Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
LAPORAN KASUS
DESEMBER 2015

ODS PTERIGIUM STADIUM II BILATERAL

Oleh:
SITTI SULFIA SUHARDI
C 111 08 154

Pembimbing:
Dr. Soraya

Konsulen:
Dr. dr. Noor Syamsu, Sp.M(K), MARS, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. M
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kendari
No. Rekam Medik : 041687
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 07 desember 2015
Rumah sakit : Balai Kesehatan Mata Makassar

II. ANAMNESIS

Keluhan utama :

Rasa mengganjal pada kedua mata

Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak + 6 bulan yang lalu disertai dengan rasa tidak nyaman pada kedua
mata . Awalnya pasien merasa seperti ada yang tumbuh di dibagian mata putih
dikedua matanya, pasien juga mengeluh kedua mata sering kemerahan,gatal (-
),perih (-), rasa mengganjal (+), mata sering berair (+), kotoran mata yang
berlebihan (-).Riwayat sering terpapar sinar matahari karena pekerjaan (+)
Riwayat Hipertensi (-) Riwayat DM disangkal. Riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama (-).

2
Oculi Dextra Oculi Sinistra

III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


 Inspeksi
OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (+), tampak
selaput bentuk segitiga di selaput bentuk segitiga di
daerah nasal, dengan apeks daerah nasal, dengan
melewati limbus tapi apeks melewati limbus
belum mencapai pupil tapi belum mencapai
pupil

Bola Mata Normal Normal


Mekanisme Muskular Ke segala arah Ke segala arah
- ODS
- OD
- OS
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

3
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih

 Palpasi
OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran

 Tonometri
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Visus
VOD : 6/6
VOS : 6/6
 Campus visual
o Tidak dilakukan pemeriksaan
 Color sense
o Tidak dilakukan pemeriksaan
 Light sense
o Tidak dilakukan pemeriksaan

4
 Penyinaran oblik
OD OS
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (+), tampak
selaput bentuk segitiga selaput bentuk segitiga
di daerah nasal lewat di daerah nasal lewat
limbus tapi belum limbus tapi belum
mencapai pupil mencapai pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih

 Diafanoskopi
o Tidak dilakukan pemeriksaan
 Oftalmoskopi
o Tidak dilakukan pemeriksaan

 Slit lamp
o SLODS : konjungtiva bulbi hiperemis(+), tampak selaput segitiga di
bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil, BMD kesan
normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih.
 Laboratorium
o Tidak dilakukan pemeriksaan

5
IV. RESUME

Seorang perempuan berumur 48 tahun dating ke Poliklinik Mata RS. Unhas


Sudirohusodo keluhan mata kanan dan kiri terasa mengganjal yang dialami
sejak 6 bulan., pasien juga mengeluh kedua mata sering kemerahan, rasa
mengganjal (+), mata sering berair (+). Riwayat sering terpapar sinar matahari
karena pekerjaan (+)
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 6/6, VOS : 6/6 , TODS : Tn. Pada
pemeriksaaan slit lamp ditemukan SLODS : konjungtiva bulbi hiperemis(+),
tampak selaput segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai
pupil, BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+),
lensa jernih.

V. DIAGNOSIS
ODS Pterigium Stadium II bilateral

VI. TERAPI
ODS Eksisi pterigium + graft konjungtiva

VII. DISKUSI

Dari hasil anamnesis pada pasien ini, ditemukan keluhan utama mata kanan dan
kiri terasa mengganjal yang dialami sejak 6 bulan, pasien juga mengeluh kedua
mata sering kemerahan, rasa mengganjal (+), mata sering berair (+). Riwayat
sering terpapar sinar matahari karena pekerjaan (+)
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 6/6, VOS : 6/6 , TODS : Tn. Pada
pemeriksaaan slit lamp ditemukan SLODS : konjungtiva bulbi hiperemis(+),
tampak selaput segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai

6
pupil, BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+),
lensa jernih.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi tersebut
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita ODS Pterigium Stadium II.
Pada pasien ini didapatkan pada mata kiri ditemukan selaput segitiga di
nasal, dengan apeks melewati limbus, belum mencapai pupil,maka hal ini dapat
didiagnosis dengan pterigium stadium II, yang mana sesuai teori bahwa
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea.Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke
dalam 4 stadium yaitu
Stadium-I : belum mencapai limbus
Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil
Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil
Stadium-IV : melewati tepi pupil
Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang
nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar ke daerah
kornea. Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata berair dan tampak merah serta mungkin menimbulkan
astigmatakibat adanya perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran dari pada meridian
horizontal pada kornea. Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta
polutannya merupakan pencetus terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab
pertumbuhan jaringan pterigium, selain itu kekeringan okular dan polusi
lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas pterigium dan
rekurensinya.Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecualilesi
menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan
gejala kemerahan yang signifikan, ketidak nyamanan, atau perubahan dalam

7
fungsi visual. Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan,
yang dapat diindikasikan , menurut Ziegler :

- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik

Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 dan 2


yang telah mengalami gangguan penglihatan. Lindungi mata dengan
pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu
dapat diberi steroid.Pemakaian air mata artifisial ini diperlukan untuk
membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air
mata. Untuk prognosisnya pada pasien ini setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien
dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion.

8
BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas.1 Menurut American Academy of Ophthalmology,
pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah
poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaan kornea.2 Penyakit ini sering terjadi di masyarakat dan menimbulkan
kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri. Karena pada
awalnya pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai
sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah
sepele, hingga lesi mengganggu axis visual. 1

Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata
pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih banyak
terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium muncul pada
usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di mana pasien usia
20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya pterygium.
Diperkirakan pterygium disebabkan oleh karena sering terpajan sinar matahari dan
radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin kencang. UV-B
yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor
gene pada stem sel di basal limbus. 2,3

Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi
fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi
kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea. Bentuknya
menyerupai daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Gejala
yang dialami pasien seperti merasakan sensasi benda asing, nyeri, lakrimasi dan
penglihatan kabur. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi
harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah

9
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi
resiko kekambuhan.4

10
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pterigium

II.1. a Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal


dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi
jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah)
nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga
akhirnya menutupi permukaan kornea.2

II.1. b Epidemiologi dan Insidens

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian


dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%.
Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar
matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis 'sabuk
pterigium' dalam garis peri-khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan
khatulistiwa.7 Pada populasi yang terkena, pertumbuhan pterigium telah
terlihat pada remaja muda dan banyak terjadi di masyarakat di padang
pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih sering pada laki-laki
daripada wanita.6

Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang


berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah
tropis 13° utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat
tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di
perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%).
Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan
Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari
40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan

11
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera
(16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah
dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari
Barbados.8

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di


Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda
dengan beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada
laki-laki.8

Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter


mata karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%).
Tingkat kekambuhan tinggi dan komplikasi penglihatan yang
mengancam pada teknik bedah yang berbeda memprovokasi para
spesialis mata untuk mencari modalitas baru dan pengobatan yang lebih
aman.6

Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam


fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi
inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.9

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.9
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.
Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.9

II.1. c Etiologi

12
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan
yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor
lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas,
angin tinggi dan debu.2 Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai faktor etiologi.1

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal


pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini
mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi
angiogenesis dan proliferasi sel.1 Radiasi cahaya UV tipe B menjadi
faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium.
Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human
papilloma virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.7

II.1. d Anatomi

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi


permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata.
Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran
mukosa ini karena fakta bahwa ia menghubungkan bola mata dengan
kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan
membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang
terbuka di depan fissura palpebral.10

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam


kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis
terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva
marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian

13
belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis.
Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih
tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung
vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas.
Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.
Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.10

Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih


erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan
epitel kornea.10 Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan
episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari
konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.10

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal


dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang
melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat
secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola
mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.10

14
Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,
konjungtiva palpebralis.

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gam.2) yaitu


epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.10

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-


masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva
marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal
memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan
lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris
memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan
tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus.
Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis)
epitel berlapis gepeng.

