RETINOPATI DIABETIK
OLEH :
Dewa Ayu Ratna Mahaprawitasari, S. Ked
08700159
PEMBIMBING :
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
SMF Ilmu Penyakit Mata
Judul :
RETINOPATI DIABETIK
: .
Tanggal
: Februari 2014
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-nya,
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas referat yang berjudul RETINOPATI
DIABETIK ini. Tugas ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas
kepranitraan klinik SMF Ilmu Penyakit Mata
Probolinggo.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pembimbing kami, dr. Moh.
Amarusmana, Sp.M yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan
masukan yang sangat bermanfaat kepada kami dalam kepaniteraan klinik ini.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga tersusunya tugas referat ini, serta teman-teman dokter muda.
Akhir kata, kami menyadari bahwa tugas referat ini masih jauh dari sempurna.
Dan kami membuka diri atas kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan
tugas referat ini. Semoga tugas referat ini dapat berguna untuk menambah ilmu
pengetahuan kita.
Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR
ii
Pendahuluan
Tujuan .
1
1
2
6
11
11
12
13
15
21
25
26
26
30
31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
33
35
ini
telah
mengalami
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI MATA(11)
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata
bagian depan (kornea) memiliki kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat
bentuk 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan
yaitu sklera, uvea, dan retina. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal yang
merupakan bagian terluar dan memberi bentuk bola mata. Jaringan uvea merupakan
jaringan vaskular. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris
didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar yang masuk
ke dalam bola mata, yaitu otot dilator, sfingter iris, dan otot siliar. Otot siliar yang
terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Otot
melingkari badan siliar bila berkontraksi pada akomodasi mengakibatkan
mengendornya Zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa.
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan, dan
multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan
akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm
dibelakang garis Schwalbe pada sistem temporal dan 5,7 mm di belakang garis
inipada
sisi
nasal.
Permukaan
luar
retina
sensorik
menumpuk
dengan
membran Bruch, koroid, dan sklera. Retina menpunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata
dan 0.23 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat
makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi
kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil), yang berdiameter 1,5
mm. Ditengah makula, sekitar 3,5 mm disebelah lateral diskus optikus, terdapat
fovea yang secara klinis merupakan suatu cekungan yang merupakan pantulan
khusus bila dilihat dengan opthlasmoskop. Fovea merupakan jaringan zona
avaskular di retina pada angiografi flourosensi. Secara histologis, fovea ditandai
dengan menipisya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan parenkim karena aksonakson sel fotoreseptor (lapisan serat henle) berjalan oblik dan pergeseran secara
sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaaan dalam retina. Foveola
adalah bagian paling tengah pada fovea, fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan
bagian retina yang paling tipis.
Secara histologis, lapisan-lapisan retina terdiri atas 10 lapisan, mulai dari sisi
dalam adalah sebagai berikut:
1. Membrana limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan
kaca.
2. Lapisan serabut saraf, yang mengandung aksonakson sel ganglion yang
berjalan
menuju
ke
Nervus
Optikus.
Di
dalam
lapisanlapisan
ini
Vaskularisasi
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar
membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiform luar dan
lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari
arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga dalam retina. Fovea seluruhnya didarahi
oleh koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina
mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang,
yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh koroid berlubang-lubang.
Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.
Fisiologi
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk dapat melihat, mata harus
berfungsi sebagai alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer
yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah
rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf
retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Fotoreseptor kerucut dan
batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada retina sensorik dan merupakan tempat
berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses penglihatan.
Sel batang berfungsi dalam proses penglihatan redup dan gerakan sementara sel
kerucut berperan dalam fungsi penglihatan terang, penglihatan warna, dan ketajaman
penglihatan. Sel batang memiliki sensitivitas cahaya yang lebih tinggi daripada sel kerucut
dan berfungsi pada penglihatan perifer. Sel Kerucut mampu membedakan warna dan
memiliki fungsi penglihatan sentral.
