LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI SPINAL KISTEKTOMI PADA PASIEN KISTA OVARIUM
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Tentara Tk II dr. Soedjono Magelang
Diajukan Kepada : Pembimbing : Letkol. Ckm dr. Suparno, Sp. An
Disusun Oleh : Ola Dwi Nanda 1310.221.068
Kepaniteraan Klinik Departemen Anestesi dan Terapi Intensif FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA 2 Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono Magelang
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANESTESI SPINAL KISTEKTOMI PADA PASIEN KISTA OVARIUM
Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Tentara Tk II dr. Soedjono Magelang
Disusun Oleh: Ola Dwi Nanda 1310.221.068
Telah Dipresentasikan Pada Tanggal: September 2014
Magelang, September 2014
Menyetujui, Pembimbing
3
(Letkol. Ckm dr. Suparno, Sp. An) KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul Penatalaksanaan Anestesi Spinal Kistektomi pada Pasien Kista Ovarium. Tujuan penulisan laporan kasus ini ialah untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RST Tk II dr. Soedjono Magelang. Dalam kesempatan ini perkenakanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. dr. Suparno, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam pengerjaan laporan kasus kami. 2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat kekurangan. Kami berharap semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran.
Magelang, September 2014
Ola Dwi Nanda
4
BAB I LAPORAN KASUS
Identitas Pasien Nama : Ny. T Jenis kelamin : Perempuan Umur : 44 tahun Alamat : RT 03/RW 07, Ngasiman, Kec.Grabag, Magelang Diagnosis Pre Op : Kista Ovarium Tindakan Op : Kistektomi Tanggal Masuk : 21 Agustus 2014 Tanggal Operasi : 22 agustus 2014
Pemeriksaan Pre Anestesi BB : 56kg TB : 155 cm IMT : 23.33 (eutropis)
5
SUBJEKTIF B1 : Sesak napas disangkal, sakit tenggorokan disangkal, batuk lama disangkal, pilek disangkal, alergi dingin, obat serta makanan juga disangkal B2 : nyeri dada yg menjalar kepunggung disangkal dan berdebar-debar disangkal. Riwayat hipertensi disangkal. B3 : Sakit kepala (+), lemas (+) pandangan kabur (-), kelemahan otot (-), kejang disangkal B4 : BAK dirasakan sulit, BAK sedikit-sedikit, sakit pada saat BAK disangkal, nyeri pinggang disangkal. Terdapat benjolan didaerah perut sebesar bola tenis B5 : Perut terasa nyeri sejak 3 bulan yll, nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan semakin meningkat pada beberapa minggu ini , muntah 1x, BAB (+). Terdapat hemorroid B6 : Nyeri pada sendi disangkal
OBJEKTIF B1 : RR : 20x/menit Teeth : normal Tongue : normal Tumor : terdapat benjolan di perut bawah bagian kiri Tonsil : T1- T1 Trakea : dalam posisi lurus, dbn Tiroid : tidak teraba pembesaran, Nyeri tekan (-) Tempurung mandibula joint: dapat membuka mulut sampai 3 jari Tortikolis vertebrae : normal Mallampati score: Skor Kelas I yaitu jika palatum molle, amandel anterior dan posterior pila, dan seluruh uvula potongan jaringan lunak yang menggantung dari atap mulut dekat bagian belakang lidah yang mudah terlihat Pulmo : Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris 6 Palpasi : FT kanan = kiri Perkusi : Sonor seluruh lapang paru Auskultasi : SDV +/+, Rh-/-, Wh-/- B2 : TD : 110/80 N: 76x/menit Cor : Inspeksi : iktus cordis tidak tampak Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat Perkusi : tidak ada pelebaran batas jantung Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-) R. Hipertensi disangkal, R. Penyakit Jantung disangkal
B3 GCS : E4 V5 M6 Reflek Cahaya +/+, PBI 3/3 R. Fisiologis sup +/+/ inf +/+ R. Patologis sup -/-/ inf-/- KM : sup 5/5 inf/5/5 R. Trauma disangkal 7 B4 : BAK(+) DC, produksi urin ditampung +100cc/jam, kuning jernih. B5 : Mual muntah (+) Abdomen : Inspeksi : Perut sedikit membesar, jejas (-), sikatrik (-) Auskultasi : BU (+) normal Perkusi : timpani Palpasi : supel, nyeri tekan (+), kuadran kiri bawah, teraba masa 10x10cm,mobile hepar & lien tidak teraba B6 : Ekstremitas Edema -/-/-/- Cyanosis -/-/-/- Deformitas -/-/-/- Atrofi otot (-), motorik dan sensorik normal Assesment Pasien Ny.T, perempuan, 44 tahun, dengan Kista Ovarium ASA PS II Planning Jenis Pembedahan : Kistektomi Jenis Anestesi : Regional Anestesi Spinal
