Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ANESTESI LAPORAN KASUS

FEBRUARI, 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

“MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN THT DENGAN TEKNIK


HIPOTENSI KENDALI”

Oleh :

Ikhsan Mursad, S.Ked


105505407118

Pembimbing :
dr. Zulfikar Djafar., M.Kes., Sp.An

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Anestesiologi)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:

Nama : Ikhsan Mursad

NIM : 105505407118

Judul : “MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN THT DENGAN


TEKNIK HIPOTENSI KENDALI”

telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2023

Pembimbing,

dr. Zulfikar Djafar., M.Kes., Sp.An


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan kasus dengan
judul “MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN THT DENGAN TEKNIK
HIPOTENSI KENDALI” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa
tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan
pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Zulfikar Djafar.,
M.Kes., Sp.An yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat
berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dengan niat dan kesungguhan yang
penuh serta usaha yang maksimal dalam menyusun laporan kasus ini, masih banyak
celah yang dapat diisi untuk menyempurnakan laporan kasus ini, baik dari isi maupun
penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan.

Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan
penulis secara khususnya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Operasi pada daerah kepala termasuk pada telinga memerlukan teknik khusus
yakni teknik hipotensi terkendali. Teknik hipotensi terkendali merupakan suatu teknik
pada anestesi umum dengan menggunakan agen hipotensi kerja cepat untuk
menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat operasi. Prosedur ini memudahkan
operasi sehingga membuat pembuluh darah dan jaringan terlihat, serta mengurangi
kehilangan darah.

Prosedur anestesi dengan teknik hipotensi memiliki tujuan untuk mengurangi


perdarahan di daerah operasi agar memudahkan operator dalam visualisasi lapang
operasi. Dengan menaikkan kepala 10-150 sehingga dapat meningkatkan pengeluaran
aliran balik vena, menjaga tekanan darah tetap rendah, serta menurunkan perdarahan.
Prosedur hipotensi merupakan suatu prosedur yang mungkin saja dapat menyebabkan
suatu komplikasi yaitu gangguan perfusi organ utama (thrombosis cerebral,
hemiplegia, nekrosis hepar masif, kebutaan, retinal artery thrombosis, ischemic optic
neuropathy) dan komplikasi operasi (reactionary hemorrhage, hematoma formation)
BAB II
LAPORAN KASUS

A. PREOPERATIF/PREANESTESI
I. Identitas pasien
Nama : Ny. HAP
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 30 tahun
Berat Badan : 62 kg
Alamat : Borong
Diagnosis : Deviasi Septum
II. Anamnesis
Keluhan utama : Hidung tersumbat
a) Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh hidung bagian kiri tersumbat sejak ±6 bulan yang
lalu. Nyeri kepala (-), rhinore(-), riwayat epistaksis (-), riwayat demam (-)
Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat hipertensi (-)
3) Riwayat penyakit jantung (-)
4) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
5) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
b) Riwayat operasi (-)
III. Pemeriksaan fisik
GCS : E4M6V5
Vital Sign : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,5C
Pernafasan : 20 x/menit
a) B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-),
leher pendek (-), gerak leher terbatas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan: 20 kali/menit, suara pernapasan: vesikular (+/+),
suara pernapasan tambahan ronchi(-/-), wheezing(-/-), gigi ompong (-)
graham belakang, gigi palsu (-). Mallampati score = 2.
b) B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas bawah (-/-),
tekanan darah: 130/80 mmHg, denyut nadi : 82 kali/menit, reguler, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c) B3 (Brain) :
Kesadaran: Composmentis, Pupil: bulat isokor Ø 2,5 mm/2,5mm, refleks
cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, defisit neurologi
(-), suhu 36,5C.
d) B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan, frekuensi 2-5x/hari berwarna kekuningan.
e) B5 (Bowel) :
Abdomen : Distensi (-) peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-).
f) B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).
IV. Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (7/2/2023) :

Hematologi rutin Hasil Nilai rujukan

WBC 9.41 3.6 – 11.00 103/ul

RBC 4.64 4.4 – 5.9 106/ul


HGB 14.4 13.2 - 17.3 g/dl

HCT 42.9 40.0 - 52.0 %

PLT 320 150 – 450 103/ul

Hemostasis/
Hasil Nilai rujukan
kimia

CT 9’00” 4 – 10 menit

BT 3’00” 3.3.0 – 7.0 detik

SGOT - <30 U/L

SGPT 16 <31 U/L

Ureum - 0 – 50 mg/dl

Kreatinin 0,6 <1.1 mg/dl

Imunologi Hasil Nilai Rujukan

COVID 19 Ag FIA Negatif Negatif

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

Anti-HIV Non Reaktif Non Reaktif

V. Diagnosis
Deviasi Septum
VI. Penatalaksaan
Rencana operasi : Septoplasti
Di Perawatan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan
anestesi (+),
 IVFD RL 18 tpm
 Rencana operasi Septoplasti
 Puasa 8 jam pre operasi

VII. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka:

Diagnosis Preoperatif : Deviasi Septum Nasi

Status Operatif : PS ASA I

Jenis Operasi : Open Prostatectomy

Jenis Anastesi : GETA? Hipotensi Terkendali

B. PREINDUKSI

Pemeriksaan fisik preoperatif


B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-),
leher pendek (-), gerak leher terbatas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan: 20 kali/menit, suara pernapasan: vesikular (+/+),
suara pernapasan tambahan ronchi(-/-), wheezing(-/-), gigi ompong (-)
graham belakang, gigi palsu (-). Mallampati score = 2.
B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas bawah (-/-),
tekanan darah: 130/80 mmHg, denyut nadi : 82 kali/menit, reguler, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
B3 (Brain) :
Kesadaran: Composmentis, Pupil: bulat isokor Ø 2,5 mm/2,5mm, refleks
cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, defisit neurologi
(-), suhu 36,5C.
B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan, frekuensi 2-5x/hari berwarna kekuningan.
B5 (Bowel) :
Abdomen : Distensi (-) peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-).
B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

Persiapan di kamar operasi :


