Anda di halaman 1dari 24

Referat

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP

Oleh:

Shafatasya Qadrunnada Purnama, S.Ked

NIM : 712021073

Pembimbing:
dr. Fera Yunita Rodhiaty, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang berjudul


Glaukoma Sudut Tertutup

Dipersiapkan dan disusun oleh

Shafatasya Qadrunnada Purnama. S.Ked


71 2021 017

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit
Palembang Bari

Palembang, Oktober 2022


Dosen Pembimbing

dr. Fera Yunita Rodhiaty, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya,
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Glaukoma Sudut Tertutup” sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit
Mata Rumah Sakit Palembang Bari.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. dr. Fera Yunita Rodhiaty, Sp.M, selaku pembimbing yang telah memberikan
masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian referat ini.
2. Rekan-rekan co-assistens dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena
kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu
pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.Aamiin.

Palembang, Oktober 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Mata..........................................................................................2
2.2 Xeropthalmia............................................................................................5
2.2.1 Definisi...........................................................................................5
2.2.2 Epidemiologi...................................................................................7
2.2.3 Klasifikasi.......................................................................................6
2.2.4 Etiologi...........................................................................................9
2.2.5 Faktor Risiko................................................................................11
2.2.5 Manifestasi klinik.........................................................................12
2.2.6 Diagnosis......................................................................................12
2.2.7 Diagnosis Banding........................................................................16
2.2.8 Penatalaksanaan............................................................................16
2.2.9 Komplikasi....................................................................................17
2.2.10 Prognosis.....................................................................................18
BAB III. KESIMPULAN.....................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang
tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat
terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA
dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang
merupakan Nutrition Related Diseases yang dapat mengenai berbagai
macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem
kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu
dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya
terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab utama
kebutaan di negara berkembang. KVA pada anak biasanya terjadi pada
anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau Gizi buruk
sebagai akibat asupan zat gizi yang sangat kurang, termasuk zat gizi
mikro seperti vitamin A. Gangguan penyerapan usus juga dapat
menyebabkan KVA walaupun ini sangat jarang terjadi. Sampai saat ini
masalah KVA di Indonesia masih menunjukkan perhatian yang serius.
Meskipun hasil survey Xeroftalmia menunjukkan bahwa berdasarkan
kriteria WHO secara klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat (< 0,5%). Namun pada survey yang
sama menunjukkan bahwa 50% balita masih menderita KVA SubKlinis
(serum retinol <20 ug/dl). Adanya krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dimana terjadi peningkatan
kasus gizi buruk di berbagai daerah mengakibatkan masalah KVA
muncul kembali.1
Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat bahkan
menyebabkan kebutaan. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih
menunjukkan perhatian yang serius. Meskipun hasil survey Xeroftalmia
menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria WHO secara klinis KVA di

5
Indonesia sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (< 0,5%).
Namun pada survey yang sama menunjukkan bahwa 50% balita masih
menderita KVA SubKlinis (serum retinol <20 ug/dl). Adanya krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dimana
terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah mengakibatkan
masalah KVA muncul kembali. Oleh karena itu, penting sekali untuk
mendeteksi secara dini dan menangani kasus xeroftalmia ini dengan
cepat dan tepat agar tidak terjadi kebutaan seumur hidup yang
berakibat menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia.1

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Mata


Anatomi bola mata terdiri dari :
1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus
2. Konjungtiva bulbi menutupi sclera
3. Konjungtiva forniks yang merupakan peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.
Secara histologi, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan, mulai dari luar
kedalam terdiri dari lapisan epitel, lapisan adenoid dan lapisan fibrosa.2

Terdapat dua jenis kelenjar yang terletak dikonjungtiva yaitu:


- Kelenjar penghasil musin. Diantaranya kelenjar penghasil musin
tersebut adalah sel goblet (terletak di lapisan epitel dan paling tebal di
bagian inferonasalis) dan kelenjar manz (terletak pada konjungtiva bulbar
tepatnya konjungtiva daerah limbus)
- Kelenjar lakrimal aksesorius. Terdiri dari kelenjar krause dan wolfring dan
telah dijelaskan dibagian atas.

