Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

SEORANG WANITA USIA 53 TAHUN DENGAN OS PTERYGIUM

DISUSUN OLEH :

Akhlis Mufid Auliya G99172028

Akmalia Fatimah G99172029

Fauziah Nur Sabrina G99181030

Gerry G99171018

Rahma Luthfa Annisa G99172137

PEMBIMBING :
dr. Kurnia Rosyida, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Pterygium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang puncaknya di bagian sentral atau di daerah kornea. Kata pterygium
mengacu pada bentuk jaringannya yang menyerupai sayap serangga (Chui et.al,
2011). Ploriferasi jaringan pterygium dapat menyebabkan perubahan topografi
kornea, terhalangnya axis penglihatan, luka pada kornea dan bisa menyebabkan
berkurangnya visus atau ketajaman penglihatan.Keluhan yang biasa dirasakan pasien
antara lain berupa perasaan yang mengganjal atau tidak nyaman pada bola mata,
inflamasi kronis, dan keluhan dari segi kosmetik (Kaufman et.al, 2013).

Etiologi pterygium belum diketahui secara jelas. Pterygium diduga sebagai


suatu iritasi yang terus menerus dari angin, sinar matahari, udara yang panas dan
debu.Berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan menyebutkan bahwa seringnya
terpapar sinar ultraviolet berkaitan dengan pekerjaan di luar lapangan merupakan
faktor risiko terbesar dari perkembangan pterygium. Faktor lain yang berkaitan
dengan perkembangan pterygium adalah usia, memiliki dry eyes. Faktor genetik,
tumor suppressor gene p53 dan berbagai gen diduga terlibat dalam patogenesis
pterygium (Liu, 2013)

Pterygium merupakan salah satu penyakit okular eksternal dengan prevalesi


berkisar antara 0,3% hingga 36,6% di dunia (Anbesse et.al, 2017). Prevalensi
pterygium di Indonesia pada kedua mata adalah 3,2%, sedangkan pada salah satu
mata hanya 1,9%. Prevalensi pterygium baik pada kedua mata atupun satu mata
mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Prevalensi tertinggi ditemui pada
kelompok umur ≥70 tahun dengan 15,9%. Menurut jenis kelamin tidak menunjukkan
perbedaan yang mencolok, baik pada laki-laki maupun perempuan. Distribusi
pterygium berdasarkan pekerjaan terlihat paling tinggi pada petani dengan 11,0%
(Erry et.al, 2011).

Tatalaksana pterygium saat ini meliputi melindungi mata yang terkena


pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering. Pasien bisa menggunakan kaca
mata pelindung atau topi. Apabila pterygium dirasakan telah mengganggu
penglihatan , dapat dilakukan tindakan pembedahan kombinasi autograf konjungtiva
dan eksisi (Ilyas dan Yulianti, 2015).

BAB II
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Baturan, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah
Tanggal pemeriksaan : 4 Januari 2019
No. RM : 01445xxx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Selaput putih pada mata sebelah kiri yang mengganjal.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Mata RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan
terdapat selaput putih pada bola mata kiri yang mengganjal sejak 1 tahun yang
lalu. Pasien mengaku awalnya matanya sering terasa kering, perih dan gatal
terutama jika terkena sinar matahari dan debu. Karena gatal, pasien jadi sering
mengucek-ngucek matanya. Pasien juga mengeluh kadang matanya merah dan
berair. Keluhan-keluhan tersebut diakui pasien hilang timbul selama satu
tahun terakhir. Hingga akhirnya pasien juga merasa seperti ada sesuatu yang
mengganjal di mata kirinya terutama ketika menutup mata. Ganjalan itu
berupa selaput putih di bagian putih dari mata kirinya yang dirasakan semakin
tebal dan sedikit membuat pandangan pasien kabur serta memperberat
keluhan nrocos, perih dan mata merahnya. Keluhan-keluhan tersebut diakui
memberat 2 bulan belakangan. Selama ini pasien terkadang hanya membeli
obat tetes yang tersedia di warung namun tidak membaik. Akhirnya pasien
memeriksakan diri ke dokter. Keluhan lain seperti silau, pandangan double,
mblobok, dan cekot-cekot disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : (+) sejak 5 tahun yang lalu, pasien rutin
memeriksakan penyakitnya.
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat operasi mata : disangkal
Riwayat kacamata : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya, pasien bekerja
sebagai petani dan berobat menggunakan fasilitas BPJS kelas 3.

