Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mola adalah suatu kelainan di dalam kehamilan dimana jaringan plasenta


berkembang dan membelah terus menerus dalam jumlah yang berlebihan dengan
atau tanpa janin. Ada dua macam bentuk mola yaitu mola parsial dan komplit.
Mola parsial jarang menyebabkan keganasan sedangkan mola komplit sering
mengakibatkan keganasan yaitu koriokarsinoma atau bahkan bisa pula
bermetastasis hingga ke organ lain.
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika latin
dibandingkan dengan negara – negara barat. Insiden terjadi kehamilan mola yaitu
1-2 kehamilan per 1000 kelahiran di Amerika Serikat dan Eropa. Di Asia
insidensi mola 15 kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Di negara-negara
Timur Jauh beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih tinggi lagi
yakni 1:120 kehamilan. Meskipun angka kejadian mola hidatidosa tidak terlalu
tinggi, tapi dilihat dari dampak perdarahan, infeksi serta keganasan yang di
timbulkan maka dapat mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas.
Mola hidatidosa dapat menyebabkan beberapa masalah terkait dengan
anestesi, di antaranya distres akut pada jantung dan paru, hipertiroid yang dapat
pula mengakibatkan krisis tiroid, anemia, emboli trofoblastik, hipertensi yang
dicetuskan oleh kehamilan, neoplasma ganas, hiperemesis gravidarum, dan DIC
(Disseminated Intravascular Coagulation). Inti dari permasalahan – permasalahan
tersebut adalah karena pengaruh trofoblas dan hormon hCG. Permasalahan ini
harus dimanajemen dengan baik untuk optimalisasi keadaan saat dan setelah
pembiusan terjadi agar tidak terjadi komplikasi pasca pemberian anestesi. Oleh
karena itu pengkajian lebih dalam mengenai manajemen anestesi pada mola
hidatidosa sangat penting untuk dikaji.

1
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MR : 139068
Alamat : Ds. Uleejalan, Kec. Banda Sakti
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Aceh
Ruangan : Nifas
Tgl Masuk Rumah sakit : 04 Januari 2020
Tanggal Operasi : 07 Januari 2020

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mual dan muntah yang memberat.

Keluhan tambahan
Lemas, Pusing.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan mual dan muntah
yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Tidak didapatkan
perdarahan aktif namun pasien mengeluhkan lemas dan keram di perut.
HPHT tanggal 06 November 2019 dan pasien mengetahui bahwa
dirinya hamil dengan menggunakan PP test saat usia kehamilan 1 bulan.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada

Riwayat pribadi dan kebiasaan


Merokok : disangkal
Mengkonsumsi alkohol : disangkal

Riwayat sosial ekonomi


Pasien menggunakan BPJS

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum : Sedang
2. Kesadaran : Composmentis, GCS :
E4V5M6
3. Tanda vital:
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi nadi : 89 x/menit, reguler
Frekuensi napas : 20x/menit, reguler
Suhu : 36,5°C per axiller
4. Status generalis:
Kepala : normochepali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-)
Telinga/hidung/tenggorokan : tidak ditemukan kelainan

3
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax:
 Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : hepar: pembesaran (-), limpa: pembesaran (-)
Ekstremitas :
Atas: simetris (+/+), akral hangat, edema (-/-)
Bawah: simetris (+/+), akral hangat,edema (-/-)
5. Status Obstetrik:
1. Inspeksi : flat, linea nigra(-), striae gravidarum (-)
2. Palpasi :
a. Pemeriksaan Leopold sulit dievaluasi
b. HIS : Tidak ada
3. Auskultasi : DJJ sulit dievaluasi
4. Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil USG:

4
Kesan: Molahidatidosa
Hasil laboratorium tgl 04 Januari 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.8 g/dL 12-16
Eritrosit 3 3.8-5.8
4.62 jt/mm
3
Leukosit 11.60 rb/mm 4-11
Hematokrit 37.9 % 37-47
MCV 89.0 fl 79-99
MCH 30.1 pg 27-32
MCHC 33.8 % 33-37
RDW-CV 14.7 % 11,5-14,5
3
Trombosit 224 rb/mm 150-450
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 187 mg/dL 110-200

2.5 Assesment
Mola Hidatidosa

5
2.6 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
Status fisik ASA II
2.7 Rencana Pembedahan
Total Abdominal Histerektomi
2.8 Rencana Anestesi:
Spinal Anestesi

2.9 Laporan Anestesi

PRA ANESTESI

Persiapan pasien

Di ruang perawatan

Pasien di konsultasikan ke dokter Anestesi pada tanggal 30 Desember 2019 untuk


persetujuan dilakukan tindakan operasi. Setelah mendapatkan persetujuan, pasien
disiapkan untuk rencana Kuret. Diberikan juga informasi kepada keluarga pasien,
antara lain:

 Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada


keluarga pasien tindakan medis akan apa yang akan dilakukan
kepada pasien, bagaimana pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya,
risiko tindakan yang akan dilakukan.

 Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau


keluarga pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan
medis yang akan dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan keluarga pasien tidak akan mengajukan tuntutan.

6
Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:

 Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi, tujuannya untuk memastikan


bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung
yang akan membahayakan pasien.

 Rencana post-op pasien adalah kembali ke ruangan.

Di Ruang Persiapan

 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan dan


sudah terpasang infus RL.

Persiapan alat anestesi :

Spinal Set Connector Orotracheal airway

Monitor Sphygmomanometer Pulse Oxymetri

Suction Guedel Balon pernafasan

Stetoskop Laringoskop ETT

Sungkup muka Mesin Anestesi Gel

Spuit Infus set+abocath Kasa steril

Persiapan obat-obatan anestesi

a. Analgetik : Fentanyl, Morfin, Ketorolac, Pethidine

b. Hipnotik Sedatif : Bupivacaine, Levobupivacaine,


Midazolam, Lidocaine

c. Muscle Relaxan : Atracurium, Recuronium

d. Maintanance anastesi : Isoflurane , N2O, O2

e. Obat emergency : Sulfas atropine, ephedrine, epinephrine

7
f. Obat reserve : Prostigmin, Sulfas atropine

g. Obat tambahan lainnya : Ranitidine, Ondansetron, tranexamaic acid,


oxytocin, methyl ergometrin.

Rencana terapi cairan intraoperatif

Pada pasien, diberikan cairan Ringer Laktat yang setiap kolf nya berisi 500 ml.

M (Maintenance)

2 ml/ kgBB/ jam  2 ml/ 50 kg/ jam 100 ml / jam

O (Operasi)

Karena operasi ini termasuk operasi sedang, maka kebutuhan cairannya adalah:

2 ml x kgBB  4 ml x 50 kg 200 ml

P (Puasa)

Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:

Lama puasa x M 8 x 100ml 800 ml

Total cairan yang dibutuhkan:

Jam pertama M+O+½P  (100 + 200 + 400) ml = 700 ml

INTRA ANESTESI

30 Desember pukul 12.30 WIB

1. Pasien masuk kamar operasi 6 dan dibaringkan di meja operasi kemudian


dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.

2. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di awal


atau penilaian pra induksi (Pukul 12.45 WIB) :

8
Kesadaran: Compos Mentis, TD= 140/80 mmHg, nadi= 112 x/menit, saturasi O2:
99%.

3. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.

4. Pasien diminta duduk dan membungkukkan badan

5. Dilakukan anestesi dengan teknik anestesi regional pada spinal

6. Dipasang selang O2 dengan menggunakan O2 sebanyak 4 liter/menit

7. Pukul 13.00 tindakan anestesi telah selesai

Pukul 12.45 WIB

 Tindakan anestesi dimulai

 TD : 140/80mmHg, HR : 112x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 99%

Pukul 13.00 WIB

 Tindakan anestesi selesai dilakukan

 TD : 102/69mmHg, HR : 100x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 13.15 WIB

 Tindakan pembedahan dimulai

 TD : 124/80mmHg, HR : 98x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 13.30 WIB

 TD : 121/82mmHg, HR : 103x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

Pukul 13.45 WIB

 TD : 128/76mmHg, HR : 89x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

9
 Cairan infus Ringer Laktat ke-1 telah habis sebanyak 500 ml, digantikan
dengan infus Ringer Laktat ke-2

Pukul 14.00 WIB

 TD : 120/76mmHg, HR : 85x/i, RR : 20x/i, Sp O2 : 100%

 Pembedahan selesai

 Pasien diberikan ketorolac 30mg/iv

 Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan

 Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.

 Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang


pemulihan atau recovery room (RR).

 POST OPERATIF

Pukul 14.10 WIB

Pasien masuk ke ruang pemulihan. Dilakukan penilaian terhadap tingkat


kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 72
x/menit, respirasi 22 x/menit dan saturasi O2 100%.