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Monitor tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, suhu tubuh, pernapasan
 Kartu catatan medik anestesi
C. INTRAOPERATIF
1. Diagnosis pra bedah : BPH grade III
2. Diagnosis pasca bedah : Post Op Open Prostatectomy
3. Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis anestesi : General Endotracheal Anesthesia
b. Lama anestesi : 12.00 – 12.10 (10 menit)
c. Lama operasi : 12.10 – 13:00 (50 menit)
d. Anestesiologi : dr. Zulfikar Djafar, M.Kes. Sp.An.
e. Ahli Bedah : dr. Yunida Andriani, Sp.THT-KL
f. Infus : 1 line dengan connecta di tangan kiri
g. Teknik anastesi : Hipotensi Terkontrol
h. Pre medikasi :
o Midazolam 3 mg / 3 ml (dosis : 0,05 - 0,1 mg / kgBB)
o Fentanyl 100 mcg / 10 cc (Dosis : 1 – 2 mcg / kgBB)
o Lidocain 1 % ( 50 mg / 5 cc )
i. Induksi : Propofol 140 mg / 14 cc (Dosis : 2–3 mg/kgBB)
j. Relaksan : Rocuronium 50 mg / 4cc ( 0,6 – 1,2 mg /kgBB )
k. Teknik Anestesi :
 Pasien berbaring dengan nyaman, kemudian diberikan Midazolam
3 mg, Fentanyl 100 mcg, Propofol 140 mg dan Rocuronium 50
mg, dan Lidocaine 1% 50 mg.
 Setelah reflex bulu mata menghilang, pasien diberi O2 selama ± 3
menit.
 Batang laringoskop dipegang menggunakan tangan kiri, tangan
kanan mendorong kepala sedikit ekstensi sehingga mulut terbuka.
 Memasukkan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan,
menyusuri kanan lidah dan menggeser lidah ke kiri .
 Mencari epiglottis kemudian diangkat. Setelah itu mencari plica
vocalis.
 Masukkan ETT melewati plica vocalis, lalu kembangkan cuff ETT
 Menghubungkan ETT dengan connector ke bag valve dan
diperiksa dengan stetoskop.
 Setelah dipastikan dada mengembang simetris, maka O2
dipastikan sudah masuk ke paru-paru. ETT dapat difiksasi
menggunakan plester.
 Pasien dipasangkan guedel kemudian difiksasi

l. Dipasang Sevoflurance MAC 1,5 % sebagai maintenance


m. Maintenance vol % : O2 10 lpm + Sevoflurane 1,5 %
n. Maintenance : Fentanyl 50 mcg / jam (syringe pump)
o. Tambahan Obat : Nicardipin 10 cc + Aquades 40 cc ( 7,5 cc syringe
pump)
p. Medikasi tambahan : Reversal [Atropine Sulfate 0,25 mg /ml (2 Amp)
+ Neostigmin Sulfate 0,5 mg /ml (3 Amp)]
q. Respirasi: Pernapasan kontrol
r. Cairan durante operasi : RL 1200 ml

C. POST OPERATIF

Pemantauan di Recovery Room :


 Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
 IVFD RL
 Bila tekanan darah sistolik < 90 mmHg, memberikan injeksi ephedrin 10
mg/iv
 Bila denyut jantung < 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 1 mg
BAB III

TINJAUN PUSTAKA

Manajemen Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- “tidak” “tanpa”
dan asethetos “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Tindakan Anestesi adalah suatu tindakan Medis, yang dikerjakan
secara sengaja pada pasien sehat ataupun disertai penyakit lain dengan derajat
ringan sampai berat bahkan mendekati kematian. Tindakan ini harus sudah
memperoleh persetujuan dari dokter Anestesi yang akan melakukan tindakan
tersebut dengan mempertimbangkan kondisi pasien, dan memperoleh
persetujuan pasien atau keluarga, sehingga tercapai tujuan yang diinginkan
yaitu pembedahan, pengelolaan nyeri, dan life support yang berlandaskan
pada “patient safety”.
Anestesi dasar terbagi menjadi beberapa jenis :
 Anestesia Umum :
1. Anestesi Umum Intravena
2. Anestesi Umum Inhalasi
3. Anestesi Imbang
 Anestesi Regional :
1. Blok Spinal Subarachnoid
2. Blok Spinal Epidural
3. Blok Saraf Perifer
4. Blok Regional Intravena
 Anestesi Lokal :
1. Anestesi Lokal
2. Anestesi Infiltrasi Lokal
Selain itu, pada anestesi sering digunakan klasifikasi ASA
(American Society of Anesthesiology) untuk menilai kebugaran fisik
seseorang :
 ASA 1 : Pasien yang sehat fisik dan psikis
 ASA 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : Pasien dengan penyakit sistemik berat
 ASA 4 : Pasien dengan penyakit sistemik berat dan penyakitnya
merupakan ancaman untuk hidupnya
 ASA 5 : Pasien sekarat yang tidak diharapkan untuk selamat tanpa
tindakan pembedahan
 ASA : Pasien yang dinyatakan meninggal dan organnya telah
pindahkan untuk tujuan donor
A. Teknik hipotensi terkendali
Teknik Hipotensi Terkendali merupakan suatu teknik pada anestesi umum
dengan menggunakan agen hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan
darah serta perdarahan saat operasi. Prosedur ini memudahkan operasi sehingga
membuat pembuluh darah dan jaringan terlihat serta mengurangi kehilangan
darah.

