Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

KELAINAN REFRAKSI

Disusun oleh :
Fitriyani 03015079

Pembimbing:
dr. Heru Mahendrata Singgih, SpM

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT MATA


PERODE 2 DESEMBER 2019 – 3 JANUARI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul

“Kelainan Refraksi”

Telah diterima, disetujui dan disahkan oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik Penyakit Mata di RSUD BUDHI ASIH JAKARTA periode
2 DESEMBER 2019 – 3 JANUARI 2020

Jakarta, Desember 2019

dr. Heru Mahendrata Singgih, SpM


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kelainan Refraksi”.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Penyakit Mata di RSUD BUDHI
ASIH JAKARTA.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Heru Mahendrata Singgih, SpM, yang
telah membimbing penulis dalam menyusun referat ini, kepada seluruh dokter yang telah
membimbing penulis selama di kepaniteraan klinik Penyakit Mata di RSUD BUDI ASIH
JAKARTA dan terima kasih juga untuk semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini. Penulis
menerima kritik dan saran sebagai pembelajaran dan semoga referat ini dapat memberikan
manfaat.

Jakarta, Desember 2019

Fitriyani, S.Ked
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................... iii

DAFTAR ISI................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................3

2.1 Media Refraksi ..................................................................3

2.1.1 Anatomi dan Histologi ...............................................3

2.1.2 Fisiologi dan akomodasi ..........................................15

2.2 Kelainan Refraksi............................................................19

2.2.1 Definisi .....................................................................19

2.2.2 Klasifikasi Kelainan Refraksi ..................................20

2.2.2.1 Miopia .............................................................20

2.2.2.2 Hipermetropi ...................................................24

2.2.2.3 Astigmatisma...................................................27

2.2.2.4 Presbiopia ........................................................30

2.3 PEMERIKSAAN REFRAKSI ........................................38

2.3.1 Pemeriksaan Subjektif ..............................................38

2.3.2 Pemeriksaan Objektif ................................................42

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang Refraksi ..............................42

2.4 PENATALAKSANAAN ................................................44

BAB VI DAFTAR PUSTAKA ..............................................................47


BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan organ sensorik kompleks yang mempunyai fungsi optikal untuk melihat
dan saraf untuk transduksi (mengubah bentuk energi ke bentuk lain) sinar. Penyakit mata sampai
saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia,terutama yang menyebabkan kebutaan.
Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. Upaya untuk mencegah dan
menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan perlu mendapatkan perhatian.(1)
Kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan mata yang paling sering terjadi.
Terdapat empat jenis gangguan refraksi, yaitu hypertropia/rabun jauh dikoreksi dengan lensa
konveks, myopia/rabun dekat dikoreksi dengan lensa bikonkaf, astigmatisma/lengkungan lensa
tidak seragam dikoreksi dengan lensa silindris dan presbiopia adalah rabun membaca dekat yang
dikoreksi dengan lensa bikonveks. Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan
pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi
dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus.
Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur.(1)
WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, di mana sepertiganya
berasal dari Asia Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta tiap menit di dunia, dan 4
diantaranya berasal dari Asia tenggara. Penyebab utama adalah katarak (0,79%), glaukoma
(0,20%), kelainan refraksi (0,14%), dan penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia
(0,38%). Dari 153 juta orang di dunia yang mengalami kelainan refraksi, delapan juta orang
diantaranya mengalami kebutaan.(2)Di Indonesia terdapat sekitar 1,5% atau 3,6 juta penduduknya
mengalami kebutaan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013
menunjukkan bahwa proporsi pengguna kaca mata atau lensa kontak pada penduduk umur di
atas 6 tahun di Indonesia adalah sebesar 4,6%; proporsi penurunan tajam penglihatan sebesar
0,9%; proporsi kebutaan sebesar 0,4%. (2)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MEDIA REFRAKSI

Media refraksi terdiri atas kornea, aqueous humor, lensa, badan vitreous (badan kaca), dan
panjang bola mata. Gangguan pada media refraksi akan menyebabkan penurunan visus. Pada
orang normal susunan pembiasan oleh media refraksi dan panjangnya bola mata demikian
seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media refraksi dibiaskan tepat di daerah
makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata yang tidak melakukan akomodasi atau
istirahat melihat jauh.(3)
2.1.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI MATA (3,4,7,8)

1. Palpebra

Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata. Otot-otot yang
menyusun palpebra adalah M. orbicularis okuli yang berjalan melingkar didalam kelopak
atas dan bawah, terletak dibawah kulit kelopak. Pada tepi margo palpebra terdapat otot
orbicularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbicularis berfungsi menutup bola
mata yang dipersarafi n. facialis. M. levator palpebra, yang berorigo pada anulus foramen
orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. orbikulris okuli
mnuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra
terlihat sebagai sulkus palpebra. Otot ini dipersarafi oleh N.III, yang berfungsi untutk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata. Palpebra terdapat kelenjar seperti
kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeis pada pangkal rambut,
dan kelenjar Meibom pada tarsus Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a.
palpebra. Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari rumus frontal saraf V,
sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V. Didalam kelopak terdapat tarsus
yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar didalamnya atau kelenjar Meibom yang
bermuara pada margo palpebra.