Pukul 14.45 WIB

 Pasien didorong ke ruang rawat bedah

INSTRUKSI POST OP

- Pantau TD, HR, RR dan saturasi oksigen

- IVFD RL 20 gtt/i

10
- Bila mual/muntah : Inj Ondansentrone 4 mg/12 jam/IV

- Terapi lain sesuai obgyn

Laporan Anestesi

 Ahli Anestesiologi : dr. Anna Millizia, M.Ked(An), Sp.An

 Ahli Bedah : dr. Iskandar, Sp.OG

 Diagnosis prabedah : Mola Hidatidosa

 Jenis Operasi : Total Abdominal Histerektomi

 Jenis Anestesi : Spinal Anestesi

 Lama Operasi : 1 jam

 Lama Anestesi : 1 jam 15 menit

BAB 3
PEMBAHASAN

A. Anestesi Spinal
Anestesi spinal didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi local secara
langsung ke dalam cairan cerebrospinal di dalam ruang subarachnoid. Jarum
spinal diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1. Batas ini
dikarenkan adanya ujung medulla spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak mungkin dilakukan insersi (Soenarjo
et al, 2013).
Tingkat keberhasilan teknik spinalis ditentukan oleh banyak faktor,
diantaranya dosis obat, volume, posisi pasien serta komplikasi yang mungkin
ditimbulkan. Efek yang ditimbulkan bisa berkaitan dengan farmakologis obat,
fisiologis tubuh, teknik, dan peralatan yang digunakan, terutama jarum spinal
(Sutiyono et Winarno, 2009)
1. Teknik anestesi

11
a. Persiapan
1) Monitor standar, seperti EKG, tekanan darah, pulse oksimetri.
2) Obat dan alat resusitasi, seperti oksigen, bagging, suction, dan
set intubasi.
3) Sarung tangan dan masker steril.
4) Perlengkapan desinfeksi dan duk steril.
5) Obat anestesi local untuk anestesi spinal dan untuk infiltrasi
local kulit dan jaringan subkutan.
6) Syringe, kateter, dan jarum spinal.
7) Kasa penutup steril.
b. Pengaturan posisi pasien
Terdapat dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi jarum,
yaitu posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan dagu ditekuk ke dada.
Posisi lainnya adalah posisi duduk flesi dimana pasien duduk pada pinggir
troli dengan lutut diganjal bantal. Posisi fleksi akan membantu identifikasi
prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra sehingga dapat
mempermudah akses ruang epidural (Soenarjo et al, 2013).
2. Teknik insersi anestesi spinal
Anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan “Pencil
Point” atau “Tappered Point”. Insersi dilakukan dengan menyuntikkan jarum
sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai dengan
keluarnya cairan cerebrospinal. Pemakaian jarum dengan diameter kecil
bertujuan untuk mengurangi keluhan nyeri kepala pasca pungsi dura (PDPH)
(Soenarjo et al, 2013).
3. Efek samping
1) Hipotensi.
2) Bradikasrdi.
3) Hematome.
4) Luka pada tempat tusukan.
5) Perdarahan.
6) Infeksi.

12
7) Trauma medulla spinalis.
8) Nyeri kepala pasca anestei spinal.
(Sutiyono et Winarno, 2009)

B. Mola Hidatidosa

1. Definisi

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana
terjadi keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan
perkembangan parsial atau tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir
seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin
biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu
hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah
anggur. Jaringan trofoblast pada vilus berproliferasi dan mengeluarkan hormon
human chononic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada
kehamilan biasa.

2. Epidemiologi

Frekuensi mola hidatidosa umumnya di wanita Asia lebih tinggi (1 per 120
kehamilan) daripada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan). Di
Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting dengan
insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1 per 40 persalinan), faktor risiko
banyak, penyebaran merata serta sebagian besar data masih berupa hospital based.
Faktor risiko mola hidatidosa terdapat pada usia kurang dari 20 tahun dan di atas
35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik

3. Etiologi

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya
yang kini telah diakui adalah :

1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi


terlambat dikeluarkan.

13
2. usia ibu yang terlalu muda atau tua (36-40 tahun) beresiko 50% terkena
penyakit ini.

3. imunoselektif dari sel trofoblast

4. keadaan sosioekonomi yang rendah

5. paritas tinggi

6. defisiensi vitamin A

7. kekurangan protein

8. infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.