Gambar : skala untuk mengukur kualitas lapang pandang operasi


Teknik hipotensi adalah suatu teknik yang digunakan pada operasi yang
meminimalkan kehilangan darah pada pembedahan, dengan demikian
menurunkan kebutuhan transfusi darah. Prosedur ini dapat diterapkan dengan
aman pada kebanyakan pasien, termasuk anak-anak, dan untuk beberapa jenis
prosedur operasi. Teknik ini memerlukan kontrol pada tekanan darah yang
rendah sehingga tekanan darah sistolik diantara 80-90 mmHg. Definisi lainnya
adalah menurunkan Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) sampai 50-
70 mmHg pada pasien normotensi.
Pada operasi telinga, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat
memberikan kondisi operasi yang baik pada operator. Dengan menaikkan kepala
10-150 sehingga dapat meningkatkan pengeluaran aliran balik vena, menjaga
tekanan darah tetap rendah, serta menurunkan perdarahan. Tujuannya haruslah
mengurangi perdarahan, terutama pada daerah yang dioperasi. Prosedur hipotensi
untuk telinga, hidung, atau tenggorokan termasuk di dalamnya, dan yang harus
diperhatikan bahwa teknik hipotensi merupakan suatu prosedur yang mungkin
saja dapat menyebabkan suatu komplikasi.
B. Cara Menjaga Hipotensi yang Ingin Dicapai
Kata kunci pada teknik anestesi hipotensi adalah MAP (Mean Arterial
Pressure) yaitu perkalian cardiac output dengan resistensi vaskular sistemik.
MAP dapat dimanipulasi dengan mengurangi resistensi vaskular sistemik atau
cardiac output, ataupun keduanya. Teknik hipotensi dengan hanya mengurangi
cardiac output tidak ideal dilakukan, karena memelihara aliran darah ke organ
sangat penting. Resistensi vaskular sistemik dapat dikurangi dengan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, sedangkan cardiac output dapat dapat
dikurangi dengan menurunkan venous return, heart rate, kontraktilitas miokard
atau kombinasi dari ketiganya.
Cara untuk Menurunkan Cardiac Output
1. Mengurangi pembuluh darah dengan arteriotomi. Teknik ini pertama kali
dikemukakan oleh Gardner pada tahun 1946 dengan cara mengurangi 500 ml
darah melalui cateter dari arteri radialis hingga tekanan darah menjadi 80
mmHg. Masalah dari cara ini sangat jelas bahwa kehilangan darah akut akan
menyebabkan menyebabkan berkurangnya oksigen ke jaringan, akibat
kompensasi yang terjadi berupa vasokonstriksi dan berkurangnya kadar
hemoglobin. Vasodilatasi pembuluh darah dengan menggunakan
nitrogliserin.
2. Menurunkan kontraktilitas dengan menggunakan agen inhalasi dan beta
blocker.
3. Menurunkan denyut jantung dengan menggunakan inhalasi dan beta
blocker.
Metode untuk menurunkan Resistensi Vaskular sistemik
1. Blokade reseptor α adrenergic seperti labetalol dan phentanolamine.
2. Relaksasi otot polos pembuluh darah dengan vasodilator langsung seperti
nitroprusside, calcium channel blocker, agen inhalasi, purin, dan PGE1.
Cara mekanis untuk meningkatkan potensial kerja agen hipotensi
Metode utama dari teknik ini adalah posisi yang benar, tekanan udara
positif, dan penggunaaan obat hipotensi. Beberapa obat efektif menurunkan
tekanan darah: gas anestesi, simpatetik agonis, calcium channel bloker, ACE-I
karena onsetnya cepat dan durasinya pendek.
1. Memposisikan pasien adalah hal penting dalam teknik hipotensi. Elevasi
daerah lapang operasi memudahkan drainase vena dari daerah lapang
operasi. Hal ini sangat penting untuk mengurangi darah pada daerah lapang
operasi. Harus diingat bahwa hal tersebut timbul akibat gaya gravitasi,
tekanan darah berubah apabila jarak vertikal dengan jantung berubah.
Perubahan tekanan darah adalah 0,77 mmhg tiap cm ada perubahan
ketinggian dengan jantung. Teknik hipotensi mengurangi aliran darah
perifer.
Hal ini perlu diperhatikan pada daerah yang menanggung beban
berat, dan pada penonjolan tulang-tulang. Oleh karena itu bantalan khusus
perlu disediakan dengan lebih fokus pada daerah seperti oksiput, skapula,
sakrum, siku dan tumit. Juga harus diperhatikan kontrol tekanan pada daerah
orbita terutama pada posisi telungkup.
2. Airway Bertekanan Positif
Penggunaan ventilasi tekanan positif dengan volume tidal yang tinggi, waktu
inspirasi yang lebih panjang, dan peningkatan Positive End Expiratory Pressure
akan mengurangi aliran balik vena, yang akan membantu teknik hipotensi. Akan
tetapi peningkatan volume tidal pada pemberian ventilasi mekanik juga akan
meningkatkan ruang rugi dan meningkatkan tekanan intratoraks sehingga akan
mengurangi aliran darah balik otak yang akhirnya menyebabkan peninggian
tekanan intrakranial.
Anestetik volatile dan agonis adrenergik bekerja baik untuk menekan MAP
pada 60-70 mmHg. Elevasi kepala setinggi 15 O dapat mengurangi kongesti vena
dan penggunaan epinefrin sebagai vasokonstriktor umumnya dapat mempengaruhi
kondisi operasi.
C. Indikasi Teknik Hipotensi Terkendali
Teknik hipotensi terkendali telah terbukti berguna untuk operasi perbaikan
aneurisma cerebral, pengangkatan tumor otak, total hip artroplasty, dan operasi
lainnya yang berhubungan dengan resiko kehilanggan darah yang banyak. Penurunan
ekstrafasasi darah di perkirakan akan meningkatkan hasil operasi plastik menjadi
lebih baik. Indikasi lainnya adalah :
1. Operasi Telinga, hidung, tenggorokan serta operasi daerah mulut
2. Gynecology : operasi pelvis radikal
3. Urology : prostatektomy
D. Kontra indikasi tehknik hipotensi terkendali
Teknik hipotensi terkendali tidak dianjurkan pada pasien-pasien yang mempunyai
penyakit yang dapat menurunkan perfusi organ seperti :
1. Anemia
2. Hipovolemia
3. Penyakit jantung coroner
4. Insufisiensi hepar dan ginjal
5. Penyakit serebrovaskular
6. Penyakit jantung bawaan
7. Gagal jantung kongestif
8. Hipertensi tidak terkontrol
9. Peningkatan TIK.
E. Batas Aman untuk Teknik Hipotensi
Batas amannya tergantung dari pasien. Pasien yang muda dan sehat dapat
mentoleransi tekanan darah arteri sampai 80 - 90 mmHg serta MAP sampai 50 -
60 mmHg tanpa komplikasi. Sedangkan pada pasien yang menderita hipertensi
kronik tidak lebih rendah dari 20-30% nilai normalnya.
F. Manajemen Anestesi dan Monitoring
1. Sebelum Operasi
a. Seorang ahli anestesi harus menguasai teknik hipotensi secara
keseluruhan
b. Evaluasi pasien
c. Studi menunjukkan bahwa pasien dengan Hb minimal 10 gr/dl aman
untuk dilakukan teknik hipotensi
d. Analisa gas darah sebelum dan sesudah operasi dibutuhkan sebagai acuan
selama operasi dan sesudah operasi berlangsung.
e. Premedikasi meliputi anxiolitik, analgesik, alpha blocker, beta blocker
dan obat anti hipertensi dapat membantu selama melakukan anestesi
dengan teknik hipotensi
