Anda di halaman 1dari 27

MANAJEMEN ANASTESI PADA PASIEN DENGAN TUMOR

HIPOFISE

1. Anatomi dan Fisiologi


Kelenjar hipofisis, adalah organ yang berbentuk agak bulat dan terletak tepat
dibawah hipotalamus, didasar tulang tengkorak didalam sella turcica, tepat dibelakang
chiasma optica. Kelenjar ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu; pars anterior
(adenohipofisis) dengan area 75% yang merupakan bagian paling besar, dan pars
posterior (neurohipofisis) yang menyatu dengan hipotalamus.

Secara embriologis, pars anterior terbentuk oleh Rathke’s pouch yang


merupakan invaginasi oral ectoderm kearah atas. Sebaliknya, pars posterior terbentuk
dari infundibulum yang merupakan perpanjangan neural ectoderm kearah bawah dari
dasar dienchepalon. Kelenjar hipofisis mempunyai berat normal antara 500-600 mg
dan memiliki ukuran ; tinggi 6 mm, lebar 13 mm, dan diameter sekitar 9 mm dan
berkembang selama masa kehamilan dan pertumbuhan. Adenohipofisis (pars anterior)
mensekresi hormon yang berbeda dengan neurohipofisis (pars posterior).

Permukaan dari kelenjar hipofisis ini dilindungi oleh diaphragma sellae,


merupakan lipatan dari lapisan duramater yang memisahkan antara ruang
subarachnoid (berisi cairan serebrospinal) dengan kelenjar ini. Diafragma sella ini
ditembus oleh infundibulum yang berfungsi untuk meng- hubungkan kelenjar
hipofisis dan hipotalamus. Secara lateral, kelenjar hipofisis berdekatan dengan sinus
cavernosus namun dipisahkan oleh dinding lateral sella. Seperti pada gambar 2,
didalam sinus cavernosus terdapat arteri carotid interna dan saraf kranial III,
IV,V dan VI.

Untuk vaskulerisasi, pars anterior mayoritas diperdarahi oleh arteri hipofisis


superior. Sedangkan untuk pars posterior, diperdarahi oleh arteri hipofisis inferior.
Kedua pembuluh darah tersebut merupakan cabang dari arteri carotis interna. Didalam
kelenjar ini terdapat sebuah sistem vena portal yang memung- kinkan terjadinya
transportasi hormon ke area adenohipofisis serta memungkinkan neurohipofisis untuk
langsung mensekresi hormon ke sistem drainase vena.

Hipotalamus mengatur hormon yang dilepaskan oleh hipofisis anterior melalui


pangaturan peptida (faktor pelepasan dan penghambatan hipotalamik) yang
menjangkau hipofisis anterior oleh sistem vaskuler portal yang kompleks. Kontrol
oleh sekresi hipotalamus adalah kompleks dan terjadi dari pengaruh neuron dan
kimiawi, termasuk umpan balik dari hormon organ target. Kelenjar hipofisis anterior
yang lebih besar menghasilkan setidaknya tujuh macam hormondalam neuron
hipotalamik khusus dan ditranspor sebagai granula dalam akson di bawah tangkai
hipofisis ke kelenjar hipofisis posterior. Pengendalian lobus posterior (neurohipofisa)
dilakukan melalui impuls saraf. dan menghasilkan dua macam hormon, yaitu
hormon antidiuretik (ADH) dan oksitosin.

Lobus anterior menghasilkan hormon yang pada akhirnya mengendalikan fungsi:


· Kelenjar tiroid, kelenjar adrenal dan organ reproduksi (indung telur dan buah zakar)
· Laktasi (pembentukan susu oleh payudara)
· Pertumbuhan seluruh tubuh.

Hipofisa posterior menghasilkan hormon yang berfungsi:


· Mengatur keseimbangan air
· Merangsang pengeluaran air susu dari payudara wanita yang menyusui
· Merangsang kontraksi rahim.
Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa (dan hipotalamus) tidak semuanya
dilepaskan terus menerus. Sebagian besar dilepaskan setiap 1-3 jam dengan
pergantian periode aktif dan tidak aktif. Terlalu banyak atau terlalu sedikitnya satu
atau lebih hormon hipofisa menyebabkan sejumlah gejala yang bervariasi.
2. Adenohipofisa ( Lobus Anterior)
Merupakan bagian terbesar dari kelenjar hipofisis dan terbagi menjadi 3, yakni
pars distal, pars intermedia, dan pars tuberalis. Mayoritas bagian dari
adenohipofisis merupakan pars distal dan merupakan ciri khas dari kelenjar
endokrin. Sekelompok sel cuboidal secretory didalam bagian distal
mengandung hormon-hormon yang disimpan didalam granula sitoplasma yang
akan dilepaskan dan dibawa oleh kapiler sinusoidal yang paling dekat. Bagian
selanjutnya adalah, pars intermedia yang terletak diantara pars distalis dan pars
nervosa pada neurohipofisis. Sedangkan pars tuberalis merupakan bagian yang
sangat tipis, terdapat pembuluh darah yang cukup banyak dan terletak disekitar
infundibular stem. Adenohipofisis menghasilkan hormon yang dibedakan
menjadi 2 golongan yakni asidofilik dan basofilik, dibagi berdasar sifat
pewarnaan.

Pituitari anterior menghasilkan hormon :


 Somatotropic Hormone (STH) / Growth Hormone (GH).
 Hormon Tirotrof / Tirotropin (TSH=thyroid stimulating hormone).
 Adrenocorticotropic Hormone (ACTH).
 Hormon Laktogen (Prolaktin).
 Hormon Gonadotrof
a. Hormon Pertumbuhan (GH)

