FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
BAB I
PERTUMBUHAN BALITA
I. PENDAHULUAN
Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan
interselular, berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau
keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.
Deteksi dini gangguan pertumbuhan dilakukan di semua tingkat
pelayanan. Adapun pelaksana dan alatyang digunakan adalah sebagai berikut:
Penentuan status gizi Anak
a. Pengukuran Berat Badan Terhadap Tinggi Badan (BB /TB) untuk
menentukan status gizi anak usia dibawah 5 tahun, apakah normal, kurus,
sangat kurus atau gemuk.
b. Pengukuran Panjang Badan terhadap umur atau Tinggi Badan terhadap
umur (PB/U atau TB/U) untuk menentukan status gizi anak, apakah
normal, pendek atau sangat pendek
c. Pengukuran Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) untuk
menentukan status gizi anak usia 5 - 6 tahun apakah anak sangat kurus,
kurus, normal, gemuk atau obesitas. Untuk pemantauan pertumbuhan
dengan menggunakan berat badan menurut umur dilaksanakan secara
rutin di posyandu setiap bulan. Apabila ditemukan anak dengan berat
badan tidak naik dua kali berturut-turut atau anak dengan berat badan di
bawah garis merah, kader merujuk ke petugas kesehatan untuk dilakukan
konfirmasi dengan menggunakan indikator berat badan menurut panjang
badan/tinggi badan.
- Pemasangan alat
Alat diletakkan di tempat dengan permukaan rata/meja. Pastikan
jarum berada pada angka 0
- Cara melakukan pengukuran
a. Menggunakan timbangan bayi.
b. Timbangan bayi digunakan untuk menimbang anak sampai umur
2 tahun atau selama anak masih bisa berbaring/duduk tenang.
c. Letakkan timbangan pada meja yang datar dan tidak mudah
bergoyang.
d. Lihat posisi jarum atau angka harus menunjuk ke angka 0.
e. Bayi sebaiknya telanjang, tanpa topi, kaus kaki, sarung tangan.
f. Baringkan bayi dengan hati-hati di atas timbangan.
g. Lihat jarum timbangan sampai berhenti.
h. Baca angka yang ditunjukkan oleh jarum timbangan atau angka
timbangan.
i. Bila bayi terus menerus bergerak, perhatikan gerakan jarum,
baca angka di tengah-tengah antara gerakan jarum ke kanan dan
kekiri.
2. Pengukuran Panjang/Tinggi Badan
- Alat yang digunakan : Length Board
- Pemasangan alat
Alat diletakkan pada permukaan rata/meja
- Cara melakukan pengukuran
Cara mengukur dengan posisi berbaring:
a) Sebaiknya dilakukan oleh 2 orang.
b) Bayi dibaringkan telentang pada alas yang datar.
c) Kepala bayi menempel pada pembatas angka
d) Petugas 1 : kedua tangan memegang kepala bayi agar tetap
menempel pada pembatas angka 0 (pembatas kepala).
e) Petugas 2 : tangan kiri menekan lutut bayi agar lurus,
tangan kanan menekan batas kaki ke telapak kaki.
f) Petugas 2 membaca angka di tepi diluar pengukur.
g) Jika Anak umur 0 - 24 bulan diukur berdiri, maka hasil
pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.
d. Intervensi : -
III. KAJIAN KASUS
1. Kasus 1
Nama ayah : Adam Nursyaik
Nama ibu : Reski Ramadhani
Nama anak : Aisyah
Tanggal lahir : 19 Maret 2019
Umur : 1 bulan 3 hari
Jenis kelamin : Perempuan
BB lahir : 3,52 kg
BB sekarang : 4,4 kg
PB lahir : 50 cm
PB sekarang : 56 cm
LK : 39 cm
LLA : 13 cm
BB = 3520 gr
NORMAL
PB = 50 cm
1 Bulan 3 Hari
BB = 4400 gr
NORMAL
PB = 56 cm
Gambar 1.4 Pengukuran LK
Hasil : 39 cm
Hasil Pengukuran PB : 66 cm
Interpretasi pada Grafik WHO Child Growth (PB-U) : Normal
Grafik Berat Badan/Panjang Badan
Lahir
BB = 3000 g
NORMAL
PB = -
5 Bulan 12 Hari
BB = 8000 g
NORMAL
PB = 66 cm
Gambar 2.4 Pengukuran LK
Hasil Pengukuran LK : 44 cm
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi,
berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau
resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit
yang lain.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila
suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
mengalami sakit ringan.
Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi untuk
mencapai kadar kekebalan di atas ambang perlindungan (Depkes RI, 2012).
Jenis- jenis imunisasi dasar, yaitu: BCG, yaitu imunisasi dasar yang diberikan
untuk mencegah penyakit TBC. Kemudian imunisasi dasar Hepatitis B, yang
diberikan untuk mencegah penyakit hepatitis B. Selanjutnya DPT, yaitu
imunisasi dasar yang diberikan untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, dan
tetanus. Kemudian imunisasi dasar Campak, yang diberikan untuk mencegah
penyakit campak dan yang terakhir imunisasi dasar Polio, yang diberikan
untuk mencegah penyakit polio.
