Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

UVEITIS ANTERIOR

OLEH :
Nur Fitriany Lihawa
111 2019 2076

PEMBIMBING:
dr. Sri Irmandha K, M.Kes, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:
Nama : Nur Fitriany Lihawa
Stambuk : 111 2019 2076
Judul Referat : Uveitis Anterior
Telah menyelesaikan Tugas Ilmiah dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia.

Makassar, Agustus 2020


Supervisor Pembimbing,

dr. Sri Irmandha K, M.Kes, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-Nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad
SAW beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini dengan judul “Uveitis Anterior” sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Mata.
Selama persiapan dan penyusunan referat ini rampung, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi. Namun berkat bantuan,
saran, dan kritik dari berbagai pihak akhirnya referat ini dapat
terselesaikan serta tak lupa penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian tulisan ini.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala
dan rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan refarat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran untuk menyempurnakan makalah ini. Saya berharap sekiranya
makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Makassar, Agustus 2020


Hormat Saya,

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................1

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................II

KATA PENGANTAR..................................................................................III

DAFTAR ISI................................................................................................IV

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................2

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI..........................................................2


2.2 DEFINISI......................................................................................4
2.3 EPIDEMIOLOGI...........................................................................5
2.4 ETIOLOGI....................................................................................5
2.5 KLASIFIKASI...............................................................................6
2.6 PATOFISIOLOGI.......................................................................13
2.7 MANIFESTASI KLINIK..............................................................15
2.8 DIAGNOSIS...............................................................................17
2.9 TATALAKSANA........................................................................20
2.10 DIAGNOSA BANDING..............................................................25
2.11 KOMPLIKASI..............................................................................25
2.12 PROGNOSIS..............................................................................26

BAB III KESIMPULAN...............................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................28

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Ocular inflammatory disease (OID) mencakup berbagai kelainan
mata yang disebabkan oleh inflamasi, infeksi ataupun keduanya. Uveitis
saat ini merupakan kasus yang paling banyak dalam OID karena jaringan
uvea berfungsi sebagai “jalan masuk” sel imunokompeten, terutama
limfosit kedalam mata.1
Uveitis merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di dunia.
Uveitis secara luas diklasifikasikan menjadi anterior, intermediate,
posterior dan panuveitis berdasarkan anatomi mata. 2
Uveitis memiliki banyak subtipe yang berpotensi yang berhubungan
dengan kondisi sistemik.3 Secara anatomis, uveitis anterior melibatkan
peradangan pada iris (iritis), bagian anterior badan ciliary (siklitis anterior)
atau kedua struktur (iridosiklitis).2
Di negara maju 10% kebutaan pada populasi usia produktif adalah
akibat uveitis.4 Uveitis dapat disebabkan oleh kelainan di mata saja atau
merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenik, dan infeksi,
namun sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik. 5
Insiden uveitis anterior di negara maju lebih tinggi dibandingkan
negara berkembang karena ekspresi human leucocyte antigen (HLA-B27)
yang merupakan faktor predisposisi uveitis anterior lebih tinggi di negara
maju. 6 
Uveitis anterior menjadi penyebab kebutaan kelima di negara
berkembang seperti Amerika Selatan, India dan Afrika karena tingginya
penyakit infeksi khususnya toxoplasmosis, tuberkulosis, HIV, dan sifilis. 7,8
Gejala uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan
menimbulkan komplikasi kebutaan bila tidak diterapi dengan baik. Selain
itu, uveitis dapat mengakibatkan peradangan jaringan sekitar seperti
sklera, retina, dan nervus optik sehingga memperburuk perjalanan
penyakit dan meningkatkan komplikasi karena dapat menimbulkan
kebutaan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Uvea
Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini
merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh sklera.
Struktur ini ikut mendarahi retina.9 Vaskularisasi uvea berasal dari arteri
siliaris anterior dan posterior yang berasal dari arteri oftalmika.
Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris
yang terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris
anterior dan arteri siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari
arteri siliaris posterior longus dan brevis. 10
2.1.1 Iris
Iris adalah perpanjangan corpus cilliare dengan bagian anterior. Iris
berupa permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah,
pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa,
memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-
masing berisi aqueous humor. Di dalam stroma iris terdapat sfingter dan
otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior
iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke
arah anterior. 9
Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara IV.
Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi cilliares. 9
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus
kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis. 9

2
Gambar 1 Bagian Penampang Mata
2.1.2 Corpus Ciliare
Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan
melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal
iris (sekitar 6 mm). Corpus cilliare terdiri atas zona anterior yang
berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar,
pars plana (4 mm). 9
Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen
disebelah dalam yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior dan
satu lapisan berpigmen disebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan
epitel pigmen retina. Procesus cilliares dan epitel siliaris berfungsi sebagai
pembentuk aqueous humor.9
Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat longitudional,
sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan
dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di lembah-lembah di antara
procesus cilliares. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa
sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk objek
berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang.
Serat-serat longitudinal muscullus cilliaris menyisip ke dalam anyaman
trabekula untuk mempengaruhi besar porinya.9

3
Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus cilliaris berasal
dari circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-
saraf siliaris.9
2.1.3 Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera.
Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid, yaitu vesikuler
besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam
koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid
dikenal sebagai koriokapilaris. 9
Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa,
satu di tiap kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh
membran bruch dan disebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid
terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada
tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior koroid bergabung dengan
corpus cilliares. Kumpulan pembuluh darah koroid memvaskularisasi
bagian luar retina.9

Gambar 2 Lapisan Koroid10


2.2. Definisi
Uveitis adalah bentuk peradangan mata yang mempengaruhi
lapisan tengah jaringan di dinding mata (uvea). Uveitis anterior adalah

