Anda di halaman 1dari 46

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/ GIA219027/ Mei 2020


**Pembimbing : dr. Dedy Fachrian, Sp.An

GENERAL ANESTESI PADA OPERASI LAPAROTOMI


PASIEN TUMOR WILMS
Wita Zahara, S.Ked * dr. Dedy Fachrian, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

GENERAL ANESTESI PADA OPERASI LAPAROTOMI


PASIEN TUMOR WILMS

Disusun oleh:
Wita Zahara, S.Ked
G1A219027

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


pada Mei 2020

PEMBIMBING

dr. Dedy Fachrian, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session
(CRS) dalam bentuk laporan kasus bayangan yang berjudul “General Anestesi
Pada Operasi Laparatomi Pasien Tumr Wilms” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Dedy Fachrian, Sp.An, yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anestesi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi, walaupun pada kondisi pandemi
seperti pada saat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah laporan
kasus ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Mei 2020

Wita Zahara, S.Ked

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi dan reanimasi telah berhasil memungkinkan sesorang


dilakukan pembedahan tanpa siksaan dan rasa nyeri. Dewasa ini, anestesi dan
reanimasi telah jauh berkembang semenjak ditemukan pertama kali oleh Morton
pada tahun 1846. Mulai dari zat-zat yang dipakai, alat-alat dan mesin anestesi,
hingga teknik anestesi yang memungkinkannya jenis dan lama pembedahan yang
lebih maju. Anestesi dan reanimasi juga berkembang sesuai dengan tuntutan
kebutuhan kelompok umur pediatrik. Anestesi dan reanimasi pediatrik sendiri
dapat dibagi menjadi empat kelompok umur yaitu neonatus, bayi, anak pra
sekolah dan anak usia sekolah. 1
Anestesi pediatrik melibatkan lebih dari sekadar menyesuaikan dosis obat
dan peralatan untuk pasien yang lebih kecil. Neonatus (0–1 bulan), bayi (1–12
bulan), balita (12-24 bulan), dan anak kecil (usia 2–12 tahun) memiliki
persyaratan anestesi yang berbeda. Anestesi yang aman membutuhkan perhatian
pada karakteristik fisiologis, anatomi, dan farmakologis masing-masing
kelompok. Risiko umumnya berbanding terbalik dengan usia, dan bayi memiliki
risiko morbiditas dan mortalitas anestesi yang jauh lebih besar daripada anak yang
lebih besar. Selain itu, pasien anak rentan terhadap penyakit yang memerlukan
strategi bedah dan anestesi yang unik. 1,2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 29 Mei 2020
Nama : An. W
Umur : 4 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 98cm/15 kg
Alamat : Jembatan Masa Desa Rantau Rasau
No. RM : 940387
Ruangan : PICU
Diagnosa : Tumor Wilms renal sinistra
Tindakan : Laparatomi
Operator : dr. Willy Hardy Marpaung, SpBA
Ahli Anestesi : dr. Dedy Fachrian, SpAn

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
a. Keluhan Utama : Perut membesar sejak 2 minggu SMRS
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien di bawa ke IGD dengan keluhan perut semakin membesar
sejak 2 minggu SMRS. Keluhan disertai rasa nyeri dan terasa
menyesak.
±2 bulan SMRS ibu pasien mengeluh bahwa teraba benjolan pada
bagian perut kiri pasien.
±2 minggu SMRS ibu pasien mengeluh benjolan tersebut teraba
semakin membesar sehingga ibu pasien membawanya ke Rumah
Sakit. Di Rumah Sakit dikatakan bahwa pasien mengalami
pembesaran atau tumor pada ginjal. Saat itu keluarga pasien menolak
untuk dilakukan tindakan operasi.

2
Sejak ±2 minggu SMRS, perut pasien sudah tampak membesar.
Keluhan disertai dengan rasa sesak sejak 3 hari SMRS. Ibu pasien
mengatakan pasien mengalami penurunan berat badan selama keluhan
berlangsung yaitu dari 13 kg menjadi 11 kg. Penurunan nafsu makan
(+). Pasien sebelumnya pernah dirawat dengan keluhan teraba
benjolan pada perut, dokter menyarankan untuk operasi namun
keluarga menolak.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat Rawat Inap : (-)
• Riwayat Operasi : (-)
• Riwayat Alergi : (-)
• Riwayat Asma : (-)
• Riwayat DM : (-)
• Riwayat Hepatitis : (-)
• Riwayat Hipertensi : (-)
• Riwayat Batuk lama : (-)
• Riwayat kejang : (-)
• Riwayat angina : (-)
• Riwayat gastritis : (-)
• Riwayat Konsumsi obat jangka waktu lama : (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
• Tidak ada keluarga yang menderita tumor atau kanker
e. Riwayat pribadi: Lahir cukup bulan dengan imunisasi lengkap

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 155 x/menit
RR : 44 x/menit
Suhu : 36,0 ̊C
b. Kepala : Normochepal, konjungtiva anemis(-), sklera
ikterik (-)

3
c. THT : Nyeri tekan (-), rinore (-), otore (-)
d. Mulut : Bukaan mulut sulit dinilai, mallampati sulit dinilai,
snoring (-), gargling (-), stridor (-)
e. Leher : Mobile, pembesaran (-), jarak hyoid dengan
mentalis sekitar 3 jari, jarak tiroid dengan dasar mulut sekitar 2 jari.
f. Thoraks
Inspeksi : Bentuk normal, gerak dinding dada simetris,
sikatrik (-)
Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan sulit dinilai
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
g. Abdomen
Inspeksi : Cembung, bekas operasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+), Nyeri lepas (-), hati & lien sulit
dinilai, defans muskular (+)
Perkusi : Redup (+)
Auskultasi : Bising usus (+)
h. Genital : Laki-laki
i. Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (27-02-2020 )
Darah Rutin
• WBC : 11 x103/mm3
• RBC : 4,6 x106/mm3
• HGB : 10,5 gr/dL
• HCT : 34 %
• PLT : 490 x103/mm3
• GDS : 92 mg/dl
Kimia Darah
• Albumin : 2,6 mg/dL

4
• SGOT/SGPT : 24/13 U/L
• Ur/Kr : 14/0,2 U/L
b. Pencitraan
X-Ray Thoraks : Cor dan Pulmo dalam batas normal.
CT Scan Abdomen :
Massa karakteristik maligna di retroperitoneal kiri yang berhubungan
dengan struktur ginjal kiri, menyangat pasca kontras dengan gambara
claw sign, serta perluasan massa yang tersebut diatas, disertai trombus
tumoral di vena cava inferior sugestif tumor Wilms
Limfadenopati paraaorta
Fluid collection di hemiabdomen dextra

