Anda di halaman 1dari 36

Referat

PTOSIS

Oleh:
Woro Nurul Sandra Anindhita, S.Ked.
712018069

Pembimbing:
dr. Septiani Nadra Indawaty, Sp.M

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Refera

Judul:
PTOSIS
Oleh:
Woro Nurul SA, S.Ked
712018069

Telah dilaksanakan pada bulan Mei 2021 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Mei 2021


Pembimbing

dr. Septiani Nadra Indawaty, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “PTOSIS” sebagai salah satu
syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. dr. Septiani Nadra Indawaty, Sp.M selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang, yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan
dalam penyelesaian referat ini.
2. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Palpebra................................................................2
2.2. Ptosis.........................................................................................................3
a. Definisi................................................................................................9
b. Etiologi................................................................................................9
c. Epidemiologi.......................................................................................9
d. Klasifikasi............................................................................................9
e. Patofisiologi.......................................................................................15
f. Gambaran klinis................................................................................15
g. Diagnosis...........................................................................................17
h. Diagnosis banding.............................................................................22
i. Tatalaksana........................................................................................22
j. Prognosis...........................................................................................28
k. komplikasi.........................................................................................28
BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA 31

BAB I

PENDAH

ULUAN

Kelopak mata yang disebut juga palpebra merupakan lipatan kulit yang terdapat
dua buah untuk tiap mata. Ia dapat digerakkan untuk menutup mata, dengan ini
melindungi bola mata terhadap trauma dari luar yang bersifat fisik atau kimiawi serta
membantu membasahi kornea dengan air mata pada saat berkedip. Dalam keadaan
terbuka, kelopak mata memberi jalan masuk sinar ke dalam bola mata yang dibutuhkan
untuk penglihatan. Membuka dan menutupnya kelopak mata dilaksanakan oleh otot-otot
tertentu dengan persarafannya masing-masing.1
Ptosis (Blepharoptosis) merupakan keadaan jatuhnya kelopak mata (Drooping eye
lid), dimana dimana kelopak mata atas (palpebra superior) turun di bawah posisi normal
saat membuka mata yang dapat terjadi unilateral atau bilateral.2,3,4,5 Posisi normal
palpebra superior adalah ditengah-tengah antara limbus superior dan tepian atas pupil.
Ini dapat bervariasi 2 mm jika kedua palpebra simetris.5
Ptosis terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi m. levator palpebra,
lumpuhnya saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula terjadi akibat jaringan
penyokong bola mata yang tidak sempurna, sehingga bola mata tertarik ke belakang atau
enoftalmus. Kelopak mata yang turun akan menutupi sebagian pupil sehingga penderita
mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis matanya atau
menghiperekstensikan kepalanya. Bila ptosis menutupi pupil secara keseluruhan maka
keadaan ini akan mengakibatkan ambliopia. Pada ptosis kongenital, selain menyebabkan
ambliopia, juga dapat menimbulkan strabismus.5,6
Sampai saat ini insidens ptosis belum pernah dilaporkan. Ptosis kongenital
biasanya tampak segera setelah lahir maupun pada tahun pertama kelahiran. 3 Ptosis yang
didapat (acquired) dapat terjadi pada setiap kelompok usia, tetapi biasanya ditemukan
pada usia dewasa tua.7
Berdasarkan onsetnya ptosis dibagi menjadi ptosis kongenital dan ptosis didapat
(acquired). Berdasarkan etiologinya ptosis dapat dibagi menjadi miogenik, aponeurotik,
neurogenik, mekanikal dan traumatik.8 Sedangkan menurut derajatnya ptosis dibagi
menjadi ptosis ringan jika batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm, ptosis
sedang jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 3 mm dan ptosis berat jika batas
kelopak mata atas menutupi kornea > 4 mm.9
Blepharoptosis merupakan penyebab penting dari kehilangan penglihatan. Mengingat
penatalaksanaan ptosis tergantung dari etiologi dan derajat ptosis maka perlu diketahui lebih
jelas tentang etiologi dan derajat ptosis. Menurut etiologinya, pada ptosis kongenital (myogenic
etiology) dilakukan pembedahan (memperpendek) otot levator yang lemah serta aponeurosisnya
atau menggantungkan palpebra pada otot frontal. Jenis operasi untuk ptosis kongenital adalah
reseksi levator eksternal. Pada ptosis yang didapat (aponeurotic etiology), misalnya pada
myastenia gravis dilakukan koreksi penyebab. Jika koreksi penyebab tidak mungkin, maka
kelopak mata diperpendek menurut arah vertikalnya (jika fungsi levator baik) atau diikatkan ke
frontal (jika fungsi levator buruk). Prosedur Fasenella-Servat lebih sering digunakan untk kasus
ptosis yang didapat.10,11
Sedangkan menurut derajatnya, untuk ptosis ringan yang tidak didapati kelainan kosmetik
dan tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia, strabismus dan defek lapang pandang, lebih
baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi. Bila akan dilakukan operasi, prosedur Fasenella-Servat
diindikasikan untuk ptosis ringan. Pada kasus ptosis moderat diindikasikan pembedahan dengan
teknik reseksi levator eksternal. Sedangkan pada ptosis berat, frontalis sling merupakan
pendekatan yang paling baik.10,11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Palpebra