Berbagai teori telah diajukan, misalnya teori infeksi, defisiensi zat makanan,
terutama protein tinggi. Teori yang paling cocok dengan keadaan adalah teori dari
Acosta Sison, yaitu defisiensi protein, karena kenyataan membuktikan bahwa
penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita dari golongan sosio ekonomi
rendah. Akhir-akhir ini dianggap bahwa kelainan tersebut terjadi karena
pembuahan sebuah sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh
sebuah sel sperma yang mengandung 23x (haploid) kromosom, kemudian
membelah menjadi 46xx, sehingga mola hidatidosa bersifat homozigot, wanita
dan androgenesis. Kadang-kadang terjadi pembuahan oleh 2 sperma, sehingga
terjadi 46xx atau 46xy.

Telah diketahui bahwa penyakit ini banyak ditemukan pada golongan sosio
ekonomi rendah, umur di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun, dan dengan paritas
tinggi. insiden penyakit ini dapat diturunkan dengan suatu upaya preventif berupa
pencegahan kehamilan di bawah 20 tahun dan di atas 34 tahun dengan jumlah
anak tidak lebih dari tiga

Juga disebutkan defisiensi lemak hewani dan karotene, kebiasaan merokok,


pemakaian pil kontrasepsi kombinasi merupakan faktor resiko. Secara singkat
dapat disimpulkan bahwa peran graviditas, paritas, faktor reproduksi lain, status

14
estrogen, kontrasepsi oral dan faktor makanan dianggap sebagai faktor resiko
walaupun masih belum jelas hubungannya.

4. Klasifikasi

Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin
maka disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin
atau bagian dari janin disebut mola parsialis atau Parsials mole

Gambaran Mola Komplit Mola Parsial

Kariotipe 46,XX atau 46,XY Umumnya 69,XXX


atau 69,XXY (tripoid)
Patologi
Edema villus Difus Bervariasi,fokal
Proliferasi trofoblastik Bervariasi, ringan s/d berat Bervariasi, fokal,
ringan s/d sedang
Janin Tidak ada Sering dijumpai
Amnion, sel darah merah Tidak ada Sering dijumpai
janin
Gambaran klinis
Diagnosis Gestasi mola Missed abortion
Ukuran uterus 50% besar untuk masa Kecil untuk masa
kehamilan kehamilan
Kista teka-lutein 25-30% Jarang
Penyulit medis Sering jarang
Penyakit pascamola 20% <5-10%
Kadar hCG Tinggi Rendah – tinggi

B. Anestesi Spinal pada Total Abdominal Histerektomi dengan Mola


Hidatidosa

15
Pada pembedahan histerektomi, dapat digunakan teknik anestesi regional
maupun general. Anestesi regional berupa Sub Araknoid Spinal Block (SAB)
umumnya digunakan pada operasi tubuh bagian bawah, seperti ekstrimitas bawah,
perineum maupun abadomen bagian bawah. Prinsip yang digunakan adalah
menggunakan obat analgetik local untuk menghambat hantaran saraf sensorik
sementara (reversible). Fungsi motoric juga terhambat sebagian, sehingga pasien
tetap sadar. Kemudahan teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan
yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar
selama operasi dan menjaga jalan napas, serta membutuhkan penanganan post
operatif dan analgesia yang minimal. Resiko akibat anestesi regional dapat berupa
nyeri kepala post pungsi lumbal (Post Lumbar Puncture Headache/PLPH),
tekanan darah turun, reaksi alergi maupun cidera saraf.

1. Persiapan Pasien

Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent)


meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya
skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah
penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial
(PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah. Kunjungan
praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian obat
premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi
tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat (Soenarjo, et al., 2013).

2. Perlengkapan

Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi


yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan
resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki
permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai
dengan 30-G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain,

16
lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran
obat dan perluasan daerah yang teranestesi.

Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan
serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya
gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan
ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki beratjenis 1,003-
1,008. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol (Yang,
2009).

3. Jenis jarum Spinal

Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung
bambu runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya
seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang
menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal (Yang, 2009).

4. Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi

- Petidin 30 mg
- Sedacum 2x 25 mg

5. Obat yang dipakai untuk induksi spinal

Bupivacain, untuk anestesi spinal, dosis yang digunakan adalah 15-20 mg (larutan
0,5%).

