Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. BRIGITTA INTAN PRIWITA SARI

PENDAMPING :
dr. NURUL FAJRI KURNIATI

dr. MOH HERMAN SYAHRUDDIN

DOKTER INTERNSIP WAHANA RST DR. ASMIR SALATIGA

PERIODE 17 NOVEMBER 2018 – 20 NOVEMBER 2019

KOTA SALATIGA
BorangPortofolio

NamaPeserta: dr. Brigitta Intan Priwita Sari

NamaWahana: RST dr. Asmir Salatiga

Topik: Pterigium

Tanggal (kasus): 25/01/19

NamaPasien: Ny. W No. RM: 117059

NamaPendamping:

Tanggal Presentasi : 05/03/19 dr. Nurul Fajri Kurniati

dr. Moh. Herman Syahruddin

Tempat Presentasi: RST dr. Asmir Salatiga

Obyektif Presentasi:

■ Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  TinjauanPustaka

■ Diagnostik ■ Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja ■ Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi:
Seorang wanita usia 49 tahun dengan keluhan mata terasa mengganjal
 Tujuan:
Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal serta konsultasi dengan spesialis mata untuk penanganan lebih lanjut terkait
kasus penyakit pterigium serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga.

Bahanbahasan:  TinjauanPustaka  Riset ■ Kasus  Audit

Cara membahas:  Diskusi  Presentasidandiskusi  Email  Pos

Data pasien: Nama: Ny. W Nomor Registrasi:117059

Nama klinik : RST dr. Asmir Salatiga Telp:- Terdaftar sejak: 25/01/29

Data utamauntukbahandiskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan Utama : Mata kiri terasa mengganjal

2. Riwayat Kesehatan / Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan mata kiri seperti ada yang mengganjal. Pasien juga mengeluhkan seperti ada selaput berwarna putih yang
tumbuh di mata kiri dan semakin meluas ke arah bola matanya. Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Riwayat sering
terpapar debu dan sinar matahari (+) yaitu pada saat pasien mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki ke pasar tanpa menggunakan
pelindung mata. Riwayat trauma pada kedua mata disangkal. Pasien juga merasakan pandangan semakin berkurang sejak saat itu. Pandangan
kabur (+), pusing (-), mata cekot-cekot (-), mata merah (-), mata gatal (-).
3. Riwayat Pengobatan:
Pasien memberi obat tetes mata obat warung namun tidak ada perubahan

4. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Hipertensi (-)
Gagal jantung (-)
Penyakit jantung iskemi/koroner (-)
Penyakit katup jantung (-)
Diabetes mellitus (-)
Penyakit paru (emboli paru, hipertensi pulmonal, ppok) (-)
Stroke (-)
Penyakit mata (mata merah, penglihatan buram, trauma) (-)

5. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluhan serupa (-)

6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :


Pasien tinggal di rumah beserta suami dan anaknya. Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.

7. Riwayat Kebiasaan :
Pasien sebagai ibu rumah tangga
8. Pemeriksaan Fisik
VITAL SIGN
 KU : sakit sedang
 Tekanan darah : 110/70mmHg
 Frekuensi nadi : 80 x/menit
 Frekuensi nafas : 22 x /menit
 Suhu : 36.5oC
 SpO2 : 98%
 BB : 55 kg

PEMERIKSAAN FISIK

PRIMARY SURVEY
• Airway : Bebas
• Breathing : Spontan, frekuensi nafas 22x/ menit
• Circulation : Akral hangat, CRT < 2”, frek nadi 80 x/menit
• Disability : GCS (E4 M6 V5)

