Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

PTERYGIUM GRADE IV OD

Disusun Oleh :
Prieza Noor Amalia
1102009217

Pembimbing :
Dr. Elfi Hendriati, SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM Dr. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA
PERIODE 26 MEI 27 JUNI 2014
2014

1
BAB I

STATUS PASIEN PTERIGIUM GRADE IV OD

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. I

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 47 tahun

Alamat : Cilawu

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No. CM : 0167xxxx

Tanggal : 6 Juni 2014

ANAMNESA

Keluhan utama : Terdapat selaput pada mata kanan sejak 1 tahun SMRS

Anamnesa khusus :

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSU Dr. Slamet Garut dengan keluhan terdapat
selaput pada mata kanan sejak 1 tahun SMRS. Awalnya selaput berukuran kecil namun
semakin meluas sehingga pasien mengaku penglihatannya seperti ada yang menghalangi dan
terasa ada yang mengganjal. Keluhan ini disertai dengan mata gatal dan berair tanpa disertai
dengan keluar kotoran mata berlebih. Pasien mengaku adanya riwayat keluhan yang sama
pada mata kirinya dan telah dioperasi 3 tahun yang lalu. Riwayat sering terpapar debu dan
sinar matahari (+) yaitu pada saat pasien mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki ke
pasar tanpa menggunakan pelindung mata. Riwayat trauma pada kedua mata disangkal.

2
Anamnesa keluarga :

Ibu pasien memiliki riwayat yang sama seperti pasien, namun tidak dioperasi karena ibu
pasien sudah tua sehingga tidak mau dioperasi.

Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat memakai kacamata tidak ada


Riwayat tekanan darah tinggi tidak diakui
Riwayat kencing manis tidak diakui
Riwayat penyakit mata (mata merah, penglihatan buram, trauma) tidak diakui
Riwayat alergi makanan, obat-obatan ataupun debu tidak diakui

Riwayat sosial ekonomi : Cukup


Riwayat gizi : Cukup

PEMERIKSAAN

1. Keadaan Umum

Kesan Sakit : Tampak sakit sedang


Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : Afebris

2. Status Oftalmologi
Pemeriksaan Subjektif

VISUS OD OS
SC 0.4 1.0
CC - -
STN Pin hole : tetap Pin hole : tetap
KOREKSI - -
ADDE S +2.00 S +2.00
GERAKAN BOLA MATA Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Pemeriksaan Eksternal

3
OD OS

Silia Tumbuh teratur Tumbuh teratur

Palpebra superior t.a.k t.a.k

Palpebra inferior t.a.k t.a.k

Konjungtiva tarsus superior tenang tenang

Konjungtiva tarsus inferior tenang tenang

Konjungtiva bulbi Terdapat jaringan t.a.k

fibrovaskular berbentuk

segitiga di bagian temporal

melewati limbus dan


Kornea jernih
mencapai pupil

dalam
Bilik Mata Depan Dalam
bulat
Pupil bulat
3mm
Diameter pupil 3mm

Reflek cahaya
+
Direct +
Indirect +
+
Iris Coklat, sinekia (-)
Coklat, sinekia (-)
Lensa Jernih
Jernih

Pemeriksaan Biomikroskop (Slit Lamp)

4
Cilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Konjungtiva Terdapat jaringan Injeksi (-)
fibrovaskular berbentuk
segitiga di bagian
temporal konjunctiva
Kornea Jernih
bulbi melewati limbus dan
mencapai pupil

COA Dalam Dalam

Pupil bulat bulat

Iris Warna coklat,kripta iris Warna coklat, kripta iris normal


normal, sinekia (-) Sinekia (-)

Lensa Jernih Jernih

PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI

Funduskopi OD OS
Lensa Jernih Jernih
Vitreus Jernih Jernih
Fundus Refleks fundus (+) Refleks fundus (+)
Papil Batas tegas, hiperemis, Batas tegas, hiperemis,
bentuk bulat bentuk bulat
CDR 0,3 0,4 0,3 0,4
A/V retina sentralis 2/3 2/3
Retina Perdarahan (-) Perdarahan (-)
Eksudat (-) Eksudat (-)
Makula Fovea reflex (+) Fovea reflex (+)