7
Gambar 1. Anatomi Bola Mata
2. Sklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang
hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna
putih serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater
nervus opticus di posterior. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh
sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus, episklera, yang mengandung
banyak pembuluh darah yang mendarahi sklera.2

3. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lapis:2
a. Epitel
b. Membran bowman
c. Stroma
d. Membrane descement
e. Endotel

4. Traktus Uvealis2
• Iris
• Corpus Siliare
• Koroid

5. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir
transparan sempurna. Lensa tergantung pada zonula di belakang iris;
zonula menghubungkannya dengan corpus ciliare.2

6. Sudut Bilik Mata Depan

8
Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer
dan pangkal iris. Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah garis schwalbe,
anyaman trabekula (yang terletak di atas kanal schlemm), dan taji sclera
(scleral spur).2

7. Retina
Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina terdiri
dari 10 lapisan dimulai dari sisi dalam keluar sebagai berikut:
1. Membran limitans retina
2. Lapisan serat saraf
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam
5. Lapisan nukleus dalam
6. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan
tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
7. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan
batang
8. Membran limitan eksterna
9. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapisan yang terdiri dari sel batang dan
sel kerucut yang merupakan modifikasi sel saraf. Lapisan ini mengandung
badan sel batang dan kerucut. Sel batang merupakan sel khusus yang
ramping. Jumlah sel batang lebih banyak dibandingkan sel kerucut dan
terdiri dari segmen luar yang berbentuk silindris dengan panjang 28
mikrometer mengandung fotopigmen rhodopsin dan suatu segmen dalam
yang sedikit lebih panjang yaitu sekitar 32 mikrometer. Keduanya
mempunyai ketebalan 1,5 mikrometer. Inti selnya terletak di dalam lapisan
inti luar. Ujung segmen luar tertanam dalam epitel pigmen. Segmen luar
dan dalam dihubungkan oleh suatu leher yang sempit. Dengan
mikroskop electron segmen luar tampak mengandung banyak lamel-lamel
membran dengan diameter yang seragam dan tersusun seperti tumpukan

9
kue dadar. Sel batang ini di sebelah dalam membentuk suatu simpul akhir
yang mengecil pada bagian akhirnya pada lapisan pleksiform luar yang
disebut sferul batang (rod spherule). Sel batang yang hanya teraktivasi dalam
keadaan cahaya redup (dim light) sangat sensitive terhadap cahaya. Sel ini
dapat menghasilkan suatu sinyal dari satu photon cahaya. Tetapi sel ini tidak
dapat menghasilkan sinyal dalam cahaya terang (bright light) dan juga tidak
peka terhadap warna.2
2.2 Xerophthalmia
2.2.1 Definisi
Xerophtalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan
kekurangan vitamin A termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata
dan gangguan fungsi sel retina yang dapat berakibat kebutaan.
Xerophtalmia berasal dari bahasa Yunani (xeros=kering; ophtalmos=
mata) yang berarti kekeringan pada mata akibat mata gagal
memproduksi air mata atau yang dikenal dengan dry eye yang
mengakibatkan konjungtiva dan kornea kering.2
2.2.2 Epidemiologi
Meskipun berbagai jenis defisiensi vitamin telah dijelaskan secara
klasik, xerophthalmia mungkin merupakan satu-satunya penyakit
defisiensi vitamin yang mencapai tingkat epidemic dan menyebabkan
kekhawatiran utama bagi tenaga kesehatan masyarakat. World Health
Organization (WHO) memperkirakan sekitar 254 juta anak mengalami
defisiensi vitamin A dan 2,8 juta anak mengalami xerophthalmia. Ini
adalah penyebab paling umum kebutaan pada masa kanak-kanak,
dengan 350.000 kasus baru setiap tahun. Penelitian telah menunjukkan
bahwa xerophthalmia tidak hanya menyebabkan kebutaan, tetapi juga
mempengaruhi pertumbuhan, morbiditas umum, dan kematian. Tindak
lanjut satu tahun kasus xerophthalmia kornea menunjukkan bahwa
hanya 40% yang bertahan hidup, dan dari yang selamat, 25% buta dan
50% hingga 60% buta sebagian. WHO menganggap kekurangan vitamin

