Anda di halaman 1dari 8

NEUROPATI PERIFER PADA LANJUT USIA

Ni Putu Witari
Bagian Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di negara maju dan berkembang, termasuk
Indonesia terus meningkat. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun
2010, jumlah lansia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% total penduduk) dan meningkat
menjadi 8,03% tahun 2014 (Mustari dkk, 2015). Neuropati perifer merupakan kondisi
penting yang berpengaruh pada disabilitas lansia. Kejadian neuropati perifer mencapai 8%,
proporsinya meningkat dengan bertambahnya usia. Neuropati perifer dapat mengganggu
aktifitas sehari-hari, meningkatkan risiko jatuh, terjadinya trauma dan menurunnya kualitas
hidup pada lansia (Strait dan Medcalf, 2012).
Ada banyak penyebab neuropati pada lansia meliputi neuropati yang didapat (GBS,
CIDP), terkait penyakit sistemik (seperti necrotizing vasculitis, DM, sarcoidosis), terkait
keganasan, disglobulinemia, defisiensi vitamin B12 dan thiamine, infeksi (HIV, Lyme
disease, Lepra) dan neuropati herediter dengan onset lambat. Di negara maju, penyebab
spesifik teridentifikasi pada 72% kasus, adanya komorbiditas menyulitkan diagnosis
(Suzuki, 2013).
Neuropati perifer dapat diklasifikasikan berdasarkan pola keterlibatan saraf , waktu
perjalanan penyakit dan patologi yang mendasarinya. Berdasarkan pola keterlibatan saraf
dikenal mononeuropati, mononeuropati multipleks, polineuropati simetris, poliradikulopati,
ataupun aksonopati, sedangkan berdasarkan waktu perjalanan penyakitnya; akut bila
mencapai defisit maksimal kurang dari 4 minggu (misal GBS), subakut bila mencapai defisit
maksimal dalam 4-8 minggu dan kronik bila lebih dari 8 minggu. Patologi dasar dapat
berupa aksonal neuropati, demyelinisasi maupun campuran ( Strait dan Medcalf, 2012).
Mengingat manifestasi klinis neuropati sangat bervariasi dengan etiologi beragam,
diperlukan evaluasi sistematis dan menyeluruh meliputi klinis, laboratorium penunjang dan
tes elektrodiagnostik, agar dapat direncanakan terapi dengan baik. Dalam anamnesa perlu
data akurat mengenai onset, durasi, distribusi, episode keluhan sebelumnya, keluhan-
keluhan ringan yang mendahului, progresifitas, gangguan keseimbangan dan berjalan serta
gangguan fungsional lainnya. Perlu juga diketahui riwayat keluarga, riwayat sosial
(pekerjaan, paparan toksik, penggunaan obat-obatan, kebiasaan makan, fungsi seksual),
gejala-gejala penyerta seperti gejala konstitusional, serta adanya penyakit sistemik atau
keganasan (Herskovitz dkk, 2010; Suzuki, 2013).
Pemeriksaan fisik umum meliputi inspeksi ektremitas, apakah ada perubahan trofik,
warna kulit, temperatur, adanya deformitas (pes cavus, pes planus, hummer toes dll) atau
tremor. Pemeriksaan kekuatan otot, reflex fisiologis serta pemeriksaan sensorik raba, nyeri,
proprioseptif dan vibrasi hendaknya dikerjakan dengan cermat (Herskovitz dkk, 2010).
Pemeriksaan elektrodiagnostik, mencakup pemeriksaan hantar saraf dan
elektromiografi jarum, membantu dalam konfirmasi distribusi neuropati dan menentukan
tipe kerusakan. Klasifikasi subtipe mononeuropati, mononeuropati multipleks atau
polineuropati sangat penting untuk diagnosis spesifik (England dan Asbury, 2004).
Biopsi n. cutaneus mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi amiloidosis,
sarkoidosis atau neuropati vaskulitis. Biopsi saraf hanya dipertimbangkan setelah analisa
menyeluruh, mencakup klinis, labaratorium, pemeriksaan LCS, elektrodiagnostik serta tes
DNA pada kasus yang dicurigai (Suzuki, 2013).

