Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT

General Anestesi pada Tindakan VP Shunt


Et Causa Hidrosefalus + Metastasis Cerebellum

Pembimbing:
dr. Robby Al Amin, Sp. An
Disusun oleh:
Johannes Rafael Oloan – 2165050054

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD PASAR MINGGU
PERIODE 13 MARET – 14 APRIL 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

GENERAL ANESTESI PADA TINDAKAN VP SHUNT ET CAUSA


HIDROSEFALUS + METASTASIS CEREBELLUM

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan


Klinik Departemen Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Disusun oleh:
Johannes Rafael Oloan
2165050054

Telah disetujui oleh Pembimbing


Jakarta, 8 April 2023

dr. Robby Al Amin, Sp.An


BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
Identitas Pasien 
● Nama : Ny. AR
● Umur : 43 tahun 
● Jenis Kelamin : Perempuan
● Agama : Islam
● Status Pernikahan : Sudah Menikah 
● Pekerjaan : Wiraswasta 
● Pendidikan Terakhir: SMA 
II. Anamnesis 
∙ A (Alergy) 
Pasien mengaku memiliki alergi makanan terhadap ikan, alergi obat (-), riwayat asma
(-)
∙ M (Medication) 
Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat apapun 
∙ P (Past Medical History) 
Pasien rutin berobat ke RS polri dengan dx: Ca Mammae dexra post mastektomi Okt
2022, post neoadjuvant kemoterapi
∙ L (Last Meal) 
Pasien terakhir makan nasi dengan lauk
∙ E (Elicit History) 
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala hebat sejak 1 minggu terakhir.
Pingsan sekitar 15 menit. kejang (-) pelo (-) lemah satu sisi (-). Pasien muntah2 (+)
sejak 3 hari, hari ini muntah 6 kali. demam (-) batuk pilek (-) nyeri di tulang2 (-),
BAB cair (-).
III. Keluhan Utama
Nyeri kepala hebat sejak 1 minggu terakhir, mual dan muntah sejak 3 hari SMRS,
penurunan Kesadaran sejak 3 jam SMRS
IV. Riwayat Penyakit Sekarang 
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala hebat sejak 1 minggu terakhir. Nyeri
terasa cenut2, kadang berputar. Sebelumnya nyeri kepala hilang timbul sejak 6 bulan terakhir.
Menurut keluarga pasien sempat pingsan pk 10.00 pagi secara mendadak, sedang ngobrol
pasien langsung tidak sadar, dipanggil tidak respon. Pingsan sekitar 15 menit.
Pasien muntah- muntah (+) sejak 3 hari, hari ini muntah 6 kali isi cairan kuning dan
makanan. Pasien cenderung menutup mata karena nyeri. Masih bisa diajak komunikasi dan
mengikuti perintah.. Dua minggu yang lalu pasien merasa makin memberat kondisinya,
awalnya masih bisa berjalan saat ini hanya tiduran. Pasien rutin berobat ke RSPM untuk
radioterapi. Demam (-), batuk pilek (-), nyeri di tulang2 (-), kejang (-) pelo (-) lemah satu sisi
(-), BAB cair (-)
Anamnesis Sistemik 
o Neuro: Kelemahan separuh badan (-), nyeri pada punggung (-), bicara pelo (-) 
o Kardio: Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-) 
o Pulmo: sesak nafas (-), batuk lama (-) 
o Abdomen: Distensi (-), nyeri tekan (-), Diare (-), Kembung (-), Konstipasi (-), 
o Urologi: Nyeri berkemih (-), sulit berkemih (-), nyeri suprapubik (-) nyeri  ketuk
CVA (-) 
o Muskulo: Nyeri otot (-)  
VI. Riwayat Penyakit Dahulu 
o Riwayat alergi : alergi ikan
o Riwayat asma : Disangkal 
o Riwayat hipertensi : Disangkal 
o Riwayat diabetes : Disangkal 
o Riwayat penyakit jantung : Disangkal 
o Riwayat pengobatan TB : Disangkal
o Riwayat keganasan : Ca mammae dextra post mastektomi Oktober 2022
VII. Riwayat Penyakit Keluarga 
o Riwayat alergi : Disangkal 
o Riwayat asma : Disangkal 
o Riwayat hipertensi : Disangkal 
o Riwayat diabetes : Disangkal 
o Riwayat penyakit jantung : Disangkal 
VIII. Riwayat Operasi dan Anestesi 
Pasien sudah pernah mastektomi pada bulan Oktober 2022 dengan anestesi umum 
IX. Pemeriksaan Fisik 

A.) Pemeriksaan Fisik Status Generalis 


▪ Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang 
▪ Kesadaran : Composmentis Lemah 
▪ GCS : 14 (E3M6V5) 
▪ Vital Sign : TD: 110/90 mmHg ; N: 98x/menit; RR: 22x/menit;T: 36 C,
SpO2:  98% (Room Air) 
▪ Kepala : Normocephali 
▪ Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, hiperemis -/-
▪Hidung : Septum deviasi (-) dispneu (-), pernapasan cuping hidung(-)
▪ Leher : peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar limfe (-) 
▪ Thorax 
Paru 
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada retraksi sela iga
Palpasi : VF simetris kanan dan kiri 
Perkusi : Sonor/sonor 
Auskultasi : Bunyi Nafas Dasar vesikuler, Wheezing(-/-), Rhonki (-/-) 
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat 
Palpasi : Ictus cordis teraba ICS 5 
Perkusi : Batas jantung kanan dan kiri normal 
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, Murmur (-), Gallop (-) 
▪ Abdomen  
Inspeksi : Perut tampak mendatar, bejolan/masa (-) 
Auskultasi : BU (+) 5 kali/menit 
Palpasi : Tidak ada Nyeri tekan , turgor baik, hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani, Tidak nyeri  
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema ekstremitas -/-/-/-, nyeri (-) 
B.) Pemeriksaan Fisik Status Neurologis
Status neurologis:
Pupil Bulat Isokor d 3mm/3mm
Refllex cahaya langsung : +/+
Reflex cahaya tidak langsung : +/+
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku Kuduk (-)
Laseq >70 / >70
Kerniq >135 / >135
Nervus Kranialis : paresis (-)
Motorik : 4444/4444, 4444/4444
Reflex fisiologis : Biceps +2/+2
Triceps +2/+2, Patella +2/+2, Achilles +2/+2
Reflex Patologis : Babinsky Group (-)
Sensorik : hemihipestesi (-)
Otonom : Retensio uri (-)
Retensio alvi (-)
X. Pemeriksaan Penunjang 
Hasil Lab IGD:
. Hemoglobin: 14.2 g/dL 11.7 - 15.5 |
. Hematokrit: 42 % 35 - 47 |
. Leukosit: 6.5 10^3/uL 3.6 - 11.0 |
. Trombosit: 231 10^3/uL 150 - 440 |
. Eritrosit: 4.84 10^6/uL 3.80 - 5.20 |
. RDW: 13.7 %
. MCV: 86 fl 80 - 100 |
. MCH: 29 pg 26 - 34 |
. MCHC: 34 g/dL 32 - 36 |
. Basofil: 0.0 % 0.0 - 1.0
. Eosinofil: 0.0 % L 2.0 - 4.0
. Neutrofil Batang: 3.0 % 3.0 - 5.0
. Segmen: 77.0 % H 50.0 - 70.0
. Limfosit: 16.0 % L 25.0 - 40.0
. Monosit: 4.0 % 2.0 - 8.0
. NLR: 5.00 H <3.12
. LED: 59 mm/jam H 0 - 20