Palpebra terletak di depan bola mata, yang melindungi mata dari cedera dan cahaya yang
berlebihan. Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah bergerak daripada palpebra inferior.
Bila mata ditutup, palpebra superior menutup kornea dengan sempurna. Bila mata dibuka dan
menatap lurus ke depan, palpebra superior hanya menutupi pinggir atas kornea.12
Palpebra berfungsi:
- Memberikan proteksi mekanis pada bola mata anterior
- Mensekresi lapisan lemak dari lapisan air mata
- Menyebarkan film air mata ke konjungtiva dan kornea
- Mencegah mata menjadi kering
- Memiliki pungta tempat air mata mengalir ke sistem drainase lakrimal.13
Gerakan Palpebra
Posisi palpebra pada waktu istirahat bergantung pada tonus m. Orbicularis oculi dan m.
Levator palpebrae serta posisi bola mata. Palpebra menutup bila m. Orbicularis oculi kontraksi
dan m. Levator palpebrae superioris relaksasi. Mata terbuka apabila m. Levator palpebrae
superioris kontraksi dan m. Orbicularis oculi relaksasi. Pada waktu melihat ke atas, m. Levator
palpebra superioris berkontraksi dan bergerak bersama bola mata. Pada waktu melihat ke bawah,
kedua palpebra bergerak ke bawah. Palpebra superior terus menutupi kornea bagian atas dan
palpebra inferior agak tertarik ke bawah.
Struktur Palpebra
Palpebra terbagi menjadi 7 lapisan, yaitu kulit, otot orbikularis, septum, bantalan lemak,
tarsus, levator, dan konjungtiva.14
1. Kulit
Kulit merupakan lapisan anterior dengan jaringan subkutaneous. Palpebra memiliki kulit
yang tipis ± 1 mm dan tidak memiliki lemak subkutan. Kulit disini sangat halus dan
mempunyai rambut vellus halus dengan kelenjar sebaseanya, juga terdapat sejumlah kelenjar
keringat. Dibawah kulit terdapat jaringan areolar longgar yang dapat meluas pada edema
masif.14,15
2. Otot orbikularis
M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan
terletak dibawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis
okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola mata. Otot ini
terdiri dari lempeng yang tipis yang serat-seratnya berjalan konsentris. Otot ini dipersarafi
oleh nervus fasialis (n.VII) yang kontraksinya menyebabkan gerakan mengedip, disamping
itu otot ini juga dipersarafi oleh saraf somatik eferen yang tidak dibawah kesadaran.14
M. orbikularis okuli terbagi dalam bagian orbital, praseptal, dan pratarsal. Bagian orbital,
yang terutama berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertio
temporal. Otot praseptal dan pratarsal memiliki kaput medial superficial dan profundus,
yang turut serta dalam pemompaan air mata.14
3. Septum Orbita
Septum orbita merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan pembatas
isi orbita dengan kelopak depan. Septum merupakan sawar penting antara palpebra dan
orbita.12 Pada palpebra superior, septum orbita bersatu dengan levator aponeurosis kurang
lebih 1-3 mm superior tarsus pada orang yang bukan etnis Asia.15
4. Bantalan lemak pra aponeurotika
Bantalan lemak tambahan terdapat di medial palpebra superior. Lemak ini penting
sebagai petunjuk dalam operasi, karena letaknya langsung di belakang septum orbita dan di
depan aponeurosis levator.14,15
5. Tarsus
Tarsus merupakan jaringan ikat fibrous panjangnya ± 25 mm, yang dihubungkan pada
tepian orbita oleh tendo-tenso kanthus medialis dan lateralis. Didalamnya terdapat kelenjar
Meibom (40 buah di kelopak atas) yang membentuk “oily layer” dari air mata. Tarsus
palpebra superior merupakan jaringan ikat yang kokoh, tebal , yang berguna sebagai
kerangka palpebra, tarsus superior pada bagian tengah palpebra vertical berukuran 9-10 mm,
dengan ketebalan lebih-kurang 1 mm. Arkade arteri marginal terletah 2 mm superior margin
palpebra dekat dengan folikel silia dan anterior tarsus antara levator aponeurosis dengan
muskulus Muller.14,15
6. Otot levator dan aponeurotik levator palpebra
Merupakan “major refractor” untuk kelopak mata atas. M. levator palpebra, yang
berorigo pada anulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian
menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat
insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Saat memasuki
palpebra, otot ini membentuk aponeurosis yang melekat pada sepertiga bawah tarsus
superior.15
Otot ini dipersarafi oleh nervus okulomotoris (N.III), yang berfungsi untuk mengangkat
kelopak mata atau membuka mata.16 Kerusakan pada nervus okulomotoris (N.III) atau
perubahan-perubahan pada usia tua menyebabkan jatuhnya kelopak mata (ptosis). Suatu otot
polos datar yang muncul dari permukaan profunda levator berinsersi pada lempeng tarsal.
Otot ini dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Jika persarafan simpatis rusak (seperti pada
sindrom Horner) akan terjadi ptosis ringan.13
Muskulus levator pada orang dewasa panjangnya lebih-kurang 40 mm, sedangkan
aponeurosis panjangnya 14-20 mm. Ligamentun transversal (Whitnalls ligament) adalah
penebalan dari fasia muskulus levator yang berlokasi di daerah transisi muskulus levator
dengan aponeurosis levator.15
Ligamentum whitnalls adalah muskulus levator yang bertransformasi, berstruktur seperti
tendon yang berwarna putih berkilat. Levator aponeurosis membelah menjadi lamella
anterior dan posterior pada lokasi kira-kira 10-12 mm di atas tarsus. Lamella posterior terdiri
dari jaringan otot yang lembut yang diinervasi oleh saraf simpatis, disebut juga muskulus
mullers, yang analog dengan muskulus tarsal palpebra inferior. Muskulus muller kemudian
berinsersi pada pinggir atas tarsus. Muskulus muller bagian posterior melekat erat dengan
lapisan konjungtiva dan bagian anterior melekat dengan aponeurosis. Tidak ditemukan
arcade pembuluh darah perifer pada anterior muskulus muller dekat dengan insersi pinggir
superior tarsus.15
7. Konjungtiva Tarsal
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan
melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli.
Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan
musin.16
Eversi kelopak dilakukan dengan mata pasien melihat jauh ke bawah. Pasien diminta
jangan mencoba memejamkan mata. Tarsus ditarik ke arah orbita. Pada konjungtiva dapat
dicari adanya papil, folikel, perdarahan, sikatriks dan kemungkinan benda asing.17

Gambar 2.1 Penampang Melintang Palpebra


Margo Palpebra
Panjang margo palpebra adalah 25-30 mm lebar 2 mm. Ia dipisahkan oleh garis kelabu (batas
mukokutan) menjadi tepian anterior dan posterior.
a) Margo anterior
1. Bulu mata
Bulu mata muncul dari tepian palpebra dan tersusun tidak teratur.
2. Glandula Zeis
Ini adalah modifikasi kelenjar sebasea kecil, yang bermuara ke dalam folikel rambut
pada dasar bulu mata.
3. Glandula Moll
Ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang bermuara ke dalam satu baris dekat bulu
mata.
b) Margo posterior
Margo palpebra superior berkontak dengan bola mata, dan sepanjang margo ini terdapat
muara-muara kecil dari kelenjar sebasea yang telah dimodifikasi (glandula Meibom, atau
tarsal).
c) Punktum Lakrimal
Pada ujung medial dari margo palpebra posterior terdapat elevasi kecil dengan lubang
kecil di pusat yang terlihat pada palpebra superior dan inferior.14
Fissura Palpebra
Fissura palpebra adalah ruang ellips diantara kedua palpebra yang dibuka. Normalnya
fissura palpebra memiliki lebar 9 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Fissura ini
berakhir di kanthus medialis dan lateralis. Kanthus lateralis kira-kira 0,5 cm dari tepian lateral
orbita dan membentuk sudut tajam. Kanthus medialis lebih elliptic dan mengelilingi lakuna
lakrimalis.14

