ZULFITRI
SUPERVISOR
Dr.dr. Hasmawati Basir,Sp.S
1
Identitas
Nama : T. SP
Tanggal Lahir : 15-5-1952
Umur : 66 tahun
Alamat : Makassar
No RM : 831139
Tanggal masuk RS : 25-1-2018
Tanggal Keluar RS : 14-2-2018
Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri kepala
Anamnesis terpimpin :
Nyeri kepala dialami sejak 1 bulan yang lalu, nyeri hilang timbul nyeri diseluruh
kepala. Nyeri memberat 1 minggu terakhir.Nyeri kepala tidak menjalar ke tengkuk, nyeri
terasa tertusuk-tusuk. Pusing ada jika bangun dari posisi tidur. Mual (-) muntah (-) demam(-),
trauma(+)kepala terbentur dipintu 2 bulan yang lalu. Lemah badan sebelah kiri baru dialami 1
bulan yang lalu secara tiba-tiba saat lagi beraktifitas. Saat itu pasien tetap sadar tidak ada
mual dan muntah dan langsung di bawa ke Rumah sakit Luwu Timur dan dirawat 10 hari.
Riwayat Hipertensi ada pasien tidak berobat teratur. Riwayat Diabetes Melitus (-), Kolesterol
(-), Stroke (-) Penyakit jantung (-),Riwayat minum obat pengencer darah tidak ada.
Status Generalis:
• Kesan : sakit sedang dan gizi cukup
• Tekanan darah : 120/80 mmHg
• Nadi : 82 x/menit, regular kuat angkat
• Pernapasan : 20 x/menit
• Suhu : 36.60C
• Nyeri : NPRS 5-6
Status Neurologis:
• GCS : E4M6V5
• Fungsi kortikal luhur : Normal
• Rangsang Meningen: Kaku kuduk -, Kernig Sign-/-
• Nn. Canialis: pupil bundar isokor diameter 2.5 mm ODS, RCL +/+ menurun, RCTL
+/+,
Nn. Cranialis lain: Parese N.VII sinistra tipe sentral, nistagmus (-)
2
Tes jari hidung : dsimteri (-)
• Motorik:
P: K: T: RF : RP :
N ↓ 5 4 N ↑ N ↑ - +
N ↓ 5 4 N ↑ N ↑ - -
• Sensorik : normal
• Otonom : BAB: belum hari ini ; BAK: lancar
Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis : Cephalgia kronik + Hemiparese sinistra
Diagnosis topis : Hemisfer cerebri dextra
Diagnosis etiologis : 1. Suspek cedera otak traumatik
2. Suspekstroke iskemik
3. Suspek perdarahan subdural
Pemeriksaan Penunjang :
Hasil Pemeriksaan :
3
– Tampak lesi isodens (35 HU) bentuk bikonveks pada regio frontotemporoparietal
dextra yang menyebabkan midline shift ke sinistra
– Sulci dan gyri obliterasi pada hemisfer dextra dengan ruang subarachnoid menyempit.
Sulci dan gyrus lainnya prominent
– Sistem ventrikel yang terscan dalam batas normal
– Kedua bulbus oculi dan struktur retrobulber yang terscan dalam batas normal
– Tulang-tulang yang terscan intak
Kesan : Perdarahan epidural kronik regio frontotemporo parietal dextra disertai herniasi
Subfalcine .
4
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
Hematologi
Koagulasi
PT 11.2 10-14 detik
INR 10.3 --
APTT 23.5 22.0 – 30.0 detik
Kimia Darah
Diabetes
GDS 105 140 mg/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 43 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 1.1 L(< 1,3), P(< 1,1) mg/dl
Fungsi Hati
SGOT 30 < 38 U/L
SGPT 30 < 41 U/L
Albumin 3.5 – 5.0
Elektrolit
Natrium 138 136 - 145
Kalium 4.2 3.5 - 5.1
klorida 101 97 – 111
Penatalaksanaan :
Head up 30 derajat
5
7. Rencana Operasi Cito oleh bedah saraf.
Follow Up :
6
Nn.Cranialias lain : Parese NVII sinistra, tipe sentral,
Motorik :
P: K: T: RF : RP :
N ↓ 5 4 N ↑ N ↑ - +
N ↓ 5 4 N ↑ N ↑ - -
7
Motorik : Kekuatan RP
5 4+ - +
4 4 - -
Sensorik : normal
Otonom : normal
Kejang fokal
Hiperurisemia
- +
5 4+
- -
5 4+
Sensorik : normal
8
Otonom : normal
Kejang focal
Hiperurisemia
1. Th / Citicolin 500mg/12jam/oral
2. Ranitidin 150mg/12jam/oral
3. Neurobion 1ampul/24jam/oral
4. Allupurinol 100mg/12jam/oral
5. Phenytoin 100mg/12jam/oral
Rencana rawat jalan, kontrol poli saraf.