Merupakan hormon peptida basis protein. Hormon ini merangsang


pertumbuhan, reproduksi sel dan regenerasi pada manusia dan hewan. Hormon
pertumbuhan adalah polipeptida rantai tunggal yang disintesis, disimpan dan disekresi
oleh sel somatotrop yang terletak disisi samping lateral pada anterior kelenjar
hipofisis. Hormon ini digunakan untuk pengobatan pada kasus gangguan
pertumbuhan anak-anak serta pada kasus kekurangan hormon pertumbuhan dewasa
Hormon ini meningkatkan sintesa protein, meningkatkan mobilisasi asam lemak
bebas, menurunkan penggunaan dan pengambilan glukosa oleh sel serta menaikkan
penyimpanan glikogen. Selain itu, hormon ini merupakan jenis stress hormon,
sehingga kondisi-kondisi stress seperti anestesi, pembedahan, cemas, latihan fisik dan
hipoglikemia akan menyebabkan pelepasan hormon ini. Obesitas dan meningkatnya
kadar asam lemak dalam darah akan mengurangi pelepasan hormon pertumbuhan ini.
Namun secara primer, sekresi dari hormon ini dikontrol oleh Growth Hormon-
Releasing Hormon (GHRH), Somatostatin dan Ghrelin

GHRH merupakan peptida hipotalamik yang merangsang sintesis dan sekresi hormon
pertumbuhan (GH). Sedangkan somatostatin merupakan peptida yang diproduksi oleh
beberapa jaringan diseluruh tubuh serta di hipotalamus. Somatostatin merupakan
penghambat pelepasan GH sebagai respon GHRH dan faktor-faktor perangsang
lainnya seperti hipoglikemik. Pengontrol sekresi GH lainnya adalah ghrelin yang
merupakan hormon peptide yang disekresi oleh lambung.

Kekurangan hormon : mengakibatkan kekerdilan (dwarfisme)

Kelebihan hormon : -Pada masa kanank-kanak mengakibatkan pertumbuha berlebihan


(gigantisme). Jika terjadi pada masa sesudah dewasa menagakibatkan pertumbuhan
yang tidak seimbang pada persendian dan ujung tulang, seperti: tulang jari tangan ,
jari kaki, rahang/hidung yang disebut akrogemali.

b. TSH

Dikenal sebagai thyrotropin dan disekresi oleh sel basofilik yang bernama
tirotrop. Merupakan hormon glikoprotein yang tersusun atas dua sub unit yang
berikatan non-kovalen satu dengan yang lainnya. Memiliki fungsi antara lain
mempercepat pembentukan hormon tiroid dan pengambilan yodium oleh kelenjar
tiroid. TSH dilepaskan dari hipofisis setelah adanya rangsangan dari TRF (Tiroid
Releasing Factor) yang dihasilkan oleh hipotalamus sebagai jawaban atas rendahnya
hormon tiroid dalam tubuh

c. Adenocorticotropic Hormon / ACTH

Merupakan hormon yang merangsang pengeluaran senyawa glucocorticoids


seperti kortisol. Hormon ini disekresi oleh hipofisis anterior karena adanya
Corticotrophin-releasing hormone yang juga disekresi karena adanya kondisi tertentu
pada manusia, seperti stress dan lainnya.

D, Prolaktin

Merupakan hormon dengan rantai protein-tunggal yang disekresi oleh laktotrop.


Hormon yang sekresinya diatur oleh hipotalamus ini juga disintesis dan disekresi oleh
sel-sel lain dalam tubuh sebagai prohormon. Pandangan umum mengenai prolaktin
adalah, merupakan hormon yang merangsang pertumbuhan kelenjar mammae dan
memiliki 2 peran utama dalam hal produksi ASI. Pertama, prolaktin akan
menginduksi pertumbuhan lobuloalveolar pada kelenjar mammae sehingga alveoli
didalam kelenjar akan mensekresi ASI. Kedua, setelah terjadi proses melahirkan,
prolaktin beserta kortisol dan insulin akan merangsang proses transkripsi gen yang
akan menyusun protein-protein didalam ASI (proses ini disebut
lactogenesis).
Berbanding terbalik dengan hormon-hormon lain yang disekresi oleh
kelenjar hipofisis, kelenjar hipotalamus justru menekan proses sekresi dari prolaktin.
Meskipun hipotalamus mensekresi dopamin yang merupakan penghambat dari sekresi
prolaktin, hormon lain seperti Thyroid-releasing Hormone, Gonadotropin-releasing
Hormone secara positif dapat mengakomodir sekresinya.

e. GnRH

Sel gonadotrop yang termasuk kedalam sel basofilik mensekresi hormon yang
terdiri atas dua jenis hormon yang berbeda yakni, Luteinizing Hormone (LH) dan
Follicle-stimulating Hormone (FSH). Kebanyakan sel gonadotrop mensekresi salah
satu dari hormon tersebut, namun ada beberapa sel gonadotrop yang juga mensekresi
keduanya. Pada laki-laki dan perempuan, kedua hormon tersebut berperan penting
dalam hal kematangan organ reproduksi, serta sekresi hormon seksual seperti
testosterone dan esterogen. Sekresi gonadotropin dipengaruhi oleh Gonadotropin-
releasing Hormone (GnRH) yang disintesis dan disekresi oleh hipotalamus.

FSH (follicle stimulating hormone) : Pada wanita , mengatur perkembangan ovarium


dan berpengaruh thdp pematangan folikel. Pada laki-laki berfungsi mengatur
pembentukan sperma ( spermatogenesis )

LH (luteinizing hormone) : Pada wanita merangsang pelepasan sel telur dari ovarium
(ovulasi) dan membantu meluluhkan dinding ovarium . Pada laki-laki, hormon ini
disebut ICSH ( interstitial cell stimulating homone ) yang berfungsi merangsang sel-
sel interstitial testis untuk memproduksi testoreon dan endosteron ( androgen )

3. Neurohipofisis ( Lobus Posterior)

Hipofisis lobus posterior mengeluarkan sebagian besar hormon yang disekresi


dan dikontrol secara hormonal atau impuls syaraf dari hipotalamus. Hormon
yang disekresi, yaitu Vasopresin (ADH) dan Oxytocin setelah di sintesa, maka akan
disimpan di neurohipofisis untuk kemudian dilepaskan. Kelenjar hipotalamus akan
menerima sinyal dari hampir semua sumber impuls pada sistem saraf dan
secara impuls negative feed back dari kelenjar hipofisis sendiri yang diregulasi
dari hormonal kelenjar hipofisis. Berarti apabila terjadi kadar hormonal
hipofisis yang rendah didalam darah maka akan memberikan sinyal atau
respons untuk memproduksi atau menstimulasi sekresi hormon hipofisis, agar
kekurangan tersebut dapat dipenuhi. Hasil akhir akan terjadi peningkatan kadar
hormon dalam darah dan menghambat hormon releasing factor yang diproduksi
hipotalamus. Sekresi kelenjar hipofisis dikontrol oleh hormon hypothalamic
releasing factor dan hypothalamic inhibitory hormone yang berasal dari
hipotalamus ke kelenjar hipofisis melalui jalur hypothalamo hypophyseal
portal system dengan mengikuti mekanisme sistem umpan balik

