Disusun oleh:
G1A222033
PEMBIMBING
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“General Anestesi pada Revisi VP-Shunt” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Dedy Fachrian, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah
laporan kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
2.1 Identitas
Nama : An.T
Umur : 8 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 26 kg
Diagnosis : Hidrosefalus post VP Shunt
Tindakan : Revisi VP Shunt
3. Thoraks
Pulmo
o Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
o Palpasi : nyeri (-), krepitasi (-)
o Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
o Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
o Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : iktus kordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-) gallop (-)
4. Abdomen
Inspeksi : Datar, bekas operasi (+)
Auskultasi : bising usus (+) dbn
Palpasi : massa (-), NT (-), nyeri lepas (-), supel, hepar dan lien
tidak teraba, turgor kulit kesan normal.
Perkusi : timpani
5. Punggung
Inspeksi : tampak massa (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
Akral : hangat
Sianosis : (-)
Edema : (-)
7. Genitalia : Jenis kelamin perempuan, anomaly (-)
CT : 3” (2-6) menit
mmol/L
mmol/L
mg)
6. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan
Laringoskop Tube : ETT Single
Lumen no 5
Airway : Guedel
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2
buah Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction
Anestesi umum :
Induksi intravena dengan Fentanyl 50 mcg, profofol 50
mg, atracurium 10 mg
Intubasi dengan ETT no.5 dengan laringoskop blade lengkung
Medikasi :
Fentanyl 50 mcg (IV)
Propofol 50 mg (IV)
Atracurium 10 mg (IV)
cc Output :
Urine :-
Perdarahan : ± 20 cc
Cairan pus :-
BB = 26 Kg
Terapi cairan
SO
= 4 cc/KgBB/jam (operasi sedang)
= 4 cc x 26 kg/jam
= 104 cc/jam
Jam I: ½ PP + M + SO = cc
( 198 cc) + 66 cc + 104 cc = 368 cc
Jam II : ¼ PP + M + SO = cc
(92 cc) +66 cc+104 cc = 262 cc
2.8 Monitoring
TD awal = - , Nadi = 96 x/menit, RR = 24 x/menit
Jam TD Nadi RR Spo2 keteragan
09.00 - 92 23 100% Pasien masuk ke kamar
operasi, dan dipindahkan ke
mejaoperasi
Pemasangan alat monitoring,
saturasi, nadi, Diberikan cairan RL
dan obat premedikasi (Ondanstron 2
mg)
09.15 - 94 23 100% Pasien dipersiapkan untuk induksi
Pasien di berikan analgesik fentanil
50 mcg, induksi dengan Profofol 50
mg, cek refleks bulu mata.
Kemudian pasien dipasangkan
sungkup dan mulai di bagging, lalu
diberikan relaksan yaitu atracurium
15 mg/KgBB IV.
09.30 - 80 23 100% Setelah di bagging selama 5 menit
pasien di intubasi dengan ETT no.
5.0 ETT di hubungkan dengan
ventilator. dilakukan auskultasi di
kedua lapang paru untuk
mengetahui ETT terpasang dengan
benar. ETT difiksasi dengan plester.
Diberikan maintenance yaitu
sevoflurans 2% dan N2O 1 O2 1
09.45 - 90 23 100% Kondisi terkontrol
10.00 - 85 23 100% Kondisi terkontrol
10.15 - 94 23 100% Kondisi terkontrol
10.30 - 86 23 100% Kondisi terkontrol
10.45 - 90 23 100% Kondisi terkontrol
11.00 - 88 23 100% Pasien napas spontan dilakukan
suction Refleks batuk ada
Pasien di ekstubasi diberikan
oksigen kemudian cek saturasi.
