Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT: GANGGUAN NEUROLOGI AKIBAT INFEKSI HIV

OLEH:
Amirullah Abdi C111 13 067
Teresia Avilla Nipa C111 13 079
M. Jordha Heryndra C111 13 325

PEMBIMBING:
dr. Susilo

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Berikut nama di bawah ini menyatakan bahwa:

NAMA : AMIRULLAH ABDI


M. JORDHA HERYNDRA
TERESIA AVILLA NIPA

JUDUL : GANGGUAN NEUROLOGI AKIBAT INFEKSI HIV

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Mengertahui

Residen Pembimbing

dr. Susilo

Supervisor

Dr. dr. Susi Aulina, Sp. S (K)


BAB I
PENDAHULUAN

HIV (Human Immodificiency Virus) adalah jenis retrovirus RNA yang


menyerang reseptor CD4 yang berada di permukaan limfosit. Infeksi virus ini
menyebabkan penekanan pada CD4 melalui beberapa mekanisme yang berujung
kepada kelelahan respons sel limfosit T dan penurunan daya tubuh yang progresif.
Sejarah sebelum terapi terapi Antiretroviral Aktif (ART). Pada awal epidemi HIV/
AIDS, konsekuensi buruk infeksi HIV-1 pada sistem saraf pusat dan perifer dijelaskan
(Snider dkk, 1983). Mereka dianggap karena imunosupresi yang parah, dan ensefalitis
dianggap terutama disebabkan oleh infeksi sitomegalovirus bersamaan (CMV). Pada
tahun 1986, Navia dkk. (1986a, 1986b) pertama kali menciptakan istilah "demensia
AIDS (ADC)" dan secara formal menggambarkannya, mendokumentasikan definisi
motorik (termasuk ataksia, kelemahan kaki, tremor, dan kehilangan koordinasi
motorik yang baik), bersamaan dengan gangguan perilaku (termasuk apatis,
penarikan, dan, lebih jarang, psikosis). Jalannya penyakit ini terus berkembang pada
kebanyakan pasien, dengan beberapa menunjukkan akselerasi mendadak dan
minoritas (20%) menunjukkan kursus yang berlarut-larut dan lamban. Karya
seminalini tidak hanya menggambarkan manifestasi penyakit ini, namun juga
menetapkan fokus konseptual untuk memahami patofisiologinya. Kurang dari 10%
otak secara histologis normal, dengan kelainan ditemukan terutama pada materi abu-
abu subkortikal dan dalam materi putih, dengan relatif hemat korteks serebral.1
Disamping itu, infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dapat
menyerang sistem saraf, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Pada system
saraf pusat dapat mempengaruhi bagian-bagian meliputi berbagai derajat gangguan
neurokognitif, mielopati vakuolar, namun tidak terbatas pada gangguan tersebut
diatas. Sedangkan sebagian PN (perifer neuropati) diakibatkan kerusakan pada sumbu
serabut saraf (akson) yang mengirimkan stimulus pada otak. Kadang kala, PN
disebabkan kerusakan pada selubung serabut saraf (mielin) dan ini mempengaruhi
rangsang nyeri yang dikirim ke otak.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.2
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan
pada beberapa kasus bisa sampai nol) Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia,
termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri
dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai
subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih
ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.3

II. EPIDEMIOLOGI
Di Asia Selatan-Timur, diperkirakan 3.5 juta orang yang terkena HIV/AIDS
pada tahun 2009. Tiap tahun, diperkirakan 220.000 orang yang baru terkena infeksi
HIV dan terdapat kematian 230.000 orang yang telah terkena infeksi HIV.
Dilaporkan, antara 5 negara, Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian
besar penduduknya terserang penyakit HIV, dan masih tetap meningkat. Oleh karena
itu, di Indonesia masalah AIDS cukup mendapat perhatian, mengingat Indonesia ada
negara terbuka, sehingga kemungkinan masuknya AIDS cukup besar dan sulit
dihindari. Hubungan HIV dan penyakit motor neuron pertama dilaporkan pada tahun
1985, 4 tahun setelah awal gambaran pada AIDS.Dua dekade berikutnya, terdapat
kurang lebih tambahan 22 kasus yang telah dilaporkan tentang hubungan penyakit
motor neuron dengan infeksi HIV.2