1. Fotokimiawi Penglihatan
Baik sel batang ataupun kerucut mengandung bahan kimia rodopsin dan pigmen
kerucut yang akan terurai bila terpapar cahaya. Bila rodopsin sudah mengabsorbsi energi
cahaya, rodopsin akan segera terurai akibat fotoaktivasi elektron pada bagian retinal yang
mengubah bentuk cis dari retinal menjadi bentuk all-trans. Bentuk all-trans memiliki
struktur kimiawi yang sama dengan bentuk cis namun struktur fisiknya berbeda, yaitu
lebih merupakan molekul lurus daripada bentuk molekul yang melengkung. Oleh karena
orientasi tiga dimensi dari tempat reaksi retinal all-trans tidak lagi cocok dengan tempat
reaksi protein skotopsin, maka terjadi pelepasan dengan skotoopsin. Produk yang segera
terbentuk adalah batorodopsin, yang merupakan kombinasi terpisah sebagian dari
retianal all-trans dan opsin. Batorodopsin sendiri merupakan senyawa yang sangat tidak
stabil dan dalam waktu singkat akan rusak menjadi lumirodopsin yang lalu berubah lagi
menjadi metarodopsin I. Metarodopsin I ini selanjutnya akan menjadi produk pecahan
akhir yaitu metarodopsin II yang disebut juga rodopsin teraktivasi, yang menstimulasi
perubahan elektrik dalam sel batang yang selanjutnya diteruskan sebagai sinyal ke otak.
Rodopsin selanjutnya akan dibentuk kembali dengan mengubah all-trans retinal
menjadi 11-cis retinal. Hal ini didapat dengan mula-mula mengubah all-trans retinal
menjadi menjadi all-trans retinol yang merupakan salah satu bentuk vitamin A.
Selanjutnya, di bawah pengaruh enzim isomerase, all-trans retinol diubah menjadi 11-cis
retinol lalu diubah lagi menjadi 11-cis retinal yang lalu bergabung dengan skotopsin
membentuk rodopsin.
beta pankreas atau ambilan glukosa di jaringan perifer, atau keduanya (pada DMTipe 2), atau kurangnya insulin absolut (pada DM-Tipe 1), dengan tandatanda
hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan gejala klinis akut (poliuria, polidipsia,
penurunan berat badan), dan atau pun gejala kronik atau kadang-kadang tanpa gejala.
Gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat, dan sekunder pada
metabolisme lemak dan protein.
PATOFISIOLOGI
Dalam proses pencernaan yang normal, karbohidrat dari makanan diubah
menjadi glukosa, yang berguna sebagai bahan bakar atau energi bagi tubuh manusia.
Hormon insulin mengubah glukosa dalam darah menjadi energi yang digunakan sel.
Jika kebutuhan energi telah mencukupi, kebutuhan glukosa disimpan dalam bentuk
glukogen dalam hati dan otot yang nantinya bisa digunakan lagi sebagai energi
setelah direkonvensi menjadi glukosa lagi. Proses penyimpanan dan rekonvensi ini
membutuhkan insulin. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas
yang mengurangi dan mengontrol kadar gula darah sampai pada batas tertentu.
DM terjadi akibat produksi insulin tubuh kurang jumlahnya atau kurang daya
kerjanya, walaupun jumlah insulin sendiri normal bahkan mungkin berlebihan akibat
kurangnya jumlah atau daya kerja insulin. Glukosa yang tidak dapat dimanfaatkan
oleh sel hanya terakumulasi di dalam darah dan beredar ke seluruh tubuh. Gula yang
tidak dikonvensi berhamburan di dalam darah, kadar glukosa yang tinggi di dalam
darah akan dikeluarkan lewat urin, tingginya glukosa dalam urin membuat penderita
banyak kencing (polyuria), akibatnya muncul gejala kehausan dan keinginan minum
yang terusmenerus (polydipsi) dan gejala banyak makan (polypasia), walaupun
kadar glukosa dalam darah cukup tinggi. Glukosa dalam darah jadi mubazir karena
tidak bisa dimasukkan ke dalam selsel tubuh.
KLASIFIKASI
a. Diabetes Tipe 1
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun).
Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul.
Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa.
Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan
adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun.
Kondisi ini digolongkan sebagai tipe 1 idiopatik. Sebagian besar (75%) kasus
terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk criteria untuk klasifikasi.
b. Diabetes Tipe 2
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi
penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan
disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang
cukup untuk mengkompensasi insulin resistan. Kedua hal ini menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin relatif. Gejala minimal dan kegemukan sering
berhubungan dengan kondisi ini,yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun.
Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi, sehingga penderita tidak
tergantung pada pemberian insulin.
c. DM Dalam Kehamilan
DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan
normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistan (ibu hamil gagal
mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM,
kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan morbiditas neonatus,
misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi
karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang
pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3--5% dan para ibu
tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.
d. Diabetes Tipe Lain
Subkelas DM di mana individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan
spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushings ,
akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin),
penggunaan
obat
yang
mengganggu
kerja
insulin
(b-adrenergik),
dan
DIAGNOSIS*
o Gejala diabetes (poliuria, polidipsi, berat badan berkurang) ditambah tes glukosa
darah acak 11.1 mmol/L (200 mg/dL)a atau
o FPG (fasting plasma glucose) 7.0 mmol/L (126 mg/dL)b atau
o Kadar glukosa darah 11.1 mmol/L (200 mg/dL) 2 jam setelah OGTTc
Keterangan:
a
Konsumsi glukosa oral dicampur hingga larut dengan air; tes ini tidak
Wilson,
Pielonefritis,
Esofagus,
Gastroparese
2.4 EPIDEMILOGI(13)
Di Inggris penyakit mata diabetik merupakan penyebab utama kebutaan
pada kelompok usia 30-65 tahun.
Diabetes tipe I (hilangnya sekresi insulin, terutama pada orang muda dengan
tipe HLA terkait) memiliki prevalensi di Inggris sebesar 2 per 1000 pada usia kurang
dari 20 tahun. Retinopati diabetik terlihat 5 tahun sesudah onset.
Diabetes tipe II merupakan kelompok pasien heterogen dengan agregasi
familial. Biasanya masih memiliki sisa sekresi insulin namun mengalami resistensi
terhadap insulin. Tipe ini muncul pada usia lebih tua dan memiliki prevalensi 5-20
per 1000. Karena diabetes tipe II dapat terjadi beberapa tahun sebelum diagnosis
ditegakkan, retinopati dapat sudah terjadi ketika pasien datang.
Diabetes dikaitkan dengan kejadian ocular berikut:
retinopati;
katarak: katarak snowflake yang langka pada pasien muda dan katarak terkait
usia yang frekuensinya lebih banyak serta onsetnya lebih dini;
palsi otot ekstraokular akibat penyakit mikrovaskular pada saraf kranialis ketiga,
keempat, atau keenam.
2.5 ETIOLOGI(4)
Penyebab pasti Retinopati Diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya
terpapar terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan
biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini
didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan
diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah
diperleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit
ditentukan secara tepat.
Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan biokimia telah
dihubugkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:
2.6 KLASIFIKASI(3,4)
Secara umum klasifikasi retinopati diabetic dibagi menjadi :
1. Retinopati diabetik non proliferatif.
Merupakan stadium awal dari proses penyakit ini. Selama menderita diabetes,
keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil pada mata melemah.
Timbul tonjolan kecil pada pembuluh darah tersebut (mikroaneurisma) yang
dapat pecah sehingga membocorkan cairan dan protein ke dalam retina.
Menurunnya aliran darah ke retina menyebabkan pembentukan bercak berbentuk
cotton wool berwarna abu-abu atau putih. Endapan lemak protein yang
berwarna putih kuning (eksudat yang keras) juga terbentuk pada retina.
Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan kecuali cairan dan
protein dari pembuluh darah yang rusak menyebabkan pembengkakan pada pusat
retina (makula). Keadaan ini yang disebut makula edema, yang dapat
memperparah pusat penglihatan seseorang.
Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada fundus
okuli
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau
perdarahan
bintik
dan
bercak,
derajat berat.
2.7 PATOFISIOLOGI(1,10)
Ada tiga proses biokimiawi yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik
yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan pembentukan protein kinase C dan
pembentukan reactive oxygen speciasi (ROS)
Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa
hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ. Komplikasi
hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat
kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri.
Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga
berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:
1)
Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur
poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat pada
jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi
kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati
membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel.
Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel
menjadi bengkak akibat proses osmotik.
Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD+ sehingga menurunkan
uptake mioinositol. Mioinositol berfungsi sebagai prekursor sintesis fosfatidilinositol
untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf. Secara singkat,
akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi saraf.
Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase
(sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau
memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum
menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati.
2)
meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan suatu
regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi
trombosit, permeabilitas vaskular, sintesis growth factor dan vasokonstriksi. Peningkatan
PKC secara relevan meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu
permeabilitas dan aliran darah vaskular retina.
Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi
plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan peningkatan
agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya trombosis. Selain
itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos
vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan
terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang
merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses
tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi
vaskular retina.
3)
Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari AGE
ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular, sintesis growth factor, aktivasi endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit
oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya
oklusi vaskular retina.
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa.
Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi
pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan
glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini
lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel.
4)
Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis
terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa. Gangguan
konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam
menangkap rangsang cahaya dan menghambat penyampaian impuls listrik ke otak.
Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan
berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga dapat disebabkan oleh edema makula
sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan hilangnya refleks
fovea pada pemeriksaan funduskopi.
Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena
angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor, lebih tepatnya disebut
Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular
terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan penyokong
dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular
karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai
mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek
dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada
retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya
dikeluhkan penderita dengan floaters atau benda yang melayang-layang pada
penglihatan.
zona
eksudat
kuning
kaya
lemak
bentuk
bundar
disekitar
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma di polus posterior.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superficial, searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada end artery,
dilapisan tengah dan compact.
Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat
becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi
daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah macula
sehingga sangat mengganngu tajam pengelihatan.
2.9 DIAGNOSIS(1,5)
Retinopati diabetik didiagnosis berdasarkan :
a. Anamnesa
Adanya riwayat diabetes mellitus, penurunan ketajaman penglihatan yang terjadi
secara perlahan-lahan tergantung dari lokasi, luas dan beratnya kelainan.
b. pemeriksaan fisik
- Tes ketajaman penglihatan
- Dilatasi pupil
c. pemeriksaan penunjang
- Fundal flourescein angiography
- Pemotretan dengan memakai film berwarna
- Oftalmoskopi
- Slit lamp biomicroscopy
Ocular Coherence Tomography (OCT); suatu pemeriksaan yang menyerupai
-
DM/kehamilan
0-30 tahun
>31 tahun
Hamil
kali
Dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis
Saat diagnosis
Awal trimester pertama
Setiap tahun
Setiap tahun
Setiap 3 bulan atau sesuai
3. Fotokoagulasi
Selain meregulasi kadar glukosa di darah untuk mencegah kebutaan akibat
RD ini dilakukan fotokoagulasi LASER di daerah hipoksia dan mikroaneurisma
yang berdifusi dan adanya neovaskularisasi. Pengobatan dangan sinar Laser
hanya efektif bila media optik masih jernih, oleh karena itu harus dilakukan
sedini mungkin.
Teknik fotokoagulasi : setelah pupil dikeluarkan maksimal dipasang lensa
kontak 3 cermin dari Goldmann, sinar LASER ditembakkan melalui lensa
kontak, kornea, lensa, vitreous sampai retina.
Fotokoagulasi fokal : untuk daerah retina yang hanya mengalami hipoksia
atau mikroaneurisma yang berdifusi dan edema makula.
Fotokoagulasi par retina : untuk RD yang sudah ada neovaskularisasi baik
di papil retina maupun vitreous.
Jika sudah terjadi perdarahan di vitreous di mana LASER tidak bisa
menembus sampai di retina boleh dilakukan vitrektomi.
Dosis LASER yang digunakan adalah sebagai berikut :
Untuk daerah di sentral dekat makula penampang dari LASER (Spotsize)
50 mikron, makin ke perifer makin melebar sampai 500 on, sedangkan waktu
dan daya LASER disesuaikan dengan hasil tembakan yang terlihat saat
melakukan fotokoagulasi yakni antara 0,1 0,2 secon dengan daya 200-1000 mW.
Jumlah tembakan LASER tergantung tekhnik yang dipakai antara 2002000 tembakan.
Setiap penderita diabetes mellitus yang sudah menderita lebih dari 5 tahun
walaupun tidak ada keluhan penglihatan harus diperiksa fundus okuli dengan
oftalmoskop. Jika didapatkan mikroaneurisma, eksudat, perdarahan retina yang
mengancam daerah makula harus dilakukan pemeriksaan FFA untuk mencari
indikasi adanya fotokoagulasi LASER.