. SGOT: 57 U/L H <35


. SGPT: 29 U/L <35

. Glukosa Darah Sewaktu: 73 mg/dL 70 - 180


. Ureum: 22 mg/dl <48
. Kreatinin: 0.85 mg/dL 0.60 - 1.10

. Natrium: 141 mEq/L 135 - 147


. Kalium: 4.30 mEq/L 3.50 - 5.00
. Chlorida: 101 mEq/L 95 – 105

Hasil Pemeriksaan Radiologi:


- Ro thoraks di RS Polri (15/3/23) kesan: bronkopneumonia dd dengan multiple nodul
- Hasil CT Scan Kepala Tanpa kontras (30/03/23): kesan: Massa isodens pada
cerebellum susp glioma, Hidrocephalus non comunicans
Hasil PA mamme sinitra di RS Polri tgl 15/3/23:
malignancy, mengarah pada karsinoma
XI. Diagnosis
vertigo vestibula sentral ec SOL IK dd/ metastasis
Hidrosefalus + Metastasis cerebellum
Ca Mammae post Radioterapi
XII. Tatalaksana
Pro Pemasangan VP Shunt

XIII. Konsul Anestesi


Seorang wanita usia 43 tahun datang dengan diagnosis Hidrosefalus + Tumor Cerebellum
Kegawatan bedah : Resiko DOT baik intra Operasi maupun pasca operasi
Derajat ASA: III
Rencana Tindakan Anestesi : General Anestesi
XIV. Laporan Anestesi
Nama: Ny. AR
Usia: 43 Tahun
Diagnosis Pra-bedah : Hidrosefalus + Metastasis Cerebellum
Tindakan bedah : Pemasangan VP Shunt
Jenis Tindakan Anestesi : General Anestesi

1. Rencana Anestesi
a) Persetujuan operasi tertulis (+)
b) Puasa 6 jam sebelum operasi (+)
c) Premedikasi di ruang OK

2. Jenis Anesthesi
a) General Anestesi
∙ Pra-Induksi
∙ Induksi
. Posisi : Supine
a. Lokasi Infus : Tangan Kiri
b. Intra operatif :
1. Miloz 2 mg
2. Fentanyl 50 mcg
3. Propofol 100 mg
4. Roculax 30mg
5. Sevofluran 2%
6. oksigen 3 lpm
∙ Cairan
Input : a. pra tindakan : RL 100 cc
b. durante Tindakan : RL 400 cc
Output : Urin 50 cc, Darah 10 cc

3. Monitoring
Vital sign selama operasi setiap 5 menit, cairan, perdarahan, dan produksi urin.
Instruksi Pasca Anestesi:
∙ Perawatan pasca anestesi di ICU untuk observasi kesadaran
∙ OMZ I/ 12 jam
∙ Ondancentron 8mg / 8 jam
∙ Diet cair 6 x 100ml
∙ Cek GDS/ 8 jam
∙ Oksigenasi 3 lpm nasale canule
∙ 1 hari post OP cek H2TL, elektrolit

