Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulispanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Terapi Cairan” sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Anestesi Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dr.
Fachrurrazi, Sp.An, M.Kes-KIC sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di bagian/SMF
Anestesi Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua
pihak.

Lhokseumawe, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB 1.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................1

BAB 2.......................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................3
2.1.1 Komposisi Cairan Tubuh..................................................................3
2.1.2 Proses Pergerakan Cairan Tubuh....................................................8
2.1.3 Asupan dan Kehilangan Cairan pada Keadaan Normal...............9
2.1.4 Tujuan Terapi Cairan......................................................................11
2.1.5 Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.........................11
2.1.6 Dasar-Dasar Terapi Cairan Perioperatif......................................17
2.1.7 Penatalaksanaan Terapi Cairan Perioperatif...............................19
2.1.8 Jenis Cairan yang Digunakan dalam Terapi Cairan...................20
2.1.9 Teknik Pemberian dan Komplikasi Terapi Cairan......................24

BAB 3.....................................................................................................................26
PENUTUP.............................................................................................................26
3.1 Kesimpulan......................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, presentasenya dapat

berubah tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang.

Kandungan air pada saat bayi baru lahir sekitar 75% berat badan, dan usia 1 bulan

65%. Seiring pertumbuhan, persentase jumlah cairan terhadap berat badan

berangsurangsur turun, yaitu pada laki-laki dewasa 60% berat badan, dan pada

wanita dewasa 50% berat badan. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam

kompartemen intraseluler dan kompartemen ekstraseluler. Kompartemen

ekstraseluler dapat dibagi kembali menjadi air yang mengisi ruang interstitiel serta

plasma.1,2

Dengan makan dan minum tubuh kita mendapatkan air, elektrolit,

karbohidrat, protein, lemak, vitamin serta nutrisi lainnya. Terapi cairan

dibutuhkan pada keadaan tertentu, saat kebutuhan akan air serta nutrisi-nutrisi

tersebut tidak dapat terpenuhi secara per oral. Perubahan jumlah dan komposisi

cairan tubuh yang dapat terjadi pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah,

diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif dapat menyebabkan gangguan

fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat

sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka risiko penderita menjadi lebih besar.3

Pada saat melakukan terapi cairan, perlu diperhatikan pula jenis cairan yang

digunakan untuk penggantinya. Cairan tersebut dapat berupa kristaloid atau koloid

yang masing-masing mempunyai keuntungan tersendiri yang diberikan sesuai

1
dengan kondisi pasien. Dalam keadaan tertentu adanya terapi cairan dapat pula

digunakan sebagai tambahan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara

rutin atau dapat juga untuk menjaga keseimbangan asam basa.1,3

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi.

Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara ataupun mengganti cairan

tubuh dengan pemberian cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma

ekspander) secara intravena untuk mengatasi berbagai masalah gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, meliputi menggantikan volume cairan yang

hilang akibat perdarahan, dehidrasi atau syok.4 Terapi cairan dan elektrolit adalah

salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilan penanganan pasien kritis.

Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah D (Drug and fluid treatment) dalam

bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan secara simultan

dengan langkah-langkah yang lainnya.5

2.1.1 Komposisi Cairan Tubuh.

Seluruh cairan tubuh didistribusikan kedalam kompartemen intraseluler dan

kompartemen ekstraseluler. Lebih jauh kompartemen ekstraseluler dibagi menjadi

cairan intravaskuler, interstisiel, dan cairan transeluler.1,2,3,4

1. Cairan intraseluler.

Cairan intreseluler adalah cairan yang terkandung di antara sel. Pada orang

dewasa, sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di dalam

intraseluler, sedangkan pada bayi hanya setengah dari berat badannya

merupakan cairan intraseluler. Sekitar 28 dari 42 liter cairan tubuh ada di

dalam 75 triliun sel. Jadi, cairan intrasel merupakan 40% dari berat badan

total pada orang "rata-rata".2,3

3
2. Cairan ekstraseluler.

Cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel. Jumlah relatif

cairan ekstraseluler berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi

baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuhnya terdapat di ekstraseluler.

Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraseluler menurun sampai sekitar

sepertiga dari volume total. Cairan ini merupakan 20% dari berat badan,

atau sekitar 14 liter pada orang dewasa normal dengan berat badan 70

kilogram. Cairan ekstrasel dibagi dalam dua sub kompartemen yaitu cairan

interstisium dan cairan intravaskuler (plasma).2,4,5

 Cairan interstisium.
Cairan interstisium merupakan cairan yang mengelilingi sel, yang berjumlah

lebih dari tiga perempat bagian cairan ekstrasel. Sekitar 11-12 liter pada

orang dewasa, dan sekitar dua kali lipat pada bayi baru lahir. Cairan limfe

termasuk dalam volume interstisial. Cairan interstisium menempati 15%

dalam tubuh.2,3,5
 Cairan intravaskuler.
Cairan intravaskuler merupakan cairan yang terkandung di dalam pembuluh

darah, yang berjumlah hampir seperempat cairan ekstrasel, atau sekitar 3

liter. Cairan intravaskuler menempati 5% dalam tubuh. Plasma adalah

bagian darah yang tak mengandung sel; plasma terus menerus menukar zat

dengan cairan interstisial melallui pori-pori membran kapiler. Pori-pori ini

bersifat sangat permeabel untuk hampir semua zat terlarut dalam cairan

ekstrasel, kecuali protein. Olehh karena itu, cairan ekstrasel secara konstan

terus tercampur, sehingga plasma dan cairan interstisial mempunyai

4
komposisi yang hampir sama kecuali untuk protein, yang konsentrasinya

lebih tinggi di dalam plasma.3,5

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non

elektrolit.

1. Elektrolit.
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus

listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif

(anion). Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur

dalam miliekuivalen).6
 Kation.
Kation utama dalam cairan ekstraseluler adalah sodium (NA+), sedangkan

kation utama dalam cairan intraseluler adalah potasium (K+). Suatu sistem

pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan

potassium ini.6
 Anion.
Anion utama dalam cairan ekstraseluler adalah kloride (Cl-) dan bikarbonat

(HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraseluler adalah ion fosfat

(PO43-). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstisial

pada intinya sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi

cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan

intraseluler.6
a. Natrium.
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling

berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium

plasma: 135-145mEq/liter.3 Kadar natrium dalam plasma diatur lewat

beberapa mekanisme seperti : Left atrial stretch reseptor, Sistem renin

angiotensin, Renal afferent baroreseptor dll

5
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau

40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-

180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter.

Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl).Natrium dapat

bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke

dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium

(muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi

keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan

natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan

interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan

ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat

dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.3


b. Kalium.
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler

berperanpenting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan

elektrolit. Jumlah kalium dalamtubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana

99% dapat berubahubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah

kalium yang terikat dengan protein didalam sel.3


Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3

mEq/kgBB.Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan

konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresikalium lewat urine 60-90

mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.3


c. Kalsium.
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%

dikeluarkanlewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah

pengeluaran ini tergantung pada intake,besarnya tulang, keadaan

6
endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-

kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, dan hipofisis. Sebagian

besar (99%)ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan

ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.3


d. Magnesium.
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan untuk

pertumbuhan +10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan feses.3


e. Karbonat.
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah

satu hasilakhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh

ginjal. Sedikit sekalibikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam

bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dansangat penting peranannya

dalam keseimbangan asam basa.3


2. Non-Elektrolit.
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam

cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.2,6

2.1.2 Proses Pergerakan Cairan Tubuh.

Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan

mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak

membutuhkan energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi.

Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme

transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.3,6,7

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung

secara:

1. Osmosis.

7
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran

semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah

menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh

membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik

cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah

membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat

terlarut misalnya protein.3,6,7 Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5

mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik

(NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik

lebih rendah disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut

hipertonik.6,7

2. Difusi.

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan

bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.

Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi

melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan

konsentrasi dan tekanan hidrostatik.3,6,7

3. Pompa natrium kalium.

Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa

ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa

ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah

untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.3,6,7

8
2.1.3 Asupan dan Kehilangan Cairan pada Keadaan Normal.

