Anda di halaman 1dari 33

Telaah Ilmiah

KATARAK DENGAN GLAUKOMA

Oleh:
Rizky Ishak Pridata, S.Ked 04084882124007

Pembimbing
Dr. dr. Hj. Fidalia, Sp.M(K), Subsp.GL

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Katarak dengan Glaukoma

Oleh:
Rizky Ishak Pridata, S.Ked 04084882124007

Pembimbing:
Dr. dr. Hj. Fidalia, Sp.M(K), Subsp.GL

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya periode 27 Maret – 23 April 2023.

Palembang, April 2023


Pembimbing

Dr. dr. Hj. Fidalia, Sp.M(K), Subsp.GL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan telaah ilmiah yang berjudul “Katarak dengan Glaukoma” sebagai
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSMH
Palembang. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pembimbing, Dr. dr.
Hj. Fidalia, Sp.M(K), Subsp.GL yang telah memberikan bimbingan dan arahan
selama penulisan dan penyusunan telaah ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dari seluruh pihak agar telaah ilmiah ini menjadi lebih baik. Semoga telaah
ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan
pembaca.

Palembang, April 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ..................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................2
2.1 Definisi ..............................................................................................3
2.2 Epidemiologi .....................................................................................3
2.3 Etiologi ..............................................................................................4
2.4 Patofisiologi .......................................................................................4
2.5 Klasifikasi ..........................................................................................6
2.6 Diagnosis ...........................................................................................8
2.7 Diagnosis Banding...........................................................................10
2.8 Tatalaksana ......................................................................................11
2.9 Prognosis .........................................................................................16
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan di dunia, hampir 60 juta


orang terkena glaukoma. Di Amerika, penyakit ini merupakan penyebab utama
kebutaan yang dapat dicegah. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua di
Indonesia dan di dunia setelah katarak. Diperkirakan pada tahun 2020 sebanyak
79,6 juta orang akan menderita glaukoma. Glaukoma akibat kelainan lensa
merupakan penyebab terbesar dari glaucoma sekunder dengan persentase 25% dari
total kasus yang ada.1,2
Glaukoma adalah suatu neuropati optic kronik didapat yang ditandai oleh
pencekungan (cupping) diskus optikus, pengecilan lapangan pandang, biasanya
disertai peningkatan tekanan intraokuler. Pada glaukoma akan terdapat
melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan kerusakan
anatomi berupa ekskavasi serta degenerasi papil saraf optic yang dapat berakhir
dengan kebutaan.2
Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi 4 bagian yatu glaukoma
primer, glaukoma kongenital, glaukoma sekunder, dan glaukoma absolute.
Sedangkan berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokuler glaukoma
dibagi menjadi 2 yaitu glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup.2
Glaukoma akibat perubahan lensa (Lens induced glaucoma) merupakan salah
satu bagian dari glaukoma sekunder, glaukoma ini dapat dapat terjadi pada
glauokma sudut terbuka dan tertutup dan terdapat 5 variasi bentuk, yaitu: 1)
fakolitik glaukoma; 2) Lens-particle induced glaucoma; 3) Fakoanafilaktik
glaukoma; 4) Fakomorfik glaukoma; dan 5) Fakotopik glaukoma.
Kompetensi dokter umum berdasarkan SNPPDI 2019 terhadap glaukoma
akibat perubahan lensa adalah 3A, artinya lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang dan memberikan usulan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan
gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya dalam konteks penilaian kemampuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Bilik Mata Depan


Pengaturan tekanan intraokular tidak lepas dari struktur bilik mata depan. Hal
ini disebabkan karena aliran humor akuos melewati bilik mata depan sebelum
memasuki kanal Schlemm. Bilik mata depan dibentuk oleh persambungan antara
komea perifer dan iris. Struktur okular utama yang berhubungan dengan dinamika
aqueous humor adalah badan siliar sebagai tempat produksi aqueous humor,
trabecular meshwork dan uveoscleral pathway sebagai jalur drainase aqueous
humor. Badan siliar menempel pada scleral spur dan memiliki bentuk menyerupai
segitiga siku-siku. Prosesus siliaris merupakan bagian dari badan siliar yang
berfungsi sebagai tempat produksi aqueous humor yang berada di bagian anterior
di daerah yang disebut pars plicata. Epitel prosesus siliaris memiliki dua lapisan:
lapisan dalam yang tidak berpigmen yang berkontak dengan aqueous humor di bilik
mata belakang dan lapisan luar yang berpigmen yang berkontak dengan stroma
prosesus siliaris.

Gambar 1. Anatomi dan fisiologi aliran aquous humor


Bagian posterior dari badan siliar, disebut pars plana, memiliki lapisan yang
lebih datar dan bertemu dengan koroid di ora serrata. Baik saraf simpatis dan
parasimpatis mempersarafi badan siliar. Serabut parasimpatis berasal dari nukleus
Edinger-Westphal dan ganglion pterigopalatina. Serabut simpatis berasal dari
ganglion superior servikal dan pleksus karotis. Serabut sensorik berasal dari
ganglion trigeminal melalui nervus oftalmikus.
Trabecular meshwork (TM) adalah yang melewati sulkus sklera yang
kemudian berlanjut menjadi channel sirkular, yang disebut Schlemm's canal.
Trabecular meshwork adalah struktur segitiga berpori yang disusun oleh jaringan
ikat yang dikelilingi oleh endotelium. Trabecular meshwork dapat dibagi menjadi
tiga komponen: 1) uveal meshwork yang merupakan bagian terdalam yang terdiri
dari untaian tertutup sel endotel seperti tali berasal dari iris dan stroma badan siliaris
dengan ukuran ruang intertrabekuler relatif besar hingga resistensi yang dihasilkan
terhadap aliran aqueous humor sedikit, 2) corneoscleral meshwork yang terletak di
luar uveal meshwork untuk membentuk bagian yang paling tebal dari trabekulum.
Struktur ini terdiri dari lapisan jaringan ikat untai dengan sel mirip endotel di bagian
atasnya. Ruang intertrabekuler corneoscleral meshwork lebih kecil daripada ruang
intertrabekuler uveal meshwork hingga resistensi yang diberikan lebih besar
terhadap aliran aqueous humor, dan 3) juxtacanalicular meshwork yang merupakan
bagian terluar dari trabekulum, dan menghubungkan corneoscleral meshwork
dengan endotelium dinding bagian dalam Schlemm’s canal. Struktur ini terdiri dari
sel yang tertanam dalam matriks ekstraseluler padat dengan ruang interseluler
sempit.
Drainase aqueous humor terjadi secara pasif melalui dua jalur pada sudut bilik
mata depan, yang secara anatomis terletak di limbus. Jalur konvensional dimulai
dari aqueous humor yang melewati trabecular meshwork, masuk ke dalam lumen
Schlemm's canal, menuju saluran kolektor internal dan keluar melalui vena
episklerla. Jalur non-konvensional terjadi di uveal meshwork dan sisi anterior otot
siliaris, aliran aqueous humor memasuki jaringan ikat di antara berkas otot, melalui
ruang suprakoroid, dan keluar melalui sklera.
Gambar 2. Jalur drainase aquous humor