Persiapan Pre-Operasi Persiapan pasien : a. Informed Consent b. Pasien puasa 6 jam pre op c. Infuse RL 20 tpm
Persiapan alat anestesi : STATIC : o S : Scope Stetoskop, laringoskop o T : Tubes pipa trakea. Dipilih sesuai dengan usia. Usia <5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon (cuffed). 8 o A : Airway pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway) o T : Tape plester o I : Introducer mandrin atau stilet o C : Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia o S : Sucstion Peralatan monitor Tekanan darah, nadi, EKG
Spinal set Jarum spinal ujung tajam / jarum spinal dengan ujung tumpul beserta silet Kassa, betadine dan alkohol Spuit 5cc
Durante Operasi Lama operasi : 09.45 11.15 Lama anestesi : 09.35 09.45 Medikasi : Inj. Petidin 50 mg Inj. Midazolam 2mg Inj. Ondansentron 4 mg Inj. Ketorolac 30 mg Teknik Anastesi: 1. Pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja operasi, manset dan monitor dipasang. 2. Pasien diposisikan duduk tegak dan kepala ditundukkan 3. Dilakukan identifikasi di inter space L3-L4, desinfeksi lokal dan lakukan anestesi di daerah tusukan dan diperluas. 9 4. Dilakukan penyuntikan dengan jarum Spinocan G 27 menembus sampai ruang subarachnoid, ditandai dengan keluarnya LCS, barbotage positif, dimasuki induksi bupivacain 4 mL 5. Pasien diposisikan tidur telentang kembali dan pasang kanul nasal oksigen 3L/m 6. Nilai level blok sensorik hasilnya blok setinggi Toracal 10 7. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal Monitoring Pernafasan: O 2 nasal canule, 3 lpm Pemantauan selama operasi Waktu Tekanan darah Nadi SpO2 Keterangan 09.35 141/97 102 98 Premedikasi : inj.petidin 50mg, inj.Midazolam 2mg Anestesi regional spinal : inj.bupivacain 4ml 09.40 135/91 103 99 Mulai operasi Inj.ondansentron 4mg 09.45 117/72 96 99 09.50 115/70 90 99 10.55 108/73 92 99 11.00 105/75 88 99 11.05 105/70 86 99 11.10 104/72 86 99 11.15 105/70 85 99 Operasi selesai
Post-Operasi Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-) Pemeriksaan fisik: o B1: airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|- o B2: akral hangat, kering, kemerahan, N:90x/menit, TD 110/80 mmHg, S 1 S 2 reguler, murmur (-), gallop (-) o B3: GCS 15, pupil bulat isokor 3mm, refleks cahaya +|+ 10 o B4: terpasang kateter 16F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin 200 cc. o B5: flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih. o B6: mobilitas (-), mampu menggerakkan keempat ekstremitas secara spontan, edema -|-, sianosis -|-, anemis -|-, ikterik -|-, CRT<2 detik. Terapi Pasca Bedah: o O 2 nasal canul 2 lpm o Infus RL/NS 95 cc/jam o Antibiotika: sesuai TS bedah o Inj. Ranitidin 2x50 mg o Inj. Ketorolac 3x30 mg o Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction, Inj. Ondansentron 4 mg o Bila kesakitan: Inj. Tramadol 100 mg o Minum makan: bila tidak ada mual/muntah Monitoring: Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam o Bila RR <10x/menit, berikan O 2 NRBM 10 lpm o Bila nadi <50x/menit, berikan sulfas atropine 0.5 mg iv o Jika tekanan darah systole <90mmHg, berikan RL 500 cc dalam 30 menit (efedrin 5 mg iv) o Pindah ruangan jika aldrete score >8 Makan dan minum, bertahap bila pasien tidak mual dan muntah
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI SPINAL Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro- spinal (CSF). Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang- orang dengan penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien dengan trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik. Indikasi: Bedah ekstremitas bawah Bedah panggul Tindakan sekitar rektum perineum Bedah obstetrik-ginekologi Bedah urologi Bedah abdomen bawah Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.
