Anda di halaman 1dari 64

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Februari 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN TRAUMATIC BRAIN INJURY


ET CAUSA SUBDURAL HEMATOM

OLEH:
Reski Ambarwati
105505405118

PEMBIMBING:
dr. Dian Wirdiyana, M.Kes, Sp.An

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Reski Ambarwati


NIM : 105505405118
Judul Laporan Kasus : Manajemen Anestesi Pada Pasien Traumatic Brain
Injury et causa Subdural Hematom

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2020


Pembimbing,

(dr. Dian Wirdiyana, M.Kes, Sp.An)


KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda
Besar Nabi Muhammad SAW.
Laporan kasus berjudul “ Manajemen Anestesi Pada Pasien Traumatic
Brain Injury et causa Subdural Hematom” ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan
Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi. Secara khusus penulis sampaikan
rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr. Dian Wirdiyana, M.Kes,
Sp.An. Selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun
dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses
penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat
kepada semua orang.

Makassar, Februari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan kegawatdaruratan yang harus ditangani secara


tepat dan cermat. Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya
memiliki tujuan untuk sedini mungkin memperbaiki keadaan umum. Penanganan
yang dilakukan saat terjadi cedera kepala adalah menjaga jalan nafas penderita,
mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah
terjadinya komplikasi. Setiap keadaan yang tidak normal dan membahayakan
harus segera diberikan tindakan resusitasi pada saat itu juga.1

Setiap tahunnya, cedera kepala menyumbang angka kematian dan cacat


permanen yang cukup besar. Bahkan di Amerika Serikat, cedera kepala mencapai
angka sepertiga kematian yang berhubungan dengan trauma. Dari 1,7 juta kasus
cedera kepala, 52.000 mengalami kematian, 275.000 dirawat di rumah sakit, 1,365
juta diobati dan dipulangkan dari ruang rawat darurat.1

Kraniotomi adalah suatu metode operasi membuka tengkorak (tempurung


kepala) untuk memperbaiki fungsi otak. Kraniotomi dilakukan pada hampir
seluruh tindakan untuk mengangkat tumor otak, perdarahan otak meliputi
subdural hematoma, epidural hematoma, subarachnoid hematoma, dan
intracerebral hematoma. Kraniotomi dilakukan atas indikasi penurunan kesadaran
tiba-tiba yang disertai riwayat sebelumnya, adanya tanda-tanda herniasi atau
lateralisasi , fraktur basis cranii, dll.1

Pada umumnya pada operasi seperti kraniotomi digunakan anestesi umum


atau General Anesthesia. Tatalaksana operasi kraniotomi adalah menggunakan
anestesi inhalasi, anestesi intravena, dan muscle relaxant. Pertimbangan utama
dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-obatan anestesi, adalah
pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodilatasi
serebral mungkin berakibat peninggian TIK, pemakaiannya sedapat mungkin
harus dicegah.2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. PREOPERATIF/PREANESTESI
I. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 14 Tahun
Berat Badan : 45 kg
Agama : Islam
Alamat : Bonto-bonto Kel. Polewali Kec. Gantarang Kab.
Bulukumba
Diagnosis : Cedera kepala berat ec SDH (Subdural Hematom)
II. Anamnesis
Keluhan utama : Penurunan kesadaran
a) Riwayat penyakit sekarang :
Pasien dibawa keluarga ke RS Pelamonia Makassar atas
rujukan dari RS Bulukumba dengan Cedera Kepala Berat
setelah mengalami kecelakaan lalu lintas yakni terjatuh dari
motor. Kecelakaan terjadi 14 jam sebelum pasien datang ke RS
Pelamonia Makassar SMRS. Menurut keterangan keluarga
yang ada ditempat kejadian, pasien langsung tidak sadarkan
diri.
Ketika pasien dirujuk di RS Pelamonia Makassar, pasien
datang dengan kondisi sudah tersedasi, terpasang ETT, kepala
terbebat dengan jahitan di regio occipital, hematom di regio
orbita dextra, edema dan hematom di regio coli dextra,serta
BAK perkateter 300cc.
b) Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat hipertensi (-)
3) Riwayat penyakit jantung (-)
4) Riwayat penyakit diabetes mellitus (-)
5) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
6) Riwayat operasi (-)
III. Pemeriksaan fisik
GCS : 2x (E1M1Vx)
Vital Sign : Tekanan darah : 130/90 mmHg, Nadi : 98x/menit,
Suhu : 36,9 oC, Pernapasan : 14x/menit
a) B1 (Breath) :
Airway : O2 via ETT on ventilator mode P-SMIV bebas,
gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-), leher
pendek (-), gerak leher terbatas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis
(-), frekuensi pernapasan : 14x/menit, suara pernapasan :
vesikuler (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),
wheezing (-/-), skor Mallampati ; 2, massa (-) pada leher, gigi
palsu (-), saturasi O2 : 99-100%.
b) B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas bawah
(-/-), tekanan darah : 130/90 mmHg, denyut nadi : 98x/menit,
regular, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c) B3 (Brain) :
Kesadaran : GCS 2X (E1M1Vx), Pupil : bulat isokor Ø
2,5mm/2,5mm, reflex cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak
langsung +/+, defisit neurologi (+).
d) B4 (Bladder) :
Produksi urin perkateter berwarna kekuningan.
e) B5 (Bowel) :
Abdomen : distensi (-), peristaltik (+) kesan normal, massa (-),
jejas (-). Nyeri tekan (-), produksi NGT jernih.
f) B6 Back & Bone :
Scoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ektremitas atas (-/-
), edema ekstremitas bawah (-/-), fraktur (-/-).
IV. Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Hematologi (04 Februari 2020)
ANALISA GAS HASIL NILAI SATUAN
DARAH (Arteri) RUJUKAN
Ph 7.222* 7.35 – 7.45
pCO2 57.4* 35 – 45 mmHg
pO2 205* 80 – 105 mmHg
HCO3 23.9 22 – 26 mmol/L
TCO2 26 23 -27 mmol/L
BE -4* (-2) – (+3)
%SO2 100 94 – 100 %
Laktat 3.04* 0.36 – 1.25 mmol/L
Pemeriksaan Hasil Lab Kimia Darah (03 Februari 2020)

ELEKTROLIT HASIL NILAI SATUAN


RUJUKAN
Na 134* 136 - 145 mmol/L
K 5.6* 3.5 – 5.1 mmol/L
Cl 105 98 - 106 mmol/L

V. Diagnosis
Cedera otak berat ec SDH (Subdural Hematom)
VI. Penatalaksanaan
Rencana operasi : Craniotomy
Di Ruangan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan
tindakan anestesi (+),
 Puasa : 8 jam preoperasi
 IVFD NaCI 0,9% 1000cc/24 jam
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
 Siap darah ( PRC 4bag, FFP 4bag, TC 1bag)
 Dorong ke OK 30 menit sebelum Operasi
VII. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis Preoperatif : Cedera otak berat ec SDH
(Subdural Hematom)
Status Operatif : PS ASA III, dengan kesadaran
menurun (GCS 2x E1M1Vx)
Jenis Operasi : Craniotomy
Jenis Anestesi : General Anestesi (GETA)
B. PREINDUKSI
Pemeriksaan fisik preoperatif
a) B1 (Breath) :
Airway : O2 via ETT on ventilator mode P-SMIV bebas,
gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-), leher pendek
(-), gerak leher terbatas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi
pernapasan : 14x/menit, suara pernapasan : vesikuler (+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), saturasi O2 : 99-
100%.
b) B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas bawah (-/-),
tekanan darah : 130/80 mmHg, denyut nadi : 105x/menit, regular, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c) B3 (Brain) :
Kesadaran : GCS 2X (E1M1Vx), Pupil : bulat isokor Ø 2,5mm/2,5mm,
reflex cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+, defisit
neurologi (+).
d) B4 (Bladder) :
Produksi urin perkateter berwarna kekuningan.
e) B5 (Bowel) :
Abdomen : distensi (-), peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-
). Nyeri tekan (-), produksi NGT jernih.
f) B6 Back & Bone :
Scoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ektremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-), fraktur (-/-).
Persiapan pasien preoperatif :
IVFD NaCI 0,9% 1000cc/24 jam
Persiapan dikamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS).
 Obat-obat anestesi yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya : adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plester, dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anastesi.
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel komponen STATICS

