Oleh:
Rizky Ishak Pridata, S.Ked 04084882124007
Pembimbing
Dr. dr. Hj. Fidalia, Sp.M(K), Subsp.GL
Oleh:
Rizky Ishak Pridata, S.Ked 04084882124007
Pembimbing:
Dr. dr. Hj. Fidalia, Sp.M(K), Subsp.GL
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya periode 27 Maret – 23 April 2023.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan telaah ilmiah yang berjudul “Katarak dengan Glaukoma” sebagai
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSMH
Palembang. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pembimbing, Dr. dr.
Hj. Fidalia, Sp.M(K), Subsp.GL yang telah memberikan bimbingan dan arahan
selama penulisan dan penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dari seluruh pihak agar telaah ilmiah ini menjadi lebih baik. Semoga telaah
ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
2.4.2. Klasifikasi
1. Glaukoma Primer
Glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Pada galukoma akut yaitu
timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik depan yang
sempit pada kedua mata. Pada glukoma kronik yaitu karena keturunan dalam
keluarga, DM Arteri osklerosis, pemakaian kartikosteroid jangka panjang, miopia
tinggi dan progresif dan lain-lain dan berdasarkan anatomis dibagi menjadi 2 yaitu.
a. Glaukoma sudut terbuka / simplek (kronis)
Glaukoma sudut terbuka merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-
95% ), yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan
berkembang disebut sudut terbuka karena humor aqueous mempunyai pintu
terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan
degeneratif jaringan trabekular, saluran schleem, dan saluran yang
berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya
tidak ada, kelainan diagnosa dengan peningkatan TIO dan sudut ruang
anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata
yang timbul.
b. Glaukoma sudut tertutup / sudut semu (akut)
Glaukoma sudut tertutup (sudut sempit), disebut sudut tertutup karena
ruang anterior secara otomatis menyempit sehingga iris terdorong ke depan,
menempel ke jaringan trabekuler dan menghambat humor aqueos mengalir
ke saluran schlem. Pargerakan iris ke depan dapat karena peningkatan
tekanan vitreus, penambahan cairan diruang posterior atau lensa yang
mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba-tiba
dan meningkatnya TIO, dapat nyeri mata yang berat, penglihatan kabur.
Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, tidak segera ditangani akan
terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat.
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diakibatkan oleh penyakit
mata lain atau trauma di dalam bola mata, yang menyebabkan penyempitan
sudut/peningkatan volume cairan dari dalam mata. Misalnya glaukoma
sekunder oleh karena hifema, laksasi/sub laksasi lensa, katarak instrumen,
oklusio pupil, pasca bedah intra okuler.
3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma Kongenital adalah perkembangan abnormal dari sudut
filtrasi dapat terjadi sekunder terhadap kelainan mata sistemik jarang (0,05
%) manifestasi klinik biasanya adanya pembesaran mata (bulfamos),
lakrimasi.
4. Glaukoma Absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/
terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata
memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolut kornea terlihat
keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan ekstravasasi glaukomatosa,
mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit sering mata dengan buta ini
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan
penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit
sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik. Pengobatan glaukoma absolut
dapat dengan memberikan sinar beta pada badan siliar, alkohol retrobulber
atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah tidak berfungsi
dan memberikan rasa sakit.
2.5. Katarak dengan Glaukoma
2.5.1. Definisi
Glaukoma diinduksi lensa adalah glaukoma sekunder yang disebabkan
oleh kelainan pada lensa kristalin. Keadaan patologis pada lensa ini dapat
menyebabkan glaukoma sudut terbuka maupun tertutup, dan seringkali
kombinasi keduanya.
Glaukoma sudut terbuka pada umumnya terjadi karena penyumbatan
dari sistem drainase aquous humor dengan material lensa dan debris
inflamasi. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain: phacolytic
glaucoma, lens particle glaucoma, dan phacoanaphylactic glaucoma. Pada
glaukoma sudut tertutup, lensa secara langsung mengakibatkan penutupan
sudut secara mekanik. Hal ini terjadi pada intumescent lensa dalam
phacomorphic glaucoma atau pada subluksasi atau dislokasi lensa dalam
ectopia lentis. Glaukoma sudut terbuka dapat menyebabkan glaukoma sudut
tertutup jika terjadi induksi peradangan yang cukup untuk menyebabkan
pembentukan sinekia anterior perifer atau sinekia posterior.