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri
dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit.
Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di

15
temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal
kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada
bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat
elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah
konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu
dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di
konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva
limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk
membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri
dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival
forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan
kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan
sepanjang batas bawah tarsus inferior).10

Gambar 2. Histologi konjungtiva normal

(Dikutip dari kepustakaan 10)

16
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna
merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas
lateralnya berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah
muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini
merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng
bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel
rambut.11

Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva

(Dikutip dari kepustakaan 10)

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni


arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan
arteri ciliaris anterior (Gam. 3). Konjungtiva palpebralis dan forniks
diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan marginal
palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set pembuluh darah
yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri
kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang
dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior
membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan
membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam
vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan

17
bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun
dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi
lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke
limfonodus submandibular. Limbus kornea pada konjungtiva dipersarafi
oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang mempersarafi
kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal,
infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.10

II.1. e Patofisiologi

Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus


menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar
UV memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini.
Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level
intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi
matriks ekstraselular.11

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak


dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.1-8
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian
nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior.12

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab


pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah
satu penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat
menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih
embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program
kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi

18
berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem
kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis
termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat
saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan
dysplasia.10-12

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang


lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena
di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat
sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung,
karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.12

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium


seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya
matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal
setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar
di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari.
Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding
bulu mata di daerah temporal.10-12

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,


termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk
mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat
berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor
faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah
dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik
pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi
sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor
(TNF-α) membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip.

19
IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8
melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan
yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor
(EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth
factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived
growth factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and
insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).12

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi


oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang
dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi
bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium,
dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia.
Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.12

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen


dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi
epithelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi
elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.
Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi
bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak
bisa dihancurkan oleh elastase.12

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi


pada daerah yang kekurangan limbal stem cell.7 Limbal stem cell adalah
sumber regenerasi epitel kornea.12 Defisiensi limbal stem cell
menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari segala arah.5 Gejala dari
defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan
fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak
penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari

20
defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah
interpalpebra.12

II.1. f Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,


stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera, yaitu: 13

Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:

- Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi
kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stocker’s line
atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium.
Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan.
Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II
disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-
kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat
primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.
- Tipe III
pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic. Merupakan
bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic membedakan
tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea > 4mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren
dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke

21
forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:13

Stadium-I : belum mencapai limbus

Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil


Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil
Stadium-IV : melewati tepi pupil

Gbr 4. Pterigum stadium I. Gbr 5. Pterigium stadium II.

Gbr.6. Pterigium stadium III. Gbr 7. Pterigium stadium IV.

Berdasarkan lesinya, pterigium dibagi menjadi:

- Membran / fibrosa : lesi tipis dan berwarna pucat, pembuluh darah


pada lesi < 5
- Vaskuler : lesi hiperemis dengan jumlah pembuluh darah > 5

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2


yaitu:12

22
- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).
- Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi.
Tidak terdapat kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan


harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:8

- T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.


- T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
- T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

II.1. g Gambaran Klinis

Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan
di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral.
Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai
kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal.
Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut
“Stocker’s line”. Pterigium terdiri dari tiga bagian :11

- Caput

- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

- Collum (bagian limbal),


- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada


intoleransi kosmetik.10 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian
kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan
tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan

23
konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas
okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau
diplopia.10

Gambar 11. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman
pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi
kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada
konjunctiva bulbi, area paling ujung7

II.1. h Diagnosis

Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari


tanpa gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan,
pembengkakan, gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan
elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.9

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada


intoleransi kosmetik.11 Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian
kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan

24
tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan
konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas
okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau
diplopia.10

Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai


perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea.
Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada
daerah temporal, serta di lokasi lainnya.9

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah


topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat
seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan
oleh pterigium.9

II.1. i Diagnosis Banding

Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium


adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini
terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea
marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada
mata.11

a) Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi

25
ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak
diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.7

Gambar 9. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus


sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh
mencapai permukaan kornea.12

b) Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium


yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.
Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara
konjungtiva dan kornea.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan


kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan
dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura
palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium juga
dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak.
Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat

26
adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain
pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan
pannus dan kista dermoid.7

Gambar 10. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior


nasal konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal12

c) Ocular Surface Squamous Neoplasm

Gambar 11.OSSN yang searah dengan limbal14

Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia,


pre-invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spektrum

27
konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva
yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna
putih keabuan dengan karekteristk berkas dari pembuluh dara pada
fissure intrapalpebral. Biasanya pasien dating diikuti dengan gejala mata
merah, irigasi dan sensasi benda asing.14

Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum OSSN

Reaksi tubuh Dispalsia epitel


Iritasi atau
penyembuhan dari sel squamous
Sebab Proses degeneratif kualitas higienitas
luka bakar, GO,
air yang kurang.
difteri,dll.

Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan - -
dibawahnya
dibawahnya

Kekambuhan Residif Tidak Tidak Tidak

Dewasa dan anak- Dewasa


Usia Dewasa Anak-anak
anak

Subkonjunctiva Di sekitar daerah


Bisa terjadi Terbatas pada
Lokasi yang dapat limbus
darimana saja konjuntiva bulbi
mencapai kornea

II.1. j Penatalaksanaan

Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi


menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien
menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan, atau
perubahan dalam fungsi visual.9

28
Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating


drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta
sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-
inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu,
penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan
radiasi ultraviolet lebih lanjut.9

Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang


dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum


dan corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah
dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang
telah menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah.
Dilakukan usaha untuk mengidentifikasi bidang diseksi, yang
memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus mempertahankan
permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan stroma yang tersisa
mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan


pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.7

29
Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan
pterigium.

30
Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium 10

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali


konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat
diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat
mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

31
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi


masalah yakni sekitar 30-50%.11 Eksisi Pterigium sering dikombinasikan
dengan berbagai langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi
penyakit. Hal ini mungkin secara luas diklasifikasikan sebagai metode
medis adjuvan atau tambahan, beta-iradiasi, dan metode pembedahan.7

Transplantasi Membran Amnion

Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah


kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting
untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisasi.
Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterigium primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari
teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian konjungtiva
bulbar. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan
membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu transplantasi membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autograft
konjungtiva.7

32
Terapi adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering


digunakan sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi
pterigium. Beberapa alternatif medis lainnya, seperti 5-fluorouracil dan
daunorubisin, juga telah dicoba.7

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah


kekambuhan pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat
kekambuhan yang berhubungan dengan terapi mitomycin C secara
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada
dasarnya dua bentuk aplikasi mitomycin C yang saat ini digunakan -
aplikasi intraoperatif pada spons bedah yang direndam dalam larutan
mitomycin C diterapkan secara langsung ke sclera setelah eksisi
pterigium, dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal sebagai
obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan
terkait penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak
berbeda secara signifikan.7

Dadeya dan Kamlesh mendemonstrasikan secara statistik perbedaan


signifikan dalam perbedaan tingkat kekambuhan pasien yang diobati
dengan daunorubisin dan mereka yang diobati dengan plasebo air. Mata
yang diobati lebih chemotic (20%), namun, dengan 6,7% setelah
epitelisasi tertunda, dibandingkan dengan mata kontrol, yang tidak
memiliki komplikasi yang sama.7

II.1. k Komplikasi

Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan


penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada
konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot
ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi terhadap

33
terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi,
jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari
diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani
eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial
adalah penyebab paling umum dari diplopia.9

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi:


Sclera dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa
tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa
sangat sulit untuk ditangani.9

Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah


rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi
sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15%
dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi
membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi
ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat
terjadi.9

II.1. l Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.


Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion.9

34
35
DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics Of


Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-13.

2. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From :


http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf. Accessed February 2015.

3. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief Review.


Kerala Journal Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

4. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of


The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.

5. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With
Premalignant Features. The American Journal Of Pathology.
2011;178(2):817-27.

6. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In


Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

7. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In Pterigium
Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.

8. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity, And


Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.

9. Fisher Pj. Pterigium. Updated : 2012. Available From:


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall Accessed
February 2015.

36
10. Khurana Ka. Diseases Of The Conjunctiva. In:, Khurana Ka, Editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th Ed. New Delhi: New Age International.
2007. P. 51 - 82.
11. Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online].
2010. [Cited February 2015]. Availble From :
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pteri
gium.pdf.

12. Detorakis T, Spandidos Demetrios. Pathogenetic mechanisms and treatment


options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives (Review).
Department Of Opthalmology, University Hospital of Heraklion,Crete,
Greece. 2009.

13. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.


Available From:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf
Accessed February 2015.

14. Radhakrishnan Anil. Ocular Surface Squamous Neoplasia [OSSN] – A Brief


Review. Amrita Institute Of Medical Sciences, Kochi. 2013

15. Riordan-Eva. Paul, Whitcher John P., Vaughan & Asbury’s General
Opthalmology Edisi 17, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010.
P.392-3.

37

Anda mungkin juga menyukai