4
inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris saja disebut iritis,
sedangkan bila inflamasi meliputi Iris dan bagian siliar maka disebut
iridosiklitis. 11. 
Uveitis anterior dapat terjadi akibat kelainan sistemik seperti
spondiloartropati, artritis idiopatik juveni, sindrom uveitis fuchs. kolitis
ulseratif, penyakit crohn, penyakit whipple, tubulointerstitial nephritis and
uveitis. 8
2.3. Epidemiologi
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70
tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua
umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan
afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat
tingginya angka trauma tembus dan uveitis nongranulomatosa anterior
akut. Sedangkan, pada wanita umumnya berupa uveitis anterior kronik
idiopatik dan toksoplasmosis.12,13
Sekitar 25% kebutaan di negara-negara berkembang disebabkan oleh
uveitis dan komplikasinya seperti katarak sekunder, glaukoma, edema
makula cystoids atau fotoreseptor retina atau kerusakan saraf optik. Di
negara maju, kebutaan dari uveitis bervariasi dari 3% menjadi 10%. Di
Eropa, kejadian tersebut diperkirakan antara 3% dan 7% dan di Amerika
Serikat, angka terbaru dari California mengungkapkan bahwa 10%
kebutaan karena uveitis. Perbedaan yang luar biasa dalam kejadian
kebutaan antara negara berkembang dan negara maju bisa disebabkan
oleh perbedaan kondisi sosial ekonomi atau akses keperawatan medis
atau kesenjangan lain, perbedaan etiologi yang mendasari, serta adanya
infeksi terutama penyebab uveitis di negara-negara berkembang,
sedangkan uveitis idiopatik diyakini sebagai proses kekebalan inflamasi
organ spesifik adalah penyebab utama di negara-negara maju.14
2.4. Etiologi
Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter,
herpes simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca

5
operasi, adenovirus, parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis
rheumatoid dan lain-lain.13 Uveitis trauma sering terjadi pada cedera yang
disengaja atau operasi pada jaringan uveal. Mekanisme yang berbeda
yang dapat menghasilkan uveitis trauma berikut, meliputi:15
a. Efek mekanis langsung pada trauma.
b. Efek iritasi dari produk darah setelah perdarahan intraokular
c. Invasi mikroba
d. Efek kimia benda asing intraokular
e. Oftalmia simpatis pada mata lainnya.
2.5. Klasifikasi
2.5.1 Klasifikasi berdasarkan Penyebab Spesifik Infeksi
a. Uveitis tuberkulosis
Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, tetapi
memerlukan perhatian khusus bila terdapat keratic precipitate
granulomatosa atau granuloma koroid atau granuloma iris.
Granuloma-granuloma atau tuberkel, tersebut mengandung sel epithelial
dan sel raksasa. Nekrosis yang khas ditemukan pada pemeriksaan
histopatologik. Walaupun infeksi berasal dari suatu fokus primer di suatu
tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis jarang ditemukan pada
pasien-pasien tuberkulosis paru aktif. 2
b. Iridosiklitis heterokromik fuchs (Sindrom Uveitis Fuchs)
Iridosiklitis heterokromik fuchs adalah suatu kelainan yang jarang,
tidak sampai 5% dari semua kasus uveitis. Biasanya mengenai dewasa
muda, khususnya perempuan. Penyakit ini awalnya samar dan muncul
pada dekade ketiga atau keempat. Kemerahan, nyeri, dan fotofobia
hanya minimal. 2
Pasien biasanya mengeluhkan penglihatan kabur, yang disebabkan
oleh katarak. Iris heterokromia, tampak jelas pada cahaya alami, dapat
tersembunyi dan sering kali paling jelas terlihat di atas muskulus
spinhcter pupil. Keratik presipitat pada penyakit ini bentuknya stelata,
kecil, dan tersebar di seluruh endotel. 2

6
c. Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang belum
diketahui penyebabnya; biasanya terjadi pada decade keempat atau
kelima kehidupan. Uveitis terjadi pada sekitar 25% pasien sarkoidosis
sistemik. 2
Sama halnya dengan tuberkulosis, setiap jenis uveitis bisa
ditemukan, tetapi sarkoid memerlukan perhatian khusus bila uveitisnya
granulomatosa atau terdapat flebitis retina. 2
d. Toksoplasmosis okular
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu protozoa
intrasel obligat. Lesi okular mungkin didapat in utero atau muncul
sesudah infeksi sistemik. Pasien retinokoroiditis mengeluhkan floaters
dan penglihatan kabur. 2
Pada kasus-kasus yang berat, dapat pula disertai nyeri dan fotofobia.
Lesi okularnya terdiri atas sejumlah daerah putih halus retinokoroiditis
nekrotik fokal yang bisa kecil atau besar, tunggal atau multipel. Lesi
edema yang aktif sering didapatkan bersebelahan dengan jaringan parut
retina yang telah sembuh. Iridosiklitis sering terlihat pada pasienpasien
dengan infeksi berat dan tekanan intraokularnya bisa meningkat. 2
e. Sifilis
Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jarang, tetapi dapat
disembuhkan. Peradangan intraocular hampir seluruhnya terjadi pada
infeksi stadium kedua dan ketiga, dan semua jenis uveits bisa terjadi.
Retinitis atau neuritis optic sering menyertai. Atrofi luas dan hyperplasia
epiel pigmen retina dapat terjadi pada stadium lanjut jika peradangan
dibiarkan tanpa diobati. 2
f. Herpes virus
Uveitis yang disebabkan oleh virus herpes, biasanya penyebabnya
ada dua yaitu virus herpes simpleks dan virus varicella zoster. virus
herpes simpleks mengenai anak-anak dan dewasa muda, sedangkan