4. DIAGNOSIS
Tumor wilms

5. STATUS FISIK ASA


1/ 2 /3/4/E

6. RENCANA TINDAKAN ANESTESI


1. Diagnosa pra bedah : Tumor wilms et renal sinistra
2. Tindakan bedah : Laparotomi
3. Status fisik ASA :2
4. Jenis / tindakan anestesi : General Anestesi
5. Persiapan Pra Anestesi : - Siapkan Informed Consent dan SIO
- Puasa 4 jam sebelum operasi
- Siapkan PICU
Pramedikasi
Ceftriaxone 1x1 gr (IV), dexamethasone 3 mg (IV)
Induksi : Fentanil 25 mcg; Propofol 10 mg
Relaksasi : Atracurium 8 mg
Pemeliharaan : Sevoflurans + N2O : O2

5
BAB III
LAPORAN ANESTESI

1. Tindakan Anestesi
1. Metode : General Anestesi
2. Pramedikasi : Ceftriaxone 1x1 gr (IV), dexamethasone 3 mg (IV)
3. Medikasi :
1. Induksi : Fentanil 25 mcg; Propofol 10 mg
2. Relaksasi : Atracurium 8 mg
3. Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2
4. Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop
Tube : ETT Non Kinking no 4,5
Airway : Oropharingeal airway
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrain
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction
- Intubasi : Insersi ETT no.4,5
- Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2
5. Cairan/Transfusi :
Input
1. Ringer Laktat 100 mL
2. NaCl 0,9% 50 mL
3. PRC 400 cc

2. Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Supinasi
b. Intubasi (ETT) : Oral
No. Tube : 4,5; balon
c. Penyulit Intubasi :-

6
d. Penyulit Waktu Anestesi/Operasi :-
e. Lama Anestesi : 90 menit (1,5 jam)
f. Jumlah Cairan
Input : RL+NaCl 0,9%+ darah= 550 ml
Output : Perdarahan ± 750 mL

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 15 Kg
• Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/Jam
= 2x15= 30 cc/Jam
• Pengganti Puasa (P)
P = 4 x M→ Pasien puasa dari jam 04.00, operasi pukul 09.20 WIB
= 4 x 30 cc
= 120 cc
• Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 15 x 6 cc
= 90 cc
• EBV : 80 x BB
EBV : 80 x 15 → 1200 cc
• ABL : (Ht – 30 ) x EBV x 3 = (34 – 30) x 1200 x 3
100 100
= 144 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (PP) + M + SO
= ½ (120) + 30 + 90
= 180 cc
Jam II = ¼(PP) + M + SO
= ¼ (120) + 30 + 90
= 150 cc

7
3. Monitoring
Nadi =138 x/menit, RR = 37x/menit
Jam Tindakan
WIB
08.35 Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke meja operasi

Diberikan cairan RL(1 kolf)


08.45 Pemasangan monitoring nadi, saturasi O2 dan urin bag
dikosongkan.
09.00 Pasien mulai dilakukan general anestesi,

Pemberian Analgesia fentanyl 25 mcg

Pemberian induksi IV propofol 10 mg,

Tes bulu mata

Pemberian obat muscle relaxan atrakurium 8 mg


09.10 Melakukan intubasi
09.20 Operasi dimulai
09.28 Pasien diberikan ketorolac 15 mg
09.30 Diberikan PRC 200 cc
10.05 Diberikan PRC 200 cc
10.10 Diberikan asam tranexamat 125 mg
10.15 Diberikan furosemide 10 mg (darah sudah masuk)
Diberikan asam tranexamat 125 mg
10.30 Operasi selesai
10.30 Gas N2O dan sevoflurane dimatikan, gas O2 dinaikkan dgn
menggunakan ETT

Pelepasan alat monitoring

Pasien dipindahkan ke ruang PICU


11.00 Diberikan atropin sulfate 0,25
Neostgmin 0,25
Fentanyl 15 mcg (bolus)→ 5 mcg/jam(drip)
Midazolam 1 mg/jam

4. Penilaian Skoring Steward


Penilaian Skor Nilai
PERGERAKAN
- Gerak bertujuan 2
- Gerak tak bertujuan 1 -
- Tidak bergerak 0
PERNAFASAN
- Batuk, menangis 2

8
- Pertahankan jalan napas 1 -
- Perlu bantuan 0
KESADARAN
- Menangis 2 -
- Bereaksi terhadap rangsangan 1
- Tidak bereaksi 0

Total skor steward pasien sulit dinilai, karena pasien langsung dipindahkan
keruangan PICU setelah operasi dan masih dalam keadaan pengaruh anestesi.

160

140

120

100

80

60

40

20

0
8:50 9:05 9:20 9:35 9:50 10:05 10:20 10:35 10:50 11:05 11:20 11:35

Instruksi Post Operasi:


• Rawat PICU
• Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit selama 1 x 24 jam
• Tirah baring tanpa bantal sampai 1 x 24 jam
• Boleh makan dan minum setelah pasien sadar penuh dan bising usus (+)
• Instruksi lain dan terapi megikuti dr. Willy Hardy Marpaung, Sp.BA

9
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1Anatomi Jalan Napas


Terdapat beberapa perbedaan anatomi pada jaluran napas anak-anak bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Perbedaan pertama adalah ukuran lidah anak-
anak yang lebih besar dibandingkan orofaring sehingga meningkatkan resiko
terjadinya obstruksi jalan napas dan kesulitan teknis lainnya pada saat melakukan
laringoskopi. Perbedaan kedua adalah lokasi larynx anak yang terletak lebih tinggi
pada C4 bila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada pada C6 dan letak
Glottis pada anak-anak berada pada C2 dan lebih tinggi dibandingkan dengan
orang dewasa pada C4 dan letak kartilago krikoid pada C4 dibandingkan dengan
orang dewasa pada C6 sehingga pemasangan dengan blade yang lurus lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan blade yang bengkok.
Bentuk Epiglottis anak lebih pendek dan tebal dan terletak lebih dekat
kepada laryngeal inlet sehingga visualisasi pita suara akan lebih sulit dan
membutuhkan keterampilan penggunaan blade laringoskop yang lebih mahir.
Bentuk pita suara lebih bersudut sehingga pada saat memasukkan ETT
(Endotracheal Tube) dapat tersangkut pada commisure anterior pita suara. Larynx
anak kecil mengalami penyempitan pada cincin krikoid sedangkan pada orang
dewasa penempitan jalan napas berada di pita suara sehingga penggunaan ETT
tanpa cuff disarankan untuk pasien pediatrik.

Anatomi jalan napas pada pasien anak

10
Gambar Potongan Sagital Perbedaan Anatomi Sistem Pernapasan
Dewasa dan Pediatri
Selain pada jalan napas terdapat beberapa perbedaan lain pada anak-anak
yakni bagian kepala oksiput yang lebih besar akan menyulitkan untuk
menempatkan pasien pada posisi sniffing untuk mengatasi hal tersebut dapat
dibetikan ganjalan bahu.

