bagaimana pola nyerinya, apakah nyeri
terjadi secara terus menerus atau hilang timbul.
4) Radiation: apakah nyeri menyebar kebagian tubuh lainnya, daerah apa?
5) Associated Features: apakah saat nyeri terjadi kadang diserta dengan gejala
yang lain seperti mual, muntah.
6) Timing atau Pattern: apakah nyeri semakin parah pada waktu-waktu tertentu,
apakah nyeri terjadi saat melakukan aktifitas seperti bergerak atau buang air
kecil.
7) Exacerbating and Relieving Factor: apa saja yang membuat nyeri semakin
memburuk atau nyeri menjadi lebih berkurang.
8) Severity: apakah derajat atau sekala nyeri mengalami perubahan selama
kurun waktu kejadian
Selain itu, perlu ditanyakan mengenai penyakit sebelumnya, pengobatan yang
pernah dijalani, dan alergi obat.

13
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan
stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan
Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses
patologi di intracranial. Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan
sensorik sangat penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya
hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting
menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.
c. Pemeriksaan Psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi
nyeri yang subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian
yang harus dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor
kejiwaan yang menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai
psikologis pasien berupa the Minnesota Multiphasic Personality Inventory
(MMPI). Dalam menetahui permasalahan psikologis yang ada maka akan
memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penaggulangan nyeri.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui
penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan
laboratorium dan imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.

2.7. Tatalaksana
Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan perlu disusun sesuai
penyebab dan tingkatan nyeri. Untuk itu berbagai pengobatan nyeri dapat
digolongkan menjadi.
a. Terapi Farmakologis
Manajemen nyeri menurut WHO three steps ladder dilakukan berdasarkan
intensitas nyeri. Three steps ladder WHO diperkenalkan untuk meningkatkan
kontrol nyeri terutama pada pasien dengan nyeri kanker. Pada nyeri ringan

14
digunakan step ladder dengan obat analgesik Non-Steroidal Anti-Inflammatory
Drugs (NSAID) seperti paracetamol, pada nyeri sedang digunakan kombinasi
NSAID dengan opioid lemah dengan atau tanpa adjuvant, serta pada nyeri berat
digunakan kombinasi NSAID dan opioid kuat dengan atau tanpa adjuvant.

Gambar 6. WHO Three Steps Analgetic Ladder.6\

Tatalaksana nyeri secara garis besar mengikuti “WHO Three Step Anelgesic
Ladder”, yaitu:
a. Tahap pertama: analgesik non-opioid seperti obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID) atau COX2 spesific inhibitors atau asetaminofen dengan atau tanpa
adjuvan.
b. Tahap kedua: opioid lemah (hydrocodone, codeine, tramadol) dengan atau
tanpa analgesik non-opioid, dan dengan atau tanpa adjuvan. Tahap kedua ini
dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri, diberikan obat seperti pada
tahap 1 ditambah opioid secara intermiten.
c. Tahap ketiga: opioid kuat (morfin, metadon, fentanil, oksikodon, buprenorfin,
tapentadol, hidromorfon, oksimorfon) dengan atau tanpa analgesik
nonopioid, dan dengan atau tanpa adjuvan. memberikan obat pada tahap 2
ditambah opioid yang lebih kuat. Istilah adjuvant mengacu pada sekumpulan

