Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A222033

**Pembimbing : dr. Dedy Fachrian, Sp.An

General Anestesi Pada Revisi VP-Shunt


Nikita Nababan, S.Ked * dr.Dedy Fachrian, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
JAMBI 2023
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

General Anestesi Pada Revisi VP-Shunt

Disusun oleh:

Nikita Nababan, S.Ked

G1A222033

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


pada Juli 2023

PEMBIMBING

dr. Dedy Fachrian, Sp.An


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session (CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul
“General Anestesi pada Revisi VP-Shunt” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Dedy Fachrian, Sp.An yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah
laporan kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Juli 2023


BAB 1
PENDAHULUAN

Hidrosefalus merupakan gangguan yang terjadi akibat kelebihan


cairan serebrospinal pada sistem saraf pusat. Kasus ini merupakan
salah satu masalah yang sering ditemui di bidang bedah saraf, yaitu
sekitar 40% hingga 50%. Penyebab hidrosefalus pada anak secara umum
dapat dibagi menjadi dua, prenatal dan postnatal. Baik saat prenatal
maupun postnatal, secara teoritis patofisiologi hidrosefalus terjadi karena
tiga hal yaitu produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi
liquor yang berlebihan, dan peningkatan tekanan sinus venosa.
Hidrosefalus pada anak dapat didiagnosis dan diterapi sejak dini.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat adanya empat tanda
hipertensi intrakranial. Pemeriksaan penunjang seperti USG dapat
membantu penegakan diagnosis di masa prenatal maupun postnatal,
sedangkan CT Scan dan MRI pada masa postnatal. Terapi pada kasus ini
sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Pada kebanyakan kasus, pasien
memerlukan tindakan operasi shunting namun terdapat pula pilihan atau
terapi alternatif non-shunting seperti terapi etiologik dan penetrasi
membran. Prognosis ditentukan oleh berbagai macam faktor, di antaranya
adalah kondisi yang menyertai, durasi dan tingkat keparahan, serta
respon pasien terhadap terapi. Tingkat kematian pada pasien hidrosefalus
dengan terapi shunting masih tinggi karena berbagai komplikasi yang
terjadi, salah satunya adalah infeksi pasca operasi.

Hidrosefalus bukanlah suatu penyakit tunggal melainkan hasil


akhir dari proses patologis yang luas baik secara kongenital maupun
akibat dari kondisi yang didapat. Gejala klinis, perubahan dan prognosis
jangka panjang dari hidrosefalus akan bervariasi tergantung dari
usia saat munculnya onset dan keadaan yang menyertai serta yang
menjadi penyebabnya.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : An.T
Umur : 8 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 26 kg
Diagnosis : Hidrosefalus post VP Shunt
Tindakan : Revisi VP Shunt

2.2 Anamnesis dan Pemeriksaan


Fisik Riwayat Penyakit
A. Keluhan Utama
Sulit untuk menoleh ke kanan dan ke kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher dibawa oleh ibunya dengan
keluhan sulit untuk menoleh ke kanan dan ke kiri, keluhan ini sudah
dirasakan kurang lebih 2 bulan SMRS. Pasien memiliki riwayat
hidrosefalus sejak bayi dan telah dilakukan pemasangan VP Shunt pada
usia 6 bulan. Sejak pemasangan VP shunt tersebut kepala pasien berangsur
mengecil dan saat ini pasien duduk di kelas 3 sekolah dasar dan belajar
seperti anak pada umunya. Pasien merupakan anak pertama, lahir spontan
di tolong oleh bidan, pada saat hamil ibu jarang kontrol kehamilan (ANC).
Riwayat ibu keguguran (-).
C. Riwayat Penyakit dahulu :
 Riwayat operasi : (+)
 Riwayat kelainan usus : (-)
 Riwayat alergi : (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
 Riwayat keluhan serupa : (-)
2.3 Pemeriksaan Fisik
: Keadaan Umum
Keadaan Umum : tampak sakit
ringan Kesadaran : compos
mentis
Suhu : 36.6 C
RR : 24 x/menit
Nadi : 96 x/menit
SpO2 : 100%
Berat Badan : 26 kg
1. Kepala
Bentuk: makrosefali, ( LK = 56cm ) normalnya 49-54 cm
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/- ), pupil : isokor, refleks
cahaya : (+/+)
Mulut
o Gigi palsu : tidak ditemukan
o Gigi tonggos : tidak ditemukan
o Trismus : tidak ditemukan
o Rahang bawah maju : tidak ditemukan
2. Leher
 KGB : tidak ada pembesaran
 Kelenjar thyroid : tidak ada pembesaran
 Deviasi trakea : (-)
 Mallampati : Class II

3. Thoraks
 Pulmo
o Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-), deformitas (-)
o Palpasi : nyeri (-), krepitasi (-)
o Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
o Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
 Jantung
o Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : iktus kordis tidak teraba
o Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-) gallop (-)
4. Abdomen
 Inspeksi : Datar, bekas operasi (+)
 Auskultasi : bising usus (+) dbn
 Palpasi : massa (-), NT (-), nyeri lepas (-), supel, hepar dan lien
tidak teraba, turgor kulit kesan normal.
 Perkusi : timpani
5. Punggung
 Inspeksi : tampak massa (-)
 Palpasi : nyeri tekan (-)
6. Ekstremitas
 Akral : hangat
 Sianosis : (-)
 Edema : (-)
7. Genitalia : Jenis kelamin perempuan, anomaly (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Darah Rutin (08/07/2023)


WBC : 7,6 x 103/mm3 (4,5-13,5) RBC : 4.70 x 106/mm3(3,8-5,8)

HB : 12,4 g/dl (10,8-15,6) PLT : 369 x 103/mm3 (181-521)

Ht : 36,7% (33,0-45,0) BT: 2” (1-3) menit

CT : 3” (2-6) menit

b. Laboratorium Lainnya (08/07/2023)


GDS : 94 N :< 200 mg/dl
Protein total : 7.8 g/dl N:6,4 -

8,2 Albumin : 4.4 g/dl N:3,4 - 5,0

Globulin : 3.4 g/dl N: 3,0 - 3,6

Natrium : 133 U/L N : 136 - 146 mmol/L

Kalium : 4.38 N : 3.34 - 5.10

mmol/L

Chloride : 103.6 N : 98 - 106 mmol/L

Calcium ion++ : 1.13 N : 1.00 – 1.15

mmol/L

c. CT-Scan Kepala : lesi kistik besar mengisi lobus temporal dan


parietal kiri yang berhubungan dengan ventrikel lateralis kiri

2.5 Tindakan Anestesi


1. Diagnosa pra bedah : Hidrosefalus
2. Tindakan bedah : Re VP Shunt
3. Status fisik ASA : ASA I
4. Malampati 2
5. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)

Pramedikasi : Jam : 9.00 WIB (Ondansetron 2

mg)

6. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan
Laringoskop Tube : ETT Single
Lumen no 5
Airway : Guedel
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2
buah Intorducer : Mandrin
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction
Anestesi umum :
 Induksi intravena dengan Fentanyl 50 mcg, profofol 50
mg, atracurium 10 mg
 Intubasi dengan ETT no.5 dengan laringoskop blade lengkung

Pemeliharaan anestesi : sevoflurant 2, O2 1, N2O


1 Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA I
Induksi mulai : 09.15 WIB
Operasi mulai : 09.30 WIB
Operasi selesai : 11.30 WIB

Berat badan pasien : 26 Kg


Durasi operasi : 2 jam
Pasien puasa : 6 jam

Medikasi :
 Fentanyl 50 mcg (IV)
 Propofol 50 mg (IV)
 Atracurium 10 mg (IV)

2.7 Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Supine
b. Intubasi : Oral, No. Tube : 5.0
c. Penyulit Intubasi : Tidak ada
d. Lama operasi : ± 2 jam
e. Jumlah
Cairan Input
:
 RL 500 ml : ±700

cc Output :
 Urine :-
 Perdarahan : ± 20 cc
 Cairan pus :-

f. Kebutuhan cairan pasien ini :

BB = 26 Kg
Terapi cairan

 Kebutuhan Cairan Intra


operatif Maintenance: (M)
= 4 cc x 10 Kg I + 2 cc x 10 Kg II + 1 cc x 6 Kg
= 40 + 20 + 6
= 66 cc/jam
 Pengganti puasa: (PP)
= Puasa x Maintenance
= 6 jam x 66 cc/jam
= 369 cc

