PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit paling ringan ( mild undifferentiated febrile illness ), demam dengue,
demam berdarah dengue ( DBD ) dan demam berdarah dengue disertai syok ( dengue shock
syndrome = DSS ). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah
fenomena gunung es, DBD dan DSS sebagai kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan
puncak gunung es yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan ( silent
dengue infection dan demam dengue ) merupakan dasarnya.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan
karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya
prilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di
seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.
Respon sellular dan molekul terhadap masuknya virus dengue ke dalam tubuh inang
sangat terkait dengan regulasi dan interaksi dengan sitokin dan mediator lainnya. Pada kadar
sitokin rendah akan di regulasi sehingga sistem imun tetap terjaga pada posisi homeostasis. Pada
kadar sitokin proinflammatori tinggi berpengaruh kuat, mendorong ke arah inflamasi lokal
maupun sistemik yang memunculkan gejala.
Pertolongan yang cepat dan tepat sangat membantu penyelamatan hidup pada kasus
kegawatan demam berdarah dengue. Disfungsi sirkulasi atau syok pada DBD, dengue shock
syndrome ( DSS ), disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang pada akhirnya
mengakibatkan turunnya perfusi organ. Pemberian cairan resusitasi yang tepat dan adekuat pada
fase awal syok merupakan dasar utama pengobatan DSS. Prognosis kegawatan DBD tergantung
pada pengenalan, pengobatan yang tepat segera dan pemantauan ketat syok. Oleh karena itu
peran dokter sangat membantu untuk menurunkan angka kematian.
Penggunaan steroid pada penderita DBD dan DSS masih menjadi perdebatan. Bberapa
panduan ada yang tidak menyinggung mengenai pemberian kortikosteroid pada penderita DBD
dan DSS. Efek kortikosteroid berpengaruh pada proses imunologis maupun metabolik. Steroid
berpengaruh kuat pada sistem metabolik di tingkat sellular, reseptor, maupun molekul. Pada
infeksi virus dengue peran glukokortikoid adalah memblokade resptor (GC). Akibat kemampuan
1
melakukan blokade tersebut, steroid dihrapkan dapat meredam proses inflamasi. Menurunnya
proses inflamasi akibat pengaruh inhibisi dan sintesis dan sekresi sitokin proinflamasi serta
menghambat sekresi mediator anoreksigenik (leptin, CRF, serotonin) serta inhibisi sekresi PLA2, maka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi virus dengue dapat ditekean serendahrendahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pemahaman tentang peran kortikosteroid
pada penatalaksanaan DBD dan DSS.
BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
2
Virus Dengue
Biologi Virus Dengue
Virus merupakan parasit yang hanya dapat hidup dalam sel hidup. Virus dengue termasuk
dalam golongan B Arthopod borne virus (arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviridae. Virion dengue merupakan partikel sferis dengan diameter
nukleokapsid 30 m dan ketebalan selubung 10 nm, sehingga diameter virion kira kira 50 nm.
Genom virus dengue terdiri dari asam ribonuklead berserat tunggal, panjangnya kira-kira 11
kilobasa.
Virus dengue stabil pada pH 7-9 dan suhu rendah, sedang pada suhu yang relatif tinggi
infektivitasnya cepat menurun. Sifat virus dengue yang lain adalah sangat peka terhadap
beberapa zat kimia seperti sodium deoxycholate, eter, kloroform dan garam empedu karena
adanya amplop lipid.
Infeksi Virus Dengue
Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Masing-masing tipe mempunyai subtipe (strain) yang jumlahnya ratusan, sesuai daerah atau
tempat asal virus itu. Serotipe DEN-2 dan DEN-3 adalah penyebab wabah demam berdarah di
Asia Tenggara, yang dianggap sebagai virus berpotensi terbesar penyebab demam berdarah.
Virus ini menyebabkan infeksi tahunan dengan angka kematian sekitar 5%. Di Indonesia, infeksi
dengue telah dikenal sejak abad 18 dan baru pada tahun 1960-an dikenal demam berdarah
dengue (Dengue Hemorharrgic Fever).
Karakter serotipe virus itu bisa berbeda beda dari satu tempat ke tempat lain. Meskipun
virus DEN-2 yang menyerang penduduk bedua Amerika berasal dari Asia Tenggara, penelitian
terakhir menunjukkan terdapat perbedaan genetika antara dua virus berbeda benua tersebut yaitu
adanya perubahan nukleotida pada strain Amerika. Menurut penelitian MJ.Pryor,dkk (2001),
virus dengue Amerika tidka memperbanyak diri secepat dengue Asia Tenggara.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Pembentukkan
antibodi pada infeksi pertama oleh salah satu dari keempat jenis virus dengue di atas akan
3
menghasilkan kekebalan silang (cross protection) yang berlaku untuk keempat jenis virus
dengue, sehingga infeksi kedua oleh virus dengue dengan tipe yang sama bahkan dapat
menimbulkan kekebalan seluler (sel mediated immunity) yang dapat bertahan seumur hidup.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4
serotipe selama hidupnya.
