Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa
referat yang berjudul Faringitis TB dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada
waktunya.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Mashari,Sp.THT selaku
pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian referat
ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan selama masa kepaniteraan klinik penulis di bagian THT RSUD
Blambangan Banyuwangi, juga untuk mendiskusikan penyakit faringitis TB,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung penerapan
klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem pelayanan
kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan.
Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.

Banyuwangi, 31 Agustus 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4
2.1. Anatomi Faring........................................................................................4
2.2. Fisiologi Faring........................................................................................8
2.3. Faringitis Tuberkulosis
2.3.1 Definisi..........................................................................................11
2.3.2.Epidemiologi.....................................................................................12
2.3.3. Etiologi.........................................................................................12
2.3.4.Patofisiologi..................................................................................13
2.3.5.Gejala Klinis..............................................................................14
2.3.6. Diagnosis..........................................................................................15
2.3.7. Penatalaksanaan...............................................................................16
2.3.8. Prognosis..............................................................................17
2.3.9. Komplikasi...................................................................................19
BAB III KESIMPULAN...................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Faringitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan dinding
faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, trauma, toksin dan lain-
lain yang masih sering ditemukan baik pada anak maupun orang dewasa di
pelayanan kesehatan. Jaringan yang mungkin terlibat dalam keadaan faringitis
antara lain orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid. Faringitis dapat
menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis. Faktor
risiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.
Faringitis terdiri dari beberapa klasifikasi, diantaranya faringitis viral, faringits
bakterial, faringitis fungal, faringitis kronis dan faringitis spesifik seperti faringitis
TB1.
Tuberkulosis masih merupakan penyakit yang sangat luas didapat
dinegara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana Indonesia
merupakan negara ke dua terbanyak dengan kasus tuberkulosis2. Tuberkulosis
dibagi menjadi tuberkulosis primer dan tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis
primer merupakan infeksi pertama dari tuberkulosis, sedangkan tuberkulosis
sekunder adalah infeksi yang terjadi akibat adanya penyebaran dari kuman
penyebab tuberkulosis primer ke tempat yang lain melalui aliran darah atau
kelenjar getah bening3.
Faringitis tuberkulosis yang terjadi paling banyak merupakan proses
sekunder dari tuberkulosis paru, kecuali bila infeksi disebabkan oleh kuman tahan
asam jenis bovinum4. Faringitis tuberkulosis merupakan kasus yang jarang
terdiagnosis atau diagnosis sering dilupakan, bahkan sering dikelirukan dengan
penyakit lain seperti pada infeksi jamur. Faringitis Tuberkulosis umumnya
mengikuti tuberkulosis paru, dimana kejadian tuberkulosis paru masih tinggi2.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuer yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan mulut melalui ismus ororfaring sedangkan dengan laring di
bawah berhubungan dengan aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esofagus. Panjang dinding posterior faring kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinging faring dibentuk oleh
(dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir
(mucous blanket) dan otot1.

Gambar 2.1 Anatomi Faring

4
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. kosntriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot
ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawhnya menutup sebagian otot bagian
atas dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di
belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah untuk
mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus. Otot-
otot faring yang tersusun longitudinal terdiri dari M.Stilofaring dan
M.Palatofaring, letak otot-otot ini di sebelah dalam. M.Stilofaring berfungsi untuk
melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan M.Palatofaring mempertemukan
ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini
bekerja sebagai elevator, kerja kedua otot ini penting pada waktu menelan.
M.Stilofaring dipersarafi oleh Nervus Glossopharyngeus dan M.Palatofaring
dipersarafi oleh Nervus Vagus1.