4.2 Sistem Respirasi


Perbedaan utama yang paling mendasar pada sistem pernapasan anak-anak
adalah kebutuhan metabolik dan konsumsi oksigen yang lebih tinggi yaitu 6 ml/kg
, 3 kali lipat lebih banyak dari orang dewasa, namun karena volume tidal pada
anak-anak relatif sama dengan orang dewasa (6-8 ml/kg). Bila dibandingkan
dengan berat badan maka hal tersebut dikompensasi melalui laju ventilasi yang
lebih cepat (anak <1 tahun : 30-60x per menit, 1-3 tahun: 24-40x per menit , 3-6
tahun : 22-34x per menit , 6-12 tahun : 18-30x per menit , 12-18 tahun : 12-16x
per menit).
Perbedaan lainnya adalah closing volume yang didefinisikan sebagai
volume udara yang terdapat pada paru-paru pada saat bronkioles respiratorius
kolaps bila ditemukan pada anak-anak nilainya lebih tinggi daripada kapasitas
residu fungsional sehingga rentan terjadi penutupan jalan napas pada akhir
respirasi dimana kapasitas residu fungsional akan berkurang bila terjadi apnea dan
pada anestesi, hal ini menuntut adanya pemberian ventilasi tekanan positif pada
saat anestesi pasien anak-anak.

11
Resistensi jalan napas dapat dihitung berdasarkan hukum poiseuille
dimana resistensi = 8 Ln/r4 . Radius memiliki peran yang sangat penting dalam
menentukan resistensi, dimana pada anak-anak diameter saluran napas masih kecil
mulai dari lubang hidung sampai bronkioles respiratorius sehingga resistensi pada
anak-anak cenderung lebih tinggi daripada orang dewasa, hal ini dapat diatasi
dalam pemberian beberapa obat anestesi yang memiliki efek untuk mendilatasi
bronkus dan mengurangi resisten, namun bila terjadi edema sebanyak 1 ml saja
dapat mengurangi jalan napas sebanyak 60% , hal ini menimbulkan pendapat
bahwa sebaiknya terdapat sebuah bocoran disekitar ETT untuk mencegah trauma
yang dapat menyebabkan edema subglottis.
Dinding dada anak kecil banyak mengandung jaringan tulang rawan
sehingga lebih elastis dan menyebabkan compliance paru lebih tinggi, hal tersebut
memudahkan paru kolaps ketika ada peningkatan kerja ventilasi yang menuntut
tekanan intra-thoracic yang lebih negatif. Otot pernapasan bayi yang dominan
adalah diafragma, dimana otot diafragma bayi pada usia di bawah 2 tahun
didominasi oleh serat otot type 2 yang memiliki ketahanan terhadap beban
berulang yang rendah dibandingkan serat otot type 1, hal ini menyebabkan
diafragma bayi lebih mudah letih bila terdapat peningkatan laju ventilasi
sedangkan laju ventilasi anak-anak sendiri sudah lebih tinggi dari dewasa
sehingga kemampuan untuk meningkatkan usaha ventilasi secara efektif akan
terbatasi.
Kadar volume dead space pada anak kecil dan dewasa cenderung sama
yaitu sekitar 33% bila dibandingkan dengan volume tidal namun penggunaan alat-
alat anestesi dapat meningkatkan volume dead space dan menggangu ventilasi
secara efektif sehingga penggunaan alat-alat anestesi harus diperhatikan dengan
benar. Semua faktor tersebut akan memudahkan terjadinya gangguan pernapasan
dan desaturasi pada anak kecil sehingga pengawasan kadar oksigen harus
dilakukan secara ketat

12
4.3 Anestesi
Anestesia pediatri merupakan anestesi pada pasien anak-anak yang dapat
dibagi menjadi 4 kelompok umur yaitu neonatus (bayi usia konsepsi 44 minggu
atau usia kalender sampai 28 hari), bayi (sampai 12 bulan), anak (1-12 tahun), dan
remaja (13-18 tahun).1
Anestesi pada pasien pediatri memerlukan perhatian dan kebutuhan khusus
dimana anak-anak bukan merupakan miniatur dari orang dewasa namun
merupakan kelompok individu yang mempunyai anatomi, fisiologi, psikologi dan
biokimia yang berbeda dari orang dewasa. Kebutuhan dan karakteristik juga
berbeda pada masing-masing kelompok umur pasien pediatrik. Ditambah lagi
pasien pediatri mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
daripada orang dewasa.1,2

4.4 Jenis Jenis Anestesi Umum


Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa
nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi
dan secara intravena. 3,4
Keuntungan anestesia umum
a. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
b. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
c. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
d. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien. 3,4

Kerugian anestesia umum


a. Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
b. Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
c. Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.

13
d. Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
e. Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.3,4

4.2.1 Anestesi Inhalasi


Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan berupa
gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Agen ini dapat diberikan dan diserap
secara terkontrol dan cepat, karena diserap serta dikeluarkan melalui paru-paru
(alveoli). Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh ambilan paru, difusi gas
dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan konsentrasi uap obat
anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi, ventilasi alveolar,
koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.3,4

1. Dinitrogenoksida (N2O)
N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak,
dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai
sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% :
50%.3,4

14
2. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon
klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan
aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak. Kebalikan dari
N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi
keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.3,4

3. Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan.Efek
depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih
iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.3,4

4. Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini
dapat dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.3,4

5. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia
inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.3,4

15
4.4.2 Anestesi Anestesi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.3,4
1. Barbiturate: Contohnya pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat
pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan
nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.3,4
2. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air
dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi. Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien
dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara
subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol
mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik
sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen
pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat
(kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.3,4

16
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain. 3,4
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup
berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer
dan venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira
80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada
penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan
intubasi trakea.3,4
Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan
dalam memetabolisme obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol
tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme
otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.3,4
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik.
Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang
terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.3,4
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi
pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem
kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.
Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga
saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).3,4

17
3. Ketamin
Derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi,
terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan
tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat,
kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mula
kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh.
Waktu paruh 7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM
5 menit. Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik
0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100 mg).3,4

4. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.3,4

5. Benzodiazepin
yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan
midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik
(sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang
disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik regional. Digunakan untuk
induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi,
cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah pemberian
midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini
dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.3,4

18
a) Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan
anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat
dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan
induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30
detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM
15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma
maksimum dicapai dalam 30 menit. Midazolam menyebabkan
tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam, penurunan
sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer.Efek depresi pernafasan minimal.Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre
medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-
0,4 mg/kgbb IV.4

b) Diazepam
obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia..Waktu paruh 20-50 jam, tergantung
fungsi liver. Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi
diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan
masa pemulihannya lama. Diazepam digunakan untuk berbagai
macam intervensi (menimbulkan sedasi basal sebelum dilakukan
pengobatan utama), meringankan kecemasan, anxietas atau stress
akut, dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga untuk
induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovaskular. Diazepam juga digunakan untuk medikasi
preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan
penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat,
tetapi tidak berefek analgesik. Dosis premedikasi 10-20 mg IM,
induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam
sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV
tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml.