Hospes Virus Dengue
Virus dengue mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, monyet, simpanse, kelinci,
mencit, marmut, tikus, hamster serta serangga khususnya nyamuk. Wlaaupun primata merupakan
hospes alami virus, viremia yang timbul biasanya lebih rendah dan lebih pendek masanya. Pada
manusia, viremia berkisar 2-12 hari, sementara pada primata 1-2 hari.
Virus berkembang biak dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Secara
invitro, virus dengue dapat dikembangbiakkan pada berbagai biakan sel, baik biakan sel mamalia
maupun insekta.
Mekanisme Penularan Virus Dengue
Orang yang terinfeksi virus Dengue maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti
(antibodi) yang spesifik sesuai dengan tipe virus Dengue yang masuk. Gejala dan tanda yang
timbul ditentukan oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada
dalam virus Dengue yang baru masuk. Orang yang terinfeksi virus Dengue untuk pertama kali,
umumnya hanya menderita Demam Dengue (DD) atau demam yang ringan dengan gejala dan
tanda yang tidak spesifik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali
(asimptomatis). Penderita DD biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari pengobatan.
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber
penular DBD. Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.
Bila penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk ke
dalam lambung nyamuk, selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai
jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 (satu) minggu setelah
mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa
inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh
4
karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus Dengue menjadi penular (infektif)
sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit),
sebelum mengisap darah akan meneeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis),
agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus Dengue dipindahkan dari
nyamuk ke orang lain.
Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes aegypti sebagai Vektor Penyakit DBD
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab
penyakit demam berdarah. Selain dengue, Aedes aegypti juga merupakan pembawa virus demam
kuning (yellow fever) dan chikunguya. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua
daerah tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti merupakan pembawa utama (primary vector) dan
bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa - desa dan perkotaan.
Masyarakat diharapkan mampu mengenali dan mengetahui cara - cara mengendalikan DBD
untuk membantu mengurangi persebaran penyakit demam berdarah (Anggraeni, 2011).
Nyamuk Aedes aegypti betina menghisap darah manusia setiap 2 hari. Protein dari darah
tersebut diperlukan untuk pematangan telur yang dikandungnya. Setelah menghisap darah,
nyamuk ini akan mencari tempat hinggap (beristirahat). Tempat hinggap yang disenangi ialah
benda - benda yang tergantung, seperti : pakaian, kelambu atau tumbuh - tumbuhan di dekat
berkembang biaknya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Setelah masa istirahat
selesai, nyamuk itu akan meletakkan telurnya pada dinding bak mandi/WC, tempayan, drum,
kaleng, ban bekas, dan lain - lain. Biasanya sedikit di atas permukaan air. Selanjutnya nyamuk
akan mencari mangsanya (menghisap darah) lagi dan seterusnya (Depkes RI, 2007).
Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan belang - belang (loreng) putih pada
seluruh tubuhnya.
Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat umum.
5
Perkembangan dari telur sampai menjadi nyamuk kurang lebih 9-10 hari
1. Setiap kali bertelur , nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir.
2. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran 0.80 mm,
3. Telur ini ditempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan,
4. Telur itu akan menetas menjadi jentik dalam waktu lebih kurang 2 hari setelah terendam
air.
6
5. Jentik kecil yang menetas dari telur itu akan tumbuh menjadi besar yang panjangnya 0.5 1 cm.
6. Jentik Aedes aegypti akan selalu begerak aktif dalam air. Geraknya berulang - ulang dari
bawah ke atas permukaan air untuk bernafas (mengambil udara) kemudian turun, kembali
ke bawah dan seterusnya.
7. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak lurus dengan permukaan air. Biasanya berada
di sekitar dinding tempat penampungan air.