Gambar 1. Data epidemiologi kasus HIV/AIDS di beberapa negara Asia2

Didapatkan 665 penderita HIV/AIDS dan diambil 67 penderita HIV/AIDS


dengan penyakit saraf sebagai sampel. Sebanyak 39 orang (58,20%) menderita
toksoplasmosis otak, 6 orang (9%) menderita ensefalitis CMV, 5 orang (7,50%)
menderita meningitis TB, 5 orang (7,50%) menderita HIV ensefalopati dan 3 orang
(4,50%) menderita stroke nonhemoragik. Pasien yang terkena meningo ensefalitis dan
cephalgia masing-masing hanya 2 orang (2,90%) dan yang menderita meningitis
skriptokokal, edema otak, mati batang otak, dan atrofi serebri masing-masinghanya 1
orang (1,50%). Dari 67 penderita terdapat 38 penderita (56,71%) yang di periksa
CD4. Hasil dari pemeriksaan CD4 menunjukkan bahwa 65,8% memilikikadar CD4 <
50 sel/µl. Sisanya 18,4% untuk pasien dengan kadar CD4 50-100sel/µl dan 15,8%
untuk pasien dengan kadar CD4 > 100 sel/µl. Keluhan utamayang sering di rasakan
pasien adalah 68,66% nyeri kepala (46 pasien); 25,37% penurunan kesadaran (17
pasien); dan 5,97% kelemahan anggota gerak (4 pasien).4

III. ETIOLOGI
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV). Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV. Human Immunodeficiency Virus adalah
sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert,
tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus
ini terutama sel LymfositT, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun
demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat
dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara morfologis
HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop).
Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid)
Enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis prosein.1
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virussensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan
dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV
hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati di luar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.1

IV.PATOFISIOLOGI
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit T-
helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk
zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV
mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas
bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA
agar dapat bergabung dengan DNA sel target.1
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus.
Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan
menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat
gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV
dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubas) adalah 6 bulan sampai lebih
dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkomakaposi.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel saraf, menyebabkan
kerusakan neurologis.1

Gambar 2. Patofisiologi infeksi virus HIV1


Virus tampaknya tidak menyerang sel saraf secara langsung tetapi
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang diakibatkannya dapat
merusak otak dan saraf tulang belakang dan menyebabkan berbagai gejala, contoh
kebingungan dan pelupa, perubahan perilaku, sakit kepala berat, kelemahan yang
berkepanjangan, mati rasa pada lengan dan kaki, dan stroke. Kerusakan motor
kognitif atau kerusakan saraf perifer juga umum. Penelitian menunjukkan bahwa
infeksi HIV secara bermakna dapat mengubah struktur otak tertentu yang terlibat
dalam proses belajar dan pengelolaan informasi. Komplikasi sistem saraf lain yang
muncul akibat penyakit atau penggunaan obat untuk mengobatinya termasuk nyeri,
kejang, ruam, masalah saraf tulang belakang, kurang koordinasi, sulit atau nyeri saat
menelan, cemas berlebihan, depresi, demam, kehilangan penglihatan, kelainan pola
berjalan, kerusakan jaringan otak dan koma. Gejala ini mungkin ringan pada stadium
awal AIDS tetapi dapat berkembang menjadi berat. Di AS, komplikasi saraf terlihat
pada lebih dari 40% pasien AIDS dewasa. Komplikasi ini dapat muncul pada segala
usia tetapi cenderung berkembang secara lebih cepat pada anak-anak. Komplikasi
sistem kekebalan dapat termasuk penundaan pengembangan, kemunduran pada
perkembangan penting yang pernah dicapai, lesi pada otak, nyeri saraf, ukuran
tengkorak di bawah normal, pertumbuhan yang lambat, masalah mata, dan infeksi
bakteri yang kambuh.4
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut:
 Infeksi virus (2-3 minggu)
 Sindrome retroviral akut (2-3 minggu)
 Gejala menghilang + serokonversi
 Infeksi kronis HIV asimptomatik (rata-rata 8 tahun, di negara berkembang
lebih pendek)
 Infeksi HIV/AIDS simptomatik (rata-rata 1,3 tahun)
 Kematian
Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada 50-70% penderita
muncul dalam bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like illness dengan demam,
nyeri kepala, mialgia, malaise, lethargi, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan bintik
makulopapular. Infeksi akut ditandai dengan viremia, dijumpai angka replikasi virus
yang tinggi, mudahnya isolasi virus dari limfosit darah perifer dan level serum antigen
virus yang tinggi.1
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu
sindrome atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang
berat, dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV.