Gambar 2.2 Dimensi Normal dari Fisura Palpebra

Retraktor Palpebra
Retraktor palpebra berfungsi membuka palpebra. Mereka dibentuk oleh kompleks
muskulofasial, dengan komponen otot rangka dan polos, dikenal sebagai kompleks levator
palpebra superior. Di palpebra superior, bagian otot rangka adalah levator palpebra superioris,
yang berasal dari apeks orbita dan berjalan ke depan dan bercabang menjadi sebuah aponeurosis
dan bagian yang lebih dalam yang mengandung serat-serat otot polos dari muskulus Muller
(tarsalis superior). Levator dipasok cabang superior dari nervus okulomotorius (N.III). Darah ke
levator palpebrae superioris datang dari cabang muskular lateral dari arteri oftalmika.14
Persarafan Sensoris
Persarafan sensoris ke palpebra datang dari divisi pertama dan kedua dari nervus
trigeminus (N.V). Nervus lakrimalis, supraorbitalis, supratrokhlearis, infratrokhlearis dan nasalis
eksterna kecil adalah cabang-cabang dari divisi oftalmika dari nervus kelima. Nervus
infraorbitalis, zigomaticofacialis, zigomaticotemporalis merupakan cabang-cabang dari divisi
maksilaris (kedua) nervus trigeminus.14
Pembuluh Darah dan Limfe
Pasokan darah ke palpebra datang dari arteri lakrimalis dan oftalmika melalui cabang-
cabang palpebra lateral dan medialnya. Anastomosis antara arteri palpebra lateralis dan medialis
membentuk arcade tarsal yang terletak di dalam jaringan areolar submuskular.14
Drainase vena dari palpebra mengalir ke dalam vena oftalmika dan vena-vena yang
mengangkut darah dari dahi dan temporal. Vena-vena itu tersusun dalam pleksus pra- dan pasca
tarsal.14
Pembuluh limfe dari segmen lateral palpebra berjalan ke dalam nodus pra-auricular dan
parotis. Pembuluh limfe dari sisi medial palpebra mengalirkan isinya ke dalam limfonodus
submandibular.14

2.2 Ptosis
A. Definisi

Ptosis merupakan keadaan jatuhnya kelopak mata (Drooping eye lid ), dimana
kelopak mata atas tidak dapat diangkat atau terbuka sehingga celah kelopak mata menjadi
lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal.1 Normalnya fissura palpebra memiliki
lebar 9 mm. Posisi normal palpebra superior adalah ditengah-tengah antara limbus superior
dan tepian atas pupil. Ini dapat bervariasi 2 mm jika kedua palpebra simetris.5
B. Etiologi
Ptosis terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi m. levator palebra, lumpuhnya
saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula terjadi akibat jaringan penyokong bola
mata yang tidak sempurna, sehingga bola mata tertarik ke belakang atau enoftalmus.
Penyebab ptosis adalah miogenik, aponeurotik, neurogenik, mekanikal, dan traumatik.
Ptosis juga dapat terjadi pada miastenia gravis pada satu mata atau kedua mata.6,8
C. Epidemiologi
Sampai saat ini insidensi ptosis belum pernah dilaporkan. Ptosis kongenital dapat
mengenai seluruh ras, angka kejadian ptosis sama antara pria dan wanita. Ptosis kongenital
biasanya tampak segera setelah lahir maupun pada tahun pertama kelahiran. Frekuensi
ptosis kongenital di Amerika Serikat belum dilaporkan secara resmi. Namun, pada sekitar
70% dari kasus yang diketahui, ptosis kongenital mempengaruhi hanya satu mata. 3 Ptosis
yang didapat (acquired) dapat terjadi pada setiap kelompok usia, tetapi biasanya ditemukan
pada usia dewasa tua.7
D. Klasifikasi
 Berdasarkan Onset
Secara garis besar ptosis dapat dibedakan atas 2, yaitu :
A. Kongenital
Sebagian besar kasus ptosis kongenital akibat gangguan pembentukan jaringan
muskulus levator (myogenic etiology).8,15
Dapat terjadi dalam bentuk:
1. Unilateral : kegagalan perkembangan dan innervasi abnormal otot levator palpebra.
Bila cukup berat dapat menyebabkan ambliopia dan harus segera ditangani dengan
pembedahan. Dapat menyertai Marcus Gunn syndrome (kelainan nervus III dan
nervus V), dimana kontraksi m.levator palpebra terjadi bila rahang membuka ke
samping pada sisi yang berlawanan.
2. Bilateral : infantile myastenia gravis atau anak dari ibu yang menderita Myastenia
gravis.
3. Ptosis yang menyertai Sturge Weber, von Recklinghausen syndrome dan alkohol
fetal syndrome.18
B. Didapat (Acquired)
Ptosis didapat terjadi akibat penurunan regangan atau disinsersi aponeurosis levator
(aponeurotic abnormality).8,15 Dapat terjadi pada keadaan:
1. Terkait dengan penyakit muskular, kelainan neurologis, faktor mekanik. Pada
beberapa kasus memerlukan penanganan secepatnya.
2. Myastenia Gravis
3. Botulinism
4. Paralisis n. III akibat trauma, tumor, degenerative CNS disease, lesi vaskular.
5. Distrofi miotonik.
6. Tumor, trauma, jaringan sikatrik pada palpebra.
7. Horner’s Syndrom (ptosis, miosis dan dishidrosis ipsilateral).18
Tabel 1. Perbandingan Blefaroptosis 6
Kongenital Myogenik Acquired Aponeurotik
Ptosis Ptosis
Palpebral fissure Ptosis ringan- berat Ptosis ringan- berat
height
Upper eyelid Lemah atau tidak ada pada Lebih tinggi dari normal
crease
posisi normal
Levator function Berkurang Hampir normal
On downgaze Eyelid lag Eyelid drop