2.5.2. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan di dunia, hampir 60
juta orang terkena glaukoma. Di Amerika, penyakit ini merupakan penyebab
utama kebutaan yang dapat dicegah. Glaukoma merupakan penyebab
kebutaan kedua di Indonesia dan di dunia setelah katarak. Diperkirakan pada
tahun 2020 sebanyak 79,6 juta orang akan menderita glaukoma. Glaukoma
akibat kelainan lensa merupakan penyebab terbesar dari glaucoma sekunder
dengan persentase 25% dari total kasus yang ada.
2.5.3. Klasifikasi
Lens-induced glaucoma sudut terbuka dibagi atas 3 bagian:
1. Fakolitik glaukoma
Fakolitik glaucoma disebabkan oleh kebocoran protein lensa melalui
kapsul katarak matur atau hipermatur. Akibat penuaan, komposisi protein
lensa berubah, dimana terjadi peningkatan konsentrasi protein berat molekul
tinggi. Pada katarak matur atau hipermatur, protein ini lepas melalui lubang
mikroskopik pada kapsul lensa. Endapan protein ini mengakibatkan
terjadinya glaukoma karena protein-protein lensa difagosit oleh makrofag
serta debris inflamasi lainnya akan menyumbat jaring trabekula.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan tekanan intra okular,
edema kornea mikro sistik, reaksi sel dan flare yang mencolok. Tidak
ditemukannya keratik presipitat manjadi panduan membedakan phacolytic
glaucoma dengan phacoantigenic glaucoma. Debris selular mungkin dapat
terlihat pada sudut kamera anterior, keberadaan pseudohipopion mungkin
terlihat. Partikel berwarna putih besar (gumpalan protein lensa) mungkin
terlihat di kamera anterior. Terdapat katarak matur dan hipermatur dengan
kapsul lensa anterior yang mengerut yang manandakan berkurangnya volume
dan lepasnya material-material lensa. Pada segmen posterior dapat ditemukan
opasitas vitreous dan prevaskulitis pada retina.
2.5.5. Diagnosis
1. Glaukoma Fakoolitik
Gejala glaukoma fakolitik mirip dengan jenis glaukoma akut lainnya.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala dan tanda-tanda klinis glaukoma
fakolitik. Gejala klinis yang timbul biasanya melibatkan pasien usia lanjut
dengan riwayat penglihatan kurang yang tiba-tibamengalami nyeri,
konjungtiva hiperemis, dan penurunan visus. Sebelum datangnyaserangan,
sebagian besar pasien telah mengalami penurunan penglihatan yang progesif
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, konsisten dengan mendapatkan
katarak.
Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan antara lain
didapatkan tekanan intra okuler yang meningkat, edema kornea mikrositik,
sel prominen dan reaksi flare tanpa keratik presipitat dan sudut COA-nya
terbuka. Tidak adanya keratik presipitat membantu untuk menyingkirkan
glaukoma fakolitik dari glaukoma fakoantigenik/ fakoanafilaktik. Selain itu,
ditemukan katarak matur atau hipermatur (morgagni), dengan kapsul lensa
anterior yang mengkerut dan memperlihatkan volume lensa yang berkurang
dan lepasnya material lensa (AAO). Tanda-tanda lainnya berupa injeksi
konjungtiva, kapsul intak, vitreus yang keruh, dan makrofag di aqueous
humor. Disamping itu, dapat pula ditemukan debris seluler di sudut COA,
pseudohipopion, dan partikel putih yang besar (gumpalan protein lensa) di
COA.
Gambar 6. Glaukoma fakoanafilaktik. Pada gambar fotomikrograf dengan specimen acid- Schiff,
memperlihatkan kapsul yang pecah/ disrupted (tanda panah), dan material lensa (L) dikelilingi
oleh zonal inflammation
4. Glaukoma Fakomorfik
Gejala glaukoma fakomorfik umumnya terbatas pada penurunan visus
sekunder akibat formasi katarak dan myopic shift. Tanda-tanda klinisnya
meliputi perbedaan kedalaman COA, formasi katarak, dan sudut tertutup.
Glaukoma fakolitik disertai dengan pembentukan lensa intumesen yang
besar.