SECONDARY SURVEY
a. Kepala : Simetris, mesosefal
b. Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), RC (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), eksoftalmus (-)
c. Mulut &Tenggorokan : Mukosa basah, tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring hiperemis (-)
d. Leher : KGB servikal tidak membesar, JVP tidak meningkat,
e. Kelenjar tiroid : kelenjar tiroid tidak membesar, permukaan rata, teraba lunak, nodul (-), nyeri (-), hangat (-), bruit (-), pergeseran
trakea (-)
f. Thoraks : tidak tampak jejas, retraksi (-)
Cor I : ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea parasternalis sinistra
batas jantung kiri bawah : spatium intercostale V, 1 cm medial linea medioklavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea parasternalis dextra
(Kesan: Batas jantung normal)
A : Bunyi jantung I-II, ireguler, bising (-), gallop (-)
PulmoI : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba (+/+)
P : Sonor / sonor
A : SDV (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), wheezing (-/-)
g. Abdomen :
I : datar
A: Bising usus (+) dalam batas normal
P : Timpani (+)
P: Supel,nyeri tekan (-), defans muscular (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor dalam batas normal.
h. Genitourinaria : BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)

i. Ekstremitas :
Akral hangat CRT < 2 detik Edema

- - - - - -

- - - -
- -

j. Pemeriksaan tambahan

A. Pemeriksaan subyektif
OD OS
Visus Sentralis Jauh 6/20 7/60

Pinhole : tidak dilakukan tidak dilakukan

Koreksi : tidak dilakukan tidak dilakukan

Refraksi : tidak dilakukan tidak dilakukan

Visus Sentralis Dekat

Koreksi : tidak dilakukan tidak dilakukan


Visus Perifer

a. Konfrontasi test : tidak dilakukan tidak dilakukan


b. Proyeksi sinar : tidak dilakukan tidak dilakukan
c. Persepsi warna :
Merah tidak dilakukan tidak dilakukan

Hijau tidak dilakukan tidak dilakukan

B. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata
Tanda radang : tidak ada tidak ada

Luka : tidak ada tidak ada

Parut : tidak ada tidak ada

Kelainan warna : tidak ada tidak ada

Kelainan bentuk : tidak ada tidak ada

2. Pasangan Bola Mata dalam Orbita


Heteroforia : tidak ada tidak ada

Strabismus : tidak ada tidak ada


Pseudostrabismus : tidak ada tidak ada

Exophthalmus : tidak ada tidak ada

Enophthalmus : tidak ada tidak ada

Anophthalmus : tidak ada tidak ada

3. Ukuran bola mata


Mikrophthalmus : tidak ada tidak ada

Makrophthalmus : tidak ada tidak ada

Ptosis bulbi : tidak ada tidak ada

Atrofi bulbi : tidak ada tidak ada

Bufthalmus : tidak ada tidak ada

Megalokornea : tidak ada tidak ada

Mikrokornea : tidak ada tidak ada

4. Gerakan Bola Mata


Temporal Superior : dalam batas normal dalam batas normal
Temporal Inferior : dalam batas normal dalam batas normal
Temporal : dalam batas normal dalam batas normal
Nasal Superior : dalam batas normal dalam batas normal
Nasal Inferior : dalam batas normal dalam batas normal
5. Kelopak Mata
Gerakan : dalam batas normal dalam batas normal
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada ada
Tepi Kelopak Mata
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemi : tidak ada tidak ada
Entropion : tidak ada tidak ada
Ekstropion : tidak ada tidak ada

6. Sekitar saccus lakrimalis


Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemi : tidak ada tidak ada
7. Sekitar Glandula lakrimalis
Oedem : tidak ada tidak ada

Hiperemis : tidak ada tidak ada

8. Tekanan Intra Okuler


Palpasi : tidak dilakukan tidak dilakukan

Tonometer Schiotz : tidak dilakukan tidak dilakukan


9. Konjungtiva
Konjungtiva palpebra superior
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada tidak ada
Sekret : tidak ada tidak ada

Konjungtiva palpebra inferior


Oedem : tidak ada tidak ada

Hiperemis : tidak ada tidak ada

Sikatrik : tidak ada tidak ada

Konjungtiva Fornix
Oedem : tidak ada tidak ada
Hiperemis : tidak ada tidak ada
Sekret : tidak ada tidak ada