Jika dilakukan fotokoagulasi LASER setiap 3-6 bulan diperiksa ulang
untuk mengetahui kemajuan pengobatan.
Jika belum ada indikasi LASER sebaiknya diperiksa FFA setiap tahun.
1. Injeksi anti-VEGF
Bevacizumab (Avastin) adalah rekombinan anti-VEGF manusia. Sebuah
studi baru-baru ini diusulkan menggunakan bevacizum intravitreus untuk
degenerasi makula terkait usia. Dalam kasus ini, 24 jam setelah perawatan kita
melihat pengurangan dramatis dari neovaskularisasi iris, dan tidak kambuh
dalam waktu tindak lanjut 10 hari. Pengobatan dengan bevacizumab tampaknya
memiliki pengaruh yang cepat dan kuat pada neovaskularisasi patologis. Avastin
merupakan anti angiogenik yang tidak hanya menahan dan mencegah
pertumbuhan prolirerasi sel endotel vaskular tapi juga menyebabkan regresi
vaskular oleh karena peningkatan kematian sel endotel. Untuk pengunaan
okuler, avastin diberikan via intra vitreal injeksi ke dalam vitreus melewati pars
plana dengan dosis 0,1 mL. Lucentis merupakan versi modifikasi dari avastin
yang khusus dimodifikasi untuk penggunaan di okuler via intra vitreal dengan
dosis 0,05 mL.
2. Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
(opacity) vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat
juga membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskuler. Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan
bagi pasien yang mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah
fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami
perbaikan.
Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DVRS) melakukan clinical trial
pada pasien dengan dengan diabetik retinopati proliferatif berat. DRVS
mengevaluasi keuntungan pada vitrektomi yang cepat (1-6 bulan setelah
perdarahn vitreus) dengan yang terlambat ( setalah 1 tahun) dengan perdarahan
vitreous berat dan kehilangan penglihatan (<5/200). Pasien dengan diabetes tipe
1 secara jelas menunjukan keuntungan vitrektomi awal, tetapi tidak pada tipe 2.
DRSV juga menunjukkan keuntungan vitrektomi awal dibandingkan dengan
managemen konvensional pada mata dengan retinopati diabetik proliferatif yang
sangat berat.
2.12 KOMPLIKASI(8)
1. Rubeosis iridis progresif
Penyakit ini merupakan komplikasi segmen anterior paling sering.
Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap
adanya hipoksia dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata
maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan
kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk membran fibrovaskular pada
permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati
ciliary body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan aquous dengan akibat tekanan intra okuler meningkat dan keadaan
sudut masih terbuka. Suatu saat membran fibrovaskular ini konstraksi menarik
iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior perifer (PAS), sehingga sudut bilik
mata depan tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga
timbul reaksi radang intra okuler. Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis
terdapat pada penderita retinopati diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada
pasien retinopati diabetika dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden
terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42% setelah tindakan vitrektomi,
sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan
pertama setelah dilakukan operasi.
2. Glaukoma neovaskular
Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma sudut tertutup sekunder yang
terjadi akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada permukaan iris dan
jaringan anyaman trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan
dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular
biassanya
mengeluh
kehilangan
penglihatan
secara
tiba-tiba.
Ablasio retina
Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan neurosensori retina dari
lapisan pigmen epithelium. Ablasio retina tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa
menyebabkan gambaran bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau
kilatan cahaya, serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur.
2.13 PROGNOSIS(9)
Pemahaman yang lebih baik terhadap retinopati diabetic melalui pangaplikasian
metode investigasi yang lebih akurat, seperti angiografi fluorescein, indirek oftalmoskopi
secara rutin, slit lamp mikroskop, foto fundus berseri pengguanaan ultrasound juga
dianggap penting. Dengan metode ini juga angka kebutaan bisa dikurangi kecuali pada
situasi masalah social atau masalah lain. Pendidikan pada pasien sangat penting untuk
memperoleh perbaikan dalam prognosis pengobatan untuk pasien diabetes mellitus.
Setelah 20 tahun, 75% daripada pasien diabetic dengan PDR akan menjadi buta jika
diobati dalam masa 5 tahun.