Pemeriksaan Tonometri : TIO normal per palpasi ODS

RESUME :

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSU Dr. Slamet Garut dengan keluhan terdapat
selaput pada mata kanan sejak 1 tahun SMRS. Awalnya selaput berukuran kecil namun
5
semakin meluas sehingga pasien mengaku penglihatannya seperti ada yang menghalangi dan
terasa ada yang mengganjal. Keluhan ini disertai dengan mata gatal dan berair tanpa disertai
dengan keluar kotoran mata berlebih. Pasien mengaku adanya riwayat keluhan yang sama
pada mata kirinya dan telah dioperasi 3 tahun yang lalu. Riwayat sering terpapar debu dan
sinar matahari (+) yaitu pada saat pasien mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki ke
pasar tanpa menggunakan pelindung mata. Riwayat trauma pada kedua mata disangkal. Ibu
pasien memiliki keluhan yang sama seperti pasien, namun tidak dioperasi. Riwayat memakai
kacamata, tekanan darah tinggi, kencing manis, alergi makanan, obat-obatan ataupun debu
tidak diakui pasien. Pada pemeriksaan didapatkan terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk
segitiga pada bagian temporal konjunctiva bulbi melewati limbus dan mencapai pupil mata
kanan. Pemeriksaan visus mata kanan 0,4 dan mata kiri 1,0.

DIAGNOSIS BANDING

Pseudopterigium

DIAGNOSIS KERJA

Pterigium grade IV OD + Presbiopi ODS

RENCANA PEMERIKSAAN

Pemeriksaan laboratorium
Darah : Hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, masa perdarahan (BT),
Masa pembekuan darah (CT)
Kimia : Gula darah sewaktu
Urin : Glukosa urin

RENCANA TERAPI
Medikamentosa preoperasi
Amoxicillin 500 mg 3x1 tab po
Asam mefenamat 500 mg 2x1 tab po
Cendo xytrol 6x1 gtt OD
Penatalaksanaan sosial
Menggunakan kacamata pelindung dan topi pelindung

RENCANA OPERASI
OD Eksisi pterigium + graft konjungtiva

6
PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

BAB II

PEMBAHASAN

1. Mengapa pada pasien ini didiagnosa sebagai pasien pterigium grade IV OD ?

Karena dari anamnesis pada pasien ini didapatkan seorang perempuan berusia 47
tahun, pasien datang ke Poliklinik Mata RSU Dr. Slamet Garut dengan keluhan terdapat
selaput pada mata kanan sejak 1 tahun SMRS. Awalnya selaput berukuran kecil

7
namun semakin meluas sehingga pasien mengaku penglihatannya seperti ada yang
menghalangi dan terasa ada yang mengganjal. Keluhan ini disertai dengan mata gatal
dan berair tanpa disertai dengan keluar kotoran mata berlebih. Pasien mengaku
adanya riwayat keluhan yang sama pada mata kirinya dan telah dioperasi 3 tahun yang
lalu. Riwayat sering terpapar debu dan sinar matahari (+) yaitu pada saat pasien
mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki ke pasar tanpa menggunakan pelindung
mata. Riwayat trauma pada kedua mata disangkal. Ibu pasien memiliki keluhan yang
sama seperti pasien, namun tidak dioperasi. Riwayat memakai kacamata, tekanan darah
tinggi, kencing manis, alergi makanan, obat-obatan ataupun debu tidak diakui pasien.
Pada pemeriksaan didapatkan terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga pada
bagian temporal konjunctiva bulbi melewati limbus dan mencapai pupil mata
kanan. Pemeriksaan visus mata kanan 0,4 dan mata kiri 1,0.