6. Simpulan Anamnesis
OD OS
Proses - Pertumbuhan jaringan
Lokasi - Konjungtiva bulbar
Sebab - Paparan sinar matahari,
debu, udara kering
Perjalanan - Kronis
Komplikasi - Gangguan penglihatan

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup
2. Vital Sign
TD : 110/70 mmHg RR : 18 x/menit
HR : 72 x/menit t : 36.6°C
TB : 150cm BB : 50 kg
3. Pemeriksaan
OD OS
A. Visus Sentralis
1.Visus Sentralis jauh 6/6 6/15
a. Pinhole Tidak dilakukan 6/7
b. Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. Refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
2.Visus Sentralis Dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan
B. Visus Perifer
Tidak ada
Tidak ada keterbatasan
1. Konfrontasi Tes keterbatasan lapang
lapang pandang
pandang
2. Proyeksi Sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan
3. Proyeksi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

1. Sekitar mata OD OS
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. luka Tidak ada Tidak ada
c. parut Tidak ada Tidak ada
d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada
e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada
2. Supercilia
a. warna Hitam Hitam
b. tumbuhnya Normal Normal
c. kulit Sawo matang Sawo matang
d. gerakan Dalam batas normal Dalam batas normal
3. Pasangan bola mata dalam
orbita
a. heteroforia Tidak ada Tidak ada
b. strabismus Tidak ada Tidak ada
c. pseudostrabismus Tidak ada Tidak ada
d. exophtalmus Tidak ada Tidak ada
e. enophtalmus Tidak ada Tidak ada
4. Ukuran bola mata
a. mikroftalmus Tidak ada Tidak ada
b. makroftalmus Tidak ada Tidak ada
c. ptisis bulbi Tidak ada Tidak ada
d. atrofi bulbi Tidak ada Tidak ada
5. Gerakan bola mata
a. temporal Tidak terhambat Tidak terhambat
b. temporal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
c. temporal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
d. nasal Tidak terhambat Tidak terhambat
e. nasal superior Tidak terhambat Tidak terhambat
f. nasal inferior Tidak terhambat Tidak terhambat
6. Kelopak mata
a. pasangannya
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada
4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada
b. gerakannya
1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal
2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal
c. rima
1.) lebar 10 mm 10 mm
2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada
3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada
d. kulit
1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada
2.) warna Sawo matang Sawo matang
3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada
4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada
e. tepi kelopak mata
1.) enteropion Tidak ada Tidak ada
2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada
3.) koloboma Tidak ada Tidak ada
4.) bulu mata Dalam batas normal Dalam batas normal
7. sekitar glandula lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak ada
c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
8. Sekitar saccus lakrimalis
a. tanda radang Tidak ada Tidak ada
b. benjolan Tidak ada Tidak Ada
9. Tekanan intraocular
a. palpasi Kesan normal Kesan normal
b. NCT 17 16
10. Konjungtiva
a. konjungtiva palpebra superior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
b. konjungtiva palpebra inferior
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
c. konjungtiva fornix
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) benjolan Tidak ada Tidak ada
d. konjungtiva bulbi
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sekret Tidak ada Tidak ada
4.) injeksi konjungtiva Tidak ada Tidak ada
5.) injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
6.) benjolan Tidak ada Selaput segitiga
berwarna putih (+)
e. caruncula dan plika
semilunaris
1.) edema Tidak ada Tidak ada
2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada
3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada
11. Sklera
a. warna Putih Putih
b. tanda radang Tidak ada Tidak ada
c. penonjolan Tidak ada Tidak ada
12. Kornea
a. ukuran 12 mm 12 mm
b. limbus jernih Jernih
c. permukaan Rata, mengkilat Rata, mengkilat
d. sensibilitas Normal Normal
e. keratoskop ( placido ) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. fluorecsin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada
13. Kamera okuli anterior
a. kejernihan Jernih Jernih
b. kedalaman Dalam Dalam
14. Iris
a. warna Cokelat Cokelat
b. bentuk Tampak lempengan Tampak lempengan
c. sinekia anterior Tidak tampak Tidak tampak
d. sinekia posterior Tidak tampak Tidak ada
15. Pupil
a. ukuran 3 mm 3 mm
b. bentuk Bulat Bulat
c. letak Sentral Sentral
d. reaksi cahaya langsung Positif Positif
e. tepi pupil Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
16. Lensa
a. ada/tidak Ada Ada
b. kejernihan Jernih Jernih
c. letak Sentral Sentral
e. shadow test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
17. Corpus vitreum
a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Reflek fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