 Berdasarkan Etiologi
1. Ptosis Myogenik
 Kongenital
Akibat dari gangguan perkembangan (maldevelopment) muskulus levator dengan
karakteristik penurunan fungsi levator, kelopak mata tertinggal, dan kadang-kadang
lagoftalmus. Congenital Myogenic Ptosis dengan fenomena Bell yang buruk atau
strabismus vertikal kemungkinan mengindikasikan gangguan perkembangan
konkomitan pada muskulus rektus superior.8,15
 Didapat
Ptosis ini jarang ditemukan, merupakan akibat dari kelainan muskuler lokal atau
menyeluruh, seperti distrofi muskuler, eksternal oftalmoplegia progresif kronik,
miastenia grafis, atau distrofi okulofaringeal. 8,15
 Distrofi muskuler
Ditemukan ptosis dan kelemahan muka. Gejala lainnya adalah katarak,
kelainan pupil, botak frontal, atrofi testes dan diabetes.5
 Oftalmoplegia eksternal menahun progresif
Adalah penyakit neuromuskuler herediter progresif lambat, yang mulai
dipertengahan kehidupan. Semua otot ekstra okuler termasuk levator dan otot-
otot ekspresi muka berangsur-angsur terkena. Biasanya bersifat bilateral,
simetris dan progresif ptosis. Namun reaksi pupil dan akomodasi normal. Untuk
dapat mengangkat palpebra biasanya pasien menggunakan M. Frontalis. Pada
Sindroms Kearns Sayre ophtalmoplegia disertai retinitis pigmentosa dan blok
jantung.5
 Myasthenia gravis
Suatu gangguan neuro muskular yang diduga disebabakan oleh adanya
antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada neuro muskular jungtion. Merupakan
myogenik ptosis yang bilateral dan asimetris. Ptosis yang terjadi sering
bersamaan dengan diplopia . Muskulus orbikularis okuli juga sering terkena.
Kedut palpebra Cogan kadang-kadang ada – saat menggerakkan mata dari
pandangan ke bawah ke posisi primer, palpebra superior berkedut ke atas.5
2. Ptosis Aponeurotika
 Kongenital
Akibat kegagalan insersi aponeurosis pada posisi normal di permukaan anterior
tarsus.8,15
 Didapat
Akibat kelemahan, perlepasan, atau disinsersi aponeurosis levator dari kedudukan
noramal. Umumnya terdapat cukup sisa perlekatan ke tarsus yang dapat
mengangkat palpebra saat melihat keatas. Tetap tersisanya perlekatan aponeurosis
levator ke kulit dan muskulus orbikularis menghasilkan lipatan palpebra yang
sangat tinggi, dapat pula terjadi penipisan palpebra dimana bayangan iris tampak
terbayang melalui kulit palpebra superior. Mekanisme ptosis pada operasi mata,
blepharochalasis, kehamilan dan penyakit Grave umumnya akibat kerusakan pada
aponeurosis.5,8,15
3. Ptosis Neurogenik
 Kongenital
Disebabkan karena adanya defek neurogenik yang terjadi pada saat perkembangan
embrio. Ptosis ini jarang ditemukan dan sering berhubungan dengan kelumpuhan
nervus kranial III kongenital, horner sindrom congenital, atau Marcus Gunn jaw-
winking sindrom.8,15
 Didapat
Disebabkan karena putusnya hubungan persarafan normal yang paling sering terjadi
akibat sekunder dari kelumpuhan nervus kranial III didapat, sindrom horner atau
miastenia grafis didapat.8,15
 Sindrom Marcus Gunn
Pada sindrom Marcus Gunn (“fenomena berkedip-rahang”), mata membuka
saat mandibula dibuka atau menyimpang ke sisi berlawanan. Muskulus levator
yang mengalami ptosis disarafi oleh cabang-cabang motorik nervus trigeminus
dan nervus okulomotorius.5
 Sindroma Horner
Blepharoptosis yang terjadi adalah akibat berkurangnya inervasi simpatis
ke otot – otot muller palpebra superior yang terkadang juga diikuti pada
palpebra inferior yang jika kedua palpebra mengalami ptosis akan beradampak
berkurangnya lebar vertikal fisura palpebra yang sering disalah diagnosis
dengan enophthalmos.5
Penyebab sindrom horner adalah fraktur vertebra servikalis, tabes dorsalis ,
siringomelia . tumor corda servikal. Paralisis otot Muller hampir selalu
berkaitan dengan sindroma Horner dan biasanya didapat. Jarang ada ptosis di
bawah 2 mm, dan ambliopia tidak pernah terjadi.5
4. Ptosis Mekanikal
Ptosis mekanikal biasanya terjadi akibat neoplasma yang mendorong palpebra superior
ke inferior, hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital seperti neuroma
fleksiform, hemangioma, atau oleh neoplasma didapat seperti khalazion besar, basal sel
atau squamous sel karsinoma. Edema setelah operasi atau trauma dapat menyebabkan
ptosis mekanikal sementara.8,15
5. Ptosis Traumatik
Ptosis Traumatik terjadi akibat trauma tajam dan tumpul pada muskulus atau
aponeurosis levator. Seperti pada laserasi palpebra superior dan prosedur bedah saraf
orbital. Pada kasus ptosis traumatic penderita harus diobservasi selama 6 bulan sebelum
melakukan koreksi ptosis karena kadang-kadang dapat sembuh spontan.8,15
Pseudoptosis
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pseudoptosis, termasuk hipertropia,
enoftalmos, mikroftalmos, anofthalmos, ptisis bulbi, defek sulkus superior akibat trauma,
atau kasus lainnya.8,15
Tabel 2. Klasifikasi Ptosis Menurut Beard.5
Kelainan perkembangan levator  Simplek
 Kelemahan rektus superior
Ptosis miogenik lain  Sindrom blepharophimosis
 Ophtalmoplegia eksternal progresif menahun
 Sindrom okulofaringeal
 Distrofi muskular progresif
 Miastenia Gravis
 Fibrosis kongenital dari muskulus ekstraokuler
Ptosis aponeurotik  Ptosis senilis
 Ptosis herediter berkembang lambat
 Stress atau trauma aponeurosis levator
 Pasca operasi katarak
 Lokal trauma lainnya
 Blepharochalasis
 Berhubungan dengan kehamilan
 Berhubungan dengan penyakit Grave
Ptosis neurogenik  Lesi nervus okulomotor
 Sindrom Horner
 Migrain Ofthalmoplegi
 Multipel Sklerosis
 Sindrom Marcuss Gunn
 Ptosis misdireksi nervus III
 Pasca trauma oftalmoplegi
Ptosis mekanik
Terlihat seperti ptosis  Akibat hipotropia
 Akibat dermatochalasis
 Akibat berkurangnya jaringan
penyokong posterior kelopak mata