Dari uraian diatas berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien tersebut
jelas didiagnosa pterigium grade IV OD. Menurut definisi, pterigium merupakan suatu
pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya wing atau sayap.1,4

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:



Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).

Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan. 8
Pada pasien ini pterigium grade IV karena pterigium sudah melewati limbus dan
sudah mencapai pupil, juga penglihatan pasien terganggu.

2. Apa etiologi dari penyakit ini?

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi


UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor herediter. 3,5

8
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan topi
mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.3,5
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,5
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Debu,
kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,5
Pada pasien ini mengaku sering mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki
ketika pergi ke pasar tanpa menggunakan pelindung mata sehingga pasien lebih mudah
untuk terpapar debu yang merupakan faktor resiko dari pterigium.
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling
diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti
paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang
dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada
fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan
pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium
pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.4,5

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal basal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi dan
menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular.
Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi
vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan
membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi
ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.5,6

9
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini
juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di
daerah interpalpebra.6,7

Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif,


pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan
konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal. Lapisan fibroblas
pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas
pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix tersebut adalah
matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyenbuhan luka,
mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi terhadap TGF- (transforming
growth factor-) berbeda dengan jaringan konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast
growth factor) yang berlebihan, TNF- (tumor necrosis factor-) dan IGF II. Hal ini
menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan
terjadi fibrovaskular dan inflamasi.6,7

3. Bagaimana penatalaksanaan pasien ini?

Untuk medikamentosa preoperasi diberikan antibiotik berupa Amoxicillin 500


mg 3x1 tab peroral sebagai obat profilaksis terjadinya infeksi sistemik pasca operasi,
juga diberikan Asam Mefenamat 500 mg 2x1 tab peroral sebagai obat analgetik untuk
mengurangi nyeri pasca operasi, lalu diberikan Cendo Xytrol tetes mata 6x1 gtt OD
sebagai antiinflamasi dan antibiotik. Cendo Xytrol mengandung kortikosteroid
(deksametason) dan antibiotik (neomisina dan polimisina). Kortikosteroid mempunyai
efek antiinflamasi atau menekan peradangan. Sedangkan neomisina dan polimisina
mempunyai efek antibakterial. Pada pasien ini akan dilakukan operasi eksisi

10
pterygium OD dan graft konjunctiva, karena pterygium pada pasien ini sudah grade
IV, menganggu penglihatan, dan juga untuk alasan kosmetik.
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan
tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering
dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu
dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan
dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu
dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu
gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan
untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk
mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare
sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan
jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat
timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Setelah
dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.4,6
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple
surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan
tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival autograft (Gambar 4). Dimana
pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva normal yang belum terpapar
sinar UV (misalnya konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata
atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki
kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.1,2
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
11
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.8

Indikasi Operasi pterigium


1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Ada


berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di
antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana
teknik ini dilakukan bila luka pada konjunctiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
5. Conjunctival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
6. Amnion graft : mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk
menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat
kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan
10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama

12
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal
menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru
telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok
membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga
telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1

Teknik Operasi Pterigium


4. Bagaimana prognosis pada pasien ini?

Prognosis quo ad vitam pada pasien ini ad bonam dikarenakan pasien tidak memiliki
penyakit sistemik yang mendasari. Prognosis quo ad functionam dubia ad bonam, karena
setelah operasi eksisi pterygium bisa terjadi komplikasi berupa makula kornea, sikatriks
kornea, maupun astigmatisma, yang menyebabkan gangguan penglihatan.

13
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.

2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared with


subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive primary
pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu Kedokteran, Volume 39,
No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia:
prevalence, severity and risk factors. British Journal of Ophthalmology. 2002; 86(12):
13411346. Avaiable at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan
Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 1984. 14-
17

14
5. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course section 8
External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
6. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian Perspective, Chapter
3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
7. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu. Fourth
Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited Publisher. 2007. p: 443-
457
8. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan Manajemen
Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58

15

Anda mungkin juga menyukai