2.2. Fisiologi Aquous Humor


Lensa dan kornea merupakan media refraksi yang berfungsi
meneruskan transmisi cahaya ke fovea sehingga kedua struktur tersebut
harus tetap jernih. Hal inilah yang mendasari mengapa lensa dan kornea
merupakan jaringan avaskular yang ada di mata. Keadaan avaskular ini
dikompensasi dengan cairan yang ada di dalam mata, yang disebut aqueous
humor. Aqueous humor merupakan salah satu cairan intraokular yang
bening dan mengandung nutrisi serta berperan dalam mempertahankan
tekanan yang cukup pada bola mata untuk menjaga distensinya. Aqueous
humor hadir sebagai pengganti suplai darah bagi jaringan avaskular ini
dengan menyediakan nutrisi, membersihkan sisa metabolisme, transpor
neurotransmiter, menstabilkan struktur bola mata dan berkontribusi dalam
regulasi homeostasis jaringan di mata. Kehadiran aqueous humor juga
memungkinkan sel inflamasi dan mediator bersirkulasi di mata, begitu juga
obat agar dapat terdistribusi ke jaringan mata berbeda.
2.3. Anatomi Lensa Kristalin
Lensa kristalin adalah struktur bikonkaf dan transparan yang berperan untuk
menjaga kejernihan lensa sendiri, merefraksikan cahaya, dan berperan untuk
akomodasi. Lensa terletak di posterior iris dan anterior korpus vitreus. Lensa
digantung oleh Zonula zinii yang tersusun atas serat lembut dan kuat yang
menyangga lensa ke korpus siliaris. Lensa tersusun darikapsul, epitel lensa, korteks,
dan nukleus. Kutub anterior dan posterior lensa disatukan oleh garis imajiner yang
disebut aksis optikal. Garis di permukaan yang melewati satu kutub ke kutub
lainnya disebut meridian. Equator adalah diameter terbesar lensa. Lensa dapat
membiaskan cahaya karena indeks refraksi, yang normalnya adalah ± 1,4 di sentral
dan 1,36 di perifer. Pada keadaan tidak berakomodasi lensa berkontribusi ± 15-20
Dioptri dari 60 D kekuatan refraksi mata manusia normal. Saat baru lahir, diameter
equator lensa ± 6,4 mm dan diameter anteroposterior ± 3,5 mm, berat ± 90 mg. Pada
orang dewasa, diameter equator ± 9 mm dan diameter anteroposterior ± 5 mm
dengan berat ± 255 mg. Ketebalan korteks bertambah seiring pertambahan usia,
demikian pula bentuknya, semakin lama semakin cekung. Hal ini menyebabkan
lensa pada orang yang lebih tua memiliki daya bias lebih besar. Akan tetapi, indeks
refraksi menurun seiring pertambahan usia, kemungkinan akibat dari pertambahan
jumlah partikel protein tak terlarut.

Gambar 3. Struktur dan komposisi lensa mata


2.4. Glaukoma
2.4.1. Definisi
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai dengan neuropati optikus yang
berakibat pada gangguan penurunan visualisasi. Glaukoma adalah suatu keadaan
dimana tekanan mata seseorang demikian tinggi atau tidak normal sehingga
mengakibatan kerusakan saraf optik dan mengakibatkan gangguan pada sebagian
atau seluruh lapang pandang atau buta. Kelainan pada mata ini dapat disertai
denganmeningkatnya tekanan intraokular yang disertai pencekungan diskus optikus
dan pengecilan lapang pandang.
Mekanisme peningkatan tekanan intraokular pada glaukoma adalah akibat
kelainan sistem drainase sudut bilik mata depan atau gangguan akses humor akuos
ke sistem drainase dan akibat tekanan yang tinggi pada vena episklera. Namun pada
sebagian besar kasus, peningkatan tekanan intraokular diakibatkan adanya
hambatan aliran keluar humor akuos.
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan atrofi saraf optik. Peningkatan
tekanan intraokular dapat mengakibatkan gangguan vaskularisasi papil sehingga
terjadi degenerasi berkas serabut saraf pada papil saraf optik. Selain itu, tekanan
intraokular yang tinggi akan menekan cekungan yang terdapat di bagian tengah
diskus optik yang merupakan daerah terlemah bola mata. Adanya gangguan pada
transportasi akson juga memengaruhi.

