Anda di halaman 1dari 24

PAPER NAMA : Alifia Zahrah

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 150100029


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

PAPER

UVEITIS

Disusun oleh :
ALIFIA ZAHRAH
150100029

Supervisor :

Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked(Oph), Sp.M(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih,
berkat, dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Konjungtivitis Vernal”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat
untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr.
dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian
diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, Juni 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI .....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi traktus uvealis.................................................................................2
2.2 Uveitis...........................................................................................................5
2.2.1 Definisi.................................................................................................5
2.2.2 Etiologi.................................................................................................5
2.2.3 Epidemiologi........................................................................................5
2.2.4 klasifikasi ............................................................................................6
2.2.5 Faktor resiko.........................................................................................9
2.2.6 Manifestasi klinis.................................................................................10
2.2.7 Diagnosis..............................................................................................11
2.2.8 Tatalaksana...........................................................................................14
2.2.9 komplikasi............................................................................................16
2.2.10 Prognosis............................................................................................16

BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................19

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagian penampang mata..................................................................3


Gambar 2.2 Lapisan koroid..................................................................................4
Gambar 2.3 Gambar cell & flare pada slit lamp dan keratik prespirat..................10
Gambar 2.4 Snowballs..........................................................................................11

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis yang
meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid yang disebabkan oleh infeksi, trauma,
neoplasia, atau proses autoimun. 1

Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya juga
ikut mengalami inflamasi. Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan jaringan
uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut siklitis. Iritis dengan siklitis
disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis anterior dan merupakan bentuk uveitis
tersering. Dan bila mengenai lapisan koroid disebut uveitis posterior atau koroiditis. Uveitis
umumnya unilateral,biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan. Ditandai adanya
riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur, mata merah tanpa sekret mata purulen dan
pupil kecil atau ireguler.2

Gejala uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan menimbulkan komplikasi
kebutaan bila tidak diatasi dengan baik. Selain itu, uveitis dapat mengakibatkan peradangan
jaringan sekitar mata seperti sklera, retina, dan nervus optik sehingga memperburuk perjalanan
penyakit dan meningkatkan komplikasi. Karena uveitis dapat menimbulkan kebutaan, dokter
harus mampu menegakkan diagnosis klinis, memberikan terapi awal, menentukan rujukan serta
menindaklanjuti pasien rujukan balik yang telah selesai ditatalaksana oleh dokter spesialis.3

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI TRAKTUS UVEALIS4

Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini merupakan lapisan
vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh sklera. Struktur ini ikut mendarahi
retina.Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari arteri
oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang
terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris
posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.

Iris

Iris adalah perpanjangan corpus cilliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan
apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan
anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing- masing
berisi aqueous humor. Didalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan
berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan
epitel pigmen retina kearah anterior.

Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan
endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresein
yang disuntikkan secara IV. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi
cilliares.

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada
prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang
dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.

2
Gambar 1. Bagian penampang mata

Corpus Ciliare

Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke
depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). corpus cilliare terdiri atas zona
anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana
(4 mm). Processus ciliares berasal dari pars plicata. Processus ciliare ini terutama terbentuk dari
kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-
lubang sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena.

Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen disebelah dalam yang merupakan
perluasan neuroretina ke anterior dan satu lapisan berpigmen disebelah luar, yang merupakan
perluasan lapisan epitel pigmen retina. Procesus cilliares dan epitel siliaris pembungkusnya
berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor.

Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat longitudional, sirkular, dan radial. Fungsi
serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di
lembah-lembah di antara procesus cilliares. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa
sehingga lensa dapat mempunyai berbagai focus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang
berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal muscullus cilliaris menyisip ke
dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya.

3
Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus cilliaris berasal dari circulus arteriosus
major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf siliaris.

Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sclera. Koroid tersusun atas tiga lapis
pembuluh darah koroid ; vesikuler besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di
dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai
koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap
kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran bruch dan disebelah luar oleh
sclera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sclera. Koroid melekat erat ke posterior
pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior koroid bergabung dengan corpus cilliares.
Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar retina yang menyokongnya.