2. Kornea

Kornea adalah selaput bening mata. Kornea tidak mengandung pembuluh darah,
berbentuk cembung, dan mempunyai indeks refraksi 1.3771. kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 550 µm di pusatnya, diameter horizontal sekitar 11,75 mm dan vertikalnya
10,6 mm. Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas, dan
deturgensinya. Kelengkungan kornea mempunyai kekuatan 40,0 Dioptri. Sumber-sumber
nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, aquous humor, dan air mata.
Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ophtalmicus) nervus kranialis V
(trigeminus). Dari anterior ke posterior kornea mempunyai lima lapisan, yaitu:
1. lapisan epitel
 Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier.
 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Merupakan lapisan jernih aseluler yang merupakan bagian stroma yang berubah,
terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan
dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
 Bersifat higroskopis yag menarik air. Kadar air diatur oleh fungsi pompa
sel endotel dan penguapan oleh epitel.
4. Membran Descement
Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.
5. Endotel
 Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40
μm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom
dan zonula okluden.
 Lapisan terpenting untu mempertahankan kejernihan kornea.
 Mengatur cairan dalam stroma.
 Tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga
mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm,
akan tetapi masih tahan terhadap trauma benda tumpul. Secara histologis sklera terdiri
atas 3 lapisan yaitu episklera, stroma dan lamina fusca. Episklera adalah lapisan
penyusun sklera paling luar, terdiri dari jaringan ikat elastis dan jaringan ikat kolagen
yang tersusun longgar. Lapisan ini mengandung banyak fibroblas dengan melanosit dan
leukosit. Stroma terdiri atas kumparan-kumparan fibroblas yang terletak di antara serabut
kolagen yang berdiameter besar dan tersusun padat, irregular serta kompleks. Sel
fibroblas pada stroma mengandung enzim proteolitik.

4. Aqueous Humor (cairan Mata)


Camera oculi anterior berisi cairan aqueous ±0.25ml. Sudut bilik mata depan atau
camera oculi anterior bagian anteriornya berbatasan dengan kornea, dan bagian
posteriornya berbatasan dengan iris. Aqueous humor merupakan cairan yang terdapat
pada bilik mata yang mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya tidak
memiliki pasokan darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan mengganggu
lewatnya cahaya ke fotoreseptor. Aqueous humour dibentuk dengan kecepatan 5 ml/hari
oleh jaringan kapiler di dalam korpus siliaris, turunan khusus lapisan koroid di sebelah
anterior. Cairan ini mengalir ke suatu saluran di tepi kornea yaitu sinus venosus ataupun
Canal of Schlemm dan akhirnya masuk ke darah.

5. Lensa
Suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir transparan sempurna.
Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa mata terdiri atas tiga bagian utama
yaitu kapsul lensa, sel epitel lensa dan sel serat lensa. Lensa tergantung pada zonula zinii di
belakang iris; zonula menhubungkannya dengan corpus ciliare. Di sebelah anterior lensa
terdapat aqueous humor; di sebelah posteriornya, vitreus. Kapsul lensa adalah suatu
membrane semipermeable yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Di sebelah
depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus dan korteks lensa terbentuk dari lamelae
konsentris yang panjang. Masing-masing serat lamelar mengandung sebuah inti gepeng.
Lensa ditahan oleh zonula zinii yang tersusun atas banyak fibril yang berasal dari permukaan
korpus siliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa.

Diameter dari lensa ±9-10mm, dengan ketebalan yang bervariasi antara ±3,5 – 5mm,
dan mempunyai berat sekitar 135 – 255mg. Lensa mempunyai dua permukaan permukaan
posteriornya (radius curvaturanya 10mm) lebih conveks dibandingkan dengan permukaan
anteriornya (radius curvaturanya 6mm). Kedua permukaan ini kemudian bertemu di equator.
Lensa memiliki indeks refraktif 1.39 dengan kekuatan 15 – 16 dioptri. Kekuatan akomodasi
lensa berbeda – beda berdasarkan usianya.

6. Retina
Lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi bagian
dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior hampir
sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Retina
mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah
retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai
daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh retina temporal. Fovea yang berdimeter
1,5 mm ini merupakan zona avaskular retina pada angiografi fluoresens. Retina berfungsi
menerima cahaya dan merubahnya jadi sinyal elektrokimiawi, untuk selanjutnya meneruskan
sinyal tersebut ke otak. Retina terdiri dari 3 macam sel saraf (neuron) yang berestafet dalam
meneruskan impuls penglihatan. Sel-sel tersebut adalah sel – sel fotoreseptor (konus dan
basilus), sel horizontal dan sel bipolar, serta sel ganglion. Retina mendapat vaskularisasi dari
lamina koriokapilaris koroid dan arteria retina sentralis. Retina terdiri dari 10 lapisan

7. Traktus Uvealis
Terdiri atas iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini merupakan lapisan
vascular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Struktur ini ikut
memperdarahi retina. Iris adalah bagian paling anterior dari traktus uvealis, membentuk
diagfarma didepan lensa kristalina. Iris mengatur banyaknya cahaya yang diteruskan ke
mata dengan mengubah aperture pupil. Iris membagi segmen anterior menjadi kamera
okuli anterior dan kamera okuli posterior. Pada iris terdapat dua macam otot yang
mengatur besarnya pupil, yaitu musculus dilatator pupillae (yang melebarkan pupil) dan
musculus sphincter pupillae (yang mengecilkan pupil). Ukuran pupil pada prinsipnya
ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat parasimpatis yang dihantarkan
melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis. Corpus
cilliare, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke
depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Corpus cilliare terdiri
atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2mm), dan zona posterior yang
datar, pars plana (4mm). Musculus cilliaris tersususn atas gabungan serat-serat
longitudinal, sirkular, danradial. Pembuluh darah yang memperdarahi corpus cilliare
berasal dari circulus anteriosus major iris. Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara
retina dan sklera. Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang,
dan kecil. Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membrane Bruch dan disebelah luar oleh
sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus.