Dalam keadaan normal masukan cairan dipenuhi melalui minum atau

makanan yang masuk ke dalam tubuh secara per oral. Selanjutnya proses

metabolisme di dalam tubuh juga akan memberikan kontribusi terhadap air tubuh

total.5 Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah

oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya

cedera pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal.8

Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak

2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan

kehilangan cairan rata-rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir

600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan

paru-paru.8

Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme

oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari,

cairan yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari

makanan padat sekitar 800-100 ml tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi

dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang

dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6

ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan

bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1

derajat celcius pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang

banyaknya tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-

9
paru (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus gastointestinal (100-200

ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6.

Kebutuhan air setiap hari dapat ditentukan dengan berbagai cara, antara lain:

1. Berdasarkan umur5
0-1 th memerlukan air sekitar 120 ml/kgBB, 1-3 th memerlukan air sekitar

100 ml/kgBB, 3-6 th memerlukan air sekitar 90 ml/kgBB, 7 th memerlukan

air sekitar 70 ml/kgBB dan Dewasa, memerlukan sekitar 40-50 ml/kgBB


2. Berdasarkan berat badan5
0-10 kg = 100 ml/kgBB.
10-20 kg = 1000 ml + 50 ml/kgBB (di atas 10 kg).
Di atas 20 kg = 1500 ml + 20 ml/kgBB (di atas 20 kg) .
Dewasa = 40-50 ml/kgBB.
3. Mengukur perbedaan masukan dan keluaran5
Ukur perbedaan tersebut (termasuk urin, muntah, drainase, insensible water

loss, dll) serta kebutuhan minimum per hari. Perbedaan ini sebaiknya tidak

lebih besar 200-400 ml hari. "Insensible water loss" kira-kira, 15 ml/kgBB/

hari. Kehilangan akibat peningkatan suhu/derajat celcius per hari kurang

lebih 10% dari kebutuhan per hari.


4. Hitung perbedaan berat badan sebelum dan sesudah sakit5
Selisih berat badan sebelumnya dan sekarang, kemudian kurangi dengan

hasil katabolisme normal selama puasa (0,5 kg/hari), dimana 1 kg sebanding

dengan 1 liter.
5. Menghitung kelebihan dan kekurangan elektrolit5
Yang sering digunakan untuk menghitung kelebihan atau kekurangan cairan

2.1.4 Tujuan Terapi Cairan.

1. Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung.

2. Menganti cairan yang hilang.

3. Mencukupi kebutuhan per hari.

4. Mengatasi syok.

10
5. Mengoreksi dehidrasi.

6. Mengatasi kelainan akibat terapi lain.

2.1.5 Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.

1. Gangguan keseimbangan cairan tubuh5


Bentuk gangguan keseimbangan cairan yang umum terjadi di klinik adalah

kelebihan atau kekurangan cairan (air). Kelebihan cairan disebut dengan

istilah "overhidrasi", sebaliknya kekurangan cairan disebut dengan

"dehidrasi".
 Overhidrasi.
Overhidrasi adalah kelebihan air dalam tubuh kerapkali disebut-sebut oleh

para klinisi, terutama berkaitan dengan tindakan terapi cairan


Etiologi overhidrasi. a) Gangguan ekskresi air lewat ginjal, misalnya pada

gagal ginjal akut intrinsik atau obstruktif b) Masuknya air yang berlebihan

pada terapi cairan c) Korban tenggelam di air tawar.


Gejala dan tanda antara lain: sesak nafas, edema, peningkatan tekanan vena

jugularis atau vena sentral, edema paru akut dan payah jantung.
Diagnostik penunjang: dijumpai hiponatremia dalam plasma.
Terapi Selama fungsi ginjal masih normal, pemberian diuretik masih

bermanfaat. Sedangkan bila fungsi ginjal jelek, harus dilakukan ultrafiltrasi

atau dialisis. Pada keadaan mendesak bisa dilakukan flebotomi, yaitu

mengeluarkan volume darah melalui kanulasi vena perifer atau sentral.


