Anda di halaman 1dari 22

Epidural anastesia dan analgesia

1. Sejarah

Dua dokter asal perancis, Jean-Anthanase Sicard, ahli radiologi dan

Ferdinand Cathelin melakukan anestesi epidural melalui teknik caudal sejak 1901.

Mereka menemukan bahwa menyuntikkan larutan cocain melalui hiatus sakralis

mampu menangani nyeri sciatic berat dan mengatakan teknik ini dapat digunakan

untuk membantu operasi.(Hadzic dkk, 2007)

19 tahun kemudian, seorang ahli bedah militer asal spanyol bernama Fidel

Pages Mirace, menjelaskan teknik epidural anestesi melalui daerah lumbar (Miller,

2015). Sayangnya beliau terbunuh dalam kecelakaan pada umur 37 tahun dan

karyanya terbengkalai selama beberapa tahun. Pada tahun 1931 seorang ahli bedah

yang berasal dari Italia, Archile Dogliotti, melakukan operasi abdomen dengan

menggunakan anestesi epidural lumbar single-shot, mempopulerkannya sebagai

“segmental peridural anestesi”. Dia mengatakan cukup banyak saraf tulang

belakang yang harus diblok dengan larutan anestesi untuk memberikan anestesi

yang memadai untuk teknik ini. Dia mengidentifikasi dengan tepat ruang epidural

dengan menggambarkan hilangnya resistensi secara tiba-tiba setelah jarum

melintasi ligamentum flavum (Hadzic dkk, 2007).

Tahun 1933-1944 Aburel, Hingson, dan Edwards melakukan blok epidural

kontinyu dengan menggunakan jarum spinal dengan ukuran 15G (Barker needle)

dan disambung dengan kateter urethra yang terbuat dari sutra, kateter ini tidak

dapat diarahkan untuk mendapatkan level yang diinginkan seperti kateter saat ini,

dan dikatakan memiliki angka keberhasilan 10 dari 16 pasien yang dikerjakan.


Manual Martinez Curbelo ahli anestesi Kuba berkunjungan ke Mayo Clinic

tahun 1947, dia melihat Edward Tuohy melakukan blok spinal kontinyu. Tuohy

mengganti jarum spinal yang tajam dengan desain ujung melengkung yang

dikembangkan oleh Ralph Huber. Tuohy memodifikasi jarum dengan

menambahkan stilet untuk mengurangi risiko masuknya jaringan kulit saat insersi.

Tahun 1949 Curbelo mempublikasikan artikel mengenai penggunaan jarum Tuohy

16G dengan penggunaan kateter uretra dari sutra 3.5F untuk memberikan anestesi

epidural kontinyu di daerah lumbar.

Modifikasi jarum epidural Tuohy-Huber telah dikembangkan sejak masa

lalu hingga sekarang yang penggunaannya masih berjalan hingga saat ini. Kateter

epidural mengalami perubahan besar sejak kateter sutra 3.5F yang digunakan

Curbelo. Kateter sutra sulit untuk disterilkan dan rentan menyebabkan infeksi.

Polimer nilon, Teflon, polyurethrane, dan silikon digunakan oleh pabrik untuk

mendapatkan kateter yang tipis, resisten terhadap bakteri dan kekakuan yang sesuai

(Hadzic dkk, 2007).

2. Embriologi ruang epidural

Pada minggu ke 13 ruang epidural telah diisi dengan jaringan ikat,

duramater menempel pada ligamentum longitudinal posterior. Pada minggu ke 13

ini morfogenesis utama ruang epidural ditentukan oleh pembentukan medulla

spinalis dan duramater sedangkan morfogenesis sekunder ditentukan oleh dinding

kanal vertebra (Fyneface-Ofan, 2010; Hadzic dkk, 2007). Pada periode ini,

ligamentum longitudinal posterior menempel pada vertebra body di sebelah garis


tengah, posterior dari intervertebralis disc. Pleksus vena vertebra interna anterior

terbentuk dan terletak anterolateral dan anteromedial.

Pada minggu ke 15, ligamentum longitudinal posterior berkembang pesat.