Gambar 2.2 Otot pada Organ Faring

5
Pada Palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam
satu sarung fasia dari mukosa yaitu M.Levator veli palatini, M.Tensor veli
palatine,M.Palatoglosus, M.Palatofaring dan M.Azigos uvula. M.Levator vela pal
atine membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk menyempitkan
ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius dan otot ini dipersarafi oleh
Nervus Vagus. M. tensor veli palatini membentuk kedua palatum mole dan
kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba
eustachius. Otot ini dipersarafi n.X. M. palatoglosus membentuk arkus anterior
faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.
Palatofating membentuk arkus posterior faring. Otot ini dieprsarafi oleh n.X. M.
azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
Faring mendapat vaskularisasi dari beberapa sumber. Vaskularisasi utama
berasal dari cabang arteri karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang palatine superior.
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari Nervus Vagus, cabang dari
NervusGlossopharyngeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari Nervus Vagus
berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-
cabang untuk otot-otot faring kecuali M.Stilofaring yang dipersarafi langsung oleh
cabang Nervus Glossopharyngeus.
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal
dalam bawah.
Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring, Orofa
ring dan Laringofaring (Hipofaring). Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari
faring, dimana pada bagian atas dibatas oleh basis kranii, bagian bawah dibatasi
palatum mole, bagian depan dibatasi rongga hidung dan dibagian belakang
dibatasi vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil mengandung beberapa

6
struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana,
foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags dan
Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus
os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring, yaitu batas atas terdapat
palatum mole, batas bawah terdapaat tepi atas epiglottis, batas depan adalah
rongga mulut dan batas belakang adalah vertebra servikalis.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual
dan foramensekum.
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring.
Dengan batas-batasdari laringofaring antara lain, yaitu batas atas terdapat
epiglotis, batas bawah terdapat kartilago krikodea, batas depan terdapat laring dan
batas belakang terdapat vertebra servikalis1.

Gambar 2.3 Bagian-bagian Faring

7
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Dinding
anterior Ruang retrofaring (Retropharyngeal space) adalah dinding belakang
faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring.
Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevetebralis. Ruang ini mulai dari
dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis.
Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah
lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.
Ruang parafaring (fosa faringomaksila) merupakan ruang berbentuk kerucut
dengan dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya ada kornu mayusos hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam
oleh M.Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens
mandibula yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar
parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah
bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif. Bagian yang lebih
sempit di bagian posterior ( post stiloid ) berisi arteri karotis interna, vena
jugularis interna, Nervus vagus yang dibungkus dalam suatu
sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheat). Bagian ini dipisahkan dari
ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis1.

2.2 Fisiologi Faring


Faring memiliki beberapa fungsi utama, diantaranya ialah untuk respirasi,
proses menelan, resonansi suara dan artikulasi5.
a. Fungsi respirasi
Faring merupakan bagian dari saluran pernafasan atas. Otot-otot faring
mempunyai tonic dilator activity yang berfungsi untuk mencegah orofaring
kolaps karena tekanan negatif semasa inspirasi. Hal ini akan memastikan lumen
faring tetap terbuka.

b. Fungsi Menelan

8
Proses menelan dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase oral, fase faringeal dan
fase esophagus yang terjadi secara berkesinambungan. Pada proses menelan akan
terjadi beberapa hal berikut:
Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik
Upaya sfingeter mencegah terhamburnya bolus selama fase menelan
Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat
respirasi
Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring
Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong
bolus makanan ke arah lambung
Usaha untuk membersihkan kembali esofagus
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan air liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini akan
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat
kontraksi otot intrinsik lidah. Kontraksi M. Levator veli palatine mengakibatkan
rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum molle terangkat dan bagian
atas dinding posterior faring (Passavants ridge) akan terangkat pula. Bolus
terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini
terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi M. Levator veli palatini.
Selanjutnya terjadi kontraksi M. Palatoglossus yang menyebabkan isthmus
fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi M. Palatofaring, sehingga bolus makanan
tidak akan berbalik ke rongga mulut.
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esophagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh
kontraksi M. Stilofaring, M.Tirohioid dan M. Palatofaring. Aditus laring tertutup
oleh epiglottis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika
ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi M.Ariepiglotika dan
M.Aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian aliran udara
ke laring karena reflex yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan
akan meluncur ke arah esophagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah
dalam keadaan lurus.
Fase esophageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi

9
relaksasi M. Krikofaring, sehingga introitus esophagus terbuka dan bolus
makanan masuk ke dalam esophagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter
akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esophagus pada saat
istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian
refluks dapat dihindari. Gerak bolus makanan di esophagus bagian atas masih
dipengaruhi oleh kontraksi M.Konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal.
Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltic
esophagus. Dalam keadaan istirahat sfingter esophagus bagian bawah selalu
tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung
sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagal
sfingter ini akan terbuka secara reflex ketika dimulainya peristaltik esophagus
servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus
makanan lewat maka sfingter ini akan menutup kembali.

Gambar 2.4. Proses Menelan

c. Fungsi Faring dalam Proses Bicara


Sewaktu bicara, palatum molle bergerak ke atas sewaktu produksi suara
kecuali huruf M dan N. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum molle
kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula M. Salpingofaring dan M. Palatofaring, kemudian M.

10
Levator veli palatini bersama-sama M. Konstriktor faring superior. Pada gerakan
penutupan nasofaring M. Levator veli palatini menarik paltum molle ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi
oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat
2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakann M.
Palatofaring (bersama M. Salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif M. Konstriktor
faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang
bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada
periode fonasi tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan
hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.
d. Fungsi proteksi
Pada faring terdapatnya rangkaian jaringan limfoid subepitel yang terletak
di cincin Waldeyer. Jaringan limfoid ini berfungsi dalam mekanisme pertahanan
tubuh.

2.3 Faringitis Tuberkulosis


2.3.1 Definisi
Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru,
dimana terjadi peradangan pada dinding faring yang disebabkan akibat infeksi
mycrobacterium tuberculosis. Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum
dapat timbul tuberculosis faring primer. Faringitis TB dapat menular melalui 2
cara, yaitu cara infeksi eksogen melalui kontak dengan sputum atau inhalasi
kuman melaui udara dan cara infeksi endogen yaitu melalui darah pada
tuberculosis miliaris4.

2.3.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global dimana
merupakan peringkat kedua penyebab kematian dari penyakit menular di seluruh
dunia setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). Indonesia merupakan
Negara kedua setelah India yang memiliki angka kejadian kasus TB terbanak
didunia dengan prevalensi TB di sebesar 1.600.000 dengan estimasi insiden
1.000.000 kasus pertahun6.

11
Angka kejadian tersebut tidak hanya terjadi pada TB paru, namun terjadi
juga pada TB ekstra paru seperi limfadenitis TB, pleuritis TB, TB tulang dan
sendi, peritonitis TB, miliary TB, meningitis TB dan faringitis TB. Faringitis TB
merupakan suata keadaan TB ektra paru yang jarang terjadi, dimana keadaan
tersebut paling sering akibat proses sekunder dari TB paru3

2.3.3 Etiologi
Faringitis TB penyakit infeksi sekunder dari tuberculosis paru yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosis. Faringitis TB juga dapat
diakibatkan oleh bakteri tahan asam jenis bovinum, yaitu mycobacterium bovis,
sehingga terjadi faringitis TB primer. Fraksi protein basil tuberkulosis pada
bakteri mycobaterium tuberkulosis menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan,
sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor
penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel7.
Penularan mycobacterium tuberkulosis pada faringitis TB melalui 2 cara
yaitu cara infeksi eksogen dan endogen. Cara infeksi eksogen biasanya melalui
kontak dengan sputum yang mengandung kuman, melalui inhalasi, selain itu dapat
melalui peroral misalnya minum susu yang mengandung basil tuberkulosis,
biasanya mycobacterium bovis dan dapat juga akibat terjadi kontak langsung
misalnya melalui luka atau lecet dikulit. Sedangkan cara endogen yaitu
penyebaran melalui dan melalui aliran limfe (limfogen) yang menyebabkan
kelenjar regional leher membengkan, ataupun melalui darah (hematogen) yang
menyebabkan tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada
dinding posterior faring, arkus faring posterior, dinding lateral hipofaring, palatum
molle dan palatum durum seperti pada keadaan tuberkulosis miliaris6.
2.3.4 Patogenesis
Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak selalu menimbulkan
penyakit. Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil
tuberkulosis serta daya tahan tubuh pada manusia tersebut. Infeksi primer
biasanya terjadi dalam paru, penyebaran dapat terjadi secara eksogen yaitu
melalui kontak dinding faring dengan sputum yang mengandung basil TB maupun
secara endogen yaitu penyebaran basil TB melalui aliran darah. Walaupun
biasanya terjadi penyebaran dari infeksi primer di paru-paru tidak menutup