2.1.2 FISIOLOGI MELIHAT DAN AKOMODASI (4,5)

Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. Pertama, pembiasan sinar/


cahaya. Hal ini berlaku apabila cahaya melalui perantaraan yang berbeda kepadatannya dengan
kepadatan udara, yaitu kornea, humour aquous, lensa, dan humour vitreous. Kedua, akomodasi
lensa, yaitu proses lensa menjadi cembung atau cekung, tergantung pada objek yang dilihat itu
dekat atau jauh. Ketiga, konstriksi pupil, yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya tepat di
retina sehingga penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila cahaya yang terlalu terang
memasukinya atau melewatinya. Hal ini penting untuk melindungi mata dari paparan cahaya
yang tiba-tiba atau terlalu terang. Keempat, pemfokusan, yaitu pergerakan kedua bola mata
sedemikian rupa sehingga kedua bola mata terfokus ke arah objek yang sedang dilihat.

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan
kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar
terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama
pada saat melakukan akomodasi atau melihat benda yang dekat. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih
panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula.
Kemampuan akomodasi lensa membuat cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina,
demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan
terfokus pada retina atau makula lutea. Akibat akomodasi, daya pembiasan bertambah kuat.
Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, semakin dekat benda makin kuat
mata harus berakomodasi (mencembung). Akomodasi terjadi akibat kotraksi otot siliar. Kekuatan
akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan meningkat bila mata melihat
kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat.
Pada saat seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka terjadi trias akomodasi yaitu:

(i) kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa dapat
mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke retina;
(ii) konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata tertuju
pada benda itu,
(iii) konstriksi otot konstriksi pupil dan timbulah miosis, supaya cahaya yang masuk tak
berlebih, dan terlihat dengan jelas. (5)

2.2 KELAINAN REFRAKSI

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata
sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di
belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus. Pada kelainan refraksi
terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur.
Media refraksi terdiri atas kornea, aqueous humor, lensa, badan vitreous, dan panjang bola mata.
Gangguan pada media refraksi akan menyebabkan penurunan visus.(3,8)

2.2.1 KLASIFIKASI KELAINAN REFRAKSI


2.2.1.1 MIOPIA
Bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak
berakomodasi, mata tersebut mengalami myopia, atau kabur bila melihat jauh (nearsighted).
Hal ini dapat disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola
mata terlalu panjang.
Kata miopia sendiri sebenarnya baru dikenal pada sekitar abad ke 2, yang mana terbentuk
dari dua kata meyn yang berarti menutup, dan ops yang berarti mata. Seseorang myopia
mempunyai kebiasaan menyipitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk
mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Dari semua kelainan refraksi yang ada, miopia
menduduki peringkat pertama sebagai kelainan yang paling banyak diderita oleh penduduk
dunia. Hampir 90% penderita miopia berada di negara berkembang. (4,10,12)

A. Menurut American Optometric Association (AOA), ada beberapa klasifikasi atau


pembagian miopia yakni klasifikasi miopia berdasaran temuan klinis dan klasifikasi
miopia berdasarkan derajat serta waktu timbulnya onset.

Klasifikasi
Jenis Klasifikasi
Miopia simple
Miopia nokturnal
Berdasarkan Temuan Klinis
Pseudomiopia
Degeneratif miopia
Miopia diinduksi

Berdasarkan Ukuran Dioptri Lensa Miopia Ringan (<3.00 D)


Yang Dibutuhkan Untuk
Miopia sedang (3.00 D-6.00 D)
Mengkoreksikannya
Miopia berat (>6.00 D)
Berdasarkan Waktu Timbulnya Onset Congenital myopia (present at birth and
persisting through infancy)

Youth-onset myopia (40 years of age)

Early adult-onset myopia (2-40 years of


age)

Late adult-onset myopia (>40 years of age)

Berdasarkan temuan klinis, terdapat lia jenis miopia menurut AOA yakni yang
pertama miopia simpleks. Miopia jenis ini disebabkan oleh dimensi bola mata yang
terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang terlalu tinggi. Ini
dikenal dengan miopia fisiologis. Kedua, miopia nokturnal yang hanya terjadi pada saat
kondisi disekeliling kekurangan cahaya, sebenarnya fokus titik jauh mata seseorang
bervariasi terhadap tahap pencahayaan yang ada. Terjadinya miopia nokturnal ini
dipercaya disebabkan oleh pupil yang sangat berdilatasi untuk memasukan cahaya,
sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia. Ketiga, pseudomiopia
yang diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi
sehingga terjadi kekejangan otot-otot siliaris yang memfiksasi lensa kristalina. Di
Indonesia, pseudomiopia disebut juga dengan miopia palsu, karena sifatnya yang hanya
sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan. Keempat, miopia
degeneratif yang disebut juga sebagai miopia malignan atau miopia progresif. Biasanya
merupakan miopia derajat tinggi dan tajam penglihatannya juga dibawah normal
meskipun telah dilakukan koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari waktu ke waktu.
Kelima, miopia induksi. Miopia jenis ini disebabkan oleh pemakaian obat-obatan, kadar
gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan sebagainya.

