Anda di halaman 1dari 25

CASE REPORT

Panuveitis OD

Disusun Oleh:

Yudi Wahyudi

NPM 1102013315

Pembimbing :

Dr. Laila Wahyuni, Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

TAHUN 2017
BAB I
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
No CM : 010644xx
Tanggal : 28 November 2017
Nama : Ny. D
Umur : 21 tahun
Alamat : Pamengpek
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 28 November
2017 di Poliklinik Mata RSU dr.Slamet Garut
Keluhan Utama : Mata kanan merah dan penuruanan penglihatan
Anamnesa Khusus :

Pasien wanita usia 21 tahun datang ke RSUD dr Slamet Garut dengan keluhan mata kanan
merah disertai penuruanan penglihatan dan rasa nyeri yang dirasakan 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Penuruanan penglihatan dirasakan mendadak ketika pasien melakukan pekerjaan rumah
tangga biasa. Mata terasa nyeri ketika ditekan dan digunakan untuk melirik. Pasien juga mengaku
mata silau bila terkena sinar matahari.
Pasien mengaku sudah memberi obat tetes mata yaitu cendo xitrol sebanyak 6 kali sehari
dan minum obat metilprednisolone 4mg 2 kali sehari yang didapatkan dari praktek dokter namun
tidak ada perbaikan dan keluhan pada mata kanan masih ada.
Pasien tidak merasa ada keluhan mata berair, mata kering, sepeti berpasir. Keluhan nyeri
kepala dan mual muntah di sangkal juga oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku pernah mengalami keluhan yang sama 4 tahun yang lalu, pasien pernah
berobat ke dokter mata dan sembuh setelah di berikan obat cendo xitrol dan metiprednisolone 4mg,

1
keluhan tersebut hilang timbul hingga sekarang, terakhir psien menggunakan obat yang sama
namun tidak ada perbaikan.
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan DM.
Anamnesa Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Sosial Ekonomi : Cukup
Pasien tidak bekerja, pasien adalah anak tunggal, pasien tinggal dirumah bersama ayah dan ibu,
pembiayaan pengobatan pasien menggunakan uang pribadi.
Kesan: Sosial ekonomi menengah
Riwayat Gizi : Cukup
Pasien mengaku makan dengan frekuensi dua kali sehari. Riwayat minum alkohol disangkal pasien
Kesan: Gizi cukup
PEMERIKSAAN VISUS & REFRAKSI

Visus OD OS
SC 1/300 0.1 F2
CC - -
STN - -
Koreksi - -
ADD - -
Posisi Bola mata Ortotropia Ortotropia
Gerakan Bola Mata Versi dan duksi baik ke segala Versi dan duksi baik ke segala
arah arah
Gerakan bola mata Baik kesegala arah Baik kesegala arah
0 0
0 0
0 0
0 0

0 0
0 0

2
PEMERIKSAAN EKSTERNAL

OD OS

OD OS
Palpebra superior Tenang Tenang
Palpebra inferior Tenang Tenang

Margo Palpebra Tenang Tenang

Silia Tumbuh teratur, trichiasis Tumbuhteratur, trichiasis(-


(-), madarosis(-) ), madarosis(-)

Ap. Lakrimalis Refluks(-) Refluks(-)

Konj. Tarsalis superior Tenang Tenang


Konj. Tarsalis inferior Tenang Tenang
Konj. Bulbi Hiperemis, Inj. siliar Tenang
Kornea Keratic precapitat Jernih
COA Hipopion, fibrin f/s +3/+3 Sedang
Pupil Bulat, sentral, isokhor Bulat, sentral, isokhor
Diameter pupil 3 mm 3 mm
Reflex cahaya
Direct + +
Indirect + +
Iris Coklat, kripti (+) Coklat, kripti (+)
Lensa Jernih Jernih

3
PEMERIKSAAN SLIT LAMP & BIOMICROSCOPY

OD OS

OD OS
Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur
Konjungtiva Inj. Siliar Tenang
Kornea KP Jernih
COA Hipopion (+), fibrin s/f 3+/3+ Dangkal
Pupil Bulat, sentral, isokhor Bulat, sentral, isokhor
Iris Coklat, kripti (+) Coklat, kripti (+)
Lensa Jernih Jernih
Tonometri digital 12.0 mmHG 17.0 mmHG
Palpasi N/palpasi N/palpasi