15
besar obat-obatan yang termasuk dalam kelas yang berbeda. Meskipun
biasanya diberikan untuk indikasi selain pengobatan nyeri, obat-obatan ini
dapat sangat membantu dalam berbagai kondisi yang menyakitkan.20
Adjuvan, juga disebut co-analgesik, termasuk antidepresan trisiklik (TCA)
seperti amitriptyline dan nortriptyline, serotonin-norepinefrin reuptake inhibitor
(SNRI) seperti duloxetine dan venlafaxine, antikonvulsan seperti gabapentin dan
pregabalin, anestesi topikal (misalnya patch 20 lidokain), terapi topikal (misalnya,
capsaicin), kortikosteroid, bifosfonat, dan kanabinoid. Meskipun adjuvant
diberikan bersama dengan analgesik, mereka diindikasikan sebagai pilihan
pengobatan lini pertama untuk pengobatan kondisi nyeri tertentu. Misalnya,
European Federation of Neurological Societies (ENS) merekomendasikan
penggunaan duloxetine, atau antikonvulsan, atau TCA untuk pengobatan neuropati
nyeri diabetes.20
The World Federation of Societies of Anesthesiologists (WFSA) Analgesic
Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Awalnya, rasa sakit dapat
diperkirakan menjadi parah dan perlu dikendalikan dengan analgesik kuat yang
dikombinasikan dengan blok anestesi lokal dan obat yang bekerja secara perifer.
Rute oral untuk pemberian obat dapat ditolak karena sifat pembedahan dan obat
mungkin harus diberikan melalui suntikan. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan
berkurang seiring waktu dan kebutuhan obat yang akan diberikan melalui suntikan
harus dihentikan. Anak tangga kedua pada tangga nyeri pasca operasi adalah
pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat
mungkin tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan
menggunakan kombinasi agen yang bekerja di perifer dan opioid lemah. Langkah
terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikendalikan oleh agen yang bekerja secara
perifer saja.

16
Gambar 7. WFSA Step Ladder

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi


dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi
inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi
diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi
diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol.20,21
a. Analgesik non-opioid
Paracetamol merupakan agen pertama analgesik dalam WHO analgesic
ladder yang termasuk dalam golongan NSAID. NSAID terdiri dari golongan
penghambat siklooksigenase (COX) selektif dan nonselekftif. NSAID yang
termasuk dalam golongan penghambat COX nonselektif bekerja menghambat
kedua enzimCOX-1 (constitutive) dan COX-2 (inducible) secara signifikan.
Enzim ini memiliki peran dalam mengkatalisis dua tahap penting dalam
pembentukan prostanoid yaitu siklooksigenase dan peroksidasi. Pada tahap
siklooksigenasi COX akan membentuk PGG2. Sedangkan tahap peroksidasi
membentuk PGH2 yang merupakan senyawa dalam biosintesis prostanoid
aktif seperti PGE2, PGF2, PGD2, PGI2 (vasodilator) dan TXA2

17
(vasokontriktor) sehingga hasil akhir dari metabolisme asam arakhidonat
adalah prostaglandin, tromboxan, dan prostasiklin. Paracetamol bekerja
dengan cara inhibisi siklooksigenase pada sistem saraf pusat sehingga terjadi
inhibisi sintesis prostaglandin sehingga menimbulkan efek analgesia.20

Gambar 8. Arachidonic Acid Pathway.


b. Opioid
Efektif untuk nyeri skala sedang hingga berat. Namun, memiliki beberapa
efek samping seperti mual, muntah, gatal, penurunan kesadaran, dan atau
konstipasi. Keluhan nyeri perut dapat dicegah dengan mengonsumsi obat
bersamaan makanan. Pasien juga diminta untuk tidak sedang mengendarai
kendaraan ataupun mengoperasikan mesin selama mengonsumsi obat ini. Opioid
bertindak sebagai agonis pada reseptor opioid stereospesifik yang terjadi di situs
prasinaps dan pascasinaps di dalam SSP dan di jaringan perifer. Opioid meniru
tindakan ligan endogen dengan mengikat reseptor opioid, sehingga
menghasilkan aktivasi sistem modulasi nyeri (antinosiseptif). Opioid yang
diberikan melalui rute neuraksial bekerja dengan difusi melintasi dura untuk
mendapatkan akses ke reseptor opioid pada susbstansia gelatinosa dari sumsum
tulang belakang, serta dengan penyerapan sistemik untuk menghasilkan efek
yang serupa dengan yang akan terjadi setelah pemberian opioid secara intravena.