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
I Introducer
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

C. INTRA OPERATIF
1. Diagnosis pra bedah
Cedera otak berat ec SDH (Subdural Hematom)
2. Diagnosis pasca bedah
Post op craniotomy
3. Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi
b. Lama anestesi : 11.00 – 11.20 (20 menit)
c. Lama operasi : 11.20 – 01.20 (180 menit)
d. Anestesiologi : dr. Dian Wirdiyana, Sp.An, M.Kes
e. Ahli Bedah : dr. Rizha Anshori NST, Sp.BS
f. Posisi : Prone
g. Infus : 2 line dengan connecta di tangan kiri dan di
kaki kiri
h. Teknik anastesi : General Endo Tracheal Anesthesia (GETA)
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11)Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglotis
12)Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13)Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
14)Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen
dengan nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10
ml/kgBB
15)Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16)Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri
kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan2
i. Premedikasi : Midazolam 3 mg
Fentanyl 9 ml
j. Induksi : Propofol 10 mg/mL
k. Relaksan : Tramus 30 mg/3 ml
l. Emergency : Ephedrine HCl 50 mg/mL
Lidocain HCl 2 ml
m. Medikasi tambahan : Ceftriaxone 1gr/12jam/iv
n. Maintanance : O2 via ETT on ventilator
o. Respirasi : Pernapasan spontan
p. Posisi : Prone
q. Cairan durante operasi : NaCI 0,9% 1000 ml + RL 500 ml
D. POST OPERATIF
Pemantauan di Recovery Room (RR) :
 Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik
 Memasang O2 via ETT on ventilator
 Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum
diperbolehkan sesuai instruksi sejawat Bedah
 IVFD NaCI 0,9% 1000cc/24jam
 Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, memberikan injeksi
ephedrin 10 mg/iv
 Bila denyut jantung < 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 1
mg
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera Otak
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa
benturan langsung pada kepala. Pada suatu benturan dapat dibedakan
beberapa macam kekuatan yakni kompresi, akselerasi, dan deselerasi. Sulit
dipastikan kekuatan mana yang paling berperan.1
Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau
tanpa fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar
otak, hematom epidural, subdural atau intraserebral. Cedera difus dapat
menyebabkan gangguan fungsional saja yakni gegar otak atau cedera
struktural yang difus.1
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan ke seluruh arah.
Gelombang ini mengubah tekanan jaringan, dan bila tekanan cukup besar,
akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut
“coup” atau di tempat yang berseberangan dengan benturan (contra coup).1
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan
glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa,
ia menerima 20% dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80% dari
glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansia kelabu.3
Cedera otak yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera
primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk
sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat
terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi
paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena
itu pada cedera otak harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas
yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi
tubuh cukup.
Gangguan metabolisme jaringan otak akan menyebabkan odem yang dapat
mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum atau
herniasi di bawah falks serebrum.1
Jika terjadi hernia jaringan otak yang bersangkutan akan
mengalami iskemia sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan
yang menimbulkan kematian.3
Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat
cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran
penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak,
dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja.
Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan, bila
derajat koma Glasgow total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila
3-8. Lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik.3

a) Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitiel dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.1
Cedera kepala terbuka berarti kulit mengalami laserasi sampai pada
merusak tulang tengkorak, sedangkan pada cedera kepala tertutup dapat
disamakan dengan gegar otak ringan dengan disertai edema serebral.1
Kup dan kontra kup menggambarkan lokasi kerusakan internal
otak sebagai akibat dari proses benturan. Kontra kup adalah kerusakan
yang terjadi berlawanan dengan daerah benturan. Ini merupakan akibat
dari daya atau kekuatan benturan yang berjalan sepanjang jaringan otak
dan karenanya berat ringannya tergantung dari kekuatan benturan
tersebut.3
Berdasarkan GCS ( Glasgow Coma Scale ), cedera kepala digolongkan
ke dalam :
 Cedera kepala ringan :
Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang
dari 30 menit tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada
penyerta seperti fraktur tengkorak, kontosio atau hematum (sekitar
55 %).
 Cedera kepala sedang :
Jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30
menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi
ringan (bingung).
 Cedera kepala berat :
Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga
meliputi kontosio serebral, laserasi atau adanya hematum atau
edema.
b) Manifestasi cedera4

1) Fraktur Tengkorak

Susunan tulang tengkorak dan lapisan kulit kepala membantu


menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekuatan yang
ditransmisikan kedalam jaringan otak. Ada dua bentuk umum dari fraktur
yaitu fraktur garis (linear) umum terjadi disebabkan oleh pemberian
kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area tengkorak tertentu dan
fraktur tengkorak seperti bagian tulang frontal / temporal.4
2) Gegar otak
Merupakan sindrom yang melibatkan bentuk cedera otak ringan yang
menyebar. Gangguan neurologis sementara dan dapat pulih tanpa ada
kehilangan kesadaran. Mungkin mengalami disorientasi ringan, pusing,
gangguan memori sementara, kurang konsentrasi, mungkin juga
mengalami amnesia retrogate.5
3) kontosio
Menggambarkan area otak yang mengalami memar. Memar umumnya
pada permukaan yang disertai dengan hemoragik kecil-kecil pada
substansi otak. Gejala bervariasi tergantug lokasi dan derajat. Dapat
menimbulkan edema serebral 2-3 hari post trauma. Akibatnya dapat
menimbulkan peningkatan TIK (tekanan intra kranial) dan meningkatkan
mortalitas (45%).5
4) Hematom Epidural
Perdarahan yang terjadi pada ruang epidural yaitu antara tulang
tengkorak dan lapisan durameter. Ini terjadi karena adanya robekan cabang
kecil arteri meningeal media / meningeal frontal.6

5) Hematom Subdural
Perdarahan yang terjadi pada ruang subdural antara lapisan durameter
dan lapisan arachnoid, terjadi sebagai akibat robekan vena yang ditemukan
pada ruang ini.6
6) Hematom Subarachnoid
Perdarahan yang terjadi pada ruang arachnoid yaitu antara lapisan
arachnoid dengan piameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang
ada di daerah tersebut.6
7) Hematom Intracerebral
Penggumpalan darah 25 ml atau lebih pada parenkim otak.
Penyebabnya seringkali karena adanya infresi fraktur, gerakan akselerasi
dan deselerasi yang tiba-tiba.6
8) Potensi komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah cedera kepala :
 Kejang
 Bocornya cairan serebrospinal
 Hipertermia
 Masalah Mobilisasi
 Infeksi
 Hipovolemik
9) Pemeriksaan diagnostic
Beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain : CT
scan, foto tengkorak, MRI, AGD (Analisa Gas Darah) untuk
mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK. Kadar kimia/elektrolit darah : mengetahui
ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK.6
B. Perdarahan Subdural
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma
kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua)
sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang sering kali berdarah ialah
“bridging veins”, karena tarikan ketika terjadi penggeseran rotatorik pada
otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan
atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi “bridging veins”. Karena perdarahan subdural sering disebabkan
oleh perdarahan vena, maka darah yang berkumpul berjumlah hanya 100
sampai 200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ
bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan
hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang
lagi timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong
subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).6

Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi


atau jauh setelah mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu
dinamakan “latent interval” dan bisa berlangsung berminggu-minggu,
berbulan-bulan bahkan ada kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun
demikian, “latent interval” itu bukannya berarti bahwa si penderita sama
sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya dalam “latent interval” kebanyakan
penderita hematoma subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening,
seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah
mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul gejala-
gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru
pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural.
Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun,
“organic brain syndrome”, hemiparesis ringan,hemihipestesia, adakalanya
epilepsi fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.3
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena
robeknya vena memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa
minggu. Karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain,
maka dibandingkan dengan hematom epidural, prognosisnya lebih jelek.
Hematom subdural dibagi menjadi hematom subdural akut bila gejala
timbul pada hari pertama sampai dengan hari ke tiga, sub akut bila timbul
antara hari ke tiga hingga minggu ke tiga, dan kronik bila timbul sesudah
minggu ke tiga. Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan
dengan hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural
akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak ruang yang
progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau
demensia. Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematom.1
a) Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan
serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi
otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan
subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya
darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena
penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi
itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu
setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang
menunjukkan lokasi gumpalan darah.1
b) Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:6
• Trauma kapitis.
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran
atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih
mudah terjadi bila ruangan subdural lebar akibat dari atrofi otak,
misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangan subdural.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan
perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan
dari tumor intrakranial.
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
c) Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus
venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi
pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana
mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.6
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di
sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula.
Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri
karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.6
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi
cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar,
bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang
kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan
terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala
klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya
menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus
hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh
darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena
pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat
berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.6
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra
kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan
dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra
kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial
yang cukup tinggi.6
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains
intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi
serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat
terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke
bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra
tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa
aliran darah ke thalamus dan ganglia basalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.6
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural
kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari
bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan
protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul
subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah
yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi
ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik
ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.
Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam
pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul
dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas
enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.6
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan
saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang
dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang
biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14
hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran
dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal
tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau
hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel
darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa
lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam
waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan
saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.
Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena
hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara
perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih
belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea.
Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput
otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis
dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang
tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan
meningkatkan volume hematoma. Darah di dalam kapsula akan
membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di
atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan
lesi hipodens.
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap
hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok
tipe, yaitu :
1. Tipe homogen (homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah (seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi
sedangkan pada tipe yang trabekular adalah rendah. Pada
perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam
bentuk homogen, kemudian seringkali berlanjut menjadi bentuk
laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili
oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium
trabekular selama penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan intracranial dari tiap
hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3
tipe yaitu :
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe
cranial base adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity
adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik
berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini
berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca
operatif.
d) Gejala klinis
1) Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik
dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan
trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang
otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.3
2) Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam
waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera.
Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.7
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran
mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang
disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.7
3) Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera
pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan
subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.7
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan
paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan
pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan;
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah.7
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan
lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

e) Kerusakan pada bagian otak tertentu


Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya
akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku
seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya
bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

1) Kerusakan Lobus Frontalis


Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau
mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah
dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh
yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung
kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang
kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang.8
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis
bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus
frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam;
penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.8
2) Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan
kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi
umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa
berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi
dari bagian tubuhnya.8
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini
disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.8
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan
penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di
sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk
yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau
jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan
tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
3) Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan
memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur
emosional.8
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya.8
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-
dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak
suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif
dan kehilangan gairah seksual.8
f) Penatalaksanaan
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada
kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh
terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya
gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi
untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil
keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan
operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk
perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena
dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi
dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai
komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia
lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang
terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali
.Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah
yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan
teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural
3
kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan
kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan
kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan
brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh
adanya massa extra aksial.
1) Indikasi Operasi
• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi,
dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
2) Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan
fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian.9
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada
sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari
pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema,
irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang,
tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang
kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam
hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus
ditiadakan.10
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan
Markam.
3) Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak
membaik dan untuk. menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang
timbul kemudian.
g) Pen-Kes untuk keluarga
Keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan
masalah cedera kepala, diantara yaitu :
• Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi
cidera kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena
itu perlu kontrol dan berobat secara teratur dan lanjut.
• Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama
dirawat dan dirumah nantinya.
• Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien.
• Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana
agar tidak terjadi cidera pada neuromuskuler.
• Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila
saatnya pulang, kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama
kondisi masih belum optimal terhadap dampak dari cidera kepala
pasien dan sering pasien akan mengalami gangguan memori maka
mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan kembali pada
realita pasien.
h) Rehabilitasi
• Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan
seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi,
trombophlebitis, infeksi saluran kencing.
• Goal jangka pendek
1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM,
balans, dan posture untuk mobilitas dan keamanan.
2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner,
fungsi musculoskletal, defisit neurologi.
Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari
komplikasi seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis,
melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini.
Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang
melibatkan lingkungan dirumah. Pada pasien tidak sadar dilakukan
dengan strategi terapi coma management dan program sensory
stimulation. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan
terorganisis : dokter, terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.
Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport
nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.
i) Prognosis
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan
prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan
sembuh total. Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak
menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat
mencapai sekitar 50 %. 11
j) Diagnosis banding
Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs
reactions, gangguan kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid,
Parkinson, hydrocephalus dengan tekanan normal.11
C. Perdarahan Epidural
Akibat trauma kapitis tengkorak bisa retak. Fraktur yang paling
ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul
fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam atau pun fraktur yang merobek
dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).11
Pembuluh darah yang berada di bawah fraktur tulang tengkorak
bisa ikut terluka sehingga menimbulkan perdarahan. Apabila tidak terjadi
fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga karena gaya kompresi yang
timbul akibat dampak. Lebih-lebih jika tidak terdapat fraktur tengkorak,
perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala-gejala. Sesuai dengan
sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan
epidural tanpa fraktur, menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat
meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa keluar dan membentuk
hematom subperiostal (sefalhematom) dan sifat tengkorak bagaikan kotak
tertutup sudah tidak berlaku lagi. Juga tergantung pada arteri atau vena
yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat
atau perlahan-lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri
dengan atau tanpa fraktur linear atau pun stelata, manifestasi neurologik
akan terjadi beberapa jam setelah trauma kapitis. Gejala-gejala yang
timbul akibat perdarahan epidural menyusun sindrom kompresi serebral
traumatik akut. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran yang
menurun secara progresif. Pupil pada sisi perdarahan pertama-tama
sempit, tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap
penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa herniasi tentorial sudah menjadi
kenyataan. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batang otak. Pada tahap
kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparesis atau
serangan epilepsi fokal. Hanya dekompresi bisa menyelamatkan
keadaan.11

