Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN REGIONAL ANESTESI PADA PASIEN OBESITAS

Disusun Oleh :

Ananda Wulandari, S.Ked.

10542 0359 12

Pembimbing :

dr. Zulfikar Djafar M. Kes, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Obesitas dikaitkan dengan hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung iskemik,

diabetes mellitus (DM), osteoarthritis, penyakit liver dan asma. Body Mass Index

adalah prediktor untuk komorbiditas, prosedur pembedahan, dan kesulitan anestesi.

Distribusi lemak pada pinggang atau lingkar leher lebih prediktif untuk menentukan

komorbiditas kardiorespirasi dari pada BMI.

Dengan tingginya prevalensi kejadian obesitas, ada peluang yang besar pasien

obesitas untuk dijadwalkan pada semua jenis tindakan pembedahan umum. Pasien

obesitas menimbulkan masalah khusus anestesi termasuk keputusan pemilihan teknik

anestesi yang membawa resiko minimal bagi pasien. Anestesi regional menawarkan

alternatif untuk menghindari kesulitan terkait anestesi umum seperti intubasi sulit,

depresi kardiopulmonal, mual, dan muntah. Namun, anestesi regional secara umum

juga dikaitkan dengan besarnya tingkat kegagalan blok akibat kesulitan teknik

puncture dan anatomi yang tidak terprediksi pada obesitas.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.H

Jeniskelamin : Perempuan

Tanggal Lahir/ Usia : 22-07-1985/ 34 tahun.

Agama : Islam

Suku : Bugis

Pekerjaan : IRT

Tanggal MRS : 19 Oktober 2019

No. RM : 450249

Jenis operasi/alasan op : Sectio Secaria

Jenis anestesi : Sub Arachnoid Anestesi

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Anamnesis Terpimpin : Pasien Perempuan 34 tahun,masuk RSUD Syekh

Yusuf dengan keluhan adanya keluar darah dari jalan lahir. Riwayat asma (-),

alergi (-), penyakit jantung (-), riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-).

Riwayat Penyakit Sebelumnya : Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada

3
C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata

1. Keadaan Umum : Sakit sedang

2. Kesadaran :Composmentis GCS 15 (E4M6V5)

3. Status Gizi : Baik

4. Tanda Vital :

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 84x/menit, reguler

Suhu : 36,60C

Pernapasan : 20 x/menit

5. VAS :6

6. Kepala :Normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi

merata, tidak mudah dicabut, tidak rontok.

7. Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor

8. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

9. Thorax

Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)

Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler,murmur (-),gallop(-)

10. Abdomen : Ikut gerak napas, peristaltik (+) kesan normal.

11. Ektremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

12. Terpasang kateter :Tidak terpasang

4
13. Berat Badan :70 kg

14. Tinggi Badan :145 cm

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada tanggal 07/02/2019

Hematologi

1. WBC : 10,9x 103/µL

2. RBC : 5,00 x 106/µL

3. HGB : 12,9g/dL

4. HCT : 39,8%

5. PLT : 319 x 103/µL

Kimia Darah

6. GDS : 360 mg/dL

7. SGOT/SGPT : 18/19 U/L

8. Ureum/Kreatinin : 38/0,2 mg/dL

Hemostasis

9. CT : 8’30”

10. BT : 3’

Seroimmunologi

11. HbsAg : Non-Reaktif

5
E. KESAN ANESTESI

Pasien perempuan berusia 34 tahun dengan diagnosis G1P0A0 dengan

Oligohidramnion, klasifikasi ASA PS II, dikarenakan pasien hamil dan obesitas.

F. PENATALAKSANAAN PRE OPERATIF

1. Informed consent mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan.

2. Informed consent mengenai pembiusan dengan anestesi umum.

3. Menyampaikan pada pasien mengenai persiapan operasi yaitu puasa ±8

jammulai pukul 00.00 WITA.

G. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan:

1. Diagnosa Peri Operative : G1P0A0 + Oligohidramnion

2. Status Operative : ASA PS II

3. Jenis Operasi : Sectio Caesaria

4. Jenis Anestesi : Sub Arachnoid Block

6
BAB III

LAPORAN ANESTESI

Tanggal Operasi : 19 Oktober 2019

Diagnosa Pre Operasi :G1P0A0 , ASA PS II

Tindakan : Sectio caesaria

Jenis anestesi : Sub Arachnoid Block

A. PRE OPERATIF

Informed consent kepada pasien tentang tindakan anestesi yang akan dilakukan.

1. Pasien puasa selama ± 8 jam sebelum operasi dimulai.

2. Kandung kemih tidak terpasang kateter.

3. Sudah terpasang cairan infus RL.

4. Keadaan umum: compos mentis.

5. Tanda vital:

- Tekanan darah : 120/70 mmHg

- Nadi : 84x/menit

- Frekuensi napas : 20 x/menit

- Suhu : 36,3celcius

7
B. TINDAKAN ANESTESI

Anestesi Regional

C. PENATALAKSANAAN ANESTESI

Memastikan alat-alat dan medikasi yang dibutuhkan selama proses anestesi

sudah lengkap seperti:

1. Kasa steril.

2. Sarung tangan steril.

3. Povidon Iodine.

4. Plester.

5. Lidocaine HCl 2%.

6. Spinocan

7. Obat anestesi spinal: Bunascan Spinal 0.5%

8. Spoit 5 cc.

9. Lampu.

10. Monitor tanda vital.

11. Alat-alat resusitasi.

12. Obat-obat anestesi lainnya jika dibutuhkan seperti atropin, ephedrin,

midazolam, fentanil, pethidin, propofol dan ketamin.

8
D. INTRA OPERATIF

1. Setelah dimonitor, posisikan pasien dalam posisi duduk.. Buat pasien

membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain

ialah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan

tulang punggung ialah L4 atau L5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3,

L3-4, atau L4-5. tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap

medula spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri Anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1 atau

2% 2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G

atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau

29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoducer), yaitu jarum

suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak

sedikit kearah sefal, kemudian masukan jarum spinal berikut mandrinnya ke

lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal

dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat

dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk

meyakinkan posisi jarum tetap baik.

6. Dilakukan sectio caesaria dengan lama operasi 45 menit.

Monitoring tanda-tanda vital (monitor):

9
1. Kesadaran : Composmentis

2. TD : 130/70 mmHg

3. Nadi : 88 x/meit

4. Pernapasan : 20 x/menit

5. SpO2 : 100%

E. PEMBAHASAN

Pasien Perempuan, usia 34 Tahun Masuk RSUD Syekh Yusuf dengan keluhan

adanya keluar darah dari jalan lahir. Riwayat asma (-), alergi (-), penyakit

jantung (-), riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-).

Tindakan pre-operatif dilakukan agar kondisi pasien akan terus membaik

ketika menghadapi operasi. Visite pre-operasi yang dilakukan oleh dokter

spesialis anestesi bertujuan untuk mempersiapkan fisik dan mental pasien secara

optimal, pasien dipuasakan sebelum operasi, tujuannya untuk pengosongan

lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena

regurgitasi dan muntah pada pembedahan elektif. Sebelum dilakukan operasi

pada pasien ini dipuasakan selama 8 jam sejak pukul 00.00 WITA.

Persiapan pra anestesi yang dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian

dan persiapan pasien, serta persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian

pasien pre-operatif sangat menunjang keberhasilan operasi yang akan dilakukan.

Penilaian pre-operatif dalam hal ini meliputi: riwayat penyakit pasien sekarang

10
dan dahulu berupa penyakit jantung, respirasi, metabolik dan alergi. Pasien tidak

memiliki riwayat HT maupun DM sehingga termasuk dalam klasifikasi ASA II

(pasien hamil dan obesitas ) .

Selama dilakukan anestesi pada pasien diposiskan duduk agar lemak

dapat terdistribusi kearah lateral agar celah interspinosum dapat mudah di

identifikasi , tetapi pada pasien ini sulit untuk mengidentifikasi interspinosum

dan saat introucer masuk seperti ada tahanan , setelah dilakukan ke arah yang

lain introducer dapat tembus. Setelah anestesi dilakukan , dipantau tanda-tanda

vital pasien meliputi tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu dan saturasi oksigen.