18
Gambar 9. Algoritme pemberian opioid.

c. Dexamethasone
Studi lain menunjukkan bahwa penggunaan dexamethasone pada
preoperative efektif hingga 48 jam setelah operasi. Dexamethasone dengan
rofecoxib, ondansetron, dan metoclopramide menurunkan level tertinggi
nyeri.
d. Aspirin
Analgesik yang efektif dan tersedia secara luas. Obat ini aktif secara
oral dalam waktu singkat dimetabolisme menjadi asam salisilat yang
memiliki aktivitas analgesik dan anti-inflamasi. Asam salisilat memiliki
waktu paruh sekitar empat jam pada dosis terapeutik. Lama kerjanya dapat
dikurangi jika aspirin diberikan bersama antasida. Aspirin memiliki efek
samping gastrointestinal utama dan dapat menyebabkan mual, sakit atau
perdarahan gastrointestinal karena efek antiplatelet yang tidak dapat diubah.
Untuk alasan terakhir ini penggunaan aspirin setelah operasi harus dihentikan
jika alternatif tersedia. Diflunisal dan Kolin salisilat adalah senyawa terkait
tanpa masalah terakhir ini.

19
e. Anestesi lokal
Teknik anestesi regional yang digunakan untuk operasi mungkin
memiliki efek pernapasan dan kardiovaskular yang positif terkait dengan
berkurangnya kehilangan darah, penghilang rasa sakit, dan meningkatkan
pemulihan. Ada banyak teknik anestesi lokal yang dapat diberikan pasca
operasi sebagai pereda nyeri yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan
dengan risiko minimal pada pasien dan termasuk infiltrasi lokal pada insisi
dengan anestesi lokal kerja lama, blokade saraf perifer atau pleksus, dan
teknik blok kontinu di perifer atau sentral. Namun, suatu kesalahan untuk
mengharapkan obat bekerja 100% pada setiap pasien dengan teknik anestesi
lokal saja. Hal ini dikarenakan nyeri tersebut bersifat multifaktorial, maka
diperlukan terapi kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil terbaik.
Infiltrasi luka dengan anestesi lokal kerja lama seperti bupivakain dapat
memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.22
f. Anestesi epidural
Pada kelompok analgesia epidural preoperasi, skor nyeri dan konsumsi
opioid pasca operasi lebih rendah, dan efek samping mual, muntah, dan
pruritus berkurang, dibandingkan dengan analgesia epidural yang dimulai
setelah akhir operasi. Rute epidural dapat digunakan untuk pemberian bolus
tunggal atau sebagai infus kontinu obat. Ini telah menunjukkan efek fisiologis
yang menguntungkan termasuk penghilang rasa sakit yang bergantung pada
aktivitas yang efisien, peningkatan ekonomi protein, pengurangan ileus serta
peningkatan fungsi paru pasca operasi dan penurunan tuntutan jantung. Obat
yang digunakan dapat berupa opioid saja atau dalam kombinasi dengan
anestesi lokal. Namun yang paling memprihatinkan, seperti halnya opioid apa
pun, adalah kemungkinan depresi pernapasan. Masalah lain yang dihadapi
dengan infus epidural adalah bahwa tidak ada titik akhir antara
ketidakefektifan pada laju infus yang terlalu rendah dan toksisitas sistemik
pada laju infus yang terlalu tinggi.