Konjungtiva Bulbi

Oedem : tidak ada tidak ada

Hiperemis : tidak ada tidak ada

Sekret : tidak ada tidak ada


Injeksi Konjungtiva : tidak ada tidak ada
Injeksi Siliar : tidak ada tidak ada
Pterigium : tidak ada ada
10. Sklera
Warna : putih putih

Penonjolan : tidak ada tidak ada

11. Kornea
Ukuran : 12 mm 12 mm
Limbus : normal normal
Permukaan : rata terdapat selaput
Sensibilitas : tidak dilakukan tidak dilakukan
Keratoskop : tidak dilakukan tidak dlakukan
Flourescin Test : tidak dilakukan tidak dlakukan
12. Iris
Warna : hitam hitam

Bentuk : bulat bulat

Sinekia anterior : tidak ada tidak ada

Sinekia posterior : tidak ada tidak ada

13. Pupil
Ukuran : 3mm 3 mm
Letak : sentral sentral
Bentuk : bulat bulat
Reaksi terhadap
Cahaya Langsung : (+) (+)
Cahaya tak langsung: tidak dilakukan tidak dilakukan
Konvergensi : tidak dilakukan tidak dilakukan
14. Lensa
Ada/tidak : ada ada
Kejernihan : jernih jernih
Letak : sentral sentral
Shadow test : tidak dilakukan tidak dilakukan
15. Corpus vitreum
Kejernihan : tidak dilakukan tidak dilakukan

9. Pemeriksaan Penunjang

EKG
Pemeriksaan Lab Darah (13 Juni 2019)
Hematologi

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi

Leukosit 8.56 4..5 – 11 x 103/uL Meningkat

Eritrosit 4.11 3.5 – 5.0 x 106/uL Normal

Hemoglobin 12.5 11.0 – 15.0 g/dL Normal

Hematokrit 35.5 37 – 47 % Normal

MCV 86.3 80 – 100 fL

MCH 30.4 27 – 34pg

MCHC 35.2 32 – 36 g/dL Normal

Trombosit 322 150 – 450 x 103/uL Normal

Imuno-Serologi

HBsAg Non Non reaktive Normal


reakti
ve

10. Resume

Pasien datang dengan keluhan mata kiri seperti ada yang mengganjal. Pasien juga mengeluhkan seperti ada selaput berwarna putih yang tumbuh di
mata kiri dan semakin meluas ke arah bola matanya. Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Riwayat sering terpapar debu dan
sinar matahari (+) yaitu pada saat pasien mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki ke pasar tanpa menggunakan pelindung mata. Riwayat
trauma pada kedua mata disangkal. Pasien juga merasakan pandangan semakin berkurang sejak saat itu. Pandangan kabur (+), pusing (-), mata cekot-cekot (-
),mata merah (-), mata gatal (-).

Dari hasil pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, frekuensi nadi 80x/menit, dan laju pernapasan 22x/menit
dan SpO2 98%. Pada pemeriksaan lokalisasi didapatkan terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga pada bagian temporal konjunctiva
bulbi melewati limbus dan hampir mencapai pupil mata kanan.

Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah didapatkan hasil dalam batas normal.

11. Diagnosis
OS Pterigium Grade III

12. Penatalaksanaan
Rencana ekstirpasi

Planning:
Pemeriksaan laboratorium
Darah : Hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, imuno-serologi (HbsAg)
Penatalaksanaan sosial : edukasi pasien

RENCANA OPERASI
OS ekstirpasi pterigium

13. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad sanationam: dubia ad bonam
 Ad fungsionam: dubia ad bonam

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subyektif
Pasien datang dengan keluhan mata kiri seperti ada yang mengganjal. Pasien juga mengeluhkan seperti ada selaput berwarna putih yang
tumbuh di mata kiri dan semakin meluas ke arah bola matanya. Keluhan sudah dirasakan pasien sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Riwayat sering
terpapar debu dan sinar matahari (+) yaitu pada saat pasien mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki ke pasar tanpa menggunakan
pelindung mata. Riwayat trauma pada kedua mata disangkal. Pasien juga merasakan pandangan semakin berkurang sejak saat itu. Pandangan
kabur (+), pusing (-), mata cekot-cekot (-), mata merah (-), mata gatal (-).