8. Setelah 6-8 hari jentik itu akan berkembang/berubah menjadi kepompong.
9. Kepompong berbentuk koma.
10. Gerakannya lamban.
11. Sering berada di permukaan air.
12. Setelah 1-2 hari akan menjadi nyamuk dewasa (Anggraeni, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti menyenangi area gelap dan benda- benda berwarna hitam atau
merah. Nyamuk ini banyak ditemukan di bawah meja, bangku, kamar yang gelap, atau dibalik
baju - baju yang digantung. Nyamuk ini menggigit pada siang hari (pukul 09.00 -10.00) dan sore
hari (pukul 16.00 - 17.00). Demam berdarah sering menyerang anak -anak karena anak - anak
cenderung duduk di dalam kelas selama pagi sampai siang hari (Anggraeni, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat penampungan air untuk keperluan
sehari - hari dan barang - barang lain yang memungkinkan air tergenang yang tidak beralaskan
tanah, misalnya bak mandi/WC, tempayan, drum, tempat minum burung, vas bunga/pot tanaman
air, kaleng bekas dan ban bekas, botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang dibuang
sembarang tempat (Depkes RI, 2007).
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1) Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dai satu tempat ke tempat lain;
2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody.
9
Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad
monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan
IL-10;
c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag;
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
10
11
Gambar 1. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011 Sumber:World Health OrganizationSouth East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.
Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi
asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi undifferentiated fever
(sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan
infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome
atau isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda
patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim
dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis,
DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak
(Gambar 1).
Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi dengue, yaitu
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma
dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites
Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak berhenti
disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma
12
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue Sumber: Center for Disease Control and Prevention. Clinicians
case management. Dengue Clinical Guidance. Updated 2011
Gambaran klinis
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab
virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala
dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang, nyeri
retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan,
konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik
1. Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari
2. Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan dada
3. Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
4. Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal, lengan
13
b.
c.
d.
e.
f.
g.
b. Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi
cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
14
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat
demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,
1. Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
2. Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding kandung
empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi
dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
3. Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
4. Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas
cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3
detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
5. Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,
kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.
Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali
merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus
bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD.
d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan
jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau
komplikasi dari syok yang berkepanjangan.
Unusual/atypical manifestation
15
Nerologi
Gastro intestinal/hepatik
Hepatitis
Aculculous cholecytitis
Pankreatitis akut
Hiperplasia plaque peyeri
Parotitis akut
Ginjal
AKI
HUS
Jantung
Konduksi abnormal
Miokarditis
Perikarditis
Respirasi
ARDS
Perdarahan paru
Muskuloskletal
CPK
Rabdomiolisis
Limforetikular
ITP
Lymph node infarction
Mata
Macular haemorrhage
Gangguan visual acuity
Neuritis opticus
Lain-lain
Diagnosis
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO, 2011).
Kriteria klinis
16
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari
2. Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena
3. Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20 mmHg), hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah
Kriteria laboratorium
1. Trombositopenia (100.000/mikroliter)
2. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar / menurut
standar umur dan jenis kelamin
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,
1. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/ peningkatan
hematokrit20%.
2. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
3. Dijumpai tanda perembesan plasma
4. Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
a. Hipoalbuminemia
5. Perhatian
a. Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
i. mendukung diagnosis DSS.
ii. Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok
sepsis
Laboratorium
Leukopenia (jumlah
17
gejala
Nyeri kepala
DBD
DBD
II
DBD*
III
DBD*
IV
Nyeri retro-orbital
Nyeri otot
Nyeri sendi/ tulang
Ruam kulit makulopapular
Manifestasi perdarahan
Tidak ada tanda perembesan
plasma
Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
bendung positif) dan tanda perembesan hematokrit
plasma
20%
Seperti derajat I ditambah perdarahan Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
sponta
hematokrit
n
20%
Seperti derajat I atau II ditambah
kegagalan
Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
sirkulasi (nadi lemah, tekanan nadi
hematokrit
20
mmHg, hipotensi, gelisah, diuresis
menurun
20%
Syok hebat dengan tekanan darah dan
nadi
Trombositopenia <100.000
sel/mm3; peningkatan
hematokrit
yang tidak terdeteksi
20%
Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan trauma.
Demam Berdarah Dengue
18
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
2. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
3. Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian
cairan pada masa perembesan plasma
4. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat
(DIC, kegagalan organ multipel)
5. Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok berkepanjangan
dan terapi cairan yang tidak sesuai
Diagnosis banding
1. Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan
penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan
campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu
ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan sesuai indikasi.
2. Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau
anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap
disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.
3. Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila
anak mengalami demam disertai syok.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan
trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan
menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini
dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak
dapat membedakan penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
a. Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
19
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
b. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi
sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
c. Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun apabila
IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Tabel 2. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue
Antibodi anti dengue
Diagnosis
Keterangan
IgM
IgG
Infeksi primer
Infeksi sekunder
Infeksi lampau
positif
positif
negatif
Negatif
Positif
Positif
Bukan dengue
negatif
Negatif
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi,
1. Distres pernafasan/ sesak
2. Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
3. Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema
paru karena overload pemberian cairan.
4. Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan
lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
5. Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika felea, dan
dinding buli-buli.