 Berdasarkan Jarak Jatuhnya Palpebra Superior


Ptosis diklasifikasikan atas 3 derajat: 7
1. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm termasuk ptosis ringan,
2. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 3 mm termasuk ptosis sedang
3. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea > 4 mm termasuk ptosis berat.
E. Patofisiologi
Kelopak mata diangkat oleh kontraksi m. levator superioris palpebrae. Dalam
kebanyakan kasus ptosis kongenital, sebuah hasil kelopak mata droopy dari disgenesis
miogenik lokal. Daripada serat otot normal, jaringan berserat dan lemak yang hadir di
dalam otot, mengurangi kemampuan m. levator untuk kontraksi dan relaksasi. Oleh karena
itu, kondisi ini biasa disebut ptosis kongenital myogenic. Ptosis kongenital juga dapat
terjadi ketika inervasi untuk m. levator terganggu melalui disfungsi neurologis atau
neuromuscular junction.
F. Gambaran Klinis
Pasien ptosis sering datang dengan keluhan utama jatuhnya kelopak mata atas dengan
atau tanpa riwayat trauma lahir, paralisis n. III, Horner’s Syndrom ataupun penyakit
sistemik lainnya. Keluhan tersebut biasanya disertai dengan ambliopia sekunder.3
Pada orang dewasa akan disertai dengan berkurangnya lapang pandang karena mata
bagian atas tertutup oleh palpebra superior. Pada kasus lain, beberapa orang (utamanya
pada anak-anak) keadaan ini akan dikompensasi dengan cara memiringkan kepalanya ke
belakang (hiperekstensi) sebagai usaha untuk dapat melihat dibalik palpebra superior yang
menghalangi pandangannya. Biasanya penderita juga mengatasinya dengan menaikkan alis
mata (mengerutkan dahi). Ini biasanya terjadi pada ptosis bilateral. Jika satu pupil tertutup
seluruhnya, dapat terjadi ambliopia.1,9
Ptosis yang disebabkan distrofi otot berlangsung secara perlahan-lahan tapi progresif
yang akhirnya menjadi komplit. Ptosis pada myasthenia gravis onsetnya perlahan-lahan,
timbulnya khas yaitu pada malam hari disertai kelelahan, dan bertambah berat sepanjang
malam. Kemudian menjadi permanen. Ptosis bilateral pada orang muda merupakan tanda
awal myasthenia gravis.5
Pada ptosis kongenital seringkali gejala muncul sejak penderita lahir, namun kadang
pula manifestasi klinik ptosis baru muncul pada tahun pertama kehidupan. Kebanyakan
kasus ptosis kongenital diakibatkan oleh suatu disgenesis miogenic lokal. Bila
dibandingkan dengan otot yang normal, terdapat serat dan jaringan adipose di dalam otot,
sehingga akan mengurangi kemampuan otot levator untuk berkontraksi dan relaksasi.
Kondisi ini disebut sebagai miogenic ptosis kongenital.3
Symptom/ gejala ptosis:
 Jatuhnya / menutupnya kelopak mata atas yang tidak normal.
 Kesulitan membuka mata secara normal.
 Peningkatan produksi air mata.
 Adanya gangguan penglihatan.
 Iritasi pada mata karena kornea terus tertekan kelopak mata.
 Pada anak akan terlihat guliran kepala ke arah belakang untuk mengangkat
kelopak mata agar dapat melihat jelas.19

Gambar 3.1 Chin-up posture due to congenital ptosis of the left eye.

Gambar 3.2 Congenital ptosis of the left eye partially obstructing the left pupillary axis.
Gambar 3.3 Congenital ptosis of the right eye.

G. Diagnosis
Diagnosis ptosis dapat ditegakkan. Berdasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan
yang tepat maka selain diagnosis, juga dapat diketahui kausa dari ptosis dan derajat
beratnya ptosis sehingga dapat ditentukan tindakan dan penanganan yang tepat.
Anamnesis:
 Identitas
 Onset ptosis
 Faktor yang mengurangi atau pemicu
 Riwayat keluarga
 Sejak pertama muncul apakah meningkat, berkurang atau konstan.
 Hubungannya dengan:
 Gerakan rahang
 Gerakan mata yang abnormal
 Postur kepala yang abnormal
 Riwayat trauma atau pembedahan sebelumnya
 Foto lama dari wajah dan mata pasien dapat dijadikan dokumentasi untuk
melihat perubahan pada mata. 14,20
Pasien mengeluh sulit mengangkat kelopak mata atasnya sehingga lapangan pandang
pasien jadi berkurang (kesulitan membuka mata secara normal dan adanya gangguan
penglihatan). Pasien mengeluhkan matanya seperti mata malas, jatuhnya/menutupnya
kelopak mata atas yang tidak normal. Peningkatan produksi air mata. Iritasi pada mata
karena kornea terus tertekan kelopak mata. Pada anak akan terlihat guliran kepala ke arah
belakang untuk mengangkat kelopak mata agar dapat melihat jelas.
Pemeriksaan Oftalmologi
Secara fisik, ukuran bukaan kelopak mata pada ptosis lebih kecil dibanding mata
normal. Ptosis biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra
superior (otot kelopak mata atas). Rata – rata lebar fisura palpebra/celah kelopak mata
pada posisi tengah adalah berkisar 9 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Rata –
rata diameter kornea secara horizontal adalah 12 mm, tetapi vertikal adalah 11 mm. Bila
tidak ada deviasi vertikal maka refleks cahaya pada kornea berada 5,5 mm dari batas
limbus atas dan bawah. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm kornea
bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4 mm diatas
reflek cahaya pada kornea.17
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut meliputi:
1. Palpebra Fissure Height
Jarak antara margo palpebra superior dan inferior pada posisi penglihatan primer.15

Gambar 3.4 Pemeriksaan Palpebra Fissure Height.