Setelah operasi selesai pasien dipindahkan keruang pemulihan dan

dievaluasi tanda-tanda vital dan menggunakan skor alderete untuk memastikan

pasien bisa pindah diperawatan atau tidak, apabila total skor >9 maka pasien

dapat dipindahkan. Pada pasien ini setelah dilakukan alderet skor yang

didapatkan 10, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan.

NO KRITERIA Nilai

1. Aktivitas motorik :
 Mampu menggerakkan empat
ekstremitas 2
 Mampu menggerakkan dua
ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakkan
ekstreitas 0
2. Respirasi:
 Mampu napas dalam, batuk dan
nangis kuat 2
 Sesak atau pernapasan terbatas

11
 Henti napas 1
0
3. Tekanan darah :
 Berubah sampai 20% dari pra bedah
 Berubah 20%-50% dari pra bedah 2
 Berubah >50% dari pra bedah 1
0
4. Kesadaran :
 Sadar baik dan orientasi baik
 Sadar setelah dipanggil 2
 Tidak ada tanggapan terhadap 1
rangsangan 0
5. Warna kulit :
 Kemerahan
 Pucat agak suram 2
 Sianosis 1
0
Tabel 2. Skor Alderete

12
BAB 4

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Regional

2.1.1 Definisi

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh

sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian

tubuh diblokir untuk sementara reversible. Fungsi motorik dapat terpengaruh

sebagian atau seluruhnya, akan tetapi pasien tetap sadar.(1)

2.1.2 Pembagian Obat Anestesi Regional / Lokal

Secara umum obat anestesi regional / lokal dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Blok sentral (blok neuroaksial)

Pada umunya blok ini meliputi blok spinal, epidural dan kaudal(1)

b. Blok perifer ( blok saraf)

Pada umumnya blok ini meluputi anestesi topikal, infiltrasi lokal,

blok lapangan, blok saraf dan regional intravena.(1)

2.2 Obat Anestesi Regional / Lokal

Secara kimiawi obat anestesi local dibagi dalam dua golongan besar, yaitu

golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam

perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama di metabolisme

13
oleh enzim pseudo – kolinesterase diplasma sedangkan golongan amide terutama

melalui degradasi enzimatis di hati. (4,5,6,7)

Perbedaan ini juga berkaitan dengan besasrnya kemungkinan terjadinya alergi,

dimana golongan ester turunan dari p – amino benzoic acid memiliki frekuensi

kecenderungan alergi lebih besar. (3)

Untuk kepentingan klinis, anestesi local dibedakan berdasarkan potensi dan

lama kerjanya menjadi 3 grup. Group I meliputi prokain dan klorprokain yang

memiliki potensi lemah dengan kerja singkat. Group II meliputi lidokain,

mepivakain, dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Group

III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain yang memiliki potensi kuat

dengan lama kerja panjang. (5,6)

Anestesi local juga dibedakan berdasarkan pada mula kerjanya. Klorprokain,

lidokain, mepivakain, prilokain dan etidokain memiliki mula kerja relative cepat.

Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tertrakain


(6)
bermula kerja lambat. Obat anestesi local yang lazim dipakai dinegara kita

untuk golongan ester dalah prokain sedangkan untuk amide adalah lidokain dan

bupivakain.

2.3 Keuntungan Anestesia Regional(8)

1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif

lebih murah.

14
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi

emergency,lambung penuh) karena penderita sadar.

3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.

4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.

5. Perawatan post operasi lebih ringan.

2.4 Kerugian Anestesia Regional(8)

1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.

2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.

3. Sulit diterapkan pada anak-anak.

4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.

5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional

2.5 Anestesi Spinal(9)

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang

subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik

lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga

sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan

menembus kutis  subkutis  Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum 

Lig. Flavum  ruang epidural  durameter  ruang subarachnoid.

15
Gambar 1. Anestesi Spinal

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan

serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus

venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.

Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di

daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. (9)

2.5.1 Indikasi

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rektum perineum

4. Bedah obstetrik-ginekologi

5. Bedah urologi

16
6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya

dikombinasikan dengan anestesi umum ringan

2.5.2 Kontraindikasi absolut

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5. Tekanan intrakranial meningkat

6. Fasilitas resusitasi minim

7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

2.5.3 Kontraindikasi relatif

1. Infeksi sistemik

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kronik

17
2.5.4 Persiapan analgesia spinal(9)

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada

anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan

menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung

atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.

Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal

2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial

Thromboplastine Time).

2.5.5 Peralatan analgesia spinal(1,9)

1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.

2. Peralatan resusitasi

3. Jarum spinal Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu

18
runcing/quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil

point whitecare)

Gambar 2. Jarum Spinal

19
2.5.6 Anastetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-

1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut

isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut

hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut

hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik

diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis

hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur

dengan air injeksi.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:

1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,

dosis 20-100mg (2-5ml)

2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis

1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)

3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,

dosis 5-20mg (1-4ml)

4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,

sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

20
Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis

Lidokain (Xylokain, Lignokain)

2 % plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)

5 % dalam dekstrosa 7,5 % 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)

Bupivakain (Markain)

0,5 % dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)

0,5 % dalam dekstrosa 8,25 % 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3 ml)

2.5.7 Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada

garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya

dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan

sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30

menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral

dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya

tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar

processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

21
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista

iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di

atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-

2% 2-3ml

Gambar 3. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G

22
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik

biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak

sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut

mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam

(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat

duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau

ke bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat

timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,

mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi

obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi

aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor

tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk

analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

23
Gambar 4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah

hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum

flavum dewasa ± 6cm. (9)

2.5.8 Penyebaran anastetik lokal tergantung(9)

1. Faktor utama:

a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)

b. Posisi pasien

c. Dosis dan volume anestetik local

Anestetik lokal Berat jenis Dosis

24
Lidokain (Xylokain, Lignokain)

2 % plain 1.006 20-100 mg (2-5 ml)

5 % dalam dekstrosa 7,5 % 1.033 20-50 mg (1-2 ml)

Bupivakain (Markain)

0,5 % dalam air 1.005 5-20 mg (1-4 ml)

0,5 % dalam dekstrosa 8,25 % 1.027 5-15 mg (1-3 ml)

2. Faktor tambahan

a. Ketinggian suntikan

b. Kecepatan suntikan/barbotase

c. Ukuran jarum

d. Keadaan fisik pasien

e. Tekanan intra abdominal

2.5.9 Lama kerja anestetik lokal tergantung(1)

1. Jenis anestetia lokal

2. Besarnya dosis

3. Ada tidaknya vasokonstriktor

4. Besarnya penyebaran anestetik local

25
2.5.10 Level ketinggian blokade spinal anestesi(1)

Level Prosedur pembedahan

T4-5 (nipple) Abdomen bagian atas

T6-8 (xiphoid) TUR, obstetrik-vaginal, panggul

T10 (umbilicus) Intestinal, pelvis-ginekologi, ureter, dan pelvis renalis

L1 (ligamen inguinal) TUR, paha, amputasi kaki bagian bawah, dll

L2-3 (lutut ke bawah) Kaki

S2-5 (perianal) Perianal, hemoroidektomi, dll

2.5.11 Komplikasi tindakan anestesi spinal

1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah

dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml

sebelum tindakan.

2. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok

sampai T-2

3. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4. Trauma pembuluh saraf

5. Trauma saraf

26
6. Mual-muntah

7. Gangguan pendengaran

8. Blok spinal tinggi atau spinal total

2.5.12 Komplikasi pasca tindakan

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4. Retensio urine

5. Meningitis

2.6 Obesitas Dengan Anestesi Regional

2.6.1 Definisi dan Klasifikasi

Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan obesitas sebagai

akumulasi lemak abnormal atau berlebihan dalam jaringan adiposa yang

berakibat pada gangguan kesehatan lebih lanjut. Kelebihan berat badan

(overweight) dan obesitas digolongkan berdasarkan BMI1. Body Mass Index

merupakan alat ukur yang paling berguna untuk mengukur tingkat overweight

dan obesitas yang sama untuk kedua jenis kelamin dan untuk semua usia

dewasa. Namun, dapat dianggap sebagai panduan kasar karena dapat tidak

sesuai dengan derajat kegemukan yang sama pada individu yang berbeda.