PEMERIKSAAN FUNDUSCOPY
OD OS

Sulit dinilai Lensa Tidak diperiksa

Sulit dinilai Vitreus Tidak diperiksa

Sulit dinilai Fundus Tidak diperiksa

Sulit dinilai Papil Tidak diperiksa

Sulit dinilai CDR Tidak diperiksa

Sulit dinilai A/V Retina Sentralis Tidak diperiksa

4
Sulit dinilai Retina Tidak diperiksa

Sulit dinilai Makula Tidak diperiksa

RESUME
Pasien wanita usia 21 tahun datang ke RSUD dr Slamet Garut dengan keluhan mata kanan
merah disertai penuruanan penglihatan dan rasa nyeri yang dirasakan 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Penuruanan penglihatan dirasakan mendadak ketika pasien melakukan pekerjaan rumah
tangga biasa. Mata terasa nyeri ketika ditekan dan digunakan untuk melirik. Pasien juga mengaku
mata silau bila terkena sinar matahari. Pasien tidak ada keluhan mata berair, mata kering, sepeti
berpasir. Keluhan nyeri kepala dan mual muntah di sangkal juga oleh pasien.
Pasien mengaku sudah menggunakan obat tapi tidak kunjung sembuh, pasien pernah
mengalami hal serupa 4 tahun yang lalu, pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan DM.
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Tomposmentis
Td : 120/60 mmHG
Status Oftalmologis :
Pemeriksaan OD OS
Visus 1/300 0.1 F2
Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
Palpebra superior Tenang Tenang
Palpebra inferior Tenang Tenang
Conjunctiva bulbi Hiperemis Tenang
Kornea Jernih Jernih
COA Hipopion (+), fibrin (+) Dangkal
Pupil Bulat. Ishokor,ditengah Bulat, ishokor, ditengah
Iris Coklat,kripti(+),sinekia(-) Coklat,kripti(+),sinekia(-)
Lensa Jernih Jernih
Tonometri Digital 12.0 mmHG 17.0 mmHG

DIAGNOSIS BANDING

5
Keratitis
Glukoma akut

DIAGNOSIS KERJA
Panuveitis
RENCANA TERAPI
Medikamentosa
Polydex (polymixine, neomycin, dexamethasone) 8x OD
Metilprednisolone 1x 48
Ranitidine 2x150mg
Tropin (atropine sulfat) 2x1 OD
PROGNOSIS
- Quo ed vitam : Ad bonam
- Quo ed functionam : Dubia ad malam

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 DEFINISI UVEITIS DAN PANUVEITIS


Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea
(iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Sedangkan uveitis difus atau panuveitis adalah proses
inflamasi yang mengenai semua unsur traktus uvealis atau dengan kata lain panuveitis tidak
memiliki tempat inflamasi/peradangan yang predominan dimana inflamasi merata pada kamera
okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal.
Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil,
endoftalmitis bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti
infiltrat geografik secara khas tidak ada. 1

Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang
dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi
elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. 1
2.3 EPIDEMIOLOGI
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka kejadian
panuveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya panuveitis diakibatkan oleh
toxoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk panuveitis pada umumnya oftalmia simpatika
akibat tingginya angka trauma tembus. Sedangkan pada wanita banyak disebabkan oleh
toxoplasmosis.1

2.4 LOKASI PANUVEITIS

Lokasi anatomi panuveitis pada dasarnya merupakan seluruh traktus uvealis yang
merupakan gabungan dari uveitis anterior, uveitis intermediet, dan uveitis posterior, yaitu meliputi:

a) Uveitis anterior

- Iritis : inflamasi yang dominan pada iris

7
- Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata

b) Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer

c) Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus. 1,2

Gambar 1. Lokasi Panuevitis (gabungan dari lokasi uveitis anterior, intermediet, dan posterior) 2

2.5. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis panuveitis meliputi gambaran klinis yang terjadi pada uveitis
anterior,intermediet,dan posterior. Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia,
epifora, gatal yang dalam dan tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan
memburuk apabila terpapar cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien dengan mengenakan
kacamata. Epifora yang terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar
airmata, dan tidak ada hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan.3-5

Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih lebih baik, walaupun
pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya akomodasi menjadi lebih sulit dan tidak
nyaman. Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan menyebabkan
pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan sklera, walaupun
konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan slitlamp. Pada
beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit endotel berwarna coklat keabu-abuan
yang disebut keratic precipitates (KP).5

8
Gambar 2. Keratic Precipitates4

Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit (hipopion); dan
flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang meradang; dan dapat ditemukan pada
kamera okuli anterior sehingga kamera okuli anterior tampak kotor dan berkabut). Iris dapat
mengalami perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat terjadi
perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang terlihat nodul
granulomatosa pada stroma iris.3-5

Gambar 3. Sinekia posterior.5

9
Gambar 4. Flare.5

Gambar 5. Hipopion.6

10
Gambar 6. Uveitis anterior dengan keratik presipitat mutton-fat

dan nodul Koeppe dan Busacca.6

Gambar 7. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris

dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior.6

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar. Namun
saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum. Apabila debris
ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang normal maka dapat
terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder.

Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau
posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama terjadi

11
pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat bintik-bintik terapung di dalam
lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan
distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia.
Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat adanya
kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan oftalmoskop.5

Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel di
kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinekia posterior dan anterior. Sel radang lebih besar
kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan slit-
lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan
kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering
menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu terlihat adanya
selubung perivaskuler pada pembuluh retina.4,5

Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam waktu
5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut makular
permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan
membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.

Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,
korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan
retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior
bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik.5

Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes.
Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis, sarcoidosis,
penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti korioretinitis
serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma,
atau sarkoidosis.6

Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang menimbulkan
kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah menimbulkan sel-sel
vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior
umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan penglihatan

12
secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada gilirannya kadang-
kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.

Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh sindrom samaran, seperti
retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur ini adalah
infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella.5,6

Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior termasuk


toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi sitomegalovirus, sindrom samaran,
panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen
posterior. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial adalah
toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis candida,
dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis meningococcus.6

Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis retina
akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel retikulum, atau kriptokosis.

Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat toksoplasmosis,
kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi bakteri endogen. Onset uveitis
posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen posterior mata
yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan infeksi bakterial.
Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat.4,

2.6 PENDEKATAN DIAGNOSIS PANUVEITIS

Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit itu. Misalnya,
karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis akan mengeluh sakit dan
fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan penglihatan kecuali bila prosesnya berat
atau cukup lanjut hingga mengeruhkan humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid sendiri
tidak menimbulkan sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina, penyakit
koroid hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral akan terganggu.7 Vitreus juga dapat
menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid dan retina yang merdang. Namun
gangguan penglihatan proposional dengan densitas kekeruhan vitreus dan bersifat reversible bila

13
peradangan mereda. Adapun, secara umum pasien yang sedang mengalami peradangan uvea akan
mengeluhkan gejala-gejala umum sebagai berikut:

- Mata merah (hiperemis konjungtiva)

- Mata nyeri

- Fotofobia

- Pandangan mata menurun dan kabur

- Epifora

Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi dari
gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat, fotofobia, dan
hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan hipopion. Faktor diluar
gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis anterior. Onset, durasi, dan
keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui. Selain itu usia pasien, latar
belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan. Riwayat rinci dan review dari
sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi pasien dengan uveitis.7

Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan
antara lain:

1. Pemeriksaan subyektif mata

a. Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam


pengllihatan, pemeriksaan gerakan bola mata.

b. Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan

c. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal.

2. Pemeriksaan obyektif mata

Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:

14
a. Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal

b. Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering
ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat menuju
arah limbus. Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi
semakin banyak dengan arah menjauhi limbus.)

c. Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi dari
produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah.

d. Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.

e. Pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung mengenai
iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara langsung
mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:

- Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan beberapa
penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.

- Pupil dalam kondisi miosis.

3. Pemeriksaan funduskopi

4. Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp

a. Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau benda
asing.

b. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea

c. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah putih
pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka diklasifikasikan ke dalam
uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan
penuh lemak (gambaran granula mutton-fat).

d. Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera okuli
anterior tampak kotor.

15
e. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada kamera
okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:

- 0 tidak ditemukan

- +1 ditemukan dalam jumlah sedikit

- +2ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)

- +3 iris dan lensa terlihat berkabut

- +4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi).

5. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan


hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan laboratorium
ini tidak dilakukan bila pasien mengalami uveitis nongranulomatosus unilateral untuk
pertama kali dan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang
khas

b. Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis rekurens, pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll.

2.7 TATALAKSANA

Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis
mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah
pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien.
Penanganan panuveitis secara garis besar bertujuan untuk mencegah komplikasi penglihatan,
mengurangi keluhan pasien, dan mentatalaksana penyakit yang mendasari.8

Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan


peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau sistemik
dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:

16
1. Pemberian Obat Anti Radang

Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu


dengan cara:

Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat dari
fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel
B dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan
disebabkan karena infeksi.
Mengurangi permeabilitas pembuluh darah
Mengurangi pembentukan jarangan parut
Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga
sangat bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal untuk
mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya komplikasi.
Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa
ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan
tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan
setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam
08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada
malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga
dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat digunakan
untuk memaksimalkan supresi adrenal.

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu


perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah
pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit

17
dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan
kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian obat.
Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison,
selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi.
Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik.
Seterusnya dapat diberikan selang sehari.

Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:

Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes. Tergantung
dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi.
Prednisolon asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan
berbentuk precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum
digunakan. Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga
pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor.
Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika mulai
dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terapi inisial selama 3-4 minggu
sebelum pemberian steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
responsive terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam
transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan dengan pemberian
sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang
infeksius atau skleritis karena penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.
Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:
1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan

2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:

- Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of choice untuk
uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi dari
leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine dapat
menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone juga tidak
boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien sedang mengalami

18
infeksi jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setiap 1-6 jam (dewasa).
Prednisolone dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan katarak
dalam pemakaian jangka panjang.

2. Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil.
Selain itu, juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi. Mekanisme
ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.

Contoh obat sikloplegia:

- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek maksimal
dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal
kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi
cepat, demam, merah, dan mulut kering.

- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan midriasis
setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek ini dapat
menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis
dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien yang
mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate. Dosis
yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).

- Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis setelah
10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6 jam - 4
hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choiceyang sering digunakan pada
uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain
itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma sudut
tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt
3dd (dewasa).

19
2.8 KOMPLIKASI

Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada panuveitis yaitu:8

1. Glaukoma sekunder

Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea antara
lain:

a. Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat peradangan
iris pada uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea menyempit dan
mengganggu drainase dari humor aqueous sehingga terjadi peningkatan volume pada
kamera okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular.

b. Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di beberapa
tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi tidak teratur dan
terlihat pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat menimbulkan glaukoma
dengan memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di belakang iris, sehingga
menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea.

c. Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel radang
(fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior meningkat dan
terjadi glaukoma.

2. Atrofi nervus optikus

Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus optikus
sehingga terjadi kebutaan permanen.

3. Katarak komplikata

Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada
fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya
mengenai seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis visualnya
tidak sebaik katarak senilis biasanya.

4. Ablasio retina

20
5. Edema kistoid macular.

6. Efek penggunanan steroid jangka panjang.

Tabel 1. Efek Penggunaan Steroid Jangka Panjang

Tempat Macam efek samping

1. Saluran cerna - Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi


gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis
regional, kolitis ulseratif.

- Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.


2. Otot
- Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
3. Susunan saraf pusat mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,


4. Tulang
fraktur tulang panjang.

- Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis


5. Kulit akneiformis, purpura, telangiektasis.

6. Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

7. Darah - Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

8. Pembuluh darah - Kenaikan tekanan darah

9. Kelenjar adrenal bagian- Atrofi, tidak bisa melawan stres


kortek

21
10Metabolisme protein,- Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
KH dan lemak meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.

- Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,


tetani, aritmia kor)
11Elektrolit
- Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan
herpes simplek, keganasan dapat timbul.
12Sistem immunitas

22
BAB III

KESIMPULAN

Panuveitis adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus uvealis atau dengan
kata lain panuveitis tidak memiliki tempat inflamasi/peradangan yang predominan dimana
inflamasi merata pada kamera okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti retinitis,
koroiditis, dan vaskulitis retinal. Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang
berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis
yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik secara khas tidak ada. Adanya
peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina,
sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya.

Penyebab pasti dari panuveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang pasti dari
panuveitis juga belum diketahui. Secara umum, panuveitis dapat disebabkan oleh reaksi
imunitas. panuveitis sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan
sifilis; adapun, postulate reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang
dapat melukai sel dan pembuluh darah uvea.

Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi
setting penanganan pelayanan primer ataupun segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis
mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah
pada kamera okuli anterior, antibiotic tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan peradangan.
terapi pembedahan yang diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi
penglihatan, biopsy untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam rencana pengobatan,
dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk memonitor segmen posterior mata.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Huang JJ, Gaudio PA. Ocular inflammatory disease and uveitis manual: diagnosis and
treatment. Philladelphia: Wolters Kluwer; 2010.p. 70-5.
2. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan dan asbury : oftamologi umum. Ed ke-17. Jakarta: EGC;
2014.h. 62-7; 151-60.
3. Foster CS, Vitale AT. Diagnosis and treatment of uveitis. Michigan: Saunders WB; 2002.p.
82-90.
4. Bonfioli AA et al. Intermediate uveitis. Semin ophthalmol 2005; 20: 147.
5. Nussenblatt RB, Whitcup SM. Uveitis: fundamentals and clinical practice. 4th ed. Los
Angeles: Elsevier Health Science; 2010.p. 35-40; 69-90.
6. Kuta Gregory, Cantor Luis, Weiss Jayne. 2008. Clinical Approach to Uveitis. Intraocular
Inflammation and Uveitis. American Academy Ophtalmology. Singapura.
7. Ilyas Sidarta. Radang Uvea. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum Dan Mahasiswa
Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2002.h. 110-20.
8. Janigian, Robert H. Uveitis, evaluation and treatment. 2010. Diunduh pada 11 April 2016
dari www.emedicine.medscape.com

24

Anda mungkin juga menyukai