B. SIMPULAN PEMERIKSAAN
OD OS
A. Visus Sentralis Dalam batas normal Terdapat kelainan refraksi
yang belum terkoreksi
B. Visus perifer Dalam batas normal Dalam batas normal
C. Sekitar mata Dalam batas normal Dalam batas normal
D. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal
E. Pasangan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
dalam orbita
F. Ukuran bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
G. Gerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
H. Kelopak mata Dalam batas normal Dalam batas normal
I. Sekitar saccus Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
J. Sekitar glandula Dalam batas normal Dalam batas normal
lakrimalis
K. Tekanan Dalam batas normal Dalam batas normal
intarokular
L. Konjungtiva Dalam batas normal Dalam batas normal
palpebra
M. Konjungtiva bulbi Dalam batas normal Terdapat selaput segitiga
berwarna putih
N. Konjungtiva fornix Dalam batas normal Dalam batas normal
O. Sklera Dalam batas normal Dalam batas normal
P. Kornea Dalam batas normal Dalam batas normal
Q. Camera okuli Dalam batas normal Dalam batas normal
anterior
R. Iris Bulat, warna coklat Bulat, warna coklat
S. Pupil Diameter 3 mm, bulat, Diameter 3 mm, bulat,
sentral sentral
T. Lensa Jernih Jernih
U. Corpus vitreum Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. GAMBAR KLINIS
Foto tanpa senter
Foto mata dengan senter

D. DIAGNOSIS BANDING
OS Pterygium Grade II
OS Pseudopterygium
OS Pinguekula

E. DIAGNOSIS
OS Pterygium Grade II

F. TERAPI
1. Nonmedikamentosa
 Edukasi mengenai penyakit, terapi, dan prognosis
 Meminimalisir paparan langsung sinar matahari pada mata yang sakit saat
aktivitas di luar ruangan.
 Pasien bisa menggunakan kacamata ataupun topi untuk melindungi dari
paparan sinar matahari.
 Menjaga kebersihan mata.
2. Medikamentosa
 Avulsi Pterygium dan graft

G. PROGNOSIS
OD OS
1. Ad vitam Bonam Dubia
2. Ad fungsionam Bonam Dubia
3. Ad sanam Bonam Dubia
4. Ad kosmetikum Bonam Dubia
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan tipis translusen mukosa dengan


pembuluh darah, menutupi bagian bola mata yang membentuk permukaan mata,
dan bagian samping kelopak mata yang berhubungan dengan permukaan mata
(Paulsen F dan Waschke J, 2012). Konjungtiva tersusun dari epitel skuamos
kompleks non kornifikasi, bercampur dengan sel goblet (mukus), sel Langerhans,
dan kadang melanosit dendritik (Yanoff M dan Sassani JW, 2015).

Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian : Konjungtiva bulbi, konjungtiva


palpebra dan konjungtiva forniks. Konjungtiva bulbi menutupi bagian anterior
putih mata (sklera). Konjungtiva bulbi berhenti di perbatasanantara sklera dan
kornea. Konjungtiva bulbi tidak menutupi kornea. Konjungtiva palpebra atau
disebut juga konjungtiva tarsal menutupi permukaan bagian dalam masing-
masing kelopak mata atas dan bawah. Konjungtiva bulbi dan konjungtiva tarsal
(Heiting G, 2017).

Kedua bagian konjungtival menyatu pada Konjungtiva Fornix atas dan


bawah. Konjungtiva fornix bawah akan menjadi kantong konjungtiva. Obat tetes
mata diberikan di konjungtiva bawah ini (Paulsen F dan Waschke J, 2012).