Kontra indikasi absolut: Pasien menolak 12 Infeksi pada tempat suntikan Hipovolemia berat, syok Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan Tekanan intrakranial meningkat Fasilitas resusitasi minim Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif: Infeksi sistemik Infeksi sekitar tempat suntikan Kelainan neurologis Kelainan psikis Bedah lama Penyakit jantung Hipovolemia ringan Nyeri punggung kronik Persiapan analgesia spinal : Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini: Informed consent : tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal Pemeriksaan fisik : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung Pemeriksaan laboratorium anjuran : Hb, ht,pt,ptt Peralatan analgesia spinal : Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, ekg Peralatan resusitasi Jarum spinal 13 - Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
Teknik analgesia spinal : - Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. - Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk. - Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis. - Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol. - Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg) - Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke- Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 14 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter. - Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa 6cm. Posisi: - Posisi Duduk - Pasien duduk di atas meja operasi - Dagu di dada - Tangan istirahat di lutut - Posisi Lateral: - Bahu sejajar dengan meja operasi - Posisikan pinggul di pinggir meja operasi - Memeluk bantal/knee chest position 15
Anastesi Lokal untuk Anastesi Spinal Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003- 1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut 16 hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. Anestetik local yang paling sering digunakan: Lidokaine (xylocain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100 mg (2-5ml) Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml) Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20 mg Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)
Bupivacaine Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida. Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed. Komplikasi dini / intraoperatif : Hipotensi Anestesi spinal tinggi / total. Henti jantung 17 Mual dan muntah Penurunan panas tubuh Parestesia. Komplikasi lanjut o Post dural Puncture Headache (PDPH) o Nyeri punggung (Backache) o Cauda equine sindrom o Meningitis o Retensi urine o Spinal hematom. o Kehilangan penglihatan pasca operasi
Penilaian Status Fisik Menurut ASA Definisi Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan resiko yaitu klasifikasi status fisik menurut ASA. Tujuannya adalah suatu sistem untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi. Pada tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status lima kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian ditambahkan.
18 KISTA OVARI
A. Pengertian
Kista adalah kantong berisi cairan, kista seperti balon berisi air, dapat tumbuh di mana saja dan jenisnya bermacam-macam.Kista yang berada di dalam maupun permukaan ovarium (indung telur ) disebut kista ovarium atau tumor ovarium. Kista ovarium adalah bentuk atau jenis yang paling sering terjadi pada ovarium yang mempunyai struktur dinding yang tipis, mengandung cairan serosa dan sering terjadi selama masa menopause. Kista ovarium adalah tumor jinak yang diduga timbul dari bagian ovum yang normalnya menghilang saat menstruasi, asalnya tidak teridentifikasi dan terdiri atas sel-sel embrional yang tidak berdiferensiasi, kista ini tumbuh lambat dan ditemukan selama pembedahan yang mengandung material sebasea kental berwarna kuning yang timbul dari lapisan kulit. (Smeltzer, 2001)
B. Klasifikasi
1. Pembagian kista ovarium berdasarkan non neoplastik dan neoplastik yaitu:
a. Non Neoplastik
1) Kista folikel
Gambar 1. Kista folikel
2) Kista korpus luteum
3) Kista teka lutein
19 4) Kista inklusi germinal
5) Kista endometrium
6) Kista stein-levental
b. Neoplastik
1) Kistoma ovarii simpleks
2) Kistadenoma ovarii musinosum
.
