HIPOFISE
GHRH merupakan peptida hipotalamik yang merangsang sintesis dan sekresi hormon
pertumbuhan (GH). Sedangkan somatostatin merupakan peptida yang diproduksi oleh
beberapa jaringan diseluruh tubuh serta di hipotalamus. Somatostatin merupakan
penghambat pelepasan GH sebagai respon GHRH dan faktor-faktor perangsang
lainnya seperti hipoglikemik. Pengontrol sekresi GH lainnya adalah ghrelin yang
merupakan hormon peptide yang disekresi oleh lambung.
b. TSH
Dikenal sebagai thyrotropin dan disekresi oleh sel basofilik yang bernama
tirotrop. Merupakan hormon glikoprotein yang tersusun atas dua sub unit yang
berikatan non-kovalen satu dengan yang lainnya. Memiliki fungsi antara lain
mempercepat pembentukan hormon tiroid dan pengambilan yodium oleh kelenjar
tiroid. TSH dilepaskan dari hipofisis setelah adanya rangsangan dari TRF (Tiroid
Releasing Factor) yang dihasilkan oleh hipotalamus sebagai jawaban atas rendahnya
hormon tiroid dalam tubuh
D, Prolaktin
e. GnRH
Sel gonadotrop yang termasuk kedalam sel basofilik mensekresi hormon yang
terdiri atas dua jenis hormon yang berbeda yakni, Luteinizing Hormone (LH) dan
Follicle-stimulating Hormone (FSH). Kebanyakan sel gonadotrop mensekresi salah
satu dari hormon tersebut, namun ada beberapa sel gonadotrop yang juga mensekresi
keduanya. Pada laki-laki dan perempuan, kedua hormon tersebut berperan penting
dalam hal kematangan organ reproduksi, serta sekresi hormon seksual seperti
testosterone dan esterogen. Sekresi gonadotropin dipengaruhi oleh Gonadotropin-
releasing Hormone (GnRH) yang disintesis dan disekresi oleh hipotalamus.
LH (luteinizing hormone) : Pada wanita merangsang pelepasan sel telur dari ovarium
(ovulasi) dan membantu meluluhkan dinding ovarium . Pada laki-laki, hormon ini
disebut ICSH ( interstitial cell stimulating homone ) yang berfungsi merangsang sel-
sel interstitial testis untuk memproduksi testoreon dan endosteron ( androgen )
1. ADH(AntiDiureticHormone)
2. Oksitosin
Tumor hipofisis pada umumnya berasal dari bagian anterior hipofisis, sebagian
besar merupakan adenoma jinak dan secara gambaran histologis mirip dengan
jaringan hipofisis normal. Adenoma hipofisis secara statistik merupakan 10–
15% dari semua kejadian neoplasma intra kranial, sebagian besar (75%) akan
mensekresi hormon. Sedangkan tumor yang berasal dari bagian posterior
hipofisis sangat jarang, tetapi sebagian besar tanpa gejala simpomatik. Tumor
hipofisis dapat berkembang, dan akan memberikan efek berupa hipersekresi
hormon, sekresi hormonal yang berlebihan, misalnya; Hiperprolaktinemia,
Acromegaly, Cushing syndrome.
Prolactin secreting tumor merupakan salah satu kasus yang sering terjadi, lebih 50 %
dari seluruh kasus tumor fungsional hipofisis, sebagian besar terjadi pada wanita
dengan jenis mikroadenoma dan berukuran < 1 cm. Gejala yang muncul pada wanita
berupa secondary amenorea dan galactorhea, kehilangan libido dan infertilitas,
meskipun kemudian gejala akan menghilang jika kadar konsentrasi estrogen dalam
darah menjadi rendah. Pada laki-laki yang menderita adenoma ini akan muncul gejala
berupa impotensi dan penurunan jumlah sperma, penurunan libido, ejakulasi dini,
disfungsi ereksi. Diagnosa dengan pemeriksaan MRI sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosa dan mengetahui besar serta letak dari tumornya.
Selain itu pemeriksaan kadar prolaktin sebagai konfirmasi tes juga diperlukan. Kadar
prolaktin diatas 400 mU/liter sudah dapat dimasukkan kedalam kategori hipersekresi
prolaktin. Kadar konsentrasi prolaktin merupakan petunjuk kasar mengenai ukuran
dari tumornya, bila kadar konsentrasi plasma prolaktin 1000–4000 mU/liter
menunjukkan adanya mikroadenoma, sedangkan kadar plasma prolaktin > 6000
mU/liter umumnya berupa makroadenoma. Tumor non fungsional yang cukup besar
dan menekan tangkai hipofisis (“stalk effect”) juga akan menimbulkan kenaikan
kadar prolaktin darah tetapi tidak akan lebih dari 3000 mU/liter.
