Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan ( mild undifferentiated febrile illness ), demam dengue,
demam berdarah dengue ( DBD ) dan demam berdarah dengue disertai syok ( dengue shock
syndrome = DSS ). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah
fenomena gunung es, DBD dan DSS sebagai kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan
puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan ( silent
dengue infection dan demam dengue ) merupakan dasarnya.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan
karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya
prilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di
seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.
Respon sellular dan molekul terhadap masuknya virus dengue ke dalam tubuh inang
sangat terkait dengan regulasi dan interaksi dengan sitokin dan mediator lainnya. Pada kadar
sitokin rendah akan di regulasi sehingga sistem imun tetap terjaga pada posisi homeostasis. Pada
kadar sitokin proinflammatori tinggi berpengaruh kuat, mendorong ke arah inflamasi lokal
maupun sistemik yang memunculkan gejala.
Pertolongan yang cepat dan tepat sangat membantu penyelamatan hidup pada kasus
kegawatan demam berdarah dengue. Disfungsi sirkulasi atau syok pada DBD, dengue shock
syndrome ( DSS ), disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang pada akhirnya
mengakibatkan turunnya perfusi organ. Pemberian cairan resusitasi yang tepat dan adekuat pada
fase awal syok merupakan dasar utama pengobatan DSS. Prognosis kegawatan DBD tergantung
pada pengenalan, pengobatan yang tepat segera dan pemantauan ketat syok. Oleh karena itu
peran dokter sangat membantu untuk menurunkan angka kematian.
Penggunaan steroid pada penderita DBD dan DSS masih menjadi perdebatan. Bberapa
panduan ada yang tidak menyinggung mengenai pemberian kortikosteroid pada penderita DBD
dan DSS. Efek kortikosteroid berpengaruh pada proses imunologis maupun metabolik. Steroid
berpengaruh kuat pada sistem metabolik di tingkat sellular, reseptor, maupun molekul. Pada
infeksi virus dengue peran glukokortikoid adalah memblokade resptor (GC). Akibat kemampuan
1

melakukan blokade tersebut, steroid dihrapkan dapat meredam proses inflamasi. Menurunnya
proses inflamasi akibat pengaruh inhibisi dan sintesis dan sekresi sitokin proinflamasi serta
menghambat sekresi mediator anoreksigenik (leptin, CRF, serotonin) serta inhibisi sekresi PLA2, maka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi virus dengue dapat ditekean serendahrendahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pemahaman tentang peran kortikosteroid
pada penatalaksanaan DBD dan DSS.

BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
2

Virus Dengue
Biologi Virus Dengue
Virus merupakan parasit yang hanya dapat hidup dalam sel hidup. Virus dengue termasuk
dalam golongan B Arthopod borne virus (arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviridae. Virion dengue merupakan partikel sferis dengan diameter
nukleokapsid 30 m dan ketebalan selubung 10 nm, sehingga diameter virion kira kira 50 nm.
Genom virus dengue terdiri dari asam ribonuklead berserat tunggal, panjangnya kira-kira 11
kilobasa.
Virus dengue stabil pada pH 7-9 dan suhu rendah, sedang pada suhu yang relatif tinggi
infektivitasnya cepat menurun. Sifat virus dengue yang lain adalah sangat peka terhadap
beberapa zat kimia seperti sodium deoxycholate, eter, kloroform dan garam empedu karena
adanya amplop lipid.
Infeksi Virus Dengue
Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Masing-masing tipe mempunyai subtipe (strain) yang jumlahnya ratusan, sesuai daerah atau
tempat asal virus itu. Serotipe DEN-2 dan DEN-3 adalah penyebab wabah demam berdarah di
Asia Tenggara, yang dianggap sebagai virus berpotensi terbesar penyebab demam berdarah.
Virus ini menyebabkan infeksi tahunan dengan angka kematian sekitar 5%. Di Indonesia, infeksi
dengue telah dikenal sejak abad 18 dan baru pada tahun 1960-an dikenal demam berdarah
dengue (Dengue Hemorharrgic Fever).
Karakter serotipe virus itu bisa berbeda beda dari satu tempat ke tempat lain. Meskipun
virus DEN-2 yang menyerang penduduk bedua Amerika berasal dari Asia Tenggara, penelitian
terakhir menunjukkan terdapat perbedaan genetika antara dua virus berbeda benua tersebut yaitu
adanya perubahan nukleotida pada strain Amerika. Menurut penelitian MJ.Pryor,dkk (2001),
virus dengue Amerika tidka memperbanyak diri secepat dengue Asia Tenggara.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Pembentukkan
antibodi pada infeksi pertama oleh salah satu dari keempat jenis virus dengue di atas akan
3