10
A sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama jika prevalensi di
antara anak-anak kelompok usia di bawah enam tahun adalah 0,5% atau
lebih. Telah dicatat bahwa sekitar 45% dari populasi dunia anak-anak
dengan defisiensi vitamin A dan xerophthalmia berasal dari Asia Selatan
dan Tenggara.3
2.2.3 Etiologi
Ada dua penyebab Xerophthalmia. Pertama, mungkin disebabkan
oleh berkurangnya asupan vitamin A, yang lebih sering terlihat di
negara berkembang. Bahkan mungkin mengasumsikan proporsi epidemi
di beberapa negara berkembang, terutama mempengaruhi anak-anak
kecil. Penyebab kedua termasuk kasus Xerophthalmia yang tidak terkait
dengan asupan vitamin A dari makanan. Hal ini terlihat secara sporadis
dan dapat disebabkan oleh berbagai cacat dalam metabolisme dan
penyimpanan Vitamin A dan termasuk penyakit hati kronis3
2.2.4 Patofisiologi
Vitamin A adalah suatu vitamin yang larut dalam lemak, sumber
utamanya adalah dari makanan. Hal ini penting untuk fungsi normal dari
sistem kekebalan tubuh, kulit, permukaan epitel, dan retina. Vitamin A
memiliki dua peran penting dalam mata manusia. Hal ini diperlukan
untuk fungsi normal sistem visual dan untuk menjaga integritas sel
epitel. Di retina, Vitamin A merupakan prekursor fotopigmen di retina,
yang memiliki peran penting dalam sistem visual. Sistem rhodopsin di
sel batang retina jauh lebih sensitif terhadap defisiensi vitamin A
daripada system iodopsin sel kerucut retina. Hal ini menyebabkan
gangguan awal fungsi batang, yang mengarah ke penglihatan yang rusak
dalam cahaya redup atau nyctalopia. Vitamin A juga penting dalam
menjaga integritas dalam diferensiasi dan proliferasi epitel konjungtiva
dan kornea. Kekurangan dapat menyebabkan xerosis konjungtiva dan
kornea, ulkus kornea, keratomalacia, dan jaringan parut kornea.3

11
Terjadinya defisiensi vitamin A berkaitan dengan berbagai
faktor dalam hubungan yang komplek seperti halnya dengan masalah
kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin
A biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antar
hal-hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya defisiensi vitamin
A. Setelah dicerna, vitamin pro A dilepaskan dari protein dalam
lambung. ester retinil ini kemudian dihidrolisis untuk retinol dalam
usus kecil, karena retinol lebih efisien diserap. Karotenoid yang dibelah
di mukosa usus menjadi molekul retinaldehid, yang kemudian diubah
menjadi retinol dan kemudian diesterifikasi untuk menjadi ester retinil.
Ester retinil dari retinoid dan asal karotenoid diangkut melalui misel
dalam drainase limfatik dari usus ke dalam darah dan kemudian ke hati
sebagai komponen dari kilomikron. Di dalam tubuh, 50-80% dari
vitamin A disimpan di hati, dimana ia terikat pada RBP selular. Vitamin
A yang tersisa disimpan ke dalam jaringan adiposa, paru-paru, dan
ginjal sebagai ester retinil, paling sering sebagai retinyl palmitate
(Ansstas, 2014). Retinyl palmitate kemudian berjalan melalui sistem
limfatik ke hati untuk disimpan. Dengan adanya kebutuhan
metabolik untuk vitamin A, retinyl palmitate dihidrolisis dan retinol
yang dibentuk kembali mengalami perjalanan melalui aliran darah, yang
melekat pada retinol binding protein (RBP) untuk jaringan tempat yang
membutuhkan. Penyimpanan zat didalam tubuh yang memadai berupa
Zn dan protein diperlukan untuk pembentukan RBP, tanpa RBP, vitamin
A tidak dapat diangkut ke jaringan target.4
Vitamin A merupakan “body regulators” dan berhubungan erat
dengan proses-proses metabolisme. Secara umum fungsi tersebut dapat
dibagi dua (1) Berhubungan dengan penglihatan dan (2) Tidak
berhubungan dengan penglihatan. Fungsi yang berhubungan dengan
penglihatan dijelaskan melalui mekanisme Rods yang ada di retina yang
sensitif terhadap cahaya dengan intensitas yang rendah, sedang Cones