6. Teknik Anestesi

Adapun tahapan spinal anestesi adalah (Soenarjo et al, 2013):

Teknik untuk melakukan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi
tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling
sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi

17
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

a.  Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral


atau dengan posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien
juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal
agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.

b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan


tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya
L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.

c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.

d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan


serebrospinalis, maka jatum suntik akan menembus : kulit  subkutis 
ligamentum supraspinosum  ligamentum interspinosum  ligamentum
flavum  ruang epidural  duramater  ruang subarachnoid.

e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23


G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G
atau 29 G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) yaitu
jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukan introducer sedalam kira-kira 2
cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
irisan jarum  haruis sejajar dengan dengan serat duramater untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri
kepala pasca spinal.  Setelah resistensi menghilang, mandarin juarum
spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.  Untuk BAB anelgesi spinal
kontinyu dapat dimasukkan kateter.

18
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6 cm.

BAB 4

PEMBAHASAN

1. Preoperatif
Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus
ini adalah ASA II yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai
dengan sedang. Sesuai dengan pasien yang dikelola. Penderita didiagnosis
oleh dokter obgyn dengan Molahidatidosa. Pada pemeriksaan fisik tidak
tampak adanya kelainan. Pemeriksaan penunjang lainnya pemeriksaan
USGdidapatkan kesan mola hidatidosa. Dari hasil yang didapat
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam kriteria ASA II dan akan
dilakukan operasi Total Abdominal Histerektomi. Selanjutnya ditentukan
rencana jenis anestesi yang akan digunakan yaitu regional anestesi.
Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :
a. Informed consent
Informed consent ini meliputi penjelasan mengenai penyakit yang
diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan
dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,
komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan kepada pasien
dan keluarga terdekat yang bertanggung jawab terhadap pasien.

19
Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien atau
keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi sehingga
resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat
dipertimbangkan dengan baik.
b. Puasa
Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi
akibat efek samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga
refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya dipuasakan selama 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam (Latief, 2001). Pada kasus ini, pasien dapat
dipuasakan selama 8 jam. Pasien telah diminta berpuasa sejak pukul
02.00 WIB.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini secara umum
baik sehingga memenuhi toleransi operasi. Adapun pemeriksaan
laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah lengkap, hitung
jenis, waktu perdarahan, waktu pembekuan, kimia klinik, dan sero
imunologi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai ada
tidaknya gangguan dan merencanakan koreksi jika terdapat gangguan.
Kadar hemoglobin yang baik, diperlukan guna memfasilitasi
distribusi oksigenasi ke jaringan dan pengangkutan karbon dioksida.
Oksigenasi atau perfusi yang baik diperlukan jaringan guna mencegah
terjadinya syok. Jumlah trombosit,masa pembekuan dan defisiensi faktor
pembekuan perlu dievaluasi agar dapat diantispasi risiko komplikasi
perdarahan. Trombosit merupakan unsur dasar dalam darah yang dapat
meningkatkan koagulasi. Penurunan trombosit dalam sirkulasi sebanyak
kurang dari 50% nilai normal akan menyebabkan perdarahan. (Kee,
2008).
2. Anestesi Spinal pada Total Abdominal Histerektomi dengan Mola
Hidatidosa

20
Pada pembedahan histerektomi, dapat digunakan teknik anestesi
regional maupun general. Anestesi regional berupa Sub Araknoid Spinal
Block (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh bagian bawah, seperti
ekstrimitas bawah, perineum maupun abadomen bagian bawah. Prinsip yang
digunakan adalah menggunakan obat analgetik local untuk menghambat
hantaran saraf sensorik sementara (reversible). Fungsi motoric juga
terhambat sebagian, sehingga pasien tetap sadar. Kemudahan teknik ini
adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek
minimal pada biokimia darah, pasien tetap sadar selama operasi dan
menjaga jalan napas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan
analgesia yang minimal. Resiko akibat anestesi regional dapat berupa nyeri
kepala post pungsi lumbal (Post Lumbar Puncture Headache/PLPH),
tekanan darah turun, reaksi alergi maupun cidera saraf.

2. Durante Operasi
Pada pasien ini dilakukan pembiusan menggunakan teknik anestesi
spinal dengan Bunascan Spinal (Bupivakain HCl) sebanyak 20 mg.
Anestesi lokal amino amida ini menstabilisasi membran neuron dengan
menginhibisi perubahan ionik terus menerus yang diperlukan untuk
memulai dan menghantarkan impuls. Kemajuan anastesi berhubungan
dengan diameter, mielinisasi, dan kecepatan hantaran dari serat saraf
yang terkena dengan urutan kehilangan fungsi sebagai berikut: (1)
otonomik (2) nyeri (3) suhu (4) raba (5) propiosepsi dan (6) tonus otot
skeletal.
Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi
spinal dan kejadiannya kurang lebih hampir 25%. Adapun penyebab
mual muntah pada anestesi spinal antara lain adalah penurunan tekanan
darah/hipotensi, hipoksia, kecemasan atau faktor psikologis, peningkatan
aktivitas parasimpatis dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol
simpatetik gastrointestinal. Dosis dewasa intravena yang
direkomendasikan untuk ondansetron sebagai pencegahan mual muntah