 SO
= 4 cc/KgBB/jam (operasi sedang)
= 4 cc x 26 kg/jam
= 104 cc/jam

Kebutuhan cairan selama Operasi

 Jam I: ½ PP + M + SO = cc
( 198 cc) + 66 cc + 104 cc = 368 cc
 Jam II : ¼ PP + M + SO = cc
(92 cc) +66 cc+104 cc = 262 cc

 Total cairan : 368 + 262 = 631cc


Estimasi Blood Volume
85 cc/kgBB = 85 x 26 kg = 2210 cc

Estimasi Blood Loss


10% x 2210 cc = 221 cc

2.8 Monitoring
TD awal = - , Nadi = 96 x/menit, RR = 24 x/menit
Jam TD Nadi RR Spo2 keteragan
09.00 - 92 23 100% Pasien masuk ke kamar
operasi, dan dipindahkan ke
mejaoperasi
Pemasangan alat monitoring,
saturasi, nadi, Diberikan cairan RL
dan obat premedikasi (Ondanstron 2
mg)
09.15 - 94 23 100% Pasien dipersiapkan untuk induksi
Pasien di berikan analgesik fentanil
50 mcg, induksi dengan Profofol 50
mg, cek refleks bulu mata.
Kemudian pasien dipasangkan
sungkup dan mulai di bagging, lalu
diberikan relaksan yaitu atracurium
15 mg/KgBB IV.
09.30 - 80 23 100% Setelah di bagging selama 5 menit
pasien di intubasi dengan ETT no.
5.0 ETT di hubungkan dengan
ventilator. dilakukan auskultasi di
kedua lapang paru untuk
mengetahui ETT terpasang dengan
benar. ETT difiksasi dengan plester.
Diberikan maintenance yaitu
sevoflurans 2% dan N2O 1 O2 1
09.45 - 90 23 100% Kondisi terkontrol
10.00 - 85 23 100% Kondisi terkontrol
10.15 - 94 23 100% Kondisi terkontrol
10.30 - 86 23 100% Kondisi terkontrol
10.45 - 90 23 100% Kondisi terkontrol
11.00 - 88 23 100% Pasien napas spontan dilakukan
suction Refleks batuk ada
Pasien di ekstubasi diberikan
oksigen kemudian cek saturasi.

2.9 Ruang Pemulihan


 Masuk Jam : 11.10 WIB

 Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)


 Tanda vital
TD :-
Nadi : 120 x/menit
RR : 25 x/menit
SpO2 : 99%
 Pernafasan : Baik
 Scoring steward :
Pergerakan

2
Pernafasan 2
Kesadaran 2

Jumlah 6

Instruksi Post Operasi:

 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit


 Puasa sampai sadar penuh
 Instruksi lain sesuai dr.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 HIDROSEFALUS
a. Definisi
Kata hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang
berarti air, dan cephalus yang berarti kepala. Secara umum hidrosefalus
dapat didefiniskan sebagai suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun
penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan
serebrospinal pada susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan
sebagai gangguan hidrodinamik cairan serebrospinal.

b. Epidemiologi
Kasus ini merupakan salah satu masalah dalam bedah saraf yang
paling sering ditemui. Data menyebutkan bahwa hidrosefalus kongenital
terjadi pada 3 dari 1000 kelahiran di Amerika Serikat dan ditemukan lebih
banyak di negara berkembang seperti Brazil yaitu sebanyak 3,16 dari 1000
kelahiran. Sedangkan di Indonesia ditemukan sebanyak 40% hingga 50%
dari kunjungan berobat atau tindakan operasi bedah saraf.

c. Patofisiologi
Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam
sistem ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus
koroidalis di ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total
cairan serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis
lebih kurang 0,35-0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan
cairan tersebut sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur
aliran yang dimulai dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro
kemudian ke ventrikel 3, selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu
ke ventrikel 4 dan menuju ke foramen luska dan magendi, hingga akhirnya
ke ruang subarakhnoid dan kanalis spinalis. Secara teoritis, terdapat tiga
penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab
paling jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini
disebabkan oleh adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma),
namun ada pula yang terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A.

2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus


hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau
tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di
ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab
terjadinya keadaan patologis ini, yaitu:
a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya
stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.

b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik


saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista
arakhnoid, dan hematom.

c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis,


termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili
arakhnoid.
3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti
sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan
cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini termasuk. hidrosefalus tekanan
normal atau pseudotumor serebri.
Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan
dalam beberapa sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan
adanya dilatasi ventrikel, sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan
adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks.
Hidrosefalus komunikans adalah keadaan di mana ada hubungan antara
sistem ventrikel dengan rongga subarakhnoid otak dan spinal, sedangkan
hidrosefalus non-komunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat blok
dalam sistem ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid.
Hidrosefalus obstruktif adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana
aliran likuor mengalami obstruksi.
Terdapat pula beberapa klasifikasi lain yang dilihat berdasarkan
waktu onsetnya, yaitu akut (beberapa hari), subakut (meninggi), dan kronis
(berbulan-bulan). Terdapat dua pembagian hidrosefalus berdasarkan
gejalanya yaitu hidrosefalus simtomatik dan hidrosefalus asimtomatik.

D. Etiologi

Penyebab hidrosefalus pada anak secara garis besar dapat dibagi


menjadi dua, yaitu penyebab prenatal dan postnatal.
Penyebab prenatal
Sebagian besar anak dengan hidrosefalus telah mengalami hal ini
sejak lahir atau segera setelah lahir. Beberapa penyebabnya terutama
adalah stenosis akuaduktus sylvii, malfromasi Dandy Walker,
Holopresencephaly, Myelomeningokel, dan Malformasi Arnold Chiari.
Selain itu, terdapat juga jenis malformasi lain yang jarang terjadi.
Penyebab lain dapat berupa infeksi in-utero, lesi destruktif dan faktor
genetik.
Stenosis Akuaduktus Sylvius terjadi pada 10% kasus pada bayi
baru lahir. Insidensinya berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran.
Insidennya 0,5-1% kasus/1000 kelahiran. Malformasi Dandy Walker
terjadi pada 2-4% bayi yang baru lahir dengan hidrosefalus. Malformasi
ini mengakibatkan hubungan antara ruang subarakhnoid dan dilatasi
ventrikel 4 menjadi tidak adekuat, sehingga terjadilah hidrosefalus.
Penyebab yang sering terjadi lainnya adalah Malformasi Arnold Chiari
(tipe II), kondisi ini menyebabkan herniasi vermis serebelum, batang otak,
dan ventrikel 4 disertai dengan anomali inrtakranial lainnya. Hampir
dijumpai di semua kasus myelomeningokel meskipun tidak semuanya
berkembang menjadi hidrosefalus (80% kasus).
Penyebab postnatal
Lesi massa menyebabkan sekitar 20% kasus hidrosefalus, kista
arakhnoid dan kista neuroepitelial merupakan kedua terbanyak yang
mengganggu aliran likuor. Perdarahan, meningitis, dan gangguan aliran
vena juga merupakan penyabab yang cukup sering terjadi.
Dari penjelasan di atas, hidrosefalus dapat diklasifikasikan menjadi
hidrosefalus obstruktif dan hidrosefalus komunikans seperti yang dapat
dilihat pada tabel 1.
Hidrosefalus obstruktif Hidrosefalus komunikans
Kongenital Kongenital
Stenosis akuaduktus Malformasi Arnold Chiari (tipe II,
Kista Dandy Walker jarang pada type I)
Benign intracranial cysts (seperti Ensefalokel
kista arachnoid) Deformitas basis kranii
Malformasi vaskular (seperti Didapat
aneurisma vena Galen) Infeksi (intrauterin misalnya CMV,
Didapat toxoplasma, post-bacterial
Tumor (seperti ventrikel 3, regio meningitis)
pineal, fossa posterior) Perdarahan (IVH pada infan, sub-
Lessi massa lainnya (seperti giant arachnoid haemorrhage)
aneurysms, abses) Hipertensi vena (seperti trombosis
Ventricular scarring sinus venosa, arterio–venous
shunts)
Meningeal carcinomatosis
Sekresi berlebihan CSF (papiloma
pleksus koroidalis)

E. Tatalaksana

Terapi Sementara
Terapi konservatif medikamentosa berguna untuk mengurangi
cairan dari pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid
0,1 mg/kg BB/hari) dan hanya bisa diberikan sementara saja atau tidak
dalam jangka waktu yang lama karena berisiko menyebabkan gangguan
metabolik. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien hidrosefalus ringan
bayi dan anak dan tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikular
posthemoragik pada anak.