menghasilkan kekebalan silang (cross protection) yang berlaku untuk keempat jenis virus
dengue, sehingga infeksi kedua oleh virus dengue dengan tipe yang sama bahkan dapat
menimbulkan kekebalan seluler (sel mediated immunity) yang dapat bertahan seumur hidup.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4
serotipe selama hidupnya.
Hospes Virus Dengue
Virus dengue mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, monyet, simpanse, kelinci,
mencit, marmut, tikus, hamster serta serangga khususnya nyamuk. Wlaaupun primata merupakan
hospes alami virus, viremia yang timbul biasanya lebih rendah dan lebih pendek masanya. Pada
manusia, viremia berkisar 2-12 hari, sementara pada primata 1-2 hari.
Virus berkembang biak dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Secara
invitro, virus dengue dapat dikembangbiakkan pada berbagai biakan sel, baik biakan sel mamalia
maupun insekta.
Mekanisme Penularan Virus Dengue
Orang yang terinfeksi virus Dengue maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti
(antibodi) yang spesifik sesuai dengan tipe virus Dengue yang masuk. Gejala dan tanda yang
timbul ditentukan oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada
dalam virus Dengue yang baru masuk. Orang yang terinfeksi virus Dengue untuk pertama kali,
umumnya hanya menderita Demam Dengue (DD) atau demam yang ringan dengan gejala dan
tanda yang tidak spesifik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali
(asimptomatis). Penderita DD biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari pengobatan.
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber
penular DBD. Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.
Bila penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk ke
dalam lambung nyamuk, selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai
jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 (satu) minggu setelah
mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa
inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh
4

karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus Dengue menjadi penular (infektif)
sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit),
sebelum mengisap darah akan meneeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis),
agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus Dengue dipindahkan dari
nyamuk ke orang lain.

Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes aegypti sebagai Vektor Penyakit DBD
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab
penyakit demam berdarah. Selain dengue, Aedes aegypti juga merupakan pembawa virus demam
kuning (yellow fever) dan chikunguya. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua
daerah tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan pembawa utama (primary vector) dan
bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa - desa dan perkotaan.
Masyarakat diharapkan mampu mengenali dan mengetahui cara - cara mengendalikan DBD
untuk membantu mengurangi persebaran penyakit demam berdarah (Anggraeni, 2011).
Nyamuk Aedes aegypti betina menghisap darah manusia setiap 2 hari. Protein dari darah
tersebut diperlukan untuk pematangan telur yang dikandungnya. Setelah menghisap darah,
nyamuk ini akan mencari tempat hinggap (beristirahat). Tempat hinggap yang disenangi ialah
benda - benda yang tergantung, seperti : pakaian, kelambu atau tumbuh - tumbuhan di dekat
berkembang biaknya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Setelah masa istirahat
selesai, nyamuk itu akan meletakkan telurnya pada dinding bak mandi/WC, tempayan, drum,
kaleng, ban bekas, dan lain - lain. Biasanya sedikit di atas permukaan air. Selanjutnya nyamuk
akan mencari mangsanya (menghisap darah) lagi dan seterusnya (Depkes RI, 2007).

Morfologi Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan belang - belang (loreng) putih pada

seluruh tubuhnya.
Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat umum.
5

Mampu terbang sampai 100 meter.


Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari sampai sore hari.

Nyamuk jantan biasa menghisap sari bunga/tumbuhan yang mengandung gula.


Umur nyamuk Aedes aegypti rata - rata 2 minggu, tetapi sebagian diantaranya dapat
hidup 2 -3 bulan (Anggraeni, 2010).

Siklus Hidup dan Perilaku Nyamuk Aedes aegypti

Perkembangan dari telur sampai menjadi nyamuk kurang lebih 9-10 hari
1. Setiap kali bertelur , nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir.
2. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran 0.80 mm,
3. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan,
4. Telur itu akan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari setelah terendam
air.
6

5. Jentik kecil yang menetas dari telur itu akan tumbuh menjadi besar yang panjangnya 0.5 1 cm.
6. Jentik Aedes aegypti akan selalu begerak aktif dalam air. Geraknya berulang - ulang dari
bawah ke atas permukaan air untuk bernafas (mengambil udara) kemudian turun, kembali
ke bawah dan seterusnya.
7. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada
di sekitar dinding tempat penampungan air.
8. Setelah 6-8 hari jentik itu akan berkembang/berubah menjadi kepompong.
9. Kepompong berbentuk koma.
10. Gerakannya lamban.
11. Sering berada di permukaan air.
12. Setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa (Anggraeni, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti menyenangi area gelap dan benda- benda berwarna hitam atau
merah. Nyamuk ini banyak ditemukan di bawah meja, bangku, kamar yang gelap, atau dibalik
baju - baju yang digantung. Nyamuk ini menggigit pada siang hari (pukul 09.00 -10.00) dan sore
hari (pukul 16.00 - 17.00). Demam berdarah sering menyerang anak -anak karena anak - anak
cenderung duduk di dalam kelas selama pagi sampai siang hari (Anggraeni, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat penampungan air untuk keperluan
sehari - hari dan barang - barang lain yang memungkinkan air tergenang yang tidak beralaskan
tanah, misalnya bak mandi/WC, tempayan, drum, tempat minum burung, vas bunga/pot tanaman
air, kaleng bekas dan ban bekas, botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang dibuang
sembarang tempat (Depkes RI, 2007).

DEMAM BERDARAH DENGUE


Definisi
7

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopeniadan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat serotype ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara
serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile
virus.

Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1) Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dai satu tempat ke tempat lain;
2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody.
9

Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan
IL-10;
c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag;
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang

10

berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan


konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurang dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis
kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga
diprosuksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virusantibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1) Supresi sumsum tulang, dan
2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi
tromobositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya
antibody VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan
kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi tromobosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex)

Spektrum klinis infeksi dengue

11

Gambar 1. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011 Sumber:World Health OrganizationSouth East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi
asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever
(sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan
infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome
atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda
patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim
dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis,
DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak
(Gambar 1).
Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue, yaitu
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma
dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites
Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti
disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma

12

Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue Sumber: Center for Disease Control and Prevention. Clinicians
case management. Dengue Clinical Guidance. Updated 2011

Gambaran klinis
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab
virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala
dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang, nyeri
retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan,
konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik
1. Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari
2. Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada
3. Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
4. Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan
13

atas, dan tangan


5. Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg
normal, dapat disertai rasa gatal
6. Manifestasi perdarahan

Uji bendung positif dan/atau petekie

Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna


(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)

C.Demam berdarah dengue


Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa
penyembuhan (convalescence, recovery) (Lampiran 1).
Fase demam
1. Anamnesis
a. Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang demam.
Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok
dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
2. Pemeriksaan fisik
a. Manifestasi perdarahan
a.

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi


perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia

b. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi
cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.