1. ADH(AntiDiureticHormone)

Dibentuk oleh nucleus supra opticus dari hipotalamus. Berfungsi untuk


regulasi tekanan osmotik dari cairan ekstra sellular maupun intravaskular. Efek di
ginjal adalah meningkatkan permeabilitas ductus colectivus renalis terhadap air.
Keadaan ini menghasilkan tertahannya air bebas sehingga ekskresi urine menjadi
pekat. Pengeluaran ADH diatur oleh osmoreseptor dalam hipotalamus, ADH akan
dilepaskan bila osmolalitas plasma lebih dari 280 mOsm/L. Selain itu juga
dipengaruhi hipotensi karena perdarahan dan dehidrasi.

2. Oksitosin

Dihasilkan oleh nucleus paraventrikularis hipotalamus. Pelepasan oksitosin


tidak tergantung pada ADH. Oksitosin sangat penting dalam peningkatan kontraksi
uterus
4. Patologi Hipofisis

Tumor hipofisis pada umumnya berasal dari bagian anterior hipofisis, sebagian
besar merupakan adenoma jinak dan secara gambaran histologis mirip dengan
jaringan hipofisis normal. Adenoma hipofisis secara statistik merupakan 10–
15% dari semua kejadian neoplasma intra kranial, sebagian besar (75%) akan
mensekresi hormon. Sedangkan tumor yang berasal dari bagian posterior
hipofisis sangat jarang, tetapi sebagian besar tanpa gejala simpomatik. Tumor
hipofisis dapat berkembang, dan akan memberikan efek berupa hipersekresi
hormon, sekresi hormonal yang berlebihan, misalnya; Hiperprolaktinemia,
Acromegaly, Cushing syndrome.

Sedangkan berdasarkan fungsi, tumor hipofisis dapat dibagi menjadi dua


kategori utama, yaitu ‘nonfunctioning’ dan hipersekresi atau ‘functioning’.
Tumor hipofisis ‘nonfunctioning’ biasanya didiagnosa saat menjadi besar dan
menghasilkan gejala-gejala yang berhubungan dengan efek massa yang
mengenai struktur-struktur yang berdekatan dengan tumor, seperti sakit kepala,
gangguan penglihatan, kelumpuhan saraf kranialis, peningkatan TIK, dan
hipopituitarisme. Pembesaran tumor-tumor ini dapat menyebabkan gangguan
selektif ataupun global terhadap fungsi hipofisis dengan penekanan pada
kelenjar yang normal, seperti : infertilitas, sakit kepala, epilepsi, atau
hipofungsi hipofisis.

A. Prolactin Secreting Tumor/Prolaktinoma

Prolactin secreting tumor merupakan salah satu kasus yang sering terjadi, lebih 50 %
dari seluruh kasus tumor fungsional hipofisis, sebagian besar terjadi pada wanita
dengan jenis mikroadenoma dan berukuran < 1 cm. Gejala yang muncul pada wanita
berupa secondary amenorea dan galactorhea, kehilangan libido dan infertilitas,
meskipun kemudian gejala akan menghilang jika kadar konsentrasi estrogen dalam
darah menjadi rendah. Pada laki-laki yang menderita adenoma ini akan muncul gejala
berupa impotensi dan penurunan jumlah sperma, penurunan libido, ejakulasi dini,
disfungsi ereksi. Diagnosa dengan pemeriksaan MRI sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosa dan mengetahui besar serta letak dari tumornya.
Selain itu pemeriksaan kadar prolaktin sebagai konfirmasi tes juga diperlukan. Kadar
prolaktin diatas 400 mU/liter sudah dapat dimasukkan kedalam kategori hipersekresi
prolaktin. Kadar konsentrasi prolaktin merupakan petunjuk kasar mengenai ukuran
dari tumornya, bila kadar konsentrasi plasma prolaktin 1000–4000 mU/liter
menunjukkan adanya mikroadenoma, sedangkan kadar plasma prolaktin > 6000
mU/liter umumnya berupa makroadenoma. Tumor non fungsional yang cukup besar
dan menekan tangkai hipofisis (“stalk effect”) juga akan menimbulkan kenaikan
kadar prolaktin darah tetapi tidak akan lebih dari 3000 mU/liter.

Terapi awal yang dapat dilakukan berupa pemberian dopamine agonis seperti
Bromocriptin, dengan cara titrasi sambil melakukan monitoring pemeriksaan kadar
prolaktin darah. Dosis awal yang dianjurkan adalah low dose 1 mg dan dapat
dinaikkan sampai 5–15 mg/hari sampai efek optimal didapatkan. Obat alternatif yang
dapat diberikan berupa Cabergolin. Terapi medis ini akan memberikan perbaikan
sekitar 95% dari penderita, dimana konsentrasi prolaktin menjadi normal. Sebagian
kecil dari sisanya memerlukan tindakan operatif, pada penderita yang tidak merespon
dengan obat-obatan dan pada penderita yang terjadi efek samping berupa mual, lesu,
hidung tersumbat.

B. Growth Hormone Secreting Tumor

Apabila sekresi dari tumor ini terjadi pada fase dimana epiphyseal plate belum
menutup akan mengakibatkan terjadinya gigantisme. Insiden kasus ini 6-8 kasus per 1
juta populasi. Gejala yang muncul berupa pembesaran dari dagu, tangan dan kaki
serta perkembangan jaringan lunak lain. Penyakit penyerta yang sering muncul adalah
diabetes mellitus (DM) dan hipertensi. Diagnosa ditegakkan selain berdasarkan gejala
klinis yang terjadi, juga berupa peningkatan kadar Growth Hormone > 10 mU/liter,
juga dengan pemeriksaan kegagalan menekan kadar GH kurang 2 mU/liter

pada loading glukosa oral 75 gram. Selain itu terjadinya peningkatan IGF-I (Insuline
like Growth Factor-1) juga merupakan diagnosa dari akromegali.