7
virus varicella zoster mengenai orang lanjut usia atau orang yang
immunocompromised. Selain itu, virus herpes simpleks menimbulkan
vesikel-vesikel bergerombol di kulit penderita dan terdapat edema,
sedangkan vesikel yang ditimbulkan oleh virus varicella zoster terpisah-
pisah. 2,9
Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya pada satu mata
(unilateral), penglihatan kabur, mata sakit dan merah, fotofobia. Pada
pemeriksaan akan didapatkan hipopion, hifema, tekanan intraocular
meningkat, iris atrofi sektoral, edema kornea. 2,9
g. Reiter Syndrome
Biasanya mengenai dewasa muda laki-laki, di antara umur 15- 25
tahun. Trias dari penyakit ini adalah artritis, urethritis, dan
konjungtivitis. Pada pemeriksaan mata akan didapatkan mukopurulen
konjungtivitis, subepitelial keratitis. 2,9
h. HLA-B27 Associated Uveitis
HLA-B27 mengacu pada spesifik genotipe atau kromosom.
Mekanisme pencetus untuk uveitis anterior pada pasien dengan
genotype seperti ini tidak diketahui. Ada hubungan yang kuat dengan
ankylosing spondylitis, sindrom Reiter, Inflammatory bowel disease,
psoriasis, arthritis, dan uveitis anterior yang berulang.Sebanyak 50%
pasien spondylitis ankilosa akan mengalami uveitis anterior. Uveitisnya
bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat dan sering meninmbulkan
nyeri, fotofobia serta penglihatan kabur. 2,9
Di antara pasien-pasien uveitis anterior dengan HLA-B27 positif
tersebut, sekitar setengahnya akan mengalami komplikasi nonokular
seperti spondylitis ankilosa yang palig sering, tetapi bisa juga arthritis
psoriatik, penyakit Reiter, dan Inflammatory Bowel Disease. 2,9
i. AIDS
Uveitis sering ditemukan pada pasien terinfeksi human
immunodeficiency virus (HIV) khususnya pada stadium penyakit lanjut
saat AIDS timbul. Jumlah limfosit T CD4 merupakan predictor yang baik

8
untuk risiko infeksi oprtunistik yang kebanyakan terjadi pada jumlah
kurang dari 100 sel/uL. 2,9
j. Toksokariasis okular
Toksokariasis terjadi akibat infeksi Toxocara cati (parasit di usus
kucing) atauToxocara canis (parasit di usus anjing). Larva migrans
viseral adalah infeksi sistemik diseminata pada anak kecil. Larva migrans
viseral jarang mengenai mata. Toksokariasis ocular dapat terjadi tanpa
manifestasi sistemik. Penyakit ini biasanya unilateral. Umumnya anak-
anak dibawa ke dokter mata karena mata merah, penglihatan kabur,
pupil keputihan (leukokoria).
Terdapat tiga gambaran klinis (1) granuloma posterior setempat,
biasanya di dekat caput nervi optici atau fovea (2) granuloma perifer
yang mengenai pars plana, sering kali menimbulkan massa yang
menonjol yang menyerupai gundukan salju uveitis intermediet, (3)
endoftalmitis kronik. 2,9
k. Behcet’s diseases/syndrome
Sebagian besar menyerang laki-laki dewasa muda dari bangsa
mediterania atau jepang. Penyakit behcet yang menyebabkan uveitis
anterior akut adalah sangat langka. Penyebabnya diduga suatu proses
imunologik tetapi virus sebagai penyebab tidak dapat disingkirkan. Pada
pasien Behcet dapat dideteksi adanya kompleks imun berkadar tinggi
dalam darah.
Penyakit ini ditandai 4 kelainan, yaitu:
- Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoriditis).
- Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang dapat
mengenai bibir, lidah, mukosa bukal, palatum durum, serta
palatum molle.
- Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis serta
hipersensitivitas kulit.

9
l. Leptospirosis
Uveitis terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi spirochaeta
leptospira. Gejala-gejala konstitusional yang sering timbul adalah
demam, malaise, dan sakit kepala. Uveitis bisa timbul dalam bentuk
apapun tetapi khasnya difus dan sering disertai hipopion serta vaskulitis
retina. Organisme hidup hanya dapat dibiakkan pada awal infeksi. 2,9
m. Onkosersiasis
Onkosersiasis disebabkan oleh Onchocerca volvulus. Mikrofilaria
yang berenang aktif di bilik mata depan tampak seperti benang-benang
perak. Mikrofilaria yag mati menimbulkan reaksi radang hebat seperti
uveitis, vitritis, dan retinitis yang berat. Mungkin terlihat retinokoroiditis
folk. Atrofi optik dapat terjadi sekunder akibat glaukoma. 2,9
2.5.2 Klasifikasi Penyebab non spesifik atau reaksi hipersensitivitas
a. Juvenille Rheumatoid Arthritis (JRA)
Anterior uveitis terjadi pada penderita JRA yang mengenai
beberapa persendian. Sekitar 20% anak penderita juvenilis idiopatik
arthritis (JIA) disertai dengan iridosiklitis non-granulomatosa bilateral
kronik. Tidak ada korelasi antara onset arthritis dan uveitis. Uveitis
dapat muncul lebih dulu hingga 10 tahun sebelum arthritis.
Tanda utama penyakit ini adalah sel dan flare dalam camera oculi
anterior, keratik presipitat putih berukuran kecil sampai sedang dengan
atau tanpa bintik-bintik fibrin pada endotel, sinekia posterior-yang
sering menimbulkan seklusi pupil, dan katarak. Keratopati pita,
glaukoma sekunder, edema macula kistoid juga bisa ditemukan dan
menimbulkan penurunan penglihatan. Merupakan suatu anjuran pada
semua anak yang menderita JRA untuk diperiksa kemungkinan
terdapatnya uveitis anterior. 2,9
b. Uveitis Terinduksi Lensa
Uveitis terinduksi lensa (uveitis fakogenik) adalah suatu penyakit
autoimun terhadap antigen lensa. Hal ini terjadi bila lensa mengalami
katarak hipermatur. Kapsul lensa bocor dan materi lensa masuk ke