2
Pernafasan 2
Kesadaran 2
Jumlah 6
3.1 HIDROSEFALUS
a. Definisi
Kata hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang
berarti air, dan cephalus yang berarti kepala. Secara umum hidrosefalus
dapat didefiniskan sebagai suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun
penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan
serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan
sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal.
b. Epidemiologi
Kasus ini merupakan salah satu masalah dalam bedah saraf yang
paling sering ditemui. Data menyebutkan bahwa hidrosefalus kongenital
terjadi pada 3 dari 1000 kelahiran di Amerika Serikat dan ditemukan lebih
banyak di negara berkembang seperti Brazil yaitu sebanyak 3,16 dari 1000
kelahiran. Sedangkan di Indonesia ditemukan sebanyak 40% hingga 50%
dari kunjungan berobat atau tindakan operasi bedah saraf.
c. Patofisiologi
Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam
sistem ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus
koroidalis di ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total
cairan serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis
lebih kurang 0,35-0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan
cairan tersebut sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur
aliran yang dimulai dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro
kemudian ke ventrikel 3, selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu
ke ventrikel 4 dan menuju ke foramen luska dan magendi, hingga akhirnya
ke ruang subarakhnoid dan kanalis spinalis. Secara teoritis, terdapat tiga
penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab
paling jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini
disebabkan oleh adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma),
namun ada pula yang terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A.
D. Etiologi
E. Tatalaksana
Terapi Sementara
Terapi konservatif medikamentosa berguna untuk mengurangi
cairan dari pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid
0,1 mg/kg BB/hari) dan hanya bisa diberikan sementara saja atau tidak
dalam jangka waktu yang lama karena berisiko menyebabkan gangguan
metabolik. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien hidrosefalus ringan
bayi dan anak dan tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikular
posthemoragik pada anak.
Operasi Shunt
A. Definisi
1. Anestesi Inhalasi
1. Dinitrogenoksida (N2O)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2).
Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium
induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2
adalah sebagai berikut 60%
: 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
2. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada
nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.
3. Enfluran
4. Isofluran
5. Sevofluran
1. Barbiturate
2. Propofol
3. Ketamin
4. Opioid
5. Benzodiazepin
Neonatus dan bayi memiliki alveoli yang lebih sedikit dan lebih
kecil sehingga mengurangi compliance paru; sebaliknya, tulang rawan
pada tulang rusuk mereka membuat dinding dada mereka sangat patuh dan
meningkatkan resistensi saluran napas. Kerja pernapasan meningkat, dan
otot pernapasan lebih mudah lelah. Karakteristik ini menyebabkan
kolapsnya dinding dada selama inspirasi dan volume paru residual yang
relatif rendah saat ekspirasi. Penurunan yang dihasilkan dalam kapasitas
residu fungsional (FRC) membatasi cadangan oksigen selama periode
apnea (misalnya, usaha intubasi) dan predisposisi neonatus dan bayi untuk
atelektasis dan hipoksemia. Efek penurunan FRC ini dapat dibesar-
besarkan oleh tingkat konsumsi oksigen neonatus dan bayi yang relatif
lebih tinggi, 6 hingga 8 mL/kg/menit dibandingkan 3 hingga 4
mL/kg/menit pada orang dewasa. Selain itu, penggerak ventilasi hipoksia
dan hiperkapnia tidak sepenuhnya berkembang pada neonatus dan bayi.
Berbeda dengan orang dewasa, hipoksia dan hiperkapnia dapat menekan
pernapasan pada pasien pediatri.
Neonatus dan bayi, dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan
orang dewasa, memiliki kepala dan lidah yang lebih besar secara
proporsional, saluran hidung yang lebih sempit, laring anterior dan
cephalad (glotis berada pada tingkat vertebra C4 versus C6 pada orang
dewasa), epiglotis yang lebih panjang, dan trakea dan leher yang lebih
pendek. Ciri- ciri anatomis ini membuat neonatus dan bayi muda wajib
bernapas melalui hidung sampai usia sekitar 5 bulan. Tulang rawan krikoid
adalah titik tersempit jalan napas pada anak di bawah usia 5 tahun; pada
orang dewasa, titik tersempit adalah glotis (pita suara). Satu milimeter
edema mukosa akan menghasilkan penurunan luas penampang trakea dan
aliran gas yang lebih besar pada anak-anak karena diameter trakea yang
lebih kecil.