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tumor Cerebellum
II.1.1. Definisi Tumor Cerebellum
Tumor serebelar adalah neoplasma jinak atau ganas yang terlokalisasi di otak kecil. Ini bisa
bersifat primer dan sekunder (metastasis). Tumor serebelar dimanifestasikan oleh gejala
variabel, yang termasuk dalam 3 kelompok utama: otak, serebelum, dan batang. Diagnosis
didasarkan pada hasil pencitraan resonansi magnetik struktur otak. Verifikasi akhir diagnosis
dilakukan hanya sesuai dengan pemeriksaan histologis jaringan tumor. Perawatan bedah
terdiri dari pengangkatan formasi yang paling radikal, pemulihan sirkulasi cairan
serebrospinal dan penghapusan kompresi batang otak.
Neoplasma otak kecil menyumbang sekitar 30% dari semua tumor otak. Analisis histologis
modern telah memungkinkan untuk mengidentifikasi lebih dari 100 spesies morfologis dari
formasi ini. Namun, data umum yang dikumpulkan oleh praktisi yang mengkhususkan diri
dalam neurologi, bedah saraf dan onkologi menunjukkan bahwa dalam 70% kasus, glioma
adalah tumor otak kecil. Pembentukan tumor otak kecil dapat terjadi pada usia berapa pun.
Beberapa jenis neoplasma (misalnya, medulloblastoma) terjadi terutama pada anak-anak,
yang lain (hemangioblastoma, astrocytomas) – pada orang paruh baya, dan lain-lain
(glioblastoma, tumor metastasis) – pada orang tua. dan efek bahan kimia karsinogenik pada
tubuh. Risiko neoplasma meningkat pada individu immunocompromised (terinfeksi HIV,
menerima terapi imunosupresif, dll.).
II.1.2. Etiologi dan Patogenesis
Faktor etiologi yang memicu pertumbuhan formasi tumor tidak diketahui secara pasti.
Tercatat bahwa pada sekitar sepersepuluh pasien, tumor serebelar ditentukan secara turun-
temurun dan termasuk dalam klinik neurofibromatosis Recklinghausen. Peran penting dalam
inisiasi proses tumor ditugaskan untuk radiasi radioaktif, efek virus onkogenik (beberapa
jenis adenovirus, virus herpes, human papillomavirus, dll.)
Mekanisme patogenetik yang menyertai tumor serebelar diimplementasikan dalam tiga arah
utama:
1. ada kerusakan pada jaringan serebelar yang terkait dengan kompresi mereka
dengan menumbuhkan pembentukan tumor dan kematian. Secara klinis, ini
dimanifestasikan oleh gejala serebelar fokal.
2.Kedua, tumor otak kecil dalam proses pertumbuhannya mengisi rongga ventrikel IV
dan mulai menekan batang otak, yang dimanifestasikan oleh gejala batang dan
gangguan fungsi saraf kranial (CN).
3.Mekanisme ketiga menyebabkan perkembangan gejala otak, hal ini terkait dengan
peningkatan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tajam
dalam tekanan di fossa kranial posterior menyebabkan penurunan amandel otak kecil
dan pelanggarannya pada foramen oksipital besar. Pada saat yang sama, bagian bawah
medula oblongata terjepit di antara otak kecil dan tulang foramen oksipital, kompresi
struktur yang terlokalisasi di dalamnya menyebabkan gangguan bulbar yang parah,
gangguan jantung dan pernapasan
II.1.3. Klasifikasi
Seperti neoplasma lokalisasi lainnya, proses tumor otak kecil dibagi menjadi jinak dan ganas.
Dari formasi jinak di otak kecil, hemangioblastoma dan astrositoma yang tumbuh secara
lokal dengan pertumbuhan infiltratif paling sering diamati. Seringkali tumor ini memberikan
transformasi kistik dan merupakan simpul kecil dengan rongga kistik besar yang terletak di
dekatnya. Tumor ganas yang paling umum dari otak kecil pada anak-anak adalah
medulloblastoma, ditandai dengan pertumbuhan yang sangat intens dan menyebar ke seluruh
ruang subarachnoid. Tempat kedua dalam prevalensi milik sarkoma serebelar.
Sesuai dengan asal-usul neoplasma serebelum, mereka dibagi menjadi 2 kelompok besar -
tumor primer dan sekunder. Tumor primer otak kecil berasal langsung dari sel-selnya,
menjadi hasil dari metaplasia tumor mereka. Tumor sekunder otak kecil memiliki asal
metastasis, dapat diamati pada kanker payudara, tumor paru-paru ganas, kanker tiroid,
keganasan gastrointestinal, Tumor primer dapat memiliki karakter jinak dan ganas. Tumor
sekunder selalu ganas.
II.1.4. Manifestasi Klinis
Klinik proses tumor otak kecil terdiri dari gejala serebral dan serebelar umum, serta tanda-
tanda kerusakan pada batang otak. Seringkali gejala dari 3 kelompok ini terjadi secara
bersamaan. Dalam beberapa kasus, penyakit ini memanifestasikan dirinya dengan munculnya
gejala hanya satu kelompok. Sebagai contoh, tumor otak kecil yang terlokalisasi dalam
cacingnya biasanya mulai bermanifestasi dengan gejala otak umum, dan kerusakan pada
jaringan otak kecil dapat dikompensasi untuk waktu yang lama dan tidak memberikan
manifestasi klinis apa pun. Kadang-kadang gejala pertama adalah tanda-tanda kompresi
batang atau kerusakan pada saraf kranial.
Gejala serebelar (fokal) yang sebenarnya bervariasi tergantung pada lokasi neoplasma.
Sindrom klinis utama adalah ataksia serebelar. Ketika cacing terpengaruh, itu
dimanifestasikan oleh gangguan gaya berjalan dan ketidakstabilan. Pasien berjalan,
terhuyung-huyung dan tersandung, merentangkan kakinya lebar-lebar atau menyeimbangkan
dengan tangannya agar tidak jatuh, ia bisa "melayang" secara bergantian. Biasanya, kehadiran
nistagmus - gerakan bola mata yang tidak disengaja. Ketika belahan otak kecil terpengaruh
secara homolateral (di sisi lesi), koordinasi dan proporsionalitas gerakan terganggu. Ada yang
terlewatkan saat melakukan tes jari-hidung dan tumit lutut, dismetri, tremor yang disengaja,
perubahan tulisan tangan menjadi besar dan menyapu.

II.1.5. Diagnosis
Pemeriksaan ahli saraf terhadap pasien tidak selalu menunjukkan tumor otak kecil, karena
tanda-tanda serebelar spesifik mungkin tidak ada. Pencarian diagnostik lebih lanjut
memerlukan koneksi metode neuroimaging: CT atau MRI otak. Mereka memungkinkan tidak
hanya untuk mengidentifikasi neoplasma, tetapi juga untuk menentukan ukuran dan
lokasinya, yang diperlukan untuk merencanakan perawatan bedah. Dalam beberapa kasus,
khususnya, jika sifat vaskular tumor dicurigai, angiografi resonansi magnetik serebral juga
dilakukan.
II.1.6. Tatalaksana
Metode utama pengobatan adalah pembedahan. Pertanyaan tentang kemanfaatan dan ruang
lingkup intervensi bedah diputuskan oleh ahli bedah saraf. Pengangkatan tumor secara radikal
optimal. Namun, ini tidak selalu memungkinkan karena perkecambahan formasi menjadi
struktur anatomi yang kompleks, ventrikel IV. Dalam kasus seperti itu, tujuan operasi adalah
untuk mengangkat jaringan tumor sebanyak mungkin dan mengembalikan sirkulasi cairan
serebrospinal normal. Dalam beberapa kasus, operasi bypass digunakan untuk mengurangi
hidrosefalus. Dengan perkembangan hidrosefalus yang tajam dengan peningkatan gejala
batang, tusukan ventrikel otak dan drainase ventrikel eksternal diindikasikan.
Pengangkatan tumor selalu disertai dengan analisis histologis jaringannya. Menentukan
tingkat keganasan neoplasma sangat penting untuk taktik pengobatan selanjutnya. Perawatan
bedah tumor ganas biasanya dikombinasikan dengan radiasi dan kemoterapi.