 Dehidrasi.
Dehidrasi adalah defisit air dalam tubuh, yang disebabkan oleh masukan

yang kurang atau ekskresi yang berlebihan


Keadaan dehidrasi ada beberapa bentuk yaitu: a) Isotonik: bila yang hilang

air bersama-sama dengan garam, misalnya pada gastroenteritis akut,

overdosis diuretik. b) Hipotonik: bila yang hilang hanya garam saja,

misalnya pemberian air saja pada pasien dehidrasi isotonik. c) Hipertonik:

11
bila yang hilang hanya air saja, misalnya kehilangan air lewat keringat.

Gejala dan tanda Gejala-gejala dehidrasi tergantung pada berat ringannya

dehidrasi.
Tabel 1. Derajat dehidrasi, % kehilangan air dan gejala.5

Prinsip terapi dehidrasi adalah mengembalikan air dan garam yang hilang.

Jumlah dan jenis cairan yang harus diberikan, tergantung pada derajat dan

jenis dehidrasinya, dengan memperhatikan pula jenis elektrolit yang hilang.

Pilihan cairan untuk koreksi dehidrasi adalah cairan pengganti jenis

kristaloid, misalnya RL atau NaCl.

2. Gangguan keseimbangan elektrolit5


 Hiponatremia.
Keadaan hiponatremia, apabila kadar natrium dalam plasma di bawah 130

mEq/L dan baru memberikan gejala apabila kadar natrium plasma kurang

dari 118 mEq/L. Keadaan hiponatremia berat yang disertai gejala-gejala,

merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera dikoreksi. Apabila

dibiarkan, tidak dikoreksi secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan

edema otak, selanjutnya akan menimbulkan kerusakan otak yang bersifat

ireversibel.
Etiologi hiponatremia dapat berdasarkan faktor renal maupun faktor ekstra

renal.

Gejala dan tanda


Tabel 2. Derajat Hiponatremia, Gejala, dan Tanda

12
Pada hiponatremia ringan, cukup dengan memberikan garam atau cairan

NaCl fisiologis. Sedangkan pada hiponatremia sedang sampai berat, perlu

diberikan NaCl hipertonik. Apabila disertai keadaan hipervolemik, perlu

diberikan diuretik, pembatasan pemberian air dan garam, serta terapi

terhadap penyakit dasarnya.


Dosis NaCl yang harus diberikan, dapat dihitung dari rumus berikut:
NaCl = 0,6 (N-n) x BB N = Kadar Na yang diinginkan n = Kadar Na

sekarang BB = Berat badan dalam kg .


Dipasaran tersedia beberapa bentuk sediaan NaCl yaitu:
NaCl 0,45% dengan kandungan Na = 77meq/l t NaCl 0,90% dengan

kandungan Na = 154 meq/l t NaCl 3,00 dengan kandungan Na = 513 meq/l t


 Hipernatremia.
Hipernatremia adalah suatu keadaan yang jarang jarang terjadi, mungkin

karena ginjal sangat efisien dalam mengeksresikan Na.


Disebut hipernatremia bila kadar natrium plasma lebih dari 150 meq/lt.

Banyak kelainan yang bisa mengakibatkan hipernatremia antara lain:

Diabetes insipidus, pemberian nutrisi parenteral atau obat-obatan yang

tinggi natrium pada pasien dengan fungsi ginjal yang jelek, penyakit

aldosteronisme primer dan lain lain.


 Hipokalemia.
Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5 mEq/l.

Hipokalemia merupakan salah satu gangguan keseimbangan elektrolit yang

harus segera mendapat perhatian serius, karena keadaan ini bisa

mengakibatkan aritmia jantung yang gawat.

13
Penyebab hipokalemia antara lain: a) Masukan K yang kurang dari makanan

b) Masuknya K dari plasma ke dalam sel. c) Kehilangan K lewat urine. d)

Kehilangan K lewat saluran cerna. e) Hiperaldosteronisme primer.


Gejala-gejala hipokalemia: a) Perasaan lemah b) Otot-otot lemas c)

Gangguan irama jantung d) Bila berat dan lama, dapat mengakibatkan henti

jantung.
Terapi. a) Dalam keadaan gawat darurat. Dilakukan koreksi secara

parenteral tetes kontinyu, tidak boleh memberikan preparat K lanngsung

intravenous karena bisa mengakibatkan henti jantung. Preparat yang

diberikan bisa dalam bentuk K-Bikarbonat atau Kcl. Selama pemberian

kadar K plasma harus dipantau setiap jam.


