Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

PTERYGIUM

Ol
e h:

Syahdah Iksiroh Al Husnah (22710004)


Nafasya Ainayya Putri Fanani (22710061)

Pembimbing :
dr. Tri Muliasih, Sp.M

SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
RSUD DR WAHIDIN SUDIRO HUSODO MOJOKERTO
2023

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT PTERYGIUM

Oleh:

Syahdah Iksiroh Al Husnah (22710004)


Nafasya Ainayya Putri Fanani (22710061)

Telah disetujui dan disahkan pada


Hari :
Tanggal :

Dokter Pembimbing

dr. Tri Muliasih, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan referat yang
berjudul “Pterygium”.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. Tri Muliasih,
Sp.M Selaku pembimbing dibagian Opthamology RSUD Dr. Wahidin Mojokerto
dan rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan referat selanjutnya.
Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para
pembaca dan rekan-rekan sejawat.

Mojokerto, 09 Februari 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................iv
BAB I....................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................1
BAB II...................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi..........................................................................................2
2.2 Fisiologi..........................................................................................4
2.3 Definisi...........................................................................................5
2.4 Epidemologi....................................................................................5
2.5 Klasifikasi.......................................................................................6
2.6 Faktor Risiko..................................................................................7
2.7 Patofisiologi....................................................................................8
2.8 Gejala Klinis...................................................................................9
2.9 Diagnosis......................................................................................10
2.10 Diagnosis Banding........................................................................10
2.11 Tatalaksana...................................................................................11
2.12 Komplikasi....................................................................................13
2.13 Prognosis......................................................................................14
2.14 Edukasi.........................................................................................14
BAB III................................................................................................15
KESIMPULAN...................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................16

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan suatu pertubuhan fibrovaskular berbentuk sayap di


konjungtiva bulbar, hal ini merupakan kondisi oftalmik kronis yang umum.
Meskipun pterigium umumnya dianggap sebagai masalah jinak dan kosmetik,
tanpa perawatan yang tepat, hal itu dapat menyebabkan kerusakan visual yang
signifikan atau bahkan berpotensi kebutaan pada keadaan ekstrim. Etiologi dan
patogenesis pterigium tidak pasti. Terdapat study menunjukkan bahwa usia yang
lebih tua, jenis kelamin pria dan pendudukan di luar ruangan mungkin merupakan
faktor risiko terjadinya pterygium. Selain itu, survei epidemiologi menunjukkan
bahwa daerah tropis cenderung menunjukkan tingkat pterygium yang lebih tinggi,
variasi geografik ini dapat mengungkapkan hubungan positif antara paparan
radiasi ultraviolet dan adanya pterigium. 1
Pterigium terbagi menjadi kepala yang tumbuh mengarah ke kornea anterior,
leher yang mencakup limbus superfisial, dan tubuh yang melapisi sklera.
Pterigium dapat mengganggu penglihatan bila berkembang terus menerus serta
mempengaruhi kosmetik. Penatalaksanaan pterigium adalah tindakan operatif,
namun setelah tindakan operatif tidak menghilangkan kemungkinan muncul
kembalinya pterigium. Pertumbuhan pterigium rekuren setelah operasi lebih
agresif dibandingkan pertumbuhan primernya.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
goblet, yang berfungis untuk membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva
terdiri dari (i)konjungtiva tarsal/palpebra yang menutupi tarsus dan suakr
digerakan dari tarsus, (ii)konjungtiva bulbi yang menutupi sklera dan mudah
digerakan dari sklera dibawahnya, dan (iii)konjungtiva forniks yang merupakan
peralihan konjungtiva tarsal ke bubar.3

Gambar 2.1. Anatomi Konjungtiva (Ilyas S., 2015)


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm, dibungkus oleh
3 lapisan sklera, uvea dan retina. Sklera terdiri dari jaringan ikat kenyal yang
memberi bentuk pada bola mata. Bagian terluar berfungsi untuk melindungi bola
mata, dan bagian anteriornya merupakan kornea. Sklera berhubungan erat dengan
kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut dengan limbus. Sklera berjalan dari
papil saraf kedepan hingga kornea. Tebal sklera kurang lebih 1 mm, dan memiliki
kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata,
kekauan sklera dapat meningkat pada penyakit DM, dan menurun pada penyakit
eksoftalmus goiter, miotika, dan banyak minum air.3
Kornea merupakan selaput bening mata, yang tembus cahaya yang terletak
pada anterior mata. Kornea dipersarafi banyak saraf sensorik dan terdiri dari 5
lapisan yaitu, (i)epitel, (ii)membran bowman, yang merupakan kolagen dan tidak
memiliki daya regenerasi, (iii)stroma, merupakan 90% penyusun tebal kornea,