II.2. Hidosefalus 
II.2.1. Definisi Hidosefalus 
Hidrosefalus adalah pembesaran ventrikulus otak sebagai akibat peningkatan jumlah
cairan serebrospinal (CSS) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi,
sirkulasi dan absorbsinya. Kondisi ini juga bisa disebut sebagai gangguan hidrodinamik
CSS.Kondisi seperti cerebral atrofi juga mengakibatkan peningkatan abnormal CSS dalam
susunan saraf pusat (SSP).  Dalam situasi ini, hilangnya jaringan otak meninggalkan ruang
kosong yang dipenuhi secara pasif  dengan CSS. Kondisi seperti itu bukan hasil dari
gangguan hidrodinamik dan dengan demikian  tidak diklasifikasikan sebagai hidrochefalus.
II.2.2. Klasifikasi Hidrosefalus 
Hidrosefalus dapat dikelompokkan berdasarkan dua kriteria besar yaitu secara patologi dan
secara  etiologi. Hidrosefalus Patologi dapat dikelompokkan sebagai 
1) Obstruktif (non-communicating) - terjadi akibat penyumbatan sirkulasi CSS yang
disebabkan  oleh kista, tumor, pendarahan, infeksi, cacat bawaan dan paling umum, stenosis
aqueductal atau  penyumbatan saluran otak.  
2) Non – obstruktif (communicating) - dapat disebabkan oleh gangguan keseimbangan CSS,
dan  juga oleh komplikasi setelah infeksi atau komplikasi hemoragik. 
II.2.3. Etiologi Hidrosefalus 
Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang normal akan
menyebabkan  terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi, misalnya
terlihat pelebaran  ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis.
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak yaitu kelainan
bawaan, infeksi, neoplasmadan  perdarahan.
1) Infeksi - Timbul perlekatan menings sehingga terjadi obliterasi ruang subarachnoid.
Pelebaran  ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu
oleh obstruksi  mekanik eksudat purulen di akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis.
Pembesaran kepala dapat  terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh
dari meningitisnya. Secara  patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid
sekitar sisterna basalis dan daerah  lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan
meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan
interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta lokasinya  lebih tersebar.
2) Neoplasma - hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran
CSS.  Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan penyumbatan ventrikel IV dan
akuaduktus Sylvius bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum,
sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu
kraniofaringioma.
3) Perdarahan - perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat menyebabkan
fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat
organisasi dari darah itu sendiri.
II.2.4. Diagnosis 
1) Pemeriksaan funduskopi - Evaluasi funduskopi dapat mengungkapkan papilledema
bilateral ketika tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan mungkin normal, namun,
dengan hidrosefalus akut dapat memberikan penilaian palsu.
2) Foto polos kepala lateral – tampak kepala membesar dengan disproporsi kraniofasial,
tulang  menipis dan sutura melebar.  
3) Pemeriksaan cairan serebrospinal – dilakukan pungsi ventrikel melalui foramen
frontanel mayor. Dapat menunjukkan tanda peradangan dan perdarahan baru atau lama. Juga
dapat  menentukan tekanan ventrikel.
4) CT scan kepala - Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi penyebab dengan
modalitas ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan mudah. CT scan kepala dapat memberi
gambaran hidrosefalus, edema serebral, atau lesi massa seperti kista koloid dari ventrikel
ketiga atau thalamic atau pontine tumor.CT scan wajib bila ada kecurigaan proses neurologis
akut. 
II.2.5. Penatalaksanaan 
1) Terapi konservatif medikamentosa - untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya 
mengurangi sekresi cairan dan pleksus choroid (asetazolamit 100 mg/kgBB/hari; furosemid 
1,2 mg/kgBB/hari) atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid). Terapi diatas
hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi defenitif diterapkan atau bila ada harapan 
kemungkinan pulihnya gangguan hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif 
untuk pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya gangguan  metabolik.
2) Ventriculoperitoneal shunting - Cara yang paling umum untuk mengobati hidrosefalus. 
Dalam ventriculoperitoneal (VP) shunting, tube dimasukkan melalui lubang kecil di
tengkorak ke dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan serebrospinal (CSF). Tube
ini terhubung ke tube lain yang berjalan di bawah kulit sampai ke perut, di mana ia memasuki
rongga perut (rongga peritoneal). Shunt memungkinkan CSS mengalir keluar dari ventrikel
dan ke rongga perut di mana ia diserap. Biasanya, katup dalam sistem  membantu mengatur
aliran cairan.
3) Terapi etiologi - Merupakan strategi penanganan terbaik; seperti antara lain; pengontrolan 
kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu 
aliran liquor, pembersihan sisa darah dalam liquor atau perbaikan suatu malformasi. Pada
beberapa kasus diharuskan untuk melakukan terapi sementara terlebih dahulu sebelum 
diketahui secara pasti lesi penyebab; atau masih memerlukan tindakan operasi shunting 
karena kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau mengalami gangguan aliran liquor 
skunder.
II.3 General Anestesi 
Definisi  
Anestesi umum / General Anesthesia (GA) adalah keadaan tidak sadar yang diinduksi secara 
farmakologis. Anestesi umum didefinisikan oleh American Society of Anesthesiologists
(ASA)  sebagai hilangnya kesadaran akibat obat di mana pasien tidak dapat terangsang,
bahkan oleh  rangsangan yang menyakitkan. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias
anestesia, yaitu: 
● Hipnotik (tidur) 
● Analgesia (bebas dari nyeri) 
● Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot) 
Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum 
Keuntungan 
∙ Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung. ∙ Efek
amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapatkan akibat ansietas dan  berbagai
kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis. ∙ Memungkinkan
dilakukannya prosedur yang memakan waktu yang lama.
∙ Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien. 
Kerugian 
∙ Sangat memengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul di  bawah
anesthesia umum. 
∙ Memerlukan pemantaun yang lebih holistik dan rumit. 
∙ Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan  kesadaran. 
∙ Risiko komplikasi pascabedah lebih besar. 
∙ Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama. 
Indikasi Anestesi Umum 
1.Anak-anak yang masih terlalu kecil umurnya sehingga tidak kooperatif 2.Lancing
abscesses 
3.Ekstraksi gigi pada tahap awal infeksi supuratif 
4.Multiple, esktraksi tanpa komplikasi 
5.Orang dewasa yang mempunyai rasa takut abnormal terhadap jarum  
Kontraindikasi Anestesi Umum 
Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi: 
∙ Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total (tidak ada 
gelombang P). 
∙ Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik>110 mmHg), diabetes melitus  tidak
terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut. 
Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan anestesi umum sebab 
akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT (death on the table) meninggal di meja 
operasi atau selain itu. Kemudian kontraindikasi relatif ialah pada saat itu tidak bisa
dilakukan 
anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga stabil mungkin baru bisa 
diberikan anestesi umum. 
.  
Tahapan Tindakan Anestesi Umum 
a. Premedikasi 
Preoperative Evaluation 
Penilaian prabedah mencakup : 
1. Anamnesis  
● Menanyakan riwayat operasi dan anestesi sebelumnya untuk mengetahui apakah ada hal
hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal
gatal atau sesak nafas pasca bedah 
● Menanyakan riwayat penyakit seperti penyakit jantung atau pernapasan serta riwayat 
penyakit medis utama lainnya, dulu atau sekarang. Penyakit hati atau ginjal dapat  berdampak
pada metabolisme dan ekskresi agen anestesi, keseimbangan cairan dan status  koagulasi.
Pengobatan pasien ditinjau termasuk riwayat reaksi obat yang merugikan 
2. Pemeriksaan Fisik 
▪ Pemeriksaan tanda-tanda vital untuk mendeteksi kondisi yang tidak stabil dan berpotensi 
reversibel seperti gagal jantung kongestif atau bronkospasme, pemeriksaan sistem  mencakup
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi, menilai patensi jalan nafas untuk  memperkirakan
kemudahan intubasi. Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah  relatif besar, leher
pendek dan kaku akan menyulitkan laringoskopi intubasi.  Menidentifikasi risiko operasi
sesuai dengan klasifikasi ASA (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi ASA 