2.4.2. Klasifikasi
1. Glaukoma Primer
Glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Pada galukoma akut yaitu
timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik depan yang
sempit pada kedua mata. Pada glukoma kronik yaitu karena keturunan dalam
keluarga, DM Arteri osklerosis, pemakaian kartikosteroid jangka panjang, miopia
tinggi dan progresif dan lain-lain dan berdasarkan anatomis dibagi menjadi 2 yaitu.
a. Glaukoma sudut terbuka / simplek (kronis)
Glaukoma sudut terbuka merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-
95% ), yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan
berkembang disebut sudut terbuka karena humor aqueous mempunyai pintu
terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan
degeneratif jaringan trabekular, saluran schleem, dan saluran yang
berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya
tidak ada, kelainan diagnosa dengan peningkatan TIO dan sudut ruang
anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata
yang timbul.
b. Glaukoma sudut tertutup / sudut semu (akut)
Glaukoma sudut tertutup (sudut sempit), disebut sudut tertutup karena
ruang anterior secara otomatis menyempit sehingga iris terdorong ke depan,
menempel ke jaringan trabekuler dan menghambat humor aqueos mengalir
ke saluran schlem. Pargerakan iris ke depan dapat karena peningkatan
tekanan vitreus, penambahan cairan diruang posterior atau lensa yang
mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba-tiba
dan meningkatnya TIO, dapat nyeri mata yang berat, penglihatan kabur.
Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, tidak segera ditangani akan
terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat.
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diakibatkan oleh penyakit
mata lain atau trauma di dalam bola mata, yang menyebabkan penyempitan
sudut/peningkatan volume cairan dari dalam mata. Misalnya glaukoma
sekunder oleh karena hifema, laksasi/sub laksasi lensa, katarak instrumen,
oklusio pupil, pasca bedah intra okuler.
3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma Kongenital adalah perkembangan abnormal dari sudut
filtrasi dapat terjadi sekunder terhadap kelainan mata sistemik jarang (0,05
%) manifestasi klinik biasanya adanya pembesaran mata (bulfamos),
lakrimasi.
4. Glaukoma Absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/
terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata
memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolut kornea terlihat
keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan ekstravasasi glaukomatosa,
mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit sering mata dengan buta ini
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan
penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit
sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik. Pengobatan glaukoma absolut
dapat dengan memberikan sinar beta pada badan siliar, alkohol retrobulber
atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah tidak berfungsi
dan memberikan rasa sakit.
2.5. Katarak dengan Glaukoma
2.5.1. Definisi
Glaukoma diinduksi lensa adalah glaukoma sekunder yang disebabkan
oleh kelainan pada lensa kristalin. Keadaan patologis pada lensa ini dapat
menyebabkan glaukoma sudut terbuka maupun tertutup, dan seringkali
kombinasi keduanya.
Glaukoma sudut terbuka pada umumnya terjadi karena penyumbatan
dari sistem drainase aquous humor dengan material lensa dan debris
inflamasi. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain: phacolytic
glaucoma, lens particle glaucoma, dan phacoanaphylactic glaucoma. Pada
glaukoma sudut tertutup, lensa secara langsung mengakibatkan penutupan
sudut secara mekanik. Hal ini terjadi pada intumescent lensa dalam
phacomorphic glaucoma atau pada subluksasi atau dislokasi lensa dalam
ectopia lentis. Glaukoma sudut terbuka dapat menyebabkan glaukoma sudut
tertutup jika terjadi induksi peradangan yang cukup untuk menyebabkan
pembentukan sinekia anterior perifer atau sinekia posterior.
2.5.2. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan di dunia, hampir 60
juta orang terkena glaukoma. Di Amerika, penyakit ini merupakan penyebab
utama kebutaan yang dapat dicegah. Glaukoma merupakan penyebab
kebutaan kedua di Indonesia dan di dunia setelah katarak. Diperkirakan pada
tahun 2020 sebanyak 79,6 juta orang akan menderita glaukoma. Glaukoma
akibat kelainan lensa merupakan penyebab terbesar dari glaucoma sekunder
dengan persentase 25% dari total kasus yang ada.
2.5.3. Klasifikasi
Lens-induced glaucoma sudut terbuka dibagi atas 3 bagian:
1. Fakolitik glaukoma
Fakolitik glaucoma disebabkan oleh kebocoran protein lensa melalui
kapsul katarak matur atau hipermatur. Akibat penuaan, komposisi protein
lensa berubah, dimana terjadi peningkatan konsentrasi protein berat molekul
tinggi. Pada katarak matur atau hipermatur, protein ini lepas melalui lubang
mikroskopik pada kapsul lensa. Endapan protein ini mengakibatkan
terjadinya glaukoma karena protein-protein lensa difagosit oleh makrofag
serta debris inflamasi lainnya akan menyumbat jaring trabekula.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan tekanan intra okular,
edema kornea mikro sistik, reaksi sel dan flare yang mencolok. Tidak
ditemukannya keratik presipitat manjadi panduan membedakan phacolytic
glaucoma dengan phacoantigenic glaucoma. Debris selular mungkin dapat
terlihat pada sudut kamera anterior, keberadaan pseudohipopion mungkin
terlihat. Partikel berwarna putih besar (gumpalan protein lensa) mungkin
terlihat di kamera anterior. Terdapat katarak matur dan hipermatur dengan
kapsul lensa anterior yang mengerut yang manandakan berkurangnya volume
dan lepasnya material-material lensa. Pada segmen posterior dapat ditemukan
opasitas vitreous dan prevaskulitis pada retina.

2. Lens particle glaucoma


Lens particle glaucoma terjadi ketika partikel korteks lensa menyumbat
jaring trabekula akibat lepasnya materi lensa ke dalam aqueous humor setelah
dilakukannya ekstraksi katarak ekstrakapsular, kapsulotomi, ataupun trauma
okuli serta traumatik kapsul lensa. Beratnya glaukoma bergantung pada
material lensa yang dilepaskan, derajat inflamasi, kemampuan jaring
trabekular membersihkan partikel lensa, dan status fungsional badan siliar
yang sering menurun setelah trauma atau prosedur operasi. Lens particle
glaucoma biasanya terjadi beberapa minggu setelah terjadinya trauma, namun
juga mungkin terjadi beberapa bulan bahkan beberapa tahun kemudian.
Pada studi histopatologi ditemukan material lensa yang menyumbat
aliran aqueous dan monosit tempat protein lensa menempel. Dari spesimen
trabecular meshwork ditemukan sel-sel phacolytic, sel debris, dan meteri
lensa free floating.
3. Fakoantigenik glaukoma
Fakoantigenik glaucoma atau yang sebelumnya dikenal dengan
phacoanaphylaxis ini sangan jarang ditemukan, dimana pasien tersensitisasi
terhadap protein lensa mereka sendiri setelah trauma ataupun prosedur
operasi sehingga terjadi inflamasi granulomatous. Gambaran klinis untuk
keadaan ini sangat bervariasi, namun kebanyakan pasien menampilkan reaksi
kamera anterior moderat dengan keratik presipitat pada endotel kornea dan
permukaan anterior lensa. Selain itu ditemukan 100- grade viritis, sinekia, dan
residu meterial permukaan lensa. Glaucomatous optic neuropathy dapat
ditemukan namun tidak umum ditemukan.
Lens-induced glaucoma sudut tertutup dibagi atas 2 bagian:
1. Fakomorfik glaukoma
Fakomorfik glaucoma merupakan glaukoma sudut tertutup yang
diakibatkan oleh tekanan mekanik anterior lensa pada iris. Mata hiperopik
dengan lensa yang relatif besar terhadap sumbu axial mengakibatkan
penyempitan kamera anterior dan merupakan predisposisi untuk keadaan ini.
Pembesaran lensa lebih lanjut diakibatkan oleh beberapa faktor
termasuk penuaan, dimana lensa akan bertambah tebal dan membentuk
lengkung anterior yang lebih besar, dan pada trauma lensa akan memicu
pembengkakan lensa. Penyebab pembengkakan lensa yang tidak umum
termasuk pada diabetes dan efek samping diuretik tertentu. Pada persistent
hyperplastic primary vitreous (PHPV) ruptur kapsul posterior lensa akan
mengakibatkan terbentuknya katarak yang akan mengakibatkan kontraksi
membran fibrovaskular yang akan menekan diafragma lensa dan iris ke arah
depan dan mengakibatkan penyempitan kamera anterior. Retinopati prematur
juga dapat mengakibatkan penekanan ke arah depan diafragma lensa-iris.
Penyebab lain seperti pseudoexfoliation dapat mempengaruhi zonula dan
menekan lensa ke arah depan.
2. Fakotopik glaukoma
Sublukasasi lensa secara umum berasal dari longgarnya, gangguan, dan
hancurnya sebagian zonula. Walaupun lensa tidak lagi berada di tengah, lensa
tetap berada di belakang iris. Dengan adanya dislokasi seluruh zonula
mengalami kerusakan, lensa dapat tetap berada di belakang iris, jatuh ke
dalam retina, atau pindah ke kamera anterior.
Abnormalitas pada zonula lensa mengakibatkan seluruh bentuk ektopia
lensa. Trauma merupakan penyebab utama kelainan zonula yang akan
mengakibatkan ruptur zonula dan spasme siliar. Hal ini akan memicu
pergerakan lensa ke depan, penyempitan sudut COA dan blok pupil. Pada
kelainan kongenital seperti Marfan sindrom, hemosisinuria, atau Ehlers-
Danlos sindrom mengakibatkan berkurangnya penahan lensa.
Apapun penyebabnya, glaukoma diakibatkan oleh blok pupil karena
kelainan posisi lensa atau obstruksi pupil oleh lensa dan vitreous atau oleh
vitreous itu sendiri. Pada beberapa kasus terjadi dislokasi komplit lensa ke
kamera anterior dan secara langsung menghambat aliran aqueous. Serangan
berulang pada sudut tertutup pada blok pupil akan mengakibatkan sinekia
anterior perifer, dan bersamaan dengan glaukoma sudut terbuka kronik akan
mengakibat rusaknya aliran trabekula.
2.5.4. Manifestasi Klinis
Secara umum, lens-induced glaucoma memiliki gambaran klinis antara
lain sebagai berikut.
1. Gejala Klinis
a. Pandangan kabur
b. Nyeri
c. Fotofobia
d. Mata merah
e. Halo sign
f. Penyempitan lapangan pandang
2. Tanda Klinis
a. Penurunan visus
b. Peningkatan tekanan intraokuler
c. Injeksi siliar
d. Cell dan flare di COA
e. Sinekia anterior perifer
f. Material sisa lensa dan katarak
g. Riwayat operasi atau trauma pada mata
h. Cupping nervus opticus
i. Defek lapang pandang

