Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Globus faringeus adalah berupa perasaan atau sensasi subyektif seseorang mengenai
adanya benjolan, gumpalan, atau benda asing di dalam tenggorokkannya tanpa disertai nyeri,
yang berlangsung secara persisten dan intermiten. Perasaan tersebut kadangkala muncul karena
gangguan emosi, di mana sensasi dirasakan dalam keadaan sebenarnya tidak ada benjolan
ataupun beda asing di tenggorokkannya. Tenggorokan adalah bagian depan pangkal leher di
belakang mulut, yang secara anatomis terdiri dari faring dan laring. Kondisi klinis ini seringkali
terjadi, susah untk diobati dan cenderung kambuh. Oleh karena etiologi penyakit ini tidak dapat
diketahui dengan pasti, pemeriksaan standard dan pengobatan yang akurat masih sukar dilakukan
kepada individu yang menderita globus faringeus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
2.1.1 Faring
Faring atau pharynx atau tenggorokkan merupakan saluran berbentuk pipa dengan
panjang 13 cm, yang berawal dari nares internal memanjang sampai kartilago krikoid (kartilago
yang letaknya paling inferior dari laring). Faring terletak di posterior dari kavitas nasal dan oral,
superior dari laring, dan anterior dari vertebra cervikalis. Dinding faring terdiri dari otot skelet
yang dilapisi membrane mukosa. Kontraksi otot skelet ini berperan dalam proses menelan.
Fungsi faring adalah adalah sebagai jalan masuknya udara dan makanan, berfungsi untuk
meresonansi kotak suara, dan tempat lokasi tonsil, yang berperan dalam reaksi imunologis
melawan benda asing.

Gambar 1.1. Anatomi Faring (Derrickson & Tortora, 2008)


Menurut lokasi anatomisnya, faring dibagi menjadi tiga region, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring. Otot dari seluruh faring dibagi menjadi dua lapisan, lapisan luar

yaitu lapisan otot sirkular, dan lapisan dalam yaitu lapisan otot longitudinal. Nasofaring
merupakan bagian superior dari faring. Bagian nasofaring dimulai dari posterior kavitas nasal
dan memanjang menuju palatum mole (soft palate atau palatum lunak). Terdapat lima tempat
pembukaan pada nasofaring, yaitu dua lubang nares internal, dua lubang eustachius, dan satu
lubang menuju orofaring. Dari lubang nares internal, nasofaring mendapatkan udara dari kavitas
nasal bersama dengan dust-laden mucus. Nasofaring dilapisi oleh epitel kolumnar
pseudostratified siliaris, dan silia yang ada akan menggerakkan mucus kebawah menuju bagian
paling inferior dari faring. Nasofaring juga berfungsi untuk pertukaran udara melalui tuba
eustachius untuk menyamakan tekanan udara antara faring dan telinga bagian tengah

Gambar 1.2. Anatomi Laring Anterior - Posterior (Derrickson & Tortora, 2008)
Bagian tengah dari faring disebut sebagai orofaring. Daerah orofaring terletak di bagian
posterior kavitas oral dan dimulai dari palatum mole menuju inferior dan berakhir di bagian
tulang hyoid. Pada bagian orofaring, hanya terdapat satu tempat pembukaan, yaitu fauces atau
tenggorokkan. Orofaring berfungsi untuk respirasi maupun digestif. Orofaring dilapisi oleh epitel
squamous stratifikasi nonkeratinisasi. Terdapat dua bagian tonsil yang berlokasi di orofaring,
yaitu palatine dan lingual tonsils.
Bagian paling inferior dari faring adalah laringofaring atau hipofaring, laringofaring
letaknya dimulai dari tulang hyoid. Pada bagian laringofaring terdapat dua tempat pembukaan
yaitu esophagus pada posterior dan laring pada anterior. Seperti pada bagian orofaring,
laringofaring juga berfungsi untuk fungsi respirasi dan digestive. Epitel yang melapisi bagian
laringofaring adalah epitel skuamous stratifikasi nonkeratinisasi.

2.1.2. Laring
Laring atau larynx atau kotak suara, adalah saluran pendek yang menghubungkan antara
laringofaring dan trakea. Laring terletak di midline dari leher, dan berada di anterior esophagus
setinggi vertebra cervikalis empat sampai enam (C4-C6). Dinding dari laring terdiri dari
sembilan tulang kartilago. Tiga kartilago yang berdiri sendiri (kartilago tiroid, epiglottis, dan
krikoid), dan tiga kartilago yang berpasangan (kartilago arytenoids, cuneiform, dan cornikulate).
Dari ketiga kartilago yang berpasangan, kartilago yang terpenting adalah kartilago arytenoids,
kartilago ini berpengaruh besar pada perubahan posisi dan tekanan dari vocal folds (yang
mempengaruhi suara). Otot ekstrinsik dari laring berfungsi untuk menghubungkan kartilago dan
struktur lainnya di tenggorokan, sedangkan otot intrinsik mengubungkan antar kartilago.

Gambar 1.3. Anatomi Laring Potongan Sagital (Tortora, 2008)


Kartilago tiroid atau yang sering disebut sebagai adams apple terdiri dari dua kartilago
hyaline dari dinding anterior laring dan memberikan bentuk triangular. Adams apple ini terdapat
pada pria dan wanita, namun lebih besar pada pria karena pengaruh hormone sex pria yang
berkembang saat pubertas. Ligamen yang menghubungkan kartilago tiroid ke tulang hyoid
disebut sebagai membran tirohioid.