2. Objektif
• Dari hasil pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, frekuensi nadi 80x/menit, dan laju pernapasan 22x/menit
dan SpO2 98%.
• Pada pemeriksaan lokalisasi didapatkan terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga pada bagian temporal konjunctiva bulbi
melewati limbus dan hampir mencapai pupil mata kanan.
• Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah didapatkan hasil dalam batas normal
3. Assesment
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosis OS Pterigium Grade III
4. Plan
Diagnosis:
OS Pterigium Grade III

Pengobatan:
Tata laksana meliputi pengobatan untuk ptergium dan tata laksana umum yang menyertainya.
• OS pterigium grade III

Edukasi:
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk dilakukan tindakan operasi karena apabila berkembang akan menutup aksis penglihatan
• Tindakan operasi yang dilakukan adalah pengangkatan selaput dan graft konjungtiva
• Menjelaskan bahwa selaput ini dapat tumbuh kembali setelah dioperasi karena berbagai faktor
• Jangan terkena air pada mata kiri setelah operasi selama kurang lebih 1 minggu
• Menjaga kebersihan mata terutama pada mata kiri
• Penggunaan kacamata hitam ketika bepergian keluar ruangan untuk menghindari pajanan sinar UV dan debu
• Apabila terdapat nanah yang keluar dari mata kiri setelah operasi, segera periksakan ke dokter
• Konsumsi obat secara teratur

Konsultasi:
Dilakukan kepada dokter spesialis mata
Rujukan:
Tidak diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.

2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of
progresive primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002; 86(12): 1341–1346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta:
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
5. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
6. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology – An Asian Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
7. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International
Limited Publisher. 2007. p: 443-457
8. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA DAN KORNEA


Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
3. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.

Pada konjungtiva palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan menebal secara bertahap dari forniks ke limbus dengan membentuk epithelium
berlapis tanpa keratinisasi pada daerah marginal kornea. Konjungtiva palpebralis terdiri dari epitel berlapis tanpa keratinisasi yang lebih tipis. Dibawah
epitel tersebut terdapat lapisan adenoid yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdiri dari leukosit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat pada tarsus,
sedangkan bagian bulbar bergerak secara bebas pada sklera kecuali yang dekat pada daerah kornea. Berikut adalah gambaran anatomi dari konjungtiva.
Gambar 3. Anatomi Konjungtiva

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe
konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus
limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit
mempunyai serat nyeri.

Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi
mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu:

1. Penghasil musin
a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah
substansi propria.
Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan
suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.

Anatomi Kornea

Kornea (Latin Cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis:

1. Epitel : Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng,
sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman : Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma : Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descemet : Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur dan bening, mempunyai tebal 40 µm, terletak di
bawah stroma, lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah.
5. Endotel : Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. Endotel melekat pada membrane descemet melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Berikut adalah gambaran anatominya:

Gambar 4. Anatomi Kornea

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V (N.Trigeminus),saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane Bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

II. PTERYGIUM
A. Definisi

Gambar 5. Mata dengan Pterygium

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap Pterygium adalah keadaan patologik konjungtiva bulbi yang menunjukkan
penebalan yang merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang bersifat degeneratif dan invasif, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
dari arah konjungtiva dan menjalar ke dalam kornea pada daerah interpalpebra, dengan puncak segitiganya di kornea, dan kaya akan pembuluh darah
yang menuju ke arah puncak pterygium. Kebanyakan pterygium ditemukan di bagian nasal dan biasanya bilateral. Pada stadium dini, bagian puncak
pterygium terlihat bercak-bercak kelabu yang dikenal dengan sebutan pulau-pulau Fuchs. Pterygium memiliki tiga bagian:

1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
2. Bagian whitish, langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor. Merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan
area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan

B. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak
terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor risiko terjadinya pterigium adalah
tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau
sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva
bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat alergen, kimia dan zat pengiritasi lainnya. Pterigium
Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak. Faktor risiko :

1. Radiasi ultraviolet
Radiasi UV adalah penyebab tersering timbulnya pterygium. Faktor resiko radiasi sinar UV bisa dikaitkan dengan pekerjaan.

2. Faktor genetik
Penelitian case control yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan kemungkinan diturunkan autosom dominan pada riwayat keluarga dengan
pterygium.

3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi.
Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu (pasir, debu, angin, asap rokok, bahan iritan), dry eye dan virus
papilloma juga penyebab dari pterygium.

Ultraviolet B adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan pengaturan berlebihan pada sistem kolagenase, migrasi seluler, dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan subepitelial fibrovaskular yang menembus kornea dan seringkali disertai dengan
inflamasi. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman dan epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Akibat dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik.

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung
serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygium menunjukkan proliferasi sel
yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi
fibrovaskular dan inflamasi.

C. Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak antara 37o Lintang Utara dan Selatan. Prevalensi tinggi
sampai 22 % di daerah dekat ekuator. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1 %. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering
pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan.

Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata
sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan,
menyebabkan penglihatan kabur.

D. Klasifikasi Pterygium
a. Berdasarkan lokasi:
1. Pterygium Simpleks, jika terjadi hanya di nasal atau temporal saja
2. Pterygium Dupleks, jika terjadi di nasal dan temporal
b. Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium (disebut cap pterygium).
2. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi 4 membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
c. Klasifikasi yang lain :
1. Vaskuler : pterygium tebal, merah, progresif, ditemukan pada anak muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah).
2. Membrannaceus : pterygium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah terdapat pada orang tua
E. Derajat Pterygium
Pterygium dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

F. Predileksi
Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pertumbuhan pterigium ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungitva yang meluas ke daerah kornea.

G. Gejala Klinis
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Pada fase awal pterygium
tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan
fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :

1. Mata sering berair dan tampak merah (apabila terjadi iritasi)


2. Merasa seperti ada benda asing atau fotofobia
3. Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium tersebut, biasanya astigmatisme “with the rule” ataupun
astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan
4. Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4), bisa menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan juga menurun.
5. Diplopia karena membesarnya ukuran lesi. Efek diplopia akan lebih sering pada lesi-lesi rekuren dengan pembentukan jaringan parut.
H. Diagnosis
Pemeriksaan Dalam Penegakan Diagnosis :

1. Anamnesis
Gejala hingga keluhan seperti mata kemerahan, membengkak, gatal, iritasi, pandangan kabur yang berhubungan dengan lesi yang meninggi pada
satu atau kedua mata

2. Pemeriksaan Fisik
Pterigium muncul dengan perubahan fibrovaskular yang beragam pada permukaan konjungtiva dan kornea. Lebih sering muncul dari daerah
konjungtiva nasal dan meluas hingga ke kornea nasal, walaupun bisa juga bisa dari lokasi lain misal temporal. Tampilan klinis bisa dibedakan
menjadi dua kategori umum, yaitu:

a. Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik. Pterigia pada grup ini tampak lebih datar dan tumbuh lambat dan memiliki insidensi
kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi.
b. Grup kedua datang dengan riwayat pertumbuhan cepat dan komponen fibrovaskular yang meninggi secara signifikan. Pterigium pada grup ini
memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi setelah dieksisi.
I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pterygium adalah pseudopterygium. Pseudopterygium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering
pseudopterygium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterygium juga sering dilaporkan
sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterygium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk
obliq. Sedangkan pterygium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. Diagnosis banding lainnya adalah pinguekula dan pannus.
J. Penatalaksanaan
Terapi Konservatif