10
bilik mata depan dan belakang. Material ini menimbulkan reaksi radang
yang ditandai dengan pengumpulan sel plasma, fagosit mononukear
dan sedikit sel polimorfonuklear. Gejala khas uveitis anterior, seperti
nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur sering ditemukan. 2,9
c. Vogt-Koyanagi-Harada
Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kedua mata yang
ditandai oleh iridosiklitis akut, koroiditis bercak dan pelepasan serosa
retina. Penyakit ini biasanya diawali oleh suatu episode demam akut
disertai nyeri kepala dan kadang-kadang vertigo. Walaupun iridosiklitis
awal mungkin membaik dengan cepat, perjalanan penyakit di bagian
posterior sering indolen dengan efek jangka anjang berupa pelepasan
2,9
serosa retina dan gangguan penglihatan.
2.5.3 Klasifikasi berdasarkan Asalnya
a. Eksogen
a) Traumatik uveitis
Trauma merupakan salah satu penyebab uveitis anterior.
Biasanya terdapat riwayat trauma tumpul mata atau adneksa mata.
Luka lain seperti luka bakar pada mata, benda asing, atau abrasi
kornea dapat menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Visual
aquity dan tekanan intraokular mungkin terpengaruh dan mungkin
juga terdapat darah pada anterior chamber. 2,9
b) Uveitis terinduksi Intraocular Lens (IOL)
Hal ini mungkin disebabkan karena adanya iritasi pada iris
karena terdapatnya manipulasi berlebihan saat operasi katarak.
Tetapi hal ini juga bisa disebabkan karena adanya reaksi
hipersensitivitas terhadap IOL sehingga sel-sel radang
menyerang IOL dan akhirnya berkumpullah sel radang dan
menyebabkan uveitis. 2,9

b. Endogen

11
a) Idiopathic Anterior Uveitis
Istilah idiopatik dipergunakan pada uveitis anterior dengan
etiologi yang tidak diketahui apakah merupakan kelainan sistemik atau
traumatik. Diagnosis ini ditegakkan sesudah menyingkirkan penyebab
lain dengan anamnesis dan pemeriksaan.2,9
b) Masquerade Syndrome
Merupakan keadaan yang mengancam seperti limfoma,
leukemia, retinoblastoma dan melanoma malignant dari koroid, dapat
menimbulkan uveitis anterior. 2,9
2.5.4 Klasifikasi Berdasarkan Perjalanan Penyakitnya
a. Akut
Apabila serangan timbulnya mendadak, sembuh dalam waktu
kurang dari 3 bulan dan penderita sembuh sempurna di luar serangan
itu. 2,9
b. Residif
Apabila terjadi serangan berulang disertai dengan penyembuhan
yang sempurna di antara serangan-serangan tersebut. Biasanya
penyembuhan sudah berlangsung tiga bulan atau lebih. 2,9
c. Kronis
Apabila terjadi serangan berulang tanpa pernah sembuh di antara
2,9
serangan tersebut dan biasanya menetap.
2.5.5 Klasifikasi Berdasarkan reaksi radang yang terjadi
a. Non granulomatosa
Diduga akibat alergi, karena tidak pernah ditemukan bakteri dan
pasien sembuh dengan pemberian kortikosteroid. Timbulnya sangat
akut. Reaksi vaskuler lebih hebat dari reaksi seluler sehingga
injeksinya hebat. Pada iris tak tampak nodul. Sinekia posterior halus-
halus oleh karena hanya sedikit megandung sel. Cairan camera oculi
anterior mengandung lebih banyak fibrin daripada sel. Badan kaca tak
bayak kekeruhan. Rasa sakit lebih hebat, fotofobia dan visus juga
2,9
banyak terganggu. Lebih banyak mengenai uvea anterior.

12
b. Granulomatosa
Terjadi karena invasi mikrobakteri yang patogen ke jaringan uvea,
meskipun bakterinya sering tidak ditemukan sehingga diagnosis hanya
ditegakkan berdasarkan keadaan klinis saja. Timbulnya tidak akut.
Reaksi seluler lebih hebat daripada reaksi vaskuler. Iris bengkak,
menebal, gambaran bergarisnya kabur. Di permukaan, terdapat nodul
busacca. Di pinggir pupil juga terdapat nodul Koepe. Keratik presipitat
besar-besar, kelabu dan disebut mutton fat deposit. Bilik mata depan
keruh seperti awan, lebih banyak sel daripada fibrin. Badan kaca
keruh. Rasa sakit sedang, fotofobia sedikit. Visus terganggu hebat oleh
karena media yang dialui cahaya banyak terganggu. Keadaan ini
9
terutama mengenai uvea posterior.
2.5.6 Klasifikasi Berdasarkan Anatomis9
a. Uveitis anterior
- Iritis: peradangan terbatas pada iris
- Iridosklitis: peradangan pada iris dan badan siliar
b. Uveitis intermediet: Uveitis intermediet disebut juga siklitis, uveitis
perifer atau pars planitis, adalah jenis peradanan intraocular
terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang terpenting adanya
peradangan korpus siliaris pars plana, retina perifer dan vitreus.
c. Uveitis posterior: Termasuk di dalam uveitis posterior adalah
retinitis, koroiditis, vaskulitis retina, dan papilitis, yang bisa terjadi
sendiri-sendiri atau bersamaan
d. Panuveitis: inflamasi pada seluruh uvea9
2.6. Patofisiologi
Patofisiologi uveitis secara umum tidak dipahami dengan baik. Peneliti
telah berhipotesis bahwa trauma pada mata dapat menyebabkan cedera
sel atau kematian yang menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi yang
mengarah ke uveitis pasca trauma. Uveitis yang disebabkan oleh penyakit
inflamasi diduga disebabkan oleh mimikri molekuler, dimana agen infeksi
bereaksi silang dengan antigen khusus pada mata. Peradangan yang