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama


arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara duramater dan tulang dipermukaan dalam os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural.
Desakan oleh hematom akan melepaskan duramater lebih lanjut dari
tulang kepala, sehingga hematom bertambah besar. Hematom epidural
tanpa disertai cedera lain, biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media. Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala
atau tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti oleh penurunan
kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor
yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif
akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang
dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Ciri khas pada hematom epidural murni adalah terdapatnya
interval bebas antara saat terjadinya trauma dan tanda pertama yng
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Jika hematom epidural
disertai dengan cedera otak, seperti memar otak, interval bebas tidak akan
terlihat sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur. Diagnosis
didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto
Roentgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom
epidural, bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar.
Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi hematom. Penatalaksanaan
dilakukan segera dengan cara trepanasi dengan tujuan melakukan evakuasi
hematom dan menghentikan sumber perdarahan.11
D. Perdarahan Intraserebral
a) Definisi
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi secara
langsung pada bagian atau substansi otak (Caplan,2009).12
b) Etiologi
1) Usia
Usia merupakan faktor risiko terbanyak daripada
perdarahan intraserebral. Insidensinya meningkat secara dramatis
pada penderita usia lebih daripada 60 tahun (Carhuapoma, 2010).12
2) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling penting dan
merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada perdarahan
intraserebral.Penderita hipertensi yang tidak mendapatkan terapi
lebih berat dibandingkan penderita hipertensi yang mendapatkan
terapi. Diantara faktor risiko perdarahan intraserebral, hipertensi
diperkirakan sebagai faktor risiko perdarahan pada daerah
deephemisfer dan brainstem (Carhuapoma, 2010).12
3) Cerebral Amyloid Angiopati (CAA)
Cerebral Amyloid Angiopati merupakan faktor risiko yang
jarang terjadi dari perdarahan intraserebral, akan tetapi sekarang
menjadi pertimbangan faktor risiko dari perdarahan intraserebral
khususnya perdarahan lobar pada penderita usia lanjut. Gambaran
patologi yang utama adalah deposit protein amiloid pada media
dan adventitia dari arteri leptomeningeal, arteriol, kapiler dan
paling sedikit pada vena. Patogenesis CAA pada perdarahan
intraserebral adalah destruksi pada struktur vaskular yang normal
melalui deposisi amiloid pada media dan adventitia dan rangkaian
formasi aneurisma. Pembuluh darah yang rapuh dan 10
mikroaneurisma menjadi pemicu rupturnya pembuluh darah
(Carhuapoma, 2010).12
4) Aneurisma dan Malformasi Vaskular
Meskipun rupture aneurisma Berry menjadi penyebab
perdarahan subarakhnoid, akan tetapi perdarahan secara langsung
pada parenkimotak tanpa ekspansi ke subarakhnoid dapat
menyebabkan perdarahan intraserebral. Malformasi vaskular yang
berhubungan dengan perdarahan intraserebral termasuk
arterivenousmalformation (AVM), malformasi kavernosus, dural
arteriovenous fistula, malformasi vena dan capillary telengiactesis
(Carhuapoma,2010).12
5) Antikoagualan dan Antitrombolitik berhubungan dengan
Perdarahan Intracerebral
Pada beberapa percobaan, warfarin sebagai terapi atrial
fibrillasi dan infark miokard merupakan penyebab terbanyak
anticoagulant associated intracerebral hemorrhage (AAICH)
(Carhuapoma,2010).12
6) Antiplatelet
Obat antiplatelet kemungkinan dapat meningkatkan risiko
perdarahan intraserebral. Risiko absoluteperdarahan intrakranial
pada penderita usia lanjut yang mengkonsumsi aspirin diperkirakan
sebanyak 0.2 – 0.3% per tahunnya (Carhuapoma, 2010).12
7) Cerebral Microbleeds
Dengan menggunakan MRI Gradient Echountuk
mendeteksi lesi yang kecil, perdarahan asimptomatik pada
parenkimotak (microbleeds).Microbleeds berhubungan dengan
stroke iskemik (khususnya lakunar) dan perdarahan.Microbleeds
sering dijumpai pada perdarahan intraserebral, hal ini terjadi pada
54 – 71% penderita perdarahan intraserebral (Carhuapoma,
2010).12
8) Prior Cerebral Infarction
Kejadian stroke iskemik sebelumnya berhubungan dengan
peningkatan risiko perdarahan intraserebral sebanyak 5 – 22 kali
lipat. Hubungan yang kuat antara stroke iskemik dan perdarahan
intraserebral adalah keduanya memiliki faktor risiko yang sama
yaitu hipertensi (Carhuapoma, 2010).12
9) Hipokolesterolemia
Beberapa penjelasan mengenai hubungan kolesterol rendah
dengan perdarahan intraserebral adalah pengurangan agregasi
platelet, peningkatan fragilitas dan vaskularisasi serebral. Sehingga
dari hasil penemuan ini, muncul teori yang berkembang luas bahwa
penggunan obat penurun kolesterol dapat meningkatkan risiko
perdarahan intraserebral (Carhuapoma, 2010).12
10) Peminum Alkohol Berat
Peminum alkohol yang berat memiliki implikasi terhadap
ekspansi perdarahan, dimana dihubungkan dengan efek samping
dari platelet dan fungsi hati (Carhuapoma,2010).12
11) Pengguna Tembakau
Beberapa studi menyatakan penderita yang baru memulai
merokok memiliki risiko peningkatan kejadian perdarahan
intraserebral dibandingkan perokok lama dan tidak pernah
merokok dihubungan dengan dosis merokok (Carhuapoma,
2010).12
12) Diabetes
Hubungan diabetes dengan perdarahan intraserebral
bervariasi berdasarkan usia dan lokasi perdarahan
(Carhuapoma,2010).12
c) Klasifikasi Perdarahan Intraserebral
1) Perdarahan Intraserebral Primer
Perdarahan yang disebabkan oleh hipertensif kronik yang
menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya
pembuluh darah otak (Misbach,1999).12
2) Perdarahan Intraserebral Sekunder
Perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain
akibat anomali vaskuler konginetal, koagulopati, tumor otak,
vaskulopati non hipertensif (amiloid serebral), vaskulitis, moya –
moya, post stroke iskemik, obat anti koagulan (fibrinolitik atau
simpatomimetik) (Misbach,1999).12
d) Patofisiologi Perdarahan Intraserebral
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter
100 – 400 micrometer mengalami perubahan patologi pada dinding
pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta
timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol – arteriol dari cabang
lentikulostriata, cabang arteriotalamus dan cabang paramedian arteri
vertebrobasilar mengalami perubahan degenerative yang sama.
Kenaikan tekanan darah yang terjadi secara tiba – tiba atau kenaikan
dalam jumlah yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya
pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore hari
(Misbach,1999).Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan
dapat berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan
merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinis.12
Jika perdarahan yang timbul kecil, maka massa darah hanya dapat
merusak dan menyela di antara selaput akson white matter (dissecan
splitting) tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan
diikuti pulihnya fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang
luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri
atau lewat foramen magnum (Misbach,1999).12
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer
otak dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke
batang otak.Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga
kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus dan pons. Selain
kerusakan parenkima otak, akibat volume perdarahan yang relative
banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial dan
menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya
drainase otak. Elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron di
daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi.Jumlah
darah yang keluar menentukan prognosis. Bila volume darah lebih dari
60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan
71% pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan
serebellar dengan volume antara 30 – 60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75% tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di daerah
pons sudah berakibat fatal (Misbach,1999).12
e) Gejala klinis
Gejala klinis dari perdarahan intraserebral adalah kejadian
progresif yang bertahap (dalam waktu menit sampai dengan hari) atau
kejadian yang terjadi secara tiba – tiba dari defisit neurologi fokal
biasanya berhubungan dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial
seperti muntah dan penurunan kesadaran.Kejadian muntah banyak
terjadi pada perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid
dibandingkan dengan stroke iskemik. Sebanyak 33% kasus perdarahan
intraserebral mengeluhkan nyeri kepala dan penderita koma dijumpai
sebanyak 24% kasus dibandingkan dengan stroke iskemik dengan
presentasi 0 – 4% (Carhuapoma, 2010).12
Karakteristik yang utama dari perdarahan intraserebral adalah
perkembangannya yang bertahap pada 63% kasus dan sering
mengalami perburukan dalam waktu 24 jam pertama. Pada tabel 2
dapat dilihat gambaran klinis dari subtipe stroke (Carhuapoma, 2010).
Pada Tabel 3 dapat dilihat gambaran neurologis berdasarkan lokasi