D. Patofisiologi
Kelainan refraksi yang terjadi pada waktu otot siliaris relaksasi (tidak
berakomodasi), cahaya dari objek jauh difokuskan di depan retina dan menjadi kabur,
karena bola mata yang terlalu panjang atau lensa yang terlalu kuat sehingga cahaya dekat
dibawa ke titik fokus tanpa akomodasi. Jadi, penderita myopia memiliki penglihatan
dekat lebih baik daripada penglihatan jauh. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan lensa
konkaf.(14)

E.Gejala Klinis :
1) Penglihatan jauh kabur merupakan gejala utama.
2) Gejala astenopia pada pasien miopi derajat ringan
3) Anak sering menyipitkan mata,merupakan hal yang sering dikeluhkan oleh orang tua.

F.Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis miopia dapat dilakukan pemeriksaan refraksi baik subjektif
maupun objektif, dimana hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tajam penglihatan membaik
dengan pemberian koreksi lensa negatif. Untuk melakukan penegakan diagnosis pada anak
dan pasien yang kurang kooperatif dapat menggunakan pemeriksaan streak retinoscopy.
Panjang bola mata pada miopia tinggi tipe aksial dapat di konfirmasi dengan biometri yang
bekerja berdasarkan prinsip ultrasonografi. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik
kresen yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata. Pada mata
dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi
makula dan degenerasi retina bagian perifer.

Pemeriksaan cara subjektif :


Cara subyektif ini penderita aktif menyatakan kabur terangnya saat di periksa.Pemeriksaan
dilakukan guna mengetahui derajat lensa negatif yang diperlukan untuk memperbaiki tajam
penglihatan sehingga menjadi normal atau tercapai tajam penglihatan terbaik. Alat yang
digunakan adalah kartu Snellen, bingkai percobaan dan sebuah set lensa coba.
Teknik pemeriksaan :
1. Penderita duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter (minimal 5 meter), jika kurang
dari 5 meter akan terjadi akomodasi.
2. Pada mata dipasang bingkai percobaan/trial frame dan satu mata ditutup dengan occlude,
didahului dengan mata kanan.
3. Penderita di suruh membaca kartu Snellen mulai huruf terbesar dan diteruskan sampai huruf
terkecil yang masih dapat terbaca.
4. Lensa sferis negatif terkecil dipasang pada tempatnya dan bila tajam penglihatan menjadi
lebih baik ditambahkan kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat terbaca huruf pada baris
terbawah.
5. Sampai terbaca basis 6/6.
6. Jika ditambah lensa sferis masih tidak bisa, kemungkinan pasien mempunyai astigmatisma.
Dilakukan Fogging Test.
7. Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama.
Pemeriksaan cara objektif :
- Autorefraktometer
- Retinoskopi

F. Tatalaksana
Pengobatan pasien miopia adalah dengan memberikan kaca sferis negatif yang
memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Cara kerjanya adalah dengan memfokuskan
kembali cahaya untuk jatuh tepat di retina, sehingga dapat mengkompensasi bentuk mata.
Dalam beberapa kasus, pasien lebih memilih untuk mengkoreksi myopia dengan cara
pembedahan, paling sering dengan menggunakan LASIK (Laser In Situ Keratomileusis), PRK
(Photoreactive Keratektomy) dan Laser Epithelial Keratomileusis. Prosedur pembedahan
keratorefraktif ini menggunakan laser untuk mengkoreksi atau memperbaiki penglihatan pasien
dengan cara membentuk kembali kornea atau permukaan depan mata pasien, yang secara efektif
dapat menyesuaikan kemampuan fokus mata pasien. Jika operasi berhasil maka pasien akan
memiliki tajam penglihatan yang sangat baik tanpa kacamata atau lensa kontak. LASIK dapat
mengkoreksi myopia sedang sampai dengan berat. Untuk orang muda, agar menjaga supaya
miopianya tidak bertambah, maka harus dijaga kesehatan umum dan matanya. Diusahakan cukup
tidur, pekerjaan dekat dikurangi, banyak bekerja di luar. Jangan membaca terus menerus.
Kacamata harus selalu dipakai; penerangan lampu yang baik, dari atas dan belakang. Membaca
dalam posisi kepala tegak jangan membungkuk. Karena ada predisposisi ablatio retina, harus
hati-hati dalam berolahraga berat, terutama untuk miopia tinggi. (16)
2.2.1.2 HIPERMETROPIA
Hipermetropia adalah keadaan mata tidak berakomodasi yang memfokuskan
bayangan di belakang retina. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya Panjang sumbu
(hyperopia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau menurunnya
indeks refraksi (hyperopia refraktif), seperti pada afakia. Penyebab utama hipermetropia
adalah panjangnya bola mata yang lebih pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek,
bayangan benda akan difokuskan di belakang retina.(3,4)

A. Klasifikasi :
Terdapat 3 bentuk hipermetropia :
1. Hipermetropia kongenintal, diakibatkan bola mata pendek atau kecil
2. Hipermetropia simple, biasanya lanjutan hipermetropia anak yang tidak berkurang
pada perkembangannya jarang melebihi >5 dioptri
3. Hipermetropia didapat, umum didapat setelah bedah pengeluaran lensa pada katarak
(afakia)
Berdasarkan besarnya dioptri hipermetropia dikelompokan menjadi :
1. Hipermetropia ringan : antara spheris +0,25 s/d +3,00 dioptri
2. Hipermetropia sedang : antara spheris +3,25 s/d +6,00 dioptri
3. Hipermetropia berat : ukuran dioptric lebih dari spheris +6,25 atau lebih