Terapi utama yang dapat diberikan berupa tindakan bedah, dengan atau tanpa
radioterapi, hanya sedikit kasus yang merespon terhadap pemberian dopamine agonis
yang menyebabkan kadar GH dan IGF-I menjadi normal kembali. Obat alternatif
selain dopamine agonis yang dapat diberikan sebagai analog somatostatin seperti
Ocreotide. Tetapi terdapat efek samping berupa terbentuknya batu empedu. Penelitian
terbaru, dengan preparat slow-release (Somatuline), yang diberikan dengan suntikan
setiap 1-2 minggu.

C. ACTHSecretingTumor

Peningkatan kadar kortisol merupakan penyebab dari Cushing syndrome, yang


merupakan kejadian penyerta dari pemberian glukokortikoid pada penyakit tumor
adrenal atau tumor hipofisis. Tanda-tanda klinis sebagai akibat dari kelebihan
produksi ACTH pada tumor hipofisis disebut Cushing disease.

Proses diagnosa mungkin sulit dan agak kompleks sehingga membutuhkan tingkat
spesialisasi tersendiri. Seleksi awal yang dapat dipakai adalah kadar urin yang bebas
dari kortisol, loss of diurnal control dari kortisol, tidak merespon terhadap pemberian
dexametason pada malam harinya. Kadar ACTH yang tinggi dalam darah setelah
pemberian dexametasone oral 1 mg malam harinya ditandai dengan adanya kortisol
yang ada dalam urin sebesar > 275 nmol per 24 jam dan kegagalan dari supressi kadar
serum kortisol kurang dari 13 nmol/liter. Bila ACTH tidak terdeteksi, hal ini
menyokong adanya tumor adrenal, sedangkan bila kadar ACTH 10-100 ng/liter
menyokong adanya tumor hipofisis, bila kadar ACTH > 200 ng/liter menunjukkan
adanya sekresi ektopik ACTH. Sering kali kadar kortisol tidak turun ke dalam batas
normal sehingga diperlukan rangsangan dan tes supresi. Tes supresi dilakukan dengan
pemberian dexametason dosis tinggi, dengan cara pemberian dexametason 2 mg tiap
6 jam selama 48 jam, bila dicurigai adanya cushing syndrome pituitary dependent
biasanya terjadi respon terhadap penurunan dari kadar cortisol darah pada pagi hari
dihari pertama dan kadar free cortisol pada urine di hari kedua.
Terapi utama adalah
dengan tindakan bedah dimana tingkat penyembuhan sekitar 80%, tindakan
pengobatan awal dilakukan dengan pemberian Metyrapon atau Betaconazole akan
menetralisir efek samping dari peningkatan konsentrasi kortisol dalam sirkulasi. Bila
tindakan operatif dinyatakan gagal, maka dilakukan radioterapi yang merupakan
pilihan kedua

D. Glycopeptide Secreting Tumor (TSH, FSH dan LH)

Kasus TSH-secreting adenoma merupakan kasus yang sangat jarang, dan bila terdapat
peningkatan hormon secara agresif maka tindakan bedah adalah pilihan utama.
Diagnosa ditegakkan dengan adanya hipertiroidisme dengan peningkatan kadar
plasma TSH. Adenoma gonadotroph biasanya inaktif, tetapi kadang muncul saat
premature pubertas atau adanya menstrual bleeding saat post menopause.

E. Non Functional Tumor

Sebanyak 25% dari tumor hipofisis adalah tumor non fungsional. Gejala yang muncul
umumnya berupa penekanan pada chiasma optica, gangguan visus dan sakit kepala,
yang disebabkan karena peningkatan tekanan intra kranial. Kadar hormonal pada
umumnya normal. Semua penderita dengan diagnosa awal tumor intrakranial
hipofisis, harus dilakukan pemeriksaan diagnostik untuk menegakkan diagnosa awal
dan mencari adanya efek yang muncul pada pasien, antara lain pemeriksaan
konsentrasi basal prolaktin, fungsi tiroid, dan MRI yang akan menjelaskan besar
tumor serta letaknya dengan lebih jelas.
IV.Pemeriksaan dan Persiapan Prabedah

Selain pemeriksaan klinis, diperlukan juga pemeriksaan laboratorium secara rutin


yang meliputi pemeriksaan kadar serum Kalium, Natrium, Calsium, Glukosa, evaluasi
endokrin, pemeriksaan mata, CT-Scan atau MRI.

CT Scan atau MRI dan pemeriksaan neurologi dievaluasi untuk melihat adanya tanda-
tanda peningkatan tekanan intra cranial. Untuk menilai fungsi nervus optikus dan
chiasma, dilakukan pemeriksaan penglihatan, termasuk pemeriksaan lapangan
penglihatan. Jika pembedahan transsfenoidal direncanakan, suatu pemeriksaan
otolaringologi dari hidung dan nasofaring juga dilakukan, dan kultur mukosa hidung
diambil sebagai panduan terapi antibiotik jika terjadi infeksi pasca operasi.
Tes Fungsi Hipofisis anterior Tes Fungsi Hipofisis posterior

- Level basal hormon pituitary:


GH, prolaktin, ACTH, TSH, FSH, LH 


- Level serum: kortisol (pagi dan


malam), tiroksin, testosterone, estradiol

- Level urin: 17-ketosteroid, 17-


hidroksikortikosteroid, kortisol bebas,
estrogen 


- Tes provokatif dan supresi


sesuai indikasi: 

- CadanganADH: osmolalitas
- Cadangan GH – stimulasi serum dan urin sebelum dan
glukagon 
 setelah 8-12 jam ‘pengurasan’
air
- Supresi GH – supresi glukosa
(akromegali) 


- Cadangan Prolaktin – tes


provokatif klorpromazin atau pelepasan
hormon tirotropin 


- Supresi deksametason dosis


rendah dan tinggi (sindrom Cushing) 


- Tes metirapon (sindrom


Cushing) 