Pada pasien yang berpotensi mengalami hidrosefalus transisi


dapat dilakukan pemasangan kateter ventrikular atau yang lebih dikenal
dengan drainase likuor eksternal. Namun operasi shunt yang dilakukan
pasca drainase ventrikel eksternal memiliki risiko tertinggi untuk
terjadinya infeksi. Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah dengan
pungsi ventrikel yang dapat dilakukan berulang kali.

Operasi Shunt

Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk membuat


saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas
drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Komplikasi
operasi ini dibagi menjadi tiga yaitu infeksi, kegagalan mekanis, dan
kegagalan fungsional. Tindakan ini menyebabkan infeksi sebanyak >11%
pada anak setelahnya dalam waktu 24 bulan yang dapat merusak
intelektual bahkan menyebabkan kematian.

3.2 ANESTESI UMUM

A. Definisi

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral


disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum
memiliki karakteristik menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat
anterogard yaitu hilang ingatan kedepan dimana pasien tidak akan bisa
ingat apa yang telah terjadi saat dia dianestesi/operasi, Karakteristik
selanjutnya adalah reversible yang berarti anestesi umum akan
menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.

B. Komponen dalam Anestesi Umum

General anestesi adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral


disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).
Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
1. Hipnosis (hilangnya kesadaran)

2. Analgesia (hilangnya nyeri)

3. Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan


memfasilitasi intubasi trakeal

C. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum

Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di


bawah anestisia umum. Semua teknik anastesia harus dapat sewaktu-
waktu dikonversikanmenjadi anestesia umum.

Keuntungan anestesia umum


a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur
medis berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat
akibat ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin
memberikan trauma psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.

d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.


Kerugian anestesia umum
a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh
menjadi tumpul dibawah anestesia umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan
kesadaran.

d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.

e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.


D. Jenis Anestesi Umum

Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan


hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal
ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.

1. Anestesi Inhalasi

Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan


inhalan berupa gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini
adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini
dapat diberikan dan diserap secara terkontrol dan cepat, karena diserap
serta dikeluarkan melalui paru-paru (alveoli). Mekanisme kerja obat
inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas dari paru ke darah dan
distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat anestetikdalam alveoli
ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar, koefisien gas
darah, curah jantung, dan perfusi.

1. Dinitrogenoksida (N2O)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2).
Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium
induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2
adalah sebagai berikut 60%
: 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
2. Halotan

Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada
nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan
respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.

3. Enfluran

Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek


depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih
iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.

4. Isofluran

Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi


meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

5. Sevofluran

Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih


cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
2. Anestesi Intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi


sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi
intravena hendaknyadikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut
dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-
60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini
dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

1. Barbiturate

Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi


intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja menghilangkan
kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio
retikularis. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di medulaoblongata.
Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh
barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan
berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan
sensitisasi jantung terhadap katekolamin.

2. Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam


air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi. Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien
dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen
pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat
(kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi


secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi
jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan
dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N 2O
dan/atau anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup


berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.

Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan


kemampuandalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya.
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otakdan tekanan intrakranial akan menurun.
Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan
konvulsi pasca operasi yang minimal. Propofol merupakan obat
induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi
langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik.
Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental
waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada
dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi


pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat
pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

3. Ketamin

Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang


menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula
kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh.
Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM
5 menit. Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).

4. Opioid

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi


diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

5. Benzodiazepin

yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan


midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik
(sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang
disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional. Digunakan untuk
induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi,
cemas, dan
menimbulkan amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV),
tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan
antagonisnya, flumazenil.

3.3 ANESTESI UMUM PADA PEDIATRIK

3.3.1 Sistem Respirasi

Dibandingkan dengan anak yang lebih besar dan orang dewasa,


neonatus dan bayi memiliki otot interkostal yang lebih lemah dan
diafragma yang lebih lemah (karena kurangnya serat tipe I). Akibatnya,
mereka memiliki ventilasi yang kurang efisien, tulang rusuk yang lebih
lentur dan mengalir, dan perut yang menonjol. Alveoli sepenuhnya matang
sekitar usia 8 tahun. Tingkat pernapasan meningkat pada neonatus dan
secara bertahap turun ke nilai dewasa pada masa remaja. Volume tidal
hampir konstan selama perkembangan.

Neonatus dan bayi memiliki alveoli yang lebih sedikit dan lebih
kecil sehingga mengurangi compliance paru; sebaliknya, tulang rawan
pada tulang rusuk mereka membuat dinding dada mereka sangat patuh dan
meningkatkan resistensi saluran napas. Kerja pernapasan meningkat, dan
otot pernapasan lebih mudah lelah. Karakteristik ini menyebabkan
kolapsnya dinding dada selama inspirasi dan volume paru residual yang
relatif rendah saat ekspirasi. Penurunan yang dihasilkan dalam kapasitas
residu fungsional (FRC) membatasi cadangan oksigen selama periode
apnea (misalnya, usaha intubasi) dan predisposisi neonatus dan bayi untuk
atelektasis dan hipoksemia. Efek penurunan FRC ini dapat dibesar-
besarkan oleh tingkat konsumsi oksigen neonatus dan bayi yang relatif
lebih tinggi, 6 hingga 8 mL/kg/menit dibandingkan 3 hingga 4
mL/kg/menit pada orang dewasa. Selain itu, penggerak ventilasi hipoksia
dan hiperkapnia tidak sepenuhnya berkembang pada neonatus dan bayi.
Berbeda dengan orang dewasa, hipoksia dan hiperkapnia dapat menekan
pernapasan pada pasien pediatri.
Neonatus dan bayi, dibandingkan dengan anak yang lebih tua dan
orang dewasa, memiliki kepala dan lidah yang lebih besar secara
proporsional, saluran hidung yang lebih sempit, laring anterior dan
cephalad (glotis berada pada tingkat vertebra C4 versus C6 pada orang
dewasa), epiglotis yang lebih panjang, dan trakea dan leher yang lebih
pendek. Ciri- ciri anatomis ini membuat neonatus dan bayi muda wajib
bernapas melalui hidung sampai usia sekitar 5 bulan. Tulang rawan krikoid
adalah titik tersempit jalan napas pada anak di bawah usia 5 tahun; pada
orang dewasa, titik tersempit adalah glotis (pita suara). Satu milimeter
edema mukosa akan menghasilkan penurunan luas penampang trakea dan
aliran gas yang lebih besar pada anak-anak karena diameter trakea yang
lebih kecil.

Gambar 1. Potongan sagital pada airway dewasa (A) dan anak.

Stroke volume jantung relatif tetap oleh ventrikel kiri yang belum
matang dan tidak ada penyesuaian pada neonatus dan bayi. Oleh karena itu
curah jantung sangat sensitif terhadap perubahan denyut jantung.
Meskipun denyut jantung lebih besar pada neonatus dan bayi
dibandingkan pada orang dewasa, stimulasi vagal, overdosis anestesi,
atau hipoksia dapat dengan
cepat memicu bradikardia dengan penurunan curah jantung yang besar.
Bayi sakit yang menjalani pembedahan darurat atau lama tampak sangat
rentan terhadap episode bradikardia yang dapat menyebabkan hipotensi,
asistol, dan kematian intraoperatif. Sistem saraf simpatis dan refleks
baroreseptor belum sepenuhnya matang. Sistem kardiovaskular bayi
menampilkan respons tumpul terhadap katekolamin eksogen. Jantung yang
belum matang lebih sensitif terhadap depresi oleh anestesi volatil dan
bradikardia yang diinduksi opioid. Bayi kurang mampu merespon
hipovolemia dengan vasokonstriksi kompensasi. Penurunan volume
intravaskular pada neonatus dan bayi dapat ditandai dengan hipotensi
tanpa takikardia.