Konjuntiva memiliki fungsi melubrikasi dan menjaga kelembaban mata


bagian depan, melubrikasi dan menjaga kelembaban permukaan kelopak mata
sehingga kelopak mata dapat membuka dan menutup tanpa gesekan atau
menyebabkan iritasi, serta melindungi mata dari debu, kotoran dan
mikroorganisme penyebab infeksi (Heiting G, 2017). Konjungtiva juga memiliki
banyak pembuluh darah kecil yang menyediakan nutrisi untuk mata dan kelopak
mata (Heiting G, 2017).

fornixconjunctiva

Gambar 1. Konjungtiva ( Heiting G, 2017)

Peradangan konjungtiva (konjungtivitis) sering ditemukan pada individu


yang menggunakan lensa kontak. Pasien anemia memiliki konjungtiva pucat
keputihan karena jumlah eritrosit yang rendah pada pasien tersebut mengurangi
pengisian normal pembuluh darah konjungtiva dengan eritrosit. Eversi kelopak
mata bawah dan inspeksi kantong konjungtiva adalah uji diagnostik sederhana
untuk mengidentifikasi keadaan tersebut.

3.2 Pterigium

A. Definisi

Pterigium berasal dari bahasa Yunani pterygos yang berarti sayap


kecil. Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler berbentuk sayap atau
triangular pada konjuntiva bulbi dan dapat meluas dengan puncak mengarah
ke kornea. Pterigium adalah massa yang meninggi, bervaskular dan
superfisial. Sering tumbuh di area fisura interpalpebra di sebelah nasal dari
limbus atau di temporal limbus atau keduanya. Namun, pterigum yang
berlokasi di nasal lebih umum terjadi. Pterigium dapat mengenai kedua mata
dengan derajat pertumbuhan yang berbeda.Pterigium dapat bervariasi dari
yang berukuran kecil, besar, agresif, tumbuh cepat hingga mempengaruhi
topografi kornea (Fisher JP, 2017; American Academy of Ophtalmology,
2015).

B. Epidemiologi

Prevalensi pterigium di dunia adalah 10,2%, dengan prevalensi


tertinggi pada area dengan ketinggian rendah. Insidensi pterigium meningkat
pada daerah tropis. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada usia tua, laki-laki,
aktivitas luar ruangan dan paparan sinar matahari yang tinggi. Pasien berusia
lebih dari 40 tahun memiliki prevalensi pterigium tertinggi (Fisher JP, 2017;
American Academy of Ophtalmology, 2015).

Penelitian di Asia menunjukkan prevalensi pterigium yang lebih


tinggi di daerah pedesaan daripada di perkotaan(American Academy of
Ophtalmology, 2015). Belum ada data yang akurat mengenai insidensi dan
prevalensi pterigium di Indonesia. Penelitian di Indonesia tahun 2011 pada
responden berusia lebih dari 5 tahun didapatkan prevalensi pterigium bilateral
tertinggi berada di Provinsi Sumatera Barat (9,4%). Sedangkan prevalensi
pterigium unilateral tertinggi berada di Provinsi NTB (4,1%). Prevalensi
pterigium tertinggi adalah pada usia ≥ 70 tahun. Dilihat berdasarkan
pekerjaan, prevalensi pterigium paling tinggi adalah pada petani (6,1%) (Erry
et al, 2011).
C. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi pterigium belum diketahui dengan jelas dan diduga sebagai


suatu neoplasma radang atau degenerasi (Erry et al, 2011). Namun terdapat
beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pterigium antara
lain:

 Paparan sinar ultraviolet, termasuk hidup di daerah tropis dan subtropis


 Paparan dari debu, angin, pasir
 Pekerjaan di luar ruangan
 Inflamasi
 Permukaan mata yang kering (American Academy of Ophtalmology,
2015)

D. Patofisiologi

Patofisiologi pterigium masih sedikit diketahui dan diyakini


merupakan akibat dari respon degeneratif yang disebabkan oleh iritasi kronis
karena adanya stimulus berupa radiasi ultraviolet, alergi udara, iritasi kimia,
angin, debu, panas, dan mata kering. Berbagai teori berbeda yang
dikemukakan mengenai patofisiologi terjadinya pterigium memberikan
penilaian bahwa etiologinya belum pasti dan penyebabnya bersifat
multifaktorial. (Ilyas, Yulianti, 2011)