Gambar 1.4. Anatomi Vocal Folds (Derrickson & Tortora, 2008)


Epiglotis (epi: dalam, glottis: lidah) merupakan kartilago elastis dan berbentuk seperti
daun yang dilapisi oleh epitel. Batang dari epiglottis meruncing ke bagian inferior dan melekat
ke anterior melingkari kartilago tiroid dan tulang hyoid. Bagian epligotis superior yang lebar dan
berbentuk seperti daun tidak melekat dan bebas bergerak naik atau turun seperti pintu. Saat
proses menelan, faring dan laring akan naik, elevasi dari faring berfungsi untuk melebarkan
faring untuk menerima makanan dan minuman, sedangkan elevasi dari laring akan menyebabkan
epiglottis bergerak turun dan menutup glottis. Glotis terdiri dari sepasang lipatan membrane
mukosa vocal folds di laring, dan ruang diantaranya yang disebut rima glottidis. Penutupan laring
saat proses menelan menyebabkan makanan dan minuman bergerak menuju esophagus. Saat
partikel kecil seperti debu, asap, makanan, dan cairan masuk ke laring, maka refleks batuk akan
muncul, sehingga benda atau parikel asing tersebut akan keluar.
Kartilago krikoid adalah cincin kartilago hyaline yang berasal dari dinding inferior dari
laring. Kartilago ini melekat pada kartilago pertama di trakea melalui ligament krikotrakea.
Kartilago tyroid berhubungan dengan kartilago krikoid melalui ligament krikotiroid. Kartilago
krikoid ini merupakan tempat untuk trakeostomi pada kasus kegawatdaruratan. Kartilago
aritenoid berbentuk triangular dan merupakan kartilago hyaline yang banyak berlokasi di

posterior, dan superior dari kartilago krikoid. Bagian ini merupakan bagian yang memiliki
pergerakan luas karena terdapat sendi synovial dengan kartilago krikoid. Kartilago kornikulat
merupakan kartilago yang berbentuk seperti tanduk dan bersifat elastis, dan berlokasi di apex
dari kedua kartilago aritenoid. Kartilago cuneiform adalah kartilago elastic yang berbentuk
seperti gada dan terletak di anterior dari kartilago corniculate. Kartilago ini yang membantu
vocal folds dan aspek lateral dari epiglottis.

Gambar 1.5. Anatomi Vocal Folds (Derrickson & Tortora, 2008)


Lapisan laring superior sampai vocal folds dilapisi oleh epitel squamous nonkeranisasi
stratified. Lapisan dari laring inferior menuju vocal folds adalah epitel kolumnar pseudostratified
bersilia yang terdiri dari sel kolumnar silia, sel goblet, dan basal sel. Mukus yang diproduksi oleh
sel goblet berfungsi untuk menangkap debu yang tidak tersaring sebelumnya. Silia yang ada di
upper respiratory tract berfungsi menggerakkan mucus dan menangkap partikel dan
menggerakkan menuju faring; sedangkan silia pada lower respiratory tract berfungsi
menggerakkan mucus ke atas faring.
2.1.3. Esofagus
Esophagus (e-SOF-a-gus = makan tenggorokan eating gullet) merupakan tuba
muscular yang collapsible. Panjangnya sekitar 25cm dan berlokasi di posterior dari trakea.
Esofagus berawal dari ujung bawah akhir dari laringofaring dan memanjang menuju

mediastinum anterior menuju columna vertebra. Selanjutnya menembus diafragma menuju


esophageal hiatus di bagian superior lambung.

Gambar 1.6. Anatomi Esofagus (Kumar et al, 2003)


Mukosa dari esophagus terdiri dari epitel skuamosum stratifikasi nonkeratinisasi, lamina
propia, dan otot muscosae (otot polos). Di dekat lambung, mukosa dari esophagus mengandung
kelenjar mukus. Di setiap ujung dari esophagus, otot dari esophagus tersebut menjadi sedikit
keras dan prominen dan menjadi dua spincter. Upper esophageal sphincter(UES) yang terdiri dari
otot rangka, dan lower esophageal sphincter(LES), yang terdiri dari otot polos. UES meregulasi
pergerakan makanan dari faring menuju esophagus, sedangkan LES meregulasi pergerakan
makanan dari esophagus menuju lambung.
2.1.4. Fisiologi Menelan
Proses menelan dimulai dengan fase oral atau volunter, yang merupakan fase persiapan
sebelum makanan atau bolus melanjutkan ke fase transfer yang merupakan fase bolus didorong
ke faring oleh kontraksi dari lidah. Bolus kemudian mengaktivasi reseptor sensoris di orofaring
yang memulai refleks menelan. Saat bolus sudah terdorong ke belakang oleh lidah, laring