Stroke volume jantung relatif tetap oleh ventrikel kiri yang belum
matang dan tidak ada penyesuaian pada neonatus dan bayi. Oleh karena itu
curah jantung sangat sensitif terhadap perubahan denyut jantung.
Meskipun denyut jantung lebih besar pada neonatus dan bayi
dibandingkan pada orang dewasa, stimulasi vagal, overdosis anestesi,
atau hipoksia dapat dengan
cepat memicu bradikardia dengan penurunan curah jantung yang besar.
Bayi sakit yang menjalani pembedahan darurat atau lama tampak sangat
rentan terhadap episode bradikardia yang dapat menyebabkan hipotensi,
asistol, dan kematian intraoperatif. Sistem saraf simpatis dan refleks
baroreseptor belum sepenuhnya matang. Sistem kardiovaskular bayi
menampilkan respons tumpul terhadap katekolamin eksogen. Jantung yang
belum matang lebih sensitif terhadap depresi oleh anestesi volatil dan
bradikardia yang diinduksi opioid. Bayi kurang mampu merespon
hipovolemia dengan vasokonstriksi kompensasi. Penurunan volume
intravaskular pada neonatus dan bayi dapat ditandai dengan hipotensi
tanpa takikardia.
Bayi dan anak kecil memerlukan dosis propofol yang lebih besar
karena volume distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan orang
dewasa. Anak-anak juga memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih
pendek dan klirens plasma yang lebih tinggi untuk propofol. Propofol
tidak direkomendasikan untuk sedasi
berkepanjangan pada pasien anak yang sakit kritis di unit perawatan
intensif (ICU) karena berhubungan dengan mortalitas. "Propofol Infusion
Syndrome" paling sering dilaporkan pada anak-anak yang sakit kritis,
tetapi juga dilaporkan pada orang dewasa yang menjalani sedasi propofol
jangka panjang, terutama pada peningkatan dosis (>5 mg/kg/jam). Ciri-ciri
utamanya meliputi rhabdomyolysis, asidosis metabolik, ketidakstabilan
hemodinamik, hepatomegali, dan kegagalan multiorgan.
Opioid tampaknya lebih kuat pada neonatus dibandingkan pada
anak yang lebih tua dan orang dewasa. Morfin sulfat, terutama dalam dosis
berulang, harus digunakan dengan hati-hati pada neonatus karena
konjugasi hepatik berkurang dan klirens ginjal dari metabolit morfin
menurun. Jalur sitokrom P-450 matang pada akhir periode neonatal.
Dexmedetomidine telah digunakan secara luas untuk sedasi dan sebagai
suplemen anestesi umum pada anak-anak. Pada pasien tanpa jalur
intravena, dexmedetomidine dapat diberikan secara intranasal (1-2
mcg/kg) untuk sedasi.
3.4.5 Preoperatif
Anamnesis
Tergantung pada usia, pengalaman, dan kedewasaan, anak-anak hadir
dengan berbagai tingkat ketakutan saat menghadapi prospek prosedur yang
membutuhkan anestesi. Brosur dan video atau tur yang sesuai dengan usia
dapat membantu mempersiapkan baik anak-anak maupun orang tua.
Ketika waktu mengizinkan, seseorang dapat mengungkap proses anestesi
dan pembedahan dengan menjelaskan dalam istilah yang sesuai dengan
usia apa yang ada di depan. Di beberapa pusat, orang tua diperbolehkan
hadir selama persiapan praanestesi dan induksi anestesi. Hal ini dapat
memiliki pengaruh yang sangat menenangkan pada anak-anak yang
menjalani prosedur berulang (misalnya, pemberian kemoterapi intratekal).
Sayangnya, pasien rawat jalan dan operasi “pengakuan pada hari yang
sama”, ditambah dengan jadwal ruang operasi yang sibuk, seringkali
menyulitkan untuk meyakinkan orang tua dan pasien secara memadai.