2.5.5. Diagnosis
1. Glaukoma Fakoolitik
Gejala glaukoma fakolitik mirip dengan jenis glaukoma akut lainnya.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala dan tanda-tanda klinis glaukoma
fakolitik. Gejala klinis yang timbul biasanya melibatkan pasien usia lanjut
dengan riwayat penglihatan kurang yang tiba-tibamengalami nyeri,
konjungtiva hiperemis, dan penurunan visus. Sebelum datangnyaserangan,
sebagian besar pasien telah mengalami penurunan penglihatan yang progesif
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, konsisten dengan mendapatkan
katarak.
Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan antara lain
didapatkan tekanan intra okuler yang meningkat, edema kornea mikrositik,
sel prominen dan reaksi flare tanpa keratik presipitat dan sudut COA-nya
terbuka. Tidak adanya keratik presipitat membantu untuk menyingkirkan
glaukoma fakolitik dari glaukoma fakoantigenik/ fakoanafilaktik. Selain itu,
ditemukan katarak matur atau hipermatur (morgagni), dengan kapsul lensa
anterior yang mengkerut dan memperlihatkan volume lensa yang berkurang
dan lepasnya material lensa (AAO). Tanda-tanda lainnya berupa injeksi
konjungtiva, kapsul intak, vitreus yang keruh, dan makrofag di aqueous
humor. Disamping itu, dapat pula ditemukan debris seluler di sudut COA,
pseudohipopion, dan partikel putih yang besar (gumpalan protein lensa) di
COA.

Gambar 4. Gambaran glaukoma fakolitik. Adanya konjungtiva hiperemis, edema kornea


mikrositik, katarak matur dan reaksi COA prominen. Juga terdapat deposit protein pada endotel
dan melapisi sudut membentuk pseudohipopion

2. Lens particle glaucoma


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda-tanda glaukoma
partikel lensa dengan onset muncul beberapa hari atau beberapa minggu
setelah menjalani operasi mata seperti operasi ECCE (extracapsular cataract
extraction) atau setelah trauma ruptur lensa. Gejala glaukoma partikel lensa
antara lain: kemerahan, rasa tidak nyaman, penurunan visus dan nyeri. Tanda-
tandanya meliputi bekas katarak di kamera okuli posterior, injeksi
konjungtiva, material kortikal dan debris lensa di aqueous humor, hipopion,
leukosit, makrofag dan flare di COA. Selain itu, tekanan intra
okulermeningkat, adanya reaksi COA, edema kornea mikrositik dan seiring
waktu dapat terbentuk sinekia posterior dan sinekia anterior perifer

Gambar 5. Glaukoma Partikel Lensa, terlihat partikel lensa mengisi COA


3. Glaukoma Fakoantigenik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda-tanda klinisnya.
Gejala klinis glaukoma fakoantigenik antara lain: onsetnya muncul beberapa
hari atau beberapa minggu setelah operasi atau trauma pada mata, penurunan
visus dan nyeri. Tanda- tandanya meliputi terdapatnya cells dan flare di COA,
keratik presipitat, hipopion, sinekia anterior dan posterior, kekeruhan vtreuus
dan edema makula.11 Manifestasi klinisnya cukup bervariasi, tapi sebagian
besar pasien muncul dengan reaksi COA sedang dengan keratik presipitat
pada endotel kornea dan permukaan anterior lensa. Selain itu, terdapat vitritis
ringan, formasi sinekia dan material lensa di COA ditemukan.