B. Tujuan Imunisasi
1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat Penyakit
yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
2. Tujuan Khusus
Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu
cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di
seluruh desa/ kelurahan pada tahun 2014.
Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di
bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun
2013.
Eradikasi polio pada tahun 2015.
Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015.
Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan
limbah medis (safety injection practise and waste disposal
management).
C. Sasaran Imunisasi
D. Macam-Macam Imunisasi
1. Imunisasi Wajib
Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah
untuk seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi
yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular
tertentu. Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan,
dan imunisasi khusus.
a. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
secara terus-menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas
imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan. Tahukah Anda mengenai jenis
vaksin imunisasi rutin yang ada di Indonesia? Berikut akan diuraikan
macam vaksin imunisasi rutin meliputi deskripsi, indikasi, cara
pemberian dan dosis, kontraindikasi, efek samping, serta penanganan
efek samping.
b. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu
yang paling berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada
periode waktu tertentu. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi
tambahan adalah Backlog fighting, Crash program, PIN (Pekan
Imunisasi Nasional), Sub-PIN, Catch up Campaign campak dan
Imunisasi dalam Penanganan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI).
c. Imunisasi Khusus
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi
tertentu. Situasi tertentu antara lain persiapan keberangkatan calon
jemaah haji/umrah, persiapan perjalanan menuju negara endemis
penyakit tertentu dan kondisi kejadian luar biasa. Jenis imunisasi
khusus, antara lain terdiri atas Imunisasi Meningitis Meningokokus,
Imunisasi Demam Kuning, dan Imunisasi Anti-Rabies.
2. Imunisasi Pilihan
Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang
bersangkutan dari penyakit menular tertentu, yaitu vaksin MMR, Hib,
Tifoid, Varisela, Hepatitis A, Influenza, Pneumokokus, Rotavirus,
Japanese Ensephalitis, dan HPV.
E. Jenis-Jenis Imunisasi
a. Imunisasi BCG adalah prosedur memasukkan vaksin BCG yang
bertujuan memberi kekebalan tubuh terhadap kuman eningitisis
tuberculosis dengan cara menghambat penyebaran kuman.
b. Imunisasi hepatitis B adalah tindakan imunisasi dengan pemberian
vaksin hepatitis B ke tubuh bertujuan memberi kekebalan dari penyakit
hepatitis.
c. Imunisasi polio adalah tindakan memberi vaksin polio (dalam bentuk
oral) atau di kenal dengan nama oral polio vaccine (OPV) bertujuan
memberi kekebalan dari penyakit meningitisis. Imunisasi dapat di
berikan empat kali dengan interval 4-6 minggu.
d. Imunisasi DPT adalah merupakan tindakan imunisasi dengan memberi
vaksin DPT (difteri meningitis tetanus)/ DT (difteri tetanus) pada anak
yang bertujuan memberi kekebalan dari kuman penyakit difteri, pertusi,
dan tetanus. Pemberian vaksin pertama pada usia2 bulan dan berikutnya
dengan interval 4-6 minggu.
e. Imunisasi campak adalah tindakan imunisasi dengan memberikan
vaksin campak pada anak yang bertujuan memberi kekebalan dari
penyakit campak. Imunisasi dapat di berikan pada usia 9 bulan secara
subkutan, kemudian ulang dapat diberikan dalam waktu interval 6 bulan
atau lebih setelah suntikan pertama.
Adapun jenis vaksin pada anak yaitu vaksin polio, campak, rubella,
difteria, batuk rejan, meningitis, cacar air, gondongan, dan hepatitis B.
Sedangkan, terdapat 3 jenis vaksinasi yag di berikan pada kelompok anak-
anak ataupun dewasa dengan resiko tinggi menderita infeksi yaitu: Hepatitis
A,Influenza,Pneumonia.
D. PEMBERIAN VAKSIN
Sebelum melakukan penyuntikan, petugas menanyakan kepada orang tua
tentang riwayat imunisasi yang lalu dan kondisi sebelum petugas melakukan
penyuntikan seperti ada tidaknya hal-hal yang menjadi kontra-indikasi. Setelah itu
dilakukan penentuan letak titik dimana akan melakukan penyuntikan kemudian
titik tempak penyuntikan tersebut dibersihkan dengan menggunakan kapas
alcohol. Penyuntikan dilakukan secara Intramuskular pada anterolateral paha.
Setelah dilakukan penyuntikan, vaksin polio diberikan sebanyak 2 tetes per oral.
Gambar 3.6 Pemberian Vaksin
E. SETELAH PEMBERIAN IMUNISASI
a. Mencatat pada kartu imunisasi , riwayat imunisasi yang telah dilakukan.
b. Menentukan jadwal vaksinasi selanjutnya .
B. PENYIMPANAN VAKSIN
Vaksin disimpan dalam Cool Box.
D. PEMBERIAN VAKSIN
a. Anamnesis indikasi dan kontra-indikasi pemberian imunisasi pada
anak .
b. Tempatkan suntikan pada paha untuk vaksinasi IPV, tetapi terlebih
dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol.
c. Untuk vaksinasi IPV untuk anak 4 bulan diberikan 0,5 ml.