Gambar 2. Kistadenoma ovarii musinosum
3) Kistadenoma ovarii serosum
Gambar 3. Kistadenoma ovarii serosum
4) Kista endometrioid
20 5) Kista dermoid
Gambar 4. Kista dermoid
2. Pembagian kista ovarium berdasarkan lokasi.
a. Kista bebas ( pedunculata )
1) Gerakan bebas
2) Batas jelas
b. Kista intraligamentair
1) Letaknya diantara 2 ligamentum
2) Gerakan terbatas
3) Tampak pembuluh darah yang bersilangan satu sama lain
c. Kista pseudo intraligamentair
1) Letaknya di luar ligamentum
2) Gerakannya terbatas, karena perlekatan (infeksi, metafase)
3) Gambaran pembuluh darah biasa. C. Etiologi
Sampai sekarang ini penyebab dari Kista Ovarium belum sepenuhnya diketahui, tetapi beberapa teori menyebutkan adanya gangguan dalam pembentukan estrogen dan dalam mekanisme umpan balik ovarium- hipotalamus. Beberapa dari literatur menyebutkan bahwa penyebab terbentuknya kista pada ovarium adalah gagalnya sel telur (folikel) untuk berovulasi. Fungsi ovarium yang normal tergantung kepada sejumlah hormon dan kegagalan pembentukan salah satu hormon tersebut bisa mempengarui 21 fungsi ovarium. Ovarium tidak akan berfungsi secara normal jika tubuh wanita tidak menghasilkan hormon hipofisa dalam jumlah yang tepat. Fungsi ovarium yang abnormal kadang menyebabkan penimbunan folikel. Yang berbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium. Folikel gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur, karena itu terbentuk kista di dalam ovarium.
D. PATOFISIOLOGI Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang rupture akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan. Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal yang kadang- kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG. Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada neoplasia tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan diabetes, HCg menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif lutein. Pasien dalam terapi infertilitas, induksi ovulasi dengan menggunakan gonadotropin (FSH dan LH) atau terkadang clomiphene citrate, dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan pemberian HCG.
22
23 E. TANDA DAN GEJALA 1. Perut terasa penuh, berat, kembung 2. Tekanan pada dubur dan kandung kemih (sulit buang air kecil) 3. Haid tidak teratur 4. Nyeri panggul yang menetap atau kambuhan yang dapat menyebar ke punggung bawah dan paha. 5. Nyeri sanggama 6. Mual, ingin muntah, atau pengerasan payudara mirip seperti pada saat hamil.
Gejala-gejala berikut memberikan petunjuk diperlukan penanganan kesehatan segera: 1. Nyeri perut yang tajam dan tiba-tiba 2. Nyeri bersamaan dengan demam 3. Rasa ingin muntah
Kista Ovarium
F. Komplikasi
1. Perdarahan ke dalam kista
2. Putaran tangkai
3. Infeksi pada tumor
4. Robek dinding kista
5. Perubahan keganasan
24 G. Penatalaksanaan
Pengobatan kista ovarium biasanya adalah pengangkatan melaui tindakan bedah bila ukurannya > 5 c m . J i k a kurang dari 5 cm dan tampak terisi oleh cairan/fisiologis pada pasien muda yang sehat. Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk menekan aktivitas ovarium dan menghilangkan kista. Sekitar 80 % lesi yang terjadi pada wanita berusia 29 tahun dan yang lebih muda adalah jinak, setelah 50 tahun hanya 50 % yang jinak. Perawatan paska operatif setelah pembedahan untuk mengangkat kista ovarium adalah serupa dengan perawatan setelah pembedahan abdomen dengan satu pengecualian. Penurunan tekanan intra abdomen yang diakibatkan oleh pengangkatan kista yang besar biasanya mengarah pada distensi abdomen yang berat. Komplikasi ini dapat dicegah sampai suatu tingkat dengan memberikan gurita abdomen yang ketat.
Ciri kista yang perlu dioperasi diantaranya dengan indikasi :
1. Kista berdiameter lebih dari 5 cm dan telah diobservasi 6-8 minggu dan tidak ada pengecilan tumor. 2. Ada bagian padat dari dingding tumor
3. Dinding tumor bagian dalam berjonjot
4. Kista lebih besar dari 10 cm. ascites
5. Dugaan terpelintir atau pecah
H. Pemeriksaan penunjang
1. Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak batas tumor, apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak. 2. Laparoskopi
Dengan laparoskopi, alat teropong ringan dan tipis dimasukkan melalui pembedahan kecil di bawah pusar untuk melihat ovarium, menghisap cairan dari kista atau mengambil bahan percontohan untuk biopsi. 25 3. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini untuk menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat adanya gigi dalam tumor.