Gambar 7. Glaukoma fakomorfik. Lensa intumesen menyebabkan blok pupil dan
sudut tertutup sekunder pada mata
Gambar 8 Glaukoma fakomorfik, (A) COA biasanya dangkal di sentral dan perifer, kemungkinan
karena tekanan ke depan iris oleh lensa katarak yang membengkak (B) Spesimen patologik,
membandingkan diameter anteroposterior dari lensa intumesen dan lensa normal.
5. Glaukoma Fakotopik
Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda-tanda klinis. Gejala ektopia
lentis antara lain perubahan visus akibat induced myopia, astigmatisma (rotasi
atau miringnya lensa), refraksi yang bervariasi, dan diplopia monokuler.
Tanda-tanda klinisnya antara lain pemindahan lensa ringan sampai komplit,
zonula abnormal, kelainan sudut bervariasi tergantung posisi lensa dan
prolaps vitreous. Sindroma marfan adalah sindrom yang paling sering
berhubungan dengan ectopia lentis. Kelainan jaringan pengikat ini
dihubungkan dengan abnormalitas produksi fibrilin, kelainan genetik di
kromosom 15 (15q21.1) dan autosomal dominan.
Gambar 9 Ektopia Lentis, dislokasi lensa ke COA melalui pupil yang berdilatasi
Gambar 11. Asimetri dari cupping nervus optikus. Tandai pembesaran tampilan umum dari cup di
mata kanan (A) dibandingkan mata kiri (B)
Gambar 12. Elongasi vertical dari cup yang disertai penipisan lokal bingkai neuretinal inferior
pada mata kanan pada pasien dengan glaukoma sedang
Gambar 13. Splinter Hemoragik pada nervus optikus kanan pada arah jam 7 pada pasien dengan
glaukoma sudut terbuka awal
5. Optical coherence tomography
OCT menggunakan interferometri dan koherensi cahaya untuk
mendapatkan potongan melintang struktur biologis mata dengan resolusi
tinggi. OCT dapat mengukur ketebalan serabut saraf.
6. Pemeriksaan lapang pandang
Pemeriksaan standar lapangan pandang adalah menggunakan Perimetri.
Untuk pengelolaan glaukoma, tujuan perimetri adalah untuk mengidentifikasi
lapangan pandang abnormal dan untuk menilai lapangan pandang secara
kuantitatif dalam menuntun perawatan follow up pasien glaucoma.
2.5.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan glaukoma bertujuan untuk
mempertahankan fungsi visual dengan mengendalikan tekanan intraokuler
dan dengan begitu akan mencegah atau menunda kerusakan saraf optik yang
lebih lanjut. TIO yang abnormal memainkan peran penting dalam
terbentuknya neuropati optik glaukomatosa. Meskipun TIO yang tinggi
bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan neuropati optik, namun ini
adalah satu-satunya faktor yang dapat di intervensi.
Pemberian penatalaksanaan secara dini dapat meminimalisasi
terjadinya gangguan penglihatan. Penurunan tekanan intraokular dapat
mencegah terjadinya kerusakan pada nervus optikus. Semakin parah keadaan
glaukoma yang terjadi, maka semakin rendah target TIO yang dibutuhkan
untuk mencegah progresi penyakit.
Penatalaksaan glaukoma sekunder sama dengan penatalaksaan
glaukoma primer, dengan beberapa pengecualian. Penyebab dari glaukoma
tersebut harus ditemukan. Misalnya pada glaukoma uveitis terapi steroid
topikal, intraokular dan sistemik digunakan untuk menatalaksana proses
inflamasi, sedangkan analog prostaglandin biasanya dihindari karena
berpotensi menyebabkan eksaserbasi inflamasi.
Pengobatan medikamentosa pada glaukoma.
1. Analog Prostaglandin
Larutan bimatoprost 0,003%, Latanoprost 0,005% dan Travoprost
0,004%, masing-masing sekali setiap malam, dan larutan Unoprostone 0,15%
empat kali sehari.
Analog prostaglandin mengurangi TIO dengan meningkatkan aliran
keluar dari mata melalui rute uveoskleral, dengan meningkatkan celah
diantara otot korpus siliare.
Latanoprost dan travoprost mengurangi TIO sebesar 25-32%.