Kriteria diagnosis presumtif untuk indikator AIDS1


a. Kandidiasis esophagus: nyeri retrosternal saat menelan bercak putih di atas
dasar kemerahan.
b. Retinitis citomegalo virus
c. Mikobakteriosis
d. Sarkoma Kaposi: bercak merah atau ungu pada kulit atau selaput mukosa.
e. Pneumonia pnemosistisis karini: sesak nafas/batuk non produktif dalam 3
bulan terakhir.
f. Ensefalitis Toksoplasmosis.

V. Kelainan Neurologi Pada Infeksi HIV


Penyakit saraf sering terjadi pada seseorang yang terinfeksi HIV, sebanyak 31-
60%. Penelitian di Jakarta mendapatkan hasil bahwa 90% penderita HIV/AIDS
mengalami kelainan pada sistem sarafnya.4
Kegagalan fungsi tubuh menyebabkan kerentanan seluruh sistem organ,
termasuk sistem saraf sentral, perifer dan otot. Keterlibatan sistem saraf dapat sebagai
akibat infeksi primer oleh virus atau infeksi oportunistik, efek imunosupresif atau
keduanya.1
Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat
dikelompokkan menjadi:2
a. Infeksi HIV Primer
Komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV dengan
perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri. Harus diingat
bahwa lesi SSP pada AIDS dapat disebabkan proses neoplastik. Limfoma SSP
primer ditemukan sekitar 3 % dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik juga
bisa menyebar pada mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke
otak pernah dilaporkan. Contoh lainnya adalah AIDS Dementia dan neuropati
perifer.
b. Infeksi Oportunistik SSP
Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi
konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
 Patogen viral
 Ensefalitis sitomegalovirus
 Leukoensefalopati tmultifokal progresif
 Patogen non-viral
 Ensefalitis toksoplasmas
 Meningitis kriptokokus
HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti
organ targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf. HIV melewati sawar
darah otak melalui aksis makrofag-monosit. Mekanisme yang memungkinkan
mencakup transport intraseluler melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang
terinfeksi, penempatan virus bebas pada leptomeningens, atau virus bebas setelah
replikasi dalam pleksus khoroideus atau epithelium vaskular.2
Seperti halnya penyakit infeksi yang lainnya, tuberkulosis pada penyakit AIDS
juga infeksius ada individu sehat. Gejala klinisnya bervariasi tergantung pada tahap
penyakit HIV-nya. Pada stadium awal, dimana relatif ada kekebalan dalam sel (cell
mediated immunity), maka penyakit tuberkulosisnya akan menunjukkan gambaran
penyakit primer klasik seperti pada orang dewasa yakni dengan adanya infiltrat di
lobus atas dan adanya kavitasi; dimana tes tuberkulin biasanya akan positif. Bila
penyakit HIV-nya melanjut maka cell mediated immunity akan rusak disertai gejala
non spesifik, yaitu demam, turunnya berat badan dan fatigue (kelelahan), dengan atau
tanpa adanya gejala batuk.2

VI. MANIFESTASI KLINIS


Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV:8
Keadaan Umum
 Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar
 Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5oC) yang lebih dari
satu bulan
 Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
 Limfadenopati meluas Kulit
 PPE dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi
pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV Infeksi
 Infeksi jamur
 Kandidiasis oral
 Dermatitis seboroik
 Kandidiasis vagina berulang
 Infeksi viral
 Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom)
 Herpes genital (berulang)
 Moluskum kontagiosum
 Kondiloma
 Gangguan pernafasan
 Batuk lebih dari satu bulan  Pneumonia berulang
 Sesak nafas  Sinusitis kronis atau berulang
 Tuberkulosis
 Gejala neurologis
 Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya)
 Kejang demam
 Menurunnya fungsi kognitif

CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan


sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam
memerangi infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar antara 1400-1500 sel/μL. Pada
penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan menurun dan dapat menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik. Umumnya muncul jika dijumpai keadaan
immunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3).5
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai
akibat dari proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik
dan neoplasma. Dapat dibedakan menjadi:1
 Patogen viral
 Ensefalitis sitomegalovirus
 Leukoensefalopati multifokal progresif
 Patogen non-viral
 Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
Tabel 1. Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV
(secara umum):5
JUMLAH SEL
PATOGEN MANIFESTASI
CD4
S.pneumoniae, H.influenzae Community-Aquired Pneumonia (CAP)
M.tuberculosis TB paru
C.albicans Sariawan, candida vagina
200-500/mcl HSV 1 dan 2 Herpes orolabial, genital, perirectal
Virus Varicela-Zoster Ruam pada saraf
Virus Epstein-Barr Oral hairy leukoplakia
Human Hervesvirus 8 Sarkoma Kaposi
Semua di atas, ditambah:
100-200/mcl P.carinii Pneumonia
C.parvum Diare kronik
Semua di atas, ditambah:
T.gondii Ensefalitis
C.albocans Ensefalitis
C.neoformans Meningitis
H.capsulatum Penyakit diseminata
50-100/mcl Microsporidia Diare kronik
M.tuberculosis TB diseminata/ Ekstrapulmoner
R.equi Pneumonia
HSV 1 dan 2 HSV diseminata
Virus Varicella-Zoster VZV diseminata
Virus Epstein-Barr Limfoma primer SSP
Semua di atas, ditambah:
<50/mcl M.avium complex MAC diseminata
Cytomegalovirus Retinitis, diare, ensefalitis

Kelainan sistem saraf terkait AIDS mungkin secara langsung disebabkan


oleh HIV, oleh kanker dan infeksi oportunistik tertentu (penyakit yang
disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus lain yang tidak akan berdampak pada
orang dengan sistem kekebalan yang sehat), atau efek toksik obat yang dipakai
untuk mengobati gejala. Kelainan saraf lain terkait AIDS yang tidak diketahui
penyebabnya mungkin dipengaruhi oleh virus tetapi tidak sebagi penyebab
langsung. Berikut manifestasi klinik yang ditemukan berdasarkan pembagian
penyakit akibat infeksi oportunistik di sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi:6

A. Sistem Saraf Pusat


1.Toksoplasmosis Cerebral (TC)
Toxoplasma gondii dapat menyebakan infeksi asimtomatis pada 80%
manusia sehat, namun bisa menimbulkan manifestasi klinis mematikan pada orang
dengan HIV-AIDS (ODHA). Perjalanan penyakit toksoplasmosis otak biasanya
berlangsung subakut pada pasien HIV stadium lanjut atau yang memiliki jumlah
sel CD4 < 200 sel/UL. Keluhan dan gejala timbul secara bertahap pada minggu
pertama hingga mingguke-4. Manifestasi utama yang tampak pada penderita AIDS
dengan toksoplasmosis otak adalah demam, sakit kepala, defisit neurologis fokal
dan penurunan kesadaran.1

2.Meningitis TB (MTB)
Meningitis TB adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis
primer yang disebabkan oleh eksudat yang menyumbat akuaduktus, fisura Sylvii,
foramen Magendi, foramen luschka. Meningitis TB disebabkan oleh. Meningitis
TB hampir selalu ada dalam diagnosis banding pasien AIDS karena hampir 50%
pasien AIDS menderita tuberkulosis paru. Manifestasi klinis yang terlihat adalah
hidrosefalus dan edema papil yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial.1

3.Meningitis kriptokokus (MK)


Meningitis kriptokokus terlihat pada sekitar 10% individu dengan
AIDSyang tidak diobati dan pada orang lain dengan sistem kekebalannya sangat
tertekan oleh penyakit atau obat. Hal ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus
neoformans, yang umum ditemukan dalam kotoran kotoran dan burung. Jamur
pertama-tama menyerang paru dan menyebar menutupi otak dan sumsum tulang
belakang, menyebabkan peradangan. Gejala termasuk kelelahan, demam, sakit
kepala, mual, kehilanganmemori, kebingungan, mengantuk, dan muntah. Jika tidak
diobati, pasien dengan meningitis kriptokokus dapat jatuh dalam koma dan
meninggal.1
4. AIDS dementia complex (ADC)
Demensia HIV adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan
kognitif dan motorik yang menyebabkan hambatan menjalankan aktivitas hidup
sehari-hari tetapi hal ini bisa diobati dengan terapi anti-retroviral. Gejala termasuk
ensefalitis (peradangan otak), perubahan perilaku, dan penurunan fungsi kognitif
secara bertahap, termasuk kesulitan berkonsentrasi, ingatan dan perhatian atau
ensefalopati terkait HIV, muncul terutama pada orang dengan infeksi HIV lebih
lanjut. Gejala termasuk ensefalitis (peradangan otak), perubahan perilaku, dan
penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan berkonsentrasi,
ingatan dan perhatian. Orang dengan ADC juga menunjukkan pengembangan
fungsi motor yang melambat dan kehilangan ketangkasan serta koordinasi. Apabila
tidak diobati, ADC dapat mematikan.1