2. Selama Operasi
a. Mengurangi stress selama fase induksi
b. Jika menggunakan obat hipotensi intravena, line kedua harus terpasang.
c. Monitoring sangat berperan untuk keselamatan pasien selama anestesi
dengan teknik hipotensi
d. Monitoring tekanan darah dengan prosedur invasive sering di
rekomendasikan karena dapat memonitor tekanan darah denyut demi
denyut, dan juga dapat mempermudah akses untuk pemeriksaan analisa
gas darah dan hemoglobin
e. EKG : terutama lead V5 dan segmen ST untuk mendeteksi adanya anemia
f. Saturasi Oksigen harus di monitor karena adanya risiko hipoksemia
akibat ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi
g. End Tidal CO2 : Untuk mencegah hipercarbia dan hipokapnia. Harus di
ingat bahwa hubungan antara End Tial CO2 dan PaCO2 berubah akibat
adanya hipotensi. Oleh karena itu analisa gas darah harus diperiksa secara
intermiten untuk memastikan PaCO2 dalam batas yang diinginkan
h. Suhu : Suhu inti tubuh penting untuk di monitor karena suhu tubuh cepat
menurun jika terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Hipotermia dapat
menurunkan tingkat efektivitas dari vasodilator sehingga membutuhkan
dosis yang lebih banyak akibat kompensasi timbulnya vasokonstriksi
i. Kehilangan darah: Respon fisiologis terhadap kehilangan darah dapat
hilang pada kondisi anestesi dengan teknik hipotensi. Oleh karena itu
kehilangan darah harus secara teliti di perkirakan dengan menimbang
jumlah kasa dan jumlah darah di botol suction
j. Terapi cairan yang sesuai sangat penting pada anestesi dengan teknik
hipotensi. Tujuan hipotensi adalah menurunkan MAP sambil memantau
adekuatnya aliran darah ke organ-organ vital. Oleh karena itu kebutuhan
cairan preoperative harus dianalisa dan dikoreksi. Dalam waktu yang
sama kebutuhan cairan pemeliharaan harus diberikan. Kehilangan darah
harus diganti dengan jumlah yang sama dengan koloid atau tiga sampai
empat kali lipat dengan kristaloid. Jika perdarahan melebihi batas
toleransi (20-25% dari estimasi volume darah pasien), maka transfusi
darah harus diberikan
k. Teknik hipotensi harus dimulai saat dibutuhkan. Setelah hipotensi dimulai
dibutuhkan level pemantauan tekanan darah untuk meminimalisir
perdarahan dengan cara menentukan dosis obat hipotensi, baik itu secara
manual atau menggunakan infuse. Hipotensi hharus digunakan untuk
mengurangi perdarahan dan hanya untuk operasi yang dimana teknik
hipotensi ini bermanfaat untuk membatasi kehilangan darah.
3. Setelah Operasi
Penanganan post operasi yang adekuat dengan fasilitas resusitasi
sangat dibutuhkan. Perhatian setelah operasi diberikan pada airway,
oksigenasi, analgesi, monitoring, posisi, perdarahan, dan keseimbangan
cairan.
G. Komplikasi
1. Gangguan perfusi organ utama :
 Trombosis Cerebral
 Hemiplegia
 Nekrosis hepar masif
 Kebutaan
 Retinal artery thrombosis
 Ischemic optic neuropathy
2. Komplikasi operasi
 Reactionary hemorrhage
 Hematoma formation
H. Obat Hipotensi
1. Agen anestesi volatil
a. Sevofluran
Pada umumnya digunakan pada anak-anak karena induksinya cepat,
nyaman dan toleransi terhadap jalan nafas lebih baik dibandingkan
inhalasi yang lain. Kombinasi sevofluran dan remifentanil atau
sufentanil digunakan untuk mengontrol hipotensi pada anak-anak.
Konsentrasi 4% diperlukan untuk mencapai MAP 55-65 mmHg. Studi
pada tikus yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi
didapatkan bahwa sevoflurane 1,0 MAC menurunkan MAP sebesar
36% dan berkurangnya SVR 34% Pada sirkulasi splanchnic, aliran
darah portal meningkat 48% menghasilkan peningkatan total liver
blood flow hingga 38%.
b. Halotan
Halotan menyebabkan vasodilatasi moderat, dimana terjadi penurunan
tahanan perifer sistemik sebesar 15-18%. Vasodilatasi pada daerah kulit
dan vascular bed splanchnic diimbangi dengan vasokonstriksi pada otot
skelet. Hipotensi pada penggunaan halotan disebabkan karena efek
langsung depresi otot jantung. Halotan sering digunakan pada
konsentrasi rendah untuk memulai anestesi hipotensi. Studi pada tikus
yang mendapat adenosin untuk mengontrol hipotensi didapatkan bahwa
halotan 1,0 MAC akan menurunkan MAP sebesar 38% dan SVR
berkurang 47%. Index stroke volume meningkat hingga 40% dan
perubahan ini menghasilkan peningkatan indeks jantung 35%. Pada
sirkulasi splanchnic, aliran darah portal dan hepatic arterial meningkat
90% dan 37% menghasilkan peningkatan total liver blood flow 76%.
c. Enflurane
Mekanisme dan efek hipotensi pada penggunaan enfluran hampir sama
seperti halotan. Enfluran mempunyai efek venodilatasi, sehingga pada
anestesi hipotensi hanya diperbolehkan menggunakan konsentrasi 0,25-
0,5%.
d. Isoflurane
Isoflurane digunakan secara luas untuk menginduksi hipotensi karena
onset kerja cepat, mudah dikontrol dan efek kardiovaskuler cepat pulih
setelah obat dihentikan. Isoflurane memiliki efek minimal terhadap
kontraktilitas otot jantung pada konsentrasi inspirasi yang rendah.
Keuntungannya adalah meningkatkan dosis isofluran tidak hanya
menghasilkan efek vasodilatasi dan hipotensi, tetapi juga menekan
sistim saraf pusat sehingga meminimalkan reflek vasokonstriksi atau
takikardi akibat stimulasi baroreseptor. Isoflurane 2% atau MAC 1,54
menghambat peningkatan aliran darah medula adrenal, norepinephrine
dan epinephrine serta penurunan aliran darah organ abdomen sebesar
70% yang diamati pada MAP 60 mmHg. Penelitian Seagard et.al.
menemukan isoflurane 2,2% menumpulkan respon baroreceptor
terhadap hipotensi dan respon simpatis terhadap stimulus pembedahan
dengan menghambat transmisi ganglion dan neuron eferen simpatis.
Haraldsted mempelajari perbedaan cerebral arteriovenous O2
difference pada 20 pasien yang menjalani pembedahan aneurisma
serebral menyimpulkan bahwa cerebral blood flow dan oxygen
demand/supply ratios dipelihara dengan baik selama induksi hipotensi
dengan isofluran <2,5 MAC. Stone et.al., menemukan bahwa isoflurane
menyebabkan vasokonstriksi melalui inhibisi produksi basal EDRF
atau stimulasi pelepasan faktor vasokonstriksi yang berasal dari
endotelium pada konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi
mempunyai efek vasodilatasi langsung. Mazze et.al. menemukan
bahwa isofluran mengurangi aliran darah ke ginjal sebesar 49%..
Mekanisme ini disebabkan menurunnya redistribusi aliran darah dari
ginjal karena berkurangnya SVR dan tahanan vaskuler renal. Tahanan
vaskuler renal sebagian besar dipengaruhi tonus arteriole eferen
glomerulus, yang ditandai peningkatan fraksi filtrasi sebesar 50%. Blok
ganglion simpatik Trimetaphan dan pentolinium menyebabkan