tertentu (Caplan,2009).12
f) Diagnosis
Diagnosis perdarahan intraserebral antara lain berdasarkan gejala
klinis kemudian didukung dengan pemeriksaan darah dan imaging (CT
dan Magnetic Resonance Imaging(MRI) ). Bila terjadi pada fase akut
sulit untuk menemukan penyebab yang mendasari malformasi
vaskular, angiografi biasanya dibutuhkan untuk diagnostik selanjutnya.
Penentuan faktor koagulasi diperlukan pada beberapa penderita
(Carhuapoma,2010).Hasil pemeriksaan CT Scanmembuktikan
reliabledalam mendeteksi perdarahan dengan diameter 1 cm atau lebih.
Pada saat bersamaan juga ditemukan hidrosefalus, tumor,
pembengkakan otak.Magnetic Resonance Imaging(MRI) sangat
bermanfaat dalam memperlihatkan perdarahan brainstem dan sisa
perdarahan Hemosiderin dan pigmen besi. Pada gambar 1 dan gambar
2 dapat dilihat gambaran CT Scan perdarahan intraserebral
(Ropper,2005).12
g) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan perdarahan intraserebral yang
luas dan koma antara lain mempertahankan ventilasi yang adekuat,
dengan mengkontrol hiperventilasi mencapai PCO2 25 – 30 mmHg,
mengawasi peningkatan tekanan intrakranial pada beberapa kasus
dengan melakukan pemberian cairan Mannitol (osmolaritas
dipertahankan 295 – 305 mosmol/L. Pengurangan secara cepat tekanan
darah dengan harapan dapat mengurangi perdarahan pada otak tidak
dianjurkan, setelah ditemukan adanya risiko perfusi serebral pada
kasus peningkatan tekanan intrakranial (Ropper,2005).12
Pada kondisi lain, tekanan darah rata – rata lebih dari 110 mmHg
dapat menimbulkan edema otak dan risiko ekstensi dari penyumbatan.
Diperkirakan pada saat hipertensi akut menggunakan obat beta
blocker(esmolol, labetalol), atau ACE inhibitor dianjurkan. Calcium
channel blocking drugs jarang digunakan dikarenakan laporan efek
samping dari tekanan ntrakranial. Penelitian yang dilakukan oleh
Hayashi menunjukkan tekanan darah yang menurun dengan pemberian
nifedipine setelah perdarahan serebral, akan tekanan intrakranial
meningkat. Diuretik sangat membantu dalam kombinasi dengan obat
antihipertensi lainnya (Ropper,2005).12
Tindakan pembedahan pada hematoma serebellar secara umum
telah diterima sebagai tindakan perdarahan intraserebral dan hal ini
merupakan masalah yang utama dikarenakan proksimalitas massa pada
brainstem dan risiko progresi yang cepat menuju koma dan gagal
nafas. Hidrosefalus yang berasal dari kompresi ventrikel keempat lebih
sering tampak sebagai komplikasi.12
Hematoma serebellar dengan diameter kurang dari 2 cm pada
gambaran klinis penderita menunjukkan penderita sadar kemudian
jarang menunjukkan deteorisasi, biasanya tidak memerlukan tindakan
pembedahan (Ropper,2005).Hematoma dengan diameter 4 cm atau
lebih khususnya berlokasi pada daerah vermis dan beberapa dokter
bedah menganjurkan evakuasi lesi dengan diameter ukuran terserbut
tanpa memperdulikan keadaan klinis penderita. Penentuan untuk
diperlukan tindakan pembedahan berdasarkan status kesadaran
penderita, efek massa yang disebabkan adanya clot yang tampak pada
gambaran CT Scan (terutama derajat kompresi pada sisterna
quadrigeminal) dan tampaknya hidrosefalus. Penderita yang hanya
dengan keadaan mengantuk dan hematoma dengan diameter 2 – 4 cm
merupakan kondisi yang sulit untuk dipertimbangkan tindakan
pembedahan. Bila tingkat kesadaran mengalami fluktuasi dan
obliterasi dari sisterna perimesenchepalic, terutama disertai dengan
hidrosefalus (Ropper,2005).12
Pada saat dilakukan pertimbangan untuk dilakukan tindakan
pembedahan dan terapi lainnya, dapat dibagi menjadi tiga kelompok
antara lain pada perdarahan yang masif, lesi berkembang dengan
sangat cepat yang mana berisiko menimbulkan kematian sebelum
penderita sampai ke rumah sakit, untuk jenis lesi ini sedikit tindakan
yang dapat dilakukan. Sedangkan hematoma yang kecil, dimana terapi
yang dilakukan adalah mengkontrol faktor risiko seperti hipertensi,
untuk mencegah terjadi kekambuhan Pada perdarahan dengan volume
sedang dengan adanya efek massa setelah penderita sampai di rumah
sakit, tindakan pembedahan sangat diperlukan (Caplan,2009).12
E. Peningkatan Tekanan Intrakranial
a) Patofisiologi peningkatan TIK
Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Monroe dan
Kellie pada tahun 1820.Orang dewasa normal menghasilkan sekitar
500 mL cairan serebrospinal (CSF) dalam waktu 24 jam. Setiap saat,
kira-kira150 mL ada didalam ruang intrakranial. Ruang intradural
terdiri dari ruang intraspinal ditambah ruang intrakranial. Total volume
ruang ini pada orang dewasa sekitar 1700 mL, dimana sekitar 8%
adalah cairan serebrospinal, 12% volume darah, dan 80% jaringan otak
dan medulla spinalis. Karena kantung dura tulang belakang tidak selalu
penuh tegang,maka beberapa peningkatan volume ruang intradural
dapat dicapai dengan kompresi terhadap pembuluh darah epidural
tulang belakang. Setelah kantung dural sepenuhnya tegang, apapun
penambahan volume selanjutnya akan meningkatkan salah satu
komponen ruang intrakranial yang harus diimbangi dengan penurunan
volume salahsatu komponen yang lain.13
Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi
jika terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-
satunya bagian yang memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer
capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan
terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi
di atas sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya
peningkatan volume pada kompartemen (seperti pada massa di otak)
akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).13
Nilai normal TIK masih ada perbedaan diantara beberapa penulis,
dan bervariasi sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg masih dianggap
normal untuk bayi, nilai kurang dari 15 mmHg masih dianggap normal
untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan sudah
menetap dalam waktu lebih dari 20 menit dikatakan sebagai hipertensi
intrkranial.13
Tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral
(CPP / Cerebral perfusion pressure). CPP dapat dihitung sebagai
selisih antara rerata tekanan arterial (MAP) dan tekanan intrakranial
(ICP/TIK).
CPP = MAP –ICP atau MAP
Ini dipakai ketika kranium sedang terbuka (saat operasi) dan ICP-
nya nol. Jadi perubahan pada tekanan intrakranial akan mempengaruhi
tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia
otak.
Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan
ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan
memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis
spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun
oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara
tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah
dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka
mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah peningkatan
tekanan intrakranial.13
b) Gejala peningkatan TIK
Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK :
1) Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit
kepala terjadi karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan
duramater akan memberikan gejala yang berat pada pagi hari dan
diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat, bersin.
2) Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.
3) Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung
nervus optikus yang berhubungan dengan rongga subarakhnoid di
otak. Hal ini merupakan indikator klinis yang baik untuk hipertensi
intrakranial.
4) Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat
kesadaran; gelisah, iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi
motorik.
5) Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak,
dan merupakan gejalapermulaan pada lesi supratentorial pada anak
sebanyak 15%. Frekuensi kejang akan meningkat sesuai dengan
pertumbuhan tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya
terlihat pada stadium yang lebih lanjut. Schmidt dan Wilder (1968)
mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang
letaknya dekat korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor
terletak dibagian yanglebih dalam dari himisfer, batang otak dan
difossa posterior.
Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan
dengan penggeseran jaringan otak maka akan terjadi sindroma
herniasi dan tanda-tanda umum Cushing’s triad (hipertensi,
bradikardi, respirasi ireguler) muncul. Pola nafas akan dapat
membantu melokalisasi level cedera.13
Onset terjadinya juga harus diperhatikan seperti onset yang
cepat biasanya karena perdarahan, hidrosefalus akut, atau trauma,
onset yang bertahap karena tumor, hidrosefalus yang sudah lama,
atau abses. Riwayat kanker sebelumnya, berkurangnya berat badan,
merokok, penggunaan obat-obatan, koagulopati, trauma, atau
penyakit iskemik dapat berguna dalam mencari etiologi.13
c) Indikasi pematauan TIK
Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi
bahwa TIK harus dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow
Coma Scale/GCS 3-8 setelah resusitasi) dan hasil CT scan kepala
abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio, pembengkakan,
herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis), TIK juga sebaiknya
dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala
normal jika diikuti dua atau lebih kriteria antara lain usia>40 tahun,
sikap motorik, dan tekanan darah sistolik <90 mmHg.13
Tabel indikasi pemantauan TIK
1 Trauma kepala berat
2 Intraserebral hemoragik
3 Subarachnoid hemoragik
4 Hidrosefalus
5 Stroke
6 Edema serebri
7 Post kraniotomi
8 Ensefalopati