27
Nilai BMI diperoleh melalui penghitungan berat badan dalam kilogram di

bagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat atau dapat dirumuskan sebagai

berikut :(1,2)

BMI = Berat badan (kilogram) / Tinggi badan (meter)2

Definisi dari WHO adalah:

 BMI 18-25 adalah normal

 BMI > 25-30 adalah overweight

 BMI> 30 adalah obesitas.

BMI normal berkisar 18.5-24.9, over weight 25.0-29.9, obesitas > 30-

34,9, dan BMI > 40 kg/m2 sebagai extreme obesity1.

Tabel 2.1 : Klasifikasi Obesitas

BMI (Kg/M2) Deskripsi Kelas Obesitas

<18,5 Under Weight

18,5 – 24,9 Normal

25 – 29,8 Over Weight

30 – 34,9 Obesity I

35 – 39,9 Morbid Obesity II

>40 Extreme Obesity II

28
Obesitas terbagi atas obesitas android dan obesitas ginekoid2.

1. Tipe android (obesitas sentral)

Pada obesitas android, umumnya laki-laki, distribusi lemak

terpusat pada badan (sentral) disebut juga obesitas abdominal. Pada

tipe ini jaringan lemak dominan di tubuh bagian atas (distribusi

trunkal) dan berhubungan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan

peningkatan insiden penyakit kardiovaskuler.

2. Tipe ginekoid (obesitas perifer)

Pada tipe ini jaringan lemak dominan terdapat di paha, gluteal

dan pinggul (lemak secara metabolik kurang aktif sehingga kurang

berhubungan erat dengan penyakit kardiovaskuler). Deposit lemak

abdominal lebih aktif dalam metabolisme daripada lemak perifer (pada

panggul, bokong, paha) yang terdapat pada obesitas ginekoid,

umumnya perempuan. Karena sifat yang lebih aktif metabolismenya,

obesitas android berhubungan dengan insidens yang lebih tinggi

penyakit komplikasi metabolik seperti disiplidemia, intoleransi

glukosa, diabetes mellitus, penyakit jantung iskemik, penyakit jantung

kongestif, stroke dan peningkatan konsumsi O2 dibandingkan dengan

obseitas ginekoid2.

29
2.6.2 Patofisiologi

2.6.2.1 Efek Distribusi Lemak

Obesitas dikaitkan dengan hipertensi, dislipidemia, penyakit

jantung iskemik, diabetes mellitus (DM), osteoarthritis, penyakit liver

dan asma. Body Mass Index adalah prediktor untuk komorbiditas,

prosedur pembedahan, dan kesulitan anestesi. Distribusi lemak pada

pinggang atau lingkar leher lebih prediktif untuk menentukan

komorbiditas kardiorespirasi dari pada BMI. Pada obesitas tipe

android pembedahan intra abdomen lebih sulit dilakukan dan hal ini

juga berkaitan dengan peningkatan penumpukan lemak di sekitar leher

dan saluran napas yang menyulitkan manajemen jalan nafas dan

ventilasi paru. Selain itu, obesitas android dikaitkan dengan risiko

timbulnya komplikasi metabolik dan kardiovaskular yang lebih besar5.

Anatomi yang tidak terprediksi pada obesitas jadi penyulit

tersendiri. Menentukan kedalaman puncture jarum lumbal yang tepat

mungkin akan lebih sulit pada pasien dengan postur tubuh besar atau

kelebihan berat badan. Abe dkk melakukan penelitian pada 175 pasien

yang berusia 21-80 tahun dengan BMI antara 11,7-49,3 kg/m2 untuk

mendapatkan hubungan antara berat badan (dalam kg) dan tinggi

badan (dalam cm) dengan kedalaman puncture pendekatan median di

regio lumbal oleh jarum percutaneus untuk mencapai kanalis spinalis.