hambatan ganglion otonom melalui mekanisme inhibisi kompetitif
asetilkolin. Efek obat ini tidak hanya terbatas pada sistim simpatis
karena transmisi kolinergik juga terjadi pada ganglion parasimpatis.
Hambatan aliran simpatis yang menyebabkan vasodilatasi relatif lambat
dalam onset maupun pemulihan. Durasi hipotensi yang disebabkan
trimetaphan relative pendek antara 10 –1 5 menit sehingga obat ini
lebih sering diberikan secara infus iv 3 –4 mg/mnt. Hal ini
sangat berbeda dengan injeksi tunggal pentolinium 5 –1 5 mg
yang mampu menghasilkan hipotensi selama 45 menit dan proses yang
lambat untuk kembali ke nilai normal. Gangguan aliran darah serebral
dan medulla spinalis yang disebabkan redistribusi CBF menjauhi area
korteks; berkurangnya aliran darah koroner, hati dan ginjal, takikardi;
pelepasan histamine; inhibisi enzim pseudokolinesterase; potensiasi
terhadap pelumpuh otot non depolarisasi dan takifilaksis mengganggu
efektivitas penggunaan obat ini dalam mengurangi perdarahan.
Takifilaksis yaitu kebutuhan untuk menaikkan dosis obat
untuk menghasilkan efek yang sama lebih nyata dengan trimetaphan
dan membuat tekanan arteri yang stabil sulit dicapai sehingga
pemberian secara infuse kontinyu lebih baik dibandingkan bolus
intermiten. Infus kontinyu dimulai pada dosis 25 ug/kg/menit dan
dititrasi sesuai efek.
2. Obat pelumpuh otot non depolarisasi
Penggunaan obat pelumpuh otot non depolarisasi untuk memfasilitasi
IPPV sebagai tambahan hipotensi elektif dianjurkan pada beberapa
keadaan dengan pertimbangan obat-obat tersebut menginduksi hambatan
ganglion simpatis dan pelepasan histamin yang menyebabkan vasodilatasi.
Penelitian Yoneda et.al., 1994 mengemukakan atracurium menekan
aktivitas saraf simpatis eferen menyebabkan penurunan tekanan arterial. Di
antara obat pelumpuh otot jangka menengah vecuronium dan atracurium
memiliki efek samping kardiovaskuler yang minimal. Menurut Kimura
et.al., 1999, vecuronium tidak mempengaruhi denyut jantung dan tekanan
darah dibandingkan pelumpuh otot yang lain. Penelitian Hughes dan
Chapple menemukan respon vagal dan simpatis terhadap beberapa obat
pelumpuh otot non depolarisasi dimana blok vagal dengan atracurium
hanya terjadi pada dosis 8 –1 6 kali lebih besar dibandingkan dosis
paralisis penuh dan minimal terhadap mekanisme simpatis. Berbeda
dengan Yoneda et.al., 1994 dimana kira-kira dosis atracurium 3 kali lebih
besar menurunkan aktivitas saraf simpatis ginjal, tekanan arterial dan
denyut jantung. Atracurium melepaskan histamine pada dosis 3 kali ED95 .
Pelepasan histamine setelah pemberian atracurium menimbulkan hipotensi
arterial tidak saja karena efek vasodilatasi langsung tapi juga akibat
penurunan aktivitas saraf simpatis.
3. Penghambat alfa adrenergik
Penghambat alfa adrenergik menghasilkan vasodilatasi melalui mekanisme
hambatan kompetitif reseptor adrenergik post sinap dalam sistem simpatis.
Efek phentolamine relative pendek antara 20 –4 0 dan reversibel, sedangkan
phenoxybenzamine bertahan beberapa hari karena obat ini merupakan
nitrogen mustard derivative, membentuk kompleks reseptor yang
irreversibel. Phentolamine juga mempunyai efek stimulant miokard (beta
adrenergik), meningkatkan konsumsi oksigen dan denyut jantung, sebaliknya
phenoxybenzamine memiliki efek sedasi. Phentolamine 5 –1 0 mg
digunakan untuk induksi vasodilatasi sedangkan phenoxybenzamine 0,5 – 2
,0 mg/kg yang bertahan dalam 10 hari berguna dalam meminimalkan efek
katekolamin pada pengangkatan phaeochromocytoma. Sedangkan
chlorpromazine dan droperidol yang mempunyai efek mild alpha adrenergik
block sering digunakan untuk preparasi pasien sebelum anestesi hipotensi.
4. Penghambat beta adrenergik
Keuntungan menggunakan antagonis beta adrenergik pada anestesi hipotensi
yaitu menurunnya denyut jantung dan curah jantung. Propranolol sering
digunakan untuk menghasilkan “rheostatic” hypotension. Terapi oral 3x40
mg/hr bisa digunakan sebagai medikasi pra anestesi, sedangkan dosis 1-2 mg
iv dapat digunakan selama anestesi. Penghambat BETA adrenergik ini dapat
dipakai sebelum atau selama anestesi untuk menetralkan efek takikardi yang
dihasilkan sebagai efek samping anestesi hipotensi oleh obat penghambat
ganglion atau vasodilator langsung. Pemberian preparat ini secara oral dinilai
lebih baik dibandingkan intravena karena akan menghasilkan konsentrasi
plasma tetap selama operasi. Labetalol (kombinasi anatagonis alfa dan beta
adrenergik) juga ideal untuk menginduksi hipotensi, tetapi durasi obat ini
hanya bertahan selama 30 menit dibandingkan penghambat beta yang
berdurasi 90 menit. Di samping itu, efek penghambat beta 5-7 kali lebih poten
dibandingkan penghambat alfa.
5. Vasodilator
a. Klonidin
Klonidin adalah obat antihipertensi golongan parsial selektif alfa-2
adrenergik agonis. Selain efek antihipertensi, klonidin juga dapat
memberikan efek sedasi, analgesi, dan anti cemas. Klonidin bekerja
dengan menurunkan respon simpatis dari sistem saraf pusat. Klonidin pada
tingkat perifer bekerja pada adrenoreseptor alfa-2 pre sinaps mengurangi
pelepasan norepinefrin pada terminal saraf simpatis sehingga
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan mengurangi efek kronotropik
pada jantung. Pemberian premedikasi klonidin dengan dosis 1,5 mcg/kgbb
intravena akan memberikan efek sedasi yang adekuat. Aliran darah ke
ginjal juga akan tetap dipertahankan selama terapi klonidin. Efek
bradikardi pada pemberian klonidin dapat diterapi dengan pemberian
atropin. Selain itu, klonidin juga mempunyai efek depresi napas yang
minimal pada sistem respirasi. Klonidin tersedia dalam bentuk ampul,
tablet, dan patch. Sediaan ampul (catapres) mengandung 150 mcg klonidin
hydrochloride dalam larutan 1 ml.
b. Sodium nitroprusside (SNP)
Keuntungan utama menggunakan obat ini adalah penurunan tekanan darah
yang cepat seimbang dengan pengembalian tekanan darah yang cepat ke
nilai normal, sehingga obat ini mampu menghasilkan “dial- a-pressure”
hypotension dalam periode yang sangat singkat misalnya saat
pengangkatan meningioma atau pemotongan aneurisma serebral.
Penggunaan SNP dianggap kurang memberikan visualisasi yang ideal
pada pembedahan kecuali terjadi penurunan MAP hingga 20% (Boezaart
et.al., 1995). SNP memberikan distribusi aliran darah serebral yang lebih
homogen akibat efek vasodilatasi langsung ke serebral dan
mempertahankan aliran darah yang adekuat ke organ vital pada MAP di
atas 50 mmHg. Efek vasodilator SNP pasti akan menggeser kurva
autoregulasi ke kiri secara dose dependent dan meningkatkan tekanan
