FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
LAPORAN KASUS
DESEMBER 2015
Oleh:
SITTI SULFIA SUHARDI
C 111 08 154
Pembimbing:
Dr. Soraya
Konsulen:
Dr. dr. Noor Syamsu, Sp.M(K), MARS, M.Kes
1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kendari
No. Rekam Medik : 041687
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 07 desember 2015
Rumah sakit : Balai Kesehatan Mata Makassar
II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak + 6 bulan yang lalu disertai dengan rasa tidak nyaman pada kedua
mata . Awalnya pasien merasa seperti ada yang tumbuh di dibagian mata putih
dikedua matanya, pasien juga mengeluh kedua mata sering kemerahan,gatal (-
),perih (-), rasa mengganjal (+), mata sering berair (+), kotoran mata yang
berlebihan (-).Riwayat sering terpapar sinar matahari karena pekerjaan (+)
Riwayat Hipertensi (-) Riwayat DM disangkal. Riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama (-).
2
Oculi Dextra Oculi Sinistra
3
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih
Palpasi
OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran
Tonometri
Tidak dilakukan pemeriksaan
Visus
VOD : 6/6
VOS : 6/6
Campus visual
o Tidak dilakukan pemeriksaan
Color sense
o Tidak dilakukan pemeriksaan
Light sense
o Tidak dilakukan pemeriksaan
4
Penyinaran oblik
OD OS
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (+), tampak
selaput bentuk segitiga selaput bentuk segitiga
di daerah nasal lewat di daerah nasal lewat
limbus tapi belum limbus tapi belum
mencapai pupil mencapai pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih
Diafanoskopi
o Tidak dilakukan pemeriksaan
Oftalmoskopi
o Tidak dilakukan pemeriksaan
Slit lamp
o SLODS : konjungtiva bulbi hiperemis(+), tampak selaput segitiga di
bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai pupil, BMD kesan
normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih.
Laboratorium
o Tidak dilakukan pemeriksaan
5
IV. RESUME
V. DIAGNOSIS
ODS Pterigium Stadium II bilateral
VI. TERAPI
ODS Eksisi pterigium + graft konjungtiva
VII. DISKUSI
Dari hasil anamnesis pada pasien ini, ditemukan keluhan utama mata kanan dan
kiri terasa mengganjal yang dialami sejak 6 bulan, pasien juga mengeluh kedua
mata sering kemerahan, rasa mengganjal (+), mata sering berair (+). Riwayat
sering terpapar sinar matahari karena pekerjaan (+)
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 6/6, VOS : 6/6 , TODS : Tn. Pada
pemeriksaaan slit lamp ditemukan SLODS : konjungtiva bulbi hiperemis(+),
tampak selaput segitiga di bagian nasal melewati limbus tapi belum mencapai
6
pupil, BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+),
lensa jernih.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi tersebut
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita ODS Pterigium Stadium II.
Pada pasien ini didapatkan pada mata kiri ditemukan selaput segitiga di
nasal, dengan apeks melewati limbus, belum mencapai pupil,maka hal ini dapat
didiagnosis dengan pterigium stadium II, yang mana sesuai teori bahwa
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea
dengan puncak segitiga di kornea.Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke
dalam 4 stadium yaitu
Stadium-I : belum mencapai limbus
Stadium-II : pertengahan antara limbus dan pupil
Stadium-III : mencapai hingga tepi pupil
Stadium-IV : melewati tepi pupil
Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang
nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar ke daerah
kornea. Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata berair dan tampak merah serta mungkin menimbulkan
astigmatakibat adanya perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran dari pada meridian
horizontal pada kornea. Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta
polutannya merupakan pencetus terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab
pertumbuhan jaringan pterigium, selain itu kekeringan okular dan polusi
lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas pterigium dan
rekurensinya.Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecualilesi
menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan
gejala kemerahan yang signifikan, ketidak nyamanan, atau perubahan dalam
7
fungsi visual. Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan,
yang dapat diindikasikan , menurut Ziegler :
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
8
BAB I
PENDAHULUAN
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas.1 Menurut American Academy of Ophthalmology,
pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah
poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaan kornea.2 Penyakit ini sering terjadi di masyarakat dan menimbulkan
kecacatan, dengan gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri. Karena pada
awalnya pterygium sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai
sejarah dan pengobatan, dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah
sepele, hingga lesi mengganggu axis visual. 1
Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata
pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih banyak
terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterygium muncul pada
usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di mana pasien usia
20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya pterygium.