kemudian bergerak ke depan dan UES terbuka. Setelah bolus berada di faring, kontraksi dari
konstriktor faring superior melawan gerakan kontraksi palatum mole, terbentuklah gerakan
kontraksi peristaltik yang secara cepat mendorong makanan melewati faring menuju esophagus.
LES terbuka setelah makanan masuk ke dalam esophagus, dan akan terus terbuka sampai
kontraksi peristaltik menggerakkan bolus sampai ke lambung.
2.2. DEFINISI GLOBUS FARINGEUS
Kondisi yang saat ini dikenal dengan sebutan globus faringeus, awalnya telah di
deskripsikan oleh John Purcell pada tahun 1707 dengan sebutan globus histerikus. Kata globus
berasal dari bahasa latin yang berarti bola, dan kata histerikus memiliki arti bahwa kondisi
penyakit tersebut berasal dari gangguan psikologis seperti gangguan somatisasi yang
bermanifestasi menjadi gejala pseudoneurologikal. Dalam Oxford English Dictionary tahun
1794, arti globus histerikus sendiri adalah sensasi tersedak seperti terdapat benjolan di
tenggorokkan pada orang-orang yang mengalami kondisi histeris. Penyakit ini kemudian oleh
Malcomson dirubah namanya menjadi globus faringeus pada tahun 1968, hal ini disebabkan
karena tidak semua pasien dengan globus adalah wanita ataupun sedang dalam kondisi gangguan
psikologis seperti histeria. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa pasien dengan gejala globus
faringeus tidak menunjukkan skor histeria yang lebih tinggi, dibandingkan dengan orang sehat.
Saat ini telah diketahui secara luas bahwa penyebab dari globus faringeus ini bukan hanya dari
psikologis namun dapat terjadi karena sebab anatomis.
Globus faringeus adalah penyakit yang mempunyai karakteristik berupa perasaan atau
sensasi subyektif seseorang mengenai adanya benjolan, gumpalan, atau benda asing di dalam
tenggorokkannya ketika sebenarnya tidak ada benjolan ataupun beda asing di tenggorokkannya
pada saat dilakukan pemeriksaan tenggorokkan. Karakteristik lain dari penyakit ini adalah tanpa
disertai dengan adanya keluhan kesulitan menelan (disfagia) ataupun keluhan nyeri saat menelan
(odinofagia), dan frekuensinya akan bertambah saat sedang kondisi makan. Sensasi ini biasanya
bersifat persisten, intermiten, sulit untuk disembuhkan, dan memiliki kecenderungan untuk
serangan ulangan.

2.3. EPIDEMIOLOGI
Globus faringeus atau yang dapat disebut juga sebagai globus sensation atau globus
histericus, sering terjadi di populasi umum. Insidensi globus faringeus setiap tahunnya menurut
BEACH (Bettering the Evaluation and Care of Health) adalah 6.7 per 100.000 orang. Pada satu
penelitian menunjukkan hasil bahwa lebih dari 4 persen pasien dari 4330 konsekutif pasien baru
yang mengunjungi klinik THT mengeluhkan keadaan globus faringeus dengan gejala ringan dan
intermiten. Penelitian lain pula menunjukkan hasil sekitar 46 persen dari seluruh subyek
penelitian yang sehat, mengalami sensasi globus faringeus minimal satu kali selama hidupnya.

Gambar 3.1. Insidensi Globus Faringeus (Pollack, 2013).


Globus faringeus sering terjadi saat perasaan seseorang sedang emosional, dan lebih
sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (53 persen banding 35 persen). Untuk wanita,
insidensi globus faringeus adalah 8.3 per 100.000 orang sedangkan untuk pria insidensinya
adalah 3.9 per 100.000 orang. Pada usia kurang dari 50 tahun, globus lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria, sedangkan setelah lebih dari 50 tahun, tidak ada perbedaan
prevalensi antara pria dan wanita. Salah satu penelitian yang diadakan di klinik psikosomatik,
median usia pasien dengan keluhan globus adalah 43 tahun, dan median durasi gejala adalah dua
tahun. Tingkat insidensi tertinggi penyakit ini terjadi pada usia pertengahan. Insidensi penyakit
ini sangat jarang terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan dewasa, pada usia ini gangguan makan
atau eating disorder lebih sering terjadi dibandingkan dengan globus faringeus. Sedangkan pada
usia lanjut, globus faringeus sangat sulit dibedakan dengan penyakit inflamasi mukosa yang

berkaitan dengan umur atau age-related mucosal inflammation. Penelitian yang dilakukan oleh
Dearly, et al., menyebutkan bahwa 6% dari 1150 wanita dalam usia pertengahan mengeluhkan
adanya perasaan atau sensasi adanya benda asing di tenggorokkannya dalam kurun waktu tiga
bulan terakhir.