Lantanoprost lebih efektif jika digunakan pada malam hari. Efek samping dari
golongan obat ini adalah iris dan kulit periokular yang menjadi gelap akibat
peningkatan melanosom dalam melanosit. Efek samping pigmentasi iris ini
bersifat permanen. Efek samping lainnya berupa hypertrichosis, trichiasis,
tumbuhnya rambut pada wajah, gatal, hiperemis konjungtiva. Efek samping
sistemik yaitu, sakit kepala dan gejala-gejala saluran nafas atas.
Kontraindikasi dari golongan obat ini adalah riwayat menderita uveitis,
operasi katarak dengan komplikasi, keratitis, dan herpes simpleks.
2. Antagonis B adrenergik
β blocker mengurangi TIO dengan menghambat produksi cAMP di
epitel siliar, sehingga mengurangi sekresi akuos humor 20%-30%. Contoh
golongan obat ini adalah Timolol, Carteolol, Levobunolol, Metipranolol, dan
Betaxolol. Dosis biasanya berkisar antara 0,25-1%, digunakan 4 kali sehari.
Efek ini muncul dalam 1 jam setelah penggunaan dan bertahan hingga 4
minggu setelah penggunaan obat dihentikan. Bukti menunjukkan bahwa β
blocker menurunkan produksi akuos lebih banyak pada siang hari dibanding
saat tidur. Saat penyerapan sistemik terjadi, TIO pada mata kontralateral juga
dapat menurun. Contoh sediaan Non selektif Timolol maleate (timoptic),
konsentrasi 0,25%, 0,5% dan dosis pemakaian 4 kali sehari. Efek samping
pada mata: kekaburan, iritasi, anestesi kornea, keratitis punctate, alergi.
Contoh sediaan non selektif lainnya Timolol-LA (istalol), Timolol
hemihydrate (betimol), Levobunolol (betagan), Metipranolol (optipranolol),
dan Carteolol hydrochloride (ocupress). Contoh sediaan β Blocker selektif
adalah betaxolol dengan konsentrasi 0,25% dan dosis pemakaian 2 kali sehari,
efek samping pada mata: kekaburan, iritasi, anestesi kornea, keratitis
punctate, alergi, efek samping sistemik: komplikasi paru-paru.
Timolol 0,25% sama efektifnya dengan timolol 0,5% dalam
mengurangi TIO. Sebagian besar B blocker digunakan dua kali perhari. Efek
samping sistemik dari B blocker yaitu bronkospasme, bradikardi, blok
jantung, hipotensi dan depresi SSP.
3. Parasimpatomimetik
Miotik memiliki efek kontraksi sfingter iris, menyebabkan pupil
menjadi lebih kecil. Golongan obat parasimpatomimetik telah digunakan
sebagai terapi glaukoma selama lebih dari 100 tahun, terbagi menjadi 2
kelompok:
- Direct acting cholinergik agonist
- Indirect-acting anticholinesterase agents
Direct acting cholinergik agonist mempengaruhi motor end plate
dengan cara yang sama seperti asetilkholin yang di transmisikan pada post
ganglion parasimpatetik junction, bekerja langsung pada serat otot sfingter
pupil. Indirect acting anticholinesterase agents menghambat enzim
asetilkholin esterase sehingga memperpanjang kinerja asetilkholin, sehingga
menyebabkan miosis secara tidak langsung. Kedua agen tersebut mengurangi
TIO dengan menyebabkan kontraksi otot siliare longitudinal sehingga
mengencangkan trabekular meshwork dan meningkatkan aliran keluar akuos
humor. Agen tersebut dapat menurunkan TIO 15%-25%, indikasi dari terapi
miotik ini adalah untuk terapi jangka panjang pada pasien glaukoma sudut
terbuka dan terapi profilaksis untuk glaukoma sudut tertutup.
Agen miotik dapat menimbulkan efek samping ablatio retina, katarak
(Indirect-acting). Karena obat indirect-acting lebih berpotensi menimbulkan
efek samping okular dan sistemik, maka obat yang bersifat direct acting lebih
sering digunakan. Pilokarpin adalah agen direct acting yang paling banyak
digunakan Pilokarpin, mempunyai konsentrasi 0,2- 10% dan dosis pemakaian
2-4 kali sehari. Efek samping pada mata : sinekia posterior, keratitis, miosis,
miopia. Efek sistemiknya: meningkatkan salivasi, meningkatkan sekresi
gaster.