12
untuk cahaya dengan intensitas yang tinggi dan untuk menangkap
cahaya berwarna. Pigmen yang sensitif terhadap cahaya dari Rods
disebut sebagai Rhodopsin, yang merupakan kombinasi dari Retinal dan
protein opsin. Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut
(sel konus) dan sel batang (sel basilus). Sel konus berisi pigmen
lembayung dan sel batang berisi pigmen ungu. Kedua macam pigmen
akan terurai bila terkena sinar, terutama pigmen ungu yang terdapat
pada sel batang. Oleh karena itu, pigmen pada sel basilus berfungsi
untuk situasi kurang terang, sedangkan pigmen dari sel konus berfungsi
lebih pada suasana terang yaitu untuk membedakan warna, makin ke
tengah maka jumlah sel batang makin berkurang sehingga di daerah
bintik kuning hanya ada sel konus saja. 4
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin,
yaitu suatu senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar,
misalnya sinar matahari, maka rodopsin akan terurai menjadi protein
dan vitamin A. Pembentukan kembali pigmen terjadi dalam
keadaan gelap. Untuk pembentukan kembali memerlukan waktu
yang disebut adaptasi gelap (disebut juga adaptasi rodopsin). Pada
waktu adaptasi, mata sulit untuk melihat. Pigmen lembayung dari sel
konus merupakan senyawa iodopsin yang merupakan gabungan antara
retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus, yaitu sel yang peka
terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga macam sel konus
tersebut mata dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan salah satu
sel konus akan menyebabkan buta warna.4
Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh
secara tidak langsung ialah pada epitel kornea dan konjungtiva.
Pada keadaan defisiensi, epitel menjadi kering dan terjadi keratinisasi
seperti tampak pada gambaran Xerophthalmia. Xeroftalmia merupakan
mata kering yang terjadi pada selaput lendir (konjungtiva) dan
kornea (selaput bening) mata. Xeroftalmia yang tidak segera diobati

13
dapat menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya
konsumsi vitamin A pada bayi, anak anak, ibu hamil, dan menyusui. 4
2.2.5 Manifestasi Klinis
Xeroftalmia biasanya merupakan akibat dari KVA yang
progressif. KVA dapat menyebabkan kelainan sistemik yang
mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk
paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan tetapi gambaran yang
karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit umumnya
terlihat pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian
belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti sisik ikan. Kelainan
ini selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan karena
kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau
Kurang Energi Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk.5
WHO telah mengklasifikasikan tanda-tanda klinis pada
Xerophthalmia sebagai berikut:3
Buta senja (XN)
Kebutaan malam atau penglihatan yang rusak dalam cahaya redup
adalah manifestasi klinis paling awal dari kekurangan vitamin A. Ini
dianggap sebagai indikator sensitif dan spesifik untuk kadar retinol
serum. 3
Xerosis Konjungtiva (X1A)
Xerosis konjungtiva ditandai dengan penampilan konjungtiva yang
kusam dan kering dan bahkan sitologi kesan konjungtiva yang
abnormal. Perubahan protein jaringan epitel dianggap sebagai penyebab
utama, dengan hilangnya sel goblet dan sekresi musin yang tidak
mencukupi berkontribusi pada perubahan yang dijelaskan di atas. 3
Bintik Bitot (X1B)
Bintik bitot adalah endapan opak berwarna keputihan pada konjungtiva
palpebra, biasanya di daerah interpalpebral. Hal ini terlihat lebih sering
di konjungtiva temporal. Bintik Bitot adalah kumpulan dari deskuamasi,

14
sel-sel epitel berkeratin yang secara khas terlihat sebagai daerah yang
menonjol di atas konjungtiva. 3

Gambar 2. Bitot Spot3


Xerosis Kornea (X2)
Xerosis kornea ditandai dengan penampilan kornea yang kering dan
berkabut. Ini mungkin dimulai sebagai lesi epitel superfisial belang-
belang. Tahap ini dengan cepat berkembang menjadi tahap pelelehan
kornea atau keratomalacia. Hingga tahap ini, suplementasi Vitamin A
dosis tinggi dapat menghasilkan pelestarian penglihatan secara penuh. 3
Ulserasi Kornea dan Keratomalacia (X3A dan X3B)
Keratomalacia ditandai dengan pencairan sebagian atau seluruh kornea.
Pelunakan kornea secara patologis ditandai dengan nekrosis kolikuatif. 3