d) Kontraindikasi pemantauan TIK


Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada
beberapa kontraindikasi relatif yaitu :
1) Koagulopati dapat meningkatkan resiko perdarahan pada
pemasangan alat pemantauan TIK. Bila memungkinkan
pemantauan TIK ditunda sampai International Normalized Ratio
(INR), Prothrombin Time (PT) dan PartialThromboplastin Time
(PTT) terkoreksi ( INR <1,4 dan PT <13,5 detik). Pada kasus
emergensi dapat diberikan Fresh Frozen Plasma (FFP) dan vitamin
K.
2) Trombosit < 100.000/mm³
3) Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya berikan
sekantong platelet dan evaluasi fungsi platelet dengan menghitung
waktu perdarahan.
e) Metode pemantauan TIK
Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara
langsung) dan non invasif (tidak langsung). Metode non invasif (secara
tidak langsung) dilakukan pemantauan status klinis, neuroimaging dan
neurosonology (Trancranial Doppler Ultrasonography/TCD).
Sedangkan metode invasif (secara langsung) dapat dilakukan di
beberapa lokasi anatomiyang berbeda yaitu intraventrikular,
intraparenkimal, subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang
umum dipakai yaitu intraventrikular dan intraparenkimal
(microtransducer sensor). Metode subarakhnoid dan epidural sekarang
jarang digunakan karena akurasinya rendah. Pengukuran tekanan LCS
lumbal tidak memberikan estimasi TIK yang cocok dan berbahaya bila
dilakukan pada TIK meningkat. Beberapa metode lain seperti
Tympanic Membrane Displacement/TMD, Optic nerve sheath
diameter/ONSD namun akurasinya sangat rendah.13
Pemantauan TIK secara tidak langsung (non invasif) meliputi
pemantauan beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada
peningkatan TIK yaitu:
1) Tingkat kesadaran (GCS)
2) Pemeriksaan pupil
3) Pemeriksaan motorik okuler(perhatian khusus pada nervus III
dan VI)
4) Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis)
5) Adanya mual atau muntah
6) Keluhan nyeri kepala
7) Tanda vitalsaat itu
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada
peningkatan TIK. Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah
terjadi lebih dari sehari. Tapi sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi
awal, ada atau tidak ada papil edema dapat memberikan informasi
mengenai proses perjalanan penyakit.13
f) Penatalaksanaan umum
Tujuannya adalah menghindari hipoksia (PaO2 < 60
mmHg)dengan mengoptimalkan oksigenasi(Saturasi O2 >94% atau
PaO2 >80 mmHg)dan menghindari hipotensi (tekanan darah sistol ≤
90 mmHg). Beberapa hal yang berperan besar dalam menjaga agar
TIK tidak meninggi antara lain adalah :
1) Mengatur posisi kepala lebih tinggisekitar 30-45º, dengan
tujuan memperbaiki venous return
2) Mengusahakan tekanan darah yang optimal, tekanan darah
yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema serebral,
sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan mengakibatkan
iskemia otak dan akhirnya juga akan menyebabkan edema dan
peningkatan TIK.
3) Mencegah dan mengatasi kejang
4) Menghilangkan rasa cemas, agitasi dan nyeri
5) Menjaga suhu tubuh normal < 37,5ºCKejang, gelisah, nyeri dan
demam akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan akan substrat metabolisme. Di satu sisi terjadi
peningkatan metabolisme serebral, di lain pihak suplai oksigen
dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi kerusakan
jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan
mengakibatkan peninggian TIK.
6) Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit.Hiponatremia akan
menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan
terjadi edema sitotoksik, sedangkan hipernatremia akan
menyebabkan lisisnya sel-sel neuron.
7) Hindari kondisi hiperglikemia
8) Pasang kateter vena sentral untuk memasukkan terapi
hiperosmolar atau vasoaktif jika diperlukan. MAP < 65 mmHg
harus segera dikoreksi.
9) Atasi hipoksia. Kekurangan oksigen akan menyebabkan
terjadinya metabolisme anaerob, sehingga akan terjadi
metabolisme tidak lengkap yang akan menghasilkan asam
laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di otak
akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan
terjadi edema otak dan peningkatan TIK.
10) Pertahankan kondisi normokarbia (PaCO2 35 -40 mmHg)
11) Hindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan
abdominal seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir
pernafasan yang berlebihan.13
g) Penatalaksanaan khusus
1) Mengurangi efek massa. Pada kasus tertentu seperti hematom
epidural, subdural maupun perdarahan intraserebral spontan
maupun traumatik serta tumor maupun abses intrakranial tentunya
akan menyebabkan peninggian TIK dengan segala konsekuensinya.
Sebagian dari kondisi tersebut memerlukan tindakan
pembedahanuntuk mengurangi efek massa.Kraniektomi
dekompresi dapat dilakukan untuk peningkatan yang refrakter
terhadap terapi konservatif dan menunjukkan penurunan TIK
mencapai 70%.
2) Sedasi dan/atau paralisisbila diperlukan, misalnya pada pasien
agitasi, atau terjadinya peningkatan TIK karena manuver tertentu
seperti memindahkan pasien ke meja CT scan. Paralitik dapat
digunakan untuk menurunkan TIK refrakter, tetapi beresiko
terjadinya myopati/neuropati dan dapat mengaburkan kejang.
3) Mengurangi volumecairan serebrospinal
 Mengurangi cairan serebrospinal biasanya dilakukan apabila
didapatkan hidrosefalus sebagai penyebab peningkatan TIK seperti
halnya pada infeksi meningitis atau kriptokokkus. Ada tiga cara
yang dapat dilakukan dalam hal ini yaitu : memasang kateter
intraventrikel, lumbal punksi, atau memasang kateter lumbal.
Pemilihan metode yang dipakai tergantung dari penyebab
hidrosefalus atau ada/tidaknya massa intrakranial.
 Pengaliran cairan serebrospinal dengan kateter lumbal dapat
dikerjakan apabila diyakini pada pemeriksaan imaging tidak
didapatkan massa intrakranial atau hidrosefalus obstruktif.
Biasanya dipakai kateter silastik 16 G pada intradura daerah
lumbal. Dengan kateter ini disamping dapat mengeluarkan cairan
serebrospinal, dapat juga dipakai untuk mengukur TIK.
Keuntungan lainnya adalah teknik ini tidak terlalu sulit dan
perawatan dapat dilakukan di luar ICU.
4) Mengoptimalkan CPP dengan menambahkan vasopressor dan /atau
cairan isotonik jika CPP < 60 mmHg.
5) Mengurangi volume darah intravaskular Hiperventilasi akan
menyebabkan alkalosis respiratorik akut, dan perubahan pH sekitar
pembuluh darah ini akan menyebabkan vasokonstriksi dan
tentunya akan mengurangi CBV sehingga akan menurunkan TIK.
Efek hiperventilasi akan terjadi sangat cepat dalam beberapa menit.
Tindakan hiperventilasi merupakan tindakan yang efektif dalam
menangani krisis peningkatan TIK namun akan menyebabkan
iskemik serebral. Sehingga hal ini hanya dilakukan dalam keadaan
emergensi saja. Hiperventilasi dilakukandalam jangka pendek
hingga mencapai PaCO2 25-30 mmHg. Penurunan PaCO2 1
mmHg akan menurunkan CBF 3%. Efek hiperventilasi dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan resiko iskemik
jaringan sehingga tindakan ini hanya dilakukan untuk waktu yang
singkat.1,5Hemodilusi dan anemia mempunyai efek yang
menguntungkan terhadap CBF dan penyampaian oksigen serebral.
Hematokrit sekitar 30% (viskositas darah yang rendah) akan lebih
berefek terhadap diameter vaskuler dibanding terhadap kapasitas
oksigen, sehingga akan terjadi vasokonstriksi dan akan mengurangi
CBV dan TIK. Namun, bila hematokrit turun dibawah 30% akan
berakibat menurunnya kapasitas oksigen. Hal ini justru akan
mengakibatkan vasodilatasi sehingga TIK akan meningkat. Dengan
demikian strategi yang sangat penting dalam menjaga TIK adalah
mencegah hematokrit jangan sampai turun dibawah
6) Terapi osmotik. Terapi osmotik menarik air ke ruang intravaskuler,
baik mannitol maupun salin hipertonik memiliki manfaat dalam
menurunkan viskositas darah dan menurunkan volume dan
rigiditas sel darah merah.
a. Salin hipertonik: loading dose30 ml salin 23% diberikan dalam
10-20 menit melalui CVC, dosis pemeliharaan adalah salin 3%