5. Limfoma susunan saraf pusat (SSP)


Adalah tumor ganas yang mulai di otak atau akibat kanker yang menyebar
dari bagian tubuh lain. Limfoma SSP hampir selalu dikaitkan dengan virus
Epstein-Barr (jenis virus herpes yang umum pada manusia). Gejala termasuk sakit
kepala, kejang, masalah penglihatan, pusing, gangguan bicara, paralisis dan
penurunan mental. Pasien AIDS dapat mengembangkan satu atau lebih limfoma
SSP. Prognosis adalah kurang baik karena kekebalan yang semakin rusak.1

6. Infeksi cytomegalovirus (CMV)


Dapat muncul bersamaan dengan infeksi lain. Gejala ensepalitis CMV
termasuk lemas pada lengan dan kaki, masalah pendengaran dan keseimbangan,
tingkat mental yang berubah, demensia, neuropati perifer, koma dan penyakit
retina yang dapat mengakibatkan kebutaan. Infeksi CMV pada urat saraf tulang
belakang dan saraf dapat mengakibatkan lemahnya tungkai bagian bawah dan
beberapa paralisis, nyeri bagian bawah yang berat dan kehilangan fungsi kandung
kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan pneumonia dan penyakit lambung-
usus.1

7. Infeksi virus herpes


Sering terlihat pada pasien AIDS. Virus herpes zoster yang menyebabkan
cacar, dapat menginfeksi otak dan mengakibatkan ensepalitis dan mielitis
(peradangan saraf tulang belakang). Virus ini umumnya menghasilkan ruam, yang
melepuh dan sangat nyeri di kulit akibat saraf yang terinfeksi. Pada orang yang
terpajan dengan herpes zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-
tahun hingga muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang
AIDS karena sistem kekebalannya melemah. Tanda sinanaga termasuk bentol yang
menyakitkan (serupa dengan cacar), gatal, kesemutan (menggelitik) dan nyeri pada
saraf.
Pasien AIDS mungkin menderita berbagai bentuk neuropati, atau nyeri
saraf, masing-masing sangat terkait dengan penyakit kerusakan kekebalan stadium
tertentu. Neuropati perifer menggambarkan kerusakan pada saraf perifer, jaringan
komunikasi yang luas yang mengantar informasi dari otak dan saraf tulang
belakang ke setiap bagian tubuh. Saraf perifer juga mengirim informasi sensorik
kembali ke otak dan saraf tulang belakang. HIV merusak serat saraf yang
membantu melakukan sinyal dan dapat menyebabkan beberapa bentuk neropati.
Distal sensory polyneuropathy menyebabkan mati rasa atau perih yang ringan
hingga sangat nyeri atau rasa kesemutan yang biasanya mulai di kaki dan telapak
kaki. Sensasi ini terutama kuat pada malam hari dan dapat menjalar ke tangan.
Orang yang terdampak memiliki kepekaan yang meningkat terhadap nyeri,
sentuhan atau rangsangan lain. Pada awal biasanya muncul pada stadium infeksi
HIV lebih lanjut dan dapat berdampak pada kebanyakan pasien stadium HIV
lanjut.1

8. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)


Terutama berdampak pada orang dengan penekanan sistem kekebalan
(termasuk hampir 5%pasien AIDS). PML disebabkan oleh virus JC, yang bergerak
menuju otak, menulari berbagai tempat dan merusak sel yang membuat mielin –
lemak pelindung yang menutupi banyak sel saraf dan otak. Gejala termasuk
berbagai tipe penurunan kejiwaan, kehilangan penglihatan, gangguan berbicara,
ataksia (ketidakmampuan untuk mengatur gerakan), kelumpuhan, lesi otak dan
terakhir koma. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan ingatan dan
kognitif, dan mungkin muncul kejang. PML berkembang terus-menerus dan
kematian biasanya terjadi dalam enam bulan setelah gejala awal.1

9.Kelainan psikologis dan neuropsikiatri


Dapat muncul dalam fase infeksi HIV dan AIDS yang berbeda, dan dapat
berupa bentuk yang beragam dan rumit. Beberapa penyakit misalnya demensia
kompleks terkait AIDS yang secara langsung disebabkan oleh infeksi HIV pada
otak, sementara kondisi lain mungkin dipicu oleh obat yang dipakai untuk
melawan infeksi. Pasien mungkin mengalami kegelisahan, depresi, keingingan
bunuh diri yang kuat, paranoid, demensia, delirium, kerusakan kognitif,
kebingungan, halusinasi, perilaku yang tidak normal, malaise, dan mania akut.1