B. Patofisiologi
Sinar cahaya dan partikel cahaya yang masuk ke mata terkonvergensi pada titik di
belakang retina sementara akomodasi dipertahankan dalam keadaan relaksasi. Besarnya
hyperopia ditentukan oleh kekuatan diopteric dari lensa konvergen yang dibutuhkan
untuk memajukan titik fokus cahaya ke bidang retina.
C. Manifestasi Klinis
Pada anak-anak biasanya tidak memberikan keluhan. Keluhan yang ditemukan
pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh kabur, sakit kepala, silau, dan
kadang rasa juling atau melihat ganda. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya
akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena harus terus menerus berakomodasi untuk
melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di
daerah makula lutea.
D. Diagnosis
Hipermetropia dapat ditegakkan melalui pemeriksaan refraksi baik subjektif
maupun objektif, dimana tajam penglihatan membaik dengan pemberian koreksi lensa
positif. Standard utama untuk mendiagnosis hypermetropia secara subjektif adalah
menggunakan Snellen chart sedangkan secara objektif menggunakan autorefraksi atau
retinoskopi. Metode retinoskopi disarankan digunakan pada bayi atau anak-anak.
E. Tatalaksana
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya dibeirkan kacamata sferis positif
terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal.
Bila dengan +3.0 ataupun dengan +3.25 memberikan tajam penglihatan 6/6 maka
diberikan kacamata +3.25. Hal ini untuk memberikan istirahat pada mata. Pada pasien
dimana akomodasi masih sangat kuat pada anak-anak, maka sebaiknya pemeriksaan
dilakukan dengan memberian sikloplegik atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan
melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya
dengan mata yang isitirahat. Hipermetropi pada pasien yang sudah tua sebaiknya
diberikan kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.
Modifikasi yang dapat dilakukan adalah pengunaan cahaya yang cukup dalam aktivitas,
menjaga kualitas kebersihan mata dan apabila pasien adalah pengguna komputer
sebaiknya menggunakan komputer dengan kondisi ergonomis. Penyulit yang dapat terjadi
pada pasien dengan hypermetropia adalah esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat
pasien selamanya melakukan akomodasi dan glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi
otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata. (3,17)
2.2.1.3 Astigmatisma
Yang dimaksud dengan astigmat atau silinder disini adalah terdapatnyavariasi
kelengkungan kornea atau lensa mata pada meridian yang berbeda yangakan
menyebabkan sinar tidak terfokus pada satu titik sehingga penderita tidakdapat melihat
dengan focus/berbayang. Astigmat merupakan akibat bentuk kornea yang ovalseperti
telur, makin lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmat mata tersebut.

A. Klasifikasi astigmatisma :
Astigmatisma dapat dikalsifikasikan berdasarkan orientasi dan posisi relatif dari 2
garis fokus ini, yakni sebagai berikut:
1) Simple Myopic Astigmatism, yakni jika satu garis fokus berada di depan retina dan
yang lainnya berada di retina.
2) Compound Myopic Astigmatism, yakni jika kedua garis fokus berada di depan retina.
3) Simple Hyperopic Astigmatism, jika satu garis fokus berada di belakang retina dan
yang lainnya berada di retina.
4) Coumpound Hyperopic Astigmatism, jika kedua garis fokus berada di belakang retina.
5) Mixed Astigmatism, yakni jika satu garis fokus berada di depan retina dan yang
lainnya berada di belakang retina
B. Gejala Klinis:
Seseorang dengan astigmatisma akan memberikan keluhan :
1. Memiringkan kepala untuk melihat
2. Penglihatan akan kabur untuk jauh atau pun dekat
3. Bentuk benda yang dilihat berubah (distorsi)
4. Mengecilkan celah kelopak jika ingin melihat
5. Sakit kepala
6. Mata tegang dan pegal
7. Astigmatisma tinggi (4-8 D) yang selalu melihat kabur sering mengakibatkan
ambliopia.
C. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pasien akan
datang dengan gejala klinis seperti yang tersebut di atas. Pada pemeriksaan fisik, terlebih
dahulu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan kartu Snellen. Periksa kelainan
refraksi miopia atau hipermetropia yang ada, tentukan tajam penglihatan.
Dengan menggunakan juring atau kipas astigmat, garis berwarna hitam yang
disusun radial dengan bentuk semisirkular dengan dasar yang putih merupakan
pemeriksaan subyektif untuk menilai ada dan besarnya derajat astigmat.
Keadaan dari astigmatisma irregular pada kornea dapat dengan mudah di temukan
dengan melakukan observasi adanya distorsi bayangan pada kornea. Cara ini dapat
dilakukan dengan menggunakan Placido‟s Disc di depan mata. Bayangan yang terlihat
melalui lubang di tengah piringan akan tampak mengalami perubahan bentuk. Karena
sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan mempergunakan
keratometer, derajat astigmat dapat diketahui, sehingga pada saat dikoreksi untuk
mendapatkan tajam penglihatan terbaik hanya dibutuhkan lensa sferis saja.11

Gambar Kipas Astigmat

Gambaran Kornea normal dan kornea astigmat dengan tes Plasido

D. Tatalaksana
Astigmatisma ringan, yang tidak mengalami gangguan ketajaman penglihataan
(0,5 D atau kurang) tidak perlu dilakukan koreksi. Pada astigmatsma yang berat
dipergunakan kacamata silinder, lensa kontak atau pembedahan. (18)