intrakranial, sehingga tidak digunakan pada neurosurgery sebelum tulang
tengkorak dibuka. SNP bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah
menyebabkan dilatasi arteriolar, venodilatasi dan menurunnya curah
jantung. Respon ini disebabkan gugus NO yang berdifusi ke dalam otot
polos pembuluh darah dan meningkatkan cGMP sehingga menghasilkan
relaksasi. SNP memiliki sifat depresi terhadap kontraktilitas miokard yang
minimal dengan tetap memelihara aliran darah koroner dan menurunkan
kebutuhan oksigen otot jantung. Penggunaan preparat ini berhubungan
dengan intoksikasi sianida. Setiap molekul SNP mengandung 5 radikal
sianida yang dilepaskan akibat pemecahan obat dalam plasma dan sel
darah merah. Jalur metabolik normal pemecahan SNP bersifat non
enzimatik yaitu dalam sel darah merah dan plasma. Reaksi intraseluler di
katalisasi oleh perubahan haemoglobin menjadi methaemoglobin. Pada
akhirnya, lebih dari 98% sianida yang dihasilkan akibat
pemecahan SNP terdapat di dalam sel darah merah, sedangkan
proporsi yang lebih kecil bergabung dengan methaemoglobin atau vitamin
B12. Sebagian besar sianida dimetabolisme di hati oleh enzim rhodanase
menjadi thiocyanate yang dikeluarkan melalui urine. Faktor yang
membatasi kecepatan metabolisme sianida dipengaruhi gugus sulphydryl
dimana pada pemberian sodium thiosulphate akan meningkatkan produksi
thiocyanate sehingga mengurangi konsentrasi sianida dalam darah.
Penggunaan thiosulphate tidak mempengaruhi efek hipotensi yang
dihasilkan SNP. Dosis SNP yang direkomendasikan 0,2-0,5 ug/kg/menit
dan ditingkatkan secara bertahap sampai level hipotensi yang
diharapakan tercapai, sedangkan dosis maksimum yang dianggap masih
aman adalah 1,5 ug/kg/menit, dimana terjadi sedikit peningkatan
konsentrasi laktat dalam plasma yang dicerminkan dengan meningkatnya
deficit basa arterial -6 sampai -7 mmol/liter yang reversibel setelah
penghentian SNP. Pengukuran rutin asam basa selama SNP akan
memberikan informasi klinis yang adekuat terjadinya toksisitas sianida.
Jika dosis SNP yang diberikan tidak melebihi dosis maksimum maka
gejala toksisitas tidak akan terjadi pada pasien dengan fungsi hati dan
ginjal yang normal. Kerugian SNP untuk hipotensi kendali anak-anak
adalah munculnya reflek takikardi dan potensi terjadinya toksisitas
sianida (Degoute et.al., 2003).
c. Nicardipine
Nicardipine termasuk golongan antagonis calcium channel
dihydropyridine yang mempunyai potensi vasodilatasi arteri dengan
efek kronotropik dan inotropik negatif yang minimal (Kimura et.al.,
1999). Bernard et.al.. membandingkan penggunaannya dengan
nitroprusside untuk pasien dewasa yang menjalanani pembedahan spinal
fusion. Pada penelitian ini kedua obat mencapai hipotensi dengan cepat
akibat vasodilatasi sistemik. MAP yang stabil mudah dicapai sesuai
dengan protokol yang digambarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk
kembali ke tekanan darah baseline pada kelompok nicardipine 20 menit
lebih lama dibandingkan nitroprusside. Hal ini disebabkan mekanisme
seluler nitroprusside yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah melalui
produksi nitric oxide yang memiliki waktu paruh 0,1 detik. Pelepasan
donor nitric oxide menyebabkan restorasi tekanan darah yang cepat.
Nicardipine akan mempengaruhi tonus otot pembuluh darah yang
tergantung kalsium. Pelepasan nicardipine tidak menghasilkan
pengembalian ke tekanan darah baseline sampai obat berdifusi keluar dari
reseptor dan terjadi keseimbangan kalsium intra dan ekstraseluler. Tetapi
pengembalian MAP yang lambat justru memberikan keuntungan karena
proses yang bertahap tanpa disertai rebound hypertension yang biasa
terlihat pada nitroprusside memberikan lebih banyak waktu untuk
pembentukan bekuan darah yang stabil dan mencegah hilangnya darah
yang berlebihan paska operasi. Nicardipine menghasilkan reflek takikardi
yang minimal dibandingkan nitroprusside. Meningkatnya reflek takikardi
akan membutuhkan infus vasoaktif tambahan yang pada akhirnya
meningkatkan biaya per pasien. Dari segi biaya, nitroprusside lebih
ekonomis dibandingkan nicardipine, tetapi reflek takikardi yang
ditimbulkan menyebabkan pasien membutuhkan infuse vasoaktif
tambahan berupa esmolol, sehingga nicardipine dinilai lebih cost-
effective. Di samping itu, penggunaan rutin nicardipine pada
hipotensi kendali mengurangi jumlah unit darah yang dibutuhkan
sebesar 4-5 unit autologous blood atau biaya sekitar $206.00/unit (Hersey
et.al., 1997). Penelitian lain yang mendukung yaitu Bernard et.al.
menyimpulkan bahwa hipotensi kendali pada pasien dewasa sehat lebih
aman dan mudah dicapai dengan infus nicardipine dibandingkan
nitroprusside untuk spinal fusion karena MAP baseline tercapai kembali
secara bertahap dan lebih hemat. Penurunan tekanan darah dan
meningkatnya denyut jantung pada anestesi isofluran lebih lama, tetapi
klirens nicardipine lebih besar. Perbedaan ini menunjukkan bahwa
nicardipine meningkatkan ikatan reseptor target dengan isofluran sehingga
aktifitas simpatis medulla adrenal meningkat secara intensif. Waktu paruh
nicardipine dengan anestesi sevofluran dan enfluran berkisar 22-45 menit,
tetapi meningkat 2 kali lipat dengan isofluran. Hal ini disebabkan
meningkatnya aliran darah hepar dengan isofluran (Nishiyama et.al.,
1997).
d. Trinitroglycerin (TNG)Metabolisme nitroglycerin melibatkan pemecahan
trinitrate yang terjadi di hepar menjadi dimono-nitrate dan terakhir
glycerol. Proses ini menyebabkan aktivitas vasodilator molekul nitrat
berkurang karena ukuran molekul juga berkurang. TNG menghasilkan
penurunan tekanan arteri yang stabil dengan efek yang lebih besar pada
tekanan sistolik dibandingkan tekanan diastolik untuk mempertahankan
aliran darah. Pemulihan dari nitroglycerin membutuhkan waktu 10-20
menit, berbeda dengan SNP yang membutuhkan waktu 2 –4 menit,
sehingga kurang ideal digunakan pada pembedahan yang membutuhkan
hipotensi yang ekstrim. Efek vasodilatasi TNG lebih dominan pada sistim
kapasitansi vena sehingga tekanan diastolik dipertahankan lebih besar dan
perfusi arteri koroner lebih baik dibandingkan SNP. Efek ini
menguntungkan pada pasien yang memiliki gangguan sirkulasi serebral
atau miokard (Simpson, 1992). Dosis TNG biasanya dimulai 0,2-0,5
ug/kg/menit dan ditingkatkan bertahap hingga level hipotensi yang
diharapkan tercapai. TNG tidak menimbulkan takifilaksis, toksisitas dan
rebound hypertension seperti SNP.
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang wanita berusia 30 tahun masuk RS Syekh Yusuf Gowa dengan