Gambar 6. Glaukoma fakoanafilaktik. Pada gambar fotomikrograf dengan specimen acid- Schiff,
memperlihatkan kapsul yang pecah/ disrupted (tanda panah), dan material lensa (L) dikelilingi
oleh zonal inflammation

4. Glaukoma Fakomorfik
Gejala glaukoma fakomorfik umumnya terbatas pada penurunan visus
sekunder akibat formasi katarak dan myopic shift. Tanda-tanda klinisnya
meliputi perbedaan kedalaman COA, formasi katarak, dan sudut tertutup.
Glaukoma fakolitik disertai dengan pembentukan lensa intumesen yang
besar.
Gambar 7. Glaukoma fakomorfik. Lensa intumesen menyebabkan blok pupil dan
sudut tertutup sekunder pada mata

Gambar 8 Glaukoma fakomorfik, (A) COA biasanya dangkal di sentral dan perifer, kemungkinan
karena tekanan ke depan iris oleh lensa katarak yang membengkak (B) Spesimen patologik,
membandingkan diameter anteroposterior dari lensa intumesen dan lensa normal.

5. Glaukoma Fakotopik
Diagnosis ditegakkan dari gejala dan tanda-tanda klinis. Gejala ektopia
lentis antara lain perubahan visus akibat induced myopia, astigmatisma (rotasi
atau miringnya lensa), refraksi yang bervariasi, dan diplopia monokuler.
Tanda-tanda klinisnya antara lain pemindahan lensa ringan sampai komplit,
zonula abnormal, kelainan sudut bervariasi tergantung posisi lensa dan
prolaps vitreous. Sindroma marfan adalah sindrom yang paling sering
berhubungan dengan ectopia lentis. Kelainan jaringan pengikat ini
dihubungkan dengan abnormalitas produksi fibrilin, kelainan genetik di
kromosom 15 (15q21.1) dan autosomal dominan.
Gambar 9 Ektopia Lentis, dislokasi lensa ke COA melalui pupil yang berdilatasi

2.5.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Tonometri aplanasi
Tonometri aplanasi adalah metode yang sering digunakan untuk
mengukur tekanan intra okuler (TIO).
2. Biomikroskopi
Untuk melihat bagian segmen anterior terutama bilik mata depan
sehingga mendukung atau memprediksi sudut terbuka atau tertutup pada
glaukoma dengan menggunakan slit lamp. Beberapa bagian yang dapat dilihat
melalui pemeriksaan biomikroskopi adalah sebagai berikut.
a. Konjungtiva
Mata dengan peningkatan tekanan intra okuler (TIO) dapat
menunjukkan konjugtiva yang hiperemis. Jika TIO meningkat secara
kronis akan terlihat dilatasi vena episklera yang masif. Penggunaan
simpatotmimetik dan analog prostaglandin dapat menyebabkan injeksi
conjunctiva. Obat antiglaukoma topikal juga dapat menyebabkan
penurunan produksi air mata, reaksi alergi dan hipersensitivitas,
pemendekan forniks konjungtiva dan sikatrik.
b. Episklera dan sklera
Dilatasi pembuluh darah episklera dapat mengindikasikan
peningkatan tekanan vena episklera, sebuah tanda yang dapat ditemui pada
beberapa jenis glaukoma sekunder.
c. Kornea
Pembesaran kornea berkaitan dengan kerusakan membran
Descemets, biasanya ditemukan pada glaukoma didapat. Defek epitel
punctata di bagian inferonasal region interpalpebra sering berhubungan
dengan toksisitas obatobatan. Edema mikrositik epitelial biasanya
berhubungan dengan peningkatan TIO, terutama jika peningkatan TIO-
nya bersifat akut.
d. Kamre okuli anterior
Untuk memperkirakan sudut COA, pemeriksa meletakkan slit beam
sempit di sudut 60o ke arah kornea, tepat di anterior limbus (metode Van
Herick). Jika jarak antara permukaan iris anterior ke permukaan posterior
kornea kurang dari seperempat ketebalan kornea, sudut COA mungkin
sempit. Pemeriksaan yang lebih akurat dapat dilakukan dengan
gonioskopi.
Kelainan di COA yang dapat dilihat antara lain Iris bombe, yakni iris
yang tengahnya dalam namun tepinya bengkak atau datar. Temuan lainnya
seperti masa iris, efusi koroid, atau trauma, dapat membentuk permukaan
iris menjadi tidak teratur dan tidak simetris pada dasar COA. Tanda lain
dapat ditemukan sel- sel inflamasi, sel darah merah, ghost cells, fibrin,
vitreous, dan lain-lain. Derajat inflamasi dapat ditentukan dari banyaknya
flare dan cell.
e. Iris
Temuan klinis pada iris dapat berupa heterokromia, atropi iris, defek
transiluminasi, ectropion iveae, corectopia, nevi, nodul, dan material
eksfoliatif.
f. Lensa
Temuan pada lensa antara lain material yang berhubungan dengan
pseudoeksfoliasi, fakodonesis, subluksasi dan dislokasi, beserta ukuran
lensa, bentuk dan kejernihannya. Benda asing intra okuler dengan siderosis
dan glaukoma mungkin memperlihatkan perubahan pada lensa. Selain itu
keberadaan, tipe dan posisi lensa intraokuler mesti dinilai, beserta kapsul
posteriornya.
g. Fundus
Pemeriksaan fundus yang cermat merupakan bagian penting pada
pemeriksaan glaukoma, temuan yang dinilai yakni patologi segmen
posterior seperti perdarahan, efusi, masa, lesi inflamasi, oklusi
retinovaskuler, retinopati diabetic atau retinal detachments yang dapat
berhubungan dengan glaukoma. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan funduskopi.
3. Gonioskopi
Gonioskopi adalah alat diagnostik esensial dan teknik pemeriksaan
dengan menggunakan visualisasi struktur sudut COA. Gonioskopi diperlukan
untuk melihat sudut COA karena dalam kondisi normal sudut COA tidak
dapat dilihat dengan langsung akibat pembiasan cahaya antara udara dan
permukaan tear film. Gonioskopi dapat digunakan sebagai pemeriksaan
penunjang untuk melihat tipe obstruksi aliran aquos humor di COA.