1. Kacamata Silinder
Satuan atau ukuran pada astigmat dinyatakan dengan silinder dapat dengannotasi minus
ataupun notasi plus. Dimana pada astigmat terdapat axis yang menyatakan sudut sumbu
garis yang menghubungkan titik pertengahan pupildengan titik nodus.Kenaikan silinder
berpengaruh juga terhadap besar pertumbuhan spheres untukmiopia maupun astigmat.
Misal kenaikan silinder sebesar -0.25 maka dapat berartikenaikan spheres sebesar -0.25
dan notasi kenaikan silinder menjadi +0.25 dengan axis ditambah atau dikurangi 90
. Hal ini dapat terjadi karena adanya ekuivalensisilinder terhadap spheres. Contoh : dalam
resep didapat ukuran Sph -1.00 Cyl -0.50 Axis 90 (notasi silinder minus) maka akan sama
dengan Sph -1.50 Cyl+0.50 Axis 180 (notasi silinder menjadi plus).
2. Lensa Kontak
Pada penderita astigmatisma diberikan lensa rigid, yang dapat menetralisasi astigmat
yang terjadi di permukaan kornea.
3. Pembedahan
Untuk mengoreksi astigmatisma yang berat, dapat digunakan pisau khusus atau dengan
laser untuk mengoreksi kornea yang irreguler atau anormal. Ada bebrapa prosedur
pembedahan yang dapat dilakukan, diantaranya :
a. Photorefractive Keratectomy (PRK), laser dipergunakan unutk membentuk
kurvatur kornea.
b. Laser in Situ Keratomileusis (lasik), laser digunakan untuk merubah kurvatur
kornea dengan membuat flap (potongan laser) pada kedua sisi kornea.
c. Radial keratotomy, insisi kecil dibuat secara dalam dikornea.

2.2.1.4 PRESBIOPIA

Hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan pada semua
orang. Dengan bertambahnya usia maka semakin kurang kemampuan mata untuk melihat
dekat. Presbiopia terjadi akibat lensa makin keras, sehingga elastisitasnya berkurang.
Demikian pula dengan otot akomodasinya, daya kontraksinya berkurang sehingga tidak
terdapat pengenduran zonula Zinnii yang sempurna.(20) Seseorang dengan mata emetropik
(tanpa kesalahan refraksi) akan mulai merasakan ketidakmampuan membaca huruf kecil atau
membedakan benda-benda kecil yang terletak berdekatan pada usia sekitar 44-46 tahun. Hal
ini semakin buruk pada cahaya yang temaram dan biasanya lebih nyata pada pagi hari atau
apabila subyek lelah. Banyak orang mengeluh mengantuk apabila membaca. Gejala-gejala ini
meningkat sampai usia 55 tahun, kemudian stabil tetapi menetap.(16)
A. Klasifikasi :
1. Presbiopia Insipien
Tahap awal perkembangan presbiopia, dari anamnesa didapati pasien memerlukan
kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak tampak kelainan bila dilakukan tes, dan
pasien biasanya akan menolak preskripsi kaca mata baca.
2. Presbiopia Fungsional
Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan akan didapatkan kelainan ketika
diperiksa.
3. Presbiopia Absolut
Peningkatan derajat presbiopia dari presbiopia fungsional, dimana proses akomodasi
sudah tidak terjadi sama sekali.
4. Presbiopia Prematur
Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan biasanya berhubungan dengan
lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan.
5. Presbiopia Nokturnal
Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi gelap disebabkan oleh
peningkatan diameter pupil.

B. Gejala Klinis
 Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, akan
memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair dan sering
terasa pedas.
 Karena daya akomodasi berkurang maka titik dekat mata makin menjauh dan pada
awalnya akan kesulitan pada waktu membaca dekat huruf dengan cetakan kecil.
 Dalam upayanya untuk membaca lebih jelas maka penderita cenderung menegakkan
punggungnya atau menjauhkan obyek yang dibacanya sehingga mencapai titik
dekatnya dengan demikian obyek dapat dibaca lebih jelas.
B. Pengobatan
Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopia. Tujuan koreksi adalah untuk
mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan objek-objek yang dekat.
Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahan dengan lensa positif sesuai usia dan
hasil pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu membaca tulisan pada kartu Jaeger
20/30
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.00 D adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak melakukan
akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena tulisan yang dibaca terletak pada titik
fokus lensa +3.00D. Pada pasien presbiopia ini diperlukan kacamata baca atau adisi untuk
membaca dekat yang berkekuatan tertentu, biasanya :
1. 40 tahun +1.00 D
2. 45 tahun +1.50 D
3. 50 tahun +2.00 D
4. 55 tahun +2.50 D
5. 60 tahun +3-00 D

1.3 PEMERIKSAAN REFRAKSI


1.3.1 Pemeriksaan Subjektif
A. Pemeriksaan Visus Mata
Pemeriksaan visus merupakan pemeriksaan untuk melihat ketajaman
penglihatan.Cara memeriksa visus ada beberapa tahap. Menggunakan 'chart' yaitu
membaca 'chart' dari jarak yang ditentukan, yaitu 6 meter. Digunakan jarak sepanjang itu
karena pada jarak tersebut mata normal akan relaksasi dan tidak berakomodasi. Kartu
yang digunakan ada beberapa macam:
1.Snellen chart yaitu kartu bertuliskan beberapa huruf dengan ukuran yang berbeda untuk
pasien yang bisa membaca.
2.E chart yaitu kartu yang bertuliskan huruf E, tetapi arah kakinya berbeda-beda.
3.Cincin Landolt, kartu dengan tulisan berbentuk huruf „c‟ tapi dengan arah cincin yang
berbeda-beda.
a. Kartu diletakkan pada jarak 6 meter dari pasien. Bila berjarak 6 m, berarti visus
normalnya 6/6. Satuan selain meter ada kaki = 20/20.
b. Pencahayaan harus cukup
c. Bila ingin memeriksa visus mata kanan, maka mata kiri harus ditutup dan pasien diminta
membaca kartu.