Tanda-tanda vital sesuai dengan perubahan usia

3.3.2 Metabolisme dan Regulasi Suhu Tubuh

Pasien anak-anak memiliki luas permukaan per kilogram yang


lebih besar daripada orang dewasa (indeks massa tubuh lebih kecil).
Metabolisme dan parameter terkaitnya (konsumsi oksigen, produksi CO2,
curah jantung, dan ventilasi alveolar) berkorelasi lebih baik dengan luas
permukaan dibandingkan dengan berat. Kulit yang tipis, kandungan lemak
yang rendah, dan luas permukaan yang lebih besar relatif terhadap berat
badan menyebabkan kehilangan panas yang lebih besar ke lingkungan
pada neonatus.
Masalah ini dapat menjadi lebih buruk dengan paparan yang lama
ke ruang operasi yang tidak cukup hangat, pemberian cairan intravena atau
irigasi suhu kamar, dan gas anestesi yang tidak lembab. Agen anestesi
mengganggu pengaturan suhu. Bahkan hipotermia derajat ringan dapat
menyebabkan keterlambatan kebangkitan dari anestesi, aritmia jantung,
depresi pernapasan, peningkatan resistensi pembuluh darah paru, dan
peningkatan kerentanan terhadap anestesi, penghambat neuromuskuler,
dan agen lainnya. Neonatus menghasilkan panas melalui metabolisme
lemak coklat (nonshivering thermogenesis) dan dengan menggeser
fosforilasi oksidatif hati ke jalur yang lebih termogenik. Namun
metabolisme lemak coklat sangat terbatas pada bayi prematur dan
neonatus yang sakit, yang kekurangan simpanan lemak. Selanjutnya,
anestesi volatil menghambat proses ini.

3.3.3 Fungsi Ginjal dan Gastrointestinal

Fungsi ginjal biasanya mendekati nilai normal (diperbaiki


ukurannya) pada usia 6 bulan, tetapi hal ini dapat tertunda hingga anak
berusia 2 tahun. Neonatus prematur sering menunjukkan imaturitas ginjal
dengan satu atau lebih hal berikut: penurunan klirens kreatinin, gangguan
retensi natrium, gangguan ekskresi glukosa, gangguan reabsorpsi
bikarbonat, penurunan kemampuan pengenceran, dan penurunan
kemampuan pemekatan. Kelainan ini menggarisbawahi pentingnya
pemberian cairan yang tepat pada neonatus. Neonatus juga memiliki
kemungkinan peningkatan gastroesophageal reflux. Hati yang belum
matang mengkonjugasi obat-obatan dan molekul lain dengan lebih sulit.

3.3.4 Fungsi Homeostasis Glukosa

Neonatus memiliki simpanan glikogen yang relatif berkurang,


membuat mereka rentan terhadap hipoglikemia. Secara umum, neonatus
dengan risiko hipoglikemia terbesar adalah prematur atau kecil untuk usia
kehamilan, menerima nutrisi parenteral total, atau memiliki ibu dengan
diabetes
3.4 Perbedaan farmakologi anestesi pediatrik
3.4.1 Anestesi Inhalasi
Neonatus, bayi, dan anak memiliki ventilasi alveolar yang relatif
lebih besar dan FRC yang lebih rendah. Rasio menit ventilasi-ke-FRC
yang lebih besar ini berkontribusi pada peningkatan cepat konsentrasi
anestesi alveolar yang, dikombinasikan dengan aliran darah yang relatif
lebih besar ke otak, mempercepat induksi inhalasi. Selain itu, koefisien
darah/gas dari anestesi volatil berkurang pada neonatus dibandingkan
dengan orang dewasa, berkontribusi pada waktu induksi yang lebih cepat
dan meningkatkan risiko overdosis yang tidak disengaja. Minimum
Alveolar Concentration (MAC) untuk agen terhalogenasi lebih besar pada
bayi dibandingkan pada neonatus dan orang dewasa. Tekanan darah
neonatus dan bayi tampaknya sangat sensitif terhadap anestesi volatil.
Pengamatan klinis ini dikaitkan dengan mekanisme kompensasi yang
kurang berkembang dengan baik (misalnya, vasokonstriksi, takikardia) dan
sensitivitas miokardium imatur yang lebih besar terhadap depresan
miokard.
Nilai rata-rata MAC pada pasien pediatri dalam “%” atmosfer
3.4.2 Anestesi non-volatil

Bayi dan anak kecil memerlukan dosis propofol yang lebih besar
karena volume distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan orang
dewasa. Anak-anak juga memiliki waktu paruh eliminasi yang lebih
pendek dan klirens plasma yang lebih tinggi untuk propofol. Propofol
tidak direkomendasikan untuk sedasi
berkepanjangan pada pasien anak yang sakit kritis di unit perawatan
intensif (ICU) karena berhubungan dengan mortalitas. "Propofol Infusion
Syndrome" paling sering dilaporkan pada anak-anak yang sakit kritis,
tetapi juga dilaporkan pada orang dewasa yang menjalani sedasi propofol
jangka panjang, terutama pada peningkatan dosis (>5 mg/kg/jam). Ciri-ciri
utamanya meliputi rhabdomyolysis, asidosis metabolik, ketidakstabilan
hemodinamik, hepatomegali, dan kegagalan multiorgan.
Opioid tampaknya lebih kuat pada neonatus dibandingkan pada
anak yang lebih tua dan orang dewasa. Morfin sulfat, terutama dalam dosis
berulang, harus digunakan dengan hati-hati pada neonatus karena
konjugasi hepatik berkurang dan klirens ginjal dari metabolit morfin
menurun. Jalur sitokrom P-450 matang pada akhir periode neonatal.
Dexmedetomidine telah digunakan secara luas untuk sedasi dan sebagai
suplemen anestesi umum pada anak-anak. Pada pasien tanpa jalur
intravena, dexmedetomidine dapat diberikan secara intranasal (1-2
mcg/kg) untuk sedasi.

3.4.3 Muscle Relaxan


Untuk berbagai alasan (termasuk perbedaan farmakodinamik dan
campuran kasus), pelemas otot lebih jarang digunakan selama induksi
anestesi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Di Amerika
Utara, banyak anak akan dipasang laryngeal mask airway (LMA) atau
tabung endotrakeal setelah menerima induksi inhalasi, pemasangan kateter
intravena, dan pemberian berbagai kombinasi propofol, opioid, atau
lidokain. Semua relaksan otot umumnya memiliki onset yang lebih cepat
(hingga 50% lebih sedikit keterlambatan) pada pasien anak karena waktu
sirkulasi yang lebih singkat dibandingkan pada orang dewasa. Pada anak-
anak dan orang dewasa, suksinilkolin intravena (1–1,5 mg/kg) memiliki
onset tercepat. Bayi diberi dosis suksinilkolin yang jauh lebih besar (2-3
mg/kg) dibandingkan anak yang lebih besar dan orang dewasa karena
volume distribusi yang relatif lebih besar (berdasarkan per kilogram).
Perbedaan ini hilang jika dosis didasarkan pada luas permukaan tubuh.
Respons neonatus terhadap relaksan otot nondepolarisasi
bervariasi. Penjelasan populer untuk ini termasuk "ketidakmatangan
sambungan neuromuskuler" (pada neonatus prematur), cenderung
meningkatkan sensitivitas (belum terbukti), diimbangi oleh kompartemen
ekstraseluler yang tidak proporsional lebih besar, mengurangi konsentrasi
obat (terbukti). Ketidakmatangan relatif fungsi hati neonatus
memperpanjang persistensi obat yang terutama bergantung pada
metabolisme hati (misalnya, rocuronium, vecuronium, pancuronium).
Atracurium dan cisatracurium tidak bergantung pada biotransformasi
hepatik dan secara andal berperilaku sebagai relaksan otot kerja menengah.
Banyak klinisi menganggap rocuronium (0,6 mg/kg secara
intravena) sebagai obat pilihan (ketika relaksan intravena akan digunakan)
untuk intubasi rutin pada pasien anak karena memiliki onset tercepat dari
agen penghambat neuromuskuler nondepolarisasi. Dosis rocuronium yang
lebih besar (0,9–1,2 mg/kg) lebih disukai oleh banyak klinisi untuk induksi
urutan cepat jika durasi yang lama (hingga 90 menit) tidak menjadi
perhatian. Rocuronium adalah satu-satunya penghambat neuromuskuler
nondepolarisasi yang telah dipelajari secara memadai untuk pemberian
intramuskular (1,0–1,5 mg/kg), tetapi pendekatan ini membutuhkan 3
hingga 4 menit untuk onset. Atracurium atau cisatracurium mungkin lebih
disukai pada bayi muda, terutama untuk prosedur singkat, karena obat ini
secara konsisten menunjukkan durasi pendek hingga menengah.
Rata-rata penggunaan muscle relaxant pada bayi dan anak-anak