Pasien dengan akromegali, suatu penilaian mallampati grade 1 atau 2 dapat


dipastikan sebagai suatu prediksi palsu mudah intubasi. Penyakit ini dikenal sebagai
penyebab sulit intubasi dan pada beberapa kasus ventilasi dengan masker juga dapat
menjadi sulit. Peningkatan hormone pertumbuhan dapat menebalkan jaringan lunak
faring dan laring, makkroglosi, penyusutan rima glottis dan hipertrofi fald
ariepiglottis, palatum molle dan epiglottis. Suara serak atau stridor dapat
menunjukkan suatu kelumpuhan nervus laryngeal rekuren atau stenosis laryngeal dan
sepertiga pasien akromegali memiliki pembesaran tiroid yang dapat menyebabkan
penekanan trakea. Pada penderita akromegali dapat juga dilakukan intubasi dengan
bantuan Fast-Trach Laryngeal Mask Airway

Kifosis dan ‘buffalo hump’ terlihat pada penyakit Cushing juga dapat
menyulitkan penatalaksanaan jalan napas pada pasien-pasien ini. Spirometri dan
laringoskopi indirek mungkin dapat memberikan kekuntungan. ‘Sleep apnea
obstruktif’ juga sering pada pasien akromegali dan Cushingoid. Gejalanya seperti
disebutkan terdahulu yaitu mengorok, mengantuk pada siang hari, sakit kepala,
kesulitan konsentrasi dan mengingat. Hal-hal ini haruslah diidentifikasi dan dilakukan
terapi pre-operatif untuk mengurangi resiko obstruksi jalan napas sebelum operasi.
Ketika ditemukan jalan nafas yang sulit, tindakan laringoskopi harus dilakukan saat
pasien sadar (awake) dengan bantuan anestesi topical.

Pada semua pasien harus dilakukan pemeriksaan rutin EKG. Abnormalitas gelombang
seperti T inverse dan kompleks QRS voltase tinggi sering ditemukan pada pasien
dengan penyait Cushing. Hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, aritmia, dan penyakit
jantung iskemik merupakan situasi yang sering terjadi dan menyebabkan mortalitas
peri- operasi yang tinggi. Ekhokardiogram dapat berguna jika ada disfungsi kardiak.
Hipertensi berpengaruh pada 30% pasien dengan akromegali dan 85% pasien dengan
sindrom Cushing dan harus dilakukan kontrol farmakologi sebelum pembedahan
elektif.

Pada pemeriksaan nneurologi, nervus kranialis secara menyeluruh harus


dilakukan sebelum operasi dengan perhatian pada pemeriksaan kemampuan dan
lapangan pandang penglihatan (nervus kranialis II). Tumor dapat menekan chiasma
optikus dan dapat menyebabkan hemianopia bitemporal. Setelah anestesi, diperlukan
penilaian ulang fungsi nervus kranialis untuk melihat apakah pembedahan
memberikan peningkatan atau perburukan. Juga harus diperhatikan adanya tanda-
tanda peningkatan intrakranial sebelum operasi.

V.Terapi penggantian hormon

Terapi penggantian hormone prabedah harus dilanjutkan sampai hari operasi.


Secara umum, hidrokortison 100 mg harus diberikan saat induksi anestesi pada
semua pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis. Diikuti dengan 50
mg dua kali sehari pada pasca operasi hari pertama, 25 mg dua kali sehari pada
pasca operasi hari kedua, 20 mg saat pagi hari dan 10 mg pada sore hari pada
hari ketiga dan setelahnya sampai pasien dipulangkan. Pasien dengan penyakit
Cushing dapat memerlukan tambahan penggantian glukokortikoid untuk
beberapa minggu sementara pasien dengan tumor non-ACTH sekresi dapat
dihentikan terapinya setelah beberapa hari.

Penggunaan hormon post-operatif berdasarkan level kortisol:

<100 nmol/L: terapi rumatan dengan hidrokortison 15-30 mg/ hari; tidak
diperlukan tes aksis hipotalamik-pituitari (HPA) selama pasien adalah ACTH-
defisiensi.

100-200 nmol/L: hidrokortison 10-20 mg dosis tunggal di pagi hari,


diperlukan pemeriksaan HPA lebih lanjut

250-450 nmol/L: pasien-pasien ini hanya memerlukan penggantian


glukokortikoid jika stress dan harus dilakukan pemeriksaan HPA

 >450 nmol/L: tidak diperlukan penggantian glukokortikooid dan tidak


diperlukan tes lebih lanjut.

VI.Pengelolaan Anestesi
Semua pasien memerlukan pemeriksaan konsentrasi basal prolaktin, tes fungsi
tiroid dan MRI dengan kualitas tinggi. MRI lebih baik dalam mengidentifikasi
mikroadenoma, sedangkan CT scan lebih baik dalam mendeteksi invasi ke tulang.
Sebagai tambahan dalam pemeriksaan umum preanestesi pada pasien bedah saraf,
penilaian prabedah pasien yang akan menjalani pembedahan hipofisis harus meliputi:
fungsi penglihatan, tanda- tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial,
pemeriksaan endokrin pasien, dan efek dari hipersekresi hormon. Perhatian khusus
terutama diberikan pada akromegali dan penyakit Cushing karena memberikan
tantangan unik pada ahli anestesi.
Teknik anestesi yang digunakan haruslah dapat memfasilitasi lapangan pembedahan,
mempertahan- kan perfusi serebral, menghindari hipertensi dan memfasilitasi
pemulihan yang cepat. Teknik dan agen anestesi yang digunakan haruslah berdasar
pada pemeriksaan prabedah yang seksama pada setiap pasien dengan
mempertimbangkan semua komorbid yang ada.

Beberapa hal terkait dengan jalan napas antara lain:

a. akromegali
b. penyakit Cushing
c. posisii ntraoperatif

Pemeriksaan prabedah yang seksama haruslah diwaspadai ahli anestesi akan adanya
kemungkinan kesulitan manajemen jalan napas dan intubasi trakea. Ventilasi dengan
‘bag’ dan masker pada umumnya memang sulit dilakukan pada pasien akromegali.

Ada empat tingkatan jalan napas yang terlibat pada pasien akromegali:

1. tidak ada kelainan jalan napas yang terlibat 


2. hipertrofi mukosa nasal dan faringeal, tetapi 
plika vokalis dan glottis masih
normal 


3. glottis teribat, termasuk stenosis glottis atau 
parese plika vokalis 


4. kombinasi tingkat 2 dan 3, seperti abnormalitas 
glottis dan jaringan lunak.