Menurut Khirana (2007), ada beberapa konsep tentang patofisilogi


tentang pterigium, diantaranya:

1. Konsep patogenesis awal. Hubungan antara perkembangan pterigium


dan gaya hidup tertentu, seperti bekerja di luar ruangan atau terkena
paparan sinar matahari atau debu. Semuanya dapat berperan
memunculkan iritasi kronis pada mata. Kongesti vaskular konjungtiva
sering terjadi di daerah tubuh pterygium yang menyebabkan gangguan
aktivitas rektus medial, yang mendasari daerah pertumbuhan pterygium
ke arah nasal, dapat menyebabkan potensi terjadinya gangguan aliran
darah terkait dengan pertumbuhan pterigium.
2. Konsep genetik. Laporan awal menyebutkan kemungkinan pola
dominan autosomal dari genetik, sesuai dengan kasus kejadian pterigium
dalam keluarga. Namun, tidak dapat diverifikasi apakah pterigium itu
sendiri diwariskan, sebagai sifat independen, atau pada individu beresiko
terkena jika rentan terkena efek okulodermal cahaya matahari. Deteksi
keterlibatan gen supresor tumor potensial di pterygium sementara diteliti,
3. Peran UV. Korelasi epidemiologi yang kuat antara perkembangan
pterygium dan paparan sinar matahari telah menyebabkan asumsi bahwa
beberapa bagian dari radiasi matahari mungkin memiliki peran
patogenetik langsung. Bentuk periorbital, termasuk bagian superior
orbital, adanya alis dan hidung menonjol menyiratkan bahwa mata relatif
terlindung dari paparan cahaya langsung dari atas. Di sisi lain, mata
relatif terlindungi dari penyebaran cahaya dari bawah atau lateral.
Laporan awal peningkatan kemungkinan terjadinya pterigium adalah
kombinasi paparan cahaya matahari dengan paparan debu atau pasir,
sehingga mengarah ke peradangan permukaan mata secara kronis.
4. Stres oksidatif. Peningkatan UVR terkait stres oksidatif telah dilaporkan
dalam kasus pterygium, dibandingkan dengan konjungtiva normal,
menyebabkan induksi protein. Yang terakhir ini telah berkorelasi dengan
oksidasi DNA dan down-regulasi p53. Telah dinyatakan bahwa adanya
deposit besi di bagian head pterygium di kornea dapat disebabkan oleh
adanya stres oksidatif yang mempengaruhi sel-sel epitel lokal dan
mengakibatkan homeostasis besi terganggu.
5. Keterlibatan virus. Meskipun laporan awal menyebutkan kemungkinan
menular dari pterygium tentang masalah ini buktinya tidak konklusif.
Namun, munculnya PCR sebagai alat penelitian memungkinkan
penyelidikan rinci untuk DNA virus dalam sampel dari kedua pterygium
dan konjungtiva normal. Keberadaan virus diketahui menyebabkan
infeksi oculodermal, seperti Herpes Simpleks Virus (HSV), dan Human
Papilloma Virus(HPV), diperiksa. Hasil dari beberapa penelitian
menunjuk ke arah keterlibatan HPV dalam pterigium meskipun
perbedaan regional dan ras besar telah dilaporkan.

E. Gambaran Klinis

Pterigium dapat mengenai sebelah mata atau kedua mata, tetapi


biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Pterigium lebih
sering terletak di daerah nasal.Hal ini dapat dikarenakan semua kotoran pada
konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Daerah nasal juga relatif
mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian
konjungtiva yang lain, karena disamping kontak langsung bagian nasal
konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung. Karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering
didapatkan pterigium. (Raju, 2008)

Gambar 1. Pterigium Nasalis (Fransisco, Verter, dkk 2017)


Gambar 2. Pterigium Temporalis (Fransisco, Verter, dkk 2017)