Dengan demikian, premedikasi (dibahas di bawah) dapat membantu.
Beberapa rumah sakit anak memiliki ruang induksi yang berdekatan
dengan ruang operasi mereka untuk memungkinkan kehadiran orang tua
dan lingkungan yang lebih tenang untuk induksi anestesi.
Tanda Infeksi Saluran Nafas Bagian Atas
Anak-anak sering hadir untuk operasi dengan tanda dan gejala,
pilek disertai demam, batuk, atau sakit tenggorokan karena infeksi virus
saluran pernapasan atas (URI). Upaya harus dilakukan untuk membedakan
antara penyebab infeksi rhinorrhea dan penyebab alergi atau vasomotor.
Infeksi virus dalam 2 sampai 4 minggu sebelum anestesi umum dan
intubasi endotrakeal menempatkan anak pada peningkatan risiko
komplikasi paru perioperatif, termasuk mengi (10 kali lipat),
laringospasme (5 kali lipat), hipoksemia, dan atelektasis. Hampir tidak
mungkin untuk menjadwalkan mereka untuk anestesi pada saat mereka
tidak memiliki, juga tidak pulih dari, URI.
Keputusan untuk membius anak-anak dengan URI masih
kontroversial dan harus didasarkan pada keparahan gejala URI, urgensi
pembedahan, dan adanya penyakit lain yang menyertai. Ketika anestesi
akan diberikan kepada anak dengan URI, seseorang dapat
mempertimbangkan premedikasi dengan albuterol antikolinergik atau
inhalasi, menghindari intubasi (jika memungkinkan) dan melembabkan gas
inspirasi.
Tes Laboratorium
Beberapa pusat pediatrik tidak memerlukan tes laboratorium pra
operasi pada anak sehat yang menjalani prosedur minor. Jelas, ini
menempatkan tanggung jawab pada ahli anestesi, ahli bedah, dan dokter
anak untuk mengidentifikasi dengan benar pasien yang memerlukan
pengujian pra operasi untuk alasan tertentu. Sebagian besar pasien tanpa
gejala dengan murmur jantung tidak memiliki patologi jantung yang
signifikan. Bising polos dapat terjadi pada lebih dari 30% anak normal.
Puasa perioperatif
Karena anak-anak lebih rentan terhadap dehidrasi daripada orang
dewasa, pembatasan cairan sebelum operasi selalu lebih ringan. Beberapa
penelitian, bagaimanapun, telah mendokumentasikan pH lambung yang
rendah (<2,5) dan volume residu yang relatif tinggi pada pasien anak yang
dijadwalkan untuk pembedahan, menunjukkan bahwa anak-anak mungkin
memiliki risiko aspirasi yang lebih besar daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Insiden aspirasi dilaporkan sekitar 1:1000. Tidak ada bukti
bahwa puasa berkepanjangan menurunkan risiko aspirasi. Faktanya,
beberapa penelitian telah menunjukkan volume residu yang lebih rendah
dan pH lambung yang lebih tinggi pada pasien anak yang menerima cairan
bening beberapa jam sebelum induksi. Pedoman puasa pra operasi yang
dibuat oleh American Society of Anesthesiologists menetapkan bahwa bayi
dapat diberi ASI hingga 4 jam sebelum induksi, dan susu formula atau
cairan dan makanan "ringan" dapat diberikan hingga 6 jam sebelum
induksi. Cairan bening ditawarkan sampai 2 jam sebelum induksi.
Rekomendasi ini adalah untuk neonatus sehat, bayi, dan anak-anak tanpa
faktor risiko penurunan pengosongan atau aspirasi lambung.
Bagaimanapun, hampir tidak ada bukti klinis untuk rekomendasi tersebut.
lambung. Bagaimanapun, hampir tidak ada bukti klinis untuk rekomendasi
tersebut.