3.4.4 Resiko Anestesi pada Pediatrik

The Pediatric Perioperative Cardiac Arrest (POCA) mencakup


laporan dari jutaan anestesi pediatrik yang diberikan sejak tahun 1994.
Catatan kasus anak-anak yang mengalami serangan jantung atau kematian
selama atau setelah pemulihan dari anestesi diselidiki terkait kemungkinan
hubungan dengan anestesi. Perawatan anestesi dinilai telah berkontribusi
pada 150 penangkapan dalam 289 kasus serangan jantung. Dengan
demikian, risiko henti jantung pada kasus anestesi pediatrik akan tampak
sekitar 1,4 dari 10.000.

Tiga puluh tiga persen pasien yang mengalami serangan jantung


diklasifikasikan sebagai American Society of Anesthesiologists (ASA)
status fisik 1 atau 2. Bayi menyumbang 55% dari semua serangan terkait
anestesi pada anak-anak, dengan mereka yang berusia kurang dari 1 bulan
mengalami risiko terbesar. Setelah serangan jantung, angka kematian
adalah 26%. 6% mengalami cedera permanen, tetapi mayoritas (68%)
tidak mengalami cedera atau hanya mengalami cedera sementara.
Kematian adalah 4% pada pasien yang diklasifikasikan sebagai status fisik
ASA 1 dan 2 dibandingkan dengan 37% pada mereka dengan status fisik
ASA 3 sampai
5. Seperti pada orang dewasa, peningkatan risiko kematian dikaitkan
dengan status fisik ASA 3 atau lebih dan dengan operasi darurat.

Sebagian besar serangan jantung terjadi selama induksi anestesi;


bradikardia, hipotensi, dan SpO2 yang rendah sering mendahului henti
jantung. Sebagian besar penangkapan dinilai terkait pengobatan. Depresi
kardiovaskular dari halotan, sendiri atau dalam kombinasi dengan obat
lain, diyakini bertanggung jawab atas dua pertiga dari semua penghentian
terkait obat. 9% lainnya disebabkan oleh injeksi anestesi lokal
intravaskular, paling sering mengikuti aspirasi negatif sebelum mencoba
injeksi kaudal. Mekanisme kardiovaskular yang diduga paling sering tidak
memiliki etiologi yang jelas; di lebih dari 50% kasus tersebut, pasien
memiliki penyakit jantung bawaan. Dimana mekanisme kardiovaskular
dapat diidentifikasi, hal itu paling sering berhubungan dengan perdarahan,
transfusi, atau terapi cairan yang tidak adekuat atau tidak tepat. Studi-studi
ini menunggu replikasi di era modern, hampir "bebas halotan" di mana
teknik regional (dan, mungkin, risiko yang menyertainya) secara nyata
lebih lazim

Mekanisme cedera pernapasan termasuk laringospasme, obstruksi


jalan napas, dan kesulitan intubasi (dalam urutan menurun). Dalam
kebanyakan kasus, laringospasme terjadi selama induksi. Hampir semua
pasien yang mengalami henti napas sehubungan dengan obstruksi jalan
napas atau kesulitan intubasi memiliki setidaknya satu penyakit utama
yang mendasarinya
Mekanisme serangan jantung pada anak, berdasarkan data POCA.

3.4.5 Preoperatif
Anamnesis
Tergantung pada usia, pengalaman, dan kedewasaan, anak-anak hadir
dengan berbagai tingkat ketakutan saat menghadapi prospek prosedur yang
membutuhkan anestesi. Brosur dan video atau tur yang sesuai dengan usia
dapat membantu mempersiapkan baik anak-anak maupun orang tua.
Ketika waktu mengizinkan, seseorang dapat mengungkap proses anestesi
dan pembedahan dengan menjelaskan dalam istilah yang sesuai dengan
usia apa yang ada di depan. Di beberapa pusat, orang tua diperbolehkan
hadir selama persiapan praanestesi dan induksi anestesi. Hal ini dapat
memiliki pengaruh yang sangat menenangkan pada anak-anak yang
menjalani prosedur berulang (misalnya, pemberian kemoterapi intratekal).
Sayangnya, pasien rawat jalan dan operasi “pengakuan pada hari yang
sama”, ditambah dengan jadwal ruang operasi yang sibuk, seringkali
menyulitkan untuk meyakinkan orang tua dan pasien secara memadai.
Dengan demikian, premedikasi (dibahas di bawah) dapat membantu.
Beberapa rumah sakit anak memiliki ruang induksi yang berdekatan
dengan ruang operasi mereka untuk memungkinkan kehadiran orang tua
dan lingkungan yang lebih tenang untuk induksi anestesi.
Tanda Infeksi Saluran Nafas Bagian Atas
Anak-anak sering hadir untuk operasi dengan tanda dan gejala,
pilek disertai demam, batuk, atau sakit tenggorokan karena infeksi virus
saluran pernapasan atas (URI). Upaya harus dilakukan untuk membedakan
antara penyebab infeksi rhinorrhea dan penyebab alergi atau vasomotor.
Infeksi virus dalam 2 sampai 4 minggu sebelum anestesi umum dan
intubasi endotrakeal menempatkan anak pada peningkatan risiko
komplikasi paru perioperatif, termasuk mengi (10 kali lipat),
laringospasme (5 kali lipat), hipoksemia, dan atelektasis. Hampir tidak
mungkin untuk menjadwalkan mereka untuk anestesi pada saat mereka
tidak memiliki, juga tidak pulih dari, URI.
Keputusan untuk membius anak-anak dengan URI masih
kontroversial dan harus didasarkan pada keparahan gejala URI, urgensi
pembedahan, dan adanya penyakit lain yang menyertai. Ketika anestesi
akan diberikan kepada anak dengan URI, seseorang dapat
mempertimbangkan premedikasi dengan albuterol antikolinergik atau
inhalasi, menghindari intubasi (jika memungkinkan) dan melembabkan gas
inspirasi.

Tes Laboratorium
Beberapa pusat pediatrik tidak memerlukan tes laboratorium pra
operasi pada anak sehat yang menjalani prosedur minor. Jelas, ini
menempatkan tanggung jawab pada ahli anestesi, ahli bedah, dan dokter
anak untuk mengidentifikasi dengan benar pasien yang memerlukan
pengujian pra operasi untuk alasan tertentu. Sebagian besar pasien tanpa
gejala dengan murmur jantung tidak memiliki patologi jantung yang
signifikan. Bising polos dapat terjadi pada lebih dari 30% anak normal.