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan
memberikan keluhan berupa iritasi ringan pada permukaan bola mata,
mata kering, merah dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan
memberikan keluhan gangguan penglihatan.Keluhan subjektif yang sering
dialami penderita pterigium antara lain berupa: mata panas, gatal,
mengganjal seperti ada benda asing di mata. (Aminlari, Singh, Liang,
2010)
Kadang-kadang penderita mengeluh mengeluarkan banyak air
mata apabila terkena sinar matahari, atau matanya lekas merah, tetapi pada
beberapa penderita tidak terdapat keluhan sama sekali.Pterigium akan
bergejala pada penglihatan ketika bagian kepalanya menginvasi bagian
tengah kornea dan aksis visual. Selain itu, kekuatan tarikan yang terjadi
pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut
yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara
perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan
mengalami penglihatan ganda atau diplopia. (Solomon, 2006)

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pterigium berupa


penonjolan daging, berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskular yang
berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva interpalpebra sampai
kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna
coklat kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus).
Dibagian apek pterigium terdapat bercak massa gelatin dengan deposit
pigmen besi berwarna kelabu pada epitel kornea anterior yang disebut
Ilots de Fuchsatau “Stocker’s line”. (Suprapto, 2014)

Sebagai progresifitas penyakit, meningkat ukuran lesi dan


menjadi lebih jelas terlihat tidak menyenangkan dari sisi kosmetik bagi
pasien.Pertumbuhan lebih lanjut dapat menyebabkan gangguan visual
karena dapat menyebabkan astigma atau perambahan langsung ke sumbu
visual. Pterigium terdiri dari tigabagian: (Fisher, 2013)

- Caput
- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),
- Collum (bagian limbal),
- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan kantus
Gambar 5.(A) Cap; (B) Apeks; (C) Corpus

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk pterigium yaitu pseudopterigium dan


pinguecula.Pseudopterygium dapat terjadi akibat ulkus kornea perifer dan
inflamasi pada permukaan okuli seperti konjungtivitis sikatriks, trauma yang
disebabkan luka bakar atau bahan kimia, atau dapat juga terjadi akibat iritasi
kronis akibat pergerakan lensa kontak dengan lubrikasi yang kurang pada
permukaan kornea.Berbeda dengan pterigium, pada pseudopterigium dapat
ditemukan perlekatan konjungtiva pada kornea perifer, namun batas
perlekatan kurang tegas).
Gambar 1.Pseudopterigium (kiri) dan penguecula (kanan).

Sedangkan pinguecula adalah bintik atau benjolan berwarna kuning


pada konjungtiva yang berasal dari timbunan lemak, kalsium, atau protein
(American Academy of Ophthalmology (2017)).Pinguecula tidak memberikan
dampak pada pengelihatan dan iritasi ringan dapat diatasi dengan obat
topikal.Sedangkan pterigium dapat mengganggu aksis visual dan memerlukan
pembedahan dan terapi adjuvant.
H. Terapi
Metode utama dalam penatalaksanaan pterigium adalah dengan
pembedahan eksisi.Terapi konservatif hanya bersifat simptomatik dan
sementara, biasanya untuk tahap awal penyakit.Terapi konservatif meliputi
penggunaan air mata buatan atau salep mata lubrikan untuk memberikan rasa
nyaman.Antiinflamasi topikal jangka pendek juga dapat berguna untuk
pterigium yang menimbulkan inflamasi. Indikasi untuk eksisi bedah meliputi
gangguan fungsi pengelihatan, rasa tidak nyaman yang sangat, dan kosmetik

Karena tingkat rekurensi yang tinggi, sekarang pembedahan eksisi


tidak lagi diterima sebagai pengobatan tunggal untuk pterigium.Akibatnya
berbagai metode dan prosedur untuk terapi pterigium telah
dikembangkan.Prosedur-prosedur tersebut meliputi pembedahan lebih lanjut,
kemoterapi, dan penggunaan radioterapi. Ketersediaan berbagai terapi
modalitas memungkinkan untuk menggunakan metode lain ketika salah satu
metode yang digunakan gagal. Hal ini juga memungkinkan untuk kombinasi
terapi seperti kemoterapi dan graft pada kasus pterigium yang sulit atau
rekuren(Mohammed dan Isyaku, 2011).