20
g. Transversus abdominis plane block
Kemanjuran blok bidang transversus abdominis (TAP) yang dipandu
ultrasound dinilai dalam beberapa penelitian. De Oliveira dkk
membandingkan dua konsentrasi ropivakain (5 mg/mL atau 2,5 mg/mL)
dengan saline untuk blok TAP dan menemukan skor nyeri NRS yang lebih
rendah pada kelompok ropivakain sebesar 2-3 poin dan sebagai tambahan
konsumsi opioid yang lebih rendah pada kelompok ropivacaine 5 mg/mL
dibandingkan dengan saline (setara morfin 7,5 vs 15 mg). Tiga penelitian lain
juga membandingkan blok bidang transversus abdominis (TAP) dengan
infiltrasi anestesi lokal ke dalam luka. Sembilan studi menunjukkan bahwa
blok TAP atau oblique subcostal TAP (OSTAP) menurunkan nyeri pasca
operasi lebih dari plasebo atau morfin saja.23

Gambar 10. Prosedur Spesifik Manajemen Nyeri pasca Operasi.

21
b. Terapi Non-Farmakologis
Metode Non-Farmakologi dapat dibagi menjadi empat kelompok utama:
1) Modalitas fisik
Latihan fisik yang diterapkan secara pasif, seperti akupunktur, pijat,
stimulasi saraf listrik transkutan (TENS), terapi panas atau dingin, vibrasi,
pijatan, perbaikan posisi, dan imobilisasi. Selain itu, dapat dengan Aktivitas
fisik seperti jalan kaki, pernapasan dalam, atau aktivitas olahraga ringan
hingga sedang, serta perbaikan pola hidup
2) Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif (misalnya menonton TV, mendengarkan
musik atau berbicara dengan orang), mendidik pasien, dan pendekatan
spiritual.
3) Modalitas Invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
Intervensi dalam teknik pembedahan yang dapat menurunkan skor nyeri pada
pasien pasca operasi. Intervensi tersebut antara lain penggunaan tekanan
rendah (<12 mmHg), bilas salin diikuti dengan suction, aspirasi gas
pneumoperitoneum, dan penggunaan mini port.
4) Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka
yang mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri. Pendekatan
psikologis/spiritual seperti berdoa, imajinasi, visualisasi, relaksasi atau
meditasi.
Algoritma manajemen nyeri secara umum menurut Kemenkes RI Nomor
Hk.02.02/Menkes/251/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif, tercantum dalam bagan berikut.

22
Gambar 11. Alur Manajemen Nyeri menurut Kemenkes RI Nomor
Hk.02.02/Menkes/251/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif

2.8. Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan kepada pasien antara lain:
a. Menjelaskan kemungkinan pasien akan mengalami nyeri di daerah perut serta
bahu. Hal ini disebabkan oleh adanya gas yang terperangkap. Tingkat
ketidaknyamanan dapat bervariasi, tetapi umumnya akan hilang dalam 48-72
jam.
b. Pasien dapat menggunakan bantalan pemanas (heating pad) atau mandi dengan
air hangat untuk membantu meredakan keluhan.
c. Dokter juga akan meresepkan obat untuk membantu meredakan nyeri perut.
Obat tersebut diminum selama 48 jam pertama sesuai resep. Beberapa obat
tersebut dapat menyebabkan mual bahkan muntah. Apabila ada keluhan seperti
ini, hentikan obat dan beralih ke asetaminofen nonresep.
d. Jika mengalami konstipasi, dapat meminta resep obat laksatif untuk
memperlancar BAB. Apabila setelah 3 hari tidak ada perubahan, dapat kembali
menghubungi layanan kesehatan terdekat.

23
2.9. Komplikasi
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska
bedah harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri
itu akan menimbulkan Metabolic Stress Respon (MSR) yang akan mempengaruhi
semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan
pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi seperti:
a. Perubahan kognitif: kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa
b. Perubahan neurohumoral: peripheral hiperalgesia, peningkatan kepekaan luka
c. Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga
meningkatkan kepekaan nyeri
d. Aktivasi simpatoadrenal: pelepasan renin, angiotensinhipertensi, takikardi,
e. Perubahan neuroendokrin: peningkatan kortisol, peningkatan kadar gula darah,
katabolisme.