Puasa perioperatif
Karena anak-anak lebih rentan terhadap dehidrasi daripada orang
dewasa, pembatasan cairan sebelum operasi selalu lebih ringan. Beberapa
penelitian, bagaimanapun, telah mendokumentasikan pH lambung yang
rendah (<2,5) dan volume residu yang relatif tinggi pada pasien anak yang
dijadwalkan untuk pembedahan, menunjukkan bahwa anak-anak mungkin
memiliki risiko aspirasi yang lebih besar daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Insiden aspirasi dilaporkan sekitar 1:1000. Tidak ada bukti
bahwa puasa berkepanjangan menurunkan risiko aspirasi. Faktanya,
beberapa penelitian telah menunjukkan volume residu yang lebih rendah
dan pH lambung yang lebih tinggi pada pasien anak yang menerima cairan
bening beberapa jam sebelum induksi. Pedoman puasa pra operasi yang
dibuat oleh American Society of Anesthesiologists menetapkan bahwa bayi
dapat diberi ASI hingga 4 jam sebelum induksi, dan susu formula atau
cairan dan makanan "ringan" dapat diberikan hingga 6 jam sebelum
induksi. Cairan bening ditawarkan sampai 2 jam sebelum induksi.
Rekomendasi ini adalah untuk neonatus sehat, bayi, dan anak-anak tanpa
faktor risiko penurunan pengosongan atau aspirasi lambung.
Bagaimanapun, hampir tidak ada bukti klinis untuk rekomendasi tersebut.
lambung. Bagaimanapun, hampir tidak ada bukti klinis untuk rekomendasi
tersebut.
Premedikasi
Premedikasi obat penenang umumnya dihilangkan untuk neonatus
dan bayi yang sakit. Anak-anak yang tampaknya menunjukkan kecemasan
perpisahan yang tidak terkendali dapat diberikan obat penenang, seperti
midazolam (0,3-0,5 mg/kg, maksimal 15 mg). Rute oral umumnya lebih
disukai karena kurang traumatis dibandingkan injeksi intramuskular, tetapi
membutuhkan waktu 20 sampai 45 menit untuk efeknya.
Dosis midazolam yang lebih kecil telah digunakan dalam
kombinasi dengan ketamin oral (4-6 mg/kg) untuk pasien rawat inap.
Untuk pasien yang tidak kooperatif, midazolam intramuskular (0,1–0,15
mg/kg, maksimal 10 mg) atau ketamin (2–3 mg/kg) dengan atropin (0,02
mg/kg) dapat membantu. Midazolam rektal (0,5–1 mg/kg, maksimum 20
mg) atau methohexital rektal (25–30 mg/kg larutan 10%) juga dapat
diberikan pada kasus tersebut saat anak dalam pelukan orang tua. Beberapa
dokter memberikan premedikasi dexmedetomidine (1-2 mcg/kg) atau
midazolam secara intranasal. Fentanil juga dapat diberikan sebagai
permen lolipop
(Actiq, 5–15 mcg/kg); namun, kadar fentanil terus meningkat selama
operasi dan dapat berkontribusi pada analgesia pasca operasi.

3.4.6 Monitoring
Persyaratan pemantauan untuk bayi dan anak-anak umumnya
serupa dengan orang dewasa dengan beberapa modifikasi kecil. Batas
alarm (misalnya, untuk detak jantung) harus disesuaikan dengan tepat.
Bantalan elektroda elektrokardiografi yang lebih kecil mungkin berguna
untuk menghindari perambahan pada bidang bedah. Manset tekanan darah
harus berukuran dan diposisikan dengan benar. Monitor tekanan darah
non-invasif dapat diandalkan pada bayi dan anak-anak. Stetoskop
prekordial atau esofagus menyediakan cara yang murah untuk memantau
detak jantung, kualitas bunyi jantung, dan patensi jalan napas. Monitor
terkadang perlu dipasang terlebih dahulu (atau dipasang kembali) setelah
induksi anestesi pada pasien yang kurang kooperatif. Oksimetri nadi dan
kapnografi berperan lebih penting pada bayi dan anak kecil karena
hipoksemia dan ventilasi yang tidak adekuat tetap menjadi penyebab
umum morbiditas dan mortalitas perioperatif
Suhu harus dipantau secara ketat pada pasien anak karena risiko
yang lebih besar untuk hipertermia ganas dan kerentanan yang lebih besar
untuk hipotermia atau hipertermia intraoperatif. Risiko hipotermia dapat
dikurangi dengan mempertahankan lingkungan ruang operasi yang hangat
(26°C atau lebih hangat), menghangatkan dan melembabkan gas yang
dihirup, menggunakan selimut penghangat dan lampu penghangat, dan
menghangatkan semua cairan intravena dan irigasi.
Neonatus prematur atau kecil untuk usia kehamilan, neonatus yang
telah menerima nutrisi parenteral total, atau neonatus yang ibunya
menderita diabetes rentan terhadap hipoglikemia. Bayi-bayi ini harus
sering melakukan pengukuran glukosa darah; tingkat di bawah 30 mg/dL
pada neonatus, di bawah 40 mg/dL pada bayi, dan di bawah 60 mg/dL
pada anak- anak dan di bawah 80 mg/dL pada orang dewasa,
mengindikasikan
hipoglikemia yang membutuhkan penanganan segera. Pengambilan sampel
darah untuk gas darah arteri, hemoglobin, kalium, dan konsentrasi kalsium
terionisasi dapat sangat berharga pada pasien sakit kritis yang menjalani
operasi besar atau menerima transfusi.

3.4.7 Induksi
Anestesi umum biasanya diinduksi dengan teknik intravena atau
inhalasi. Induksi dengan ketamin intramuskular (5–10 mg/kg) dicadangkan
untuk situasi tertentu, seperti yang melibatkan pasien agresif, terutama
yang mengalami gangguan mental, atau autis. Induksi intravena biasanya
lebih disukai ketika pasien datang ke ruang operasi dengan kateter
intravena fungsional atau memungkinkan kanulasi vena terjaga. Krim
EMLA harus tetap bersentuhan dengan kulit setidaknya selama 30 hingga
60 menit. Intubasi sadar atau sedasi-terjaga dengan anestesi topikal harus
dipertimbangkan untuk prosedur darurat pada neonatus dan bayi kecil
ketika mereka sakit kritis atau terdapat potensi kesulitan jalan napas.

3.4.8 Induksi Intravena


Urutan induksi yang sama dapat digunakan seperti pada orang
dewasa: propofol (2-3 mg/kg) diikuti dengan relaksan otot nondepolarisasi
(misalnya rocuronium, cisatracurium, atracurium), atau suksinilkolin.
Kami secara rutin memberikan atropin sebelum suksinilkolin. Keuntungan
dari teknik intravena meliputi ketersediaan akses intravena jika obat
darurat perlu diberikan dan kecepatan induksi pada anak yang berisiko
aspirasi. Atau (dan sangat umum dalam praktik pediatrik), intubasi dapat
dilakukan setelah kombinasi propofol, lidokain, dan opium, dengan atau
tanpa agen inhalasi, menghindari kebutuhan agen paralitik. Terakhir, agen
paralitik tidak diperlukan untuk penempatan LMA, yang umumnya
digunakan dalam anestesi pediatrik.
3.4.9 Induksi Inhalasi
Kami menemukan ini lebih mudah pada anak-anak yang telah
dibius (paling sering dengan midazolam oral) sebelum memasuki ruang
operasi dan yang cukup mengantuk untuk dibius tanpa pernah mengetahui
apa yang telah terjadi (mencuri induksi). Seseorang juga dapat
menginsufasi gas anestetik pada wajah, menaruh setetes penyedap
makanan pada bagian dalam masker (misalnya, minyak jeruk), dan
membiarkan anak duduk selama tahap awal induksi. Masker berkontur
khusus meminimalkan ruang mati.
Neonatus dan sebagian besar bayi muda adalah pernapasan hidung
wajib dan mudah menyumbat. Saluran udara oral akan membantu
menggantikan lidah yang terlalu besar; saluran udara hidung, sangat
berguna pada orang dewasa, dapat menimbulkan trauma pada nares kecil
atau kelenjar gondok yang menonjol pada anak kecil. Kompresi jaringan
lunak submandibular harus dihindari selama ventilasi masker untuk
mencegah obstruksi jalan napas bagian atas.

Ukuran alat jalan nafas pada anak-anak.

3.4.10 Akses Intravena


Kanulasi intravena pada bayi dapat menjadi cobaan berat, terutama
untuk bayi yang telah menghabiskan waktu berminggu-minggu di unit
perawatan intensif neonatal dan memiliki sedikit pembuluh darah yang
utuh. Bahkan anak berusia 1 tahun yang sehat pun dapat menjadi
tantangan karena lemak subkutan yang luas. Kanulasi vena biasanya
menjadi lebih mudah setelah usia 2 tahun. Vena safena memiliki lokasi
yang konsisten di pergelangan kaki, dan praktisi berpengalaman biasanya
dapat mengkanulasinya meskipun tidak terlihat atau teraba. Transiluminasi
tangan atau ultrasonografi akan sering mengungkapkan tempat kanulasi
yang sebelumnya tersembunyi. Kateter over-the-needle ukuran 24-gauge
cukup memadai pada neonatus dan bayi ketika transfusi darah tidak
diantisipasi.
Dalam situasi darurat di mana akses intravena tidak
memungkinkan, cairan dapat diinfuskan secara efektif melalui jarum
ukuran 18 yang dimasukkan ke dalam sinusoid meduler di dalam tulang
tibialis. Infus intraoseus ini dapat digunakan untuk semua obat yang
biasanya diberikan secara intravena, dengan hasil yang hampir sama
cepatnya.