2
(iv)membran descement, aselular, sangat elastis, dan memiliki tebal 40 μm,
(v)endotel, berasal dari mesotelium, berlapis satu dan berbentuk hexagonal.3
Uvea merupakan lapisan vaskular didalam bola mata yang terdiri dari iris,
badan siliar, dan koroid. Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis
masuknya sinar kedalam bola mata. Reaksi pupil ini juga merupakan indikator
untuk fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis) pupil. Badan siliar
merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem ekskresi dibelakang
limbus. Radang badan siliar akan mengakibatkan melebarnya pembuluh darah di
daerah limbus yang mengakibatkan mata merah.3
Lensa mata berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa didalam
mata dan bersifat bening. Lensa didalam bola mata terletak dibelakang iris yang
terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan
menipis saat terjadinya akomodasi. Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks
dan terletak didalam bilik mata belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel
lensa yang membentukserat lensa didalam kapsul lensa. Bagian sentral lensa
merupakan serat lensa yang paling dahulu di bentuk atau serat lensa tertua
didalam kapsul lensa, dibagian luarnya merupakan serat lensa yang leibh muda
yang disebut sebagai korteks lensa. Dibagian perifer kapsul lensa terdapat zonula
zinn yang menggantungkan lensa di seluruh equatornya pada badan siliar.3

Gambar 2.2 Anatomi Bola Mata (Ilyas S., 2015)


Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima
rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan koroiddengan sel pigmen epitel retina,
dan terdiri atas lapisa (i)fotoreseptor, (ii)membran limitan eksterna, (iii)lapisan
nukleus luar, (iv)lapisan pleksiform luar, (v)lapisan nukleus dalam, (vi)lapisan

3
pleksiform dalam, (vii)lapisan sel ganglion, (viii)lapisan serabut saraf, dan
(ix)membran limitan interna.3

2.2 Fisiologi

Gambar 3. Fisiologi Penglihatan (Ilyas S., 2015)


Rangsangan cahaya masuk dan menembus kornea, kemudian melewati COA,
pupil dan ke lensa, di lensa terjadi pengaturan fokus agar cahaya tepat jatuh pada
retina. Dari lensa cahaya menuju vitreus humour dan akhirnya jatuh pada retina.
Pada retina terdapat lapisan fotoreseptor yang terdiri dari sel batang dan kerucut,
dimana terjadi perubahan dari cahaya menjadi impuls listrik dan diteruskan
kepada korteks penglihatan primer.4

4
Gambar 2.4. Jaras Penglihatan (Ilyas S., 2015)
2.3 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada daerah celah kelopak
bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk
segitiga dengan puncak dibagian central. Pterygium dibagi menjadi tiga bagian
yaitu body, apex (head) dan cap. bagian segitiga yang meninggi pada pterygium
dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut
apex dan ke belakang disebut cap. 3
Pterigium menginvasi kornea, dan melibatkan membrana bowman serta
stroma superficial, kerusakan lapisan tersebut ditutupi oleh epitel konjungtiva.5

2.4 Epidemologi
Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering yang merupakan karakteristik dari daerah di sekitar
khatulistiwa. Di populasi, prevalensi pterigium bervariasi, mulai 1,2% di daerah
perkotaan pada penduduk berkulit putih, sampai 23,4% pada populasi berkulit
hitam di Barbados. 4
Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata didapatkan 3,2%
sedangkan pterigium pada satu mata 1,9% dengan prevalensi yang meningkat
dengan bertambahnya umur. Hasil survei kebutaan dan kesehatan mata oleh Sirlan
dan Agustian di Jawa Barat tahun 2005, pterigium dengan angka prevalensi