2.4. ETIOLOGI
Meskipun prevalensi globus faringeus di masyarakat umum masih tinggi, etiologinya
sampai saat ini masih belum jelas dan sangat kontroversi. Etiologi yang saat ini mulai diterima
adalah disebabkan karena multifactorial. Hasil dari sebagian besar penelitian memperkirakan
terdapat beberapa mekanisme terjadinya globus faringeus. Mekanisme ini termasuk faktor
psikologis, gastroesophageal reflux (GER), dismotilitas faring, hipertonik upper oesophageal
sphincter (UOS), dan abnormalitas anatomi lokal.
2.4.1. Gastroesophageal Reflux Disease
Gastroesophageal reflux disease atau GERD saat ini disebut-sebut sebagai penyebab
utama globus faringeus. Sekitar 23 sampai 68 persen globus faringeus diperkirakan disebabkan
oleh GERD. Malcomsom merupakan peneliti yang pertama kali mengubungkan antara GERD
dan globus faringeus dengan menggunakan swallow barium, hasilnya lebih dari 60 persen pasien
dengan globus faringeus menunjukkan adanya refluks. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Koufman menunjukkan bahwa sekitar 58 persen pasien dengan globus faringeus memiliki hasil
pH yang abnormal. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Cherry et
al, yang menunjukkan hasil 10 dari 12 subyek penelitian mengeluhkan globus faringeus saat
asam di infuskan ke dalam esophagus bagian distal. Penelitian lainnya menunjukkan hasil 72
persen dari 25 pasien dengan globus memiliki kondisi refluks patologis.
Sebagai tambahan, globus faringeus membaik setelah delapan minggu pemberian terapi
proton pump inhibitor (PPI). Survei yang dilakukan menurut population-based mendukung
adanya hubungan yang potensial antara GERD dan globus faringeus dengan mendemonstrasikan
peningkatan risiko globus pada pasien dengan gejala GERD. Penelitian yang dilakukan oleh
Dore et al, menunjukkan hasil 38,7 persen pasien dengan GERD memiliki gejala globus

faringeus dan gejala ini lebih sering terjadi pada kelompok pasien dengan non-erosive reflux
disease.

Gambar 4.1. Penyebab Globus Faringeus (Clarke & Glesson, 2008)


Terdapat dua mekanisme dasar yang dapat menjelaskan hubungan antara GERD dan
globus faringeus. Mekanisme pertama adalah iritasi dan inflamasi langsung pada mukosa
laringofaring yang disebabkan karena aliran kembali atau retrograde flow dari cairan lambung,
atau lebih dikenal dengan laryngopharyngeal refluks. Mekanisme kedua adalah refleks vasovagal
hipertonik dari UES atau upper esophageal sphincter yang disebabkan karena asam atau distensi
pada esophagus distal. Sampai saat ini, belum ada orang yang tau penjelasan mengenai penyebab
globus pada kasus refluks ini, apakah karena asam lambung yang meningkat atau peningkatan
sensitifitas asam, atau adanya asam pada lokasi yang tidak semestinya sehingga menyebabkan
keluhan globus faringeus ini.
2.4.2. Fungsi Abnormal Upper Esophageal Sphincter
Fungsi abnormal upper esophageal sphincter (UES) diperkirakan menjadi salah satu
penyebab globus faringeus. Hasil dari beberapa penelitian masih kontroversial, hal ini
kemungkinan diakibatkan dari kesulitan teknis dalam mengukur tekanan UES. Salah satu
penelitian menunjukkan peningkatan tekanan UES lebih sering terjadi pada pasien dengan

globus faringeus dibandingkan dengan kelompok kontrol (28% vs 3%), dari penelitian tersebut,
maka diperkirakan bahwa hipertensi UES merupakan faktor penyebab globus faringeus. Hal ini
didukung oleh penelitian yang memberikan injeksi toksin botulinum di otot cricopharyngeal
pada kelompok pasien dengan globus dan kelompok pasien dengan tekanan UES yang tinggi,
hasilnya pemberian injeksi toksin botulinum dapat memberikan perbaikan pada gejala globus
dan menurunkan tekanan UES.
2.4.3. Gangguan Motorik Esofagus
Prevalensi esophageal motor disorders atau EMD dilaporkan pada 6 sampai 90 persen
pada pasien dengan globus faringeus. Hal ini menunjukkan bahwa EMD kemungkinan dapat
menjadi penyebab yang berkontribusi pada faktor risiko berkembangnya globus faringeus.
Manometri esophagus menunjukkan hasil abnormal pada lebih dari 67 persen pasien dengan
globus faringeus. Abnormalitas yang sering terjadi adalah gangguan motilitas esophagus yang
nonspesifik. Penelitian yang dilakukan oleh Moser et al, menunjukkan hasil bahwa gejala EMD
sebelum gejala disfagia terjadi adalah gejala globus faringeus.
2.4.4. Inflamasi Faring
Iritasi dan inflamasi dapat menyebabkan globus faringeus. Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan iritasi dan inflamasi pada faring diantaranya adalah faringitis, tonsillitis, dan
sinusitis kronis dengan post nasal drip. Beberapa kondisi dapat menyebabkan globus faringeus
dengan cara meningkatkan sensitivitas daerah lokal faring.
2.4.5. Keganasan Saluran Faringolarengeal (Upper Aerodigestive Tract Malignancy)
Adanya malignansi faringolaringeal atau esophagus bagian atas harus diekslusikan dari
pasien dengan globus faringeus. Khususnya pada pasien dengan gejala risiko tinggi adanya suatu
keganasan seperti berat badan turun, disfagia, dan nyeri tenggorokkan.
2.4.6. Hipertrofi Pada Basis Lidah (Hypertrophy of The Tongue Base)
Globus faringeus dapat disebabkan karena hipertrofi berat pada basis lidah. Hal ini
dimungkinkan karena folikel lidah menyentuh dinding posterior faring. Penelitian yang
dilakukan oleh Mamede et al, menunjukkan hasil bahwa folikel lidah yang hipertrofi sering