Diperkirakan pterygium disebabkan oleh karena sering terpajan sinar matahari dan
radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin kencang. UV-B
yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor
gene pada stem sel di basal limbus. 2,3
Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi
fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi
kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea. Bentuknya
menyerupai daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Gejala
yang dialami pasien seperti merasakan sensasi benda asing, nyeri, lakrimasi dan
penglihatan kabur. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi
harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
9
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi
resiko kekambuhan.4
10
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pterigium
II.1. a Definisi
11
orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera
(16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah
dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari
Barbados.8
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.9
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.
Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.9
II.1. c Etiologi
12
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan
yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor
lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas,
angin tinggi dan debu.2 Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
kemungkinan sebagai faktor etiologi.1
II.1. d Anatomi
Anatomi Konjungtiva
13
belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis.
Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih
tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung
vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas.
Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.
Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.10
14
Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,
konjungtiva palpebralis.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri
dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit.
Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di
15
temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal
kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada
bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat
elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah
konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu
dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan
kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar
uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di
konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva
limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk
membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri
dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival
forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan
kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan
sepanjang batas bawah tarsus inferior).10
16
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna
merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas
lateralnya berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah
muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini
merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng
bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel
rambut.11
17
bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun
dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi
lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke
limfonodus submandibular. Limbus kornea pada konjungtiva dipersarafi
oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang mempersarafi
kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal,
infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.10
II.1. e Patofisiologi
18
berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem
kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis
termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat
saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan
dysplasia.10-12
19
IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8
melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan
yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor
(EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth
factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived
growth factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and
insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).12
20
defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah
interpalpebra.12
II.1. f Klasifikasi
- Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi
kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stocker’s line
atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium.
Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan.
Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II
disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-
kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat
primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.
- Tipe III
pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic. Merupakan
bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic membedakan
tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea > 4mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren
dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
21
forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan.
22
- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).
- Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi.
Tidak terdapat kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan
di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral.
Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai
kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal.
Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut
“Stocker’s line”. Pterigium terdiri dari tiga bagian :11
- Caput
23
konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas
okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau
diplopia.10
Gambar 11. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman
pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi
kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada
konjunctiva bulbi, area paling ujung7
II.1. h Diagnosis
Anamnesis
24
tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan
konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas
okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau
diplopia.10
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
a) Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi
25
ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak
diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.7
b) Pseudopterigium
26
adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain
pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan
pannus dan kista dermoid.7
27
konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva
yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna
putih keabuan dengan karekteristk berkas dari pembuluh dara pada
fissure intrapalpebral. Biasanya pasien dating diikuti dengan gejala mata
merah, irigasi dan sensasi benda asing.14
Tidak dapat
Dapat dimasukkan
Sonde dimasukkan - -
dibawahnya
dibawahnya
II.1. j Penatalaksanaan
28
Terapi Konservatif
Terapi pembedahan
- Mengganggu visus
- Mengganggu pergerakan bola mata
- Berkembang progresif
- Mendahului suatu operasi intraokuler
- Kosmetik
29
Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan
pterigium.
30
Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium 10
31
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
32
Terapi adjuvant
II.1. k Komplikasi
33
terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi,
jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari
diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani
eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial
adalah penyebab paling umum dari diplopia.9
II.1. l Prognosis
34
35
DAFTAR PUSTAKA
5. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With
Premalignant Features. The American Journal Of Pathology.
2011;178(2):817-27.
7. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In Pterigium
Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.
36
10. Khurana Ka. Diseases Of The Conjunctiva. In:, Khurana Ka, Editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th Ed. New Delhi: New Age International.
2007. P. 51 - 82.
11. Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online].
2010. [Cited February 2015]. Availble From :
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pteri
gium.pdf.
15. Riordan-Eva. Paul, Whitcher John P., Vaughan & Asbury’s General
Opthalmology Edisi 17, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010.
P.392-3.
37