3.4.11 Intubasi Trakhea


Oksiput bayi yang menonjol cenderung menempatkan kepala
dalam posisi fleksi sebelum intubasi. Ini mudah diperbaiki dengan sedikit
mengangkat bahu di atas handuk dan meletakkan kepala di atas bantal
berbentuk donat. Pada anak yang lebih besar, jaringan tonsil yang
menonjol dapat menghalangi visualisasi laring. Bilah laringoskop lurus
membantu intubasi laring anterior pada neonatus, bayi, dan anak kecil.
Tabung endotrakeal yang melewati glotis mungkin masih mengenai
kartilago krikoid, yang merupakan titik tersempit jalan napas pada anak di
bawah usia
5 tahun. Trauma mukosa karena mencoba memaksa tabung melalui
kartilago krikoid dapat menyebabkan edema pasca operasi, stridor, croup,
dan obstruksi jalan napas. Diameter yang tepat di dalam pipa endotrakeal
dapat diperkirakan dengan rumus berdasarkan usia:
4 + Usia/4 = Diameter pipa (dalam mm)
Ada juga rumus untuk memperkirakan panjang
endotrakeal: 12 + Umur/2 = Panjang selang (dalam
cm)
3.4.12 Maintenance
Ventilasi hampir selalu dikontrol selama anestesi neonatus dan
bayi saat menggunakan sistem lingkaran semi tertutup konvensional.
Selama ventilasi spontan, bahkan resistensi yang rendah dari sistem
lingkaran dapat menjadi hambatan yang signifikan untuk diatasi oleh
neonatus yang sakit. Katup searah, tabung pernapasan, dan penyerap
karbon dioksida bertanggung jawab atas sebagian besar resistensi ini.
Untuk pasien dengan berat kurang dari 10 kg, beberapa ahli anestesi lebih
memilih sirkuit Mapleson D atau sistem Bain karena resistensinya yang
rendah dan bobotnya yang ringan. Pemantauan tekanan jalan napas dapat
memberikan bukti awal obstruksi dari tabung endotrakeal yang tertekuk
atau kemajuan yang tidak disengaja dari tabung ke mainstem bronchus.
Pengiriman volume tidal besar yang tidak disengaja ke anak kecil
dapat menghasilkan tekanan saluran napas puncak yang berlebihan dan
menyebabkan barotrauma. Ventilasi kontrol tekanan, yang ditemukan di
hampir semua ventilator anestesi baru, harus digunakan untuk neonatus,
bayi, dan balita. Volume tidal yang kecil juga dapat dialirkan secara
manual dengan lebih mudah dengan kantong pernapasan 1-L dibandingkan
dengan kantong dewasa 3-L. Untuk anak dengan berat kurang dari 10 kg,
volume tidal yang adekuat dicapai dengan tekanan inspirasi puncak 15
sampai 18 cm H2O. Untuk anak yang lebih besar, ventilasi pengatur
volume dapat digunakan, dan volume tidal dapat diatur pada 6 hingga 8
mL/kg.
Anestesi dapat dipertahankan pada pasien anak dengan agen yang
sama seperti pada orang dewasa. Beberapa dokter beralih ke isofluran
mengikuti induksi sevofluran dengan harapan mengurangi kemungkinan
munculnya agitasi atau delirium pasca operasi (lihat pembahasan
sebelumnya). Pemberian opioid (misalnya, fentanil, 1-1,5 mcg/kg) atau
dexmedetomidine (0,5 mcg/kg, diberikan perlahan dengan pemantauan
denyut jantung) 15 sampai 20 menit sebelum akhir prosedur dapat
mengurangi kejadian munculnya delirium dan agitasi jika prosedur bedah
cenderung menghasilkan rasa sakit pasca operasi. Meskipun MAC lebih
besar pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.

3.4.13 Sedasi pada prosedur in&out pada ruangan operasi

Sedasi sering diminta untuk pasien anak di dalam dan di luar ruang
operasi untuk prosedur non-bedah. Kerja sama dan tidak bergerak
mungkin diperlukan untuk studi pencitraan, bronkoskopi, endoskopi
gastrointestinal, kateterisasi jantung, penggantian balutan, dan prosedur
minor (mis. pengecoran dan aspirasi sumsum tulang). Persyaratan
bervariasi tergantung pada pasien dan prosedurnya, mulai dari ansiolisis
(sedasi minimal) hingga sedasi sadar (sedasi dan analgesia sedang), hingga
sedasi/analgesia dalam, dan akhirnya anestesi umum. Ahli anestesi
memegang standar yang sama apakah mereka memberikan sedasi sedang
atau dalam atau mereka memberikan anestesi umum. Ini termasuk
persiapan pra operasi (misalnya, puasa), penilaian, pemantauan, dan
perawatan pasca operasi. Obstruksi jalan napas dan hipoventilasi adalah
masalah yang paling sering ditemui terkait dengan sedasi sedang atau
dalam. Depresi kardiovaskular adalah risiko dengan sedasi dalam atau
anestesi umum.
Propofol sejauh ini merupakan obat sedatif-hipnotik yang paling
berguna, meskipun obat ini tidak disetujui untuk sedasi pasien ICU
pediatrik dan tidak disetujui untuk diberikan oleh siapa pun selain mereka
yang terlatih dalam administrasi anestesi umum. Di negara-negara selain
Amerika Serikat, propofol sering diberikan menggunakan Diprifusor,
pompa infus yang dikendalikan komputer yang mempertahankan
konsentrasi situs target yang konstan. Oksigen tambahan dan pemantauan
ketat jalan napas, ventilasi, dan tanda-tanda vital lainnya adalah wajib
(seperti agen lainnya). LMA biasanya ditoleransi dengan baik pada dosis
propofol yang lebih tinggi. Untuk studi pencitraan, dexmedetomidine
intranasal juga terbukti bermanfaat, terutama pada bayi yang tidak
memiliki atau membutuhkan akses intravena.
3.4.14 Emergensi dan Pemulihan

Pasien anak sangat rentan terhadap dua komplikasi postanestesi


umum: laringospasme dan croup postintubasi. Seperti pada pasien dewasa,
nyeri pasca operasi membutuhkan perhatian yang cermat dan cermat.
Praktik anestesi pediatrik sangat bervariasi, khususnya dalam hal ekstubasi
setelah anestesi umum. Di beberapa rumah sakit anak, semua anak yang
akan diekstubasi setelah anestesi umum tiba di postanesthesia care unit
(PACU) dengan selang atau LMA masih terpasang. Mereka kemudian
diekstubasi oleh perawat PACU ketika kriteria yang ditentukan tercapai.
Di pusat lain, hampir semua anak diekstubasi di ruang operasi sebelum
tiba di PACU. Kualitas dan keamanan tinggi dilaporkan di pusat-pusat
yang mengikuti salah satu protokol.
BAB IV
ANALISIS
MASALAH

Dari seorang pasien, An. T / 8 tahun / Perempuan dengan diagnosis


Hidrosefalus. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien diatas
direncanakan menjalani operasi revisi VP-Shunt. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat
penyakit saluran pernapasan, kardiovaskular, alergi obat/makanan. Pasien
dalam keadaan compos mentis. Sebelum dilakukan tindakan pembedahan,
pasien dikonsulkan ke bidang anestesi diperoleh hasil pemeriksaan
didapatkan pasien dalam kategori ASA I, dengan malampati 2. Sebelum
jadwal operasi dilaksanakan, dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan
mempersiapkan SIO.
Pembahasan :

a. Pra Anestesi
Diketahui bahwa pasien usia 8 tahun mengalami Hidrosefalus
dengan penatalaksanaan yang dilakukan adalah tindakan Vp-Shunt tanggal
11 Juli 2023. Sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan, sehari sebelum
pada tanggal 10 Juli 2023 telah dilakukan kunjungan pra anestesi ke ruang
perawatan bedah. Berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan preoperative
tersebut dan berdasarkan pemeriksaan status anestesi pasien, pasien
digolongkan pada ASA I sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik
menurut The American Society of Anesthesiologist.