Metode terbaik untuk menggambarkan sudut COA adalah dengan


menggunakan sistem grading yang telah tersandar. Sistem yang paling sering
digunakan adalah sistem Shaffer dan Spaeth. Sistem ini menggunakan sudut
yang dibentuk antara iris dan permukaan jaringan trabekula sebagai acuan,
antara lain sebagai berikut.
Gambar 9. Shaffer’s sistem dalam menilai besar sudut

4. Pemeriksaan Diskus Optikus


Diskus optikus dapat diperiksa secara klinis dengan optalmoskop
direct, optalmoskop indirect atau biomikroskop slit-lap dengan lensa polus
posterior. Tampilan klinis glaukoma yang dievaluasi pada diskus optikus
antara lain:
a. Tampilan umum
- Besarnya optic cup
- Asimetri dari cups
- Progresifitas pembesaran cups
b. Tampilan fokal
- Kedalaman tepi diskus
- Elongasi vertikal dari cup
- Cupping di margin rim
- Pucat regional
- Splinter hemoragik
- Hilangnya lapisan serabut saraf
c. Tampilan spesifik
- Terpaparnya lamina kribosa
- Pergerseran pembuluh darah ke arah nasal
- Tampaknya pembuluh darah sirkumlinear
- Peripapillary crescent

Gambar 11. Asimetri dari cupping nervus optikus. Tandai pembesaran tampilan umum dari cup di
mata kanan (A) dibandingkan mata kiri (B)

Gambar 12. Elongasi vertical dari cup yang disertai penipisan lokal bingkai neuretinal inferior
pada mata kanan pada pasien dengan glaukoma sedang