2. PENYIMPANAN VAKSIN
2. Vaksin DPT-HB-Hib
Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak berbeda secara
bermakna dengan vaksin DPT, Hepatitis B dan Hib yang diberikan secara
terpisah. Untuk DPT, beberapa reaksi lokal sementara seperti bengkak, nyeri
dan kemerahan pada lokasi suntikan disertai demam dapat timbul. Vaksin
hepatitis B dan vaksin Hib dapat ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat
terjadi dalam 24 jam setelah vaksinasi dimana penerima vaksin dapat
merasakan nyeri pada lokasi penyuntikkan. Reaksi ini biasanya bersifat ringan
dan sementara, pada umumnya akan sembuh dengan sendirinya dan tidak
memerlukan tindakan medis lebih lanjut.
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian vaksin
sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah
bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan
gerak yang kurang (hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis
terus selama 2 jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.
Pemberian vaksin sebaiknya ditunda pada orang yang berpenyakit infeksi
akut. Vaksin DPT, baik bentuk DtaP maupun DTwP, tidak diberikan pada
anak kurang dari usia 6 minggu. Sebab, respons terhadap pertusis dianggap
tidak optimal. Vaksin pertusis tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
3. Vaksin Polio
Sejak pengenalan vaksin poliovirus di tahun 1950 dan awal tahun 1960,
efektivitas vaksin untuk mencegah poliomyelitis teah dibuktikan secara nyata.
Kasus polio terakhir di Amerika Serikat yang disebabkan oleh virus polio liar
dilaporkan di Negara barat sejak Agustus 1991, dan hal ini membuat Amerika
mendapat sertifikasi bebas polio dari komisi internasional di tahun 1994.
Fakta ini membuat pemikiran positif bahwa polio dapat dieradikasi di dunia.
OPV sering disebut sebagai vaksin polio sabin sesuai nama penemunya,
bentuk trivalent (tOPV) untuk mencegah tga jenis virus polio. Vaksin (tOPV)
adalah vaksin hidup yang dilemahkan (Live Attenuated Virus Vaccine),
diberikan tiga dosis secara serial untuk memberikan kekebalan seumur hidup.
Vaksin polio oral lebih efektif untuk pemberantasan poliomyelitis, karena
virus yang dilemahkan akan mengadakan replikasi di trakktus
gastrointestinalis bagian bawah. Hail ini dapat menutup replikasi virus
sehingga virus lain tidak dapat menempel dan menyebabkan kelumpuhan.
Kemamppuan ini dapat menekan transmisi virus saat KLB. Namun, vaksin
OPV adalah virus yang dilemahkan, yang dapat mengalami mutasi sebelum
dapat bereplikasi dalam usus dan disekresi keluar. Hal ini menimbulkan
kerugian berupa munculnya circulating vaccine derived polio viruses
(cVDPVs) dan vaccine associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Saat ini ,
mulai di perrtimbangkan pemberian vaksin OPV bivalent (bOPV) yang berisi
virus tipe 1 dan 3 sesuai rekomendasi WHO.
Vaksin polio inaktif (IPV) sebenarnya lebih dulu ditemukan dari OPV,
disebut vaksin polio Salk, sesuai dengan nama penemunya Jonas Salk di
tahun 1955. Vaksin IPV berisi virus inaktif, berisi 3 tipe virus polio liar.
Vaksin yang disuntikkan akan memunculkan imunitas yang dimediasi IgG
dan mencegah terjadinya viremia serta melindungi motor neuron. Vaksin IPV
mampu mencagah kelumpuhan karena menghasilkan antibody netralisasi
yang tinggi. Pada tahun 1980, komposis awal IPV yang ditemukan Salk
dikembangkan sehingga memiliki kandungan antigen yang lebih tinggi,
dikenal sebagai enhanced potency IPV (eIPV) dan digunakan sampai
sekarang. Keuntungan lain IPV adalah dapat diberikan pada kasus dengan
status immunocompromised. Namun bila dibandingkan dengan OPV, vaksin
inaktif ini kurang kuat dalam memberikan perlindungan mukosa dan kurang
kuat dalamm memberikan perlindungan mukosa dan kurang efektif untuk
menimbulkan berdimmunity. Harga IPV relative mahal, dinegara maju,
pemberiam IPV lebih direkomendasikan karena dapat mengurangi angka
kejadian VAPP dan VDPV.
5. Miyamura T. 2012. Ten years After Polio Eradicatin from the WRPO
region: Current Status and Future Problems Vaccine.2012.30:1406-8.
6. Davis R, Wright PF. Circulating vaccine derived Poliovirus and The Polio
eradication endgame. Pan African Med J 2012;12:109.
7. Committee on Infectious Diseases. Poliovirus. Pediatrics 2011;128:805-8.
8. Irawan Hindra. Eradikasi Polio. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta Sari Pediatri 2016;18(3):248
9. Marcdante Karen J, et al. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.
Saunders Elsevier. 2014