19
Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena
pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe.4

4.5 Teknik Anestesi Pediatri


4.5.1 Preoperatif
A. Anamnesis, pemeriksaan Fisik , dan pemeriksaan Laboratorium
Tergantung pada usia, pengalaman masa lalu, dan kematangan, anak-anak
hadir dengan berbagai tingkat ketakutan (bahkan teror) ketika dihadapkan pada
prospek operasi atau prosedur lain yang memerlukan anestesi. Tidak seperti orang
dewasa, yang biasanya paling khawatir tentang kemungkinan cedera atau
kematian, anak-anak, ketika mereka mengungkapkan kekhawatiran mereka,
khawatir tentang rasa sakit dan perpisahan dari orang tua mereka. 3,4,5
Lakukan Heteroanamnesis pada orang tua pasien, tanyakan apakah
pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting untuk mengetaui
apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Misalnya alergi, mual
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas paska bedah, sehingga kita bisa
merancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Kita harus pandai memilah
apakah cerita pasien termasuk alergi atau efek samping obat. Lalu juga tanyakan
riwayat penyakit sebelumnya, apakah ada alergi atau asma. Dan apakah ada
penyakit sistemik lainnya. 3,4,5
Program persiapan pra-bedah — seperti brosur dan video yang sesuai usia,
atau tur — dapat membantu mempersiapkan anak-anak dan orang tua. Ketika
waktu memungkinkan, seseorang dapat demistifikasi proses anestesi dan
pembedahan dengan menjelaskan dalam istilah yang sesuai usia apa yang ada di
depan. Misalnya, ahli anestesi mungkin membawa masker anestesi untuk
dimainkan anak selama wawancara dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang
digunakan astronot. Atau, di beberapa pusat, seseorang yang dipercayai anak
(misalnya, orang tua, perawat, dokter lain) mungkin diizinkan hadir selama
persiapan pranestetik dan induksi anestesi. Ini dapat memiliki pengaruh yang
sangat menenangkan pada anak-anak yang menjalani prosedur berulang
(misalnya, pemberian kemoterapi intratekal). Sayangnya, operasi rawat jalan dan
"hari yang sama mengakui", ditambah dengan jadwal ruang operasi yang sibuk,

20
sering membuat hampir mustahil untuk meyakinkan orang tua dan pasien secara
memadai. Jadi, premedikasi (dibahas di bawah) seringkali dapat membantu.
Beberapa rumah sakit anak memiliki ruang induksi yang berdekatan dengan ruang
operasi mereka untuk memungkinkan kehadiran orang tua dan lingkungan yang
lebih tenang dan lebih mengejutkan untuk induksi anestesi. 3,4,5

Pemeriksaan Fisik, lakukan penilaian berupa : 3,4,5


1) Keadaan umum
2) Tanda-Tanda Vital : Tekanan darah, Laju nadi dan napas, Suhu
3) Data antropometrik : Tinggi dan berat badan
4) Adanya gigi yang lepas atau goyang
5) Sistem respirasi
6) Sistem Kardiovaskuler
7) Sistem Neurologi

Pemeriksaan penunjang, disarankan bagi beberapa pasien anak dengan kondisi


khusus. Pemeriksaan laboratorium kadar Hb dilakukan apabila diperkirakan akan
ada banyak pendarahan pada saat operasi, bayi prematur, penyakit sistemik dan
penyakit jantung kongenital. Pemeriksaan kadar elektrolit dapat dilakukan bila
terdapat penyakit ginjal ataupun metabolik lainnya dan pada kondisi dehidrasi.
Pemeriksaan x-ray dapat dilakukan bila terdapat penyakit paru-paru, skoliosis
ataupun penyakit jantung. Pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan sesuai
penyakit. 3,4,5

B. Klasifikasi Status Fisik


Sebelum dilakukan anestesi, pasien dilakukan penilaian terhadap status
fisik berdasarkan ASA. 3,4,5
Kelas Status
I Pasien dengan kondisi kesehatan normal
II Pasien yang emiliki penyakit sistemik ringan
III Pasien dengan penyakit sistemik berat
IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang merupakan ancaman

21
konstan terhadap kehidupan
V Seorang pasien yang hampir mati yang tidak diharapkan untuk bertahan
hidup tanpa operasi
VI Seorang pasien yang dinyatakan mati otak yang organnya dikeluarkan
untuk tujuan donor

C. Puasa
Karena anak-anak lebih rentan mengalami dehidrasi daripada orang
dewasa, pembatasan cairan sebelum operasi mereka selalu lebih lunak. Beberapa
penelitian, bagaimanapun, telah mendokumentasikan pH lambung yang rendah
(<2.5) dan volume residu yang relatif tinggi pada pasien anak yang dijadwalkan
untuk operasi, menunjukkan bahwa anak-anak mungkin memiliki risiko aspirasi
yang lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. 4,5
Pedoman puasa pra operasi yang diproduksi oleh American Society of
Anesthesiologists menetapkan bahwa bayi dapat diberi ASI hingga 4 jam sebelum
induksi, dan susu formula atau cairan dan makanan "ringan" dapat diberikan
hingga 6 jam sebelum induksi. Cairan bening ditawarkan hingga 2 jam sebelum
induksi. Sedangkan makanan padat diberikan sekitar 8 jam atau lebih sebelum
prosedur. Rekomendasi ini untuk neonatus yang sehat, bayi, dan anak-anak tanpa
faktor risiko penurunan pengosongan lambung atau aspirasi. Bagaimanapun,
hampir tidak ada bukti klinis untuk rekomendasi. 4,5

D. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia
diantaranya: 4,5
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.

22
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.

Terapi Premedikasi yang digunakan :


1. Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran,
Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal
0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan
pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan
umumnya jelek. Atropin mengurangi kejadian hipotensi selama induksi
pada neonatus dan pada bayi di bawah 3 bulan. Atropin juga dapat
mencegah akumulasi sekresi yang dapat memblokir saluran udara kecil
dan tabung endotrakeal. Sekresi bisa sangat menyusahkan bagi anak-anak
dengan URI atau mereka yang telah diberi ketamin. Atropin dapat
diberikan secara oral, intramuskuler, atau kadang-kadang rektal. Dalam
praktik saat ini, sebagian besar lebih suka memberikan atropin secara
intravena selama induksi.