13
mengancam penglihatan dimediasi oleh sel CD4 Th1. Biasanya, hanya
limfosit teraktivasi yang diizinkan melewati sawar retina darah, sehingga
menurunkan sensitisasi sel T naif terhadap protein mata. Para peneliti
menduga adanya mimikri molekuler antara peptida S-Ag retina dan
peptida dari penyakit terkait antigen HLA-B, yang mengarah pada
penargetan protein mata dan respon inflamasi. 16
Secara patologis, radang saluran uveal dapat dibagi menjadi supuratif
(purulen) dan non supuratif (non-purulen). Uveitis non-supuratif dapat
dibagi menjadi jenis nongranulomatous dan granulomatosa.15
Reaksi patologis ditandai dengan eksudat purulen yang banyak dan
infiltrasi oleh sel polimorfonuklear jaringan uveal, anterior chamber,
posterior chamber dan rongga vitreous. Akibatnya, jaringan uveal seluruh
menebal dan nekrotik dan rongga mata menjadi penuh dengan pus. 15
Reaksi nongranulomatous terdiri atas dilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, terjadi kerusakan barrier blood aqueous
dengan berlimpahnya eksudat fibrinous dan infiltrasi limfosit, sel plasma
dan makrofag besar dari jaringan uveal, anterior chamber, posterior
chamber dan ruang vitreous. Peradangan biasanya difus sebagai hasil
dari reaksi patologis iris, edema, kriptus kabur dan terdapat alur. Sebagai
konsekuensi mobilitas berkurang, pupil mengecil karena iritasi sfingter dan
kendurnya pembuluh radial dari iris. Eksudat dan limfosit mengalir ke
anterior chamber di aqueous flare dan deposisi keratik presipitat belakang
kornea. Eksudat di posterior chamber, permukaan posterior dari iris
melekat pada kapsul anterior lensa mengarah ke posterior menyebabkan
sinekia. Peradangan yang berat, karena terdapat eksudat dari proses silia,
di belakang lensa, membran eksudatif disebut cyclitic membrane dapat
dibentuk. 15
Reaksi granulomatosa ditandai dengan infiltrasi limfosit, sel plasma,
dengan mobilisasi dan proliferasi sel mononuklear besar yang akhirnya
menjadi epithelioid dan sel-sel raksasa dan agregat menjadi nodul. Iris
nodul biasanya terbentuk di dekat perbatasan pupil (nodul Koeppe).

14
Nodular sel disimpan di bagian belakang kornea dalam bentuk mutton fat
keratik presipitat dan aqueous flare minimal. Nekrosis struktur yang
berdekatan mengarah pada proses perbaikan mengakibatkan fibrosis dan
gliosis. 15
2.7. Manifestasi Klinik
Uveitis anterior dapat berupa gejala yang akut, kronis atau rekuren.
Uveitis anterior umumnya inflamasi intraokuler dan umumnya adalah
unilateral dengan nyeri atau photophobia, kemerahan pada circumlimbal
dan adanya sel dan flare pada bagian anterior onset akut.9

Gambar 3 . Gambaran cells dan flare pada slit lamp 3x1 mm


Pasien dengan uveitis anterior biasanya mengeluh nyeri, mata merah,
penglihatan kabur, dan fotofobia, mata berair. Sebagian besar pasien
akan terjadi serangan yang berulang dan akan pergi berobat berulang ke
beberapa dokter mata akan digunakan obat topikal/sistemik. Penglihatan
yang kabur dimana menjadi gejala yang umum, penyebabnya adalah
kekeruhan dari aliran aqueous. Fotofobia umumnya dikarenakan spasme
otot siliar, infiltrasi di ruang anterior seluler, edema epitel kornea dan
keterlibatan otot pupil dapat juga berkontribusi. Derajat nyerinya bervariasi
terlihat pada uveitis anterior dapat dikaitkan pada spasme otot siliar. Hal
ini biasanya sakitnya seperti berdenyut atau dirasakan nyeri. Nyeri yang
sangat parah dikaitkan dengan peningkatan tekanan intraokuler.
Umumnya tanda-tanda klinis pasien dengan uveitis anterior adalah derajat

15
dari edema korneanya. Kongesti sirkumkorneal dapat dilihat karena
pelebaran dari pembuluh darah di episklera pada daerah badan siliar.
Keratic prespitat (KPs) adalah deposit seluler pada endothelium kornea. 9

Gambar 4 . Gambar Keratik Presipitat (KPs)


KPs yang halus dianggap menjadi jenis peradangan
nongranulomatosa sedangkan yang besar dan mutton fat adalah termasuk
jenis inflamasi granulomatous. Keratic presipitat yang berpigmen atau
berwarna merujuk pada terjadinya uveitis anterior yang sebelumnya.
Secara mikroskopis, KPs adalah akumulasi sel-sel lymphoplasmacytic,
dengan sel-sel epiteloid yang terlihat sebagai tambahan pada KPs
granulomatous. Keratik presipitat granulomatosa atau non-granulomatosa
biasanya terdapat di sebelah inferior, di daerah berbentuk baji yang
dikenal sebagai segitiga Arlt. Sebaliknya keratic precipitate stelata
biasanya tersebar rata di seluruh endotel kornea dan dapat dilihat pada
uveitis akibat virus herpes simpleks, herpes zoster, toksoplasmosis,
iridosiklitis heterokromk Fuch, dan sarkoidosis. Keratic precipitate mungkin
juga ditemukan terlokalisasi pada daerah-daerah keratitis aktif atau pra-
keratitis, terutama akibat infeksi herpes virus. Nodul-nodul iris dapat
terlihat pada tepi iris (noduli Koeppe), di dalam stroma iris (noduli
Busacca), atau pada sudut kamera okuli anterior (noduli Berlin).9

16
Gambar 5 . Gambar Nodul Koeppe dan Nodul Busacca
Serangan akut dari uveitis anterior dengan inflamasi pada segmen
anterior dan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler yang
umumnya dapat dilihat pada keratouveitis virus atau sindrom posner
schlosman. Meskipun uveitis idiopatik anterior dapat meningkatkan
tekanan intraokuler, inflamasi yang hebat pada badan siliar dapat
menurunkan produksi aqueous humour dan tekanan intraokuler menjadi
turun dikarenakan inflamasi sendiri, sequelae atau inflamasi atau karena
pengobatan dengan steroid. Pada inflamasi yang aktif, peningkatan
tekanan intraokuler dapat dihubungkan karena trabekulitis atau karena
penutupan sudut tertutup. 9
Pemeriksaan dengan menggunakan fundus akan terlihat adanya
edema cup disc dan hiperemis, vaskularisasi, eksudat perivaskular,
edema macula cystoids, retinitis, infiltrat koroid, ablatio retina, eksudat
pars plana. Gonioskopi akan memperlihatkan gonio-sinekia atau
neovaskularisasi pada segitiga dan segitiga akan membuka atau menutup
tergantung dari derajat uveitisnya.9
2.8. Diagnosa
Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang
lainnya.17,18,19
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan
pasien, misalnya pernah menderita iritis atau penyakit mata