Pada minggu ke 21, ikatan antara duramater dan ligamentum longitudinal posterior

di vertebral body membentuk “ligament-like” di vertebral body. Pada usia 32

minggu duramater menempel pada superfisial ligamentum longitudinal posterior.

Pada usia 39 minggu, jaringan lemak mulai berkembang dan mengisi ruang epidural

(Fyneface-Ofan, 2010)

3. Anatomi

Kolum vertebra terdiri dari 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbar dan 5 sakral yang

menyatu menjadi sacrum, serta 4 coccygeal (Gambar 1). Fungsi utama kolum

Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang


(Hadzic dkk., 2007)
vertebra adalah untuk menjaga postur tubuh, membungkus dan melindungi medulla

spinalis dan tempat perlekatan bagi otot yang bertanggung jawab atas pergerakan

kepala dan batang tubuh. Kolum vertebra tampak lurus bila dilihat dari bagian

dorsal atau ventral. Bila dilihat dari samping ada dua lengkungan cembung di

daerah servikal dan lumbar, hal yang membuat kolum vertebra terlihat seperti dua

huruf “C” (Fyneface-Ofan, 2010; Hadzic dkk, 2007; Longnecker, 2012; Miller,

2015).

Tiap vertebra terdiri dari vertebra body dan arkus vertebra. Arkus vertebra

Gambar 2. Perbandingan vertebra


servikal, torakal, dan lumbar. (Hadzic
dkk., 2007).

terdiri dari dua pedikel di anterior dan dua lamina di posterior. Prosesus spinosus
memiliki derajat angulasi yang berbeda antara servikal, torakal dan lumbar.

Processus spinosus memiliki sudut yang hampir horizontal pada servikal, torakal

bawah dan daerah lumbar tetapi menjadi tajam sudutnya pada daerah midtorakal.

Sudut angulasi yang sangat besar terdapat di antara T3 dan T7 tulang

vertebra, hal yang membuat insersi jarum epidural teknik median menjadi sulit.

Bentuk dan ukuran vertebra berbeda mulai dari servikal hingga lumbar begitu juga

dengan fungsinya. Vertebra body lebih kecil pada daerah servikal dan makin

membesar di daerah lumbar dimana vertebra body akan menopang berat tubuh

(Gambar 2.2). (Hadzic dkk, 2007; Longnecker, 2012; Miller, 2015)

2.1. Ukuran ruang epidural

Jarak ruang epidural dari kulit tergantung dari bentuk body habitus pasien,

dan 50% populasi memiliki ukuran 4 cm, 4 - 6 cm pada 80% populasi. Pada pasien

obese dikatakan jarak ruang epidural dari kulit dapat mencapai lebih dari 8 cm

(Hadzic dkk, 2007).

Ruang epidural posterior pada orang dewasa memiliki ukuran 0,4 mm di

C7-T1, 7,5 mm di torakal atas, 4,1 mm di T11-T12 dan 4,7 mm di daerah lumbar

(Nickalls & Kokri, 1986). Dikatakan ruang epidural memiliki lebar yang lebih besar

dibandingkan ruang subaraknoid pada level yang sama. Diperlukan 1,5 – 2 ml

anestesi lokal untuk memblok segmen spinal di ruang epidural dibandingkan blok

subaraknoid yang hanya membutuhkan volume 0,3 ml untuk level blok yang sama

(Fyneface-Ofan, 2010).
2.2. Batas-batas ruang epidural

Ruang epidural terletak di antara meninges tulang belakang dan kanal

vertebra. Dengan batas kranial, foramen magnum, ligamentum sakrokoksigeal pada

sisi kaudal, batas anterior ligamentum posterior longitudinal, lateral oleh pedikel

vertebra, dan ligamentum flavum serta lamina vertebra menjadi batas posterior dari

ruang epidural (Barash, 2013; Longnecker, 2012). Ruang epidural bukan ruang

tertutup, ruang ini berhubungan dengan ruang paravertebral melalui foramina

intervertebral.

Di anterior ruang epidural sangat sempit karena pada beberapa tempat

duramater menyatu dengan ligamentum posterior longitudinal. Ruang epidural

lebih luas di daerah posterior dibandingkan anterior atau lateral karena terbebas dari

duramater, ligamentum flavum dan lamina vertebra. Ikatan antara duramater

dengan pedikel di lateral menyebabkan ruang epidural terputus pada daerah lateral.