ditemukan pada pasien dengan tanda dan gejala gastroesophageal reflux atau GER. Selain itu
gejala hipertrofi basis lidah sulit dibedakan dengan gejala GER.
2.4.7. Retroverted Epiglottis
Penelitian yang dilakukan oleh Agada et al, menunjukkan hasil beberapa pasien dengan
globus faringeus memiliki kondisi yang disebut retroverted epiglottis. Retroverted epiglottis
dapat menyebabkan globus faringeus melalui epiglottis yang kontak dengan basis lidah atau pada
dinding faring posterior saat lidah dijulurkan. Dari beberapa observasi, ditemukan bahwa gejala
akan berkurang setelah dilakukan epligottectomi parsial.
2.4.8. Penyakit Tiroid
Penelitian yang dilakukan oleh Remacle, menunjukkan hasil bahwa pasien dengan globus
faringeus lebih banyak menunjukkan abnormalitas pada tiroidnya dari hasil USG dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Menurut Burns et al, satu dari tiga pasien dengan massa di tiroid
mengeluhkan adanya gejala globus faringeus. Pasien dengan post tiroidektomi juga mengeluhkan
gejala yang mirip dengan globus, namun menghilang setelah beberapa hari. Walaupun
patofisiologi atau penjelasan mengenai mekanisme penyakit tiroid bisa menyebabkan globus
faringeus belum sepenuhnya di mengerti, namun beberapa laporan menyebutkan bahwa
tiroidektomi dapat meringankan gejala globus faringeus.
2.4.9. Mukosa Gaster Heterotopik Servikalis/ Cervical Heterotopic Gastric Mucosa (CHGM).
Globus faringeus dilaporkan juga dihubungkan dengan adanya cervical heterotopic
gastric mucosa (CHGM). CHGM merupakan kelainan gastrointestinal kongenital, yaitu berupa
sel lambung yang berada tidak pada tempatnya. Asam yang dihasilkan oleh sel CHGM dapat
menimbulkan gejala yang mirip dengan GERD, termasuk globus faringeus. Pasien CHGM
dengan keluhan globus faringeus dan atau sakit tenggorokkan menunjukkan perbaikan gejala
setelah dilakukan argon plasma ablation of CHGM. Saat ini, globus faringeus dihubungkan
dengan infeksi Helicobacter pylori pada CHGM.

2.4.10. Tumor Jarang


Keluhan globus faringeus juga dikeluhkan pada pasien dengan tumor otot polos faring,
post cricoids limfangioma, dan orofaringeal metastasis dari mekel sell karsinoma. Hal ini berarti
pasien dengan keluhan globus faringeus yang persisten seharusnya di investigasi lebih lanjut
untuk mengeksklusi penyakit atau lesi yang jarang.
2.4.11. Stres dan Faktor Psikologi
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa dahulu globus faringeus disebut sebagai globus
histerikus. Hal ini, memberi kesan bahwa telah lama diketahui hubungan antara globus faringeus
dan faktor psikologi. Globus faringeus merupakan salah satu dari empat gejala tersering
somatisasi setelah muntah, afonia, dan nyeri pada ekstermitas. Masalah psikogenik sering
dianggap sebagai penyebab atau pemicu globus faringeus. Salah satu penelitian menunjukkan
peningkatan level alexithymia, neuroticism, dan distress psikologis (termasuk cemas, mood
turun, dan somatisasi) dan penurunan level dari extraversi pada pasien dengan globus faringeus.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa peningkatan stressor mungkin dapat menjadi kofaktor simtomgenesis dan kekambuhan. Lebih dari 96 persen pasien dengan globus faringeus
menunjukkan gejala kekambuhan saat emosi mereka sedang tinggi. Beberapa penelitian
menunjukkan hasil tidak adanya perbedaan status psikologi pasien globus faringeus
dibandingkan dengan kontrol. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Gale et al, menunjukkan
hasil insidensi globus faringeus pada 4240 laki-laki veteran adalah 6,4 persen, dengan skor
Minnesota Multiphasic Personality Inventory(MMPI) lebih besar pada kelompok globus
faringeus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peneliti memperkirakan adanya hubungan
yang signifikan antara depresi dan gangguan somatisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Harris et
al, menunjukkan hubungan antara kejadian hidup yang berat dalam setahun terakhir dengan
kejadian globus faringeus.
2.4.12. Penyakit Autoimun
Penelitian terbaru menunjukkan hasil yang menarik, bahwa kondisi autoimun secara
signifikan meningkatkan prevalensi dari globus faringeus jika dibandingkan dengan populasi
normal. Lebih lanjut lagi, terdapat hubungan antara globus faringeus dan alergi. Pada penelitian