B. Sistem Saraf Tepi


Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah parastesia pada
ujung jari kaki dan dysesthesia pada telapak kaki. Rasa terbakar pada telapak
kaki juga sering ditemukan.
Neuropati perifer menggambarkan kerusakan pada saraf perifer,
jaringan komunikasi yang luas yang mengantar informasi dari otak dan saraf
tulang belakang ke setiap bagian tubuh. Saraf perifer juga mengirim informasi
sensorik kembali ke otak dan saraf tulang belakang. HIV merusak serat saraf
yang membantu melakukan sinyal dan dapat menyebabkan beberapa bentuk
neropati. Distal sensory polyneuropathy menyebabkan mati rasa atau perih
yang ringan hingga sangat nyeri atau rasa kesemutan yang biasanya mulai di
kaki dan telapak kaki. Sensasi ini terutama kuat pada malam hari dan dapat
menjalar ke tangan. Orang yang terdampak memiliki kepekaan yang
meningkat terhadap nyeri, sentuhan atau rangsangan lain. Pada awal biasanya
muncul pada stadium infeksi HIV lebih lanjut dan dapat berdampak pada
kebanyakan pasien stadium HIV lanjut.1

VII. DIAGNOSIS
Berdasarkan hasil rekam medis pasien dan pemerikaan fisik secara
umum, dokter akan melakukan pemeriksaan saraf secara menyeluruh untuk
menilai berbagai fungsi saraf: kemampuan motor dan sensor, fungsi saraf,
pendengaran dan berbicara, penglihatan, koordinasi dan keseimbangan, status
kejiwaan, perubahan perilaku atau suasana hati. Dokter mungkin meminta tes
laboratorium dan satu atau lebih tindakan di bawah ini untuk
membantudiagnosis kerumitan neurologi terkait AIDS.1
Computed tomography (juga disebut CT scan) memakai sinar X dan
komputer untuk menghasilkan gambar tulang dan jaringan, termasuk
peradangan, kista dan tumor otak tertentu, kerusakan otak karena cedera
kepala, dan kelainan lain. CT scan menyediakan hasil yang lebih rinci
dibandingkan rontgen saja.1
Magnetic resonance imaging (MRI) memakai komputer, gelombang
radio dan bidang magnetik yang kuat untuk menghasilkan gambar tiga dimensi
secara rinci atau “potongan” struktur tubuh dua dimensi, termasuk jaringan,
organ, tulang dan saraf. Tes ini tidak memakai radiasi ionisasi (serupa dengan
rontgen) dan memberi dokter tampilan jaringan dekat tulang yang lebih baik. 1
Functional MRI (fMRI) memakai unsur magnetik darah untuk
menentukan wilayah otak yang aktif dan untuk mencatat berapa lama wilayah
tersebut tetap aktif. Tes ini dapat menilai kerusakan otak dari cedera kepala
atau kelainan degeneratif contohnya penyakit Alzheimer, dan dapat
menentukan serta memantau kelainan neurologi lain, termasuk demensia
kompleks terkait AIDS. 1
Magnetic resonance spectroscopy (MRS) memakai medan magnet
yang kuat untuk meneliti komposisi biokimia dan konsentrasi molekul
berbasis hidrogen yang beberapa di antaranya sangat khusus terhadap sel saraf
di berbagai wilayah otak. MRS dipakai sebagai percobaan untuk menentukan
lesi otak pada pasien AIDS. 1
Elektromiografi atau EMG, dipakai untuk mendiagnosis kerusakan
saraf dan otot (misalnya neuropati dan kerusakan serat saraf yang disebabkan
oleh HIV) dan penyakit saraf tulang belakang. Tes ini mencatat kegiatan otot
secara spontan dan kegiatan otot yang digerakkan oleh saraf perifer. 1
Biopsi adalah pengangkatan dan pemeriksaan jaringan tubuh. Biopsi
otak, yang melibatkan pengangkatan sebagian kecil otak atau tumor dengan
bedah, dipakai untuk menentukan kelainan dalam tengkorak dan tipe tumor.
Berbeda dengan kebanyakan biopsi lain, biopsi otak memerlukan rawat inap.
Biopsi otot atau saraf dapat membantu mendiagnosis masalah saraf otot,
sementara biopsi otak dapat membantu mendiagnosis tumor, peradangan dan
kelainan lain. 1
Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum
memulai ART apabila sumber daya memungkinkan:8
 Darah lengkap  Urinalisa
 Jumlah CD4  HbsAg
 Western Blot  Anti-HCV (untuk ODHA IDU
 Elisa atau dengan riwayat IDU)
 SGOT / SGPT  Profil lipid serum
 Kreatinin Serum  Gula darah
Analisis cairan otak dapat mendeteksi segala perdarahan atau
hemoragi otak, infeksi otak atau tulang belakang (misalnya neurosifilis), dan
penumpukan cairan yang berbahaya. Contoh cairan diambil dengan jarum
suntik dengan bius lokal dan diteliti untuk mendeteksi kelainan. 1