Jadi ruang epidural adalah ruang yang bersepta-septa yang saling berhubungan bila

daerah yang sempit di atas dibuka dengan memberikan udara atau cairan di ruang

epidural (Gambar 3).


Gambar 3. Segmentasi ruang epidural.
Warna kuning menunjukkan variasi
segmen ruang epidural yang saling
terpisahkan.(Hadzic dkk, 2007)

Pendekatan atau identifikasi anatomi dari luar untuk tindakan epidural

analgesia ataupun epidural anestesi dilakukan mulai dari palpasi prosesus spinosus

sebagai penentu garis tengah (Hadzic dkk, 2007; Morgan, 2013). Posisi prosesus

spinosus servikal dan lumbar hampir mendekati horizontal sedangkan T4 hingga

T9 memiliki posisi sudut prosesus yang tajam ke kaudal (gambar 2.4b). Oleh

karenanya ketika melakukan blok di daerah servikal ataupun lumbar pada pasien

dengan posisi fleksi maksimal, jarum epidural diarahkan dengan sudut yang lebih

sidikit dibandingkan pada pemasangan jarum epidural di daerah torakal. Pada

daerah servikal prosesus spinosus yang pertama teraba adalah servikal 2 dan

prosesus spinosus servikal 7 merupakan prosesus yang paling menonjol.

Identifikasi prosesus spinosus torakal 7 melalui letaknya yang sejajar dengan sudut

inferior dari skapula (gambar 2.4a). Garis hayal antar ujung atas krista iliaka

(Tuffier’s line) untuk mengidentifikasi lumbar 4 atau interspace lumbar 4 – lumbar

5.
Servikal

Prosesus servikalis
Yang paling prominen

Batas Bawah Thorakal


Ujung Skapula

Batas SuperiorKrista Iliaka


(Tuffer’s Line)
Kauda
Posterior Superior Equina
Spina Iliaka
Lumbal

Sakral

Koksigeal

a b

Gambar 4. a. Landmark identifikasi level tulang belakang (Morgan, 2013); b.


Kolum vertebra dengan perbedaan arah angulasi dari prosesus spinosus (Morgan,
2013)

2.3. Isi ruang epidural

Ruang epidural mengandung lemak, limfe, arteri, jaringan ikat, spinal nerve

roots, serta plekus vena. Ruang epidural menyelimuti semua isinya tersebut dan

terpisahkan oleh karena adanya duramater yang menempel pada dinding vertebra

(Barash, 2013; Fyneface-Ofan, 2010; Hogan, 1999).

Melalui pemeriksaan endoskopi dan computed tomography (CT) serta

magnetic resonance imaging (MRI) dan pemotongan cryomicrotome pada kadaver

didapatkan bahwa ruang epidural bersegmen-segmen. Segmen-segmen epidural

tercipta karena di tiap level epidural duramater berdekatan dengan periosteum

vertebra tetapi tidak melekat membuat ruang epidural saling terpisah yang bisa

dilebarkan dengan memberikan injeksi cairan atau udara.


3. Teknik epidural

Persiapan dimulai dengan inform consent mengenai tindakan, persiapan alat

resusitasi, pasien telah terpasang akses intravena yang adekuat dan terpantau

dengan alat monitor seperti pulse oksimeter dan tekanan darah serta EKG. Sterilitas

merupakan hal penting karena kateter epidural terpasang untuk beberapa hari.

Pengetahuan mengenai daerah operasi merupakan hal penting karena kateter

epidural harus diletakkan pada level yang tepat (Miller, 2015).

Persiapan jarum dengan ukuran 16G sampai dengan 18G dengan sudut tip

15–30 derajat (Huber tip) menurunkan resiko tertusuknya duramater dan

memudahkan arah kateter ke cephalad. Sisi jarum terdapat marka garis yang jarak

tiap markanya 1 cm untuk menentukan kedalaman ruang epidural (Barash, 2013;

Longnecker, 2012; Miller, 2015; Morgan, 2013).

Kateter epidural memiliki karakter lentur, tahan lama, dengan dua tipe

lubang di ujungnya; single end hole dan multiple side orifices dekat ujung kateter.