17
lainnya, kemudian riwayat penyakit sistemik yang mungkin
pernah diderita oleh pasien.
Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain:
a) Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi
lebih terasa ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri
tersebut dapat beralih ke daerah pelipis atau daerah
periorbital. Nyeri tersebut sering timbul dan menghilang
segera setelah muncul.
b) Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama cahaya
matahari yang dapat menambah rasa tidak nyaman pasien
c) Kemerahan tanpa sekret mukopurulen
d) Pandangan kabur (blurring)
e) Umumnya unilateral
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mata di fasilitas kesehatan primer dapat
menggunakan bantuan penlight khususnya untuk menilai injeksi
pada konjungtiva, bentuk pupil, refleks pupil, hipopion pada kamera
okuli anterior (KOA) dan ada tidaknya sekret mata. Pemeriksaan
mata lebih detail dapat menggunakan slit lamp dapat menemukan
tanda khas sel dan flare pada KOA.25,26
a) Terdapat keratik presipitat kecil , sedang atau besar pada
kornea
b) Pada iris, terdapat sinekia anterior atau posterior
Ditemukan adanya perlengketan dengan kapsul lensa
(sinekia posterior) atau dengan kornea perifer (sinekia
anterior)
c) Injeksi pembuluh darah siliar akibat vasodilatasi arteri di
sekitar limbus
d) Nodul iris dalam bentuk nodul Busacca di anterior iris atau
nodul Koeppe di tepi pupil yang dapat ditemukan pada

18
uveitis granulomatosa pada infeksi tuberculosis atau
sarkoidosis
e) Terdapat hipopion, yaitu lapisan putih (pus) yang
mengendap di bagian bawah bilik mata depan karena ada
gravitasi
f) Miosis pupil yang terjadi akibat refleks nosiseptif fotofobia
atau midriasis pupil bila ada robekan pada otot spincter iris
g) Perubahan tekanan intraokular menjadi menurun atau
meningkat.
Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan
sekresi dari badan siliar. Namun saat reaksi berlangsung,
preaksi radang terjadi dan produk peradangan dapat
berakumulasi pada trabekulum. Apabila debris yang
ditemukan signifikan, dan badan siliar menghasilkan
sekresi, maka dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular
dan menjadi glaukoma uveitis sekunder. 25,26
c. Pemeriksaan Oftalmologi
a) Visus : visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun
b) Tekanan intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih
rendah daripada mata yang sehat. Hal ini secara sekunder
disebabkan oleh penurunan produksi cairan akuos akibat
radang pada korpus siliaris. Akan tetapi TIO juga dapat
meningkat akibat perubahan aliran keluar (outflow) cairan
akuos
c) Konjungtiva : terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat
pula (pada kasus yang jarang) injeksi pada seluruh
konjungtiva
d) Kornea : KP (+), udema stroma kornea
e) Camera Oculi Anterior (COA) : sel-sel flare dan/atau
hipopion. Ditemukannya sel-sel pada cairan akuos
merupakan tanda dari proses inflamasi yang aktif. Jumlah

19
sel yang ditemukan pada pemeriksaan slit-lamp dapat
digunakan untuk grading. Grade 0 sampai +4 ditentukan
dari:

0 : tidak ditemukan sel


+1 : 5-10 sel
+2 : 11-20 sel
+3 : 21-50 sel
+4 : > 50 sel
Aqueous flare adalah akibat dari keluarnya protein
dari pembuluh darah iris yang mengalami peradangan.
Adanya flare tanpa ditemukannya sel-sel bukan indikasi
bagi pengobatan. Melalui hasil pemeriksaan slit-lamp yang
sama dengan pemeriksaan sel, flare juga diklasifikasikan
sebagai berikut:
0 : tidak ditemukan flare
+1 : terlihat hanya dengan pemeriksaan yang teliti
+2 : moderat, iris terlihat bersih
+3 : iris dan lensa terlihat keruh
+4 : terbentuk fibrin pada cairan akuos
Hipopion ditemukan sebagian besar mungkin
sehubungan dengan penyakit terkait HLA-B27, penyakit
Behcet atau penyakit infeksi terkait iritis.
f) Iris : dapat ditemukan sinekia posterior
g) Lensa dan korpus vitreus anterior : dapat ditemukan
lentikular presipitat pada kapsul lensa anterior. Katarak
subkapsuler posterior dapat ditemukan bila pasien
mengalami iritis berulang.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak diperlukan
untuk uveitis anterior, apalagi bila jenisnya non-granulomatosa atau

20
menunjukkan respon terhadap pengobatan non spesifik. Akan tetapi
pada keadaan dimana uveitis anterior tetap tidak responsif terhadap
pengobatan maka diperlukan usaha untuk menemukan diagnosis
etiologiknya.
Pada pria muda dengan iridosiklitis akut rekurens, foto rontgen
sakroiliaka diperlukan untuk mengeksklusi kemungkinan adanya
spondilitis ankilosa. Pada kelompok usia yang lebih muda, arthritis
reumatoid juvenil harus selalu dipertimbangkan khususnya pada
kasus- kasus iridosiklitis kronis.
Pemeriksaan darah untuk antinuclear antibody dan rheumatoid
factor serta foto rontgen lutut sebaiknya dilakukan. Perujukan ke ahli
penyakit anak dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis dengan KP
mutton fat memberikan kemungkinan sarkoidosis.
Foto rontgen toraks sebaiknya dilakukan dan pemeriksaan
terhadap enzim lisozim serum serta serum angiotensine converting
enzyme sangat membantu.
Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk
penatalaksanaan pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi
kemungkinan dapat memberikan perkiraan akan suseptibilitas untuk
rekurens.
Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna,
demikian pula antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes
tersebut dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan
diagnosis etiologiknya.
2.9. Tatalaksana
Pengobatan uveitis anterior memiliki tujuan utama pengobatan
episode inflamasi akut, yang kemudian akan disesuaikan jika kondisinya
menjadi kronis atau jika diperlukan untuk mencegah kekambuhan. 20,21
a. Terapi Spesifik20,21
a) Toxoplasmosis