dengan allergic skin tests, menunjukkan hasil secara signifikan allergic skin tests positive pada
kelompok pasien dengan globus faringeus dibandingkan dengan kelompok kontrol.
2.4.13. Lainnya
Terdapat beberapa laporan kasus yang menghubungkan antara globus faringeus dengan
osteofit pada cervical, penyakit pada sendi temporomandibular, hiperviskositas dari mukosa
nasofaringeal, sindrom Eagle (kalsifikasi stylohyoid ligament), peningkatan tekanan laryngeal
dan faringeal, dan hipofungsi dari saliva (pada pasien dengan globus, memiliki konsentrasi
fukose dan asam sialic yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol).
2.5. TANDA DAN GEJALA
Gejala utama dari globus faringeus adalah perasaan seperti adanya gumpalan, tekanan
(kontriksi) perasaan terikat, atau perasaan tidak nyaman di tenggorokan. Keluhan nyeri
tenggorokan atau sulit menelan tidak dirasakan oleh pasien. Keluhan ini dirasakan kambuhkambuhan. Keluhan globus faringeus sering dirasakan di bagian leher depan dan dapat berpindah
ke lokasi sekitarnya, perpindahan sering ke atas atau ke bawah. Gumpalan ini biasa dirasakan
pada bagian antara dada dan laring, atau pada daerah disekitar Addams apple. Besarnya
gumpalan sering di deskripsikan antara sebesar kacang sampai sebesar buah kenari. Keluhan ini
tidak mempengaruhi proses makan atau minum. Bahkan untuk beberapa orang keluhan ini
membaik saat makan atau minum. Keluhan ini biasanya memberat diantara waktu makan.
Kebanyakan pasein dengan globus faringeus mengeluhkan sensasi atau perasaan ini pada saat
menelan ludah.
2.6. DIAGNOSIS
Sampai saat ini, belum ada konsesus yang membahas mengenai cara mendiagnosis dan
manajemen terapi dari globus faringeus. Penelitian yang dilakukan di Inggris, mengemukakan
bahwa 14% spesialis THT tidak melakukan pemeriksaan penunjang pada pasien dengan globus
faringeus, dan memilih untuk langsung memberikan resep antasid. Sedangkan sisanya, sekitar
86% melakukan pemeriksaan penunjang, seperti endoskopi (61%), barium swallow (56%), dan
kombinasi keduanya (17,5%). Langkah pertama untuk memeriksa gejala globus faringeus adalah
dengan melakukan anamnesis riwayat lengkap pasien, gejala-gejala risiko tinggi tumor, gejala

refluks, dan masalah psikologis. Sebagai tambahan, pemeriksa seharusnya melakukan


pemeriksaan fisik leher dan nasofaringoskopi. Pasien dengan gejala khas globus faringeus
sebenarnya tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan penunjang ditujukan pada
pasien dengan disfagia, odinofagia, nyeri tenggorokan, berat badan turun, dan hoarseness.
2.6.1. Indeks Gejala Refluks dan Reflux Finding Score
Gejala dan penemuan pemeriksaan fisik dari laringofaringeal refluks (LPR) sangat tidak
spesifik, dan sulit dibedakan dengan kondisi laring lainnya yang disebabkan oleh rokok, alergi,
infeksi, vocal abuse, discharge postnasal, atau mekanisme neurogenik lainnya. Belafsky et al,
menyarankan agar dilakukannya penilaian indeks gejala refluks untuk mengetahui tingkat gejala
LPR dan refluks finding score untuk mengetahui keparahan LPR. Namun Park et al, melaporkan
bahwa RFS(refluks finding score) dan RSI(Indeks Gejala Refluks) memiliki spesifitas yang
rendah pada pasien dengan globus, hal ini mengindikasikan bahwa RFS maupun RSI mungkin
tidak terlalu valid untuk mendiagnosis LPR pada pasien dengan globus faringeus.
2.6.2. Barium Swallow
Barium swallow adalah pemeriksaan esophagus dengan menggunakan kontras. Beberapa
penelitian dengan barium swallow yang mengidentifikasi lesi jinak pada satu dari tiga pasien
dengan globus faringeus, dengan penemuan terbanyak adalah hiatal hernia dan atau refluks (818%), osteofit servikalis (0,4-23%), dan spasme krikofaringeal (2,2%). Dua penelitian
mendemonstrasikan bahwa barium swallow tidak menunjukkan malignansi pada pasien dengan
globus tipikal. Sebagai tambahan, tidak ada malignansi dari faring maupun esophagus yang
ditemukan dari pasien dengan globus faringeus pada penelitian lainnya. Hal ini mengindikasikan
bahwa pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis malignansi pada pasien
dengan globus faringeus. Pemeriksaan barium swallow memiliki nilai diagnosis yang terbatas
untuk memeriksa pasien dengan globus faringeus.
2.6.3. Videofluoroscopy
Penelitian dengan subyek 23 pasien globus faringeus yang mendapatkan pemeriksaan
videofluoroskopi, 8 pasien diantaranya menunjukkan adanya abnormalitas, 5 pasien memiliki
aspirasi laryngeal, 2 pasien memiliki barium yang statis di sinus vallecula dan piriformis, dan 4