Cara memeriksa :
• Pemeriksaan dilakukan dengan monokuler (satu mata) dimulai dengan mata kanan.
• Penderita/pasien diperintahkan untuk melihat obyek pada kartu Snellen dari yang terbesar
sampai dengan yang terkecil sesuai batas kemampuannya dengan jarak antara pasien dan kartu
Snellen 5-6 meter tergantung pada kartu Snellen yang dipakai.
• Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang pada
orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter
• Bila tajam penglihatan 6/10 berarti pada jarak 6 meter hanya dapat melihat huruf yang
seharusnya dapat dilihat pada jarak 10 meter
• Bila tidak dapat mengenali huruf terbesar pada kartu snelen maka dilakukan uji hitung jari. Jari
dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter. Penghitungan jari di mulai pada
jarak tepat di depan Snellen Chart, yaitu 6 m. Bila pasien dapat menghitung jari pada jarak 6 m,
maka visusnya 6/60.
• Bila tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 m, maka maju 1 m dan lakukan penghitungan
jari. Bila pasien dapat membaca, visusnya 5/60. Bila tidak dapat menghitung jari 5 m, di
majukan jadi 4 m, 3 m, sampai 1 m di depan pasien.
• Bila tidak bisa menghitung jari pada jarak 1 m, maka dilakukan pemeriksaan penglihatan
dengan lambaian tangan. Dengan uji lambaian tangan maka dapat dinyatakan tajam penglihatan
pasien yang lebih buruk dari 1/60 . orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan
pada jarak 300 m.
• Lambaian tangan dilakukan tepat 1 m di depan pasien. Dapat berupa lambaian ke kiri dan
kanan, atau atas bawah. Bila pasien dapat menyebutkan adanya lambaian, dengan proyeksi benar
berarti visusnya 1/300, apabila pasien dapat menyebutkan arah lambaian, atau proyeksi salah
apabila pasien tidak dapat menyebutkan arah lambaian.
• Bila tidak bisa melihat lambaian tangan, maka dilakukan penyinaran, dapat menggunakan 'pen
light” dilakukan pada ruangan yang gelap untuk penyinaran.
• Bila pasien dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang, berarti visusnya 1/~ dengan
proyeksi benar.
• Proyeksi sinar ini di cek dari 4 arah. Hal tersebut untuk mengetahui apakah tangkapan retina
masih bagus pada 4 sisinya, temporal, nasal, superior, dan inferior.
• Bila tak dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang, berarti visusnya 1/~ dengan
proyeksi salah.
• Bila tidak dapat melihat cahaya, maka dikatakan visusnya = 0 (no light perception)
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi,
maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole penglihatan membaik maka berarti terdapat
kelainan refraksi yang dapat dikoreksi dengan kaca mata. Bila penglihatan berkurang dengan
diletakkanya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau kekeruhan media
penglihatan yang mengakibatkan penglihatanya menurun.

2.3.2 Pemeriksaan Objektif


a) Streak Retinoscopy
Retinoskopi adalah pemeriksaan untuk menentukan secara objektif gangguan refraksi mata
(myopia, hipermetropia dan astigmatisma) dan kebutuhan akan kacamata. Tes ini cepat, mudah,
akurat dan terpercaya serta hanya membutuhkan kerjasama yang minimal dari pasien.
Refleks retinoskopi bergerak memiliki tiga karateristik utama yaitu:
1. Kecepatan. Refleks bergerak paling lambat ketika pemeriksa berada jauh dari titik fokus dan
menjadi lebih cepat ketika titik fokus didekati. Dengan kata lain kesalahan-kesalahan refraktif
besar memiliki refleks pergerakan yang lambat, sedangkan kesalahan-kesalahan kecil
memiliki refleks yang cepat

2. Kecerahan. Refleks tumpul ketika pemeriksa jauh dari titik fokus, menjadi lebih cerah ketika
netralitas didekati. Refleks berlawanan (against reflexes) biasanya redup daripada refleks
searah (with reflexes).
3. Lebar. Lintasan sempit ketika pemeriksa jauh dari titik fokus. Meluas dengan mendekati titik
fokus dan tentu saja mengisi seluruh pupil pada titik fokus itu sendiri.

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang Refraksi

1.Uji Pinhole
Uji ini untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang kurang terjadi akibat kelainan
refraksi atau kelainan organik media penglihatan. Penderita duduk menghadap kartu Snellen
dengan jarak 6 m. Penderita di suruh melihat huruf terkecil yang masih terlihat dengan jelas.
Kemudian pada mata tersebut ditaruh lempeng berlubang kecil (pinhole atau lubang sebesar 0.75
mm). Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan dengan melihat melalui Iubang kecil berarti
terdapat kelainan refraksi. Bila terjadi kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan
pada media penglihatan. Mungkin saja ini diakibatkan kekeruhan kornea, katarak, kekeruhan
badan kaca, dan kelainan makula lutea.