Intubasi dilakukan dengan pipa endotrakeal standard dan harus memungkinkan ahli
bedah menyelesaikan prosedur; namun, beberapa ahli bedah lebih memilih oral tube
RAE (‘right angle endotracheal’).Intubasi nasal adalah kontraindikasi.

Tantangan terbesar dalam menangani jalan napas pasien akromegali adalah kesulitan
intubasi trakea yang tidak diprediksi. Dalam suatu penelitian pasien akromegali oleh
Schmitt, dkk menemukan bahwa 20% pasien akromegali yang dinilai sebagai
Mallampati 1 dan 2 adalah sulit diintubasi. Karena itu ahli anestesi haruslah
menyiapkan peralatan jalan napas yang bervariasi. Peralatan untuk trakeostomi harus
disiapkan jika perubahan jalan napas sangat bermakna
Penyakit Cushing berhubungan jelas dengan kesulitan intubasi (mis. OSA, obesitas).
Karena itu, jalan napas harus diperhatikan dengan seksama. Adanya diabetes juga
harus dipertimbangkan adanya penyakit reflux gastroesofageal dan melambatnya
pengosongan lambung.

Setelah intubasi, mulut dan faring posterior harus di ‘pack’ sebelum operasi dimulai.
Hal ini tidak hanya mencegah perdarahan masuk ke daerah glottis selama operasi,
tetapi juga masuknya darah dan secret ke dalam lambung yang akan merangsang
timbulnya muntah pasca operasi. Pipa endotrakeal harus diposisikan untuk
memungkinkan ahli bedah saraf mengakses tempat insisi

Persiapan mukosa nasal


Kebanyakan ahli bedah memilih injeksi agen vasokonstriksi ke dalam tiap rongga
hidung sebelum pembedahan transsfenoid sebagai persiapan mukosan nasal. Injeksi
xylometazoline (suatu simpatomimetik amin kerja panjang yang bekerja pada reseptor
α) dengan atau lidokain 1% dengan adrenalin 1:200.000 ke dalam mukosa nasal
menyebabkan vasokonstriksi yang dapat berlangsung sampai 8 jam, dan mengurangi
perdarahan.

Posisi intra-operatif dan monitoring


Setelah induksi anestesi, pasien diposisikan untuk pembedahan. Reseksi hipofisis
transsfenoid pada umumnya dilakukan dengan posisi head-up untuk mengurangi
pelebaran vena. Kepala dapat diputar sedikit untuk memfasilitasi lapangan
pembedahan. Posisi demikian menyebabkan emboli vena udara merupakan suatu
resiko. Karena itu dapat dipertimbangkan monitoring precordial Doppler, end-tidal
CO2, dan end-tidal N2.

Tube endotrakeal dan mesin anestesi harus ditempatkan berlawanan dengan lapangan
pembedahan. Karena pemeriksaan radiografi seringkali diperlukan, suatu C-arm
biasanya ditempatkan di sebelah kiri lapangan bedah. Semua yang berada dalam
ruang pembedahan harus mengenakan proteksi yang memadai.

Monitoring selama pembedahan meliputi EKG, SpO2, endtidal CO2, dan tekanan
darah arteri langsung. Adanya komorbid, terutama pada pasien penyakit Cushing,
dapat memerlukan tambahan monitoring kardiovaskuler invasif. Kateter arteri harus
dipertimbangkan pada pasien dengan toleransi bergiat yang rendah, pada pasien
dengan tanda dan gejala gagal jantung bendungan, pada pasien dengan hipertensi
yang sulit terkontrol, atau pada pasien dengan kardiomiopati yang terdokumentasikan.
Adanya potensi terjadinya hipertensi tiba-tiba selama pembedahan transsfenoid
menyebabkan ahli anestesi akan menempatkan kateter arteri untuk diagnosis dan
terapi yang lebih awal. Harus diingat bahwa aliran darah melalui arteri ulnaris dapat
dikompromikan sampai 50% pada pasien akromegali.

Rekaman ‘visual evoked potential (VEP)’ telah direkomendasikan untuk pembedahan


pada area jalur penglihatan. Proteksi pada bagian-bagian yang tertekan sangat penting
karena operasi dapat memanjang. Mata harus rutin dilindungi dengan bantalan.
Osteoporosis dan kulit yang tipis pada pasien dengan penyakit Cushing memudahkan
terjadinya memar, fraktur patologis dan lecet pada daerah penekanan, sehingga
diperlukan perhatian yang lebih pada pasien-pasien ini.

Pemilihan obat anestesi

Pemilihan obat anestesi bergantung pada komorbid pasien yang bersangkutan dan
riwayat anestesi sebelumnya. Perlunya pemulihan yang cepat untuk memungkinkan
pemeriksaan neurologis yang segera menyebabkan penggunaan obat-obat dengan
klirens yang cepat, seperti propofol dan remifentanil, atau anestesi inhalasi dengan
kelarutan darah yang rendah seperti sevofluran, merupakan pilihan yang masuk akal.
Anestesi inhalasi dengan remifentanil dapat memberikan hemodinamik yang lebih
stabil dan pemeriksaan neurologis yang lebih awal. Jika remifentanil digunakan,
penting untuk memberikan analgesia peralihan dengan opioid yang lebih panjang
masa kerjanya, jika tidak pemulihan dapat berkomplikasi dengan nyerinya pasien.
Blok neuromuskuler dengan atrakurium atau vekuronium harus dipertahankan selama
pembedahan karena segala pergerakan pasien dapat mengakibatkan kebocoran cairan
serebrospinal (LCS), trauma jalur penglihatan, atau kerusakan vaskuler. Antiemetik
harus rutin diberikan untuk mengurangi tingginya insiden mual dan muntah pasca
operasi.