Beberapa peneliti mengatakan multipel orifice memiliki keunggulan dalam hal

sebaran obat lokal anestesi (Magides, dkk 2006).

3.1. Identifikasi Ruang Epidural

1. Teknik loss of resistance.

Tehnik ini menggunakan semprit kaca atau plastik rendah resistensi yang

diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3 ml. Setelah diberikan anestetik lokal pada

tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm . Kemudian udara atau

NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara terputus-putus (intermiten) sambil


mendorong jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum

flavum) yang disusul hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam

ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose). (Barash, 2013; Fyneface-Ofan, 2010;

Hadzic dkk, 2007; Longnecker, 2012; Miller, 2015; Morgan, 2013)

Ligamen Interspinosum

Gambar 2.8 Teknik loss of resistance (Morgan, 2013)

2. Teknik hanging drop.

Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik ini

hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes NaCl

yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-lahan secara

lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul terhisapnya

tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang

epidural dilakukan uji dosis (test dose). (Barash, 2013; Fyneface-Ofan, 2010;

Hadzic dkk, 2007; Longnecker, 2012; Miller, 2015; Morgan, 2013)


Tetesan
Salin

Gambar 2.9 Teknik Hanging Drop (Longnecker,2012)

3. Teknik Paramedian

Pendekatan ini dikatakan memiliki ruang akses menuju ruang epidural yang

lebih besar dibandingkan teknik median pada terutama pada daerah torakal ( Miller,

2015).

Menurut penelitian Blomberg, paramedian lebih baik dengan resistensi

yang lebih rendah, dan teknik ini dihubungkan dengan penempatan tip yang lebih

baik karena hasil penelitian menunjukan penempatan kateter pada paramedian lebih

baik dibandingkan median, melalui epiduroskopi kadaver, arah kateter dengan

sudut 1200-1350 antara jarum epidural dan duramater menyebabkan kontak kateter

dengan duramater sangat minimal dan menyebabkan mudahnya mengarahkan

ujung kateter (Blomberg, 1989), Laeda dkk, menyimpulkan dibandingkan median,

paramedian memiliki kelebihan seperti insersi kateter yang lebih cepat, efek

samping paresthesia yang rendah (Leeda dkk, 2005).

Insersi jarum 1 hingga 2 cm lateral dari tip prosesus spinosus inferior. Jarum

kemudian diarahkan horizontal hingga lamina dan diarahkan medial dan cephalad

setelah mengenai lamina untuk mendapatkan ruang epidural (Longnecker, 2012;

Miller, 2015). Insersi jarum pada teknik ini tidak melalui ligamentum supraspinosus
dan interspinosus, dan hanya melalui otot paraspinosus sebelum mencapai

ligamentum flavum, hal yang menyebabkan resistensi terasa lebih ringan

dibandingkan teknik median (Morgan, 2013). (Gambar 2.12)

10 – 15 Derajat

Midline Paramedian

Gambar 2.10. Insersi jarum pada teknik paramedian dan median (Longnecker,
2012)

4. Teknik Median. (Longnecker, 2012)


Pada regio lumbar dikatakan kedalaman dari kulit hingga ligamentum

flavum adalah 4 cm dengan rata-rata (80%) 3.5 cm sampai dengan 6 cm, dan dapat

lebih panjang pada pasien obese, lebih pendek pada pasien kurus (Fyneface-Ofan,

2010).
Gambar 2.11. Potongan melintang region lumbar yang menggambarkan ruang
epidural dan struktur yang dilewati pada pendekatan teknik median.(Longnecker,
2012)

Insersi jarum epidural yang berisi stilet diarahkan melalui caudad prosesus

spinosus mengarah ke cephalad; jaringan subkutan akan memberikan resistensi

yang minimal, setelahnya jarum akan melewati ligamen supraspinosus, hingga

ligamentum interspinosus dan di tempat ini stilet dapat dilepas dan jarum lebih

terfiksir. Kesalahan sering terjadi ketika jarum ditempatkan di ligamentum

supraspinosus dan stilet sudah dilepas, akan terjadi false loss of resistance karena

defek dari ligamentum interspinosus (Barash, 2013; Morgan, 2013).