Diagnosis Akhir
Diskusi :
Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi pada otak
yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal.Cedera kepala dapat diakibatkan oleh
trauma mekanik pada kepala baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial secara
sementara maupun permanen.(1)
Hematoma Subdural merupakan akumulasi darah pada ruangan subdural, yaitu ruang
di antara duramater dan arachnoid, yang merupakan perdarahan akibat robeknya vena
jembatan (bridging vein). Hematoma subdural umumnya disebabkan oleh trauma, yaitu
adanya proses akselarasi dan deselarasi kepala dengan atau tanpa benturan langsung.
Hematoma subdural umumnya seringkali dialami oleh pasien lanjut usia karena umumnya
telah terjadi atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya kapasitas otak untuk bergerak di
dalam rongga otak. (1–3).
9
Berdasarkan waktu perkembangan lesi hingga memberikan gejala klinis, hematoma
subdural dibagi menjadi 3 (15)
1. Akut, gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada gambaran CT Scan,
terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit. Kerapatannya bisa menjadi > 50-60
HU. Jika penderita anemis berat atau terdapat cairan serebrospinal yang
mengencerkan darah di subdural, gambaran tersebut bisa isodens atau bahkan
hipodens.
2. Subakut, gejala timbul antara hari ke-4 sampai hari ke-20. Pada titik ini (bisanya 10-
14 hari) kerapatan akan turun menjadi 35-40 HU dan menjadi isodens.
3. Kronis, jika gejala timbul setelah 3 minggu. Sering timbul pada usia lanjut, dimana
terdapat atrofi otak sehingga jarak permukaan korteks dan sinus vena melebar dan
rentan terhadap goncangan. Kadang-kadang benturan ringan pada kepala sudah dapat
menimbulkan hematom subdural kronis. Gambaran CT scan menjadi hipodens dan
bisa mencapai 0HU dan menjadi isodens dengan cairan likuor serebrospinalis. SDH
kronis dapat terus berkembang karena terjadinya perdarahan ulang (rebleeding) dan
tekanan osmotik yang lebih tinggi dalam cairan SDH kronis sebagai akibat dari darah
yang lisis, akan menarik cairan kedalam SDH. Pendarahan ulang tersebut cenderung
tidak akan berhenti karena tingginya kadar fibrinolitik dalam cairan SDH. Hal-hal
akan menyebabkan SDH tersebut akan berkembang. Kadang-kadang kompensasi otak
yang atrofi cukup baik sehingga hanya memberikan gejala sakit kepala.
Pasien ini kami diagnosa sebagai hematoma subdural kronik karena dari anamnesa
keluhan terjadi 5 minggu setelah trauma. Hematoma subdural kronik kebanyakan terjadi pada
usia di atas 50 tahun. Biasanya muncul lebih dari 3 minggu setelah trauma, walaupun
traumanya mungkin tidak berarti (trauma ringan).(4)
10
Gambar 1. Struktur disekitar menings (5)
Saat terjadinya trauma, terjadi perdarahan dalam jumlah yang sedikit di ruang
subdural. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
bridging veins karena tarikan ketika terjadi penggeseran rotatorik pada otak. Lalu, selama
beberapa minggu, perdarahan ini membentuk membran di dalam dan luar hematom, yang
rentan terjadi perdarahan sehingga hematoma subdural menjadi semakin besar. Terjadi
tekanan osmotik yang tinggi di dalam hematoma subdural, sehingga adanya gradien osmotik
yang menyebabkan cairan serebrospinal masuk ke dalam hematoma tersebut dan
membuatnya semakin besar.(1,2,6,7)
Keluhan bisa timbul langsung setelah hematoma subdural terjadi atau jauh setelah
mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan latent interval dan bisa
berlangsung berminggu – minggu, berbulan – bulan bahkan adakalanya juga bisa lebih dari
dua tahun. Namun demikian, latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita sama
sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita hematoma
subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pusing. Tetapi apabila disamping itu, gejala –
gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itulah
terhitung mula tibanya manifestasi hematoma subdural. Gejala hematoma subdural kronik