Gambar 2. Lapisan koroid

4
2.2 UVEITIS
2.2.1 Definisi
Uveitis merupakan inflamasi yang terjadi di uvea. Uvea merupakan struktur
vaskuler pada mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Reaksi inflamasi
yang terjadi semakin memburuk karena etiologinya tidak hanya disebabkan agen
infeksius tetapi juga agen non infeksius seperti proses autoimun. 5

2.2.2 Epidemiologi
Insiden uveitis di negara berkembang sebanyak 714 per 100.000 populasi
dan 25% diantaranya menjadi penyebab kebutaan. Negaraberkembang khususnya
negara tropis memiliki iklim dan patogen yang berbeda-beda dengan negara maju
sehingga prevalensi penyakit uveitis akibat infeksi seperti toxoplasma dan
tuberculosis lebih tinggi. Sementara pada negara maju seperti amerika dan eropa
kasus uveitis menduduki 5-20% dari penyebab kebutaan.6
Sebagian besar pasien uveitis menunjukkan variasi dalam hal prevalensi
relatif berbagai bentuk uveitis. Uveitis anterior sebanyak 28-66 % kasus, uveitis
intermediate 5-15 %, uveitis posterior 19-51 %, dan panuveitis 7-18 %. 7

2.2.3 Etiologi
Uveitis paling sering adalah idiopatik tetapi juga dapat disebabkan oelh
trauma, inflamasi, dan proses infeksi. Pasien dapat datang dengan bersamaan
gejala sistemik ataupun penyakit infeksi. Kasus uveitis idiopatik meliputi 48-70%
dari seluruh kasus uveitis.8
Gangguan inflamasi sitemik umumnya berhubungan dengan uveitis anterior
seperti :9
 HLA-B27-associated entities
 juvenile idiopathic arthritis
 inflammatory bowel disease
 sarcoidosis
 Behcet's disease (BD)

5
 tubulo-interstitial nephritis (TINU).  
Penyebab uveitis intermediate dengan manifestasi sistemik :9
 Multiple sclerosis
 Sarcoidosis
 TINU
Penyebab uveitis posterior dengan manifestasi sistemik :9
 sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
 leukemia
 lupus
 BD
 multiple sclerosis
Proses infeksi dianggap bertanggung jawab atas sekitar 20% dari semua
kasus uveitis tetapi penyebab yang mendasari dapat bervariasi secara geografis.
Penyebab infeksi termasuk virus (HSV, VZV, CMV), bakteri (endophthalmitis,
sifilis, tuberkulosis, dll), atau parasit / cacing (toksoplasmosis, Penyakit Lyme,
toxocara, Bartonella sp. Atau infeksi atipikal lainnya).10

2.2.4 Klasifikasi

The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The


Standardardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) membagi uveitis
berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit. 11
Klasifikasi uveitis berdasarkan :

1. Berdasarkan anatomi : 11,12


a. uveitis anterior
 Iritis: peradangan terbatas pada iris
 Iridosklitis: peradangan pada iris dan badan siliar
b. uveitis intermediate
Uveitis intermediet disebut juga siklitis, uveitis perifer
atau pars planitis, adalah jenis peradanan intraocular
terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang

6
terpenting adanya peradangan korpus siliaris pars plana,
retina perifer dan vitreus

c. uveitis posterior
Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis, koroiditis,
vaskulitis retina, dan papilitis, yang bisa terjadi sendiri-sendiri
atau bersamaan

d. pan uveitis
inflamasi pada seluruh uvea
2. Berdasarkan perjalanan penyakit : 11,12
a. Akut
Apabila serangan timbulnya mendadak, sembuh dalam waktu
kurang dari 4 minggu
b. Kronik
Uveitis persisten atau kambuh sebelum tiga bulan setelah
pengobatan dihentikan.

c. rekurens

Apabila terjadi serangan berulang disertai dengan penyembuhan


yang sempurna di antara serangan-serangan tersebut. Biasanya
penyembuhan sudah berlangsung tiga bulan atau lebih

d. remisi
tidak ada gejala uveitis selama tiga bulan atau lebih.
3. Patologinya : 11,12
a. non granulomatosa
Diduga akibat alergi, karena tak pernah ditemukan
kumannya dan sembuh dengan pemberian kortikosteroid.
Timbulnya sangat akut. Reaksi vaskuler lebih hebat dari
reaksi seluler sehingga injeksinya hebat. Di iris tak
tampak nodul. Sinekia posterior halus-halus oleh karena
hanya sedikit megandung sel. Cairan COA mengandung