Menurut penelitian Blomberg melalui epiduroskopi kadaver, teknik

pemasangan kateter epidural median menunjukkan arah kateter yang tidak dapat

diprediksi karena kateter menabrak duramater ketika keluar dari jarum epidural dan

terjadikateter melingkar (coiling) ketika melalui dorsomedian septum (Blomberg,

1989)
3.2. Posisi

Posisi duduk atau lateral dekubitus diperlukan pada pemasangan kateter

epidural. Posisi pasien yang tidak adekuat menyulitkan identifikasi ruang epidural.

Posisi duduk dikatakan memiliki waktu pemasangan yang lebih cepat tetapi angka

keberhasilan keduanya tidak berbeda (Miller, 2015).

3.2.1. Kontraindikasi Teknik Epidural

Kontraindikasi absolut (Barash, 2013; Miller, 2015; Morgan, 2013)

- Pasien menolak

- Koagulopati

- Infeksi/peradangan di derah suntikan

- Peningkatan tekanan intrakranial

- Syok hipovolemia berat

- Stenosis aorta berat

- Stenosis mitral berat

Kontraindikasi relatif (Barash, 2013; Miller, 2015; Morgan, 2013)

- Pasien tidak kooperatif

- Sepsis

- Gangguan neurologis

- Kelainan anatomi tulang belakang

3.2.2. Prosedur Pemasangan Kateter Epidural (Barash, 2013; Fyneface-Ofan,

2010; Miller, 2015)

1. Posisi pasien duduk atau lateral dekubitus.


2. Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-L4, karena

jarak antara ligamentum flavum dan duramater pada ketinggian ini adalah yang

terlebar.

3. Jarum epidural yang digunakan ada dua macam

a. Jarum ujung tajam (Crawford). Untuk dosis tunggal.

b. Jarum ujung khusus (Tuohy). Untuk pemandu memasukkan kateter ke

ruang epidural. Jarum ini biasanya ditandai setiap sentimeter.

4. Metode: Baik metode dari median maupun paramedian, jarum sebaiknya

masuk ke ruang epidural pada midline, sebagai ruang yang paling luas dan

mengurangi resiko pada tertusuknya vena epidural, arteri spinalis, atau akar

saraf spinalis.

5. Ruang epidural dimasuki setelah ujung jarum melewati ligamentum flavum

dan menimbulkan tekanan negatif pada ruang epidural.

6. Pemasangan kateter :

Kateter dimasukkan sepanjang 5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat

mengalami parestesi secara tiba-tiba yang bersifat sementara, bila keadaan ini

menetap maka kateter seharusnya dicabut dari jarum. Jika kateter harus

dicabut, kateter dan jarum harus dibuka bersama-sama. Jika kateter telah

dimasukkan, jarum dicabut perlahan-lahan, kateter ini ditarik sampai sekitar 5

cm didalam ruang epidural.

7 Tes Dosis (Test Dose)

Karena analgesi epidural termasuk menginjeksikan sejumlah besar obat

anestesi lokal, pemasangan kateter diharapkan berada pada tempat yang benar.
Aspirasi dari spuit, jika ada darah atau CSS, kateter epidural ditarik kembali

dan diulang pemasangannya. Walaupun tidak ada darah atau CSS dalam

kateter, pemberian obat intravaskular dan intratekal tidak bisa diterima, jadi tes

dosis selalu diperlukan. Tes dosis untuk epidural dosis tunggal dilakukan

setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk kontinyu

melalui kateter. Hal ini terdiri dari 3 ml anestesi lokal yang mengandung 15

µg epinephrine (lidokain 1,5 % dan epinephrin 1 : 200.000). Tak ada efek

setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum atau kateter benar.

- Jika terjadi blok spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang subaraknoid

karena terlalu dalam.

- Jika terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30 %, kemungkinan obat

masuk vena epidural.

4. Farmakologi blok epidural

Agar berhasil dalam melakukan blok epidural seorang klinisi harus

memahami fisiologi nerve conduction dan farmakologi anestesi lokal. Hal ini

berkaitan dengan pertimbangan potensi dan durasi kerja obat lokal anestesi pada

blok saraf sensorik dan motorik yang diimbangi dengan pemahaman keperluan blok

anestesi saat operasi maupun analgetik pasca operasi (Hadzic dkk, 2007).