Premedikasi
Premedikasi obat penenang umumnya dihilangkan untuk neonatus
dan bayi yang sakit. Anak-anak yang tampaknya menunjukkan kecemasan
perpisahan yang tidak terkendali dapat diberikan obat penenang, seperti
midazolam (0,3-0,5 mg/kg, maksimal 15 mg). Rute oral umumnya lebih
disukai karena kurang traumatis dibandingkan injeksi intramuskular, tetapi
membutuhkan waktu 20 sampai 45 menit untuk efeknya.
Dosis midazolam yang lebih kecil telah digunakan dalam
kombinasi dengan ketamin oral (4-6 mg/kg) untuk pasien rawat inap.
Untuk pasien yang tidak kooperatif, midazolam intramuskular (0,1–0,15
mg/kg, maksimal 10 mg) atau ketamin (2–3 mg/kg) dengan atropin (0,02
mg/kg) dapat membantu. Midazolam rektal (0,5–1 mg/kg, maksimum 20
mg) atau methohexital rektal (25–30 mg/kg larutan 10%) juga dapat
diberikan pada kasus tersebut saat anak dalam pelukan orang tua. Beberapa
dokter memberikan premedikasi dexmedetomidine (1-2 mcg/kg) atau
midazolam secara intranasal. Fentanil juga dapat diberikan sebagai
permen lolipop
(Actiq, 5–15 mcg/kg); namun, kadar fentanil terus meningkat selama
operasi dan dapat berkontribusi pada analgesia pasca operasi.
3.4.6 Monitoring
Persyaratan pemantauan untuk bayi dan anak-anak umumnya
serupa dengan orang dewasa dengan beberapa modifikasi kecil. Batas
alarm (misalnya, untuk detak jantung) harus disesuaikan dengan tepat.
Bantalan elektroda elektrokardiografi yang lebih kecil mungkin berguna
untuk menghindari perambahan pada bidang bedah. Manset tekanan darah
harus berukuran dan diposisikan dengan benar. Monitor tekanan darah
non-invasif dapat diandalkan pada bayi dan anak-anak. Stetoskop
prekordial atau esofagus menyediakan cara yang murah untuk memantau
detak jantung, kualitas bunyi jantung, dan patensi jalan napas. Monitor
terkadang perlu dipasang terlebih dahulu (atau dipasang kembali) setelah
induksi anestesi pada pasien yang kurang kooperatif. Oksimetri nadi dan
kapnografi berperan lebih penting pada bayi dan anak kecil karena
hipoksemia dan ventilasi yang tidak adekuat tetap menjadi penyebab
umum morbiditas dan mortalitas perioperatif
Suhu harus dipantau secara ketat pada pasien anak karena risiko
yang lebih besar untuk hipertermia ganas dan kerentanan yang lebih besar
untuk hipotermia atau hipertermia intraoperatif. Risiko hipotermia dapat
dikurangi dengan mempertahankan lingkungan ruang operasi yang hangat
(26°C atau lebih hangat), menghangatkan dan melembabkan gas yang
dihirup, menggunakan selimut penghangat dan lampu penghangat, dan
menghangatkan semua cairan intravena dan irigasi.
Neonatus prematur atau kecil untuk usia kehamilan, neonatus yang
telah menerima nutrisi parenteral total, atau neonatus yang ibunya
menderita diabetes rentan terhadap hipoglikemia. Bayi-bayi ini harus
sering melakukan pengukuran glukosa darah; tingkat di bawah 30 mg/dL
pada neonatus, di bawah 40 mg/dL pada bayi, dan di bawah 60 mg/dL
pada anak- anak dan di bawah 80 mg/dL pada orang dewasa,
mengindikasikan
hipoglikemia yang membutuhkan penanganan segera. Pengambilan sampel
darah untuk gas darah arteri, hemoglobin, kalium, dan konsentrasi kalsium
terionisasi dapat sangat berharga pada pasien sakit kritis yang menjalani
operasi besar atau menerima transfusi.