Formula yang digunakan dalam koreksi: Defisit K= K (normal) - K (hasil

pemeriksaan) x 0,4 x BB b) Koreksi bertahap. Koreksi secara oral dengan

memberikan masukan makanan yang kaya dengan kalium, seperti misalnya

buah-buahan, ikan, sayur-sayuran, kaldu.

 Hiperkalemia.
Disebut hiperkalemia bila kadar K dalam plasma lebih dari 5 meq/l.

Keadaan ini merupakan keadaan gawat darurat.


Etiologi hiperkalemia: a) Masukan K yang berlebihan b) Hemolisis

intravaskular c) Distribusi K yang abnormal d) Gangguan ekskresi misalnya

pada gagal ginjal e) Gangguan sekresi tubulus akibat pemakaian obat-

obatan.
Gejala yang paling menonjol akibat hiperkalemia adalah gangguan irama

jantung. Peningkatan kadar kalium dalam plasma, akan memperlihatkan

gambaran EKG yang spesifik sesuai dengan derajat peningkatannya.


Konsep dasar dalam koreksi ini adalah memasukkan kalium ke dalam sel

atau mengeluarkannya dari dalam tubuh melalui organ ekskresi atau dialisis.

14
Terapi hiperkalemia tergantung pada kadarnya dalam darah dan kemampuan

ekskresi ginjal. Bila kadar K plasma kurang dari 6,5 meq/l diberikan: a)

Diuretik, untuk mengekskresikan K lewat ginjal b) Natrium bikarbonat,

untuk memasukkan K ke dalam sel c) Calsium Glukonas, meningkatkan

ambang potensial miokard d) Glukonas-insulin, memasukkan K ke dalam

sel e) Kayekselate (K exchange), menarik K ke saluran cerna. Semua

tindakan tersebut di atas dapat dilaksanakan secara bersamaan.


Apabila dalam 6 jam belum tampak perbaikan, dilakukan hemodialisis.

Sementara menunggu persiapan, terapi farmakologis di atas dapat

dilaksanakan.
Bila fungsi ginjal jelek, tindakan hemodialisis perlu dipertimbangkan lebih

dini. Apabila kalium dia tas 6,5 meq/l, segera lakukan dialisis.
 Hipokalsemia.
Kalsium serum total terikat dalam protein plasma dan 90% diantaranya

terikat dalam albumin, sehingga dapat dimengerti bahwa keadaan

hipokalsemia juga terjadi pada pasien yang menderita hipoalbuminemia.


Etiologi. a) Hipoparatiroidism, kongenital, idiopatik atau surgikal b)

Defisiensi vitamin D dan lain-lain


Gambaran klinis hipokalsemia terjadi akibat meningkatnya iritabilitas

neuromuskuler.
Gejalanya antara lain, tetani dengan spasme karpopedal, adanya tanda

Chovsteks, kulit kering, gelisah, gangguan irama jantung. Pada EKG

tampak perpanjangan interval Q-T.


Hipokalsemia adalah suatu keadaan gawat darurat, karena dapat

mengakibatkan kejang umum dan henti jantung. Dalam keadaan tersebut

dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium glukonas 10% atau CaCl 10%.

15
Terapi ini dapat diulang 30 sampai 60 menit kemudian, sampai kadarnya

dalam plasma optimal.

2.1.6 Dasar-Dasar Terapi Cairan Perioperatif.

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan

pemberian cairan perioperatif, yaitu :

1. Kebutuhan Normal Cairan Dan Elektrolit Harian10,11


Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan

elektrolit utama Na+= 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+= 1mmol/kgBB/hari.

Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat

pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan

pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan

yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak

dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah10,11
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada

penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang

seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis

berlebihan, translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan

meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan

berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera

diganti sebelum dilakukan pembedahan.


3. Kehilangan cairan saat pembedahan10,11
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih

menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan

translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi)

akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas

16
dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah

perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat

terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma,

inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan

interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (asites) atau ke lumen

usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler

meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara

membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam

kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan

dalam ruang ekstraseluler.