keluhan adanya benjolan pada leher kiri sejak 5 bulan yang lalu, benjolan awalnya
kecil dan kemudian semakin membesar. Pasein juga mengeluhkan nyeri yang
dirasakan pada benjolan dengan skala nyeri yaitu 1 (ringan), pasien juga mengatakan
suara serak (+), dan sering berdebar – debar, tangan gemetar (+), berat badan
dirasakan menurun dari sebelumnya, dan kadang gelisah atau sulit tidur, namun nafsu
makan baik. Demam (-), Mual (-), Muntah (-), Sesak (-), sulit menelan (-) batuk (-).
BAB dan BAK dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 110/80mmHg;
nadi 60 x / menit, respirasi 22 x / menit, suhu 36,5˚C. Dari pemeriksaan laboratorium
hematologi didapatkan hasil yang bermakna yaitu WBC : 8.74 x 103 /µL, RBC : 4.35
x 103 /µL, HGB : 13.6 g/dL, PLT : 243 x 103 /µL, GDS : 210 mg/dL, CT: 8’30’’ dan
BT: 3’30’’. HBsAG : Non reaktif, AntiHIV : Non reaktif, Ag SARS Cov: Negatif.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan
bahwa pasien masuk dalam ASA I.
Pasien masuk ke kamar operasi pukul 09.00, kemudian dilakukan persiapan
pada pasien dengan tanda – tanda vital awal : TD 100/70 mmHg, HR 70 x/menit,
RR : 24 x / menit, Suhu 36,90, Sp O2 98%. Setelah pasien dan instrumen untuk
pembedahan telah siap, pukul 09.12 dilakukan persiapan untuk anestesi dengan
prosedur GETA. Pada pasien didapatkan wayne indeks dengan total skor 2 yang
menandakan pasien masuk dalam kategori eutiroid. Untuk penilaian jalan nafas pada
pasien ini dari pemeriksaan luar didapatkan adanya pembesaran leher kiri. Pada
penilaian Mallampati pasien masuk dengan mallampati score 2. Tidak ditemukan
tanda=tanda obstruksi saluran nafas dan mobilitas leher baik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa diperkirakan tidak ditemui kesulitan untuk laringoskopi dan
intubasi berdasarkan hasil pemeriksaan obyektif.
Pada pasien dipilih untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakeal napas terkendali dengan pertimbangan keuntungan yang
didapat dari tindakan anestesia tersebut. Keuntungan dari tindakan ini antara
lain:
 Jalan nafas yang aman dan terjamin karena terpasang ETT terlebih operasi
akan dilakukan pada kelenjar dileher
 Pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam keadaan tertidur, serta
terhindar dari trauma terhadap operasi.
 Kondisi pasien lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi.
Bila memakai teknik nafas spontan diperlukan obat anestesi banyak yang
dapat mendepresi pernafasan dan jantung (hipotensi, bradikardi, nafas
dangkal). Untuk mencegah pemakaian obat yang banyak pada operasi yang
memerlukan otot lemas atau relaksasi sebaiknya digunakan teknik nafas
kendali dengan memberikan obat pelemas otot jangka panjang. Dengan cara
ini dicapai relaksasi otot yang baik tanpa menggunakan anestetika yang
banyak dan menghi ndarkan anestesi yang terlalu dalam.
Setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL (ringer Laktat), obat-obat
premedikasi, Midazolam 4 mg, fentanyl 100 mcg dan Lidocaine 1% 50 mg, setelah
itu dimasukkan propofol 140 mg sebagai obat induksi anestesia, muscle relaksan
dengan golongan non-depolarisasi yaitu rocuronium 50 mg, sebagai obat anestesi
inhalasi diberikan sevoflurance MAC 1,5 % vol dengan tambahan O2 10 lpm.
Selama operasi berlangsung tekanan darah pasien mengalami peningkatan menjadi
164 / 123 mmHg, Nadi 93 x / menit, SpO2 100%, sehingga diberi melalui shrim
pump yaitu Nicardipin 10 mg yang diencerkan dengan Aquades 40 mg. Selain itu
juga terpasang fentanyl pada syringe pump dengan dosis 50 mg / jam sebagai
maintenance.
Pukul 09.25 operasi berlangsung, dilakukan pemantauan monitor untuk tanda-tanda
vital pasien. Pukul 10.15 operasi selesai, TTV terakhir : TD 105 / 69 mmHg, HR 67x/
menit, RR 20x/ menit, Suhu 36,8 C, Sp O2 100%.
BAB V