24
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri merupakan tanda dari proses patologis yang terjadi dalam tubuh
manusia. Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi menjadi nyeri
nosiseptif, neuropatik, dan campuran. Berdasarkan klinisnya, terdapat 2 jenis nyeri
yaitu akut dan kronis. Berdasarkan tingkatannya, nyeri terbagi menjadi nyeri
ringan, sedang, dan berat. Penilaian nyeri dapat dilakukan dengan beberapa skala
yang umum dipakai seperti Numering Rating Scale, Visual Analog Scale, dan
instrumen lainnya. Manajemen nyeri terbagi menjadi farmakologi dan non-
farmakologi. Untuk terapi farmakologi, manajemen nyeri dapat menggunakan
panduan WHO three steps ladder sesuai intensitas nyeri ataupun dengan WFSA
Analgesic Ladder untuk nyeri akut. Sementara untuk terapi non-farmakologi
dilakukan dengan 4 modalitas yakni modalitas fisik, modalitas kognitif-behaviour,
modalitas invasif, dan modalitas psikoterapi.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Senapathi Mangku G. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta.
Jakarta; 2010.
2. Ali N., Lewis M. Understanding Pain, An Introduction for Patients and
Caregiver. Rowman Littlef. 2015;
3. Gupta, Anuj; Kaur, Kirtipal, Sharma S. Clinical aspects of acute post-
operative pain management & its assessment. 2010;1(2):97–108.
4. Tanra AH, Musba. Anestesiologi Dan Terapi Intensif. 1st ed. Rehatta, N.
Margarita; Hanindito, Elizeus; Tantri, Aidar R.; Redjeki, Ike S.; Soenarto,
R.F.; Bisri, D. Yulianti; Musba AMTLM, editor.
5. Chaturvedi. Postoperative pain and its management. Indian J Crit Care Med.
2007;
6. Sedighie L., Ali M. Comparison of Two Pain Scales : Behavioral Pain Scale
and Critical - care Pain Observation Tool During Invasive and Noninvasive
Procedures in Intensive Care Unit - admitted Patients. Iran J Nurs Midwifery.
2019;
7. Morgan G. Pain Management, In: Clinical Anesthesiology2nded. 1996;
8. Benzon et al. The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and
Regional Anaesthesia,2nded. 2005;
9. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto R. F., Bisri DY.
Anestesiologi dan Terapi Intensif. 1st ed. jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2019.
10. Bahrudin M. Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Med. 2017;
11. Kozier, Barbara. Buku Ajar Keperawatan Klinis. 5th ed. Jakarta; 2006.
12. Armstrong AD, Hassenbein SE, CS H. Risk Factors for Increased
Postoperative Pain and Recommended Orderset for Postoperative Analgesic
Usage. 2020;
13. A PP. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, Dan Praktik.
4th ed. EGC; 2006.
14. Smeltzer B. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart. 8th
ed. EGC; 2002.

26
15. Suprapto N, Karyanti M. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.
16. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri DY, et
al. Anestesiologi dan Terapi Intensif Buku Teks KATI-PERDATIN. 2019.
17. Wardani NP. Manajemen Nyeri Akut. Univ Udayana. 2014;
18. Zubrzycki M, Liebold A, Skrabal C, Reinelt H, Ziegler M, Perdas E et al.
Assessment and pathophysiology of pain in cardiac surgery. 2018;
19. Loese JD. Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain. Lippicott Williams and Wilkins. 2001;
20. Anekar AACM. WHO Analgesic Ladder. StatPearls. 2022;
21. Charlton E. The management of postoperative pain. Updat Anesth.:2-17.
22. Sheikh H, Vahedi M, Hajebi H, Vahidi E, Nejati A SM. Comparison between
intravenous morphine versus fentanyl in acute pain relief in drug abusers
with acute limb traumatic injury. 2019;
23. Barazanchi AWH, Macfater WS, Rahiri J, Tutone S HA. Evidence-based
management of pain after laparoscopic cholecystectomy : a PROSPECT
review update. 2018. 787–803 p.

27

Anda mungkin juga menyukai