7
lebih banyak fibrin daripada sel. Badan kaca tak bayak
kekeruhan. Rasa sakit lebih hebat, fotofobia dan bisus
juga banyak terganggu. Pada stadium akut karena banyak
mengandung fibrin dapat terbentuk hipopion. Lebih
banyak mengenai uvea anterior. Patologi anatomis: di iris
dan badan siliar didapatkan sel plasma dan sel- sel
mononuclear

b. granulomatosa
Terjadi karena invasi mikrobakteri yang patogen ke jaringan
uvea, meskipun kumannya sering tidak ditemukan sehingga
diagnose ditegakkan berdasarkan keadaan klinis saja. Timbulnya
tidak akut. Reaksi seluler lebih hebat daripada reaksi vaskuler.
Karenanya injeksi siliar tidak hebat. Iris bengkak, menebal,
gambaran bergarisnya kabur. Di permukaannya terdapat nodul
busacca. Di pinggir pupil juga didapat nodul Koepe. Keratic
presipitat besar-besar, kelabu dan disebut mutton fat deposit.
Coa keruh seperti awan, lebih banyak sel daripada fibrin. Badan
kaca keruh. Rasa sakit sedang, fotofobia sedikit. Visus terganggu
hebat oleh karena media yang dialui cahaya banyak terganggu.
Keadaan ini terutama mengenai uvea posterior. Patologis
anatomis nodul, terdiri dari sel raksasa, sel epiteloid dan limfosit.

4. Penyebab yang diketahui : 11,12


a. bakteri : tuberkulosis , sifilis
b. virus : herpes simplek, herpes zoster, citomegalovirus
c. jamur : candida
d. parasit : toksoplasma, toksokara
e. imunologik : sindrom behcet, sindrom vogt-koyanagi-harada,
oftalmia simpatika, poliarteritis nodosa, granulomatosis
wegener

8
f. penyakit sistemik : penyakit kolagen, artritis reumatoid juvennil,
multipel skerosis, sarkoidosis, penyakit vaskular.
g. Neoplasmik : leukemia, melanoma maligna, reticullum cell
sarcoma
h. Idiopatik

2.2.5 Faktor Risiko13,14,15


 Toksoplasmosis pada hewan peliharaan
 Penyaki menular seksual
Sifilis, reither’s syndrom atau HIV (human immunodeficiency virus)
(HIV) menjadi risiko signifikan.
 Perokok
Penelitian menyatakan bahwa di dalam rokok ditemukan senyawa-
senyawa tertentu yang ditemukan dalam bagian air yang larut dalam
asap rokok meliputi oksigen radikal bebas, yang dapat menyebabkan
peradangan pembuluh darah. Mengingat bahwa uveitis adalah hasil
dari kekebalan dysregulation, maka masuk akal bahwa rokok dapat
berkontribusi pada pathogenesis uveitis.

 Usia

Beberapa kondisi lebih sering mengenai beberapa kelompok usia


tertentu.

• Anak anak (<16y.o) lebih sering: Juvenile Rheumatoid Arthritis,


Toxocariasis.

• dewasa muda lebih sering penyakit imunologis : Behcet’s, Human


Leukocyte Associated antigen B27– associated uveitis, Fuch’s
uveitis.

• Usia lanjut lebih sering uveitis sekunder dikarenakan infeksi: Vogt


Koyanagi Harada’s (VKH) syndrome, Herpes Zoster Ophthalmicus,
Tuberculosis and Leprosy.Sarkoidosis

9
 Jenis kelamin

Beberapa kondisi dapat mengenai jenis kelamin tertentu,seperti :

Laki laki : Ankylosing spondylitis, Reiters, Behcet’s, Sympathetic


ophthalmia.

Perempuan : Rheumatoid arthritis, Juvenile Rheumatoid Arthritis

2.2.6 Manifestasi Klinis 5,8,16

A. Uveitis anterior :
Gejala uveitis anterior umunya ringan- sedang dan dapat sembuh sendiri,
namun pada uveitis berat tajam penglihatan dapat menurun.
Gejala : mata merah, nyeri, fotofobia dan penunan tajam penglihatan.
Tanda : di bilik mata anterior terdapat pelepasan radang,pengeluaran
protein (cell and flare), sinekia posterior , endapan sel radang di endotel
(keratic precipitates).