Gambar uji pinhole

2. Uji Plasido
Uji plasido dilakukan untuk melihat kelengkungan kornea. Dipakai papan plasidos
dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada sumber cahaya
atau jendela, sedagkan pasien membelakangi jendela. Papan plasido adalah. Cara
Pemeriksaan :
 Pasien duduk membelakangi sumber cahaya, pemeriksa di depan pasien.
 Pemeriksa melihat refleks cahaya yang melingkar dari alat yang jatuh ke kornea pasien,
dengan mengintip melalui lubang tengah alat.
 Pemeriksa maju perlahan hingga gambaran cincin terlihat di kornea pasien.
 Posisi mata pasien dan pemeriksa harus segaris.
 Pada keadaan normal, terlihat garis lingkaran cincin hitam dan putih yang reguler di kornea
pasien. Lingkaran lonjong berarti adanya astigmatisme kornea. Lingkaran yang kurang tegas
mungkin akibat wdema kornea keruh.
3. Retinometri
Heine (Heine Optotechnik gmbh & Co., Germany) Lambda 100 Retinometer
(Interferometer) bekerja berdasarkan prinsip Maxwellian view; sebuah lubang berukuran
mikro disinari oleh lampu halogen melalui filter merah dan digambarkan oleh sebuah
sistem optik yang menuju pupil pasien. Sistem optik tersebut terdiri dari dua lensa,
dimana jaringan optik dengan jarak yangt bervariasi dapat diposisikan dalam sinar paralel
yang melewatinya. Di fraksi yang dihasilkan membentuk pola melingkar dengan garis-
garis merah dan hitam pada jarak yang sama pada retina. Jarak antara garis tersebut
sesuai dengan E Snellen. Orientasi pada garis tersebut dapat dipilih dengan cara
menggunakan sebuah prisma pada 45 derajat. Karena sinar pada bidang pupil sangat
sempit, sebuah "jendela" kecil pada opasitas lensa akan cukup untuk memungkinkan
cahaya lewat demi keberhasilan pemeriksaan.
Retinometer hanya memberikan perkiraan atau gambaran dari potensi ketajaman.
Ketajaman seorang pasien mungkin dapat berupa lebih baik atau lebih buruk dari yang
telah diharapkan.
Berikut adalah langkah untuk mengukur potensi ketajaman pasien menggunakan
Lambda 100 Retinometer:
1. Menyalakan alat, menentukan ketajaman (biasanya dimulai pada 20/300), tentukan
sudut kisi, mengurangi cahaya ruangan.
2. Menyandarkan retinometer pada kening pasien. lakukan pengamatan pada pupil
dengan cahaya merah untuk menemukan sebuah “jendela” sehingga pasien dapat
mengetahui pola yang terbentuk dan mengenali sudutnya.
3. Pilih pola yang lebih ringan secara bertahap dengan sudut yang berbeda hingga
pasien tidak dapat mengenali sudutnya. Ketajaman melihat pola sebelumnya
kemudian diperiksa lagi, dan pasien harus dapat mengenali sudutnya kembali. Hasil
dari sudut terakhir yang dapat dibaca menunjukkan potensi ketajaman pasien.

0゜ 45゜ 90゜

20/40 20/60 20/300


4. Keratometer
Keratmometri adalah alat pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea, dimana keratometri juga dapat membantu menentukan lensa kontak yang
sesuai. Untuk mengetahui derajat silinder yang ada akibat kelainan kelengkungan kornea dan
untuk sumbu astigmat yang dipakai, juga untuk menemukan astigmat irregular.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. 2009. Basic Clinical Science and Course 2005-
2006. New York: American Academy of Ophthalmology;
2. World Health Organization. Global Data on Visual Impairmant 2010 dan Badan
Litbangker Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013
3. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata, edisi 5. Jakarta:Badan
PenerbitFKUI;2015.

4. Vaughan, Asbury. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta: EGC.
2009.
5. Sherwood l. Human Physiology from Cells to System. Ed. 7. Canada : Brooks/Cole.
2010. Page 198-9.

6. Gartner L, et al. Biologi sel dan Histologi. Jakarta : Binarupa Aksara. 2015
7. Mescher AL. Junqueira‟s Basic Histology Text & Atlas, ed 14th. Indiana : McGraw-Hill.
2015.
8. Ilyas S. Kelainan Refraksi dan Kacamata. edisi 2. Jakarta:Badan Penerbit
FKUI;2006.
9. (PERDAMI. Refraksi. Available at: http://perdami.or.id/?page=newsseminat3.Accessed:
4 October 2018
10. Boyd K, Duran BP. Nearsightedness : What is Myopia? American Academy of
Ophtalmology. 2016
11. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Edisi ke – 4. New Age International. New
Delhi. Hal 19 – 39.
12. World Health Organization (WHO). Visual impairment and blindness. (diunduh 6
Agustus 2012). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/e n/#
13. Prilia T, Widodo A. Miopia Patologi. Jurnal Ophtalmologi Indonesia Vol 5 No. 1 April
2017 hal 19-26
14. Randleman B. Advance in astigmatism management ; Journal Of Refractive Surgery.
2011. Vol (7) No 9
15. Suprato A. Buku ilmu penyakit mata UGM. 2008. Yogyakarta : EGC
16. Ilyas, Sidarta H. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.2009
17. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum
dan Mahasiswa Kedokteran. 2nd Edition. Jakarta: Sagung Seto; 2010.
18. Langston, D.P; Manual of Ocular Diagnosis and Therapy; 5th Edition; Lippincott
Wlliams & Wilkins; Philadelphia; p 344-346.
19. Mancil GL. Optometric clinical practice guideline care of patient with Presbiopia.
America optometric Association. Reviewed 2010. p. 1-36

Anda mungkin juga menyukai