Contoh golongan obat parasimpatomimetik indirect yaitu fisostigmin
(0,25% dan 0,5% empat kali sehari), Demercarium Bromide, Echothiophate
Iodine (phospholine iodide). Obat ini mempunyai konsentrasi 0,125% dan
dosis pemakaian 2-4 kali sehari. Cara kerja: meningkatkan aliran trabekular
dan menurunkan TIO sebesar 15-25%. Efek samping yang pada mata: miopia,
katarak, epifora. Efek samping sistemik: meningkatkan salivasi,
meningkatkan sekresi gaster.
4. Inhibitor anhidrase karbonat
Inhibitor anhidrase karbonat menurunkan pembentukan akuos humor
dengan aktivitas antagonis direk terhadap enzim karbonik anhidrase pada
epitel siliar. CAI sistemik dapat diberikan secara oral, intramuskular dan
intravena dan banyak digunakan pada situasi akut. Asetazolamide dan
metazolamide sistemik adalah contoh CAI yang paling sering digunakan.
Metazolamide mempunyai waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan asetazolamide. Efek samping dari CAI sistemik tergantung
kepada dosis, contohnya penurunan berat badan, nyeri abdomen, diare dan
lain-lain. Metazolamide (metazane) menurunkan produksi akuos dan
menurunkan TIO sebesar 15-20%. Efek samping sistemik: asidosis, depresi,
latargi dan lainlain. digunakan pada dosis 25-50mg sebanyak 2-3 kali sehari.
Asetazolamide (diamox) dapat dimulai pada dosis 62,5 mg setiap 6jam, atau
lebih tinggi jika dapat ditoleransi (125 dan 250 mg dan dosis pemakaian 2-4
kali sehari). Cara kerja: menurunkan produksi akuos dan menurunkan TIO
sebesar 15-20%. Efek samping sistemik: asidosis, depresi, latargi.
Contoh CAI topikal yaitu Dorzolamide dan Brinzolamide. Dorzolamide
(trusopt), obat ini mempunyai konsentrasi 2% dan dosis pemakaian 2-3 kali
sehari, efeknya: osmotic gradient dehydrates vitreous dan menurunkan TIO
sebesar 1520%. Efek samping pada mata: miopia, penglihatan kabur,
keratitis, konjungtuvitis. Pada pasien yang telah mendapatkan terapi CAI oral
tidak perlu lagi mendapatkan terapi CAI topikal. Efek samping dari CAI
topikal adalah visus yang kabur dan keratopati pungtata.
5. Agonis adrenergik
Agonis adrenergik non selektif yaitu epinefrin dan dipivefrin
meningkatkan arus keluar trabekular dari uveosklera. Arus keluar uveosklera
dipengaruhi oleh epinefrin yang menginduksi sintesis prostaglandin.
Menariknya agen terkait epinefrin mungkin meningkatkan produksi akuos
pada awalnya namun dengan penggunaan jangka panjang justru menurunkan
produksi. Epinefrin mempunyai konsentrasi 0,25%, 0,5%, 1%, 2% dan dosis
pemakaian 2 kali sehari. Cara kerjanya meningkatkan aliran akuos dan
menurunkan TIO sebesar 15-20%. Efek samping pada mata: iritasi,
konjungtiva hiperemis, retraksi kelopak mata, midriasis. Efek samping
sistemik: hipertemsi, sakit kepala, ekstrasistole.
Dipivefrin adalah prodrug yang akan ditransformasi menjadi epinefrin
oleh enzim esterase di kornea. Dipivefrin memiliki kemampuan penetrasi
kornea yang lebih baik daripada epinefrin. Penggunaan agen-agen ini sering
menyebabkan dilatasi pupil sebagai konsekuensi aksi α agonis yang
menstimulasi reseptor norepinefrin yang mungkin mempresipitasi sudut
tertutup pada individu tertentu. Kini agen adrenergik non selektif telah
digantikan dengan agonis α2 adrenergik yang selektif karena efektifitas yang
lebih tinggi dan efek samping yang lebih sedikit. Efek agonis α1 adrenergik
pada mata terdiri dari vasokonstriksi, dilatasi pupil, retraksi kelopak mata,
sedangkan efek agonis α2 adrenergik berupa pengurangan TIO dan bersifat
neuroprotektif. Apraklonidin dan brimonidin merupakan contoh agonis α2
adrenergik yang telah dikembangkan menjadi terapi glaukom. Apraclonidin
HCl (iopidin), Obat ini mempunyai konsentrasi 0,5%, 1% dan dosis
pemakaian 2-3 kali sehari. Cara kerjanya dengan menurunkan produksi
akuos, menurunkan tekanan vena episkleral dan menurunkan TIO sebesar 20-
30%.