12
kemungkinan terjadi infeksi primer di faring yang berasal dari droplets langsung
dari udara yang masuk akibat bakteri tahan asam jenis bovinum6.
Seperti yang digambarkan pada TB paru, proses peradangan pada kasus
faringitis TB juga berjalan kronis dengan perkembangan yang lambat. Basil TB
akan menimbulkan peradangan dimulai dari perkembangan biakannya. Dari
peradangan tersebut akan dipanggil sel-sel PMN dan makrofage sebagai langkah
pertahanan tubuh. Namun basil TB mempunyai pertahanan yang baik dalam
menghadapi sistem pertahanan tubuh manusia (karena lapisan lipid yang tebal dan
tahan asam), oleh karena itu tidak semua basil TB mati, sebagian tetap hidup
dalam makrofage dan berkembang biak. Faktor host imune juga berperan penting,
pada orang dengan pertahan tubuh bagus biasanya basil TB akan dormant dan
tidak berkembang.
Basil TB memiliki sifat tidak mudah mati, maka tubuh berusaha menekan
infeksinya dengan membentuk jaringan granulosa di sekitar fokus infeksi, respon
ini timbul dari rangsangan sitokin-sitokin yang dikeluarkan oleh makrofage yang
terinfeksi basil TB. Jaringan granulosa tersebut akan berkembang menjadi serat
fibrosa dan seakan-akan mengisolasi basil TB. Hal ini bisa dilihat dengan
terbentuknya tuberkel-tuberkel TB. Di dalam tuberkel tersebut basil TB masih
aktif merusak jaringan bahkan mereplikasi diri. Jika pengobatan tidak adekuat
ditambah faktor imune yang buruk maka perkembangannya akan terus berlanjut.
Pada suatu saat tuberkel dapat pecah mengeluarkan basil TB beserta jaringan
nekrotik dan terbentuk ulkus. Kerusakannya akan semakin dalam jika tidak
diobati7.

2.3.5 Gejala Klinis


Secara umum faringitis TB akan menimbulkan beberapa gejala seperti
batuk, anorexia, demam atau keringat dingin pada malam hari, berat badan
menurun dengan cepat. Gejala pada tahap awal berupa adanya rasa terbakar dan
sakit sedikit pada tenggorok yang akan bertambah parah dengan timbul keluhan
nyeri yang hebat ditenggorokan. Tahap selanjutnya kualitas suara akan berubah
karena adanya fiksasi pada palatum dan timbulnya disfagia. Pada tahap sangat
lanjut dapat terjadi regurgitasi cairan ke dalam hidung. Keadaan umum pasien
buruk, karena anoreksia dan nyeri untuk menelan makanan. Tidak jarang terdapat