Terdapat beberapa terapi untuk pterygium. Secara umum pterygium primer diterapi secara konservatif dan hal ini merupakan rekomendasi pertama
pada kebanyakan orang. Air mata buatan dapat membuat perasaan nyaman pada penderita dan menyingkirkan adanya sensasi adanya benda asing pada
mata. Biasanya proses inflamasi pada lesi menjadi berkurang, pada kasus ini pemberian dekongestan optik ringan atau yang lebih jarang, obat anti
inflamasi juga dapat diresepkan oleh dokter. Pterygium atrofik yang berukuran kecil dapat diobservasi secara teratur. Cairan pelumas dapat digunakan
untuk mengatasi iritasi. Pterygium aktif dapat diterapi awal dengan vasokonstriktor, obat-obat anti inflamasi non steroid atau tetes mata steroid. Semua
hal ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau sebelum dilakukan eksisi bedah.

Terapi Bedah

Pembedahan merupakan tindakan terbaik untuk mengatasi pterygium ataupun pinguekula, namun hasilnya seringkali mengecewakan. Bahkan dengan
tehnik modern ini, angka kekambuhan cukup tinggi, yaitu antara 50-60%. Pembedahan tidak direkomendasikan selama pterygium ataupun pinguekula
tidak terlalu menimbulkan masalah berat bagi penderita.

Tiga tipe masalah yang merupakan indikasi dilakukannya pembedahan segera :

1. Tajam penglihatan terganggu. Hal ini dikarenakan pterygium berukuran cukup besar sehingga mengenai zona penglihatan di bagian tengah kornea.
Pembedahan dapat digunakan untuk menjernihkan media penglihatan dan membatasi astigmatisma yang cepat dan irregular.
2. Pterygium (kadang pinguekula) sangat mengganggu secara kosmetik. Pembedahan biasanya dapat mengurangi ukuran pterygium, namun eliminasi
secara menyeluruh kadang sulit dilakukan.
3. Baik pterygium maupun pinguekula menyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman karena adanya kekeringan atau sensasi adanya benda asing
yang kronik. Pembedahan biasanya dapat meningkatkan rasa nyaman, namun gejala iritasi juga dapat muncul.
Cara operasi terbagi tiga :

1. Bar sklera : sklera dibiarkan terbuka.


2. Eksterpasi pterigium : Pterigium digunting, kemudian dijahit kebawah konjungtiva.
3. Operasi plastik : ditutup oleh mukosa mulut.
Indikasi Operasi McReynold

1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.


2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular.
3. Mata terasa mengganjal.
4. Visus menurun, terus berair.
5. Mata merah sekali.
6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.
7. Alasan kosmetik.

Teknik pembedahan dengan menggunakan tandur atau graft sklera :

Pembedahan ini dilakukan di bawah anastesi lokal sehingga pasien tidak akan merasakan sakit. Dalam pembedahan, pterygium dipindahkan dan bagian
kecil konjungtiva yang berupa kulit tipis transparan yang menutupi bagian putih pada mata diletakkan ke tempat tersebut dari kelopak mata bagian
bawah. Operasi hanya berlangsung selama setengah jam. Setelah pembedahan, seringkali pasien mengalami nyeri mata selama beberapa minggu
sehingga diperlukan pemberian tetes mata topikal selama beberapa hari. Pada awal fase nyeri ini, biasanya mata juga mengalami sedikit pembengkakan
dan memerah
K. Prognosis
Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, namun
kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini
biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat
mengulangi pembedahan eksisi dan grafting.

Anda mungkin juga menyukai