14

Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat
demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,
1. Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
2. Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding kandung
empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi
dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
3. Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
4. Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas
cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3
detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
5. Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,
kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.
Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus
bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD.
d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan
jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau
komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

Tabel Expanded dengue syndrome


Sistem organ

Unusual/atypical manifestation
15

Nerologi

Kejang demam pada anak


ensefalopati
Perdarahan intrakranial
Efusi subdural
Sindrom guillan-barre
Mielitis transversal

Gastro intestinal/hepatik

Hepatitis
Aculculous cholecytitis
Pankreatitis akut
Hiperplasia plaque peyeri
Parotitis akut

Ginjal

AKI
HUS

Jantung

Konduksi abnormal
Miokarditis
Perikarditis

Respirasi

ARDS
Perdarahan paru

Muskuloskletal

CPK
Rabdomiolisis

Limforetikular

ITP
Lymph node infarction

Mata

Macular haemorrhage
Gangguan visual acuity
Neuritis opticus

Lain-lain

Post-infectious fatique syndrome


Halusinasi
Psikosis

Diagnosis
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO, 2011).
Kriteria klinis
16

1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari
2. Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
3. Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20 mmHg), hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah
Kriteria laboratorium
1. Trombositopenia (100.000/mikroliter)
2. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar / menurut
standar umur dan jenis kelamin
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,
1. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/ peningkatan
hematokrit20%.
2. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
3. Dijumpai tanda perembesan plasma
4. Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
a. Hipoalbuminemia
5. Perhatian
a. Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
i. mendukung diagnosis DSS.
ii. Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok
sepsis

Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011


DD/DB
D
Derajat
DD

Tanda dan gejala


Demam disertai minimal dengan 2

Laboratorium
Leukopenia (jumlah
17

gejala
Nyeri kepala

DBD

DBD

II

DBD*

III

DBD*

IV

Nyeri retro-orbital
Nyeri otot
Nyeri sendi/ tulang
Ruam kulit makulopapular
Manifestasi perdarahan
Tidak ada tanda perembesan
plasma

Demam dan manifestasi perdarahan


(uji

leukosit 4000 sel/mm3)


Trombositopenia
(jumlah
trombosit <100.000
sel/mm3)
Peningkatan hematokrit
(5%-10%)
Tidak ada bukti
perembesan plasma

Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
bendung positif) dan tanda perembesan hematokrit
plasma
20%
Seperti derajat I ditambah perdarahan Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
sponta
hematokrit
n
20%
Seperti derajat I atau II ditambah
kegagalan
Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
sirkulasi (nadi lemah, tekanan nadi
hematokrit
20
mmHg, hipotensi, gelisah, diuresis
menurun
20%
Syok hebat dengan tekanan darah dan
nadi
Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
hematokrit
yang tidak terdeteksi
20%

Diagnosis infeksi dengue:


Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan
deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti
dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif)

Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.
Demam Berdarah Dengue
18

1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
2. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
3. Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian
cairan pada masa perembesan plasma
4. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat
(DIC, kegagalan organ multipel)
5. Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan
dan terapi cairan yang tidak sesuai
Diagnosis banding
1. Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan
penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan
campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu
ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan sesuai indikasi.
2. Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau
anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap
disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.
3. Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila
anak mengalami demam disertai syok.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan
trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan
menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini
dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak
dapat membedakan penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
a. Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
19

puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
b. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi
sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
c. Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun apabila
IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Tabel 2. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
Antibodi anti dengue
Diagnosis

Keterangan
IgM

IgG

Infeksi primer
Infeksi sekunder
Infeksi lampau

positif
positif
negatif

Negatif
Positif
Positif

Bukan dengue

negatif

Negatif

Apabila klinis mengarah


ke
infeksi dengue, pada fase

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi,
1. Distres pernafasan/ sesak
2. Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
3. Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema
paru karena overload pemberian cairan.
4. Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan
lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
5. Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika felea, dan
dinding buli-buli.
20

Tanda kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue,
seperti berikiut.
1. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase
bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
2. Muntah yg menetap, tidak mau minum
3. Nyeri perut hebat
4. Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
5. Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat,
warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
6. Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
7. Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
8. Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam

21

Monitor perjalanan penyakit DD/DBD


Parameter yang harus dimonitor mencakup,
1. Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
2. Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta
mudah dan cepat utk dilakukan
3. Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4 jam
pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
4. Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada
pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
5. Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan
syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
6. Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)
Indikasi pemberian cairan intravena
1. Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
2. Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
3. Ancaman syok atau dalam keadaan syok
Prinsip umum terapi cairan pada DBD
1. Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
2. Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada
respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
3. Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan
cairan intravaskular yang adekuat.
4. Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan

The maximum amount of fluid recommended


during the
Entire critical phase
(irrespective of its length)
should be
Maintenance + 5% of body weight (50ml/kg)

Tabel 4. Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan


22

Berat badan

Cairan

ideal (kg)

rumatan
(ml)
500
1000
1250
1500
1600
1700

5
10
15
20
25
30

Cairan
rumatan
+ 5% defisit
(ml)
750
1500
2000
2500
2850
3200

Berat badan

Cairan

ideal (kg)

rumatan
(ml)
1800
1900
2000
2100
2200
2300

35
40
45
50
55
60

Cairan rumatan
+ 5% defisit
(ml)
3550
3900
4250
4600
4950
5300

Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy
A. Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
B. Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
C. Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula darah (dekstrostik)
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit
Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila
anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan
saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit

Fase Kritis
23

Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit,
disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)


1. Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat
cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
2. Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil
laboratorium yang tidak normal
3. Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah review
hematokrit sebelum resusitasi)
4. Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri)
5. Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien
sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua
kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui
oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit
Perdarahan hebat

24

1. Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah


segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila
darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg
darah segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
2. Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.
3. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan
DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
1. Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
2. Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau
kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok
3. Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
4. Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati maka,
5. Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
a.
Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume
intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan
b.
Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus
meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan
perembesan plasma yang hebat.
c.
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan
d.
Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
e.
Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.
f.
Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan
pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis intravena setiap
jam.
6. Menurunkan produksi amonia
a.
Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.
b.
Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan diberi
7. Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan 4-6
mg/kg/jam.
8. Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
a. Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5
tahun:10mg. o Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV
sesuai indikasi.
9. Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain seperti
25

suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena kelebihan cairan
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
10. Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
11. Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah perdarahan
saluran cerna.
12. Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di hati.
13. Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.

Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap 12-24
jam.
Indikasi untuk pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.
1. Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
2. Nafsu makan telah kembali
3. Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
4. Diuresis baik
5. Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
6. Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
7. Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari

Peran kortikosteroid Dalam Tata Laksana Demam Berdarah Dengue dan Sindrom
Syok Dengue.
26

Secara global, sekitar 50-100 juta kasus demam dengue dan demam berdarah dengue
terjadi setiap tahun. Belum berhasilnya upaya pemberantasan penyakit ini ditentukan oleh
beberap hal. Salah satunyanya kebersihan lingkunagn yang perlu diperhatikan lebih serius
sehingga Aedes Aegypti tidak memumgkinkan untuk hidup dan berkembang biak.Guna untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitaspenatalaksanaan DBD perlu dioptimalkan.
Respon sellular dan molekul terhadap masuknya virus dengue ke dalam tubuh inang
sangat terkait dengan regulasi dan interaksi dengan sitokin dan mediator ,ainnya. Pada kadar
sitokin rendah akan di regulasi sehingga sistem imun tetap tgerjaga pada posisi homeostasis.
Pada kadar sitokin proinflammatori tinggi berpengaruh kuat, mendorong ke arah inflamasi
lokal maupun sistemik yang memunculkan gejala.
Penggunaan steroid pada penderita DBD dan DSS masih menjadi perdebatan.
Bberapa panduan ada yang tidak menyinggung mengenai pemberian kortikosteroid pada
penderita DBD dan DSS. Efek kortikosteroid berpengaruh pada proses imunologis maupun
metabolik. Steroid berpengaruh kuat pada sistem metabolik di tingkat sellular, reseptor,
maupun molekul. Pada infeksi virus dengue peran glukokortikoid adalah memblokade resptor
(GC). Akibat kemampuan melakukan blokade tersebut, steroid dihrapkan dapat meredam
proses inflamasi. Menurunnya proses inflamasi akibat pengaruh inhibisi dan sintesis dan
sekresi sitokin proinflamasi serta menghambat sekresi mediator anoreksigenik (leptin, CRF,
serotonin) serta inhibisi sekresi PLA-2, maka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi virus
dengue dapat ditekean serendah-rendahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pemahaman tentang peran kortikosteroid pada penatalaksanaan DBD.
A. Hiperaktivitas reseptor glukokortikoid pada infeksi virus dengue
Monosit dan makrofag sebagai target infeksi virus mengalami
perubahan ekstraselular maupun intraselular. Peningkatan aktivitas NFkB di
nukleus memicu menimgkatnya sintesis dan sekresi sitokin proinflamatori
seperti TNF- dan IL-1 yang berdampak pada sistem imun, hormonal dan
metabolik host. Pada host menyebabkan keadan hipermetabolik yang
membutuhkan