21
perioperatif adalah 4 mg yang dapat diberikan sebelum induksi anestesi
atau pada akhir operasi. Mual muntah post operatif juga dapat diterapi
dengan pemberian dosis 4 mg, yang dapat diulangi sesuai kebutuhan
setiap 4 – 8 jam.
Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 500 ml untuk
mengganti defisit cairan puasa sebelum pembedahan dan kehilangan
cairan selama pembedahan. Terapi cairan durante operasi dijabarkan
sebagai berikut :
Usia : 46 tahun
Berat badan : 50 kg
Terapi Cairan :
M (Maintenance)
2 ml/ kgBB/ jam  2 ml/ 50 kg/ jam 100 ml / jam
O (Operasi)
Karena operasi ini termasuk operasi sedang, maka kebutuhan cairannya adalah:
2 ml x kgBB  4 ml x 50 kg 100 ml
P (Puasa)
Karena pasien puasa selama 8 jam, maka kebutuhan cairannya adalah:
Lama puasa x M 8 x 100ml 800 ml
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama M+O+½P  (100 + 200 + 400) ml = 700 ml

Sebelum akhir pembedahan pasien diberikan ketorolac 30 mg


iv, diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri
akut sedang sampai berat setelah prosedur pembedahan. Ketorolac
adalah anti inflamasi non steroid dengan durasi kerja sedang dengan
waktu paruh 4-6 jam sehingga digunakan sebagai analgesik dalam
penggunaan intravena bukan sebagai anti inflamasi. Obat ini mempunyai
efektiftas analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik
untuk menggantikan morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah

22
operasi. Kebanyakan diberikan secara intramuskular dan intravena,
tetapi terdapat juga dalam bentuk obat oral.

3. Post operatif
Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).
Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan
spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah
selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 120/80 mmHg.

23
BAB 5
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini, pasien Ny. S dengan diagnosis Mola Hidatidosa, dilakukan
tindakan Total Abdominal Histerektomi.
2. Pasien dilakukan anestesi dengan teknik anestesi spinal menggunakan
bupivacain spinal 20mg. Ketrolorac 30mg diberikan beberapa menit
sebelum pembedahan selesai untuk memberikan efek analgetik.
3. Cairan yang diberikan selama operasi adalah Ringer Laktat sebanyak 500
ml
4. Lama operasi pada pasien ini adalah 1 jam. Pasien kemudian dibawa ke
ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas
dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran
composmentis.

24
DAFTAR PUSTAKA

Biyani, Ghansham; Shaddiq Mohammed; Pradeep Bathia. 2013.

Anesthetic Challenges in Molar Pregnancy. New Delhi: Department of

Anesthesiology SN Medical College.

Celeski, Daniel; Jerry Mico, Linda Walters. 2001. Anesthetic Implication

of Molar Pregnancy. AANA Journal : Okinawa. Diakses pada 2 Januari 2014.

Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF et al. Williams Obstetrics, 20th

ed. Philadelphia : Appleton and Lange, 1997 : 948.

Khanna, Punnet; Anil Kumar; Maya Dehran. 2012. Gestational

trophoblastic disease with hyperthyroidism : Anesthetic Management. Journal of

Obstetric Anesthesia and Clinical Care.Department of Anesthesia andIntensive

Care, All India Institute of Medical Sciences : New Delhi.

Edlin, 2010. Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache

Setelah Anestesia Spinal dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre. Thesis.

Universitas Sumatera Utara

Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R., 2001. Anestesiologi. Jakarta:

FK UI

25
Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Dalam: Review

article American Society of Anesthesiologist. Anesthesiology. 2001; 94 (5): 888-

906.

Morgan GE. Clinical Anesthesiology: 44th Edition.

Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik

lokal dan anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.

Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal.

Dalam: Jurnal Anestesiologi Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi intensif

FK UNDIP/RSUP Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59.

Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK

Universitas Diponegoro.

Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang

Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin

Terjadi. Jurnal Anestsiologi Indonesia

26

Anda mungkin juga menyukai