20
Tanda kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue,
seperti berikiut.
1. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase
bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
2. Muntah yg menetap, tidak mau minum
3. Nyeri perut hebat
4. Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
5. Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat,
warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
6. Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
7. Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
8. Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
21
Berat badan
Cairan
ideal (kg)
rumatan
(ml)
500
1000
1250
1500
1600
1700
5
10
15
20
25
30
Cairan
rumatan
+ 5% defisit
(ml)
750
1500
2000
2500
2850
3200
Berat badan
Cairan
ideal (kg)
rumatan
(ml)
1800
1900
2000
2100
2200
2300
35
40
45
50
55
60
Cairan rumatan
+ 5% defisit
(ml)
3550
3900
4250
4600
4950
5300
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy
A. Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
B. Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
C. Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula darah (dekstrostik)
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit
Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila
anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan
saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit
Fase Kritis
23
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit,
disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
24
suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena kelebihan cairan
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
10. Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
11. Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah perdarahan
saluran cerna.
12. Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di hati.
13. Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap 12-24
jam.
Indikasi untuk pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.
1. Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
2. Nafsu makan telah kembali
3. Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
4. Diuresis baik
5. Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
6. Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
7. Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari
Peran kortikosteroid Dalam Tata Laksana Demam Berdarah Dengue dan Sindrom
Syok Dengue.
26
Secara global, sekitar 50-100 juta kasus demam dengue dan demam berdarah dengue
terjadi setiap tahun. Belum berhasilnya upaya pemberantasan penyakit ini ditentukan oleh
beberap hal. Salah satunyanya kebersihan lingkunagn yang perlu diperhatikan lebih serius
sehingga Aedes Aegypti tidak memumgkinkan untuk hidup dan berkembang biak.Guna untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitaspenatalaksanaan DBD perlu dioptimalkan.
Respon sellular dan molekul terhadap masuknya virus dengue ke dalam tubuh inang
sangat terkait dengan regulasi dan interaksi dengan sitokin dan mediator ,ainnya. Pada kadar
sitokin rendah akan di regulasi sehingga sistem imun tetap tgerjaga pada posisi homeostasis.
Pada kadar sitokin proinflammatori tinggi berpengaruh kuat, mendorong ke arah inflamasi
lokal maupun sistemik yang memunculkan gejala.
Penggunaan steroid pada penderita DBD dan DSS masih menjadi perdebatan.
Bberapa panduan ada yang tidak menyinggung mengenai pemberian kortikosteroid pada
penderita DBD dan DSS. Efek kortikosteroid berpengaruh pada proses imunologis maupun
metabolik. Steroid berpengaruh kuat pada sistem metabolik di tingkat sellular, reseptor,
maupun molekul. Pada infeksi virus dengue peran glukokortikoid adalah memblokade resptor
(GC). Akibat kemampuan melakukan blokade tersebut, steroid dihrapkan dapat meredam
proses inflamasi. Menurunnya proses inflamasi akibat pengaruh inhibisi dan sintesis dan
sekresi sitokin proinflamasi serta menghambat sekresi mediator anoreksigenik (leptin, CRF,
serotonin) serta inhibisi sekresi PLA-2, maka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi virus
dengue dapat ditekean serendah-rendahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
pemahaman tentang peran kortikosteroid pada penatalaksanaan DBD.
A. Hiperaktivitas reseptor glukokortikoid pada infeksi virus dengue
Monosit dan makrofag sebagai target infeksi virus mengalami
perubahan ekstraselular maupun intraselular. Peningkatan aktivitas NFkB di
nukleus memicu menimgkatnya sintesis dan sekresi sitokin proinflamatori
seperti TNF- dan IL-1 yang berdampak pada sistem imun, hormonal dan
metabolik host. Pada host menyebabkan keadan hipermetabolik yang
membutuhkan
banyak
ATP
sehingga
memaksa
mitokondria
untuk
30
31
32
33
BAB III
KESIMPULAN
1. Pemberian kortikosteroid masih kontroversial, karena kurangnya bukti yang
kuat mengenai efek kortikosteroid dalam mencegah terjadinya DSS,
mengobati dan mencegah terjadinya komplikasi saat terjadinya DSS.
2. Tidak ada efek samping yang bermakna dalam pemberian kortikosteroid pada
pasien DHF dan DSS
3. Pemberian kortikosteroid dosis rendah yang diberikan pada saat fase awal,
menunjukkan hasil terdapat kenaikan dalam jumlah trombosit.
4. Terapi cairan yang optimal dan rasional masih menjadi terapi pilihan dalam
pengobatan DHF dan DSS.
DAFTAR PUSTAKA
34
Dan
35