3.4.7 Induksi
Anestesi umum biasanya diinduksi dengan teknik intravena atau
inhalasi. Induksi dengan ketamin intramuskular (5–10 mg/kg) dicadangkan
untuk situasi tertentu, seperti yang melibatkan pasien agresif, terutama
yang mengalami gangguan mental, atau autis. Induksi intravena biasanya
lebih disukai ketika pasien datang ke ruang operasi dengan kateter
intravena fungsional atau memungkinkan kanulasi vena terjaga. Krim
EMLA harus tetap bersentuhan dengan kulit setidaknya selama 30 hingga
60 menit. Intubasi sadar atau sedasi-terjaga dengan anestesi topikal harus
dipertimbangkan untuk prosedur darurat pada neonatus dan bayi kecil
ketika mereka sakit kritis atau terdapat potensi kesulitan jalan napas.
Sedasi sering diminta untuk pasien anak di dalam dan di luar ruang
operasi untuk prosedur non-bedah. Kerja sama dan tidak bergerak
mungkin diperlukan untuk studi pencitraan, bronkoskopi, endoskopi
gastrointestinal, kateterisasi jantung, penggantian balutan, dan prosedur
minor (mis. pengecoran dan aspirasi sumsum tulang). Persyaratan
bervariasi tergantung pada pasien dan prosedurnya, mulai dari ansiolisis
(sedasi minimal) hingga sedasi sadar (sedasi dan analgesia sedang), hingga
sedasi/analgesia dalam, dan akhirnya anestesi umum. Ahli anestesi
memegang standar yang sama apakah mereka memberikan sedasi sedang
atau dalam atau mereka memberikan anestesi umum. Ini termasuk
persiapan pra operasi (misalnya, puasa), penilaian, pemantauan, dan
perawatan pasca operasi. Obstruksi jalan napas dan hipoventilasi adalah
masalah yang paling sering ditemui terkait dengan sedasi sedang atau
dalam. Depresi kardiovaskular adalah risiko dengan sedasi dalam atau
anestesi umum.
Propofol sejauh ini merupakan obat sedatif-hipnotik yang paling
berguna, meskipun obat ini tidak disetujui untuk sedasi pasien ICU
pediatrik dan tidak disetujui untuk diberikan oleh siapa pun selain mereka
yang terlatih dalam administrasi anestesi umum. Di negara-negara selain
Amerika Serikat, propofol sering diberikan menggunakan Diprifusor,
pompa infus yang dikendalikan komputer yang mempertahankan
konsentrasi situs target yang konstan. Oksigen tambahan dan pemantauan
ketat jalan napas, ventilasi, dan tanda-tanda vital lainnya adalah wajib
(seperti agen lainnya). LMA biasanya ditoleransi dengan baik pada dosis
propofol yang lebih tinggi. Untuk studi pencitraan, dexmedetomidine
intranasal juga terbukti bermanfaat, terutama pada bayi yang tidak
memiliki atau membutuhkan akses intravena.
3.4.14 Emergensi dan Pemulihan
a. Pra Anestesi
Diketahui bahwa pasien usia 8 tahun mengalami Hidrosefalus
dengan penatalaksanaan yang dilakukan adalah tindakan Vp-Shunt tanggal
11 Juli 2023. Sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan, sehari sebelum
pada tanggal 10 Juli 2023 telah dilakukan kunjungan pra anestesi ke ruang
perawatan bedah. Berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan preoperative
tersebut dan berdasarkan pemeriksaan status anestesi pasien, pasien
digolongkan pada ASA I sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik
menurut The American Society of Anesthesiologist.
b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :
Jam I: ½ PP + M + SO = cc
( 198 cc) + 66 cc + 104 cc = 368 cc
Jam II : ¼ PP + M + SO = cc
(92 cc) +66 cc+104 cc = 262
cc
Total cairan : 368 + 262 = 631cc
Total kebutuhan cairan selama operasi 2 jam = 631 cc
Selama operasi jumlah cairan yang diberikan adalah :
- Input : RL 700 cc
- Output : perdarahan ± 20 cc
Kebutuhan cairan pada pasien ini sudah tercukupi.
c. Tindakan premedikasi
Pada pasien ini sebelum dilakukan induksi anestesi, diberikan obat
premedikasi yaitu ondansetron 2 mg. Pemberian ondansetron yang di
berikan secara parenteral terbukti aman dan efektif dalam mencegah mual
dan muntah pasca prosedur pembedahan dengan anestesi umum.
e. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena,
atau dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini
rumatan anestesi diberikan secara inhalasi sevoflurans + N2O : O2.