pasien sisanya memiliki elevasi faring yang lemah. Oleh karena itulah, pemeriksaan dengan
videofluoroskopi mungkin dapat membantu mengidentifikasi disfungsi faring pada pasien
dengan globus faringeus.
2.6.4. Monitoring 24 Jam Dual Probe Ambulatory pH
Walaupun pemeriksaan monitoring dual probe ambulatory pH sangat sering digunakan
untuk memeriksa supraesofageal GERD, pemeriksaan ini sama sekali belum ada standarnya, dan
hasilnya tidak relevan dengan definisi klinis yang berhubungan dengan GERD. Pemeriksaan ini
digunakan untuk melihat esophagus abnormal yang diakibatkan oleh paparan asam, pada
beberapa pasien dengan globus faringeus. Penelitian yang dilakukan pada pasien globus
faringeus tanpa gejala refluks seperti regurgitasi atau heartburn, memiiliki pH yang normal.
Akhirnya menurut penulis, pemeriksaan ini hanya sedikit memberikan manfaat untuk
mengevaluasi pasien dengan globus tanpa disertai gejala refluks.
2.6.5. Monitoring 24 Jam Multichanel Intraluminal Impedance
Hasil dari beberapa penelitian, mengindikasikan bahwa cara terbaik untuk mendeteksi
GER pada pasien dengan gejala ekstraesofageal GERD adalah dengan monitoring multichannel
intraluminal impedance atau monitoring pH. Pada pasien dengan gejala globus faringeus yang
persisten setelah pemberian PPI, pemeriksaan ini memiliki nilai diagnosis yang tinggi untuk
mengidentifikasi gejala positif melalui deteksi refluks non-asam. Lebih lanjut, refluks paroksimal
memiliki nilai prediktor yang tinggi untuk gejala globus faringeus. Pemeriksaan ini terlihat lebih
menjanjikan dalam pemeriksaan untuk mendeteksi LPR dibandingkan dengan 24 jam dual probe
monitoring, karena dapat memonitor refluks asam maupun non-asam. Selain itu juga dapat
membedakan antara gas ataupun cairan. Akhirnya, pemeriksaan ini lebih berguna dalam
mengeksklusi GERD.
2.6.6. Esofagogastroskopi Fleksibel
Endoskopi menunjukkan hasil lebih bagus bila dibandingkan dengan barium swallow
untuk mendiagnosis malignansi di jalur aerodigestif bagian atas. Visualisasi dari fosa piriform
dan area postkrikoid dapat dilihat dengan menggunakan esofagogastroskopi fleksibel. Lebih
lanjut lagi, pemeriksaan ini dapat mengevaluasi seluruh bagian esophagus dan mendiagnosis

refluks esofagitis dan atau malignansi esophagus bagian atas yang dapat menyebabkan globus
faringeus. Selanjutnya, pada keadaan umum, endoskopi hanya memiliki sensitivitas yang rendah
dan memiliki keterbatasan dalam mendiagnosis ekstraesofageal GERD.
2.6.7. Manometri
Manometri adalah pengukuran kekuatan otot-otot esophagus. Pada pasien dengan UES
yang fungsinya abnormal, dan pada penyakit motorik esophagus yang dicurigai sebagai
penyebab globus faringeus, monometri merupakan pemeriksaan yang perlu dan bermanfaat
untuk dilakukan. Tekanan upper esophageal sphincter(UES), tekanan lower esophageal
sphincter(LES), dan amplitude kontraksi badan esophagus dapat diperiksa menggunakan
pemeriksaan monometri ini.
2.7 TERAPI
Masih sedikitnya penelitian mengenai tatalaksana globus faringeus, belum adanya konsep
evidence-based treatment globus faringeus, dan beberapa jurnal review yang menunjukkan tidak
adanya terapi tunggal efektif, maka penulis jurnal ini menyarankan alogaritma tatalaksana globus
faringeus pada table I. Terapi yang dapat menjadi pilihan adalah terapi anti refluks, terapi
berbicara dan berbahasa, antidepresan, dan CBT.
2.7.1. Terapi Anti Refluks
GER diperkirakan menjadi penyebab utama globus faringeus, hal ini mengindikasikan
bahwa terapi anti refluks disarankan menjadi terapi pertama pada tatalaksana pasien dengan
globus faringeus. Karena untuk mendiagnosis GERD merupakan suatu tindakan invasive dan
biaya yang dikeluarkan juga besar, maka mungkin masuk akal dalam penggunaan PPI untuk
terapi globus faringeus. Walaupun belum ada penelitian acak yang meneliti tentang penggunaan
PPI dalam terapi globus faringeus, beberapa literature menyarankan PPI sebagai tatalaksana
LPR. Disarankan pemberian terapi PPI dua kali sehari untuk 3 bulan, dan dapat di perpanjang
sampai 6 bulan. PPI harus diminum 30-60 menit sebelum makan. PPI yang disarankan adalah
lansoprazole dengan sediaan 30mg. Setelah 3-6 bulan, terapi dapat dihentikan pada pasien yang
menunjukkan perbaikan. Sedangkan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan, maka dapat

dilakukan pemeriksaan seperti endoskopi, monitoring pH, atau MII/pH monitoring. Jika tersedia,
maka MII/pH monitoring direkomendasikan karena dapat memonitoring refluks non-asam.
Sebagai tambahan terapi PPI, antagonis reseptor histamine-2 dapat diberikan dua kali
sehari, untuk mengontrol nocturnal acid breaktrough. Namun, sampai sekarang masih belum
dapat dipastikan apakah pemberian ini bermanfaat dalam mengontrol LPRD jangka panjang.
Prokinetik dapat diberikan bila membutuhkan pembersihan cepat esophagus dan lambung yang
tidak berespon dengan pemberian PPI. Modifikasi diet dan kebiasaan dapat menurunkan
banyaknya refluks. Diet yang direkomendasikan adalah menurunkan konsumsi coklat, lemak,
karbonat, sambal tomat, red wines, cafein, dan makan tengah malam.