2. Margin-Reflex Distance
 Margin-Reflex Distance 1 (MRD 1)
Jarak antara tengah refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata atas dengan
pada posisi primer. Hasil pengukuran 4 - 5 mm dianggap normal.20
Gambar 3.5 Pemeriksaan Margin-Reflex Distance 1 (MRD 1).
 Margin-Reflex Distance 2 (MRD 2)
Jarak antara pusat refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata bawah pada posisi
primer. Jumlah MRD1 dan MRD2 sama dengan palpebra fissure height.8

Gambar 3.6 Margin Reflex Distance 2.


3. Upper Lid Crease (Lipatan Palpebra Atas)
Jarak antar lipatan kulit palpebra superior dengan margin palpebra. Akibat insersi
jaringan muskulus levator ke dalam kulit sehingga membentuk lid-crease. Disinsersi
aponeurosis levator membentuk lid-crease pada posisi tinggi, ganda, dan asimetris.
Lid-crease biasanya tinggi pada pasien ptosis involusional. Pada ptosis kongenital
biasanya samar-samar atau tidak ada. Ciri khas lid-crease orang Asia biasanya
rendah dan tidak jelas walaupun tidak ada ptosis.8,15

Gambar 3.7 Upper Lid Crease.


4. Levator Function
Penderita diminta melihat ke bawah maksimal, pemeriksa memegang penggaris dan
menempatkan titik nol pada margo palpebra superior, juga pemeriksa menekan otot
frontal agar otot frontal tidak ikut mengangkat kelopak, lalu penderita diminta
melihat ke atas maksimal dan dilihat margo palpebra superior ada pada titik berapa.
Aksi levator normal 14-16 mm.15

Gambar 3.8 Pemeriksaan Levator Function


5. Bells Phenomenon
Penderita disuruh menutup atau memejamkan mata dengan kuat, pemeriksa
membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas berarti Bells
Phenomenon (+).21

Gambar 3.9 Pemeriksaan Bells Phenomena


Tabel 3. Eyelid Measurements 21

Te Measureme Normal
st nt
PF palpebral fissure vertical 9 mm
PFd palpebral fissure vertical in downgaze 2-4 mm
MRD1 light reflex to upper lid margin 4-5 mm
MRD2 light reflex to lower lid margin 4-5 mm
MRD3 margin to corneal light reflex in upgaze
BLF upper lid margin from down gaze to upgaze 12-18 mm
MCD on down gaze lid margin to crease 7-10 mm
MFD on primary gaze lid margin to crease 4-5 mm
MLD margin to 6 oclock limbus in upgaze 9 mm
lag Lagophthalmos 0 mm

Pemeriksaan Oftalmologi Lainnya:


 Tajam penglihatan dan kelainan refraksi kedua mata
 Posisi kepala, elevasi dagu, posisi alis mata, dan aksi alis saat berusaha melihat ke
atas.
 Lagoftalmus (penutupan kelopak mata yang tidak sempurna)
 Tes Schimer
 Sensibilitas kornea
 Gerakan bola mata 8,15
Pemeriksaan Tambahan:
 Pemeriksaan lapangan pandang
 Pemeriksaan farmakologi: kokain topical, tes tensilon.8
Pada pasien ptosis umumnya tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Namun
untuk mengetahui adanya kelainan sistemik yang dapat mengakibatkan keadaan tersebut
kiranya dapat dilakukan pemeriksaan darah. Pemeriksaan MRI dan CT-scan kepala dan
mata dibutuhkan misalnya bila untuk melihat adanya massa tumor yang menyebabkan
terjadinya ptosis, dan pada pasien yang ditemukan adanya kelainan neurologik lainnya
misalnya pada pupil yang abnormal.3
H. Diagnosis Banding
Hemangioma, Capillary Laceration, Eyelid
Horner Syndrome Bell Palsy
Marcus Gunn Jaw-winking Syndrome Multiple Sclerosis
Cellulitis, Orbital Myasthenia Gravis
Cellulitis, Preseptal Exophthalmos
Orbital Fracture, Floor Chalazion
Orbital Fracture, Apex Ptosis, Congenital
Chronic Progressive External Ophthalmoplegia
Conjunctivitis, Giant Papillary
I. Penatalaksanaan
Penting untuk menyingkirkan penyebab dasar yang terapinya dapat menyelesaikan
masalah (misal myasthenia gravis).7 Apabila ptosisnya ringan, tidak didapati kelainan
kosmetik dan tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia, strabismus dan defek lapang
pandang, lebih baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi.10
Pada ptosis kongenital, dilakukan pembedahan (memperpendek) otot levator yang
lemah serta aponeurosisnya atau menggantungkan palpebra pada otot frontal. Pada anak-
anak dengan ptosis tidak memerlukan pembedahan secepatnya namun perlu tetap
diobservasi secara periodik untuk mencegah terjadinya ambliopia. Bila telah terjadinya
ambliopia, pembedahan dapat direncanakan secepatnya. Namun jika hanya untuk
memperbaiki kosmetik akibat ptosis pada anak, maka pembedahan dapat ditunda hingga
anak berumur 3-4 tahun.10
Pada ptosis yang didapat, dilakukan koreksi penyebab. Jika koreksi penyebab tidak
mungkin, maka kelopak mata diperpendek menurut arah vertikalnya (jika fungsi levator
baik) atau diikatkan ke frontal (jika fungsi levator buruk).10
Indikasi pembedahan: 5
1. Fungsional
Gangguan axis penglihatan. Ambliopia dan stabismus dapat menyertai ptosis pada
anak-anak.
2. Kosmetik
Tujuan operasi adalah simetris, dan simetris dalam semua posisi pandangan hanya
mungkin jika fungsi levator tidak terganggu.
Kontra Indikasi pembedahan:5,21
1. Kelainan permukaan kornea
2. Bells Phenomenon negatif
3. Paralisa nervus okulomotoris
4. Myasthenia gravis
Prinsip-Prinsip Pembedahan:
Pembedahan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan cukup dengan anestesi lokal.
Pada ptosis ringan, jaringan kelopak mata yang dibuang jumlahnya sedikit. Prinsip dasar
pembedahan ptosis yaitu memendekkan otot levator palpebra atau menghubungkan
kelopak mata atas dengan otot alis mata. Koreksi ptosis pada umumnya dilaksanakan
hanya setelah ditemukan penyebab dari kondisi tersebut. Dan perlu diingat bahwa
pembedahan memiliki banyak resiko dan perlu untuk didiskusikan sebelumnya dengan ahli
bedah yang akan menangani pasien tersebut.11
Beberapa Pembedahan Ptosis:
 Reseksi Levator Eksternal
Prosedur ini memendekan aponeurosis levator dengan cara insisi pada lipat palpebra.
Insisi pada kulit disembunyikan antara lid fold yang lama dan yang baru agar serasi
dengan mata kontralateral. Reseksi levator eksternal diindikasikan pada kasus ptosis
moderat sampai berat dengan fungsi kelopak yang buruk. Ptosis kongenital termasuk
kategori tersebut.11
Pedoman yang dianjurkan Beard :
1. Ptosis kongenital ringan (1,5-2 mm) dengan fungsi levator yang masih baik (8
mm atau lebih) : reseksi 10 – 13 mm.
2. Ptosis kongenital sedang (3 mm) :
 fungsi levator baik (8 mm atau lebih) : dipotong 14 – 17 mm;
 fungsi yang kurang (5-7 mm) : direseksi 13 – 22 mm
 fungsi yang buruk (0-4 mm): reseksi 22 mm atau lebih.
3. Ptosis kongenital berat (4 mm atau lebih) dengan fungsi yang kurang sampai
buruk : reseksi 22 mm atau lebih atau lakukan sling frontalis.11
Teknik Reseksi Levator Eksternal.22
Sayatan kulit ditandai dalam lipatan
kelopak mata.