1 mg/kg/jam dengan kadar Na serum 150-155 mEq/jam. Na
harus diperiksa tiap 6 jam. Pemasukan salin hipertonik ini
berkaitan dengan edema. Salin hipertonik dihentikan setelah 72
jam untuk mencegah terjadinya edema rebound.
b. Mannitol 20% (dosis 0,25-1 gr/kg) : Loading dose1gr/kg BB,
diikuti dengan dosis pemeliharaan 0,5 gr/kg BB tiap 4-6 jam
dengankadar osmolaritas serum 300-320 mOsm. Osmolalitas
serum diperiksa tiap 6 jam. Waktu paruh mannitol adalah 0,16
jam. Efikasi terlihat dalam 15-30 menit, dan durasi efek adalah
90 menit hingga 6 jam.
h) Prognosis
Prognosis pasien dengan peningkatan TIK sangat berhubungan
dengan tingkat keparahan dari patofisologi yang mendasari, efikasi
manajemen, dan umur serta komorbiditas pasien. Gambaran sindroma
herniasi tidak selalu menunjukkan suatu kondisi irreversibel dan sia-
sia.13
F. Trepanasi dan Kraniotomi
a) Definisi
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif. 6
Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang
terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang
terdapat pada rongga diantara lapisan duramater dengan
araknoidea.
b) Ruang lingkup
Hematoma epidural terletak di luar duramater tetapi di dalam
rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di daerah temporal
atau temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan
darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada
sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak
jarang EDH terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada
regio parieto-oksipital dan fora posterior. Walaupun secara relatif
perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita
trauma kepala dan 9 % dari penderita yang dalam keadaan koma),
namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan
diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila
ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada
jaringan otak tidak berlangsung lama. 6
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,
pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral
hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh
herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa
extra aksial.3
c) Indikasi Operasi
 Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata.
 Adanya tanda herniasi/ lateralisasi.
 Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi
emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
d) Kontra indikasi operasi
Tidak ada.
e) Diagnosis Banding
Hematom intracranial lainnya.
f) Pemeriksaan Penunjang
CT Scan kepala.
g) Teknik Operasi
1) Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator.
Headup kurang lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala).
Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal
bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan
maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.7
2) Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori
terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril.
Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan
meja operasi.7
3) Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya
sudah benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis
rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan,
sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii,
jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan
canthus lateralis orbita).7
4) Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi
dengan doek steril.7
5) Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60
derajat. Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres
dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya
pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala).
Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek. Buka pericranium
dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada
daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat
perdarahan. Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi
hematom sesuai gambar CT scan. Lakukan burrhole pertama dengan
mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian dengan mata bor yang
melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.
Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering. Perdarahan
dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole
dengan kapas basah/ wetjes.7
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan
menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole.
Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus
lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji
dan asisten memfixir kepala penderita.7
Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan
cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi
dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat
mematahkan tulang.7
Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang
dengan spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari
tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Gantung dura (hitch stich)
dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah. Evakuasi hematoma dengan
spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari
dura dihentikan degan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah
tulang yang merembes tambahkan hitch stich pada daerah tersebut
kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahab
profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh diknabel
untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
Bila ada dura yang robek jahit dura denga silk 3.0 atau vicryl 3.0
secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada
lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi
langkah salanjutnya adalah membuka duramater. Sayatan
pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U)
berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait
dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai
terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan
otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas
berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang
subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap
kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip
khusus. Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah
dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau subkutan. Reseksi
jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena. Semua
pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di
ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi. Perlengketan jaringan otak dilepaskan
dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi
untuk menjamin jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk
membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila
dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak
gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/
tidaknya tulang dengan evaluasi klinsi pre operasi dan ketegangan
dura. Bila tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis
demi lapis dengan cara sebagai berikut. Teugel dura di tengah
lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit. Periost dan
fascia ototo dijahit dengan vicryl 2.0. Pasang drain subgaleal. Jahit
galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan silk 3.0. Hubungkan drain
dengan vaum drain (Redon drain). Operasi selesai. Bila tulang
dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang
yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan
dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang
yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4
buah ditepi dan2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis
demi lapis seperti diatas.
6) Komplikasi operasi
 Perdarahan.
 Infeksi
7) Mortalitas
Tergantung beratnya cedera otak.
8) Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan
fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian. 8
9) Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak
membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya
yang timbul kemudian.
BAB IV