Bekas Luka Kornea (XS)


Jaringan parut pada kornea akibat defisiensi vitamin A seringkali
bilateral dan dapat disertai dengan malnutrisi energi-protein yang parah,
diare, atau infeksi saluran pernapasan. Penyebab lain dari jaringan parut
kornea harus disingkirkan. 3
Fundus Xerophthalmic (XF)
Perubahan fundus ini terlihat pada defisiensi vitamin A yang
berkepanjangan, dimana perubahan fungsional retina diikuti oleh
perubahan struktural pada retina. 3

15
2.2.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis xeroftalmia dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus dan penunjang.6
Selanjutnya ditanyakan keluhan penderita. Keluhan utama biasa
disampaikan oleh apakah tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja)
atau ada kelainan pada matanya. Kadang-kadang keluhan utama tidak
berhubungan dengan kelainan pada mata seperti demam. Pada keluhan
tambahan ditanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan kapan
terjadinya serta upaya apa yang telah dilakukan untuk pengobatannya.
Pada riwayat penyakit yang diderita sebelumnya perlu ditanyakan
apakah pernah menderita Campak dalam waktu < 3 bulan , atau apakah
sering menderita diare dan atau ISPA, pneumonia, pernah menderita
infeksi cacingan atau apakah juga pernah menderita Tuberkulosis.6
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda atau
gejala klinis dan menentukan diagnosis serta pengobatannya, terdiri dari
pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan umum dilakukan untuk
mengetahui adanya penyakit penyakit yang terkait langsung maupun
tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia sepertigizi buruk, penyakit
infeksi, dan kelainan fungsi hati yang terdiri dari antropometri seperti
pengukuran berat badan dan tinggi badan. Selain itu juga dilakukan
penilaian gizi.6
Pada pemeriksaan khusus dilakukan pemeriksaan mata untuk
melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang terang
atau bila ada menggunakan loop. Periksa matanya apakah ada tanda-
tanda xeroftalmia ataukan ada kelainan pada kulit seperti kulit kering
dan bersisik. Adapun pemeriksaan mata untuk melihat tanda tanda
xeroftalmia.6
Kelainan pada mata bergantung dari stadium yang diderita oleh
pasien (klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO), yaitu :
1. XN (Xerosis Nyctalopia)

16
Tidak terlihat ada tanda klinis.6
2. X1A (Xerosis Konjungtiva)
- Daerah konjungtiva tampak xerotic atau kering dan terdapat
pigmentasi.
- Bila mata digerakkan akan terlihat lipatan yang timbul pada
konjungtiva bulbi.6
3. X1B (Bercak Bitot / bitot’s spot)
Terdapat bercak bitot yaitu bercak putih kekuningan seperti busa
atatu sabun yang umumnya bilateral dengan letak temporal ke arah
limbus.6
4. X2 (Xerosis Kornea)
Pada mata pasien yang tampak berupa kekeruhan pada kornea.
Kekeruhan akan lebih tampak jelas ketika mata di tahan untuk
berkedip.6
5. X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)
Pada tahap ini mulai terjadi kerusakan lapisan stroma pada
kornea yang umumnya dari daerah inferior ke daerah sentral.6
6. X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)
- Mulai terlihat nekrosis pada kornea disertai dengan vaskularisasi
kedalamnya.
- Ulserasi yang melebihi stadium sebelumnya
- Edema pada kornea disertai dengan penonjolan disekitarnya
- Luluhnya kornea dengan komplit yang berakhir dengan stafiloma
kornea atau ptisis.6
7. XS (Xerosis Sikatrik)
- Kornea mata tampak menjadi putih
- Bola mata tampak mengecil
- Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas
berupa sikatrik atau jaringan parut.6
8. XF (Fundus Xeroftalmia)