3. Pemeriksaan Penunjang 
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang 
sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, 
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada 
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks 
4. Status NPO 
Induksi anestesi menghilangkan refleks laring normal yang mencegah aspirasi jalan nafas. 
Karena sekresi lambung, empedu dan pankreas (yang ada walaupun selama puasa). NPO (nil 
per os) menunjukkan pembatasan asupan oral untuk jangka waktu tertentu sebelum 
pembedahan, meminimalkan volume, keasaman, dan kepadatan isi lambung. Tindakan 
tersebut mengurangi risiko terjadinya aspirasi.  
Untuk operasi elektif, pasien tidak boleh makan makanan padat selama 8 jam sebelum 
anestesi. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa waktu asupan cairan terakhir hanya 
sedikit berhubungan dengan volume isi lambung yang ada saat induksi anestesi. Dengan 
demikian, sebagian besar institusi mengizinkan asupan cairan bening tanpa batas hingga 2-4 
jam sebelum operasi terjadwal.  
Penting untuk diketahui bahwa beberapa pasien tetap berisiko mengalami aspirasi  meskipun
NPO telah diterapkan secara ketat pedoman (Tabel 2). Tindakan dapat diambil  untuk
mengurangi risiko sindrom aspirasi. Pertama, pramedikasi dapat diberikan untuk 
meningkatkan motilitas lambung (metoklopromida) atau untuk menurunkan keasaman 
lambung (ranitidin atau natrium sitrat). Risiko juga dapat dikurangi melalui pengelolaan
jalan  napas yang cermat yang mungkin mencakup penggunaan Manuver Sellick sendiri atau
sebagai bagian dari induksi urutan cepat. 
Tabel 2. Faktor risiko terjadinya aspirasi  

c. Premedikasi 
Premedikasi dapat mencakup obat-obatan yang diminum pasien secara rutin serta obat obatan
yang mungkin diresepkan khusus untuk periode praoperasi. Secara umum, pasien harus 
diberikan obat biasa pada pagi hari sebelum operasi dengan seteguk air. Sangat penting bagi 
pasien untuk menerima obat jantung dan antihipertensi yang biasa sebelum operasi.
Penghentian  beta-blocker, penghambat saluran kalsium, nitrat atau agonis alfa-2 (clonidine)
dapat  menyebabkan hipertensi atau angina rebound. Demikian pula, sebagian besar obat
yang  diminum untuk penyakit kronis harus dilanjutkan pada pagi hari pembedahan serta
selama  periode perioperatif. Ini sangat penting untuk sebagian besar antidepresan,
penggantian tiroid  dan antikonvulsan. 
Ada obat-obatan tertentu yang mungkin perlu dihentikan dalam periode pra-operasi. 
Contohnya termasuk penghambat oksidase monoamine dan antikoagulan. Pasien yang 
menggunakan inhibitor trombosit seperti aspirin merupakan kelompok pasien khusus yang
harus  dipertimbangkan secara individual sehingga risiko penghentian aspirin dibandingkan
dengan  risiko perdarahan di tempat pembedahan.  
Beberapa obat diberikan khusus untuk periode praoperasi. Contohnya termasuk anxiolytics, 
antibiotik, bronkodilator, obat anti-anginal dan anti-emetik. Untuk sebagian besar jenis 
pembedahan, antibiotik dipesan sebelum pembedahan untuk mengurangi insiden infeksi
luka.  Antibiotik juga dapat dipesan untuk mengurangi risiko endokarditis bakterial pada
pasien  berisiko meskipun rekomendasi saat ini dari American Heart Association jauh lebih
ketat  daripada sebelumnya.