4.1. Kerja Lokal Anestesi

Cara kerja lokal anestesi dimulai dengan mengikat channel natrium,

menyebabkan keadaan inaktif dan mencegah aktivasi lanjut dari channel.

Pergerakan ion natrium ke dalam membran sel tidak terjadi dan hal ini memblok
kemungkinan terjadinya potensial aksi. Resting potential membrane dipertahankan

walaupun terdapat stimulasi terhadap nerve (Hadzic dkk, 2007).

4.2. Mekanisme Aksi Lokal Anestesi Pada Blok Epidural

Di dorsal horn anestesi lokal akan memblok channel natrium dan kalium

sehingga terjadi inhibisi sensorik (nociceptive electrical activity). Blok motorik

terjadi di daerah vetral horn dengan cara yang sama seperti kerja anestesi lokal di

dorsal horn. Selain channel natrium dan kalium, lokal anestesi juga akan

menghambat channel kalsium di medulla spinalis akan menyebabkan nociceptive

afferent nerve lebih resisten terhadap stimulasi elektrik dan memperkuat efek

analgetik lokal anestesi (Hadzic dkk, 2007).

Epidural blok juga secara tidak langsung mencegah pelepasan subtansi P

dan beberapa neurotransmitter yang berkaitan dengan nyeri. Subtansi P akan

dicegah pada proses transmisi dari terminal presinap dorsal root ganglion cells. Jadi

efek anestesi lokal terhadap subtansi P dan neurotransmitter lainnya (calcitonin

gene-related peptide [CGRP], neurokinin-1[NK-1] dan neurokinin-2[NK-2]) pada

epidural blok adalah blok presinap dari voltage-gate calcium channel (Hadzic dkk,

2007).

Anestesi lokal pada epidural blok dapat diklasifikasi berdasarkan durasi

kerja yakni, singkat; intermediate; lama. Contoh anestesi lokal dengan durasi kerja

cepat procain dan 2-chloroprocain, sedangkan anestesi lokal intermediate lidokain,

mepivacain, prilokain, dan anestesi lokal dengan durasi kerja lama adalah

bupivacain, levobupivacain, tetracain, ropivacain. (tabel 1).


Tabel 1. Perbandingan onset kerja dan efek analgetik lokal anestesi di ruang
Epidural (Miller, 2015)

Durasi

Obat Konsentrasi Onset Plain Epinephrine


(%) (min) 1: 200.000

2- Choloroprocain 3 10-15 45-60 60-90


Lidokain 2 15 80-120 120-180
Mepivacain 2 15 90-140 140-200
Bupivacain 0,5-0,75 20 165-225 180-240
Etidocain 1 15 120-200 150-225
Ropivacain 0,75-1 15-20 140-180 150-200
Levobupivacain 0,5-0,75 15-20 150-225 150-240

Ruang epidural merupakan ruang yang collapsible, distabsible reservoir,

dimana penyebaran obat dan eliminasi terjadi. Penyebaran obat anestesi di ruang

epidural dan kaitannya dengan ketinggian blok sangat bergantung banyak faktor

(Miller, 2015; Yokoyama dkk, 2004).

Faktor-faktor tersebut diantaranya:

1 Obat

Volume dan total massa obat anestesi lokal yang dimasukkan adalah hal yang

paling utama berkaitan dengan ketinggian blok pada epidural blok. Dikatakan 1

sampai 2 ml larutan di dalam ruang epidural akan memblok 1 segmen. Walaupun

ditambahkan adjuvan seperti bicarbonate, epinephrine, opioid hal ini akan

memberikan efek onset kerja, kualitas blok, durasi kerja tetapi tidak akan

meningkatkan atau mengurangi sebaran (Miller, 2015; Yokoyama dkk, 2004).

1. Pasien
Umur dikatakan dapat mempengaruhi sebaran blok epidural (Miller, 2015).

Hal ini terutama sangat jelas terlihat pada epidural blok di daerah torakal dimana

dikatakan pada pasien lansia terjadi penurunan kebutuhan volume 40% untuk

sebaran blok yang sama pada orang dewasa. Faktor-faktor ini diantaranya;

penurunan leakage lokal anestesi melalui foramina intervertebral; kompliant ruang

epidural yang menurun, peningkatan sensitivitas.