17
Pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang tersebar
dalam retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular
temporal.6
Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain
adalah:6
1. Tes adaptasi gelap
Jika pasien menabrak sesuatu ketika cahaya diremangkan tiba-tiba
di dalam ruangan maka kemungkinan pasien mengalami buta senja.
Tes adaptasi gelap juga dapat menggunakan alat yang bernama
adaptometri. Adaptometri adalah suatu alat yang dikembangkan untuk
mengetahui kadar vitamin A tanpa mengambil sampel darah
menggunakan suntikan.6
2. Sitologi impresi konjungtiva
Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva didapatkan keberadaan sel goblet
dan sel-sel epitel abnormal yang mengalami keratinisasi.6
3. Uji Schirmer
Dilakukan untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan sekresi
air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm–30
mm dan salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari ujung kertas .
Kertas lakmus merah dapat juga dipakai dengan melihat perubahan
warna. Perbedaan kertas lakmus dengan kertas filter hanya sedikit.
Rata–rata hasil bila memakai Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm–27
mm) sedangkan lakmus merah 10 mm (0 mm–27 mm).6
Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas
berlekuk diinsersikan ke sakus konjuntiva forniks inferior pada
pertemuan medial dan 1/3 temporal palpebra inferior. Pasien dianjurkan
menutup mata perlahan–lahan tetapi sebagian peneliti menganjurkan
mata tetap dibuka dan melihat keatas.6
4. Pemeriksaan osmolaritas air mata, air mata mempunyai
osmolaritas 302 + 6,3 mOsm/l pada individu normal, pada KCS

18
osmolaritas air mata meningkat antara 330 dan 340 mOsm/l karena
penurunan aliran dan peningkatan evaporasi dari air mata. Osmolaritas
air mata mempunyai sensitivitas 90 % dan spesifisitas 95%.6
5. Pemeriksaan Stabilitas film air mata (Tear Film Break Up Time)
Pada pasien xeroftalmia kekurangan musin berakibat tidak stabilnya
lapisan air mata yang mengakibatkan lapisan tersebut mudah
pecah. Hal ini mengakibatkan terbentuk “Bintik-bintik kering” dalam
film air mata (meniskus) sehingga epitel kornea atau konjungtiva
terpajan ke dunia luar. Pada tes ini akan positif didapatkan sel epitel
yang rusak dilepaskan dari kornea sehingga meninggalkan daerah-
daerah yang kecil yang dapat dipulas dan daerah tersebut akan tampak
jika dibasahi flourescein.6
6. Pemeriksaan kornea
Dapat dilakukan dengan pemulasan Fluorescein dimana pada pasien
xeroftalmia fluorescein akan didapatkan positif daerah-daerah erosi dan
terluka epitel kornea. Pemulasan Bengal Rose 1% didapatkan sel-sel
epitel konjungtiva dan kornea yang mati yang tidak dilapisi oleh musin
secara adekuat dari daerah kornea. Sedangkan pemulasan lissamine
hijau memiliki fungsi yang sama dengan bengal rose. Didapatkan hasil
positif sel-sel epitel yang mati pada penderita xeroftalmia.6
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung diagnosa
kekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak ditemukan tanda-tanda
khas KVA, namun hasil pemeriksaan lain menunjukkan bahwa anak
tersebut risiko tinggi untuk menderita KVA. Peneriksaan yang
dianjurkan adalah pemeriksaan serum retinol dengan kromatografi.6
2.2.7 Tatalaksana
1. Pemberian Vitamin A
WHO telah menyarankan pemberian 200.000 IU Vitamin A secara oral,
diulang keesokan harinya dan diikuti dengan dosis yang sama beberapa
minggu kemudian. Pengobatan topical termasuk pemberian air mata

19
buatan bebas pengawet dan antibiotik jika ada infeksi bakteri sekunder.
Suplementasi vitamin A untuk populasi anak secara umum merupakan
bagian dari program kesehatan di banyak negara berkembang.
Suplementasi gizi, rehabilitasi, dan pendidikan merupakan pendekatan
tiga cabang dalam pengelolaan defisiensi vitamin A makanan. Upaya
pendidikan kesehatan harus diarahkan untuk memasukkan makanan
kaya vitamin A ke dalam makanan. Penyakit yang mendasari seperti
penyakit hati dan penyakit radang usus harus dikelola dalam kasus
xerophthalmia nondietary.3
2. Pemberian Obat Mata
Obat tetes/ salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid (tetrasiklin
1%, Kloramfenikol 0.25-1% dan gentamisin 0.3%) diberikan pada
penderita X2,X3A,X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan berikan juga
tetes mata atropin 1% 3 x 1 tetes/hari. Pengobatan dilakukan sekurang-
kurangnya 7 hari sampai semua gejala pada mata menghilang. Mata
yang terganggu harus ditutup dengan kasa selama 3-5 hari hingga
peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang telah dicelupkan
kedalam larutan Nacl 0,26 dan gantilah kasa setiap kali dilakukan
pengobatan. Lakukan tindakan pemeriksaan dan pengobatan dengan
sangat berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada saat mengobati mata
untuk menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk ke dokter spesialis
mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut.1
3. Terapi Gizi
1) Energi
Pada kasus gizi buruk, diberikan bertahap mengikuti fase stabilisasi,
transisi dan rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150 kalori/ kg BB
dan 200 kalori/ kg BB.1
2) Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam pembentukan
Retinol Binding Protein dan Rodopsin. Pada gizi buruk diberikan