4. Parasentesis
Telah disebut bahwa pungsi pada asites berguna untuk menentukan sebab asites. Perlu diingat bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan kavum peritonium dengan isi kista bila dinding kista tertusuk. 26 BAB III PEMBAHASAN
A. PERMASALAH DARI SEGI MEDIK Kista Ovarium merupakan Kista ovarium merupakan suatu pengumpulan cairan yang terjadi pada indung telur atau ovarium. Kebutuhan cairan meningkat yang menyebabkan penderita mengalami kehilangan banyak cairan sehingga bisa terjadi dehidrasi atau juga sepsis. B. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI 1. Pemeriksaan pra anestesi Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain : a. Puasa lebih dari 6 jam. b. Pemeriksaan laboratorium darah Permasalahan yang ada adalah : Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan anestesi dan operasi. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan umum penderita. Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan : Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat dihindarkan. 1. Premedikasi a. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah, mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi digunakan Petidin 50 mg IV. b. Pada pasien ini diberikan midazolam 2 mg (dosis 0,07-0,2 mg/kgBB) berfungsi untuk hipnotik sedative, dan amnesia retrograde. 27 2. Tahap anestesi spinal a. Pasien duduk pada meja operasi dengan posisi kaki lurus, tangan pada kaki, kepala menunduk b. Indentifikasi inter space L 3 L 4
c. Desinfeksi LA dengan menggunakan betadine d. Dilakukan penyuntikan Spinocan G 27 S / RSA e. LCS (+) f. Barbotage (+) g. Bupivacain 4 ml 3. Maintenance O 2 nasal canul 3 L/menit Terapi Cairan a. Kebutuhan cairan selama operasi dan karena trauma operasi selama 1 jam : kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi sedang = (4cc x 55 kg x 1 jam) + (6 cc x 55 kg x 1 jam) = 220+ 330 cc = 550 cc b. Perdarahan yang terjadi = 400 cc EBV = 80 cc x 55 kg = 4400 cc Jadi kehilangan darah = 400/4400 x 100% = 9 % Diganti dengan cairan kristaloid 3 x 500 = 1500 cc d. Kebutuhan cairan total = 880 + 550 + 1500 = 2930 cc a. Cairan yang sudah diberikan : 1). Pra anestesi = 1000 cc 2). Saat operasi = 1500 cc Total cairan yang masuk = 2500 cc Jadi kurang cairan sebesar 430 cc, maka penambahan cairan masih diperlukan saat pasien di bangsal ditambah kebutuhan cairan perhari selama 24 jam.
28 Post operatif Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (9tekanan darah, nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit
Dari hasil Aldrete Score didapatkan: Aldrette Score Point Nilai Pada Pasien Motorik 4 ekstremitas 2 2 ekstremitas 1 - 0 Respirasi Spontan + batuk 2 Nafas kurang 1 - 0 Sirkulasi Beda <20% 2 20-50% 1 >50% 0 Kesadaran Sadar penuh 2 Ketika dipanggil 1 - 0 Kulit Kemerahan 2 Pucat 1 Sianosis 0 Total 10
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ASA PS Pada pasien termasuk ASA PS II sesuai karena pasien hanya terdapat sedikit penurunan Hb yaitu 11,6 dan pasien tidak obesitas karena ASA PS II adalah pasien dengan penyakit ringan dengan tingkat obesitas yang rendah dan tidak ada penyakit sistemik lainnya.
29 BAB V PENUTUP
V.1 KESIMPULAN Anestesi spinal merupakan salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro- spinal (CSF). Anestesi spinal dihasilkan bila menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5 Pada kasus ini, penatalaksanaan anestesi regional-spinal pada operasi kistektomi pada pasien Ny.T, perempuan, umur 44 tahun, dengan kista ovarium ASA PS II dengan tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan pembedahan. Setelah operasi selesai, pasien pindah ke ruang pemulihan. Selama di ruang pemulihan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
V.2 SARAN 1. Persiapan preoperative pada pasien perlu dilakukan lebih baik lagi, agar proses anestesi dan pembedahan dapat berjalan dengan baik 2. Memperhatikan kebutuhan cairan pasien pada saat operasi berlangsung. 3. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.
30 DAFTAR PUSTAKA
Taylor D: Choice of Anesthetic Technique dalam Stoelting RK, Miller RD : Basics of Anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Curchill Livingstone 2007 Gaiser RR. Spinal, Epidural, and caudal anesthesia. In : Introduction to anesthesia, editor : Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders Company, 1997. Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta, 2007, hlm.106-107. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2nd ed. Stamford:A LANGE medical book; 1996. 834.