Fase Anestesi  
Setelah pasien diperiksa, peralatan dan obat-obatan disiapkan dan teknik anestesi ditentukan, 
dapat dilanjutkan dengan pemberian anestesi. Anestesi umum terdiri dari empat fase:
induksi,  pemeliharaan, kemunculan, dan pemulihan. 
a) Induksi 
Tujuan dari fase induksi anestesi adalah untuk menyebabkan ketidaksadaran dengan cara
yang  nyaman, cepat, dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Jika rencana anestesi
meliputi  kontrol jalan nafas dan ventilasi maka fase induksi juga bertujuan untuk mencapai
relaksasi otot  untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. 
Anestesi dapat diinduksi dengan meminta pasien menghirup peningkatan konsentrasi gas
yang  dihirup dengan masker. Meskipun ada pengaturan di mana ini adalah teknik yang
diinginkan, ini  cenderung lambat dan tidak nyaman. Lebih umum, anestesi diinduksi dengan
agen intravena  shortacting seperti propofol, ketamin, thiopental atau etomidate, diikuti oleh
relaksan otot jika  diindikasikan.  
Pada pasien yang dianggap berisiko tinggi untuk aspirasi, waktu antara menginduksi anestesi 
dan mengamankan jalan nafas dengan pipa endotrakeal harus diminimalkan. Teknik seperti
itu  disebut "induksi urutan cepat". 
Induksi urutan cepat dilakukan sebagai berikut: 
1. Peralatan suction diperiksa dan selalu tersedia. 
2. Preoksigenasi pasien dengan oksigen 100% selama 3-5 menit. 
3. Penerapan tekanan krikoid (manuver Sellick) oleh asisten. 
4. Induksi dengan dosis awal agen induksi diikuti segera dengan intubasi dosis relaksan otot 
depolarisasi (suksinilkolin). Agen nondepolarisasi yang bekerja cepat (misalnya rocuronium) 
biasanya digunakan dalam induksi urutan cepat yang "dimodifikasi". 
5. Intubasi trakea, pemompaan manset dan verifikasi posisi tabung yang tepat.
Tujuan preoksigenasi adalah untuk mengurangi risiko hipoksemia yang terjadi selama
periode  apnea setelah induksi. Meskipun preoksigenasi meningkatkan PO2 arteri pasien
sebelum induksi,  efek terpentingnya adalah denitrogenasi kapasitas sisa fungsional paru-
paru. Manuver Sellick  memberikan oklusi esofagus antara kartilago krikoid (tulang rawan
melingkar lengkap) dan  vertebra serviks sehingga meminimalkan risiko regurgitasi pasif. 
b) Pemeliharaan  
Jika tidak ada agen lebih lanjut yang diberikan setelah induksi anestesi, pasien akan bangun 
dalam beberapa menit. Oleh karena itu, pemeliharaan anestesi memerlukan pemberian agen 
farmakologis untuk mencapai tujuan anestesi (kurangnya kesadaran, amnesia, analgesia,
akinesia)  dan stabilitas hemodinamik selama prosedur pembedahan. Pertimbangan lebih
lanjut adalah  lamanya prosedur dan kebutuhan untuk membangunkan pasien di akhir kasus.
Fase pemeliharaan  anestesi melibatkan penggunaan agen inhalasi, opioid dan
nondepolarizing muscle relaxants  (NDMR).  
Masalah yang berhubungan dengan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC) adalah
yang  paling kritis dan dapat terjadi selama fase anestesi apa pun. Beberapa masalah yang
unik pada fase  pemeliharaan anestesi yaitu: 
- Kesadaran: mengacu pada komplikasi anestesi dimana pasien yang telah menerima anestesi 
umum menjadi sadar akan lingkungannya selama prosedur pembedahan. Pasien mungkin
atau  mungkin tidak mengalami rasa sakit dan mungkin atau mungkin tidak mengingat
kejadian  setelah operasi. Insiden kesadaran dengan ingatan diperkirakan 0,2-1,0%. Beberapa
jenis  prosedur pembedahan seperti operasi caesar, pembedahan jantung dan pembedahan
trauma  menimbulkan risiko kesadaran yang lebih tinggi karena sifat anestesi yang diberikan
untuk  prosedur tersebut. Mungkin bijaksana untuk memperingatkan pasien tentang risiko
tersebut  sebelum operasi. 
- Penentuan posisi: Pasien diposisikan untuk memfasilitasi akses bedah. Tergantung pada 
prosedurnya, pasien dapat ditempatkan dalam posisi terlentang, tengkurap, lateral, litotomi, 
jackknife, dan kidney. Sebagian besar konsekuensi dari penentuan posisi melibatkan sistem 
saraf kardiovaskular, pernapasan, dan perifer.
Kinking atau tekanan pada pembuluh utama menyebabkan penurunan aliran balik vena, 
penurunan curah jantung, dan hipotensi. Ini sangat relevan jika ketika posisi tengkurap atau 
kidney digunakan. Pada posisi setengah duduk, penyatuan vena di kaki memiliki efek serupa. 
Terkadang, pembedahan dilakukan dengan posisi duduk yang dikaitkan dengan risiko emboli 
udara vena. 
Jalan nafas bisa terhalang atau copot saat pasien dalam posisi tengkurap. Posisi tengkurap, 
trendelenburg dan litotomi dapat menyebabkan perpindahan diafragma ke atas karena 
peningkatan tekanan intra abdominal. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian ventilasi /
perfusi  dan penurunan komplians paru yang dapat bermanifestasi sebagai hipoksemia,
hiperkarbia atau  peningkatan tekanan jalan napas. 
Cedera saraf terjadi akibat kompresi pada titik-titik tekanan atau peregangan. Faktor lain
seperti  operasi berkepanjangan, hipotermia, hipotensi, obesitas dan diabetes mungkin
berperan dalam  meningkatkan risiko neuropati pasca operasi. Saraf ulnaris, karena
superfisialitasnya, berisiko  mengalami kompresi di hampir semua posisi. Padding biasanya
digunakan tetapi belum  terbukti bermanfaat. Penentuan posisi yang hati-hati mungkin paling
penting dalam hal ini.  Pleksus brakialis berisiko mengalami cedera regangan saat lengan
diculik dalam posisi  terlentang. Sudut abduksi harus dijaga di bawah 90 derajat dan kepala
harus diputar sedikit ke  arah lengan abduksi. Banyak saraf termasuk skiatika, kutaneus
femoralis lateral dan saraf  peroneal umum berisiko mengalami peregangan atau cedera
kompresi saat posisi litotomi  digunakan. Sistem organ lain mungkin rentan dalam posisi
tengkurap. Tekanan pada orbit mata  dapat menyebabkan iskemia retinal baik dengan
kompresi arteri atau gangguan aliran vena.  Rongga mata itu sendiri memberikan
perlindungan alami dan sandaran kepala yang dirancang  khusus sangat membantu.
Kewaspadaan konstan harus dipertahankan karena posisi pasien  dapat bergeser selama
anestesi. Alat kelamin pasien laki-laki harus bebas dari tekanan, serta  tekanan pada
permukaan kulit (misalnya dahi) harus diminimalkan karena pengelupasan kulit  dapat terjadi
setelah operasi yang lama pada posisi tengkurap. 
- Hipotermia: Hipotermia memiliki efek merusak pada sistem kardiovaskular, pernapasan,
saraf  pusat, hematologi, dan ginjal. Selain itu, menurunkan laju pemulihan dari efek relaksan
otot.
Panas hilang melalui empat mekanisme: 
• konveksi (mis. Paparan hembusan udara dingin) 
• konduksi (misalnya kontak dengan meja ruang operasi dingin) 
• penguapan (misalnya mukosa jalan napas, larutan preparat, keringat) 
• radiasi (misalnya gradien suhu antara pasien dan lingkungan ruang operasi) 
Selanjutnya, respon normal terhadap hipotermia (menggigil, vasokonstriksi) dihapuskan
dengan  anestesi. Prosedur yang berkepanjangan, melibatkan insisi abdomen yang besar atau
memerlukan  pemberian cairan intravena dalam jumlah besar dapat dikaitkan dengan
hipotermia yang sangat  parah. 
Kehilangan panas dapat diminimalkan dengan menjaga suhu ruang operasi setinggi yang
dapat  ditoleransi (> 21 C). Pelembab gas atau penggunaan aliran gas rendah meminimalkan
panas yang  hilang melalui penguapan saluran napas. Penghangat cairan harus digunakan
setiap kali produk  darah atau cairan intravena dalam jumlah besar diberikan.  
- Obat untuk Maintenance Anestesi 
I. Agen inhalasi  
II. Opioid 
Opioid digunakan secara intra operatif untuk memberikan analgesia, dan untuk mengurangi 
kebutuhan agen pemeliharaan lainnya. Agen intravena yang umum digunakan adalah opioid 
sintetik fentanil, sufentanil, remifentanil dan alfentanil. Durasi kerja yang lebih pendek 
memungkinkan titrasi yang lebih halus untuk memberikan analgesia yang memadai selama 
variabel, tetapi sifat stimulasi pembedahan yang intens, sambil tetap memungkinkan untuk 
terbangun di akhir prosedur.  
Dosis, onset, dan durasi 
Semua opioid relatif larut dalam lemak. Semakin besar kelarutan lemak, semakin besar pula 
potensinya. Tabel 5. merangkum farmakologi yang berguna secara klinis dari opioid yang 
paling sering digunakan dalam anestesi.