Terapi awal yang dapat dilakukan berupa pemberian dopamine agonis seperti
Bromocriptin, dengan cara titrasi sambil melakukan monitoring pemeriksaan kadar
prolaktin darah. Dosis awal yang dianjurkan adalah low dose 1 mg dan dapat
dinaikkan sampai 5–15 mg/hari sampai efek optimal didapatkan. Obat alternatif yang
dapat diberikan berupa Cabergolin. Terapi medis ini akan memberikan perbaikan
sekitar 95% dari penderita, dimana konsentrasi prolaktin menjadi normal. Sebagian
kecil dari sisanya memerlukan tindakan operatif, pada penderita yang tidak merespon
dengan obat-obatan dan pada penderita yang terjadi efek samping berupa mual, lesu,
hidung tersumbat.
Apabila sekresi dari tumor ini terjadi pada fase dimana epiphyseal plate belum
menutup akan mengakibatkan terjadinya gigantisme. Insiden kasus ini 6-8 kasus per 1
juta populasi. Gejala yang muncul berupa pembesaran dari dagu, tangan dan kaki
serta perkembangan jaringan lunak lain. Penyakit penyerta yang sering muncul adalah
diabetes mellitus (DM) dan hipertensi. Diagnosa ditegakkan selain berdasarkan gejala
klinis yang terjadi, juga berupa peningkatan kadar Growth Hormone > 10 mU/liter,
juga dengan pemeriksaan kegagalan menekan kadar GH kurang 2 mU/liter
pada loading glukosa oral 75 gram. Selain itu terjadinya peningkatan IGF-I (Insuline
like Growth Factor-1) juga merupakan diagnosa dari akromegali.
Terapi utama yang dapat diberikan berupa tindakan bedah, dengan atau tanpa
radioterapi, hanya sedikit kasus yang merespon terhadap pemberian dopamine agonis
yang menyebabkan kadar GH dan IGF-I menjadi normal kembali. Obat alternatif
selain dopamine agonis yang dapat diberikan sebagai analog somatostatin seperti
Ocreotide. Tetapi terdapat efek samping berupa terbentuknya batu empedu. Penelitian
terbaru, dengan preparat slow-release (Somatuline), yang diberikan dengan suntikan
setiap 1-2 minggu.
C. ACTHSecretingTumor
Proses diagnosa mungkin sulit dan agak kompleks sehingga membutuhkan tingkat
spesialisasi tersendiri. Seleksi awal yang dapat dipakai adalah kadar urin yang bebas
dari kortisol, loss of diurnal control dari kortisol, tidak merespon terhadap pemberian
dexametason pada malam harinya. Kadar ACTH yang tinggi dalam darah setelah
pemberian dexametasone oral 1 mg malam harinya ditandai dengan adanya kortisol
yang ada dalam urin sebesar > 275 nmol per 24 jam dan kegagalan dari supressi kadar
serum kortisol kurang dari 13 nmol/liter. Bila ACTH tidak terdeteksi, hal ini
menyokong adanya tumor adrenal, sedangkan bila kadar ACTH 10-100 ng/liter
menyokong adanya tumor hipofisis, bila kadar ACTH > 200 ng/liter menunjukkan
adanya sekresi ektopik ACTH. Sering kali kadar kortisol tidak turun ke dalam batas
normal sehingga diperlukan rangsangan dan tes supresi. Tes supresi dilakukan dengan
pemberian dexametason dosis tinggi, dengan cara pemberian dexametason 2 mg tiap
6 jam selama 48 jam, bila dicurigai adanya cushing syndrome pituitary dependent
biasanya terjadi respon terhadap penurunan dari kadar cortisol darah pada pagi hari
dihari pertama dan kadar free cortisol pada urine di hari kedua.
Terapi utama adalah
dengan tindakan bedah dimana tingkat penyembuhan sekitar 80%, tindakan
pengobatan awal dilakukan dengan pemberian Metyrapon atau Betaconazole akan
menetralisir efek samping dari peningkatan konsentrasi kortisol dalam sirkulasi. Bila
tindakan operatif dinyatakan gagal, maka dilakukan radioterapi yang merupakan
pilihan kedua
Kasus TSH-secreting adenoma merupakan kasus yang sangat jarang, dan bila terdapat
peningkatan hormon secara agresif maka tindakan bedah adalah pilihan utama.