Berat badan dikatakan tidak memiliki pengaruh pada sebaran pada blok torakal

dan lumbar (Miller, 2015). Pada ibu hamil dan pasien dengan tekanan intraabdomen

meningkat juga akan meningkatkan sebaran anestesi lokal di ruang epidural karena

pembesaran dari vena epidural.

2. Prosedural

Level injeksi merupakan hal yang penting untuk menentukan ketinggian target

epidural blok. Pada blok epidural servikal sebaran anestesi lokal mendominasi ke

daerah kaudal, pada daerah torakal bawah dan lumbar sebaran cenderung mengarah

cephalad.

Posisi pasien dikatakan akan mempercepat onset kerja pada posisi dermatom

dependent dan posisi duduk ataupun telentang tidak mempengaruhi ketinggian

blok. Posisi head down ataupun head up tidak akan mempengaruhi sebaran,

kecepatan injeksi juga tidak akan meningkatkan sebaran blok.

Daftar pustaka
Andreucci, M., Solomon, R., & Tasanarong, A. 2014. Side Effects of Radiographic
Contrast Media : Pathogenesis , Risk Factors , and Prevention. NIH PA
Manuscript: 1-20
Arendt, K., & Segal, S. 2008. Why epidurals do not always work. Reviews in
obstetrics & gynecology, 1(2), 49–55.
Asato, F., & Goto, F. 1992. What caused the unilateral epidurogram and bilateral
epidural analgesia? Anesth Analg, 75(2), 310–311.
Asato, F., & Goto, F. 1996. Radiographic Findings of Unilateral Epidural Block,
31(10), 1364–1366.
Baheti, K. D., & Laheri, V. V. 2015. Understanding Anesthetic Equipment &
Procedures : A Practical Approach. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publisher. p 413-436
Barash, P. G. 2013. Clinical Anesthesia (seven). Philadelphia, PA 19103 USA:
Lippincott William &Wilkins.
BLOMBERG, R. G. 1988. Technical advantages of the paramedian approach for
lumbar epidural puncture and catheter introduction: A study using
epiduroscopy in autopsy subjects. Anaesthesia.
Blomberg, et. al. 1989. Advantages of the paramedian approach for lumbar
epidural analgesia with catheter technique: A clinical comparison between
midline and paramedian approaches. Anaesthesia, 44(9), 742–746.
Collier, C. . 2012. Epidural anaesthesia : images, problems and solutions. london:
Hodder Arnold.
Dimanti, A., & Hartono, A. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.
Frölich, M. A., & Caton, D. (2001). Pioneers in epidural needle design. Anesth
Analg, 93(1), 215–220.
Fyneface-Ofan, S. 2010. Epidural Analgesia-Current Views and Approaches.
Anatomy and Clinical Importance of the Epidural Space., p 1–13.
Gilroy, A., MacPherson, B., & Ross, L. 2012. Atlas of Anatomy (second edi). New
York: Thieme.
Guyton, A. C. 2016. The microcirculation and Lymphatic System: Capilary Fluid
Exchange, Intertitial Fluid and Lymph Flow. in Hall J.E (ed). Textbook of
Medical Physiology, Thirteenth Edition. Philadelphia: Elsivier Saunder. p189-
201.
Hadzic, A., Allen, M., Barczewska-Hillel, A., Barron, A., Beckman, J., & Benzon,
H. T. 2007. Epidural Block in Hadzic,A (ed). Textbook of Regional Anesthesia
and Acute PAin Management. New York: McGraw-Hill's. p253-302
Hermanides, J., Hollmann, M. W., Stevens, M. F., & Lirk, P. 2012. Failed epidural:
Causes and management. British Journal of Anaesthesia, 109(2), 144–154.
Hogan, Q. (1999). Epidural Catheter Tip Position and Distribution of Injectate
Evaluated by Computed Tomography. 90:964-70
Jiang, H., Shi, B., & Xu, S. 2015. An anatomical study of lumbar epidural