b. Kebutuhan cairan
Pada pasien ini kebutuhan cairan telah dihitung dan didapatkan :
 Jam I: ½ PP + M + SO = cc
( 198 cc) + 66 cc + 104 cc = 368 cc
 Jam II : ¼ PP + M + SO = cc
(92 cc) +66 cc+104 cc = 262
cc
 Total cairan : 368 + 262 = 631cc
Total kebutuhan cairan selama operasi 2 jam = 631 cc
Selama operasi jumlah cairan yang diberikan adalah :
- Input : RL 700 cc

- Output : perdarahan ± 20 cc
Kebutuhan cairan pada pasien ini sudah tercukupi.

c. Tindakan premedikasi
Pada pasien ini sebelum dilakukan induksi anestesi, diberikan obat
premedikasi yaitu ondansetron 2 mg. Pemberian ondansetron yang di
berikan secara parenteral terbukti aman dan efektif dalam mencegah mual
dan muntah pasca prosedur pembedahan dengan anestesi umum.

d. Tindakan Induksi anestesi


Induksi anestesi adalah tindakan yang bertujuan membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi dan pembedahan. Tindakan induksi anestesi dapat dilakukan
dengan cara intravena, inhalasi, intramuscular atau rektal.
Induksi dengan cara intravena lebih mudah dikerjakan karena pada pasien
yang dilakukan tindakan pembedahan telah terpasang jalur intravena. Obat
induksi yang dibolus disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik.
Tindakan anesthesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan
general anestesi dengan menggunakan teknik anesthesia secara induksi
intravena dan rumatan inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi
Fentanil 50 mcg, Propofol 50 mg, dan atracurium 10 mg, serta
pemasangan ETT no 5 dengan pemeliharaan menggunakan anestesi
inhalasi sevoflurans
+ N2O : O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk
membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi. Untuk induksi, dosis yang dipakai pada anak dapat
digunakan seperti pada orang dewasa untuk propofol (2-3 mg/kgBB)
diikuti
dengan relaksan otot nondepolarisasi (seperti rocuronium, cisatracurium,
atracurium). Propofol kemungkinan melibatkan penghambatan
neurotransmitter yang dimediasi oleh pengikatan reseptor GABAA.
Propofol secara alosterik meningkatkan afinitas pengikatan GABA untuk
reseptor GABAA. Propofol mempunyai onset kerja yang cepat (2-8
menit).
Fentanil digunakan sebagai analgesic opioid. dimana berdasarkan
teori golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk
induksi diberikan dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestsia opioid digunakan fentanyl dosis induksi
1- 5 mcg/kgBB. Dosis pada pasien ini sudah tepat.

e. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dilakukan secara intravena,
atau dengan inhalasi atau campuran intravena inhalasi. Pada pasien ini
rumatan anestesi diberikan secara inhalasi sevoflurans + N2O : O2.
Anestesi dapat dipertahankan pada pasien anak dengan agen yang
sama seperti pada orang dewasa. Beberapa dokter beralih ke isofluran
mengikuti induksi sevofluran dengan harapan mengurangi kemungkinan
munculnya agitasi atau delirium pasca operasi. Pemberian opioid
(misalnya, fentanil, 1-1,5 mcg/kg) atau dexmedetomidine (0,5 mcg/kg,
diberikan perlahan dengan pemantauan denyut jantung) 15 sampai 20
menit sebelum akhir prosedur dapat mengurangi kejadian munculnya
delirium dan agitasi jika prosedur bedah cenderung menghasilkan rasa
sakit pasca operasi.

f. Tindakan intubasi
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot.
Dosis atracurium berdasarkan berat badan adalah 0.4-0.5 mg/kgBB pada
pasien ini yaitu 10 mg. Atracurium besilat (Tracium) yang merupakan obat
pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru yang mempunyai
struktur benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini
dari yang
lain adalah tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang,
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular secara bermakna.
Pada pasien ini dilakukan intubasi karena diperkirakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembedahan lebih dari 20 menit.
Pada pasien ini intubasi berjalan sempurna tanpa ada faktor penyulit (leher
tidak pendek, gigi depan tidak menonjol, dan mallampati 2.

g. Pemantauan selama operasi


Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan dan didapatkan hasil
sebagai berikut.
Jam Nadi RR Spo2
09.00 92 23 100%

09.15 94 23 100%
09.30 80 23 100%
09.45 90 23 100%
10.00 85 23 100%
10.15 94 23 100%
10.30 86 23 100%
10.45 90 23 100%
11.00 88 23 100%

h. Ekstubasi
Sejalan dengan berkurangnya efek anestesi, dilakukan suction pada
pasien. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi
kembali menimbulkan kesulitan dan adanya resiko aspirasi. Ekstubasi
umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan dengan catatan
tidak terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut,
laring, faring, dari sekret dan cairan lainnya. Pada pasien ini, ekstubasi
secara tepat telah dilakukan dimana ekstubasi dilakukan ketika efek
anestesi
sudah ringan dan pasien sudah mulai bernafas spontan, serta tidak
ditemukan kesulitan saat ekstubasi.

i. Ruang pemulihan
Pasien masuk ke ruang pemulihan. Pada perhitungan skor Steward,
berdasarkan beberapa penilaian yang terdiri dari pergerakan, pernapasan,
dan kesadaran, pasien ini memiliki skor 2 dari setiap poinnya, yang berarti
pasien dalam kondisi baik.
Selanjutnya pasien dipindahkan ke ruang perawatan dengan
instruksi anestesi diantaranya : observasi keadaan umum, vital sign, dan
perdarahan tiap 15 menit, boleh makan minum bila sadar penuh dan bising
usus positif, terapi selanjutnya disesuaikan dengan dokter spesialis bedah.
BAB V
KESIMPULAN

Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada
orang dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini.
Seperti pada anestesia untuk orang yang dewasa anestesia anak kecil dan
bayi khususnya harus diketahui betul sebelum dapat melahirkan anestesia
karena itu anestesia pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis
anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman.
Secara anatomis lokasi larynx, glotis dan kartilago krikoid pada
pasien anak terletak lebih tinggi sehingga akan lebih mudah untuk
melakukan intubasi dengan blade lurus, serta karena jalan napas yang
sempit maka keterampilan dan kehati- hatian dokter anestesi sangat
diutamakan.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi
umum pada operasi Revisi VP shunt dengan indikasi hidrosefalus pada
pasien anak perempuan, umur 8 Tahun, status fisik ASA I dengan
menggunakan teknik anestesi umum dengan ET no. 5. Untuk mencapai
hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi
anestesi dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada kasus ini tatalaksana airway dilakukan External Laryngeal
Maneuver dalam mempermudah ventilasi maupun intubasinya, dan
diletakkan juga bantal yang kecil dibelakang bahu pasien agar
meminimalisir kesulitan intubasi yang disebabkan oleh oksipital pasien
yang besar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Apriyanto, Agung RP, Sari F. Hidrosefalus pada anak, JMJ,


Volume 1, Nomor 1, Mei 2013, Hal: 61 – 67
2. Kristopher T Kahle, Abhaya V Kulkarni, David D Limbrick Jr,
Benjamin C Warf, Hidrosefalus Pada Anak Anak, Departemen
Bedah Saraf dan Devisi Bedah Saraf Sekolah Kedokteran
Harvard, Agustus 2015.
3. Jorgensen J, Williams C, Sarang A, Hydrocephalus and
Ventriculoperitoneal Shunts, Critical Reviews in Biomedical
Engineering, 44(1–2): 91–97 (2016)
4. Buttherworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Clinical
Anesthesiology. 7th editio. McGraw-Hill / Medical; 2022.
5. Marwan K, Surahman E, Saleh S, Pengelolaan Anestesi pada Anak
dengan Hidrosefalus, Departeman anetesiologi & terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat-RSUD Ulin
Banjarmasin; 2014

Anda mungkin juga menyukai