13
regurgitasi. Selain dari nyeri yang sangat menonjol untuk menelan, terdapat juga
nyeri di telinga (otalgia) dan terdapat adinopati servikal8.
Secara spesifik, tuberkulosa pada faring terdapat dalam tiga bentuk, yaitu
tuberkulosis milier akut, ulkus tuberkulosis kronis dan lupus vulgaris9.
a. Tuberkulosis milier akut
Pada tuberkulosis milier akut manifestasi penyakit berhubungan dengan
penyebab mikroba/ kuman dalam aliran darah. Ditemukan erupsi tuberkel di
daerah faucis, palatum mole, dasar lidah atau mukosa pipi. Timbul rasa tidak enak
pada stadium ini, tetapi bila erupsi meluas membentuk ulkus barulah timbul rasa
sakit sekali dan disfagia. Terdapat kecenderungan untuk berdarah dan keluar air
liur yang banyak, lendir kental melekat kedaerah yang berulkus. Keadaan umum
pasien segera memburuk dan terdapat beberapa jenis gangguan dengan suhu
badan yang meningkat.
b. Ulkus tuberkulosa kronik
Selalu berhubungan dengan tuberkulosa paru yang lanjut dengan sputum
mengandung kuman tuberkulosa. Terjadi ulserasi pada faring dan lidah dimana
ulkus biasanya terletak pada ujung lidah. Ulkus mempunyai sifat dangkal, tepi
tidak teratur dengan dasar yang bersih, pertumbuhan lambat. Ujung saraf masih
utuh sehingga timbul rasa nyeri dengan gejala yang ada hubungan dengan disfagia
akut.

c. Lupus vulgaris
Lupus vulgaris adalah proses tuberkulosa pada kulit. Dalam bidang THT
lokasi yang sering ialah di bagian depan septum nasi serta konka inferior dan dari
sini dapat menyebar ke muka atau faring. Pada tenggorok biasanya mengenai
palatum mole dan faucius jarang pada tonsil. Bentuk erupsi berupa apple jelly
nodules yang segera menjadi abu-abu dan lebih padat. Mukosa menjadi keras
dan hilang mobilitasnya, nodul akan pecah sehingga permukaan mukosa rusak
dan tampak daerah granuler. Bila palatum durum terkena maka tulang akan
terbuka tetapi tulang tidak terkena proses penyakit. Proses berlangsung sangat
kronik dengan kecenderungan menyembuh disebagian tempat tetapi proses

14
penyakit terus berlanjut sehingga terbentuk sikatriks pada palatum. Uvula dapat
mengecil atau lenyap.

2.3.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada kasus faringitis TB disamping berdasarkan
gambaran klinisnya juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
sputum BTA (zielh-nelsen) untuk melihat adanya tuberkulosis paru, selain itu
pengambilan swab tenggorokan juga bisa dilakukan. Foto Thorax PA dapat
digunakan untuk menilai apakah terdapat infeksi primer TB pada paru dan
perkembangannya. Biopsi jaringan yang terinfeksi untuk menyingkirkan adanya
proses keganasan, serta mencari basil tahan asam di jaringan. Kultur spesimen
dapat dilakukan untuk mendeteksi sensitivitas terhadap antimikroba10.

2.3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus faringitis TB diperlukan penatalaksanaan secara non
farmakologis dan farmakologis. Penatalaksanaan non farmakologis diberikan
sebagai penanganan suportif untuk membantu proses kesembuhan, seperti
memberi edukasi terhadap pasien untuk tetap mengkonsumsi makanan lunak agar
memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh serta dapat memberi edukasi kepada kelurga
untuk menggunakan masker baik pada pasien maupun keluarga untuk menegah
penularan.
Penatalaksanaan farmakologis memiliki prinsip terapi sama dengan kasus
TB paru yaitu mencegah perkembangan dari mycobacterium tuberculosis.
Penatalaksaan dengan menggunakan OAT (obat anti tuberculosis) yaitu Isoniazid,
Rifampisin, Etambutol, Prirazinamid dan Streptomicin11.
Pengobatan tuberculosis ini dibagi menjadi 2 kategori :
Kategori I
Pada pasien kasus baru dengan terkonfirmasi bakteriologis,
terdiagnosis klinis atau merupakan pasien TB ekstra paru
Pemberian OAT-Kategori I: 2(HRZE) / 4(HR)3

15
Kategori II
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) seperti pada pasien kambuh, pasien gagal
pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, pasien yang
diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
Pemberian OAT-Kategori II 2 : (HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)