Dengan kelopak mata terbuka, sayatan yang


dimaksud akan disembunyikan dalam
lipatan kelopak mata.

Kulit kelopak mata diinsisi, baik dengan


laser, pisau atau pemotong radio-frequency.

Sayatan ditarik terbuka, menunjukkan otot


orbicularis.
Dilakukan pembedahan pada otot levator;
otot sering dilapisi oleh lemak.

Dokter bedah melekatkan kembali otot


levator ke tarsus kelopak mata.

Dokter bedah dapat menempatkan antara


satu dan tiga jahitan untuk memasang
kembali otot levator dan membentuk kontur
kelopak mata yang diinginkan dan
tingginya.

Kelopak mata di dijahit menutup.


 Frontalis sling
Pada kasus ptosis berat dengan fungsi palpebra 1-2 mm, frontalis sling merupakan
pendekatan yang paling baik.11 Teknik Frontalis Sling digunakan untuk mentransfer
fungsi mengangkat kelopak mata ptotic ke otot frontalis. Diindikasikan pad Untuk
mencapai ptosis kongenital yang berat.22
Teknik Frontalis Sling.22
Dokter Bedah membuat sayatan sepanjang
tepi kelopak mata dan di atas alis.

Mata dilindungi oleh 'plat' yang menutupi


mata, dan dokter bedah menghubungkan
sayatan alis ke sayatan kelopak mata.

Dokter bedah membuat kedua frontalis


sling material melewati antara insisi
kelopak mata dan insisi alis. Bahan sling
mungkin fasia, fasia sintetik, silikon, teflon
atau bahan
lainnya.
Kelopak mata dibuat dengan dua rhomboids
(dilihat pada gambar) dengan sling, atau
satu bagian tunggal (tidak ditampilkan).
Dengan bahan sling di tempatkan, kelopak
mata akan terangkat.

Insisi pada alis dan kelopak mata yang


terbuka kemudian ditutup kembali.

 Prosedur Fasenella – Servat


Elevasi palpebra dengan cara mengambil jaringan didalam palpebra termasuk tarsus,
konjungtiva dan Müller muscle, jarang digunakan untuk kasus ptosis konginental.
Operasi ini diindikasikan jika fungsi levator baik (10 mm) dan ptosis ringan (1-2
mm).11

Gambar 3.10 Teknik Pembedahan Ptosis


Kebanyakan operasi ptosis berupa reseksi aponeurosis levator atau otot-otot tarsus
superior (atau keduanya). Banyak cara, dari kulit maupun dari konjungtiva, kini dipakai.
Pada tahun-tahun terakhir ini, titik berat diletakkan pada keuntungan membatasi operasi
pada perbaikan dan reseksi aponeurosis levator, terutama pada ptosis yang didapat.5
Pasien dengan sedikit atau tanpa fungsi levator memerlukan sumber pengangkatan
alternatif. Menggantungkan palpebra pada kening (alis) memungkinkan pasien mengangkat
palpebra dengan bantuan gerak alami muskulus frontalis. Fascia lata autogen biasanya
dianggap sebagai alat terbaik untuk menggantung.5
J. Prognosis
Prognosis tergantung pada tingkat ptosisnya dan etiologinya.3
- Ptosis kongenital tipe mild dan moderate dapat mengalami perbaikan seiring dengan
waktu tanpa komplikasi yang berat.
- Ptosis yang menyebabkan ambliopia membutuhkan terapi “Patching”. Ini dilakukan
setelah operasi ptosis.
- Ptosis kongenital yang menyebabkan hambatan penglihatan sebaiknya segera ditangani
dengan pembedahan.
K. Komplikasi
- Underkoreksi
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada operasi ptosis. Underkoreksi ini
dapat dicegah dengan mengukur jumlah reseksi aponeurosis levator yang tepat sebelum
ujung aponeurosis dipotong dan dijahit pada pinggir tarsus. Koreksi ulang apabila dijumpai
underkoreksi dapat dilakukan dalam minggu pertama setelah operasi atau pada saat pasien
masih dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini harus dapat dibedakan underkoreksi karena
edema setelah operasi dengan underkoreksi sebenarnya.
- Overkoreksi
Dapat disertai dengan keratitis eksposure dan dry eyes.8,15
BAB III
KESIMPULAN