Contoh:
A. Toksoplasmosis otak
Pada neuroimaging dapat dijumpai lesi hipodense pada CT scan dan lesi Hipointense
pada MRI. 1

B. Meningitis TB.
1. Laboratorium rutin pada meningitis tuberculosis jarang yang khas, bisaditemui
leukosit meningkat, normal atau rendah dan Mdiff. count bergeser kekiri
kadang-kadang ditemukan hiponatremia akibat SIADH.
2. Pemeriksaan CSS Terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi 40-75%
pada anak dan50% pada dewasa. Warna jernih atau xantokhrom terdapat
peningkatan protein dan 150-200mg/dl dan penurunan glukosa pada cairan
serebrospinal.
3. Terdapat penurunan klorida, ditemukan pleiositosis, jumlahsel meningkat
biasanya tidak melebihi 300 cel/mm3. Differential count PMN perdominan dan
limpositik.
4. Mikrobiologi ditemukan Mycobacterium tuberculosis pada kultur cairan
serebrospinal merupakan baku emas tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya
negatif
5. Polymerase chain reaction (PCR) spesifitas tinggi tetapi sensivitasmoderat.
6. Pada pemeriksaan foto rontgen toraks ditemukan tuberculosis aktif pada paru
dan dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90% padaanak-anak.
7. Hasil tes PDD tuberculin negative pada 10-15% anak-anak dan 50% pada
dewasa.
8. CT scan dan MRI. Pemeriksaan CT scan dengan kontras ditemukan penebalan
meningendi daerah basal, infark, hidrosefalus, lesi granulomatosa.
PemeriksaanMRI lebih sensitive dari CT scan, tetapi spesifitas juga masih
terbatas.

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Tabel 2. Diagnosis Banding berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang penderita HIV
PATOGEN IMAGING PEM.PENUNJANG LAIN
Ensefalitis Lesi massa multipel/ single  IgG serum terhadap toksoplasmosis
toksoplasmosis, pada CT/MRI, biasanya pada (+)
CD4<100 basal ganglia, ring
enhancement pada CT
Meningitis Nonspesifik LCS : tekanan tinggi, kadar glucosa
criptokokus, rendah,  protein, antigen kriptokokus
CD4<100 (+) kultur (+)
Lainnya : antigen serum biasanya
(+)
Meningitis Nonspesifik (lesi massa jarang) LCS: protein, kadar glucosa rendah,
Tuberkulosis pleositosis, kultur acid-fast bacteria
(+)
Sifilis Nonspesifik LCS: protein dan WBC,VDRL(+)
Ensefalitis HSV edema, focal haemorrhage LCS: limfositik, pleositosis, protein,
biasanya pada lobus medial PCR HSV
temporal/inferior frontal
Ensefalopati Normal pada awalnya, LCS: Nonspesifik
HIV, CD4<200 atrofi difus, patchy/diffuse Lainnya: beta-2 mikroglobulin LCS,
white matter changes on T2- HIV RNA tinggi pada semua kasus
weighted MRI pd stadium
lanjut
PML, CD4<100 Single/multiple focal/diffuse LCS: PCR untuk virus JC DNA
white matter lesions 
tanpa ring enhancement
Limfoma primer Single/multiple lesions pd Biopsi otak/LCS sitologi (+),
SSP, CD4<100 CT/MRI, LCS PCR EBV (+)
ring enhancementpd CT

IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip dalam pemberian ARV adalah:8
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam
dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV.
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen
logistik yang baik.