5
19,3% mendominasi angka morbiditas mata bersama kelainan refraksi (58%) dan
katarak (22,8%) pada populasi kelompok umur 40 tahun ke atas. 4
Tingkat kekambuhan pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % - 52
%. 3 Data di RSCM angka kekambuhan pterigium mencapai 65,1 % pada
penderita dibawah umur 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. 4
Pterigium rekuren mempunyai definisi penting oleh karena pterigium
berulang tanpa harus menyerang kornea, hanya memvisualisasikan perubahan
konjungtiva seperti kongesti pembuluh darah dan penebalan, perubahan itu akan
cukup untuk memperingati kita dari awal kekambuhan baru. Masalah lainnya
adalah interval dari operasi pertama dan kekambuhan. Sekitar 90% dari
kekambuhan terjadi antara bulan pertama dan ketiga. 4
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya dapat dibagi menjadi: (i)pterigium
progresif, tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat didepan kepala pterigium,
(ii)pterigium regresif, tipis, atrofi, sedikit vaskular, akhirnya menjadi bentuk
membran namun tidak pernah hilang.5

Gambar 2.5. Klasifikasi Pterigium (Maharani et al., 2019)


Berdasarkan derajatnya pterigium dibagi menjadi: (i)derajat 1, bila pterigium
terbatas pada limbus kornea, (ii)derajat 2, jika pterigium sudah melewati limbus
tapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, (iii)derajat 3, sudah melebihi derajat 2
namun tidak melebihi tepi pupil pada keadaan cahaya normal (3-4 mm),
(iv)derajat 4, pterigium sudah melewati pupil dan mengganggu penglihatan.6

6
Gambar 2.6. Derajat Pterigium (Maharani et al., 2019)
2.6 Faktor Risiko
a) Sinar UV
Semua individu yang terkena sinar UV, yang menghasilkan spesies
oksigen reaktif (ROS) dari permukaan okular. Paparan berlebihan diyakini
secara luas menjadi penyebab pterygium terjadi. Namun, beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pterygium mungkin jarang terjadi
pada orang yang sangat terpapar atau, paparan rendah mungkin sering
terjadi pada pasien pterygium. Paparan sinar matahari yang berlebihan
mungkin juga terkait dengan kekambuhan pterygium setelah operasi.
Paparan sinar matahari yang berlebihan telah berkorelasi dengan
degenerasi kolagen. Degenerasi kolagen mungkin ada pada pterigium
primer namun, beberapa pterigium primer mungkin tidak menunjukkan
degenerasi kolagen secara histologis.2

b) Usia

7
Individu di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi
pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49.7
c) Herediter
Predisposisi herediter terhadap perkembangan pterygium telah diakui,
namun, hal ini kurang mendapat perhatian. Cara pewarisan telah
dilaporkan dominan autosomal berdasarkan studi terhadap satu atau dua
keluarga. Hal ini sesuai dengan hukum Mendel maupun tidak. Warisan
Mendelian bisa dominan secara autosomal, resesif autosomal atau terkait
jenis kelamin. Warisan Non Mendel mungkin multifaktorial atau
mitokondria. Mode pewarisan mode mendel dan multifaktorial melibatkan
gen yang terletak di nukleus. Fenotip pada pewarisan dominan autosomal
ditentukan oleh alel tunggal yang cacat, yang dominan. Menurut prinsip
Mendelian, apakah satu atau kedua orang tua terpengaruh, keturunannya
memiliki kemungkinan 50% terkena dampak karena individu yang cacat
homozigot sangat terpengaruh sehingga mereka binasa sebelum kelahiran
atau awal kehidupan.2
d) Faktor lainnya
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis
dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya pterigium angiogenesis
factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium.7
2.7 Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya
bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva

8
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke
meatus nasi inferior.
Pemaparan dari sinar UV yang terus menerus menyebabkan kerusakan atau
disfungsi pada limbal basal stem cell (terjadi mutagen P53), dimana fungsi dari
limbal basal stem cell ini adalah sebagai sumber regenerasi kornea. Kerusakan
tersebut membuat produksi transformating growth factor β meningkat tanpa
disertai apoptosis, terjadi 3 hal akibat peningkatan TGF-β, yaitu (i)regulasi
kolegenase, (ii)terjadi angiogenesis, dan (iii)terjadi migrasi sel. Ketiga hal
tersebutmengarah kepada degenerasi kolagen dan membentuk jaringan
fibrovaskular, semakin lama jaringan fibrovaskular semakin besar hingga
menembus lapisan kornea membrana bowman. Selain menginduksi TGF-β yang
diakibatkan peningkatan ROS (reaktif oxygen species), sinar UV juga
menginduksi growth factor lainnya seperti fibroblast growth factor, PDFG,
VEGF, CTGF, HBGF pada epitel konjungtiva dan fibroblast kornea yang
berujung pada pertumbuhan jaringan fibrovaskular.2
Peningkatan ROS yang diakibatkan paparan sinar uv juga mengakibatkan
peningkatan sitokin proinflamasi seperti PGE-2, COX-2, IL-8 melalui
peningkatan metabolisme lemak.2
2.8 Gejala Klinis
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan
mata iritatif, mata merah, dan gangguan penglihatan. Pterigium dapat pula disertai
dengan keratitis pungtata atau keratitis dellen, serta garis besi (stocker line) yang
terletak di ujung pterigium. Pada pemeriksaan segmen anterior mata didapatkan
jaringan fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh secara abnormal berbentuk
seperti sayap (wing shape). gangguan visual dapat terjadi apabila jaringan
fibrovaskular sudah menutupi aksis visual atau terdapat astigmatisma.3