banyak

ATP

sehingga

memaksa

mitokondria

untuk

memproduksi ATP lebih banyak. Mitokondria yang bekerja berlebihan akan


menimbukan produk efek samping yaitu radikal bebas. Meningkatnya radikal
bebs berdampak negatif pada berbagai sel termasuk sel imun dan endotel
27

kapiler yang menimbulkan hipoksia dan iskemia yang akan menstimulasi


NFkB di nukleus untuk mensistesis lebih banyak lagi sitokin proinflamatori.
Reseptor glukokortikoid di dalam sitoplasma berinteraksi dengan
NFkB membentuk suatu kompleks AP-1 yang akan meningkatkan sisntesis
sitokin. Kortikosteroid dapat memblok reseptor ini sehingga prodyuksi sitokin
proinflamatori, prostaglandin, tromboksan, prostaksiklin dan leukotrien
semakin menurun. Pori permeabilitas kapiler menyempit, translokasi cairan
plasma terhenti, dan kembalinya plasma dari ekstravaskular ke intravaskular.
B. Penggunaan steroid pada infeksi DBD
Virus dengue merupakan induktor infeksi sistem9k akut, ditandai
proses inflamasi luas, perubahan pada endotel, peningkatan permeabilitas
kapiler, perpindahan cairan plasma, perubahan jumlah dan fungsi trombosit,
berpengaruh sistem koagulasi, memicu perdarahan.
Selama berlangsung infeksi menghasilkan produk-produk mediator
sitokin proinflamatori, radikal bebas, enzim posfolipase A-2, nitrit okside yang
sangat mementukan status endotel, vaskuler, dan miokard yang akan
mengakibatkan gangguan hemodinamik.
Gangguan elektrolit dan distribusi oksigen yang tidak adekuat akan
semakin memperberat gradasi infeksi DBD. Keadaan tersebut memicu
dampak inflamasi ke nekrosis sel, gangguan hemodinamik berat hingga terjadi
sindrom syok dengue. Dampak nekrosis sel yang ikut terlibat adalah hepatosit
sehingga kadar transaminase dapat meningkat.
Terkadang infeksi DBD yang disertai gangguan hmodinamik bahkan
SSD, tidak kunjung menunjukkan perbaikan setelah dilakukan resusitasi
cairan secara rasional dan optimal. Perkembangan serius ini perlu dipirkan
upaya lain, maka pemberian kortikosteroid dapat diberikan dosis tidak penuh
jangka pendek guna meredam inflamasi.
Kortikosteroid berpengaruh terhadap inhibisi pembentukan kompleks
NFkB-GC, meningkatkan transkripsi gen lipokortin-1, beta 2-adrenoreseptor,
inhibitor protease sekretori leukosit, menurunkan sintesis sitokin dan
mengurangi aktivitas glukokortikoid.
Pada sindrom syok dengue yang irreversible dengan resusitasi cairan
kristaloid maupun koloid, maka kortikosteroid diutamakan untuk membantu
28