Gambar 13. Splinter Hemoragik pada nervus optikus kanan pada arah jam 7 pada pasien dengan
glaukoma sudut terbuka awal
5. Optical coherence tomography
OCT menggunakan interferometri dan koherensi cahaya untuk
mendapatkan potongan melintang struktur biologis mata dengan resolusi
tinggi. OCT dapat mengukur ketebalan serabut saraf.
6. Pemeriksaan lapang pandang
Pemeriksaan standar lapangan pandang adalah menggunakan Perimetri.
Untuk pengelolaan glaukoma, tujuan perimetri adalah untuk mengidentifikasi
lapangan pandang abnormal dan untuk menilai lapangan pandang secara
kuantitatif dalam menuntun perawatan follow up pasien glaucoma.
2.5.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan glaukoma bertujuan untuk
mempertahankan fungsi visual dengan mengendalikan tekanan intraokuler
dan dengan begitu akan mencegah atau menunda kerusakan saraf optik yang
lebih lanjut. TIO yang abnormal memainkan peran penting dalam
terbentuknya neuropati optik glaukomatosa. Meskipun TIO yang tinggi
bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan neuropati optik, namun ini
adalah satu-satunya faktor yang dapat di intervensi.
Pemberian penatalaksanaan secara dini dapat meminimalisasi
terjadinya gangguan penglihatan. Penurunan tekanan intraokular dapat
mencegah terjadinya kerusakan pada nervus optikus. Semakin parah keadaan
glaukoma yang terjadi, maka semakin rendah target TIO yang dibutuhkan
untuk mencegah progresi penyakit.
Penatalaksaan glaukoma sekunder sama dengan penatalaksaan
glaukoma primer, dengan beberapa pengecualian. Penyebab dari glaukoma
tersebut harus ditemukan. Misalnya pada glaukoma uveitis terapi steroid
topikal, intraokular dan sistemik digunakan untuk menatalaksana proses
inflamasi, sedangkan analog prostaglandin biasanya dihindari karena
berpotensi menyebabkan eksaserbasi inflamasi.
Pengobatan medikamentosa pada glaukoma.
1. Analog Prostaglandin
Larutan bimatoprost 0,003%, Latanoprost 0,005% dan Travoprost
0,004%, masing-masing sekali setiap malam, dan larutan Unoprostone 0,15%
empat kali sehari.
Analog prostaglandin mengurangi TIO dengan meningkatkan aliran
keluar dari mata melalui rute uveoskleral, dengan meningkatkan celah
diantara otot korpus siliare.
Latanoprost dan travoprost mengurangi TIO sebesar 25-32%.
Lantanoprost lebih efektif jika digunakan pada malam hari. Efek samping dari
golongan obat ini adalah iris dan kulit periokular yang menjadi gelap akibat
peningkatan melanosom dalam melanosit. Efek samping pigmentasi iris ini
bersifat permanen. Efek samping lainnya berupa hypertrichosis, trichiasis,
tumbuhnya rambut pada wajah, gatal, hiperemis konjungtiva. Efek samping
sistemik yaitu, sakit kepala dan gejala-gejala saluran nafas atas.
Kontraindikasi dari golongan obat ini adalah riwayat menderita uveitis,
operasi katarak dengan komplikasi, keratitis, dan herpes simpleks.
2. Antagonis B adrenergik
β blocker mengurangi TIO dengan menghambat produksi cAMP di
epitel siliar, sehingga mengurangi sekresi akuos humor 20%-30%. Contoh
golongan obat ini adalah Timolol, Carteolol, Levobunolol, Metipranolol, dan
Betaxolol. Dosis biasanya berkisar antara 0,25-1%, digunakan 4 kali sehari.
Efek ini muncul dalam 1 jam setelah penggunaan dan bertahan hingga 4
minggu setelah penggunaan obat dihentikan. Bukti menunjukkan bahwa β
blocker menurunkan produksi akuos lebih banyak pada siang hari dibanding
saat tidur. Saat penyerapan sistemik terjadi, TIO pada mata kontralateral juga
dapat menurun. Contoh sediaan Non selektif Timolol maleate (timoptic),
konsentrasi 0,25%, 0,5% dan dosis pemakaian 4 kali sehari. Efek samping
pada mata: kekaburan, iritasi, anestesi kornea, keratitis punctate, alergi.
Contoh sediaan non selektif lainnya Timolol-LA (istalol), Timolol
hemihydrate (betimol), Levobunolol (betagan), Metipranolol (optipranolol),
dan Carteolol hydrochloride (ocupress). Contoh sediaan β Blocker selektif
adalah betaxolol dengan konsentrasi 0,25% dan dosis pemakaian 2 kali sehari,
efek samping pada mata: kekaburan, iritasi, anestesi kornea, keratitis
punctate, alergi, efek samping sistemik: komplikasi paru-paru.
Timolol 0,25% sama efektifnya dengan timolol 0,5% dalam
mengurangi TIO. Sebagian besar B blocker digunakan dua kali perhari. Efek
samping sistemik dari B blocker yaitu bronkospasme, bradikardi, blok
jantung, hipotensi dan depresi SSP.
3. Parasimpatomimetik
Miotik memiliki efek kontraksi sfingter iris, menyebabkan pupil
menjadi lebih kecil. Golongan obat parasimpatomimetik telah digunakan
sebagai terapi glaukoma selama lebih dari 100 tahun, terbagi menjadi 2
kelompok:
- Direct acting cholinergik agonist
- Indirect-acting anticholinesterase agents
Direct acting cholinergik agonist mempengaruhi motor end plate
dengan cara yang sama seperti asetilkholin yang di transmisikan pada post
ganglion parasimpatetik junction, bekerja langsung pada serat otot sfingter
pupil. Indirect acting anticholinesterase agents menghambat enzim
asetilkholin esterase sehingga memperpanjang kinerja asetilkholin, sehingga
menyebabkan miosis secara tidak langsung. Kedua agen tersebut mengurangi
TIO dengan menyebabkan kontraksi otot siliare longitudinal sehingga
mengencangkan trabekular meshwork dan meningkatkan aliran keluar akuos
humor. Agen tersebut dapat menurunkan TIO 15%-25%, indikasi dari terapi
miotik ini adalah untuk terapi jangka panjang pada pasien glaukoma sudut
terbuka dan terapi profilaksis untuk glaukoma sudut tertutup.
Agen miotik dapat menimbulkan efek samping ablatio retina, katarak
(Indirect-acting). Karena obat indirect-acting lebih berpotensi menimbulkan
efek samping okular dan sistemik, maka obat yang bersifat direct acting lebih
sering digunakan. Pilokarpin adalah agen direct acting yang paling banyak
digunakan Pilokarpin, mempunyai konsentrasi 0,2- 10% dan dosis pemakaian
2-4 kali sehari. Efek samping pada mata : sinekia posterior, keratitis, miosis,
miopia. Efek sistemiknya: meningkatkan salivasi, meningkatkan sekresi
gaster.
Contoh golongan obat parasimpatomimetik indirect yaitu fisostigmin
(0,25% dan 0,5% empat kali sehari), Demercarium Bromide, Echothiophate
Iodine (phospholine iodide). Obat ini mempunyai konsentrasi 0,125% dan
dosis pemakaian 2-4 kali sehari. Cara kerja: meningkatkan aliran trabekular
dan menurunkan TIO sebesar 15-25%. Efek samping yang pada mata: miopia,
katarak, epifora. Efek samping sistemik: meningkatkan salivasi,
meningkatkan sekresi gaster.
4. Inhibitor anhidrase karbonat
Inhibitor anhidrase karbonat menurunkan pembentukan akuos humor
dengan aktivitas antagonis direk terhadap enzim karbonik anhidrase pada
epitel siliar. CAI sistemik dapat diberikan secara oral, intramuskular dan
intravena dan banyak digunakan pada situasi akut. Asetazolamide dan
metazolamide sistemik adalah contoh CAI yang paling sering digunakan.
Metazolamide mempunyai waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan asetazolamide. Efek samping dari CAI sistemik tergantung
kepada dosis, contohnya penurunan berat badan, nyeri abdomen, diare dan
lain-lain. Metazolamide (metazane) menurunkan produksi akuos dan
menurunkan TIO sebesar 15-20%. Efek samping sistemik: asidosis, depresi,
latargi dan lainlain. digunakan pada dosis 25-50mg sebanyak 2-3 kali sehari.
Asetazolamide (diamox) dapat dimulai pada dosis 62,5 mg setiap 6jam, atau
lebih tinggi jika dapat ditoleransi (125 dan 250 mg dan dosis pemakaian 2-4
kali sehari). Cara kerja: menurunkan produksi akuos dan menurunkan TIO
sebesar 15-20%. Efek samping sistemik: asidosis, depresi, latargi.
Contoh CAI topikal yaitu Dorzolamide dan Brinzolamide. Dorzolamide
(trusopt), obat ini mempunyai konsentrasi 2% dan dosis pemakaian 2-3 kali
sehari, efeknya: osmotic gradient dehydrates vitreous dan menurunkan TIO
sebesar 1520%. Efek samping pada mata: miopia, penglihatan kabur,
keratitis, konjungtuvitis. Pada pasien yang telah mendapatkan terapi CAI oral
tidak perlu lagi mendapatkan terapi CAI topikal. Efek samping dari CAI
topikal adalah visus yang kabur dan keratopati pungtata.
5. Agonis adrenergik
Agonis adrenergik non selektif yaitu epinefrin dan dipivefrin
meningkatkan arus keluar trabekular dari uveosklera. Arus keluar uveosklera
dipengaruhi oleh epinefrin yang menginduksi sintesis prostaglandin.
Menariknya agen terkait epinefrin mungkin meningkatkan produksi akuos
pada awalnya namun dengan penggunaan jangka panjang justru menurunkan
produksi. Epinefrin mempunyai konsentrasi 0,25%, 0,5%, 1%, 2% dan dosis
pemakaian 2 kali sehari. Cara kerjanya meningkatkan aliran akuos dan
menurunkan TIO sebesar 15-20%. Efek samping pada mata: iritasi,
konjungtiva hiperemis, retraksi kelopak mata, midriasis. Efek samping
sistemik: hipertemsi, sakit kepala, ekstrasistole.
Dipivefrin adalah prodrug yang akan ditransformasi menjadi epinefrin
oleh enzim esterase di kornea. Dipivefrin memiliki kemampuan penetrasi
kornea yang lebih baik daripada epinefrin. Penggunaan agen-agen ini sering
menyebabkan dilatasi pupil sebagai konsekuensi aksi α agonis yang
menstimulasi reseptor norepinefrin yang mungkin mempresipitasi sudut
tertutup pada individu tertentu. Kini agen adrenergik non selektif telah
digantikan dengan agonis α2 adrenergik yang selektif karena efektifitas yang
lebih tinggi dan efek samping yang lebih sedikit. Efek agonis α1 adrenergik
pada mata terdiri dari vasokonstriksi, dilatasi pupil, retraksi kelopak mata,
sedangkan efek agonis α2 adrenergik berupa pengurangan TIO dan bersifat
neuroprotektif. Apraklonidin dan brimonidin merupakan contoh agonis α2
adrenergik yang telah dikembangkan menjadi terapi glaukom. Apraclonidin
HCl (iopidin), Obat ini mempunyai konsentrasi 0,5%, 1% dan dosis
pemakaian 2-3 kali sehari. Cara kerjanya dengan menurunkan produksi
akuos, menurunkan tekanan vena episkleral dan menurunkan TIO sebesar 20-
30%.
Efek samping pada mata: iritasi, iskemia, alergi, retraksi kelopak mata,
konjungtivitis folikularis. Efek samping sistemik: hipotensi, kelelahan,
hidung dan mulut kering, vasovagal attack. Brimonidine tartrate 0,2%
(alphagan), Obat ini mempunyai konsentrasi 0,2% dan dosis pemakaian 2-3
kali sehari. Cara kerjanya dengan menurunkan produksi akuos, meningkatkan
alairan uveoskleral dan menurunkan TIO sebesar 20- 30%. Efek samping
yang pada mata : kekaburan, edem kelopak mata, kekeringan, sensasi benda
asing. Efek samping sistemik adalah sakit kepala, hipotensi, kelelahan,
insomnia.
6. Agen hiperosmotik
Agen hiperosmotik digunakan untuk mengontrol episode akut dari
peningkatan TIO. Agen hiperosmotik yang sering digunakan contohnya
mannitol intravena dan gliserin oral. Mannitol parenteral (osmitrol), obat ini
mempunyai konsentrasi 20% soln dan 50% soln dan dosis pemakaian
2gr/kgBB. Efeknya: osmotic gradient dehydrates vitreous dan menurunkan
TIO sebesar 15-20%. Efek samping pada mata: TIO rebound. Efek samping
sistemik: retensi urin, sakit kepala, gagal jantung kongestif. Saat diberikan
secara sistemik agen hiperosmotik menurunkan TIO dengan meningkatkan
osmolaritas darah, sehingga menciptakan gradien osmotik antara darah dan
vitreus humor, mengalirkan air dari kavitas vitreus dan menurunkan TIO.
Semakin besar dosis dan semakin cepat pemberian maka semakin besar pula
penurunan TIO. Jika blood aquos barrier terganggu maka agen osmotik akan
memasuki mata lebih cepat dibanding jika barrier nya intak, sehingga durasi
kerja obat dan efektifitas obat berkurang. Efek samping dari obat ini berupa
sakit kepala, bingung, CHF akut, infark miokard dan lain-lain.