Gambar 3 . Gambaran cells dan flare pada slit lamp 3x1 mm(kiri)
keratik prespirat (kanan)
B. Uveitis intermediet:
Gejala : biasanya ringan yaitu penurunan tajam penglihatan tanpa
disertai nyeri dan mata merah.
Tanda : edema makula dan agregasi sel di vitreus (snowballs), pars
plana berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi (snowbank).

10
4

Gambar 4. snowball

C. Uveitis Posterior:
Gejala : penglihatan kabur yang tidak disertai rasa nyeri, mata merah,
dan fotofobia.
Tanda : lesi korioretina, putih di retina, vascular sheathing

D. Panuveitis:
Gejala : mata merah, nyeri, penurunan tajam penglihatan yang berat
Tanda : gabungan dari tanda anterior dan posterior

2.2.7 Diagnosis

Uveitis dapat disebabkan oleh peradangan uvea, merupakan bagian


dari penyakit sistemik, perluasan peradangan di kornea dan sklera, serta
trauma walaupun sebagian idiopatik. Diagnosis klinis mudah ditegakkan
tetapi diagnosis pasti berdasarkan etiologi merupakan tantangan bagi
dokter spesialis mata sehingga penatalaksaan uveitis yang cepat dan tepat
untuk mencegah kebutaan juga sulit.
Anamnesis dan pemeriksaan mata
Menentukan diagnosis klinis kelainan mata menyatakan bahwa 56%
diagnosis diperoleh dari anamnesis dan meningkat sampai 73% setelah
pemeriksaan fisik termasuk mata. Pemeriksaan laboratorium hanya
meningkatkan 5% diagnosis namun paling banyak memerlukan biaya

11
sehingga perlu dipilih sesuai kebutuhan setiap pasien (cost effective and

taylor made).11
Klasifikasi uveitis yang disusun oleh SUN sangat membantu
menegakkan diagnosis uveitis. Pada klasifikasi tersebut, uveitis dibagi
menjadi uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan
panuveitis.
 Gejala uveitis anterior dapat berupa nyeri, fotofobia, penglihatan
kabur, injeksi siliar, dan hipopion.
 Uveitis posterior dapat menurunkan tajam penglihatan namun
tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia bahkan sering
asimtomatik.
 Gejala uveitis intermediet umumnya ringan, mata tenang dan
tidak nyeri namun dapat menurunkan tajam penglihatan.
 Panuveitis merupakan peradangan seluruh uvea yang
menimbulkan koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior.
Dalam menegakkan diagnosis, perlu diperhatikan apakah uveitis

terjadi di satu mata atau di kedua mata. Selain itu, perlu diperhatikan

usia, ras, onset, durasi, tingkat keparahan gejala, riwayat penyakit mata

dan penyakit sistemik sebelumnya.11

Kemudian dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan untuk

menentukan ada/tidaknya penurunan ketajaman penglihatan dan derajat

penurunan tajam penglihatan. Tes yang dapat dilakukan ialah tes snellen

chart, pinhole test. Pinhole test baik digunakan ketika kita mencurigai

apakah ada kelinan refraksi.

Slit-lamp
Digunakan untuk menilai segmen anterior karena dapat memperlihatkan
injeksi siliar dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan

12
jumlah sel di bilik mata, hipopion serta kekeruhan lensa.17,18 Pemeriksaan
oftalmoskop indirek ditujukan untuk menilai kelainan di segmen posterior seperti
vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis dan kelainan papil nervus optik.15
Pemeriksaan laboratorium
Bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer lengkap, laju

endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody.19 Pemeriksaan


laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu misalnya uveitis ringan dan
trauma.
Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat dilakukan pemeriksaan PCR,
kultur dan tes serologi. Sensitivitas serologi akan meningkat bila disertai
pemeriksaan koefisien goldmann- witmer yaitu membandingkan konsentrasi

hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi darah.11 Diagnosis pasti


toksoplasmosis ditegakkan jika pemeriksaan IgM Toxoplasma memberikan hasil
positif atau jika titer antibodi IgG Toxoplasma meningkat secara bermakna (4x
lipat) atau terjadi konversi IgG dari negatif ke positif pada pemeriksaan kedua
dengan interval 2-3 minggu. Pemeriksaan cairan intraokular dengan PCR sangat
spesifik. Perbandingan kadar IgG Toxoplasma cairan akuos dan serum cukup
sensitif (48–90%).
Diagnosis tuberkulosis okular ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan mata, dan pemeriksaan penunjang seperti rontgen toraks, tes
tuberkulin, dan pemeriksaan sputum dengan pewarnaan ziehl-neelsen.
Pemeriksaan lainnya adalah PCR (menggunakan spesimen dari aqueous tap atau
biopsi vitreus), dan interferon-gamma release assay (IGRA). PCR sangat spesifik
untuk mendeteksi Mycobacterium namun sensitivitasnya bervariasi. Diagnosis
pasti ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan ditemukannya Mycobacterium dari
spesimen okular (kultur atau amplifikasi DNA).
Pemeriksaan serologi
Sifilis dibagi menjadi nontreponema dan treponema. Serologi nontreponema
meliputi venereal disease research laboratory (VDLR) dan rapid plasma reagin

13
sedangkan serologi treponema meliputi fluorescent treponemal antibody

absorbed dan T.pallidum particle agglutination.20


Optical coherence tomography (OCT) merupakan pemeriksaan non-
invasif yang dapat memperlihatkan edema makula, membran epiretina, dan
sindrom traksi vitreomakula. Saat ini telah dikembangkan high-definition
spectral- domain OCT yang memberikan resolusi lebih tinggi dan waktu lebih
singkat dibandingkan time-domain OCT. Spectral-domain OCT bermanfaat

pada uveitis dengan media keruh.20


USG B-scan sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada
keadaan media keruh misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat
membedakan ablasio retinae eksudatif dengan regmatosa serta membedakan
uveitis akibat neoplasma atau abses. USG
B-scan dapat menilai penebalan koroid seperti pada sindrom VKH dan

menilai pelebaran ruang tenon yang sangat khas pada skleritis posterior.17
Fundus fluoresen angiografi (FFA) adalah fotografi fundus yang dilakukan
berurutan dengan cepat setelah injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa)
intravena. FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi pembuluh darah retina
dan koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi retina serta menilai integritas
pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina. Fluoresen
diekskresi dalam 24 jam dan pada waktu tersebut dapat menyebabkan urin pasien
berwarna oranye.

2.2.8 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah untuk menekan reaksi inflamasi,
mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur, memperbaiki fungsi penglihatan
serta menghilangkan nyeri dan fotofobia. 11 Untuk menghilangkan peradangan dan
rasa sakit dengan steroid dan cycloplegics topikal. Terapi tambahan tergantung
pada proses terkait. Misalnya, obat anti-virus diperlukan pada uveitis herpes,
sedangkan baktrim dapat digunakan dalam toksiklasma korioretinitis.
Antimetabolit, biologik, dan obat imunosupresif lainnya (mis., Metotreksat,

14
azatioprin, mikofenolat, siklosporin, adalimumab, dan infliximab) sering
diperlukan untuk kasus kronis, tidak menular, terutama dalam kasus yang terkait
dengan penyakit inflamasi sistemik. Namun, agen ini hanya boleh diresepkan oleh
penyedia yang dilatih khusus dalam penggunaannya dan disesuaikan dengan
profil efek sampingnya.

Kortikosteroid topikal merupakan terapi pilihan untuk mengurangi

inflamasi yaitu prednisolon 0,5%, prednisolon asetat 1%, betametason 1%,


deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%. Injeksi kortikosteroid periokular
diberikan pada kasus yang membutuhkan depo steroid dan menghindari efek
samping kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid sistemik diberikan untuk
mengatasi uveitis berat atau uveitis bilateral. Penggunaan kortikosteroid harus
dipantau karena meningkatkan tekanan intraokular (TIO), menimbulkan katarak,
glaukoma, dan meningkatkan risiko infeksi bakteri dan jamur bila digunakan
dalam jangka panjang. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan jangka panjang