2.1.7 Penatalaksanaan Terapi Cairan Perioperatif.

Terdapat tiga periode yang dialami oleh pasien apabila menjalani tindakan

pembedahan, yaitu: pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah. Ketiga

periode tersebut mempunyai permasalahan yang berbeda yang satu sama lain

tidak bisa dipisahkan. Salah satu masalah yang perlu mendapatkan perhatian

adalah terapi cairan.5

1. Cairan pra bedah.


Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi

anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut.

Selain itu terapi cairan prabedah bertujuan untuk mengganti cairan dan

kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa, fasilitas vena terbuka

bahkan untuk koreksi defisit akibat hipovolemik atau dehidrasi.5


2. Cairan selama pembedahan.

17
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan

penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama

operasi. Selain itu cairan selama pembedahan bertujuan untuk fasilitas vena

terbuka, koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti

perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang hilang melalui organ

ekskresi. Cairan yang digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan

koloid atau transfusi darah.5


3. Cairan paska bedah
Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :
 Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
 Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung,

febris).
 Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.
 Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

2.1.8 Jenis Cairan yang Digunakan dalam Terapi Cairan.

1. Cairan kristaloid12,13,14,15,16,17,18

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).

Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah

di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak

menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan

dapat disimpan lama.

Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)

ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi

defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang

intravaskuler sekitar 2030 menit. Beberapa penelitian mengemukakan

bahwa walaupun dalam jumlah sedikit.

18
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema

perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan

edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%.

Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat

mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan

kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan

meningkatnya tekanan intra kranial.

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan

lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid

maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang

interstitiel.

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak

digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan

yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung

dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi

bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl

0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis

hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar

bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

2. Cairan koloid12,13,14,15,16,17,18

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma

substitute´ atau plasma expander´. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang

mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan

19
cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang

intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan

secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita

dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka

bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi

anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:

1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5 dan

2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama

10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein

plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin

dan beta globulin.


Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat

dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu

pemberian infuse dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan

hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.


2. Koloid Sintesis yaitu:
 Dextran.
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70

(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri

Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa.


Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik

dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki

aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan

(viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang

20
dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,

meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.


Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross

match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.

Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu

dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.


 Hydroxylethyl Starch (Heta starch).
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 ± 1.000.000, rata-

rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg.

Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46%

lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan

koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat

meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low molecullar weight

Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip Heta starch, mampu

mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan

berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume

expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu

koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan

pada penderita gawat.

 Gelatin.
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul

rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.


Ada 3 macam gelatin, yaitu: a) Modified fluid gelatin (Plasmion dan

Hemacell) b) Urea linked gelatin c) Oxypoly gelatin, merupakan plasma

expanders dan banyak digunakan pada penderita yang gawat. Walaupun

21
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea

linked gelatin.

2.1.9 Teknik Pemberian dan Komplikasi Terapi Cairan.

Untuk pemberian terapi cairan dalam waktu yang singkat dapat digunakan

vena-vena di punggung tangan, sekitar pergelangan tangan, lengan bawah atau

daerah kubiti. Pada pasien anak dan bayi sering digunakan daerah punggung kaki,

depan mata kaki dalam, atau pada daerah kepala. Pada pasien neonatus, dapat juga

digunakan akses vena umbilikalis. Penggunaan jarum anti karat atau kateter vena

berbahan plastic anti trombogenik pada vena perifer biasanya perlu diganti setiap

1 sampai 3 hari untuk menghindari infeksi dan macetnya tetesan. Pemberian

cairan infus lebih lama dari 3 hari, sebaiknya menggunakan kateter berukuran

besar dan panjang yang ditusukan pada vena femoralis, vena kubiti, vena

subklavia, vena jugularis eksterna atau interna yang ujungnya sedekat mungkin

dengan atrium kanan atau di vena cava inferior atau superior.3

Komplikasi Terapi Cairan5

Komplikasi yang terjadi sangat berkaitan dengan kanulasi vena yang

dilakukan, pilihan cairan, kelalaian dalam pemantauan dan kemungkinan risiko

infeksi. Komplikasi yang bisa timbul adalah:

1. Gangguan keseimbangan cairan.


Pada umumnya akan terjadi kelebihan cairan dengan segala akibatnya,

seperti misalnya payah jantung dan edema baik di otak, paru, dan jaringan

lainnya. Hal ini terjadi karena pemantauannya tidak adekuat.


2. Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa.

Hal ini terjadi apabila pilihan cairan tidak tepat.

22
3. Komplikasi akibat kanulasi.
Terutama pada kanulasi vena sentral, bisa terjadi hematom, emboli udara,

pneumo-hidro-hematotoraks dan refleks vagal.


4. Infeksi.
Infeksi lokal pada jalur vena yang dilalui, menimbulkan rasa nyeri yang hebat,

keadaan ini bisa berlangsung lama. kemungkinan terjadinya risiko sepsis,

tidak bisa dihindari apabila keadaan asepsis kurang diperhatikan, terutama

pada kanulasi vena sentral yang digunakan untuk memasukkan obat suntik

berulang.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Air merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Persentase cairan

tubuh tergantung pada usia, jenis kelamin, dan derajat status gizi seseorang.

Seluruh cairan tubuh tersebut secara garis besar terbagi ke dalam 2 kompartemen,

yaitu intraselular dan ekstraselular. Apabila terjadi deficit atau kekurangan cairan

pada tubuh maka perlu segera diberikan penanganan atau pencegahan untuk

mencegah terjadinya masalah kekurangan cairan.

Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid.

Kristaloid merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula

yang paling sering dan paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi.

23
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di

setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, sedangkan koloid

mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas

osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang

intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan

berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik. Berdasarkan penggunaannya

dibagi menjadi cairan pemeliharaan, pengganti, nutrisi, dan untuk tujuan khusus.

Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer

dimana masing memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga

diperlukan pada saat sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan

kehilangan darah pada pasien perioperative juga menentukan jenis terapi cairan

yang akan diberikan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Tutuko, Bambang, dkk. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif.

Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia.

2009.
2. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC;

Jakarta 2008: Hal. 308.


3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi

2. EGC; Jakarta 2010: Hal. 133.


4. Kaswiyan U. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan

Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. 2010.


5. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.

Indeks; Jakarta 2010: Hal 292.


6. Heitz U, Horne MM. Fluid, Electrolyte and Acid Base Balance. 5th ed.

Missouri: Elsevier-Mosby; 2005. p 3-227.


7. Mayer H, Follin SA. Fluid and electrolyte made incredibly easy. 2nd ed.

Pennsylvania:Springhouse; 2002:3-189.
8. Schwartz SI, ed. Principles of surgery companion handbook. 7th ed. New

york:McGraw-Hill; 1999:53-70.
9. Arya VK. Basics of fluid and blood transfusion therapy in paediatric

surgical patients. Indian Journal of Anaesthesia 2012; 56 (5): 454-60.


10. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th

ed.Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.


11. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media aesculapius; 2000: hal.1-58.
12. Murat I, Dubois MC. Review article perioperative fluid therapy in

pediatricsBlackwell Publishing Pediatric Anesthesia 2008; 18: 363-70.


13. Bailey AG, McNaull PP, Jooste E, Tuchman JB. Review article

perioperative crystalloid and colloid fluid management in children: where

are we and how did we get there? International Anesthesia Research Society

25
2010; 110 (2). p. 375-86.
14. Doherty M, Buggy DJ. Intraoperative fluids: how much is too much: British

Journal of Anaesthesia 2012;171: p. 1-11.


15. Bartels K, Thiele RH, Gan TJ. Review rational fluid management in today's

ICU practice. Bio Med Central 2013; 17 (1) 56: p. 1-6.


16. Smorenberg A, Ince C, Groeneveld AJ. Review dose and type of crystalloid

fluid therapy in adult hospitalized patients. Bio Med Central 2013; 2(17): p.

110
17. Strunden MS, Heckel K, Goetz AE, Reuter DA. Review perioperative fluids

and volume management: physiological basis, tools and strategies. Annals

of Intensive Care a Springer Open Journal 2011; 1 (2): p.1-8.


18. Gwinnutt CL. Catatan kuliah anestesi klinis. Edisi 3. Jakarta: EGC: 2011.

26

Anda mungkin juga menyukai