Tabel 5. Farmakologi opioid yang umum digunakan

*Persyaratan pengisian dan pemeliharaan sangat bergantung pada usia dan status pasien,
dosis  agen anestesi lain yang diberikan, dan sifat prosedur pembedahan yang dilakukan. 
Efek samping paling penting dari opioid bermanifestasi pada sistem pernapasan. Ventilasi 
menit berkurang karena penurunan laju pernapasan. Responsivitas terhadap PCO2 yang 
meningkat berkurang sehingga apnea terjadi sampai "ambang apnea" yang bergantung pada 
dosis dari PCO2 tercapai. Opioid menyebabkan mual dan muntah karena stimulasi zona 
pemicu kemoreseptor. Mereka juga menyebabkan sembelit karena penurunan motilitas GI. 
Kontraindikasi opioid tidak boleh diberikan kepada mereka yang memiliki alergi. Opioid 
intravena tidak boleh diberikan dalam kondisi yang tidak dapat mendukung ventilasi. 
Perhatian harus digunakan saat memberikan opioid pada pasien dengan syok hipovolemik 
atau kardiogenik, di mana nada simpatis yang tumpul dapat memperburuk hipotensi. 
III. Non-Depolarizing Muscle Relaxants (NDMR) 
Keputusan untuk menggunakan non-depolarizing muscle relaxants selama pemeliharaan 
anestesi bergantung pada jenis prosedur pembedahan dan jenis anestesi. Beberapa prosedur 
memerlukan relaksasi otot karena gerakan pasien akan merugikan (misalnya, bedah saraf, 
bedah mata). Dalam teknik yang seimbang, penggunaan muscle relaxant mengurangi 
kebutuhan agen lain dan memfasilitasi ventilasi mekanis. 
Dosis, onset, durasi, eliminasi dan efek 
Pilihan muscle relaxant yang akan digunakan dipengaruhi oleh kecepatan onset, durasi  kerja,
metode eliminasi, dan profil efek samping dari berbagai agen. Kecuali dalam kasus  prosedur
yang sangat singkat, NDMR digunakan untuk relaksasi selama pemeliharaan anestesi. 
NDMR yang umum digunakan adalah rocuronium dan cisatracurium. Tabel 6. menyajikan 
farmakologi yang relevan dan termasuk NDMR yang lebih tua, pancuronium yang
merupakan  agen longacting yang masih digunakan.  

Tabel 6. Dosis, onset, durasi, eliminasi, dan efek NDMR


Kontraindikasi 
Kontraindikasi utama penggunaan muscle relaxant adalah ketidakmampuan untuk 
menyediakan kontrol jalan napas dan ventilasi. Pasien yang diketahui atau dicurigai 
mengalami kesulitan intubasi atau pasien dengan obstruksi jalan nafas tidak boleh  menerima
muscle relaxant sebelum jalan nafas diamankan. 
c) Emergence 
Selama fase emergence anestesi, pasien mulai kembali ke kondisi kesadaran sebelum
operasi.  Dalam kebanyakan kasus, ahli anestesi bertujuan untuk membangunkan pasien di
akhir prosedur  operasi sebelum dipindahkan ke unit perawatan pasca anestesi (PACU).
Idealnya pasien cukup  sadar untuk mematuhi perintah dan mendukung jalan napasnya
sendiri. Paling tidak, pasien harus  memiliki ventilasi spontan yang memadai tetapi mungkin
memerlukan bantuan minimal untuk  mempertahankan patensi jalan napas. Di antara kedua
kondisi ini terletak spektrum tingkat  kesadaran yang luas.  
- Ekstubasi 
Jika pipa endotrakeal digunakan untuk menjaga jalan napas selama operasi, pipa tersebut
harus  dilepas di beberapa titik selama fase emergence anestesi. Perlu waktu yang tepat untuk 
ekstubasi, untuk menghindari potensi komplikasi pasca ekstubasi: 
• Obstruksi jalan napas 
• Aspirasi 
• Ventilasi tidak memadai  
• Spasme laring 

Jika pasien memenuhi tiga kriteria sederhana, kebanyakan komplikasi yang muncul dapat 
dihindari. Ahli anestesi harus memastikan bahwa: 
• Pasien telah mendapatkan kembali dorongan untuk bernapas. Pengimbangan efek opioid
yang  memadai diperlukan agar pasien dapat melanjutkan dan mempertahankan pernapasan
spontan. 
• Pasien memiliki kekuatan otot yang normal. Seorang pasien "lemah" tidak akan memiliki 
kekuatan yang cukup untuk menjaga lidah agar tidak jatuh ke belakang faring dan 
menyebabkan obstruksi jalan napas. Kekuatan otot juga dibutuhkan untuk mencapai volume 
tidal yang memuaskan. Kekuatan otot yang memadai diperlukan untuk refleks batuk yang 
melindungi jalan napas dari aspirasi. 
• Pasien cukup terjaga untuk mematuhi perintah. Tingkat kesadaran yang memadai
diperlukan  agar pasien dapat melindungi jalan napasnya dari aspirasi dan menghindari
spasme laring.

BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis Hidrosfealus + Metastasis Cerebellum didapatkan dari anamnesis dan hasil
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan umum pasien dan memastikan apakah
operasi dapat dilakukan. Pertimbangan dilakukannya general anestesi pada kasus ini
dikarenakan tindakan bedah yang akan dilakukan adalah Pemasangan VP Shunt
Secara umum pada pasien yang akan menjalankan tindakan pembiusan dan operasi, pada
pasien ini dianjurkan untuk berpuasa 6-8 jam sebelum tindakan, pasien tidak diijinkan untuk
mendapatkan intake oral berupa makanan maupun minuman. Hal itu bertujuan untuk
menghindarkan kejadian aspirasi benda asing khususnya isi lambung ke dalam sistem
pernapasan yang berlanjut menjadi pneumonia.
Pemberian cairan perioperative berupa RL 500 ml dengan perhitungan sebagai berikut:
Kebutuhan cairan perioperative:
- Kebutuhan cairan basal (Holiday Segar)
BB: 54 kg
10 x 4 = 40cc
10 x 2 = 20cc
34 x 1 = 34cc
Kebutuhan cairan basal = 94cc/jam
- Maintenance (M)
M = 2cc/kgBB/jam
M = 2 x 54 = 108 cc/jam
● Pengganti puasa (PP)
P = M x lama puasa
P = 108 x 6 = 648 cc
● Stress operasi (SO) Keterangan  Pemasangan VP Shunt (Operasi sedang)
O = BB x 8
O = 54 x 8 = 432 cc
Kebutuhan cairan total : 108cc + 648 cc + 432 cc = 1.188 cc

Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA 3( Pasien dengan penyakit sedang-
berat dengan penurunan fungsi) dikarenakan pasien memiliki riwayat keganasan pada
payudara. Pada pasien ini dilakukan anestesi umum. Pemilihan anestesi umum sebagai teknik
anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yaitu pembedahan yang
memerlukan waktu lama, lokasi pembedahan dan kenyamanan pasien juga dipertimbangkan.
Maka atas pertimbangan-pertimbangan diatas, memerlukan efek sedasi, efek analgesik, dan
muscle relaxant untuk mempermudah operator dalam melakukan operasi.
Pemberian Midazolam yang merupakan golongan benzodiazepin sebagai premedikasi.
Penggunaan midazolam pada kasus ini lebih digunakan sebagai sedatif preoperatif agar
pasien merasa lebih tenang sebelum dilakukan operasi, dosis yang digunakan ini masuk
dalam rentang dosis midazolam untuk sedasi, yaitu 0,01 – 0,1 mg/kgBB, sehingga dosis yang
dapat digunakan untuk pasien ini adalah 0,54 – 54 mg. Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 2-
150mcg/kgBB dapat diberikan sebagai obat induksi.
Fentanyl merupakan salah satu obat golongan opioid yang aman sebagai induksi pada pasien
dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis 50-100 mcg/kg
diberikan secara IV sebagai induksi, dilanjutkan dosis rumatan 0,5-1,5 mcg/kg/jam. Pada
pasien ini diberikan fentanyl dengan dosis 50mcg sebagai dosis induksi. Sehingga 50mcg
pada pasien ini sudah sesuai sebagai obat induksi, untuk rumatan bisa diberikan dosis
sebanyak 27- 81 mcg/jam. Fentanil adalah analgesik agonis opioid yang secara dominan
berinteraksi dengan reseptor opioid di SSP. Ini meningkatkan ambang nyeri dan menghambat
jalur nyeri naik dengan mengikat reseptor stereospesifik di beberapa situs dalam SSP. Onset:
Efek analgesik: 7-8 menit (IM); lebih cepat lagi (IV); 6 jam (tambalan transdermal pada
penempatan awal); 5-15 menit (transmukosa). Durasi: 1-2 jam (IM); 0,5-1 jam (IV).
Propofol adalah anestesi umum lipofilik kerja pendek. Diperkirakan menghasilkan efek
sedatif/anestesi melalui modulasi positif dari fungsi penghambatan neurotransmitter GABA
melalui reseptor GABA dan kemungkinan mengurangi aktivitas glutamatergik melalui
blokade reseptor NMDA. Onset 9-51 detik (rata-rata: 30 detik) dengan durasi: 3-10 menit.
Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB sebagai sedatif. Sebagai
emulsi 1% yang diberikan melalui injeksi IV atau infus atau sebagai emulsi 2% yang
diberikan melalui infus: Induksi: 40 mg setiap 10 detik, dititrasi sampai respon klinis
tercapai. Dosis biasa: 1-2,5 mg/kg. Pemeliharaan: 4-12 mg/kg/jam infus kontinu.
Alternatifnya, 25-50 mg injeksi bolus, intermiten emulsi 1%. Pada pasien diberikan Propofol
dengan dosis 100mg, sehingga pada BB 54 kg dosis yang sesuai ialah 54 – 135mg maka
pasien sudah mendapatkan dosis yang sesuai.
Rocuronium (dengan dosis 0,6–1,2 mg/kg) memiliki permulaan aksi yang mendekati
suksinilkolin (60–90 detik), menjadikannya alternatif yang cocok untuk induksi urutan cepat,
tetapi dengan durasi aksi yang lebih lama. Durasi aksi sebanding dengan vecuronium atau
atrakurium. Rocuronium (0,1 mg/kg) telah terbukti agen yang cepat (90 detik) dan efektif
(penurunan fasikulasi dan mialgia pasca operasi) untuk prekurarisasi sebelum pemberian
suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki sedikit kecenderungan vagolitik. Pemberian dosis
rocuronium 30 mg tergolong masih sedikit kurang sesusai dengan dosis anjuran yaitu 32,4 –
64,8mg.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi O2, dan Sevoflurane. Pada
pasien diberikan O2 sebesar 3 liter/menit. Sevoflurane diberikan sebanyak vol 2%. Nitrous
oxide adalah salah satu anestesi inhalasi anorganik tertua inorganic masih digunakan dalam
praktik hari ini untuk mencapai ketidaksadaran. Karena memiliki konsentrasi alveolar
minimum (MAC) nilai 104%, nitrous oxide adalah anestesi lemah yang biasanya digunakan
sebagai bagian dari teknik yang seimbang dengan volatil yang kuat agen inhalasi dan opioid.
Agen inhalasi lain yang digunakan adalah Sevoflurane. Dipilih menggunakan sevoflurane
dengan pertimbangan tidak mengakibatkan kecenderungan mengiritasi refleks jaluran napas
atas, serta merupakan bronkodilator yang lebih baik, meskipun tidak sekuat bronkodilator
halotan. Namun halotan memiliki banyak efek samping pada organ tubuh lain seperti
menyebabkan hipotensi, menurunkan aliran darah pada renal, hepar dan menyebabkan
dilatasi pembuluh cerebral.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi
mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat bekerja dengan
aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien
lebih efisien secara terus menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan
intravena RL.
Instruksi Pasca Anestesi:
∙ Perawatan pasca anestesi di ICU untuk observasi kesadaran
∙ OMZ I/ 12 jam
∙ Ondancentron 8mg / 8 jam
∙ Diet cair 6 x 100ml
∙ Cek GDS/ 8 jam
∙ Oksigenasi 3 lpm nasale canule
∙ 1 hari post OP cek H2TL, elektrolit

BAB IV
KESIMPULAN
1. Anestesi yang digunakan adalah general anestesi. Anestesi general memiliki
keunggulan dimana Pasien tidak sadar sehingga mengurangi anxietas selama prosedur
berlangsung, dan dapat digunakan pada prosedur medis yang lama serta memudahkan
kontrol penuh ventilasi pasien namun Sangat mempengaruhi fisiologi sehingga perlu
dilakukan pemantauan ketat, tidak dapat mendeteksi penurunan kesadaran (gangguan
SSP), resiko komplikasi pasca bedah besar dan persiapan pasien harus lebih seksama
2. Pasien Ny. AR, 43 tahun dilakukan Pemasangan VP shunt atas indikasi hidrosefalus +
Metastasis Cerebellum menggunakan general anestesi, ASA III, hemodinamik stabil
pasca intraanestesi, Skor Aldrete diatas 8 pasca anestesi

DAFTAR PUSAKA
• Laurentius A. Lesmana. Penyakit Batu Empedu. Dalam : Setiati S, Alwi I, Aru W, Sudoyo,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
2009;310:2022-27.
• Grau-Talens EJ, Motos-Mico JJ, Giraldo-Rubio R, Aparicio-Gallego JM, Salgado JF,
Ibanez CD, et al. Small-incision cholecystectomy (through a cylinder retractor) under local
anaesthesia and sedation: a prospective observational study of five hundred consecutive
cases. Langenbeck's archives of surgery. 2018;403(6):733-40.
• Khan, MN, et al. Spinal Anesthesia versus General Anesthesia for Open: Comparison of
Postoperative Course. 9(2).2013:95-98
• Laoutid J, Sakit F, Jbili N, et al. Low dose spinal anesthesia f: a feasibility and safety study.
International Surgery Journal. 4(4). 2017:1417-1421
• Raymer K. Understanding Anesthesia. 1st rev. Kolesar R. Canada; 2014. p. 28-71.
• Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s CLINICAL
ANESTHESIOLOGY. 6th rev. 2018; p. 268-325.
• Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principle’s of Internal
Medicine 16th. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890.
• Lesmana, L. 2000. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
• Mansjoer, A. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius FKUI.
• Price, Sylvia Anderston. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit. Jilid 1.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
• Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery).
Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 459-464.
• Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 570-579.

Anda mungkin juga menyukai