harus diturunkan secara perlahan.11


NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sedangkan
siklopegik diberikan untuk mencegah sinekia posterior. Obat yang diberikan
adalah siklopentolat 0,5-2% dan homatropin. Siklopentolat menginduksi
siklopegik dalam waktu 25-75 menit dan midriasis dalam 30- 60 menit; efek
dapat bertahan selama satu hari. Homatropin merupakan terapi siklopegik pilihan
untuk uveitis; menginduksi siklopegik dalam 30-90 menit dan midriasis 10-30
menit. Efek siklopegik bertahan 10-48 jam sedangkan midriasis bertahan 6 jam-4
hari. Sulfas atropin diberikan sebagai antiinflamasi dan midriatikum yang
11
bertahan selama dua minggu. Sikloplegik, biasanya atropin atau siklogil,
digunakan untuk meminimalkan rasa sakit dengan mengurangi kejang pada tubuh
ciliary dan mencegah dan / atau melisiskan sinechia posterior (pelekatan iris ke
kapsul lensa). Obat-obatan ini biasanya diterapkan dua kali sehari sampai
peradangan telah sembuh atau telah berkurang secara signifikan sebelum
penghentian. 8
Pada uveitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotik diberikan

15
selama 2-3 hari, setelah itu dapat ditambahkan kortikosteroid untuk menekan
inflamasi. Penisilin merupakan antibiotik lini pertama untuk terapi sifilis dan
diberikan setiap jam selama 10-21 hari disertai kortikosteroid untuk mengurangi

inflamasi.11 Penisilin G benzatin diberikan 2.000.000-4.000.000 U IM setiap 4


jam selama 10-14 hari dilanjutkan 2.400.000 U IM setiap minggu selama 3
minggu.
Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki penglihatan. Operasi
dilakukan pada kasus uveitis yang telah tenang (teratasi) tetapi mengalami
perubahan permanen akibat komplikasi seperti katarak, glaukoma sekunder, dan
ablasio retina. Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi dan steroid
intraokular atau periokular dapat diberikan pasca-operasi. Kekeruhan vitreus
sering terjadi pada uveitis intermediet dan posterior sedangkan neovaskularisasi
diskus optik dan retina sering menimbulkan perdarahan vitreus. Vitrektomi
ditujukan untuk memperbaiki tajam penglihatan bila kekeruhan menetap setelah

pengobatan.21
Untuk uveitis anterior, yang paling umum, terapi terdiri dari kortikosteroid
topikal dan cycloplegics. 8 Perawatan uveitis intermediet, posterior, dan panuveitis
jauh lebih kompleks dan harus dipandu oleh dokter spesialis mata, khususnya
spesialis uveitis, jika memungkinkan.

2.2.6 Komplikasi
Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO)
akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau
penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi
nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain meliputi
corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula, edema
diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment. 22

2.2.7 Prognosis

16
Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal diantaranya derajat keparahan,
lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum, peradangan yang berat perlu
waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih sering menyebabkan kerusakan
intraokular dan kehilangan penglihatan dibandingkan dengan peradangan ringan
atau sedang. Selain itu uveitis anterior cenderung lebih cepat merespon
pengobatan dibandingkan dengan uveitis intermediet, posterior atau difus.
Umumnya kasus uveitis anterior prognosisnya baik bila di diagnosis lebih awal
dan diberi pengobatan yang tepat. Prognosis visual pada iritis kebanyakan pulih
dengan baik tanpa adanya katarak, glaukoma dan uveitis posterior. Keterlibatan
retina, koroid atau nervus optikus cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.
( sumber22)

17
BAB 3
KESIMPULAN

Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Uveitis
merupakan salah satu penyebab kebutaan di negara berkembang. Penyakit ini
dapat disebabkan oleh faktor eksogen, endogen, infeksi maupun noninfeksi.
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi
secara anatomis, etiologis, perjalanan penyakit dan patologis. .