Pemeliharaan anestesi

Pembedahan hipofisis transsfenoid normalnya ‘minimal blood loss’, namun


berpotensi terjadinya perdarahan yang bermakna karena hipofisis proksimal
dari artri karotis interna. Sebenarnya, trauma arteri karotis intraoperatif jarang
terjadi, tetapi berpotensi fatal, suatu komplikasi dari pembedahan transsfenoid.
Pada kasus trauma arteri karotis yang tidak disengaja, hipotensi kendali dapat
meningkatkan visualisasi dan menolong memfasilitasi perbaikan. Trauma
seharusnya dijahit; namun pada prakteknya, seringkali dihentikan dengan
penekanan dan pengguanaan obat hemostatik. Suatu balon kateter dapat
dikembangkan dan ditempatkan pada daerah yang memerlukan tambahan
tampon. 16

Perdarahan vena yang sedang dari sinus kavernosus merupakan masalah yang
paling sering pada prakteknya dan cenderung terjadi lebih berat pada pasien
dengan tumor yang lebih besar dan perluasan ke suprasellar. Ahli anestesi
seharusnya memiliki akses intravena di ekstremitas manakala diperlukan.

Insersi drainase lumbal

Untuk tumor hipofisis dengan perluasan suprasellar yang bermakna, ahli bedah
biasanya meminta untuk dipasang drain subarachnoid lumbal. Cara termudah
adalah dengan menggunakan kateter standar epidural 16 G. Biasanya
diinsersikan pada L 3-4 dan dimasukkan 10 cm kateter dengan arah cephalad.
Injeksi 10 ml normal saline ke dalam kateter (dengan teknik yang steril)
menghasilkan peningkatan sementara tekanan LCS dan dapat menyebabkan
tumor yang meluas ke suprasellar bergerak ke dalam daerah operasi. Suatu
drainase lumbal juga dapat berguna pasca operasi untuk mengatasi kebocoran
LCS.

Manajemen pasca operasi

Jalan napas

Resiko terjadinya obstruksi jalan napas pada pasien dengan pembedahan


hipofisis pada periode akut pasca operasi. Ahli anestesi harus meyakinkan
bahwa ‘pack’ tenggorokan telah diambil pada akhir pembedahan dan pasien
harus diekstubasi dalam keadaan sadar untuk mengurangi resiko aspirasi darah.
Tampon nasal seringkali ditinggalkan setelah pembedahan selesai sehingga
patensi jalan napas orofaringeal sangat penting. Pasien akromegali dan pasien
yang lain dengan riwayat obstruksi ‘sleep apnea’ mungkin telah menggunakan
CPAP saat malam hari pada periode prabedah. Nasal CPAP dapat tidak efektif
jika masih terdapat tampon nasal pasca operasi. Lebih lagi, adanya resiko
masuknya udara ke dalam kranium (pneumocephalus) melalui defek di sekitar
dasar hipofisis. Walaupun normalnya hal ini hanya menyebabkan sakit kepala,
jika udara tersebut tertekan, dapat terjadi tension pneumocephalus yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan menurunnya kesadaran. Resiko utama
pasien-pasien ini adalah hipoksemia, dan karena itu harus berada dalam
pengawasan monitoring saturasi dan pemberian oksigen untuk beberapa hari
pasca operasi.

Penilaian neurologis

Pulih sadar dari anestesi memungkinkan ahli bedah untuk melakukan penilaian
dini dari fungsi nervus kranialis, utamanya nervus kranialis II – VI yang sangat
dekat dengan lapangan pembedahan. Pemulihan yang cepat dapat dicapai
dengan menggunakan obat anestesi kerja singkat dan cepat dimetabolisme.

Analgesia

Pasien biasanya mengeluhkan adanya sakit kepala frontal setelah operasi.


Kodein telah digunakan untuk analgesia pasca operasi akibat efek sampingnya
yang disukai. Opioid yang lebih kuat dapat digunakan bila perlu, terutama jika
dilakukan pendekatan trans-kranial. Dapat juga diberikan obat-obat antisteroid
seperti ketorolak, atau acetaminophen. Sekali lagi, perhatian harus diberikan
jika memberikan opioid pada pasien- pasien dengan riwayat OSA.

Mual dan muntah

Mual dan muntah merupakan komplikasi pasca operasi yang paling sering pada
prosedur bedah saraf, dengan hampir 40% pasien dilaporkan terjadi mual
muntah. Untuk menghindari terjadinya efek yang tidak diinginkan dari muntah
seperti peningkatan tekanan intrakranial, profilaksis anti emetik harus diberikan
pada semua pasien.

V.Komplikasi Pascabedah

Setelah tindakan bedah dilakukan, kemungkinan besar dapat terjadi bermacam-


macam komplikasi. Komplikasi tersebut dapat berupa diabetes insipidus,
hiponatremia, bocornya cairan serebrospinal dan lainnya.

A. Diabetes Insipidus

Biasanya terjadi pada 24–48 jam pertama post operasi, dimana 80% dari
neuron yang mensintesis vasopressin rusak atau tidak berfungsi selama waktu
tertentu. Bisa juga terjadi karena edema lokal pada daerah operasi atau trauma
pars posterior hipofisis. Biasanya bersifat transient dan berlangsung kurang
dari 7 hari. Manifestasi dini adalah poliuria paska bedah, dengan jumlah urine
> 200-250 cc/jam selama dua jam berturut-turut, atau produksi urine > 2-2,5
ml/kgBB/jam Diagnosa dini sangat penting, agar segera dilakukan pengaturan
cairan dan elektrolit. Diagnosa ditegakkan dengan mengukur jumlah urine dan
berat jenis urine.

Idealnya dengan pengukuran osmolalitas plasma dan osmolalitas urine. Poli


uria dengan berat jenis dan osmolalitas urine rendah dimana kadar sodium
dalam serum yang tinggi, dicurigai terjadinya Diabetes Insipidus. Terapi yang
dipakai adalah Desmopressin asetat, dengan dosis 0,1 mcg/iv atau im dan dapat
diulang, pada fase akut dosis rendah 0,04 mcg/iv dapat diberikan, bila pasien
sadar baik maka diperbolehkan minum sekuat pasien tersebut menerima.
Praktisnya, pasien dengan diabetes insipidus setelah menjalani pembedahan
harus dianggap mengalami insufiensi hipofisis anterior, sehingga harus
mendapatkan terapi pengganti kortikosteroid.
Jumlah cairan yang diminum dan cairan infuse tetap harus diukur. Cara
pemberian cairan adalah cairan rumatan setiap jam ditambah dengan 3⁄4 jumlah
urine setiap jam. Pemilihan cairan tergantung dari keadaan serum elektrolit
pasien, pada umumnya diberikan NaCl 0,45% atau NaCl 0,225%, dan tidak
dianjurkan memberikan dektrose 5% karena bahaya hiperglikemia. Defisit air
dapat dihitung dengan menggunakan rumus matematika sebagai berikut; 0.6 x
([konsentrasi natrium serum ÷ 140] – 1).