21
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi
kombinasi, antara lain:
- Sulfadiazin atau trisulfa. Dosis pemberian 4 kali 0.5–1 gr/hari
selama 3–6 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam
paraaminobenzoat menjadi asam folat. Asam folat dibutuhkan
oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon.
- Pirimetamin
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25
mg/hari selama 3–6 minggu. Preparat pirimetamin bekerja
menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Pada pemakaian
pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol
darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian
terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat
tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.
- Trimethoprim-sulfamethoxazol
Dosis 2 kali 2 tablet selama 4–6 minggu.
- Klindamisin
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan
preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis 3 kali
150–300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50
mg dilaporkan memberi hasil baik.
- Spiramisin
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping
yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
- Minosiklin
Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.
- Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa.
b) Infeksi virus
- Herpes simplex

22
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus
seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intak/sembuh
maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan
juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian
diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal
necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5
mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
- Herpes zoster
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–
14 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk
mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior
diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
- Sitomegalovirus
Gancyclovir dengan dosis 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian
intravena. Dapat pula diberi foscarnet dengan dosis 20
mg/kgBB/perinfus. 20,21
b. Terapi Non Spesifik20,21
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada
uveitis yaitu midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
a) Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang
bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter
iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik
bekerja dengan 3 cara, yaitu mengurangi nyeri karena imobilisasi iris,
mencegah adhesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior),
yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan
glaukoma sekunder serta enstabilkan blood-aqueous barrier dan
mencegah terjadinya flare.
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior
menurut AOA antara lain:

23
- • Atropine 0,5%, 1%, 2%
- • Homatropin 2%, 5%
- • Scopolamine 0,25%
- • Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.
b) Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non
spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal
maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya
diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi,
efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam
pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan
kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan
kortikosteroid pada uveitis yaitu kortikosteroid lokal seperti tetes
mata, dan injeksi peri ocular dan kortikosteroid sistemik. 20,21
Pengobatan awal uveitis anterior melibatkan kortikosteroid
topikal. Kortikosteroid topikal yang paling umum diresepkan untuk
pengobatan uveitis anterior adalah prednisolon asetat 1%, diikuti
oleh deksametason 0,1% dan prednisolon natrium fosfat 1% .
Ketika pasien datang dengan uveitis anterior akut, praktisi
perawatan mata harus meresepkan kortikosteroid setiap jam saat
pasien terjaga setidaknya selama 1 minggu dalam durasi.
Difluprednate 0,05% emulsi adalah turunan prednisolon difluorinasi
yang dapat diberikan empat kali sehari dan telah ditemukan
kemanjurannya serupa dibandingkan dengan prednisolon asetat
1% bila diberikan delapan kali sehari. 22
Pasien biasanya dijadwalkan untuk tindak lanjut setelah 1 minggu
pengobatan dengan kortikosteroid. Selama kunjungan ini dan
setiap kunjungan berikutnya, jumlah sel ruang anterior / high-power
field (HPF) harus setengah dari jumlah pada pemeriksaan awal.
Jika jumlah sel tidak berkurang, maka harus dicurigai salah satu
dari dua hal yaitu pasien tidak menggunakan tetes dengan benar

24
atau penyebab infeksi harus dicurigai, seperti herpes. Juga penting
bahwa pasien mengguncang suspensi steroid dengan benar
karena kegagalan melakukannya dapat mengakibatkan respons
subterapuetik. Pasien harus melanjutkan pemberian kortikosteroid
topikal setiap jam dengan kunjungan tindak lanjut mingguan sampai
ada lima atau lebih sedikit sel / HPF. Setelah lima atau kurang sel /
HPF hadir di ruang anterior, frekuensi pemberian harus dikurangi
menjadi setiap 2 jam. Pada setiap kunjungan berikutnya,
peradangan harus terus membaik. 22
Setelah peradangan berkurang dan menunjukkan tanda-tanda
perbaikan terus-menerus, jadwal pemeriksaan lanjutan dapat
diperpanjang menjadi setiap 2 minggu. Jadwal pengurangan dosis
kortikosteroid topikal yang tepat adalah satu tetes setiap 2 jam
selama 2 minggu, satu tetes empat kali sehari selama 2 minggu,
satu tetes tiga kali sehari selama 2 minggu, satu tetes dua kali
sehari selama 2 minggu, satu tetes dalam satu waktu per hari
selama 2 minggu, dan kemudian terapi topikal harus dihentikan. 22
Jika penyakit kambuh kapan saja selama proses tindak lanjut atau
peradangan mulai meningkat, praktisi perawatan mata utama harus
mempertimbangkan rujukan untuk suntikan kortikosteroid
periokular. 22
c) Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang
refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat
klorambusil 0,1–0,2 mg/kg BB/hari. Dosis klorambusil ini
dipertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan sampai 5–8 mg
selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari,
sampai 6–12 bulan. 20
Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisindosis 0,5 mg–1
mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. 20

25
Sebagai patokan sukesnya pengobatan, lekosit harus lebih dari
3000/mm3 dan trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam
pengobatan. 20
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik
dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan ini mempunyai
risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan
gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi
oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom. 20
2.10. Diagnosis Banding
Diagnosis banding uveitis anterior, antara lain9:
a. Konjungtivitis
Penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada sekret mata
dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
b. Keratitis atau keratokunjungtivitis
Penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia.
Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan
herpes zooster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
c. Glaukoma akut
Pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya
beruap.
d. Setelah serangan berulang kali, uveitis non-granulomatosa
dapat menunjukkan ciri uveitis granulomatosa
2.11. Komplikasi
Komplikasi uveitis anterior, antara lain20:
a. Glaukoma
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga
mengakibatkan hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke
bilik anterior. Penupukan cairan ini bersama-sama dengan sel
radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aqueous
humor sehigga terjadi glaukoma. Untuk mencegahnya dapat
diberikan midriatika.