Diagnosis ptosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi


yang tepat. Anamnesis pada pasien ptosis meliputi identitas; onset ptosis; faktor yang
mengurangi atau pemicu; riwayat keluarga; sejak pertama muncul apakah meningkat, berkurang
atau konstan; hubungannya dengan gerakan rahang, gerakan mata yang abnormal, postur kepala
yang abnormal; riwayat trauma atau pembedahan sebelumnya dan foto lama dari wajah dan mata
pasien dapat dijadikan dokumentasi untuk melihat perubahan pada mata. Pemeriksaan
oftalmologi pada ptosis meliputi pengukuran palpebra fissure height, margin-reflex distance,
upper lid crease, levator function, Bells phenomenon dll.
Etiologi ptosis terutama terjadi akibat tidak baiknya fungsi muskulus levator palpebra,
lumpuhnya saraf ke III untuk levator palpebra atau dapat pula terjadi akibat jaringan penyokong
bola mata yang tidak sempurna, sehingga bola mata tertarik ke belakang atau enoftalmus.
Berdasarkan onsetnya ptosis dibagi menjadi ptosis kongenital dan ptosis didapat
(acquired). Berdasarkan etiologinya ptosis dapat dibagi menjadi miogenik, aponeurotik,
neurogenik, mekanikal dan traumatik. Sedangkan menurut derajatnya ptosis dibagi menjadi
ptosis ringan jika batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm, ptosis sedang jika batas
kelopak mata atas menutupi kornea 3 mm dan ptosis berat jika batas kelopak mata atas menutupi
kornea > 4 mm.
Penatalaksanaan ptosis tergantung dari etiologi dan derajatnya. Menurut etiologinya, pada
ptosis kongenital (myogenic etiology) dilakukan pembedahan (memperpendek) otot levator yang
lemah serta aponeurosisnya atau menggantungkan palpebra pada otot frontal. Jenis operasi untuk
ptosis kongenital adalah reseksi levator eksternal. Pada ptosis yang didapat (aponeurotic
etiology), misalnya pada myastenia gravis dilakukan koreksi penyebab. Jika koreksi penyebab
tidak mungkin, maka kelopak mata diperpendek menurut arah vertikalnya (jika fungsi levator
baik) atau diikatkan ke frontal (jika fungsi levator buruk). Prosedur Fasenella-Servat lebih sering
digunakan untk kasus ptosis yang didapat.
Sedangkan menurut derajatnya, untuk ptosis ringan yang tidak didapati kelainan kosmetik
dan tidak terdapat kelainan visual seperti ambliopia, strabismus dan defek lapang pandang, lebih
baik dibiarkan saja dan tetap diobservasi. Bila akan dilakukan operasi, prosedur Fasenella-Servat
diindikasikan untuk ptosis ringan. Pada kasus ptosis moderat diindikasikan pembedahan dengan
teknik reseksi levator eksternal. Sedangkan pada ptosis berat, frontalis sling merupakan
pendekatan yang paling baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI, 2007;
hal: 100.

2. Ptosis. Steen-Hall Eye Institute. Available at http://www.steen-hall.com/ptosis.html. Last


update : Mei 10, 2010.
3. Suh, Donny Wun. Ptosis, Congenital. Editor(s) : Michael J Bartiss, Donald S Fong, Mark T
Duffy, Lance L Brown, Hampton Roy. Department of Ophthalmology, University of
Nebraska Medical Center. Avaiable at http://www.emedicine.com/ ph/topic345. Last
update : November 13, 2003.
4. Ptosis. TSBVI Education. Available at http://www.tsbvi.edu/Education/anomalies/
ptosis.htm.
5. Vaughan, Daniel. Ptosis. Dalam General Opthalmology. edisi 9, lange Medical Publications,
California, 1980, hal : 50
6. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI,
2005; hal.47.

7. Cohen, Adam. Ptosis, Adult. Available at http://www.tsbvi.edu/Education/anomalies/


ptosis_adult.htm. 10 mei 2010.
8. American Academy of Ophthalmology: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System in Basic and
Clinical Science Course, Section 7, 2001-2002.page 189-204.
9. Bermant, Michael. Measuring Eyelid Function and Ptosis (drooping upper eyelid). American
Board of Plastic Surgery. Available at
http://www.plasticsurgery4u.com/procedure_folder/eyelid_recon_folder/eyelid_function.ht
ml. 10 Mei 2010.
10. Sparth, George L. Plastic Surgery. Dalam Opthalmic Surgery. W.B. Saunders Company.
Philadelphia. 1982; hal : 582-589.
11. Snell, Richard. Palpebra. Dalam: Anatomi Klinik. Jakarta: EGC, 2006; hal. 766-8.
12. James, Bruce. Kelopak Mata. Dalam: Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2005; hal .3-5.
13. Vaughan, Daniel. Palpebra. Dalam: Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika,
2000; hal. 17-21.
14. Aryatul, Aryani. Penatalaksanaan Ptosis dengan Teknik Reseksi Aponeurosis Levator
Melalui Kulit. USU Resepository. 2008; p 1-32.
15. Ilyas, Sidharta. Kelopak Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI,
2007; hal .1-2.
16. Bermant, Michael. Measuring Eyelid Function and Ptosis (drooping upper eyelid). American
Board of Plastic Surgery. Available at
http://www.plasticsurgery4u.com/procedure_folder/eyelid_recon_folder/eyelid_function.ht
ml. 10 Mei 2010.
17. Mahendra. Ptosis: Kelopak Mata yang Menggantung. Available at
http://www.mahendraindonesia.com/ptosis. 10 Mei 2010.
18. Grover, AK. Long Case of Ptosis. Available at http://www.eophtha.com/ ejo13.html. 10
Mei 2010.
19. Newman, Steven A. The Pasient With Eyelid or Facial Abnormalities. Dalam Basic And
Clinical Science Course-Neuro Opthalmology. Bagian 5. The Foundation Of The American
Academy Of Ophthalmology. San Fransisco. 2001; hal : 263.
20. The Online Eye Manual / Occuloplastics. Eyelid Measurements. Available at
http://mail.ml.usoms.poznan.pl/eyemanual/plastics5.htm. 19 Mei 2010.
21. Evans, N.M. The Eyelids. Dalam Opthalmology. Oxford University Press. Oxford. 1995;
hal: 17-20
22. Eye Plastics. Ptosis Surgery: Surgical Technique. Available at
http://www.eyeplastics.com/treatment-of-ptosis-external-levator-frontalis-sling-putterman-
procedure.html Februari 17, 2015.

Anda mungkin juga menyukai