Didapatkan hasil perbandingan kedalaman puncture yang sebanding

30
dengan berat badan dan berbanding terbalik dengan tinggi badan.

Dalam aplikasinya, dapat disesuaikan dalam suatu formula rumus6:

LP depth (dalam cm) = 1+[17(BB/TB)]

2.6.2.2 Sistem Respirasi

Akumulasi lemak pada thorak dan abdomen menurunkan luas

permukaan dan compliance paru. Penurunan compliance paru ini

karena peningkatan volume darah pulmonal akibat peningkatan

volume darah rata-rata yang diperlukan untuk perfusi lemak tubuh

tambahan. Polisitemia akibat hipoksemia kronis juga ikut berperan

pada peningkatan volume darah total2.

Ditinjau dari sisi posisi operasi, posisi supine mengurangi

Functional Residual Capacity (FRC) karena pergeseran diafragma

kearah cephalad. Efek ini berlebihan pada pasien obes, mengakibatkan

penurunan FRC berat, penyempitan airway, dan peningkatan usaha

bernapas. Peningkatan resistensi dan penurunan compliance dinding

dada akan menurunkan compliance respirasi total pada posisi supine

dan mengakibatkan nafas dangkal dan cepat, meningkatkan usaha

napas, dan membatasi kapasitas ventilasi maksimal yang secara klinis

akan meningkatkan shunting intrapulmonal dan konsumsi oksigen

31
yang terjadi pada pasien obesitas ketika perubahan posisi dari sitting

ke supine2,4.

Penderita obesitas memiliki efisiensi otot pernapasan dibawah

nilai normal. Penurunan compliance paru berakibat penurunan FRC,

Vital Capacity(VC) dan Total Lung Capacity(TLC). Penurunan FRC

akan berakibat penurunan Exspiratory Reserve Volume(ERV), yang

mana hubungan Antara FRC dan closing capacity terjadi lebih cepat2.

Penurunan ERV berakibat berkurangnya FRC pada anestesi umum

pada penderita obes, sehingga hubungan perbandingan FRC dan

closing capacity menjadi tidak baik. Penurunan FRC dan ERV adalah

hal yang umum terjadi pada fungsi paru pasien obesitas. Pengurangan

FRC (akibat penurunan ERV) dapat berakibat volume paru di bawah

closing capacity dalam keadaan ventilasi dengan volume tidal normal,

berakibat penutupan jalan napas yang kecil, mismatch ventilasi

perfusi, shunting right to left dan hipoksemia arterial. Tindakan

anestesi umum mengakibatkan penurunan FRC sebanyak 50% pada

pasien obesitas, 30 % lebih banyak dari pada akibatnya pada orang

normal yang hanya 20%. Forced Expiration Volume(FEV) dalam

sedetik dan FVC biasanya dalam batas normal. Expiration Reserve

Volume adalah indikator paling sensitif sebagai efek obesitas pada

fungsi paru2.

32
Banyak manifestasi sindrom obstruksi jalan napas selama tidur

pada pasien obesitas. Hal ini dapat diklasifikasikan atas tiga kategori,

- Obstructive sleep apnea (OSA)

Terhentinya aliran udara lebih dali sepuluh detik yang terjadi

lebih dari empat kali dalam 1 jam tidur, adanya usaha respirasi

melawan penutupan glotis, dan disertai penurunan saturasi oksigen

lebih dari 4%.

- Obstructive sleep hypopnea

Penurunan 50% aliran udara selama >10 detik yang terjadi >14

kali selama satu jam tidur, berhubungan dengan snoring dan disertai

desaturasi 4%.

- Upper airway resistance

Timbulnya respon meningkatkan resistensi jalan nafas tanpa

peningkatan Apnea hypopnea index(AHI). Apnea hypopnea

indexadalah jumlah periode apnea dan hypopnea perjam yang

digunakan untuk menilai derajat beratnya OSA. Berat jika lebih dari

30, ringan jika antara 5-15 dan sedang jika antara 16-304.