Efek samping pada mata: iritasi, iskemia, alergi, retraksi kelopak mata,
konjungtivitis folikularis. Efek samping sistemik: hipotensi, kelelahan,
hidung dan mulut kering, vasovagal attack. Brimonidine tartrate 0,2%
(alphagan), Obat ini mempunyai konsentrasi 0,2% dan dosis pemakaian 2-3
kali sehari. Cara kerjanya dengan menurunkan produksi akuos, meningkatkan
alairan uveoskleral dan menurunkan TIO sebesar 20- 30%. Efek samping
yang pada mata : kekaburan, edem kelopak mata, kekeringan, sensasi benda
asing. Efek samping sistemik adalah sakit kepala, hipotensi, kelelahan,
insomnia.
6. Agen hiperosmotik
Agen hiperosmotik digunakan untuk mengontrol episode akut dari
peningkatan TIO. Agen hiperosmotik yang sering digunakan contohnya
mannitol intravena dan gliserin oral. Mannitol parenteral (osmitrol), obat ini
mempunyai konsentrasi 20% soln dan 50% soln dan dosis pemakaian
2gr/kgBB. Efeknya: osmotic gradient dehydrates vitreous dan menurunkan
TIO sebesar 15-20%. Efek samping pada mata: TIO rebound. Efek samping
sistemik: retensi urin, sakit kepala, gagal jantung kongestif. Saat diberikan
secara sistemik agen hiperosmotik menurunkan TIO dengan meningkatkan
osmolaritas darah, sehingga menciptakan gradien osmotik antara darah dan
vitreus humor, mengalirkan air dari kavitas vitreus dan menurunkan TIO.
Semakin besar dosis dan semakin cepat pemberian maka semakin besar pula
penurunan TIO. Jika blood aquos barrier terganggu maka agen osmotik akan
memasuki mata lebih cepat dibanding jika barrier nya intak, sehingga durasi
kerja obat dan efektifitas obat berkurang. Efek samping dari obat ini berupa
sakit kepala, bingung, CHF akut, infark miokard dan lain-lain.
1. Riwa AJ, Rahmadi A, Utami AP, Putra SP. Lens Induced Glaucoma. Bagian
Ilmu Kesehat Mata RSUP Dr M Djamil Padang FK Unand [Internet]. 2013;1–
40. Available from: http://www.alcon.com/features/at-risk-for-
glaucoma.aspx
2. Ilyas S. Penglihatan Turun Perlahan tanpa Mata Merah. Vol. 3, Ilmu Penyakit
Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
3. Rachmawati D. Karakteristik Pasien Glaukoma Sekunder Di Rumah Sakit
Khusus Mata Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2012 dan 2013. Skripsi. 2014;
4. Rijal A, DB K. Visual Outcome and IOP Control After Cataract Surgery in
Lens Induce Glaucoma. Kathmandu Univ Med J. 2006;4(1).
5. Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC; 2010.
6. Lawrenson, G J. Glaucoma Identification and Co-Management. Elsevier.
2007;
7. Rich R. American Academy of Ophthalmology. Basic Clin Sci Course. 2012;
8. American Academy of Ophtalmology. Lens And Cataract. 2010;5–9.
9. American Academy of Opthalmology. Secondary Open-Angle Glaucoma.
2010;(11):108.
10. NJ F, PK K. The Massachusetts Eye and Ear Infirmary Illustrated Manual of
Ophtahalmology. Elsevier Inc. 2009;3:314–5.
11. JC M, IP P. Glaucoma. Sci Pract. 2003;261–71.
12. American Academy of Ophtalmology. Glaucoma. Basic Clin Sci Course Sect
10. :169– 217.
13. Crick, Khaw. A Textbook Of Clinical Ophthalmology. 3rd ed. Singapore:
FuIsland Offset Printing; 2003.