Diagnosa ditegakkan dengan adanya hipertiroidisme dengan peningkatan kadar
plasma TSH. Adenoma gonadotroph biasanya inaktif, tetapi kadang muncul saat
premature pubertas atau adanya menstrual bleeding saat post menopause.
Sebanyak 25% dari tumor hipofisis adalah tumor non fungsional. Gejala yang muncul
umumnya berupa penekanan pada chiasma optica, gangguan visus dan sakit kepala,
yang disebabkan karena peningkatan tekanan intra kranial. Kadar hormonal pada
umumnya normal. Semua penderita dengan diagnosa awal tumor intrakranial
hipofisis, harus dilakukan pemeriksaan diagnostik untuk menegakkan diagnosa awal
dan mencari adanya efek yang muncul pada pasien, antara lain pemeriksaan
konsentrasi basal prolaktin, fungsi tiroid, dan MRI yang akan menjelaskan besar
tumor serta letaknya dengan lebih jelas.
IV.Pemeriksaan dan Persiapan Prabedah
CT Scan atau MRI dan pemeriksaan neurologi dievaluasi untuk melihat adanya tanda-
tanda peningkatan tekanan intra cranial. Untuk menilai fungsi nervus optikus dan
chiasma, dilakukan pemeriksaan penglihatan, termasuk pemeriksaan lapangan
penglihatan. Jika pembedahan transsfenoidal direncanakan, suatu pemeriksaan
otolaringologi dari hidung dan nasofaring juga dilakukan, dan kultur mukosa hidung
diambil sebagai panduan terapi antibiotik jika terjadi infeksi pasca operasi.
Tes Fungsi Hipofisis anterior Tes Fungsi Hipofisis posterior
Kifosis dan ‘buffalo hump’ terlihat pada penyakit Cushing juga dapat
menyulitkan penatalaksanaan jalan napas pada pasien-pasien ini. Spirometri dan
laringoskopi indirek mungkin dapat memberikan kekuntungan. ‘Sleep apnea
obstruktif’ juga sering pada pasien akromegali dan Cushingoid. Gejalanya seperti
disebutkan terdahulu yaitu mengorok, mengantuk pada siang hari, sakit kepala,
kesulitan konsentrasi dan mengingat. Hal-hal ini haruslah diidentifikasi dan dilakukan
terapi pre-operatif untuk mengurangi resiko obstruksi jalan napas sebelum operasi.
Ketika ditemukan jalan nafas yang sulit, tindakan laringoskopi harus dilakukan saat
pasien sadar (awake) dengan bantuan anestesi topical.
Pada semua pasien harus dilakukan pemeriksaan rutin EKG. Abnormalitas gelombang
seperti T inverse dan kompleks QRS voltase tinggi sering ditemukan pada pasien
dengan penyait Cushing. Hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, aritmia, dan penyakit
jantung iskemik merupakan situasi yang sering terjadi dan menyebabkan mortalitas
peri- operasi yang tinggi. Ekhokardiogram dapat berguna jika ada disfungsi kardiak.
Hipertensi berpengaruh pada 30% pasien dengan akromegali dan 85% pasien dengan
sindrom Cushing dan harus dilakukan kontrol farmakologi sebelum pembedahan
elektif.
<100 nmol/L: terapi rumatan dengan hidrokortison 15-30 mg/ hari; tidak
diperlukan tes aksis hipotalamik-pituitari (HPA) selama pasien adalah ACTH-
defisiensi.
VI.Pengelolaan Anestesi
Semua pasien memerlukan pemeriksaan konsentrasi basal prolaktin, tes fungsi
tiroid dan MRI dengan kualitas tinggi. MRI lebih baik dalam mengidentifikasi
mikroadenoma, sedangkan CT scan lebih baik dalam mendeteksi invasi ke tulang.
Sebagai tambahan dalam pemeriksaan umum preanestesi pada pasien bedah saraf,
penilaian prabedah pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis harus meliputi:
fungsi penglihatan, tanda- tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial,
pemeriksaan endokrin pasien, dan efek dari hipersekresi hormon. Perhatian khusus
terutama diberikan pada akromegali dan penyakit Cushing karena memberikan
tantangan unik pada ahli anestesi.