2. Penenang
Tidak dianjurkan pada neonatus dan bayi, karena susunan saraf pusat
belum berkembang, mudah terjadi depresi. Untuk anak pra sekolah dan
usia sekolah yang tidak bisa tenang dan cemas, pemberian penenang dapat
dilakukan dengan pemberian midazolam. Dosis yang dianjurkan adalah
0,3-0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit
setelah pemberian. Rute oral umumnya lebih disukai karena kurang
traumatis daripada injeksi intramuskular, tetapi membutuhkan 20 hingga
45 menit untuk efek.

E. Induksi
Induksi anestesi ialah tindakan unutk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan..
Anestesi umum biasanya diinduksi oleh teknik intravena atau inhalasi. Induksi

23
dengan ketamin intramuskular (5-10 mg / kg) dicadangkan untuk situasi tertentu,
seperti yang melibatkan pasien agresif, terutama yang mengalami gangguan
mental, atau autis. Induksi intravena biasanya lebih disukai ketika pasien datang
ke ruang operasi dengan kateter intravena fungsional atau akan memungkinkan
4,5
kanulasi vena terjaga.

Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:4


S : Scope, Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop. Pilih bilah atau dan yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukuop terang.
T : Tube, pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan >5 tahun dengan balon (cuffed)
A : Airway, pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung
faring (naso tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer, Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S : Suction, penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Namun, apapun jenis situasi klinik yang dialami, tujuan dari induksi adalah
sama, yaitu :
- Memisahkan sang pasien dari orangtuanya sebisa mungkin
- Pasien bersikap kooperatif saat dilakukan induksi
- Induksi yang berjalan mulus tanpa komplikasi apapun
- Pencapaian dan pemantauan system respirasi, kardiovaskular, dan cairan
yang stabil selama induksi
- Tercapainya efek hipnotik, sedative dan relaksasi

24
Induksi Intravena
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada mereka
yang sudah terpasang infus. Induksi dapat dilakukan dengan menggunakan
propofol 2-3 mg/kgBB diikuti dengan pemberian pelumpuh otot non depolarizing
seperti atrakurium 0,3 -0,6 mg/kg, contoh lainnya rocuronium, cisatracurium.
Seringkali pada praktik pediatri, intubasi bisa dilakukan dengan kombinasi
propofol, lidokain, dan opiate dengan atau tanpa agen inhalasi sehingga tidak
diperlukan pelumpuh otot. Pelumpuh otot juga tidak diperlukan saat pemasangan
4,5
LMA.

Induksi Inhalasi
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada
yang takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N2O dalam
oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 0,5 vol% kemudian
dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka
mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur
baru dirapatkan ke muka penderita. 4,5

F. Intubasi Trakea
Intubasi neonatus dan bayi lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal,
epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Karena occiput menonjol dan membuat
posisi fleksi pada kepala, maka dapat dikoreksi dengan cara sedikit mengangkat
bahu dengan meletakan handuk dan menaruh kepala pada bantal berbentuk donat.
Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya.
Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Intubasi
biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada
keadaan gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis
menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau
pada bayi prematur. Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan
dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun
tanpa pelumpuh otot.3,4,5

25
Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastik, tembus pandang dan
tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada
bayi aterm 2,5-3,5 mm. Pipa yang digunakan juga jenis pipa non kinking atau
yang tidak mudah tertekuk. 3,4,5
Pada anak-anak, digunakan blade laringkoskop yang lebih kecil dan lurus,
jenisnya tergantung pada pilihan ahli anestesi dan adanya gangguan saluran
pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip bahwa pipa yang dapat
dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7, dan dua nomor lebih rendah
harus disiapkan bila diperlukan. Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang
tembus pandang tanpa cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada
kasus-kasus laparotomi atau jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Pipa pada orang
dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0-9,0
mm dan perempuan 7,5-8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk
20-23cm. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea sama dengan besarnya jari
kelingking atau besarnya lubang hidung. Untuk menghitung perkiraan diameter
dan panjang pipa pada anak dapat menggunakan formula : 3,4,5
4 + umur/4 = diameter pipa (mm)
dan
12 + umur/2 = panjang pipa (cm)

Pada pasien pediatri, intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat


menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan harus dengan
ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-Jackson Rees.1

Berikut merupakan tabel perbandingan peralatan yang digunakan


berdasarkan usia. 3,4,5

26
Pemilihan ukuran bilah laringoskop berdasarkan usia

LARINGOSKOP

Ada 2 jenis laringoskop yang umum dipakai pada anak, yaitu laringoskop berdaun lurus (
Miller) dan lengkung (MacIntosh).
Laringoskop berdaun lurus dan lengkung

Alat ini dirancang untuk menyingkirkan lidah , kemudian membuka dan


melihat daerah laring.Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus
digunakan dengan meletakkan ujung pada epiglottis , kemudian mengangkat
seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya. Laringoskop lengkung
digunakan dengan meletakkan ujung daun pada vallecula kemudian
mengungkitnya dengan menggerkkan tuas ke belakang.

27
Teknik penggunaan laringoskop daun lurus dan lengkung

Laringsokop daun lurus juga dapat diletakkan di vallecula. Keuntungan


bila diletakkan di epiglottis adalah seringkali dapat melihat pita suara dengan
lebih jelas. Keuntungan bila diletakkan di vallecula adalah mengurangi rangsang
epiglotis yang dapat berakibat spasme laring. Karena bentuk anatomis jalan nafas
neonatus , laringoskop berdaun lurus lebih banyak digunakan pada neonatus.
Sangat penting diingat bahwa dalam persiapan selalu disediakan lampu dan batu
batere cadangan. Sebelum digunakan, laringoskop dirakit dahulu, disesuaikan
dengan daun yang akan dipilih.

TEKNIK PEMASANGAN ET PADA DEWASA

1. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa
endotrakeal ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan
sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan pada pipa dan
stilet dan cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika
fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah
cuff.
2. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput dan
pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat
disingkirkan)

28
3. Berikan ventilasi dengan O2 100% selama kira-kira 1-2 menit atau saturasi
oksigen mencapai maksimal 100%.
4. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop
5. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri (jika kidal, menggunakan
tangan kanan), tangan kanan mendorong kepala hingga sedikit ekstensi dan mulut
terbuka.
6. Masukkan bilah laringoskop dari mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
sedikit, menyelusuri kanan lidah dan menggeser lidah ke kiri menuju epiglotis dan
pangkal lidah.
7. Angkat laringoskop ke atasdan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40
sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu.
8. Bila pita suara sudah terlihat (gambar 5.f), tahan tarikan / posisi laringoskop
dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET
dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET
melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET
±19 -23 cm
9. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 – 10 ml.
Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
10. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan
auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada paru kanan dan kiri
sambil memperhatikan pengembangan dada.Bila terdengar gurgling pada lambung
dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan
pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik.
Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran
pipa ke dalam bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari
pipa ET.
11. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
12. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
13. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai sadar.
14. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter per
menit).