2.3.8 Prognosis
Pasien dengan infeksi kuman mycobacterium tuberkulosa harus mengikuti
petunjuk pengobatan yang benar agar tidak timbul resistensi kuman. Prognosis
biasanya baik dengan pengobatan yang terkontrol. Penderita tuberkulosis yang
telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk
mengetahui adanya kekambuhan. Evaluasi yang baik mencakup12 :
1. Sputum BTA mikroskopik 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh. Dilakukan 2 kali pemeriksaan pagi dan sewaktu, jika keduanya
BTA negatif berarti sembuh.
2. Evaluasi foto toraks 6, 12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Faringitis tuberculosis adalah salah satu jenis faringitis spesifik yang
angka kejadiannya jarang terjadi dibandingkan faringitis jenis lain seperti
faringitis viral maupun bakteri. Faringitis TB terjadi akibat proses sekunder dari
tuberculosis paru, namun juga dapat timbul tuberculosis faring primer pada
infeksi kuman tahan asam jenis bovinum. Penyebab utama faringitis TB adalah
mycobacterium Tuberkulosis, dimana terdapat 2 cara penularan yaitu secara
eksogen dan endogen. Cara penularan eksogen dengan adanya kontak terhadap
sputum yang mengandung kuman atau melaui inhalasi, sedangkan cara penularan
endogen melalui darah seperti pada tuberculosis miliaris. Bila infeksi timbul
secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering
ditemukan pada dinding posterior faring, akus faring anterior. Dinding lateral
hipofaring, palatum mole dan palatum durum.

17
Keadaan faringitis TB akan menimbulkan beberapa gejala seperti nyeri
telan, disfagia, anoreksia, BB turun, demam terkadang disertai keringat dingin
malam hari dan suara serak. Tuberkulosis pada faring terdapat dalam tiga bentuk
yaitu tuberkulosa milier akut, ulkus tuberkulosa kronik dan lupus vulgaris. Dalam
menegakkan diagnosis faringitis TB selain berdasarkan anamnesa, perlu dilakukan
pemeriksaan fisik seperti akan ditemukan adanya tuberkel ataupun ulkus pada
faring dan dilakukan pemeriksaan penunjang terutama hal-hal yang memastikan
adanya TB paru seperti pemeriksaan sputum ataupun foto thoraks. Swab
tenggorok ataupun biopsy dapat dilakukan untuk meningkirkan kemungkinan
keganasan. Penatalaksaan pada faringitis TB memiliki prinsip sama dengan
penatalaksanaan TB paru yaitu dengan menggunakan OAT seperti rifampisin,
isoniazid, eambutol, pirazinamid dan streptomicin

DAFTAR PUSTAKA

1. Hall & Colmans, Disease The Nose, Throat & Ear, & Head Neck, Elbs
2001, Hal : 110.
2. Kementerian Kesehatan RI. 2014 Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
3. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9.
4. Arsyad Soepardi,Effiaty,dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok.Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2012. hal: 195-197
5. Pearce, Evelyn C. ANATOMI DAN FISIOLOGI UNTUK PARAMEDIS.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011
6. Guyton, Arthur C dan John E. Hall. Buku Ajar FISIOLOGI
KEDOKTERAN. Jakarta: EGC. 2012
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, Jakarta : Indah Offset Citra
Grafika, 2006.

18
8. Aditama MY, 2002, Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya,
Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, Hal : 26-60.
9. Adam GL, Boeis LR, Higler TA. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi
Rongga Mulut, Faring, Oesofagus dan Leher, Dalam Buku Ajar Penyakit
THT, Edisi 6, Alih Bahasa Dr. Caroline Wijaya, EGC, Jakarta, 1997. Hal :
320-322.
10. Pommerville JC. Alcamos Fundamentals of Microbiology. Ed ke-9.
Sudbury: Jones & Bartlett Publisher; 2011; h.304-5
11. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2014. Available from
http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-tbnasional2014.pdf
12. Kamholz S. Pleural tuberculosis. In:Rom WN, Garay SM, editors.
Tuberculosis. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2004. p.
497-504

19

Anda mungkin juga menyukai