Teknik anestesi yang digunakan haruslah dapat memfasilitasi lapangan pembedahan,
mempertahan- kan perfusi serebral, menghindari hipertensi dan memfasilitasi
pemulihan yang cepat. Teknik dan agen anestesi yang digunakan haruslah berdasar
pada pemeriksaan prabedah yang seksama pada setiap pasien dengan
mempertimbangkan semua komorbid yang ada.
a. akromegali
b. penyakit Cushing
c. posisii ntraoperatif
Pemeriksaan prabedah yang seksama haruslah diwaspadai ahli anestesi akan adanya
kemungkinan kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi trakea. Ventilasi dengan
‘bag’ dan masker pada umumnya memang sulit dilakukan pada pasien akromegali.
Ada empat tingkatan jalan napas yang terlibat pada pasien akromegali:
2. hipertrofi mukosa nasal dan faringeal, tetapi
plika vokalis dan glottis masih
normal
Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakeal standard dan harus memungkinkan ahli
bedah menyelesaikan prosedur; namun, beberapa ahli bedah lebih memilih oral tube
RAE (‘right angle endotracheal’).Intubasi nasal adalah kontraindikasi.
Tantangan terbesar dalam menangani jalan napas pasien akromegali adalah kesulitan
intubasi trakea yang tidak diprediksi. Dalam suatu penelitian pasien akromegali oleh
Schmitt, dkk menemukan bahwa 20% pasien akromegali yang dinilai sebagai
Mallampati 1 dan 2 adalah sulit diintubasi. Karena itu ahli anestesi haruslah
menyiapkan peralatan jalan napas yang bervariasi. Peralatan untuk trakeostomi harus
disiapkan jika perubahan jalan napas sangat bermakna
Penyakit Cushing berhubungan jelas dengan kesulitan intubasi (mis. OSA, obesitas).
Karena itu, jalan napas harus diperhatikan dengan seksama. Adanya diabetes juga
harus dipertimbangkan adanya penyakit reflux gastroesofageal dan melambatnya
pengosongan lambung.
Setelah intubasi, mulut dan faring posterior harus di ‘pack’ sebelum operasi dimulai.
Hal ini tidak hanya mencegah perdarahan masuk ke daerah glottis selama operasi,
tetapi juga masuknya darah dan secret ke dalam lambung yang akan merangsang
timbulnya muntah pasca operasi. Pipa endotrakeal harus diposisikan untuk
memungkinkan ahli bedah saraf mengakses tempat insisi
Tube endotrakeal dan mesin anestesi harus ditempatkan berlawanan dengan lapangan
pembedahan. Karena pemeriksaan radiografi seringkali diperlukan, suatu C-arm
biasanya ditempatkan di sebelah kiri lapangan bedah. Semua yang berada dalam
ruang pembedahan harus mengenakan proteksi yang memadai.
Monitoring selama pembedahan meliputi EKG, SpO2, endtidal CO2, dan tekanan
darah arteri langsung. Adanya komorbid, terutama pada pasien penyakit Cushing,
dapat memerlukan tambahan monitoring kardiovaskuler invasif. Kateter arteri harus
dipertimbangkan pada pasien dengan toleransi bergiat yang rendah, pada pasien
dengan tanda dan gejala gagal jantung bendungan, pada pasien dengan hipertensi
yang sulit terkontrol, atau pada pasien dengan kardiomiopati yang terdokumentasikan.
Adanya potensi terjadinya hipertensi tiba-tiba selama pembedahan transsfenoid
menyebabkan ahli anestesi akan menempatkan kateter arteri untuk diagnosis dan
terapi yang lebih awal. Harus diingat bahwa aliran darah melalui arteri ulnaris dapat
dikompromikan sampai 50% pada pasien akromegali.
Pemilihan obat anestesi bergantung pada komorbid pasien yang bersangkutan dan
riwayat anestesi sebelumnya. Perlunya pemulihan yang cepat untuk memungkinkan
pemeriksaan neurologis yang segera menyebabkan penggunaan obat-obat dengan
klirens yang cepat, seperti propofol dan remifentanil, atau anestesi inhalasi dengan
kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran, merupakan pilihan yang masuk akal.
Anestesi inhalasi dengan remifentanil dapat memberikan hemodinamik yang lebih
stabil dan pemeriksaan neurologis yang lebih awal. Jika remifentanil digunakan,
penting untuk memberikan analgesia peralihan dengan opioid yang lebih panjang
masa kerjanya, jika tidak pemulihan dapat berkomplikasi dengan nyerinya pasien.