Terapi Glaukoma akibat Lensa


1. Glaukoma fakolitik
Terapi nya adalah pemberian obat-obatan untuk mengontrol TIO,
namun terapi definitif adalah ekstraksi katarak
2. Glaukoma partikel lensa
Terapi medis untuk mengontrol TIO diberikan setelah operasi
ekstraksi katarak, sambil menunggu residu material lensa diserap.Terapi
yang diberikan adalah obat yang menurunkan pembentukan akuos,
midriatik untuk menghambat pembentukan sinekia posterior, dan
kortikosteroid topikal untuk mengurangi inflamasi. Jika glaukoma tetap
tidak terkontrol maka dibutuhkan pengambilan material lensa tersebut.
3. Glaukoma fotoantigenik
Glaukoma Phakoantigenic diterapi secara medikamentosa dengan
menggunakan kortikosteroid dan obat yang menurunkan pembentukan
akuos, untuk mengurangi inflamasi dan TIO. Jika tidak berhasil residu
material lensa harus diangkat.
4. Flaukoma fakomorfik
Terapi yang dibutuhkan adalah iridektomi laser diikuti dengan
ekstraksi katarak. Pada banyak kasus, iridektomi tidak terlalu dibutuhkan
jika pembedahan katarak sudah direncanakan dalam waktu dekat.
5. Glaukoma fakotopik
Dua Iridektomi laser yang terpisah sebesar 180o merupakan terapi
yang dibutuhkan untuk membebaskan blok pupil sementara sampai
dilakukan terapi definitif berupa lensektomi. Ekstraksi lensa biasanya
diindikasikan untuk mengurangi blok lensa yang berulang dan mencegah
glaukoma sudut tertutup kronik.
2.5.8. Komplikasi
Jika tidak ditatalaksana dengan baik, maka peninggian TIO yang lama
dapat mengakibatkan komplikasi yaitu.
− Ulkus kornea : akibat udem yang lama, hingga dapat menyebabkan perforasi
− Pembentukan stafiloma : akibat peningkatan TIO yang kontinyu, sklera
menjadi sangat tipis dan atrofi, hingga akhirnya menonjol ke luar ke regio
siliaris (ciliary staphyloma) maupun regio ekuator (equatorial staphyloma).
− Atrofi bulbi: Akhirnya, terjadi degenerasi korpus siliaris, TIO jauh
menurun, dan bola mata menyusut pigmentasi pada episklera/sklera.
BAB III
KESIMPULAN

Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik yang ditandai oleh


pencekungan (cupping) diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang; biasanya
disertai peningkatan tekanan intraokular. Glaukoma sekunder merupakan jenis
glaukoma yang penyebabnya sudah diketahui. Penyebab glaukoma sekunder salah
satunya adalah glaukoma yang disebabkan gangguan pada lensa, sehingga disebut
dengan lens induced glaucoma. Keadaan patologis pada lensa ini dapat
menyebabkan glaukoma sudut terbuka maupun tertutup, dan seringkali kombinasi
keduanya. Glaukoma sudut terbuka pada umumnya terjadi karena penyumbatan
dari sistem drainase aquous humor dengan material lensa dan debris inflamasi.
Yang termasuk dalam golongan ini antara lain: phacolytic glaucoma, lens particle
glaucoma, dan phacoanaphylactic glaucoma. Pada glaukoma sudut tertutup, lensa
secara langsung mengakibatkan penutupan sudut secara mekanik. Hal ini terjadi
pada intumescent lensa dalam phacomorphic glaucoma atau pada subluksasi atau
dislokasi lensa dalam ectopia lentis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riwa AJ, Rahmadi A, Utami AP, Putra SP. Lens Induced Glaucoma. Bagian
Ilmu Kesehat Mata RSUP Dr M Djamil Padang FK Unand [Internet]. 2013;1–
40. Available from: http://www.alcon.com/features/at-risk-for-
glaucoma.aspx
2. Ilyas S. Penglihatan Turun Perlahan tanpa Mata Merah. Vol. 3, Ilmu Penyakit
Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
3. Rachmawati D. Karakteristik Pasien Glaukoma Sekunder Di Rumah Sakit
Khusus Mata Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2012 dan 2013. Skripsi. 2014;
4. Rijal A, DB K. Visual Outcome and IOP Control After Cataract Surgery in
Lens Induce Glaucoma. Kathmandu Univ Med J. 2006;4(1).
5. Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC; 2010.
6. Lawrenson, G J. Glaucoma Identification and Co-Management. Elsevier.
2007;
7. Rich R. American Academy of Ophthalmology. Basic Clin Sci Course. 2012;
8. American Academy of Ophtalmology. Lens And Cataract. 2010;5–9.
9. American Academy of Opthalmology. Secondary Open-Angle Glaucoma.
2010;(11):108.
10. NJ F, PK K. The Massachusetts Eye and Ear Infirmary Illustrated Manual of
Ophtahalmology. Elsevier Inc. 2009;3:314–5.
11. JC M, IP P. Glaucoma. Sci Pract. 2003;261–71.
12. American Academy of Ophtalmology. Glaucoma. Basic Clin Sci Course Sect
10. :169– 217.
13. Crick, Khaw. A Textbook Of Clinical Ophthalmology. 3rd ed. Singapore:
FuIsland Offset Printing; 2003.

Anda mungkin juga menyukai