2.6.2.3 Sistem Kardiovaskuler

33
Total volume darah meningkat pada penderita obesitas, akan

tetapi perbandingan volume dengan berat badan pada penderita

obesitas lebih rendah dibandingkan individu normal (50 ml/kg : 70

ml/kg). Sebagian besar volume ini terdistribusi ke jaringan lemak.

Aliran darah renal dan lien meningkat. Cardiac output(COP)

meningkat 20-30 ml/kg karena peningkatan berat, akibat dilatasi

ventrikel dan stroke volume yang meningkat. Peningkatan tekanan

pada dinding ventrikel mengakibatkan hipertrofi, berkurangnya

compliance dan pemburukan pengisian ventrikel (terjadi penurunan

fungsi diastolik dengan seiring peningkatan tekanan ventrikel kiri dan

diastolik serta udem pulmonal, tetapi ketika dinding ventrikel kiri

gagal mempertahankan dilatasinya, dapat terjadi disfungsi sistolik

[kardiomiopati obesitas] dan kemudian kegagalan biventrikular)2

Obesitas memicu aterosklerosis. Gejala seperti angina dan

sesak napas terjadi hanya saat beraktifitas, sehingga sering tampak

asimtomatis pada pasien obesitas yang jarang beraktifitas2

2.6.2.4 Sistem Lain

Obesitas dikaitkan dengan patofisiologi gastrointestinal.

Peningkatan volume asam lambung, pH lambung yang rendah dan

peningkatan tekanan intra abdominal meningkatkan risiko terjadinya

aspirasi isi lambung. Pada hepar, Infiltrasi lemak juga muncul dan

34
dikaitkan dengan macrovesikuler fatty liver yang ireversibel dengan

penurunan berat badan, akan tetapi dapat menjadi hepatitis dan sirosis

secara progresif jika tidak diterapi. Infiltrasi lemak ini ini dapat

dideteksi dengan tes fungsi hepar, namun perluasan infiltrasi tidak

berhubungan dengan derajat abnormalitas tes hepar5,7.

Obesitas meningkatkan aliran plasma renal dan laju filtrasi

glomerulus sehingga terjadi hiperfiltrasi glomerulus. Kelebihan berat

badan meningkatkan reabsorbsi tubular renal dan penyaringan natrium

meningkat akibat aktivasi sistem simpatis dan renin angiotensin akibat

tekanan pada ginjal. Dengan obesitas yang lama, terjadi penurunan

fungsi nefron dan kemudian perburukan ekskresi natrium dan

peningkatan tekanan darah. Hiperfiltrasi glomerulus pada obesitas

berkurang sesuai dengan penurunan berat badan, yang mana akan

menurunkan insiden glomerulopati yang berlebihan2.

Hipotiroid subklinis terjadi pada 25% kasus obesitas. TSH

biasanya meningkat, sehingga meningkatkan kecendeungan resistensi

hormon tiroid pada jaringan perifer. Hipotiroid bisa berhubungan

dengan hipoglikemia, hiponatremia, dan metabolisme obat di hepar

menjadi lambat. Pengurangan kebutuhan tiroksin terlihat pada

penurunan BMI2.

35
Obesitas meningkatkan risiko resistensi insulin dan diabetes.

Lebih dari 10% pasien obesitas menegalami abnormalitas pada test

toleransi glukosa yang meningkatkan risiko infeksi luka dan infark

miokard selama periode iskemik miokard. Kontrol kadar gula darah

perioperatif menjadi penting dan bisa jadi sulit dilakukan. Walaupun

penurunan berat badan preoperatif dapat menurunkan risikonya, akan

tetapi rata-rata pasien yang akan menjalani pembedahan elektif gagal

mencapai penurunan berat badan yang signifikan2,5.

2.6.3 Pertimbangan Anestesi Subarachnoid Pada Pasien Obesitas

Anestesi regional semakin berkembang dan sangat luas pemakaiannya,

mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan antara lain relatif lebih

murah, pengaruh sistemis yang lebih kecil, menghasilkan analgesi yang cukup

adekuat dan kemampuan mencegah respon stress. Jika dilakukan dengan baik

pada pasien obesitas, regional anestesi akan meminimalkan intervensi jalan

nafas, depresi kardiopulmonar, tingkat komplikasi mual dan muntah

postoperatif, dan masa rawat di PACU dan rumah sakit dibandingakan

anestesi umum3,5,6.