20
bertahap yaitu: 1 - 1,5 gram/ kg BB / hari ; 2 – 3 gram/ kg BB / hari dan
3 - 4 gram/ kg BB / hari.1
3) Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal.
Pemberian minyak kelapa yang kaya akan asam lemak rantai
sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides).1
4. Tindakan Operatif
Tindakan operatif pada xeroftalmia berupa pemasangan sumbatan di
punctum yang bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu yang
lebih lama (silicon). Tindakan ini untuk menahan secret air mata.
Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan
dengan terapi termal (panas), kauter listrik, atau dengan laser.
2.2.8 Komplikasi
Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu.
Pada kasus lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan
perforasi. Sesekali dapat terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat
jaringan parut serta vaskularisasi pada kornea yang memperberat
penurunan penglihatan. Untuk komplikasi infeksi bakteri sekunder
diberikan antibiotik berupa topikal maupun sistemik. Antibiotik topikal
yang dapat diberikan seperti ciprofloxacin (0.3%) atau ofloxacin
(0.3%). Sedangkan antibiotik sisitemik yang dapat diberikan seperti
ciprofloxacin 750 mg dua kali dalam sehari atau sefalosporin. 3
2.2.9 Prognosis
Pengobatan pada tahap awal dapat memulihkan penglihatan tetapi
pada pasien dengan ulkus kornea, pembedahan diperlukan tetapi ini
masih tidak menjamin pemulihan penglihatan sepenuhnya. Setiap tahun,
di mana saja dari 20.000-100.000 kasus baru kebutaan masih terus
terjadi di banyak bagian Afrika. 3
Prognosa pada stadium XN, XIA, X1B, dan X2 adalah baik
dengan syarat pengobatan harus dilakukan secara dini dan tepat.

21
Sedangkan pada stadium yang lebih lanjut dimana telah terjadi
kerusakan kornea dan dapat menyebabkan kebutaan yang tidak dapat
disembuhkan lagi maka prognosisnya jauh lebih buruk.4

22
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Xerophtalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan
kekurangan vitamin A termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang dapat berakibat kebutaan.
World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 254 juta
anak mengalami defisiensi vitamin A dan 2,8 juta anak mengalami
xerophthalmia. Ini adalah penyebab paling umum kebutaan pada masa
kanak-kanak, dengan 350.000 kasus baru setiap tahun.
Penyebab dari xerophthalmia dapat dikarenakan defisiensi vitamin A
dan juga komplikasi dari penyakit kronis.
Penatalaksaan pada xerophthalmia sendiri dapat diberikan vitamin A
dengan dosis tertentu, pemberian obat mata, perbaikan gizi dan terapi
operatif.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Sedia Oetama, Achmad Djaeni. Vitamin dalam Ilmu Gizi untuk Mahasiswa
dan Profesi. Jilid I. Jakarta. Dian Rakyat. 2008.
2. Ilyas, S., Yulianti, S.R. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
3. Feroze KB, Kaufman EJ. Xerophthalmia. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022.
4. Ansstas, G. Vitamin A Deficiency Treatment & Management. Attending
Physician in Leukemia and Bone Marrow Transplant and Oncology,
Washington University School of Medicine. 2014.
5. Samosir, H. Hubungan Pengetahuan Bidan Tentang Vitamin A Dengan
Cakupan Pemberian Vitamin A Pada Ibu Nifas di BPS Wilayah Kerja
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013; 2015.
6. Departemen Kesehatan RI. Tatalaksana kasus xeroftalmia pedoman bagi
tenaga kesehatan. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat; 2003.

24

Anda mungkin juga menyukai