PEMBAHASAN

Cedera kepala adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan
mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan
outcome yang baik. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi
respirasi dan sirkulasi.

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk


dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan anestesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus
dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan
dioperasi, menentukan jenis operasi yang akan digunakan serta melihat kelainan
yang berhubungan dengan anestesi. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien
secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat
yang tepat bagi pasien.

Pemeriksaan pre operatif pada cedera kepala sama seperti


pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi
tekanan intracranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan
sebelumnya serta hasil CT-scan. Peningkatan tekanan intracranial pada CT-scan
ditunjukkan dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya
sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan
edema (adanya daerah hipodensitas). Tindakan pre operatif yang dilakukan pada
pasien adalah sebagai berikut :

1) Melakukan visit pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Hal ini berguna untuk
menentukan masalah yang ada pada pasien, meramalkan kemungkinan
penyulit, melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan
terjadi, menentukan status fisik pasien serta menentukan tindakan
anestesi yang sesuai.
2) Memberikan informasi pada keluarga pasien mengenai keadaan pasien,
tindakan operatif yang akan dilakukan, keuntungan dan kerugian
tindakan operatif serta risiko yang dapat terjadi.
3) Melakukan fluid challenge test.
Fluid challenge test merupakan prosedur diagnostic yang
digunakan untuk mengidentifikasi suatu keadaan hipovolemik.
Prosedur ini bertujuan untuk mengetahui keadaan sistem
kardiosirkulasi pasien dan sebagai panduan dalam melakukan
resusitasi cairan. Terdapat empat komponen penting dalam fluid
challenge test diantaranya adalah jenis cairan yang akan diberikan
(kristaloid), kecepatan pemberian cairan (500-1000 ml atau 10-20
ml/kgBB dalam 10-30 menit), target hemodinamik (MAP > 70 mmHg,
HR < 110x/m, produksi urin 0,5-1 ml/jam), serta pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya edema pulmo.
Terapi cairan kristaloid ataupun koloid menjadi masalah apabila
diberikan dalam jumlah yang tidak tepat. Apabila kehilangan cairan
tidak dikoreksi, maka pasien akan mengalami hipovolemia yang
selanjutnya menimbulkan kerusakan ginjal dan komplikasi lainnya.
Sebaliknya kelebihan pemberian cairan akan menyebabkan edema
pulmo. Oleh karena itu fluid challenge test dilakukan agar terapi cairan
diberikan secara tepat.
4) Puasa sebelum operasi
Pasien terakhir makan dan minum 8 jam sebelum operasi. Puasa
sebelum operasi dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah dan
aspirasi saat operasi.
Pasien mengalami cedera kepala berat dan dilakukan tindakan
operatif yaitu craniotomy. Tindakan craniotomy menggunakan anestesi
umum (anestesi general) karena tindakan ini memerlukan insuflasi CO2
dan relaksasi otot yang tidak memungkinkan pasien untuk bernapas
spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin adekuatnya difusi CO2
keluar tubuh, respiratory rate harus diatur menggunakan mechanical
ventilator dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan volume tidak
yang tidak terlalu besar.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah
140/90 mmHg; nadi 100x/menit; respirasi 22x/menit; suhu 38˚C. Dari
pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan hasil: pH 7.222 ;
pCO2 57.4 mmHg ; pO2 205 mmHg ; HCO3 23.9 mmol/L ; TCO2 26
mmol/L ; BE -4 ; %SO2 100 %; Laktat 3.04 mmol/L. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan
bahwa pasien masuk dalam ASA III. Pasien masuk ke kamar operasi
pukul 10.30, kemudian dilakukan persiapan pada pasien dengan tanda
– tanda vital awal : TD 130/90 mmHg, HR 98 x/menit, RR 14 x/menit,
Suhu 36,9 ̊C, Sp O2 99%. Setelah pasien dan instrumen untuk
pembedahan telah siap, pukul 11.00 dilakukan persiapan untuk anestesi
dengan prosedur GETA.

Obat-obatan yang diberikan pada pasien selama operasi berlangsung diantaranya


adalah :

1. Co-induksi (Fentanyl 90 µgram dan Lidokain 70 mg)


 Fentanyl 2-150 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon
hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Fentanyl adalah
salah satu opioid agonis derifat phenylpiperidine sintetik yang secara
struktur berkaitan dengan meperidine, sebagai suatu analgesic, fentanyl
lebih kuat 75 sampai 125 kali dibandingkan morfin. Dosis intraoperatif
sebesar 2-150 µg/kgBB dengan onset 2-3 menit dan durasi sekitar 15-20
menit.
 Lidokain 1,5mg/kg iv, diberikan 90 detik sebelum laringoskopi, dapat
membantu untuk mencegah peningkatan tekanan intracranial. Sebagai obat
anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB, bila
ditambahkan adrenalin dosis maksimal mencapai 6mg/kgBB. Lidokain
menyebabkan penurunan tekanan intracranial (tergantung dosis) yang
disebabkan oleh efek sekunder peningkatan resistensi vaskuler otak dan
penurunan aliran darah otak.
2. Induksi (Propofol 100mg)
Propofol merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan dalam
induksi dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi. Dosis yang digunakan sebesar
2,5-3 mg/kgBB dengan onset 30-40 detik dan durasi 5-10 menit.
3. Fasilitas intubasi (Rocuronium 30mg)
Rocuronium diindikasikan sebagai tambahan pada anestesia
umum untuk mempermudah intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot
rangka selama pembedahan. Dosis yang digunakan dalam intubasi endotrakeal:
0,6-1,2 mg/kgBB, sedangkan dosis pemeliharaan: 0,1-0,2 mg/kgBB.
4. Pemeliharaan (O2 50, N2O 50, dan Isofluran 1 MAC)
Isofluran merupakan depresan metabolik yang potent, isofluran
memiliki sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intracranial daripada
halotan. Karena isofluran menekan metabolism serebral, obat ini mungkin
memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan konsentrasi >1
dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan
peningkatan substansial pada ICP.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif yang diberikan pada pasien
diantaranya adalah:
a) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35
mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai
PaO2 > 100 mmHg. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) yang
berlebihan sebaiknya dihindari, karena peningkatan tekanan intratoraks
dapat menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
b) Penanganan sirkulasi
CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan
meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan,
peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau
vasopressor.
c) Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah
dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon
dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (reflex Cushing).
Penanganan peningkatan TIK intraoperative

a) Posisi pasien
Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin
tidak menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara
substansial. Ketika ahli bedah ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan
leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.
b) Ventilasi
Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi
dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.
c) Sirkulasi
Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi
(tekanan sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.
d) Diuretik
Mannitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK.
Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat
juga pada pasien dengan penurunan fungsi jantung.
e) Drainase CSF
Jika terdapat kateter intraventrikular, drainase CSF merupakan
cara yang efektif dalam menurunkan TIK.
Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah
depresi nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang
bersifat middle atau long acting 60 menit sebelum operasi selesai, obat
anestesi dihentikan saat menjahit kulit. Kadar PaCO2 dinaikkan kearah
normoventilasi. Hindari rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya :
lepas head pin sesegera mungkin, ambil pak dimulut/faring, pengisapan
faring dilakukan sebelum pasien betul-betul bangun. Saat transfer ke
PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG, tekanan darah, SpO2
terus dilakukan.
Penanganan post operatif yang diberikan pada pasien diantaranya
adalah posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak
miring kekiri atau kekanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi, bila perlu
diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg
selama 24 jam pertama setelah cedera kepala. Kendalikan tekanan darah
dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca
cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata > 130 mmHg. Infus dengan
NaCI 0,9% batasi pemberian RL, bisa diberikan koloid. Hematocrit
pertahankan 33%. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien
sehat (bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8gr%. Untuk
mengendalikan kejang bisa diberikan phenytoin 10-15 mg/kgBB dengan
kecepatan 50mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang
berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kgBB) perlahan-lahan
selama 1-2 menit. Pukul 01.20 operasi selesai, TTV terakhir : TD 130/80
mmHg, HR 105x/ menit, RR 14x/ menit, Suhu 36,7 ̊C, Sp O2 99%.
Setelah itu pasien dikirim ke ICU untuk perawatan dan pengawasan yang
intensif.
BAB V

KESIMPULAN

1. Tanggal 04 Februari 2020 telah dilakukan tindakan craniotomy dengan


melakukan teknik anestesi yang dipakai adalah anestesi general dengan
menggunakan lidokain, fentanyl, dan propofol.
2. Tahapan preoperatif diantaranya adalah memeriksa pasien untuk
memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak,
puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pada kasus ini, pasien tidak dapat
direncanakan puasa secara pasti, akan tetapi pasien tidak makan dan
minum selama tidak sadarkan diri yakni selama 8 jam.
3. Tahapan intraoperatif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga
pemasangan ET. Pada pasien ini pemasangan ET dilakukan karena waktu
operasi yang lama (2jam) dan pasien dalam posisi supine.
4. Tahapan postoperatif dilakukan dengan melakukan manajemen nyeri, dan
keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian obat analgesic,
kristaloid, koloid, dan obat antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djamaloeddin. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina Rupa Aksara.


2. Dobson, MB. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
3. Grace, Pierce. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : Erlangga.
4. Greenberg. 2007. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta : Erlangga.
5. Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : UGM.
6. Kahan, Skot. 2011. Ilmu bedah. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
7. Mansjoer, Arif. 2000. General Anestesi. In: Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
8. Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.
9. Snell, Richard. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran
Edisi ke 5. Jakarta : EGC.
10. Wibowo, Daniel. 2008. Neuroanatomi untuk Mahasiswa Kedokteran.
Bandung : Bayumedia.
11. Wim de Jong. 2003. Buku-Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2. Jakarta : EGC.
12. R. Syamsuhidayat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ke2. EGC : Jakarta.
13. Amri Imtihanah. 2017. Jurnal Ilmiah Kedokteran. Pengelolaan
Peningkatan Tekanan IntraKranial. Tadulako.

Anda mungkin juga menyukai