29
30
TEKNIK PEMASANGAN ET PADA ANAK
1. Memilih dan menyiapkan pipa ET, Agar pipa lebih kaku dan mudah
dilegkungkan, masukkan stilet yang ujungnya tidak melebihi panjang pipa
ET.
2. Menyiapkan laringoskop Pilih laringoskop dengan lidah / daun lurus).
Pasang daun laringoskop pada pegangannya. Hidupkan lampu
laringoskop, periksa lampu dan batere-nya
3. Menyiapkan perlengkapan lain Alat dan kateter penghisap no 10 F. Balon
dan sungkup , sumber oksigen 100 %, stetoskop, plester.
4. Kepala sedikit ekstensi / tengadah .Untuk anak di atas 2 tahun, posisi
optimal dapat dicapai dengan meletakkan ganjal pada kepala anak,
kemudian melakukan sniffing position. Pada bayi hal ini tidak perlu
dilakukan karena oksiput bayi yang prominen . Pada trauma leher ,
intubasi harus dilakukan dalam posisi netral.
5. Menyiapkan pemasukan laringoskop.
a. Penolong berdiri di sisi atas kepala bayi.
b. Nyalakan lampu laringoskop
c. Pegang laringoskop dengan ibu jari dan ketiga jari tangan kiri ( normal
atau pun kidal ), arahkan daun laringoskop ke sisi berlawanan dengan
penolong.
d. Pegang kepala bayi dengan tangan kanan.
6. Memasukkan daun laringoskop
a. masukkan daun laringoskop antara palatum dan lidah
b. ujung daun laringoskop dimasukkan menyusuri lidah secara perlahan ke
pangkallidah sampai vallecula ( lekuk antara pangkal lidah dan epiglotis)
7. Melihat glottis
a. angkat daun laringoskop dengan cara mengangkat seluruh laringoskop
ke arah batang laringoskop menunjuk, lidah akan terjulur sedikit sehingga
terlihat faring.
b. Menentukan letak dan posisi daun laringsokop :
8. Batasan waku 20 detik. Tindakan dibatasi 20 detik pada bayi untuk
mencegah hipoksia. Sambil menunggu, anak diberi oksigen 100 %.

31
9. Memasukkan pipa ET
a. Glottis dan pita suara harus terlihat.
b.Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, dimasukkan dari sebelah kanan
mulut.
c.Tetap melihat glottis, dimasukkan waktu pita suara terbuka. Jika dalam 20
detik pita suara belum terbuka, hentikan, sementara lakukan VTP.
d. Masukkan pipa ET di antara pita suara, sampai sebatas garis tanda pita suara,
ujung pipa pada pertengahan pita suara dan karina.Hindari mengenai pita suara,
dapat mengakibatkan spasme.

10. Mengeluarkan laringoskop.


a. Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, bertumpu pada muka bayi, tekan
ibir.
b. Laringoskop dikeluarkan dengan tangan kiri tanpa mengganggu atau
menggeser pipa ET.
c. Cabut stilet dari pipa ET

11.Memastikan letak pipa ET


a.Sambil memegang pipa ET pada bibir, pasang sambungan pipa ke balon
resusitasi dan lakukan ventilasi sambil mengamati dada dan perut
b. Jika letak ET benar akan terlihat :
- dada mengembang
- perut tidak mengembung
c. Mendengarkan suara nafas dengan menggunakan stetoskop di dada atas kiri
dan kanan.
Jika letak ET benar :
- udara masuk ke kedua sisi dada
- suara nafas kiri = kanan

12. Letak pipa ET


a. Pipa ET tepat di tengah trakea :
- kedua sisi dada mengembang sewaktu melakukan ventilasi

32
- suara nafas terdengar sama di kedua sisi dada
- tidak terdengar suara di lambung
- perut tidak kembung
b. pipa Et terletak di bronkus
- suara nafas hanya terdengar di salah satu sisi paru
- suara nafas terdengar tidak sama keras
- tidak terdengar suara di lambung
- perut tidak kembung
c. pipa ET terletak di esofagus
- tidak terdengar suara nafas di kedua dada atas
- terdengar suara udara masuk lambung
- perut tampak gembung
Tindakan :
Cabut pipa ET , beri VTP degnan balon dan sungkup, ulangi intubasi pipa ET.

13. Fiksasi pipa ET


Perhatikan tanda cm pada pipa ET setinggi batas bibir atas.
Tanda ini digunakan untuk :
- mengetahui apakah pipa ET berubah letaknya
- jarak pipa ET ke bibir menentukan dalamnya pipa
Fiksasi pipa ET ke wajah bayi dengan plester

33
G. Pemeliharaan
Ventilasi hampir selalu dikontrol selama anestesi neonatus dan bayi ketika
menggunakan sistem lingkaran setengah lingkaran konvensional. Selama ventilasi
spontan, bahkan resistansi rendah dari sistem lingkaran dapat menjadi hambatan
yang signifikan untuk diatasi oleh neonatus yang sakit. Katup satu arah, tabung
pernafasan, dan peredan karbon dioksida menyumbang sebagian besar resistensi
ini. 3,4,5
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali.
Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pada bayi hanya untuk tindakan
ringan yang tidak lama. Gas anestetika yang umum digunakan adalah N2O
dicampur dengan 02 perbandingan 50:50 untuk neonatus, 60:40 untuk bayi, dan
70:30 untuk anak-anak. Walapun N2O mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat
anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan halotan, enfluran
atau isofluran. Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau pacta
berat diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per dosis 1-2 mg/kg.
Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitif, karena itu haus diencerkan dan
diberikan secara sedikit demi sedikit. 3,4,5
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan
yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan, adanya perdarahan dan
oleh sebab-sebab lain, cairan fistula dan lain-lainnya. Cairan yang seharusnya
masuk, karena puasa harus diganti dengan pedoman : 3,4,5
Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam II diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam III diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam

Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan cairan
kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam Ringer-Iaktat
sedangkan diatas 10% dilakukan transfusi. Banyaknya perdarahan dapat
diperkirakan dengan : 3,4,5
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum dan
sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan keduanya

34
kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang
menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain penutup dan lain-
lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada
neonatus harus diganti dengan darah.

H. Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatri


Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya.
Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari
lender kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh otot, dapat dinetralkan dengan
prostigmin (0,04 mg/kg) atau neostigmine (0,05 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg).
Depresi nafas oleh narkotika-analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4 mg
secara titrasi.1
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota
badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat. Ekstubasi dalam
keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau
bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang
traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik
dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi

4.6 Manajemen Cairan Perioperatif


Perhatian yang teliti terhadap asupan dan kehilangan cairan diperlukan
pada pasien anak yang lebih muda karena pasien ini memiliki margin terbatas
untuk kesalahan. Pompa infus yang dapat diprogram atau buret dengan ruang
mikrodrip berguna untuk pengukuran yang akurat. Obat-obatan dapat disiram
melalui pipa ruang mati rendah untuk meminimalkan pemberian cairan yang tidak
perlu. Kelebihan cairan didiagnosis oleh vena yang menonjol, kulit memerah,
peningkatan tekanan darah, penurunan serum natrium, dan hilangnya lipatan di
kelopak mata atas. Terapi cairan dapat dibagi menjadi perawatan, defisit, dan
persyaratan penggantian.