Neuropati Demyelinisasi Akut – Guillain-Barre syndrome


GBS merupakan penyebab tersering paralisis flasid yang akut. Dikenal empat subtipe
yaitu Acute Inflammatory Demyelinating Poliradiculoneuropathy (AIDP), Acute Motor
Axonal Neuropathy (AMAN), acute motor and sensory neuropathy (AMSAN) dan Fisher
syndrome (Suzuki, 2013). AIDP adalah subtipe yang paling sering dijumpai di Eropa dan
Amerika Utara, pada sekitar 90% kasus. Sedangkan GBS dengan kerusakan aksonal lebih
sering dijumpai di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, pada sekitar 30-47% kasus. AMAN
sering dihubungkan dengan antibodi terhadap gangliosida GM1, GM1b, GD1a, dan
GalNAc-GD1a dan adanya enteritis oleh Campylobacter jejuni sebelumnya. Beberapa
kejadian GBS juga didapatkan setelah vaksinasi (Herskovitz dkk, 2010).
Insiden GBS mencapai 1,2-1,9 kasus per 100.000 di Eropa, 0,6-4 kasus per
100.000 penduduk di dunia. Laki-laki 1.5 kali lebih rentan dibandingkan wanita. Insiden
meningkat pada usia tua, dijumpai 1kasus per 100.000 pada usia kurang 30 tahun, menjadi
sekitar 4 kasus per 100.000 pada mereka di atas 75 tahun (Suzuki, 2013).
Kejadiannya bersifat akut, dengan kelemahan yang simetris dan progresif, dapat
melibatkan nervi kranialis. Keluhan sensoris dijumpai bervariasi. Pasien dengan
kelumpuhan berat kadang hingga memerlukan ventilator di ruang rawat intensif.
Plasmapharesis dan IVIg direkomendasikan untuk terapi GBS (Strait dan Medcalf, 2012).
Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP)
CIDP adalah neuropati perifer yang diduga akibat autoimun, bersifat progresif
lambat atau relaps remisi, dengan manifestasi klinis bervariasi. CIDP dapat terjadi pada
semua umur, namun paling sering mengenai laki-laki usia lanjut. Penyakit ini cenderung
bersifat progresif lambat pada usia lanjut dan relaps remisi bila mengenai usia lebih muda.
Prevalensi CIDP mencapai 1,24 kasus per 100.000 di Inggris; 1,61 kasus per 100.000
di Jepang; 3.58 kasus per 100 000 in Piemonte, Italia; dan 7.7 kasus per 100 000 di Vest-
Agder, Norwegia. Prevalensi spesifik umur mencapai 6.7 per 100 000 pada usia 7-79 tahun.
Dalam sebuah penelitian retrospektif neuropati dengan disabilitas pada usia lanjut
didapatkan 32% kasus akibat CIDP (Suzuki, 2013).
CIDP merupakan polineuropati demyelinisasi yang non-length-dependent yang
berkembang secara kronis dalam beberapa bulan. Dapat bersifat progresif maupun relaps
remisi. Pemeriksaan elektrodiagnostik terlihat bahwa CIDP bersifat asymmetrical
demyelinating process. Analisis LCS menunjukkan peningkatan kadar protein (England dan
Asbury, 2004). Imunomodulasi dengan IVIg, steroid, imunosupresif dan plasma exchange
digunakan dalam terapi CIDP, yang mendukung mekanisme autoimun yang mendasari
penyakit ini (Suzuki, 2013).

Neuropati Diabetes
Merupakan penyebab neuropati paling sering di negara berkembang (England dan
Asbury, 2004). Kejadian neuropati diabetes meningkat dengan durasi menderita DM dan
buruknya kontrol gula darah. Kejadian neuropati DM dapat mencapai 26,4% dari seluruh
penderita DM tipe 2, menimbulkan gangguan aktifitas harian seperti mengerjakan tugas
rumah tangga,berjalan yang lambat, gangguan keseimbangan dan jatuh (Herskovitz, 2010).
Pola yang paling sering dijumpai adalah distal symmetrical sensory polyneuropathy
dengan gangguan otonom, sering bersifat progresif atau kadang stabil dalam periode waktu
yang lama. Beberapa pola neuropati perifer lainnya meliputi symmetrical sensory-motor
polyneuropathy, truncal radiculopathy, plexopathy dan proximal motor neuropathy.
Kelumpuhan okulomotor, tersering N. III dan N. VI dilaporkan pada 1% pasien DM,
biasanya pada pasien dengan durasi sakit yang lama dan usia tua. Penyembuhan yang
komplit dan spontan terjadi dalam beberapa minggu (Suzuki, 2013; Herskovitz, 2010).
Dalam jumlah kecil, pasien DM usia > 50 tahun dapat mengalami proximal
neuropathy extremitas bawah yang ditandai nyeri dan gangguan sensoris dengan kelemahan
dan atrofi unilateral atau bilateral otot-otot proximal. Penurunan berat badan seing terjadi
pada kondisi ini. Neuropati jenis ini dihubungkan dengan vaskulopati inflamasi pada biopsy
saraf. Disfungsi otonom dapat terjadi pada pasien DM dan mengenai system kardiovaskular,
gastrointestinal, urogenital dan fungsi sudomotor (.Herskovitz, 2010; Strait dan Medcalf,
2012).