Blok neuromuskuler dengan atrakurium atau vekuronium harus dipertahankan selama
pembedahan karena segala pergerakan pasien dapat mengakibatkan kebocoran cairan
serebrospinal (LCS), trauma jalur penglihatan, atau kerusakan vaskuler. Antiemetik
harus rutin diberikan untuk mengurangi tingginya insiden mual dan muntah pasca
operasi.
Pemeliharaan anestesi
Perdarahan vena yang sedang dari sinus kavernosus merupakan masalah yang
paling sering pada prakteknya dan cenderung terjadi lebih berat pada pasien
dengan tumor yang lebih besar dan perluasan ke suprasellar. Ahli anestesi
seharusnya memiliki akses intravena di ekstremitas manakala diperlukan.
Untuk tumor hipofisis dengan perluasan suprasellar yang bermakna, ahli bedah
biasanya meminta untuk dipasang drain subarachnoid lumbal. Cara termudah
adalah dengan menggunakan kateter standar epidural 16 G. Biasanya
diinsersikan pada L 3-4 dan dimasukkan 10 cm kateter dengan arah cephalad.
Injeksi 10 ml normal saline ke dalam kateter (dengan teknik yang steril)
menghasilkan peningkatan sementara tekanan LCS dan dapat menyebabkan
tumor yang meluas ke suprasellar bergerak ke dalam daerah operasi. Suatu
drainase lumbal juga dapat berguna pasca operasi untuk mengatasi kebocoran
LCS.
Jalan napas
Penilaian neurologis
Pulih sadar dari anestesi memungkinkan ahli bedah untuk melakukan penilaian
dini dari fungsi nervus kranialis, utamanya nervus kranialis II – VI yang sangat
dekat dengan lapangan pembedahan. Pemulihan yang cepat dapat dicapai
dengan menggunakan obat anestesi kerja singkat dan cepat dimetabolisme.
Analgesia
Mual dan muntah merupakan komplikasi pasca operasi yang paling sering pada
prosedur bedah saraf, dengan hampir 40% pasien dilaporkan terjadi mual
muntah. Untuk menghindari terjadinya efek yang tidak diinginkan dari muntah
seperti peningkatan tekanan intrakranial, profilaksis anti emetik harus diberikan
pada semua pasien.
V.Komplikasi Pascabedah
A. Diabetes Insipidus
Biasanya terjadi pada 24–48 jam pertama post operasi, dimana 80% dari
neuron yang mensintesis vasopressin rusak atau tidak berfungsi selama waktu
tertentu. Bisa juga terjadi karena edema lokal pada daerah operasi atau trauma
pars posterior hipofisis. Biasanya bersifat transient dan berlangsung kurang
dari 7 hari. Manifestasi dini adalah poliuria paska bedah, dengan jumlah urine
> 200-250 cc/jam selama dua jam berturut-turut, atau produksi urine > 2-2,5
ml/kgBB/jam Diagnosa dini sangat penting, agar segera dilakukan pengaturan
cairan dan elektrolit. Diagnosa ditegakkan dengan mengukur jumlah urine dan
berat jenis urine.
B. Hiponatremia
Penurunan volume yang terjadi karena pembuangan natrium oleh ginjal akan
mengaktifkan baroreseptor yang meningkatkan pelepasan ADH sehingga
mengakibatkan peningkatan penyimpanan air. Oleh karena itu, kabanyakan pasien
yang menderita CSWS juga menunjukkan kenaikan kadar ADH dan menyerupai
kriteria SIADH.Penurunan mendadak natrium serum dapat mengakibatkan pergeseran
cepat cairan menyebabkan edema serebral. Individu umumnya tanpa gejala yang
signifikan sampai kadar natrium serum turun di bawah 120 mmol / L, meskipun
kurang jelas tapi penurunan cepat berhubungan dengan perburukan klinis. Tanda khas
pada kasus ringan adalah kelelahan, mual, sakit kepala, disgeusia, anoreksia, dan
kram otot. Jika kadar terus turun (misalnya, 120-130 mmol / L), memburuknya gejala
tersebut dapat disertai muntah, fasikulasi, tremor, dan penurunan kewaspadaan mental
dan orientasi yang progresif. Hiponatremia yang mengancam jiwa (yaitu, <115 mmol
/ L) yang bersifat akut diketahui menyebabkan kejang fokal dan umum dan dapat
menyebabkan koma. Jika tidak diobati, edema serebral progresif dapat menyebabkan
herniasi otak.
D. Komplikasi Lain