35
4.6.1 Cairan Maintenance
Persyaratan pemeliharaan untuk pasien anak dapat ditentukan dengan
"aturan 4: 2: 1": 4 mL / kg / jam untuk 10 kg pertama berat, 2 mL / kg / jam untuk
10 kg kedua, dan 1 mL / kg / h untuk setiap kilogram yang tersisa. Pilihan cairan
perawatan tetap kontroversial. Suatu solusi seperti D5½ NS dengan 20 mEq / L
kalium klorida memberikan dekstrosa dan elektrolit yang memadai pada laju infus
pemeliharaan ini. D5¼ NS mungkin menjadi pilihan yang lebih baik pada
neonatus karena kemampuannya yang terbatas untuk menangani muatan natrium.
Anak-anak hingga usia 8 tahun membutuhkan 6 mg / kg / menit glukosa untuk
mempertahankan euglikemia (40-125 mg / dL); neonatus prematur membutuhkan
6-8 mg / kg / menit. Euglycemia biasanya dirawat dengan baik pada anak-anak
yang lebih tua dan orang dewasa dengan glikogenolisis hati dan glukoneogenesis
meskipun pemberian larutan bebas glukosa. Baik hipoglikemia dan hiperglikemia
harus dihindari; Namun, jumlah produksi glukosa hepatik sangat bervariasi
selama operasi besar dan penyakit kritis. Dengan demikian laju infus glukosa
selama operasi lebih lama, terutama pada neonatus dan bayi, harus disesuaikan
berdasarkan pengukuran glukosa darah.
4.6.2 Defisit
Selain infus pemeliharaan, setiap defisit cairan pra operasi harus diganti.
Misalnya, jika bayi 5 kg belum menerima cairan oral atau intravena selama 4 jam
sebelum operasi, defisit 80 mL telah bertambah (5 kg × 4 mL / kg / jam / 4 jam).
Berbeda dengan orang dewasa, bayi merespons dehidrasi dengan
penurunan tekanan darah dan tanpa peningkatan denyut jantung. Defisit cairan pra
operasi sering diberikan dengan persyaratan perawatan per jam di hampir 50%
pada jam pertama dan 25% pada jam kedua dan ketiga. Pada contoh di atas, total
60 mL akan diberikan pada jam pertama (80/2 + 20) dan 40 mL pada jam kedua
dan ketiga (80/4 + 20). Pemberian bolus larutan yang mengandung dekstrosa
harus dihindari untuk mencegah hiperglikemia. Defisit cairan sebelum operasi
biasanya diganti dengan larutan garam seimbang (misalnya, injeksi Ringer laktat)
atau ½NS. Glukosa dihilangkan untuk mencegah hiperglikemia. Dibandingkan
dengan injeksi Ringer laktat, salin normal memiliki kelemahan mempromosikan
asidosis hiperkloremik.

36
4.6.3 Pengganti
Penggantian dapat dibagi lagi menjadi kehilangan darah dan kehilangan
ruang ketiga.
1. Kehilangan darah — Volume darah neonatus prematur (100 mL / kg),
neonatus penuh (85-90 mL / kg), dan bayi (80 mL / kg) secara
proporsional lebih besar daripada orang dewasa (65-75) mL / kg).
Hematokrit awal sebesar 55% pada neonatus fullterm sehat secara
bertahap turun ke level 30% pada bayi berusia 3 bulan sebelum meningkat
menjadi 35% pada 6 bulan. Jenis hemoglobin (Hb) juga berubah selama
periode ini: dari konsentrasi HbF 75% (afinitas oksigen lebih besar,
pengurangan PaO2, penurunan jaringan yang buruk) saat lahir hingga
hampir 100% HbA (afinitas oksigen berkurang, PaO2 tinggi,
pembongkaran jaringan baik) dalam 6 bulan.
Kehilangan darah biasanya diganti dengan kristaloid yang tidak
mengandung glukosa (misalnya, 3 mL injeksi Ringer laktat untuk setiap
mililiter darah yang hilang) atau larutan koloid (misalnya, 1 mL albumin
5% untuk setiap mililiter darah yang hilang) hingga hematokrit pasien
mencapai batas bawah yang telah ditentukan. Dalam beberapa tahun
terakhir telah terjadi peningkatan penekanan pada menghindari pemberian
cairan yang berlebihan; dengan demikian kehilangan darah sekarang
umumnya digantikan oleh koloid (misalnya albumin) atau sel darah merah
yang dikemas. Pada neonatus prematur dan sakit, target hematokrit (untuk
transfusi) mungkin sebesar 40%, sedangkan pada anak-anak yang lebih tua
yang sehat, hematokrit 20% hingga 26% umumnya ditoleransi dengan
baik. Karena volume intravaskularnya yang kecil, neonatus dan bayi
berisiko tinggi mengalami gangguan elektrolit (misalnya, hiperglikemia,
hiperkalemia, dan hipokalsemia) yang dapat menyertai transfusi darah
yang cepat. Dosis transfusi sel darah merah dalam kemasan dibahas pada
Bab 51. Trombosit dan plasma beku segar, 10 hingga 15 mL / kg, harus
diberikan ketika kehilangan darah melebihi satu hingga dua volume darah.
Praktik baru, terutama dengan kehilangan darah akibat trauma, nikmat
Administrasi "sebelumnya" plasma dan trombosit sebagai bagian dari

37
protokol transfusi masif. Satu unit trombosit per 10 kg berat meningkatkan
jumlah trombosit sekitar 50.000 / μL. Dosis cryoprecipitate pediatrik
adalah 1 unit / 10 kg berat.
2. Kehilangan “ruang ketiga” — Kehilangan ini tidak mungkin untuk diukur
dan harus diperkirakan berdasarkan sejauh mana prosedur pembedahan.
Dalam beberapa tahun terakhir beberapa peneliti telah mempertanyakan
keberadaan ruang ketiga, dan beberapa menyatakan bahwa ruang ketiga
ada sebagai konsekuensi dari pemberian cairan yang berlebihan.
Satu pedoman pemberian cairan yang populer adalah 0 hingga 2 mL / kg /
jam untuk pembedahan yang relatif atraumatik (mis., Koreksi strabismus
di mana seharusnya tidak ada kehilangan ruang ketiga) dan hingga 6
hingga 10 mL / kg / jam untuk prosedur traumatis (misalnya abses perut) ).
Kehilangan ruang ketiga biasanya diganti dengan injeksi Ringer laktasi.
Aman untuk mengatakan bahwa semua masalah yang berkaitan dengan
ruang ketiga tidak pernah lebih kontroversial.