26
b. Katarak
Kelainan segmen anterior mata seperti iridosiklitis yang
menahun dan penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis
dapat mengakibatkan gangguan metabolisme lensa sehingga
menimbulkan katarak. Operasi katarak pada mata yang uveitis
lebih kompleks lebih sering menimbulkan komplikasi post operasi
jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian
jangka panjang terhadap pre dan post operasi. 20
2.12. Prognosis
Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal diantaranya derajat
keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum,
peradangan yang berat perlu waktu lebih lama untuk sembuh serta
lebih sering menyebabkan kerusakan intraokular dan kehilangan
penglihatan dibandingkan dengan peradangan ringan atau sedang.23,24
Selain itu uveitis anterior cenderung lebih cepat merespon
pengobatan dibandingkan dengan uveitis intermediet, posterior atau
difus. Umumnya kasus uveitis anterior prognosisnya baik bila di
diagnosis lebih awal dan diberi pengobatan yang tepat. Prognosis
visual pada iritis kebanyakan pulih dengan baik tanpa adanya katarak,
glaukoma dan uveitis posterior. Keterlibatan retina, koroid atau nervus
optikus cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.23,24

27
BAB III
KESIMPULAN
Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Uveitis
anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris saja
disebut iritis, sedangkan bila inflamasi meliputi Iris dan bagian siliar maka
disebut iridosiklitis. 
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Uveitis anterior
dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit reiter, herpes
simpleks, sindrom behcet, sindrom posner schlosman, pasca operasi,
adenovirus, parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumatoid dan
lain-lain.
Klasifikasi uveitis dibagi berdasarkan penyebab spesifik infeksi,
penyebab non spesifik atau reaksi hipersensitivitas, berdasarkan asalnya,
berdasarkan perjalanan penyakitnya , berdasarkan reaksi radang yang
terjadi dan berdasarkan anatomi.
Pasien dengan uveitis anterior biasanya mengeluh sakit, mata
merah, penglihatan kabur, dan fotofobia, mata berair. Pengobatan uveitis
anterior terdiri atas terapi spesifik dan terapi non spesifik.
Diagnosis banding uveitis anterior, antara lain konjungtivitis,
keratitis atau keratokunjungtivitis, glaukoma akut. Komplikasi uveitis
anterior adalah glaukoma dan katarak. Prognosis uveitis tergantung pada
banyak hal diantaranya derajat keparahan, lokasi, dan penyebab
peradangan.

28
DAFTAR PUSTAKA
1. Voughan, Asbury. 2010. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta:
EGC. hlm. 67- 9.
2. Agrawal, 2010. Current approach in diagnosis and management of
anterior uveitis. Indian Journal Of Opftalmology 58 (1),11
3. Babu, Rathinam. 2010. Intermediate Uveitis. Indian Journal of
Opthalmology. 58(1) 21-27.
4. Miserocchi E, Fogliato G, Modorati G, Bandello F. 2013. Review on
the Worldwide epidemiology of Uveitis. Eur J
ophthalmology;23(5):705-17
5. Kanski J, Bowling B. 2016. Clinical Ophtalmology: A Systemic
Approach. Edisi-8. Elsevier:Australia
6. Acharya NR, Tham VM, Esterberg E.Borkar DS, Parker JV, Vinoya
AC,et.al. 2013. Incidence and Prevalence of Uveitis. JAMA
Ophtalmolo;131(11):1405-12
7. Faiz I, Al-Shakarchi. 2014. Pattern of Uveitis at A Referral Center in
Iraq. Middle East Afr J Ophtalmol.21(4):291-5
8. Suttorp-Schulten MSA, Rothova A. 2005. The Possible Impact of
Uveitis in Blindness: A Literature Survey. Br J ophtalmol;80(9):844-
8
9. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. 2000. Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Jakarta: Widya medika.
10. Rao NA, Forster DJ. 2009. Basic Principles In: Berliner N, editors.
The Uvea Uveitis and Intraocular Neoplasms. Volume 2. New York:
Gower Medical Publishing.
11. Islam N, Pavesio C. 2010. Uveitis (acute anterior). BMJ Clin
Evid:0705
12. Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology 17th Edition. USA: McGrawHill
13. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. 2007. Uveal Tract: Iris, Ciliary
Body, and Choroid In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and
Company. 143-144.
14. lyas, Sidarta. 2005. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
15. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India:
New Age International Limited Publisher.

29
16. Wildner G, Diedrichs-Möhring M. 2003. Autoimmune uveitis
induced by molecular mimicry of peptides from rotavirus, bovine
casein and retinal S-antigen. Eur. J. Immunol. Sep;33(9):2577-87.
17. Kanski J. 2007. Uveitis. In: Clinical Ophthalmology. Third Edition.
London: Butterworth Heinemann. 151-155.
18. Gordon K. 2005. Iritis and Uveitis. http://www.emedicine.com
19. Hollwich F. 2000. Oftalmologi. Edisi kedua. Jakarta: Binarupa
Aksara. 117- 138.
20. Gueudry J, Muraine M. 2018. Anterior uveitis. Journal Français
d'Ophtalmologie;41(1):e11-e21
21. American Optometric Association. 2004. Anterior Uveitis, dalam
Optometric Clinical Practice Guideline. American Optometric
Association, St. Louis.
22. Harthan J, Fromstein S, Morettin C, Opitz D. 2016. Diagnosis and
treatment of anterior uveitis: optometric management. Clinical
Optometry:23.
23. Suhardjo SU, Revana E. 2012. Uveitis dan radang intra okuler.
Dalam: Suhardjo SU, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Edisi ke-2.
Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK UGM. Hal. 45-58
24. Kanski JJ. 2007. Clinical ophthalmology a systematic approach. 6th
ed. Butterworth Heinemann: Elsevier
25. Grigorian AP, Palestine A, Patel AS, Murchison A, Wisner DM.
Traumatic iritis. 2019. https://eyewiki.aao.org/Traumatic_iritis
26. Harthan J, Opitz D, Fromestein S, Morettin C. 2016. Diagnosis and
treatment of anterior uveitis: optometric management. Clinical
Optometry.;8:23-35

30

Anda mungkin juga menyukai