dapat berupa perubahan status mental, disfungsi neurologis fokal, peningkatan tekanan
intrakranial, dan kejang fokal. Pasien dapat mengalami perubahan tingkat kesadaran yang
fluktuatif, tetapi bukan merupakan gejala utama.(1,4,5)
11
Terdapat beberapa perubahan struktural, fisiologis, dan biokimia terjadi pada otak
setelah mengalami trauma kepala. Trauma kepala membentuk kerusakan otak yang
berpotensi epileptogenik melalui sejumlah mekanisme yang berbeda yang belum semua dapat
dijelaskan. Mekanisme yang dapat memprovokasi terjadinya kejang post trauma masih tidak
dapat dimengerti dengan baik tetapi diduga bangkitan kejang bisa mengikuti terjadinya
disrupsi dari hubungan inhibisi kortikal dan subkortikal karena efek cedera. (8–10)
Adanya kerusakan otak yang memprovokasi terjadinya bangkitan dapat dievaluasi
dengan CT Scan Kepala / MRI kepala. Adanya kondisi matabolik yang bisa mencetuskan
bangkitan, dievaluasi dengan pemeriksaan laboratorium.(8–10)
CT scan kepala serta MRI pada hamatoma subdural yaitu:
a. CT Scan kepala
Perdarahan subdural akut : Gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit (crescent
shaped) yang homogen, dengan densitas > 50-60 HU
Perdarahan subdural subakut : Pada fase ini terjadi degradasi protein dan bekuan
darah sehingga densitas menurun yaitu 35-40 HU yang disebut isodens
Perdarahan subdural kronik : gambaran densitas menjadi hipodens.
b. MRI kepala
Perdarahan subdural akut : T1 gambaran iso sampai hipointens, T2 hipointens dan
Flair hiperintens
Perdarahan subdural subakut : T1, T2 dan Flair gambaran hiperintens
Perdarahan subdural kronik : T1 dan T2 hipointens dan Flair hiperintens
12
Tatalaksana pasien dengan cedera kepala : (6,8,12–14,16)
1. Penanganan awal
Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal
ataugunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi tekanan intrakranial (TIK)
dan meningkatkan drainase vena.
2. Jenis cairan yang diberikan
Nacl 0,9 % merupakan rekomendasi utama untuk resusitasi cairan pada pasien cedera
kepala. Cairan ini memiliki osmolaritas 308 mosm/l karena itu bersifat isotonis.
Osmolaritas ini penting untuk mencegah terjadinya edema serebri akibat pemberian
cairan.
3. Mengatasi peningkatan TIK
a. Mannitol merupakam diuretika osmotika yang bekerja dengan cara memindahkan
cairan ke kompartemen vascular, meningkatkan volume sirkulasi, serta mengurangi
viskositas darah. Mannitol banyak digunakan sebagai obat pilihan untuk mengatasi
tekanan tinggi intracranial. Mannitol merupakan diuretika osmotika utama yang
digunakan untuk mengurangi edema serebri. Mannitol menurunkan tekanan
intracranial dengan cara memindahkan cairan dari intraseluler ke intravaaskuler
karena mannitol menaikkan gradient osmotic antara otak dan darah, sehingga akan
berakibat :
Mengurangi edema serebral
Memperbaiki aspek rheology/kekakuan darah dengan cara mengencerkan
darah
Meningkatkan serebral blood flow, serta oksigenasi otak yang
menyebabkan vasokonstriksi yang berujung pada penurunan tekanan
intracranial
Mannitol diberikan pada kasus edema sitotoksik seperti yang banyak terjadi pada
cedera kepala. Dosis mannitol 0,25-1 gram/kgbb/kali pemberian selama 10-20
menit dan dapat diulang tiap 4-6 jam.
b. NaCl hipertonik 3 %
Merupakan larutan garam yang memiliki osmolaritas 1.026 mOsm/l dengan
kandungan natrium 513 mEq/L dan klorida 513 mEq/L. larutan Nacl hipertonik
mungkin lebih efektif dalam menurunkan TIK dan mempunyai efek yang lebih lama
13
dari mannitol, mempunyai efek osmotik pada otak dan akan menurunkan TIK, juga
menurunkan CSS, tetapi memiliki efek hipernatremia. Sebagai tambahan, Nacl
hipertonik memberikan proteksi sawar darah otak dan menguntungkan untuk
melawan respon inflamasi cedera otak.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid pada cedera kepala tidak dianjurkan. Penggunaan
metilprednisolon dosis tinggi pada cedera kepala dapat meningkatkan mortalitas.
4. Kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early symptomatic
seizure dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late symptomatic seizure.
Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada satu minggu pertama pasca trauma.
Alternatif obat yang efektif adalah fenitoin dan levetiracetam. Kriteria pasien resiko
tinggi kejang pasca trauma adalah :
- GCS≤ 10
- Immediate seizure
- Kontusio kortikal
- Fraktur linier
- Penetrating head injury
- Fraktur depresi
- Alkoholik kronis
- Post traumatic amnesia > 30 menit
- Epidural, subdural atau intraserebral hematom
- Defisit neurologis fokal
- Usia ≥ 65 tahun atau ≤ 15 tahun
Dosis dan cara pemberian ; pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk
menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal, dimulai dengan dosis loading segera
setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgbb dalam 100 cc Nacl 0,9 %
dengan kecepatan infus maksimum 50 mg/menit. Dosis rumatan dapat ditingkatkan
hingga 10 mg/kgbb untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml. Pengobatan
dengan levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis 500 mg setiap 12 jam
selama 7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading.
5. Neuroproteksi
14
Tujuan utama neuroproteksi pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah dan
mengurangi cedera sekunder, serta pada proses pemulihan dari cedera.
6. Kontrol nyeri
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani dengan baik. Pada
pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar prostaglandin (PG) dimana PG berperan
dalam proses rasa nyeri. Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti ketorolac,
metamizole dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa
PG melalui blokade enzim cyclooxygenase (COX).
7. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada hematoma subdural kronik adalah :
- Hematoma subdural yang luas (>40 cc/>5 mm) dengan GCS >6, fungsi batang
otak masih baik.
- Hematoma subdural yang tipis tetapi disertai dengan penurunan kesadaran.
- Hematoma subdural dengan edema serebri / kontusio serebri disertai adanya
pergeseran garis tengah (midline shift) dengan fungsi batang otak masih baik.
15
Berikut ini merupakan prediksi probabilitas persentasi mortalitas pada pasien
Traumatic Brain Injury berdasarkan temuan pada CT Scan Kepala
Pada pasien ini terapi berpusat pada tatalaksana peningkatan intrakranial. Tatalaksana
tekanan intrakranial (TIK) adalah dengan resusitasi cairan intravena, elevasi kepala
30º,pemberian osmoterapi, hiperventilasi dan tindakan bedah dekompresi. Usaha awal untuk
fokus menangani peningkatan TIK sangat beralasan, karena peningkatan TIK yang berat
(1)
berhubungan dengan herniasi dan iskemik. Beberapa terapi medikamentosa yang dapat
menurunkan TIK adalah osmoterapi, misalnya mannitol 20% telah diberikan .(1)
Pada pasien ini, pada saat masuk RSWS ada cephalgia dan kelemahan ekstremitas
dan ditemukan dengan hasil CT scan didapatkan midline shift kekiri dan adanya herniasi
subfalcine, sehingga segera dari bagian divisi bedah saraf akan dilakukan tindakan operatif.
Dan setelah dilakukan tindakan drainase eksternal terlihat secara bertahap dan signifikan
keluhan berkurang dan kekuatan ekstremitas membaik.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1st ed. Vol. 1. Jakarta: Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Uiniversitas
Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo; 2017. 383-400 p.
3. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016.
4. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. 14th ed. Jakarta: Dian Rakyat; 2009.
5. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier; 2012.
6. Ramli Y, Lastri D, Prawirohardjo P. Neurotrauma. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
7. Ropper MA, Klein JP, Samuels AH. Adams and Victor Principal of Neurology. 10th ed.
Mc Graw Hil Education; 2014.
9. Sabo, RA, Hanigan, WC, Aldag, JC. Chronic Subdural Hematomas and Seizures : The
Role of Prophylactic Anticonvulsive Medication. Elsevier. 2014;579–82.
11. Ullman JS, Raksin PB. Atlas of Emergency Neurosurgery. Thieme Stuttgart; 2015. 37 p.
12. Huang KT, Linda W, Abd-El-Barr M, Yan SC. The Neurocritical and Neurosurgical Care
of Subdural Hematomas. Springer Sci Media N Y. 2016;294–307.
13. Abecassis I, Kim LJ. Craniotomy for Treatment of Chronic Subdural Hematoma.
Elsevier. 2017;28:229–37.
14. Roh D, Reznik M, Claassen J. Chronic Subdural Medical Management. Elsevier Inc.
2017;28:211–217.
17
18