38
4.7 Skor Penilaian Kondisi Pasien Pasca Anestesi
Skor steward pada anak menjelaskan: 1) Pergerakan (Gerakan bertujuan)
(2), gerak tak bertujuan (1), tidak bergerak (0); 2) Pernafasan [Batuk atau
menangis (2), pertahankan jalan nafas (1), perlu bantuan (0); 3) Kesadaran
[Menangis (2), bereaksi terhadap rangsang (1), dan tidak bereaksi (0).
Pasien dapat dipindahkan ke ruangan jika skor >5.

Penilaian Skor
PERGERAKAN
- Gerak bertujuan 2
- Gerak tak bertujuan 1
- Tidak bergerak 0
PERNAFASAN
- Batuk, menangis 2
- Pertahankan jalan napas 1
- Perlu bantuan 0
KESADARAN
- Menangis 2
- Bereaksi terhadap rangsangan 1
- Tidak bereaksi 0

39
BAB V
ANALISA KASUS

Pasien An. W, 4,4 tahun dengan rencana Laparotomi pada tanggal 29


Februari 2020 dengan diagnosa Tumor Wilms renal sinistra. Dari anamnesis
didapatkan keluhan perut semakin membesar sejak 2 minggu SMRS. Keluhan
disertai rasa nyeri dan terasa menyesak. ±2 bulan SMRS ibu pasien mengeluh
bahwa teraba benjolan pada bagian perut kiri pasien. ±2 minggu SMRS ibu pasien
mengeluh benjolan tersebut teraba semakin membesar sehingga ibu pasien
membawanya ke Rumah Sakit. Di Rumah Sakit dikatakan bahwa pasien
mengalami pembesaran atau tumor pada ginjal. Saat itu keluarga pasien menolak
untuk dilakukan tindakan operasi. Sejak ±2 minggu SMRS, perut pasien sudah
tampak membesar. keluhan disertai dengan rasa sesak sejak 3 hari SMRS. Ibu
pasien mengatakan pasien mengalami penurunan berat badan selama keluhan
berlangsung yaitu dari 13 kg menjadi 11 kg. Penurunan nafsu makan (+). Pasien
sebelumnya pernah dirawat dengan keluhan teraba benjolan pada perut, dokter
menyarankan untuk operasi namun keluarga menolak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya distensi abdomen, hepar, lien,dan ginjal sulit dinilai.
Kemudian pasien dilakukan tindakan CT Scan ditemukan adanya massa maligna
pada ginjal pasien yang tersuspek sebagai tumor Wilms. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang di simpulkan bahwa pasien masuk
ke dalam ASA II. Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang karena
penyakit bedah, tanpa pembatasan aktivitas.
Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu
2cc/kgbBB/jam, sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 30cc/jam.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 4 jam. Tujuan puasa adalah
untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah
saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anestesi
yang diberikan, sehingga reflex laring mengalami penurunan selama anesthesia.
Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 4 x
maintenance. Sehingga kebutuhan cairan untuk mengganti puasa yaitu 120 cc.

40
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa ceftriaxone 1gr dan
dexamethasone 3mg. Penggunaan premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan
mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Tindakan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi Propofol 10 mg, Fentanil 25 mcg
dan atrakurium 8 mg, serta pemasangan ETT no 4,5 dengan dosis pemeliharaan
menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O: O2.
Berdasarkan teori, induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
anestesi. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat dan bekerja pada
reseptor GABA, yang didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol
diberikan dengan dosis bolus untuk induksi 2-3 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesi intravena total 60-250 mcg/Kg/menit. Efek samping propofol yaitu
depresi pernapasan, bronkospasme, mual, munatha, euphoria hingga epistotonus.
Pada pasien ini dosis propofol masih kurang tepat hal ini dikarenakan dosis yang
tidak mencukupi dari dosis yang seharusnya diberikan kepada pasien. Dosis
yang seharusnya diberikan adalah 30mg - 45mg.
Pada pasien ini diberikan fentanil 25 mcg, dimana berdasarkan teori
golongan opioid (morfin, petidin, fentanyl dan sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid digunakan untuk penghilang rasa sakit, tidak
mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanyl dosis induksi
1-5 mcg/kgbb. Dosis pada pasien ini sudah tepat.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atrakurium 8 mg IV, yang
merupakan non depolaritation intermediete acting. Atracurium bekerja dengan
merelaksasikan otot-otot pernapasan. Atracurim dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme
terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal
dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan

41
relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2
mg/kgBB (iv). Pada pasien ini diberikan atrakurium 8 mg, sudah memenuhi dosis
terapi.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevoflurans. Oksigen
diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi
analgetiknya kuat. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran
mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas
lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga
digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap
kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia. Sesaat setelah
operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi
perlahan-lahan dan juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan
saat operasi selesai.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 330 cc selama operasi,
terdiri dari jumlah cairan pengganti puasa 120 cc, maintenance 30 cc, stress
operasi 90 cc. Pada jam I dibutuhkan 180cc, jam II 150cc. Cairan yang telah
masuk berupa RL dan NaCl 0,9% 150 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini
belum terpenuhi, karena selama operasi hanya diberikan 150 cc. Seharusnya
diberikan 330 cc. Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 750 cc. Pada pasien ini
diberikan PRC 400cc. Pemberian PRC karena total pendarahan melebih 20%
dari volume dafah atau EBV (Estimasi Blood Volume) dengan tujuan unutk
menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular.
Pasien ini diberi obat tambahan yaitu fentanyl 15 cc secara bolus,
ketorolac 10 mg bertujuan sebagai analgetik. Kemudian diberikan asam
traneksamat untuk menghentikan perdarahan yang terjadi pada pasien. Setelah
operasi selesai pasien langsung dipindahkan ke PICU dengan skor Stewaard sulit
dinilai akibat pasien masih dalam pengaruh obat.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Billjudika, RR. Tatalaksana anesthesia dan reanimasi pada pasien


pediatric. 2016. Denpasar: Universitas Udayana
2. Rehatta NM, dkk. Anestesiologi dan terapi intensif. Edisi pertama. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama. Halaman 781-806.
3. Pramono, Ardi. Buku kuliah anestesi. 2014. Jakarta:EGC. Halaman 9-32.
4. Butterworth JF dkk. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology Sixth
Edition. USA: Lange. 2018
5. Barash PG dkk. Clinical anesthesia fundamentals. USA: Wolters Kluwer.
2015

43

Anda mungkin juga menyukai