catheterization. BMC Anesthesiology, 15(1), 94.
Khan, T. H. 2009. REVIEW ARTICLE – Epidurography – Anaesthesia, Pain &
Intensive Care. Anaesthesia, Pain & Intensive Care.
Leeda, M., Stienstra, R., Arbous, M. S., Dahan, A., Th Veering, B., Burm, A. G.
L., & Van Kleef, J. W. (2005). Lumbar epidural catheter insertion: the midline
vs. the paramedian approach. European journal of anaesthesiology, 22(11),
839–42.
Longnecker, D. E. (2012). Neuraxial Anesthesia. in Longnecker,D. E(Ed)
Anesthesiology, Second edition. Philadelphia: Mc Graw Hill. p 786-807
Magides, A. D., Sprigg, A., & Richmond, M. N. 2006. Lumbar epidurography with
multi-orifice and single orifice epidural catheters. Anaesthesia, 51(8), 757–
763.
McMorland, G. H., Douglas, M. J., Axelson, J. E., Kim, J. H., Blair, I., Ross, P. L.,
Swenerton, J. E. 1988. The effect of pH adjustment of bupivacaine on onset
and duration of epidural anaesthesia for caesarean section. Canadian journal
of anaesthesia = Journal canadien d’anesthésie.35:5/p 457-61
Mehl, a. L. 1988. Interpretation of Traumatic Lumbar Puncture. Clinical
Pediatrics, 27(1), 53–54.
Miller, R. D. 2015. Spinal, Epidural, and Caudal Anesthesia. in Brul, R,
Macfarlane, A.J.R., Chan, V.W.S,(Ed). MILLER’S ANESTHESIA eight
edition. Philadelphia: Elsivier Saunder.p1684-1720
Morgan. 2013. Spinal, Epidural, and Caudal Block. in Butterworth,J.F., Mackey,
D. C, Wasnick, J.D.,(Ed).Clinical Anesthesiology,fifth edition.
Philadelphial.Mc Braw Hill.
Nagaro, T., Yorozuya, T., Kamei, M., Kii, N., Arai, T., & Abe, S. 2006.
Fluoroscopically Guided Epidural Block in the Thoracic and Lumbar Regions.
Regional Anesthesia and Pain Medicine, 31(5), 409–416.
Nickalls, R., & Kokri, M. 1986. The width of posterior epidural space in obstetric
patient. Vol 41 pp 432-433.
Richardson, J., & Groen, G. J. 2005. Applied epidural anatomy. Continuing
Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain, 5(3), 98–100.
Ryu, H. G., Bahk, J. H., Lee, C. J., & Lim, Y. J. 2007. The coiling length of thoracic
epidural catheters: The influence of epidural approach angle. British Journal
of Anaesthesia.
Savolain, E. R. 1988. Anatomy of the Human Lumbar epidural Space: New Insight
Using CT-Epidurography.68:217-220
Toledano, R. ., & Tsen, L. 2017. Epidural Catheter Design, (1), 9–17.
Uchino, T., Miura, M., Oyama, Y., Matsumoto, S., Shingu, C., & Kitano, T. 2016.
Lateral deviation of four types of epidural catheters from the lumbar epidural
space into the intervertebral foramen. Journal of Anesthesia.
Wang, L. H., McKenzie-Brown, A. M., & Hord, A. H. 2006. HANDBOOK OF C-
ARM FLUOROSCOPY-GUIDED SPINAL INJECTIONS.pdf. Boca Raton:
Taylor & Francis Group.
Yeager, M. P., Bae, E. E., Parra, M. C., Barr, P. A., Bonham, A. K., & Sites, B. D.
2016. Fluoroscopy-assisted epidural catheter placement: An exploratory
analysis of 303 pre-operative epidurograms. Acta Anaesthesiologica
Scandinavica, 60(4), 513–519.
Yokoyama, M., Hanazaki, M., Fujii, H., Mizobuchi, S., Nakatsuka, H., Takahashi,
T.,Morita, K. 2004. Correlation between the distribution of contrast medium
and the extent of blockade during epidural anesthesia. Anesthesiology, 100(6),
1504–10.
Zarzur, E. (1984). Genesis of the “ true ” negative pressure in the lumbar epidural
space, 39.

Anda mungkin juga menyukai