Akan tetapi, teknik anestesi regional bisa jadi sulit dilakukan pada

pasien obesitas, sehingga kegagalan blok tidak jarang mengharuskan

dilakukannya anestesi umum dengan intubasi endotrakeal. Beberapa hal yang

36
menyulitkan dilakukannya regional anestesi pada pasien obesitas antara

lain6,9:

• Susah memindahkan dan memposisikan pasien

• Kesulitan teknik melakukan blok regional, disebabkan :

- Penanda anatomi tidak jelas

- Sulit mengidentifikasi celah interspinosum

- Mungkin membutuhkan USG untuk menemukan penanda

tulang

- Jarum konvensional kemungkinan terlalu pendek

dibandingkan jarak dari kulit ke ruang subarachnoid

pasien

- Meningkatnya kemungkinan gagal blok yang mengharuskan

dilakukan konversi ke anestesi umum.

2.6.4 Dosis Obat Anestesi Pada Pasien Obesitas

Dosis obat anestesi lokal yang tepat sangat penting diketahui, karena

jika terlalu besar akan meningkatkan risiko hipotensi dan hipoventilasi,

sebaliknya jika terlalu kecil akan terjadi kegagalan blok dan kemungkinan

untuk anestesi umum dengan intubasi endotrakeal6.

Ada fakta yang menyatakan dosis obat anestesi lokal berbeda antara

pasien obesitas dan tidak obesitas. Pada sebuah penelitian dengan anestesi

spinal, 4 ml dari bupivacain 0,5% yang di berikan pada pasien posisi sitting di

37
interspasium L3-4, terdapat hubungan positif yang langsung antara ketinggian

blok dan derajat obesitas. Sebuah penelitian lain, dengan pemberian 3 ml

bupivacaine 0,5% pada interspasium spinal L3-4 atau L4-5, didapatkan lebih

banyak sebaran ke arah cephalad, sebagaimana yang diukur dari level

sensoris, yang cenderung lebih tinggi terjadi pada pasien dengan berat badan

berlebih dibandingkan pasien dengan berat badan normal6.

Banyak penulis yang merekomendasikan obat anestesi lokal dengan

dosis dan konsentrasi rendah untuk blok neuraksial pada pasien obesitas, hal

ini berdasarkan pasien obesitas memiliki lebih sedikit volume cairan

serebrospinalis dan berkurangnya jarak ruang epidural yang dapat berakibat

tingginya sebaran obat anestesi lokal3.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi : edisi

2.Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI;2009.103-7.

2. Triatma Anindita . Manajemen Blok Subarachnoid pada Pasien dengan

Obesistas. Jurnal Komplikasi Anestesi. Volume 2 Nomer 3 : 2015

3. Werth M. Pokok-pokok anestesi. Jakarta : EGC;2010.65-70.

4. Marwoto, Primatika DA. Anestesi lokal/Regional. Semarang: Bagian

anestesiologi dan terapi intensif fakuktas kedokteran UNDIP; 2010.309-2.

5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesth

esiology. 4th

edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books, 2006 : 151-52, 263-

75

6. Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and Analgesia. Philadelphia :W

B Saunders, 1996 : 188 – 205.

7. Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and Physiology in Anesthetics Practice

. 4th ed. Philladelphia : JB Lippincott – Raven. 2006: 179-83

8. Samodro RM, Sutiyono D, Satoto HH. Jurnal anestesi regional. Jurnal

Anestesiologi Indonesia 2011;3(1):48-59.

9. Rudi M. Pengaruh pemberian cairan ringer laktat dibandingkan Nacl 0,9%

terhadap keseimbangan asam-basa pada pasien section caesaria dengan

39
anestesi regional. Thesis. Fakultas kedokteran universitas diponegoro.

Semarang. 2006

10. Mulroy MF, Bernards CM, Salinas FV. A practical approach to regional

anesthesia. 4th ed.Philladelphia : Lippincott, Williams & wilkins.207:196-9.

40

Anda mungkin juga menyukai