Gambar 2.7. Stocker line (Anguria et al.,2014)

9
2.9 Diagnosis
Diagnosis pterigium dapat dilihat dari anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik. Umumnya akan bersifat asimptomatik, namun pasien dapat
datang dengan keluhan mata merah, tanpa adanya penurunan penglihatan (Sarkar
and Tripathy, 2022; Aminlari et al., 2010). Perlu digaris bawahi bahwa pterigium
dapat menyebabkan penurunan penglihatan, pada pterigium derajat 4 (Lestari et
al., 2017). Pasien dapat juga mengeluhkan gejala iritasi mata (lakrimasi, perasaan
adanya benda asing, gatal dan perasaan terbakar. Selain keluhan utama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan, paparan material iritan (sinar UV, debu, dan udara), riwayat
penyakit dahulu, riwayat tindakan invasif pada mata, serta riwayat keluarga juga
dapat membantu menegakkan diagnosis pterigium.2
Pemeriksaan mata diawali dengan pemeriksaan visus. Pada awalnya
didapatkan hasil normal 6/6, namun jika semakin memberat dan menutupi visual
axis akan menyebabkan penurunan visus dan berisiko alami astigmatisme (Sarkar
and Tripathy, 2022; Aminlari et al., 2010). Pemeriksaan permukaan mata dengan
inspeksi langsung pada mata akan tampak adanya pertumbuhan jaringan abnormal
berbentuk segitiga pada konjungtiva pasien yang mengarah ke medial (kornea)
(Sarkar and Tripathy, 2022; Aminlari et al., 2010).2
2.10 Diagnosis Banding
a. Pinguecula
Pinguecula (berasal dari bahasa latin pinguis, yang berarti lemak)
mewakili area penebalan konjungtiva bulbar yang berdampingan dengan
limbus di area fisura palpebra. pinguecula kurang transparan bila dibanding
konjungtiva normal pada umumnya dan sering memiliki penampilan yang
berlemak. bentuk pinguecula biasanya bilateral, segitiga, meninggi,
berwarna putih ke-kuning-an, berorientasi horizontal, dan terletak lebih
sering di area nasal daripada temporal. Pinguecula juga dapat muncul di
konjungtiva mata daerah nasal dan temporal secara bersamaan pada beberapa
pasien (Dundar & Kocasarac, 2019).

10
Gambar 2.8 Pinguecula (Lestari., 2017)
b. Pseudopterygium
Pseudopterygium disebut juga sebagai pterygium cicatricial yang
muncul dari penghancuran epitel kornea marginal melalui trauma, luka
bakar atau peradangan. Konjungtiva yang berdekatan bermigrasi ke
daerah yang terluka dan menetap membentuk pseudopterygium.
Pseudopterygium dapat muncul dan berkembang pada titik mana pun
dari lingkar kornea (Rodrigues- Ausin et al., 2016).

Gambar 2.9 Pseudopterygium (Lestari., 2017)


2.11 Tatalaksana
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan
pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatis
irreguler atau jaringan fibrovaskular sudah menutupi media penglihatan.3
1. Medikamentosa
Bila terdapat tanda radang dapat diberikan air mata buatan dan steroid.
Bila terdapat Dellen (lekukan kornea) air mata buatan dapat diberikan dalam
bentuk salep. Dapat juga diberikan vasokonsriktor namun perlu kontrol dalam
2 minggu dan pengobatan dihentikan. Penggunaan mitomicin C 0,02% local
hanya digunakan untuk rekuren pterigium.3,5
2. Bedah
Indikasi pembedahan pada pterigium antara lain :