Kontrol optimal terhadap kadar glukosa darah dapat mencegah komplikasi
retinopati yang lebih berbahaya. Pada mata yang mengalami edema makuler dan iskemik
yang bermakna akan memiliki prognosis yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser,
daripada mata dengan edema dan perfusi yang relative baik.
BAB III
KESIMPULAN
1. Diabetic retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan subatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol prekapiler
retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.
2. Secara umum klasifikasi retinopati diabetic dibagi menjadi : Retinopati diabetik
non proliferative, Retinopati diabetik preproliferative, Retinopati diabetik
proliferative.
3. Klasifikasi retinopati diabetic menurut Bagian Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / Rumah Sakit Dr.Cipto MAngunkusumo, yaitu : Derajat I:
terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada fundus okuli,
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau
tanpa fatty exudates pada fundus okuli, Derajat III: terdapat mikroaneurisma,
perdarahan bintik dan bercak, neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli, Jika
gambaran fundus dikedua mata tidak sama, maka penderita tergolong pada derajat
berat.
4. Gejala subjekif yang dapat ditemui berupa: Kesulitan membaca, Penglihatan
kabur, Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata, Melihat lingkaran cahaya,
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip.
5. Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina: Mikroaneurisma, Perdarahan
dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurismata di polus posterior, Dilatasi pembuluh darah balik, Hard
exudates, Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches, Pembuluh darah
baru (neovaskularisasi), Edema retina.
6. Retinopati diabetik didiagnosis berdasarkan : anamnesa : adanya riwayat diabetes
mellitus, penurunan ketajaman penglihatan yang terjadi secara perlahan-lahan
tergantung dari lokasi, luas dan beratnya kelainan. Pemerkiksaan fisik : tes
ketajaman penglihatan & dilatasi pupil.
flourescein
angiography,
Pemotretan
memakai
film
berwarna,
Digital retinal screening programs, sebuah program sistematik untuk deteksi dini
penyakit mata termasuk retinopati diabetik.
7. Prinsip utama penatalaksanaan dari retinopati diabetik adalah pencegahan. Hal
ini dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan
retinopati
diabetik
nonproliferatif
menjadi
proliferatif.
Penatalaksanaan yang dilakukan antara lain: 1) Pemeriksaan rutin pada ahli mata;
2) Kontrol glukosa darah dan hipertensi; 3) Fotokoagulasi; 4) Injeksi anti-VEGF;
dan 5) Vitrektomi
8. Kontrol optimal terhadap kadar glukosa darah dapat mencegah komplikasi
retinopati yang lebih berbahaya. Pada mata yang mengalami edema makuler dan
iskemik yang bermakna akan memiliki prognosis yang lebih jelek dengan atau
tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan perfusi yang relatif baik.
.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lubis, Rodiah Rahmawati. 2007. Diabetik Retinopati. Universitas Sumatra Utara:
Medan.
2. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Ed. III. Hal. 116-118. Rumah
Sakit Umum Dokter Soetomo:Surabaya.
3. Ilyas S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
4.
Jakarta.
http://tipsdokterumum.blogspot.com/2012/06/retinopati-diabetik.html diunduh
diunduh
Surabaya.
7. Paul Riordan-Eva, John P. Whitcher. 2007. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Ed. 17. EGC: Jakarta.
8. http://skydrugz.blogspot.com/2011/12/refarat-retinopati-diabetik_16.html
diunduh tanggal 8 Februari 2014 pukul 19.58
9. http://id.scribd.com/doc/94576600/Makalah-Retinopati-Diabetik diunduh tanggal
8 Februari 2014 pukul 19.09
10. http://decfinder.wordpress.com/2011/02/21/patofisiologi-retinopati-dan-katarakdiabetik/ diunduh tanggal 8 Februari 2014 pukul 18.45
11. http://id.scribd.com/doc/106454080/css-mata diunduh tanggal 8 Februari 2014
pukul 18.35
12. http://penyakitdiabetesmellitus.blogspot.com/2011/10/klasifikasi-diabetesmelitus.html diunduh tanggal 8 Februari 2014 pukul 18.14
13. Bruce James, dkk. 2005. Lecture Notes Oftalmologi. Ed. ke-9. Erlangga Medical
Series: Surabaya.