. Tata laksana uveitis bertujuan untuk menekan reaksi inflamasi, memperbaiki


struktur dan fungsi penglihatan, menghilangkan nyeri dan fotofobia. Obat yang
dapat digunakan adalah kortikosteroid, imunosupresan, NSAID, siklopegik dan
antimikroba bila terdapat infeksi. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan
tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk
mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak
diharapkan. Penyakit yang mendasari uveitis harus diatasi secara komprehensif
untuk mencegah perburukan dan komplikasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurwasis, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bagian Ilmu Penyakit Mata.
Edisi III. Penerbit Surabaya: Airlangga; 2006. hlm. 72-4.
2. Levinson RD. Immunogenetics of ocular inflammatory disease. Tissue
Antigens. 2014; 69(7):105-12
3. Sitompul, R. (2016). Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya
Mencegah Kebutaan. EJKI, 4(1), 60-70.
4. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya medika, 2000.
5. Intraocular inflamation and uveitis.American Academy of
Ophtalmology.10:295- 98
6. Miserocchi, E., Fogliato, G., Modorati, G., & Bandello, F. (2013). Review on
the Worldwide Epidemiology of Uveitis. European Journal of
Ophthalmology, 23(5), 705–717. doi:10.5301/ejo.5000278 
7. Yanoff, M. and Duker, JS., 2009. Yanoff and Duker’s Ophthalmology. 3rd
Edition. UK: Mosby Elsevier.
8. Harthan JS, Opitz DL, Fromstein SR, Morettin CE. Diagnosis and treatment
of anterior uveitis: optometric management. Clin Optom (Auckl). 2016;8:23-
35. [PMC free article] [PubMed]
9. Yeh S, Forooghian F, Suhler EB. Implications of the Pacific Ocular
Inflammation uveitis epidemiology study. JAMA. 2014 May
14;311(18):1912-3. [PubMed]
10. de Groot-Mijnes JD, de Visser L, Zuurveen S, Martinus RA, Völker R, ten
Dam-van Loon NH, de Boer JH, Postma G, de Groot RJ, van Loon AM,
Rothova A. Identification of new pathogens in the intraocular fluid of patients
with uveitis. Am. J. Ophthalmol. 2010 Nov;150(5):628-36. [PMC free article]
[PubMed]
11. Kanski, Jack J; Bowling B. 2016. Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach, 8th edition. Australia: Elveiser.
12. Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis

19
and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb;
58(1):11-19.
13. Haroon, M., O'Rourke, M., Ramasamy, P., Murphy, C. C., & FitzGerald, O.
(2015). A novel evidence-based detection of undiagnosed spondyloarthritis in
patients presenting with acute anterior uveitis: the DUET (Dublin Uveitis
Evaluation Tool). Annals of the rheumatic diseases, 74(11), 1990-1995.
14. Lin P, Loh AR, Margolis TP, Acharya NR (2010). "Cigarette smoking as a
risk factor for uveitis". Ophthalmology. 117 (3): 585–90. 
15. Rathinam, S., & Babu, M. (2013). Algorithmic approach in the diagnosis of
uveitis. Indian Journal of Ophthalmology, 61(6), 255. doi:10.4103/0301-
4738.114092 
16. Conrady CD, Feistmann JA, Roller AB, Boldt HC, Shakoor A. Hemorrhagic
Vasculitis And Retinopathy Heralding As An Early Sign Of Bacterial
Endophthalmitis After Intravitreal Injection. Retin Cases Brief Rep. 2019
Fall;13(4):329-332. [PubMed]
17. Khairallah M, Hmidi K, Jelliti B, Hasnaoui W, Zaouali S, Jenzeri S, et al.
Clinical characteristics of intermediate uveitis in Tunisian patients. Int
Ophthalmol. 2010;30(5):531–7.
18. Islam N, Pavesio C. Uveitis (acute anterior). BMJ Clin Evid. 2010:0705.
19. Pleyer U, Chee SP. Current aspects on the management of viral uveitis in
immunocompetent individuals. Clin Ophthalmol. 2015;9:1017–28
20. Dunn JP. Uveitis. Prim Care. 2015;42(3):305-23.
21. Foster CS, Vitale AT. Diagnosis and treatment of uveitis. Edisi kedua. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher; 2013.
22. Groen F, Ramdas W, de Hoog J, Vingerling JR, Rothova A. Visual outcomes
and ocular morbidity of patients with uveitis referred to a tertiary center
during first year of follow-up. Eye (Lond). 2016 Mar;30(3):473-80. [PMC
free article] [PubMed]

20

Anda mungkin juga menyukai