11
a) menjalar ke kornea sampai lebih dari 3mm dari limbus
b) mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
c) sering menyebabkan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatisme
d) kosmetik, terutama pada wanita
Pembedahan pterigium dapat dilakukan dengan berbagai teknik
diantaranya teknik limbal conjungtival autograft, bare sclera technique,
trasplantation operation (Mc Reynold), subconjungtival dissection and
excision. Eksisi dengan teknik autograft merupakan teknik pilihan dan
dapat menurunkan angka kekambuhan sebesar 50%.5
Teknik Bare Sclera melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium,
dan memungkinkan sklera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24% dan 89%. Teknik autograft melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbi superotemporal, dan dijahit di atas sklera
yang telah dieksisi pterigium tersebut.

(a) (b)
Gambar 2.10. (a) Teknik Bare Sclera, (b) Teknik Autograft (Data J, 2013)

12
2.12 Komplikasi
Pterygium dapat menyebabkan terjadinya komplikasi meliputi :
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut :
1) Pra-operatif:
a) Astigmatisme
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah
astigmatisme karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta terdapat
pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan
dengan adanya astigmatisme. Mekanisme pendataran itu sendiri belum
jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak kornea dan
peninggian pterygium. Astigmatisme yang ditimbulkan oleh pterygium
adalah astigmatisme “with the rule” dan iireguler astigmatisme.
a) Kemerahan
b) Iritasi
c) Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
d) Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan
dan  menyebabkan diplopia
2) Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen
(thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan
eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara
umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan .
3) Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea,
graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan
ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia
atau nekrosis sklera dan kornea
3. Pterygium rekuren

13
2.13 Prognosis
Pterygium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya
prognosis baik, namun memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sehingga
setelah prosedur operasi umumnya pasien akan diberikan terapi adjuvant.
Jenis terapi adjuvant yang dapat digunakan adalah kombinasi operasi dan
sitostatik tetes mata atau beta iradiasi dan pemasangan MMC pada badan
sklera.
2.14 Edukasi
Lindungi mata yang terdapat pterigium dari sinar matahari, debu, dan
udara kering dengan kacamata pelindung.3

14
BAB III
KESIMPULAN

Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada daerah celah kelopak
bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk
segitiga dengan puncak dibagian central.
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor
herediter.
Keluhan yang sering dialami pasien antara lain mata tampak merah, merasa
seperti ada benda asing, timbul astigmatisme dan pada pterigium yang lanjut
(derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam
penglihatan menurun.
Penatalaksanan dapat berupa tindakan konservatif dengan obat-obatan
maupun tindakan pembedahan, tindakan pembedahan pilihan yang disarankan
adalah eksisi dengan autograft dimana kemungkinan kekambuhannya lebih rendah
dibanding teknik lainnya. Secara keseluruhan pterigium mempunyai prognosis
baik.

15
DAFTAR PUSTAKA
Song P, Chang X, Wang M, An L. 2017. Variation of Pterygium by Age, Gender,
Geograpic Characteristics in China: A Systematic Review and Meta-
analysis . Plos One. 12(3): 1-11. DOI:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0174587
Lestari D.J.T, Sari D.R., Mahdi P.D., Himayani R. 2017. Pterigium Derajat Iv
Pada Pasien Geriatri. Medical Journal Of Lampung University. 7(1):
20-25
Anguria p, Kitinya J, Nuli S, Carmichael T. 2014. The Role of Heredity in
Pterigium Development. Int J Ophthalmol. 7(3): 563-73
Ilyas S, Yulianti SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata Ed. 5. Jakarta: 2015. FKUI
Maharani RN, Syawal RS , Pagarra H , Seweng A. 2019. Ekspresi Gen P53 Pada
Pterigium Primer Dan Pterigium Rekuren . Green Medical Journal. 1(1)
: 1-9
Data J,Chakraborti C. 2013. Sure Success in Ophthalmology Viva Voce &
Practical Examination. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers
Sherwood L,. FISIOLOGI MANUSIA ed.6. In: Yesdelita, N (editor). Jakarta:
EGC, 2009: 669-75.
Suharjo. 2007. Ilmu Kesehatan Mata edisi I. Yogyakarta: Bagian ilmu penyakit
mata FK UGM.
Tradjutrisno, N. Pterygium: Degeneration, Exuberant Wound Healing or Benign
Neoplasm. Universa Mediana. 2009: 28 (3) ; 179- 187

16

Anda mungkin juga menyukai