I. Komplikasi
Pterigium yang tidak diterapi dapat tumbuh dan meliputi permukaan
kornea, mengganggu fungsi pengelihatan, dan menyebabkan rasa tidak
nyaman yang sangat pada penderita. Pterigium yang telah mendapatkan terapi
pembedahan dapat muncul kembali, namun dapat diatasi dengan pembedahan
ulang
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophtalomology (2015).Pterygium- Asia Pasific.


https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-asia-pacific- Diakses Januari 2019

American Academy of Ophthalmology (2017). What Is a Pinguecula and a Pterygium


(Surfer's Eye)? Available at: https://www.aao.org/eye-
health/diseases/pinguecula-pterygium (diakses pada 6 Januari 2019).

Aminlari A, Singh R, Liang D. Manajemen of pterigium. 2010. p:37-38

Anbesse, D., Kassa, T., Kefyalew, B., Tasew, A., Atnie, A. and Desta, B. (2017).
Prevalence and associated factors of pterygium among adults living in Gondar
city, Northwest Ethiopia. PLOS ONE, 12(3), p.e0174450

Canadian Assosiation of Optometrists (2011).Pterygium. Available at:


https://opto.ca/health-library/pterygium (diakses pada 6 Januari 2019)

Chui, J., Coroneo, M., Tat, L., Crouch, R., Wakefield, D. and Di Girolamo, N. (2011).
Ophthalmic Pterygium. The American Journal of Pathology, 178(2), pp.817-
827.

Columbia University Department of Ophthalmology (2014).Pseudopterigium.


Available at: https://www.columbiaeye.org/education/digital-reference-of-
ophthalmology/cornea-external-diseases/non-infectious/pseudopterygium
(diakses pada 6 Januari 2019).

Erry, Mulyani UA, Susilowati D (2011). Distribusi dan karakteristik pterigium di


Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian
Kesehatan, 40 (1) : 84-89.

Erry, U and Dwi S (2011). Distribusi dan Karakteristik Pterigium Indonesia. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 14(1), pp. 84-89

Fisher JP. Pterigium.Medscape. Amerika: American college of surgeons; 2013. p:1-4

Fisher JP (2017). Pterygium clinical presentation.Medscape.


https://emedicine.medscape.com/article/1192527-clinical#b5- Diakses Januari
2019.
Fisher JP (2017). Pterygium Differential Diagnoses. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1192527-differential (diakses pada 6
Januari 2019)

Fransisco J, Verter G, Ivan R. Penyakit degeneratif konjungtiva. Dalam Buku Vaugan


dan Asbury’s General ophthalmology. Edisi 17. Jakarta: EGC; 2014. p:119-
120

Ilyas, S dan Yulianti, SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.

Ilyas S, Yulianti SR. Mata merah dengan penglihatan normal. Dalam Ilmu Penyakit
Mata. Edisi Keempat. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2011. p:116-117

Jaros PA, DeLuise VP (1988). Pingueculae and pterygia. Surv Ophthalmol.33(1):41-


9. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3051468 (diakses pada
6 Januari 2019).

Kaufman, S., Jacobs, D., Lee, W., Deng, S., Rosenblatt, M. and Shtein, R. (2013).
Options and Adjuvants in Surgery for Pterygium. Ophthalmology, 120(1),
pp.201-208.

Khirana AK. Comprehensive ophthalmology.Fourth edition. New Delhi: New


international publisher; 2007. p:51-54, 80-82

Liu, T., Liu, Y., Xie, L., He, X. and Bai, J. (2013). Progress in the Pathogenesis of
Pterygium. Current Eye Research, 38(12), pp.1191-1197.

Mohammed, Isyaku (2011). Treatment of pterygium.Annals of African Medicine.


10(3):197-203. Available at: http://www.annalsafrmed.org/article.asp?
issn=1596-
3519;year=2011;volume=10;issue=3;spage=197;epage=203;aulast=Mohamm
ed (diakses pada 6 Januari 2019).

Paulsen F dan Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Kepala, Leher dan
Neuroanatomi Jilid 3.EGC : Jakarta. 2012.

Raju VK, Chandra A, Doctor R. Management of pterygium – A brief review. 2008.

Solomon AS. Pterigium.Goldschleser eye research institute; 2006.p:664-666


Suprapto N, Irawati Y. Pterigium. Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Ed:
Tanto C, Liwang F, Hanifa S, Pradipta E. Jakarta: media Aesculapius. 2014.
370-371

Yanoff M dan Sassani JW (2015).Ocular pathology. Elsevier, pp: 199-225.

Anda mungkin juga menyukai