mengatasi gangguan hemodinamik refrakter atau terus0menerus memerlukan


peningkatan dosis vasopresor. Dalam hal ini kortikosteroid dapat menurunkan
kebutuhan dan ketergantungan terhadap vasopresin dalam menjaga stabilits
hemodinamik serta menurunkan mortalitas.
C. Dosis, waktu pemberin, lama pemberian kortikosteroid pada DBD
Beberapa studi menetapkan pemberian dosis suprafisiologis sekitar 200 mg
metilprednisolone per hri diberikan saat terajadi dishomeostasis sistem imun, terutama
pada DBD derajat berat. Dianjurkan pemberian jangka pendek (24-36 jam). Begitu
stuaasi kritis menunjukkan perbaikan, hemokonsentrasi teratasi, inflamasi reda maka
dosis sefera diturunkan atau pemberian dihentikan untuk menghindari efek negatif
pada sistem imun, hormonal maupun metabolik.
Sebuah penelitian dengan topik penggunaan hidrokortisone dosis rendah
dalam penanganan trombositopenia pada infeksi dengue telah dilakuakan oleh Ather
Pashian dan Suhail Bin Ahmed. Penelitian dilakukan pada 50 pasien dengan hitung
trombosist dibawah 50.000 sebelum pengobatan. Pasien diberikan terapi inisial
hidrokortisone 100 mg secara intra vena, diikuti 50 mg hidrokortisone setiap 8 jam
selama 24-48 jam dan terapi supportif tetap dilakuakan. Setelah 10-12 jam pemberian
steroid inisial, trombosit naik 8000-10.000 perhari. 46 pasien menunjukan kenaiakan
hitung trombosit mencapai 75.000 dalam 3 hari, 3 pasien membutuhkan waktu 4 hari
untuk mencapai trombosit 75.000 dan 1 pasien membutuhkan waktu 5 hari untuk
mencapai level trombosit 75.000.
Penelitian lain telah dilakuakan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Pemberian deksametason intravena pada 32 kasus DBD selama 1-4 hari memberi
hasil penurunan panas badan dan perbaikan klinis dalam waktu 3 hari sehingga
penderita lebih cepat dipulangkan dari rumahsakit (4 hari vs 4-7 hari ). Penelitian lain
juga dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, pemberian metilprednisolon
peroral pada penderita DBD memberi hasil peningkatan trombosit yang lebih banyak
dibandingkan kontrol. Mereka dengan awitan demam 2-3 hari memberi hasil yang
lebih bermakna.
Penelitian lain juga telah dilakukan di vietnam (tabel 4) hasil menunjukkan
terdapat kekurangan bukti yang kuat mengenai efek kortikosteroid dalam mencegah,
penanganan komplikasi saat terjadinya dengue shock syndrome, namun tidak ada efek
samping yang bermakna dalam pemberian kortikosteroid pada DSS.
29

30

31

32

33

BAB III
KESIMPULAN
1. Pemberian kortikosteroid masih kontroversial, karena kurangnya bukti yang
kuat mengenai efek kortikosteroid dalam mencegah terjadinya DSS,
mengobati dan mencegah terjadinya komplikasi saat terjadinya DSS.
2. Tidak ada efek samping yang bermakna dalam pemberian kortikosteroid pada
pasien DHF dan DSS
3. Pemberian kortikosteroid dosis rendah yang diberikan pada saat fase awal,
menunjukkan hasil terdapat kenaikan dalam jumlah trombosit.
4. Terapi cairan yang optimal dan rasional masih menjadi terapi pilihan dalam
pengobatan DHF dan DSS.

DAFTAR PUSTAKA

34

World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive


Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011.p.1-67.
Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance.
Updated
2010
sept
1.
Available
from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control.
Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997.
WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146
Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:823
Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue
di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta.
2004.
Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
Nasronudin. Penyakit Infeksi Di Indonesia dan Solusi Kini
Mendatang.Edisi II. Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR. Surabaya. 2011

Dan

35

Anda mungkin juga menyukai