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:8

Gambar 3. Daftar obat ARV yang ada di Indonesia

Panduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah: 2 NRTI + 1
NNRTI. Pada saat ini sudah banyak obat yang bias digunakan untuk mengobati
infeksi HIV:1
1. Golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitor meliputi AZT(zidovudin), ddI
(didanosin), ddC (zalsibatin), d4T (stavudin), 3TC (lamivudin), abakavir.
2. Golongan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor meliputi nevirapin,
delavirdin, efavirenz.
3. Golongan protease inhibitor, saquinavir, ritonavir, indinavir, nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga
memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi
terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling
efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasiobat bisa memperlambat
timbulnya AIDS pada penderita HIV positif danmemperpanjang harapan hidup.
Penderita dengan kadar virus yang tinggi dalamdarah harus segera diobati walaupun
kadar CD4+ nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun.7
Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan
gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzimhati, bersifat
reversible dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat
(kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batuginjal. Ritonavir
dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnyakadar obat lain dalam
darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme
tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan
distribusi lemak tubuh (protease paunch).7

Gambar 4. Tatalaksana Gejala dan tanda neurologis:8


Keterangan
a. Penyebab nyeri kepala antara lain meningitis kriptokokal, meningitis TB,
toksoplasmosis serebral, meningitis kronis HIV, meningitis bakterial dan
limfoma, Penyebab sakit kepala yang tidak terkait dengan infeksi HIV termasuk
migrain, sifilis, ketegangan, sinusitis, gangguan refraksi, penyakit gigi, anemia
dan hipertensi. Lain penyakit menular seperti malaria, demam tifoid, demam
dengue dan riketsia juga dapat menyebabkan sakit kepala.
b. Pemeriksaan Neurologis
 Bukti iritasi meningeal (fotofobia, kaku kuduk) atau tekanan intrakranial
meningkat (tekanan darah tinggi dan denyut nadi lambat dalam keadaan
demam).
 Perubahan mental.
 Defisit neurologis fokal, termasuk parese saraf kranial, gangguan gerak,
ataksia, afasia dan kejang.
c. Toksoplasmosis (untuk terapi merujuk pada Tabel Diagnosis Klinis dan
Tatalaksana Infeksi Oportunistik)
d. Meningitis kriptokokal (untuk terapi merujuk pada Tabel Diagnosis Klinis dan
Tatalaksana Infeksi Oportunistik)
e. Meningitis TB: OAT dengan paduan 2SHREZ/7RH Meningitis bakterial: Injeksi
Ceftriaxone 2-4 g sehari intravena.

X. PROGNOSIS
Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan, beberapa
orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bila tidak terinfeksi. Di sisi
lainseseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala selama lebih dari 10
tahun. Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai resiko 1-2% untuk menjadiAIDS
pada beberapa tahun pertama. Resiko ini meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya.1
Kombinasi beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah
sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh. Teknik
perhitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain
reaction (PCR) dan branched deoxyribonucleid acid (bDNA) test digunakan untuk
memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis penderita. Kadar virus
ini akan bervariasi mulai kurang dari beberapa ratus sampai lebih dari sejuta virus
RNA/mL plasma. Dengan perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-
metode pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui,
penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai bertahun-
tahun setelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS sudah
bisa ditangani walaupun belum bisa disembuhkan.7
BAB III
KESIMPULAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan


banyak negara di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi
oleh World Health Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai
2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6%
dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah
anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui
apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.
Setidaknya 31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini
mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS
ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh
hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai meningitis
atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan
biologis berjangkauan luas.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti
penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah
terkena penyakit keganasan.
Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang
ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune
restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah
jumlah limfosit.
DAFTAR PUSAKA

1. Goodkin K, Shapshak P, Verma A. The Spectrum of Neuro-AIDS Disorders:


Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment. American Society for
Microbiology. 2009.
2. World Health Organization. Regional Health Sector Strategy on HIV, 2011–
2015. India. 2011.
3. McArthur J, Smith B. Neurologic Complications and Considerations in HIV-
Infected Persons. NIH Public Access. 2013.
4. Jayawardenaa K AS, Silva K T, Jayawardena C K, Samarakoon S.
Behavioural risk factors of men associated with transmission of sexually
transmitted infections (STIs) in Sri Lanka. WHO South-East Asia Journal of
Public Health 2012;1(1):69-75
5. Siregar F A. Aids dan Upaya Penanggulangannya di Indonesia. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara: 2004.
6. Yayasan Spiritia. Neuropati Perifer. Jakarta. 7 Februari 2014.
7. Febriani N. Pola Penyakit Saraf pada Penderita HIV/AIDS di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Semarang. 2010.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.
Kementerian Kesehatan RI. 2012.

Anda mungkin juga menyukai