Gambar 7.1. Manajemen Globus Faringeus (Kim & Lee, 2012)

2.7.2. Terapi Bicara dan Bahasa / Teknik Relaksasi


Terapi bahasa atau relaksasi, termasuk latihan leher dan pundak, teknik relaksasi umum,
latihan suara, dan voice hygiene untuk meredakan rasa tidak nyaman dan tegang pada jalur suara.
Pada salah satu penelitian pada 25 pasien globus, menunjukkan hasil 92% pasien menunjukkan
perbaikan dengan terapi tersebut. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Khalil et al, yang
meneliti 36 pasien dengan globus faringeus yang dibagi ke dalam dua kelompok, kelompok
terapi bicara dan kelompok kontrol. Kelompok pada terapi bicara mendapatkan beberapa latihan
untuk menurunkan tekanan faringolaringeal, dengan cara giggle posture (membantu retraksi
vocal cords yang salah), dan wet swallow. Pasien juga disarankan untuk membersihkan
tenggorokannya dan melakukan beberapa hal agar hidrasi tenggorokannya baik, seperti
menghindari rokok, teh, dan kopi. Setelah 3 bulan mendapatkan perlakuan, pasien pada terapi
bicara memperlihatkan perbaikan gejala globus faringeus yang lebih baik dibandingkan
kelompok kontrol.
2.7.3. Cognitive-Behavioral Therapy/ Antidepressan
Globus merupakan gejala keempat tersering dari gangguan somatisasi, setelah muntah,
afonia, dan nyeri pada ekstremitas. Cognitive-behavioral therapy dipercaya sebagai terapi terbaik
pada beberapa gangguan somatisasi, dan gejala yang tidak dapat di jelaskan secara medis.
Walaupun belum ada penelitian CBT pada pasien dengan globus faringeus, terapi ini dipercaya
dapat digunakan pada pasien dengan gejala berulang. Beberapa jenis antidepressan ditemukan
memberikan manfaat pada beberapa pasien globus faringeus dengan gangguan kejiwaan, seperti
gangguan panic, somatisasi, depresi, dan agoraphobia. Salah satu antidepresan yang dapat
dipakai adalah antidepresan trisiklik dosis rendah, seperti amitriptilin 25 mg yang dikonsumsi
sebelum tidur selama 4 minggu.
2.7.4. Terapi Lainnya
Tiroidektomi pada pasien dengan penyakit tiroid atau parsial epiglotectomi pada
beberapa kasus dengan epiglottis retroverted yang berkontak langsung dengan basis lidah
memberikan hasil perbaikan gejala globus yang signifikan. Pada gejala globus faringeus yang
kronis, ablasi CHGM dengan plasma argon memberikan perbaikan gejala yang menjanjikan.

2.8. PROGNOSIS
Globus faringeus merupakan gejala persisten yang sulit untuk disembuhkan. Telah
banyak dibahas sebelumnya mengenai etiologi dari globus faringeus, namun hanya sedikit
penelitian yang memiliki follow-up dan prognosis dalam waktu yang cukup panjang. Mair et al,
menyebutkan bahwa gejala ini akan bertahan sampai dua tahun lamanya pada 85% wanita dan
95% pria. Seharusnya informasi mengenai kemungkinan gejala ini akan membaik atau mungkin
bertahan sampai dua tahun seharusnya di informasikan kepada pasien. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi kecemasan pasien yang tidak tau mengenai prognosis penyakitnya, yang mungkin
bisa memperburuk keadaan pasien

.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Burkhard, H.A., Rahden V., Stein, H.J., Becker, K., Liebermann-Meffert, D., Siewert,
J.R., 2004. Literature-Review and Proposal of a Clinicopathologic Classification,
American Journal of Gastroenterology, 543-551.
2. Cashman, E.C., Donnelly, M.I., 2010. The Natural History of Globus Pharyngeus,
International Journal of Otolaryngology, 1-4.
3. Clarke, R.C., Gleeson, M.J., 2008. Scott-Browns Otorhinolaryngology: Head and Neck
Surgery (ed 7th). CRC, United Kingdom.
4. Derrickson, B.H., Tortora, G.J., 2008. Principles of Anatomy and Physiology. Wiley,
United States of America.
5. Katsanos, K.H., Christodoulou, D.K., Kamina, S., Maria, K., Lambri, E., Theodorou, S.,
Tsampoulas, K., Vasiliki, M., Tsianos, E.V., 2010. Diagnosis and Endoscopic Treatment
of Esophago-Bronchial Fistula due to Gastric Heterotopy, World Journal Gastrointest
Endosc, 16:2, 138-142.
6. Lee, Bong E., Kim, Gwang H., 2012. Globus Pharyngeus: A Review of Its Etiology,
Diagnosis, and Treatment, World Journal of Gastroenterology, 28: 18, 2462-2471.
7. Pollack, A., Charles, J., Harrison, C., Britt, H., 2013. Globus Hystericus, Australian
Family Physician, 42:10, 683.
8. You, Le-Qing, Liu, J., Jia, L., Jiang, S.M., Wang, Gui-Qin, 2013. Effect of Low Dose
Amitriptyline on Globus Pharyngeus and Its Side Effects, World Journal of
Gastroenterology, 14:19, 7455-7460.

Anda mungkin juga menyukai