Neuropati Vaskulitis Primer dan Sekunder

Vaskulitis adalah proses inflamasi pembuluh darah baik primer maupun sekender
akibat berbagai kondisi yang menimbulkan neuropati perifer. Vaskulitis primer terjadi pada
necrotizing vasculitis, di mana gejala neuropati terjadi bersamaan dengan gangguan pada
multi system. Vaskulitis sekunder terjadi akibat infeksi ataupun keganasan , di mana
imenginduksi kerusakan saraf akibat iskemik, selain lesi saraf yang diinduksi oleh penyakit
dasar itu sendiri. Infeksi hepatitis C, HIV dan cytomegalovirus dapat menyebabkan
vaskulitis neuropati. Inflamasi saraf dan vasculitis juga terjadi pada DM dengan proximal
diabetic neuropathy (Suzuki, 2013).
Neuropati vaskulitis bersifat akut atau subakut dengan pola mononeuritis
multipleks, dapat progresif lambat pada orang tua. Pemeriksaan elektrofisiologi
menunjukkan neuropati aksonal, asymmetrical atau non length dependent. Karena perlu
pengobatan imunosupresan jangka panjang, diagnostis neuropati vaskulitis perlu konfirmasi
biopsi saraf (Suzuki, 2013).

Neuropati pada Chronic kidney disease (CKD)


Uremik polineuropati merupakan manifestasi gangguan neurologi tersering pada
CKD, 60-100% pasien CKD dengan dialisis, bersifat length dependent dengan keluhan awal
parestesia akibat terkenanya serat sensoris tebal bermielin. Pemeriksaan elektrofisiologis
menunjukkan degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental sekender (Suzuki, 2013).
Carpal Tunnel Syndrome juga sering terjadi pada pasien CKD, mencapai 26%
pasien dengan dialisis > 4 tahun. Restless leg syndrome terjadi pada 15-20% (Herskovitz,
2010).

Neuropati akibat defisiensi Vitamin B12


Sekitar 15% lanjut usia di atas 60 tahun mengalami defisiensi vitamin B12
(cobalamin), terbanyak dikaitkan dengan gangguan absopsi akibat gastritis atropik.
Penderita mengeluhkan polineuropati sensoris yang ringan yang responnya baik dengan
pemberian vitamin B12 oral atau parenteral (Herskovitz, 2010).

Neuropati dan Paraproteinemia


Kondisi paraproteinemia dengan atau tanpa diskrasia plasma sel dapat
menyebabkan neuropati kronik pada lansia. Monoclonal gammopathy of undetermined
significance (MGUS) lebih sering terjadi pada lansia. Monoclonal gammopathy dijumpai
1% pada usia >50 tahun, 3% pada usia >70 tahun. Ternyata 10% pasien neuropati perifer
idiopatik dijumpai monoclonal gammopathy, sehingga semua pasien dengan distal
symmetrical neuropathy demyelinisasi progresif lambat harus diperiksa elektroforesis
protein serum dan imunoelektroforesis (Suzuki, 2013).

Neuropati perifer dan malignansi


Multiple myeloma merupakan keganasan hematologi, 1% dari seluruh keganasan,
10% dari seluruh keganasan hematologi. Keganasan ini terutama mengenai lanjut usia,
keluhan neuropati perifer dapat terjadi akibat deposit amiloid maupun neurotoksisitas agen
terapi (Strait dan Medcalf, 2012).
Neuropati perifer dapat menjadi bentuk paraneoplastik sindrom. Brachial plexopathy
sering terjadi pada pasien dengan kanker payudara dan paru.; lumbosacral plexopathy sering
pada keganasan kolorektal, ginekologi dan limpoma. Paresis nervi kranialis juga dapat
merupakan metastase proses karsinoma atau limpoma (England dan Asbury, 2014).

Neuropati perifer drug-induced


Bahan toksik yang mungkin berperan dapat berasal dari bahan kimia industri,
lingkungan maupun obat-obatan. Obat anti neoplasma paling sering menjadi penyebab drug
induced neuropathy pada lansi, seperti vincristine, cisplatin dan suramin (Suzuki, 2013).

Ringkasan
Neuropati perifer sering terjadi pada lanjut usia, dapat karena kerusakan akson, myelin atau
keduanya. Risiko jatuh dan disabilitas akibat nyeri dan terbatasnya aktifitas fisik sering
dialami lansia denga neuropati perifer yang dapat menurunkan kualitas hidup mereka.
Diperlukan tatalaksana multidisiplin dalam tatalaksana neropati perifer pada lansia.

DAFTAR PUSTAKA

England, J.D., dan Asbury, A.K. 2004. Peripheral neuropathy, Lancet; 363: 2151–61.

Herskovitz, S., Scelsa, S., Schaumburg, H. 2010. Peripheral Neuropathies in Clinical


Practice. London Oxford University Press.. P24-31.

Mustari, A.S., dkk. Statistik Penduduk Lanjut Usia. Badan Pusat Statistik, Jakarta ,
2015.p.21.

Suzuki, M., 2013. Handbook of Clinical Neurology, Vol. 115 (3rd series); Peripheral
Neuropathy in Elderly. Elsevier B.V.p.803-813.

Strait, S. dan Medcalf, P., 2012. Peripheral Neuropathy in Older People. London :Midlife
and Beyond gmjournal, p 47-52.

Anda mungkin juga menyukai