Anestesi dapat dipertahankan pada pasien anak dengan agen yang
sama seperti pada orang dewasa. Beberapa dokter beralih ke isofluran
mengikuti induksi sevofluran dengan harapan mengurangi kemungkinan
munculnya agitasi atau delirium pasca operasi. Pemberian opioid
(misalnya, fentanil, 1-1,5 mcg/kg) atau dexmedetomidine (0,5 mcg/kg,
diberikan perlahan dengan pemantauan denyut jantung) 15 sampai 20
menit sebelum akhir prosedur dapat mengurangi kejadian munculnya
delirium dan agitasi jika prosedur bedah cenderung menghasilkan rasa
sakit pasca operasi.
f. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot.
Dosis atracurium berdasarkan berat badan adalah 0.4-0.5 mg/kgBB pada
pasien ini yaitu 10 mg. Atracurium besilat (Tracium) yang merupakan obat
pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru yang mempunyai
struktur benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini
dari yang
lain adalah tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang,
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular secara bermakna.
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit.
Pada pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher
tidak pendek, gigi depan tidak menonjol, dan mallampati 2.
09.15 94 23 100%
09.30 80 23 100%
09.45 90 23 100%
10.00 85 23 100%
10.15 94 23 100%
10.30 86 23 100%
10.45 90 23 100%
11.00 88 23 100%
h. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada
pasien. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi
kembali menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi
umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan
tidak terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut,
laring, faring, dari sekret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi
secara tepat telah dilakukan dimana ekstubasi dilakukan ketika efek
anestesi
sudah ringan dan pasien sudah mulai bernafas spontan, serta tidak
ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
i. Ruang pemulihan
Pasien masuk ke ruang pemulihan. Pada perhitungan skor Steward,
berdasarkan beberapa penilaian yang terdiri dari pergerakan, pernapasan,
dan kesadaran, pasien ini memiliki skor 2 dari setiap poinnya, yang berarti
pasien dalam kondisi baik.
Selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang perawatan dengan
instruksi anestesi diantaranya : observasi keadaan umum, vital sign, dan
perdarahan tiap 15 menit, boleh makan minum bila sadar penuh dan bising
usus positif, terapi selanjutnya disesuaikan dengan dokter spesialis bedah.
BAB V
KESIMPULAN
Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada
orang dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini.
Seperti pada anestesia untuk orang yang dewasa anestesia anak kecil dan
bayi khususnya harus diketahui betul sebelum dapat melahirkan anestesia
karena itu anestesia pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis
anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman.
Secara anatomis lokasi larynx, glotis dan kartilago krikoid pada
pasien anak terletak lebih tinggi sehingga akan lebih mudah untuk
melakukan intubasi dengan blade lurus, serta karena jalan napas yang
sempit maka keterampilan dan kehati- hatian dokter anestesi sangat
diutamakan.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi
umum pada operasi Revisi VP shunt dengan indikasi hidrosefalus pada
pasien anak perempuan, umur 8 Tahun, status fisik ASA I dengan
menggunakan teknik anestesi umum dengan ET no. 5. Untuk mencapai
hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi
anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada kasus ini tatalaksana airway dilakukan External Laryngeal
Maneuver dalam mempermudah ventilasi maupun intubasinya, dan
diletakkan juga bantal yang kecil dibelakang bahu pasien agar
meminimalisir kesulitan intubasi yang disebabkan oleh oksipital pasien
yang besar.
DAFTAR PUSTAKA