KESIMPULAN

Pada operasi telinga, teknik anestesi yang dipilih seharusnya dapat


memberikan kondisi operasi yang baik pada operator. Tujuannya haruslah
mengurangi perdarahan, terutama pada daerah yang dioperasi. Teknik anestesi
hipotensi merupakan suatu teknik pada anestesi umum dengan menggunakan agen
hipotensi kerja cepat untuk menurunkan tekanan darah serta perdarahan saat operasi.
Prosedur ini memudahkan operasi sehingga membuat pembuluh darah dan jaringan
terlihat serta mengurangi kehilangan darah. Teknik ini memerlukan kontrol pada
tekanan darah yang rendah sehingga tekanan darah sistolik berada diantara 80-90
mmHg. Definisi lainnya adalah menurunkan tekanan arteri rata- rata (mean arterial
pressure) sampai berkisar antara 60-70 mmHg pada pasie normotensi.
Kata kunci pada teknik anestesi hipotensi adalah MAP (Mean Arterial
Pressure) yaitu perkalian cardiac output dengan resistensi vaskular sistemik. MAP
dapat dimanipulasi dengan mengurangi resistensi vaskular sistemik atau cardiac
output, atau keduanya. Resistensi vaskular sistemik dapat dikurangi dengan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, sedangkan cardiac output dapat dapat dikurangi
dengan menurunkan venous return, heart rate, kontraktilitas miokard atau kombinasi
dari ketiganya.
DAFTAR PUSTAKA.

1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Semarang: Ikatan
Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah;
2010.p.259-64
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2009; 133-
9
3. Morgan GE. Mikhail MS. Clinical Anesthesiologi. 4ed. Appleton & Lange
Stamford. 2006
4. Miller RD. Anesthesia 7th ed. Churchill Livingstone Philadelphia. 2009 5.
Sunatrio. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta; 2000
6. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang
7. Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien kritis.
Second Fundamental Course on Fluid Therapy. PT. Widatra Bhakti. Jakarta;
2003.

Anda mungkin juga menyukai