B. Hiponatremia

Merupakan gejala dengan angka kejadian terbanyak setelah operasi hipofisis,


sebagai akibat dari SIADH (Syndrome Inappropiate Anti Diuretic Hormone)
dari lobus posterior hipofisis atau dapat juga disebabkan karena CSWS
(Cerebral Salt- Wasting Syndrome). Dengan manifestasi berupa retensi air dan
loss dari Na melalui urine, tetapi biasanya bersifat transient dan akan membaik
dalam waktu 7 – 10 hari. Pengobatan yang dilakukan pada pasien dengan
hiponatremia paska tindakan bedah hipofisis dapat berbeda-beda sesuai dengan
penyebabnya.

Pasien yang mengalami hiponatremia dikarenakan SIADH, diberikan terapi


pembatasan cairan yang masuk bergantung pada level serum sodium. Menurut
para ahli pembatasan tersebut, sebagai berikut; 1) jika serum sodium berada
pada level 130-134 mEq/liter, cairan yang masuk tidak boleh lebih dari 1200
ml/hari. 2) jika serum sodium berada pada level 126-130 mEq/liter, cairan yang
masuk tidak boleh lebih dari 800 ml/hari. 3) dan jika serum sodium levelnya <
125 mEq/liter, cairan yang masuk tidak boleh melebihi 600 ml/hari. Selain itu,
pasien ini juga dapat diberikan Furosemide ketika serum sodium levelnya <
128 mEq/liter dan ketika serum sodium levelnya < 120 mEq/liter, cairan
hipertonik saline 3% juga dapat diberikan. Sedangkan perawatan pasien
hiponatremia karena CSWS, adalah dengan pemberian cairan dan garam
pengganti. Terapi ini hanya dilakukan jika level serum sodium berkisar antara
125-130 mEq/liter, dengan memberikan cairan saline 0.9% atau garam dalam
bentuk kapsul (1-3 gram/hari).

C.Cerebral wasting Syndrome ( CSW)

(CSWS) merupakan kelainan pengaturan Natrium dan air, yang


terjadi sebagai akibat penyakit serebral tanpa disertai kelainan fungsi ginjal. CSWS
ditandai adanya hiponatremia yang berkaitan dengan hipovolemia, yang sesuai
dengan namanya, disebabkan oleh natriuresis. CSWS ditandai dengan ekskresi
berlebihan natrium oleh ginjal yang menyebabkan penurunan volume cairan.
Meskipun mekanisme terjadinya CSWS belum sepenuhnya dipahami, hipotesis yang
paling mungkin adalah amplifikasi sentral peptida natriuretik, terutama brain
natriuretic peptide (BNP) dikombinasikan dengan penurunan aliran simpatis karena
berbagai penyakit neurologis. Rangsang simpatis di ginjal memainkan peran penting
dalam pengaturan natrium dan air di proksimal dan pengaturan pelepasan renin di sel
epitel jukstaglomerular sehingga penurunan rangsang simpatis ke ginjal menginduksi
ekskresi natrium oleh ginjal dan penurunan volume. Selain itu, peptida natriuretik
merangsang terjadinya dilatasi arteriole aferen dan penyempitan arteriole eferen ginjal
yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus meningkat. Peptida ini juga bekerja pada
tubulus ginjal, mensupresi angiotensin II sehingga merangsang transpor natrium dan
air, menghambat transporter natrium di tubulus pengumpul bagian dalam medula,
melawan efek ADH pada ginjal dan menurunkan rangsang simpatis.

Penurunan volume yang terjadi karena pembuangan natrium oleh ginjal akan
mengaktifkan baroreseptor yang meningkatkan pelepasan ADH sehingga
mengakibatkan peningkatan penyimpanan air. Oleh karena itu, kabanyakan pasien
yang menderita CSWS juga menunjukkan kenaikan kadar ADH dan menyerupai
kriteria SIADH.Penurunan mendadak natrium serum dapat mengakibatkan pergeseran
cepat cairan menyebabkan edema serebral. Individu umumnya tanpa gejala yang
signifikan sampai kadar natrium serum turun di bawah 120 mmol / L, meskipun
kurang jelas tapi penurunan cepat berhubungan dengan perburukan klinis. Tanda khas
pada kasus ringan adalah kelelahan, mual, sakit kepala, disgeusia, anoreksia, dan
kram otot. Jika kadar terus turun (misalnya, 120-130 mmol / L), memburuknya gejala
tersebut dapat disertai muntah, fasikulasi, tremor, dan penurunan kewaspadaan mental
dan orientasi yang progresif. Hiponatremia yang mengancam jiwa (yaitu, <115 mmol
/ L) yang bersifat akut diketahui menyebabkan kejang fokal dan umum dan dapat
menyebabkan koma. Jika tidak diobati, edema serebral progresif dapat menyebabkan
herniasi otak.

D. Komplikasi Lain

Komplikasi-komplikasi lain yang dapat terjadi dan bersifat sementara antara


lain, mual dan muntah, perdarahan, cedera saraf otak, insufisiensi korteks-
ginjal serta sinusitis yang disebabkan karena adanya edema mukosa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harijono bambang, saleh
 siti chasnak. Pengelolaan perioperatif


anestesi
pada pasien dengan pembedahan hipofisis. Departemen
anestesiologi dan reanimasi
rsud dr. Soetomo – . Surabaya : fakultas
kedokteran universitas airlangga surabaya, 2012. Jni 2012;1(2):133-143

2. Gaus Syafruddin , Bisri Tatang. Penatalaksanaan anestesi untuk tumor


neuroendokrin. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas
Hasanudin Makassar. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
Universitas Padjadjaran Bandung. JNI 2102;1(3):217-233

3. Horvat Ana, Gopčević Aleksandar, Ilej Mirjana. Anesthetic management of


patients undergoing pituitary surgery . University Department of
Anesthesiology and Intensive Care, University Department of Neurosurgery,
Sestre milosrdnice University Hospital Center, Zagreb, Croatia . Acta Clin
Croat 2011; 50:209-216

Anda mungkin juga menyukai