Anda di halaman 1dari 21

Referensi Artikel

ALAT PELINDUNG TELINGA

DISUSUN OLEH:
Faradiba Maharani G99172074
Fauziah Nur Sabrina G99181030
Gerry G99171018
Nadya Prita Maharani G99171032
Zarah Tin Cahyaningrum G99181072

PEMBIMBING:
dr.Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK,
BEDAH KEPALA, DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Pendengaran merupakan salah satu indera terpenting dalam tubuh manusia.


Dengan mendengar, manusia mampu menangkap dan mengolah suara yang datang
kemudian di representasikan dalam bentuk tanggapan baik reaksi fisik maupun
reaksi verbal. Jika pendengaran terganggu, banyak aspek dalam kehidupan individu
tersebut akan terganggu dan akan menurunkan kualitas hidup dari individu tersebut.
Menurut WHO, 5% dari populasi dunia atau sekitar 466 juta orang
menderita gangguan pendengaran dengan 432 juta pada orang dewasa dan 34 juta
pada anak-anak. Diprediksi pada tahun 2050 lebih dari 900 juta orang atau tiap satu
dari sepuluh orang di dunia akan menderita gangguan pendengaran (WHO,
2018).Berdasarkan data dari Litbang Depkes Terdapat 9 provinsi di Indonesia
dengan angka prevalensi gangguan pendengaran pada penduduk usia lebih dari 5
tahun melebihi angka nasional (2,6%), yaitu di Provinsi DIY, Sulbar, Jatim, Malut,
Sumsel, Sulsel, Jateng, Lampung dan NTT.
Ada dua penyebab gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran
kongenital dan gangguan pendengaran didapat. Salah satu faktor yang
menyebabkan gangguan pendengaran didapat adalah bising (termasuk bising
karena pekerjaan seperti dari mesin atau ledakan) dan paparan suara volume keras
dalam jangka waktu lama seperti pada konser, bar dan acara olahraga (WHO, 2018).
Gangguan pendengaran yang didapat sangat mungkin dicegah, usaha pencegahan
yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan alat pelindung telinga terutama
pada pekerja dan orang-orang yang berada di lingkungan dengan paparan suara
keras dalam jangka waktu lama.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga

Gambar 2.1 Pembagian anatomi telinga


Telinga manusia terbagi menjadi telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam.

1. Telinga Luar

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terletak di lateral membran


timpani, tersusun atas aurikula (daun telinga), meatus akustikus eksternus
(MAE), dan membran timpani (MT) (Mills JH et al, 2006).

Gambar 2.2 Aurikula

3
Aurikula atau daun telinga merupakan tulang rawan fibro elastis
yang dilapisi kulit, berbentuk pipih dan permukaannya tidak rata. Melekat
pada tulang temporal melalui otot-otot dan ligamen. Bagiannya terdiri
heliks, antiheliks, tragus, antitragus dan konka. Daun telinga yang tidak
mengandung tulang rawan ialah lobulus (Ballenger, 1997).

Gambar 2.3 Meatus akustikus ekstenus


MAE atau liang telinga merupakan tabung berbentuk S, dimulai dari
dasar konka aurikula sampai pada membran timpani dengan panjang lebih
kurang 2,5 - 3 cm dan diameter lebih kurang 0,5 cm. MAE dibagi menjadi
dua bagian yaitu pars cartilage yang berada di sepertiga lateral dan pars
osseus yang berada di dua pertiganya. Pars cartilage berjalan ke arah
posterior superior , merupakan perluasan dari tulang rawan daun telinga,
tulang rawan ini melekat erat di tulang temporal, Sepertiga bagian luar kulit
liang telinga banyak terdapat kelenjar serumen dan rambut. Dua per tiga
bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.

Gambar 2.4 Membran Timpani

4
MT atau membran timpani berbentuk kerucut dengan puncaknya
disebut umbo , dasar MT tampak sebagai bentukan oval. MT dibagi dua
bagian yaitu pars tensa memiliki tiga lapisan yaitu lapisan skuamosa,
lapisan mukosa dan lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat
melingkar dan radial yang membentuk dan mempengaruhi konsistensi
MT. Pars flasida hanya memiliki dua lapis saja yaitu lapisan skuamosa
dan lapisan mukosa. Sifat bangunan MT ini dapat menyebarkan energi
vibrasi yang ideal (Donalson and Duckert, 1991)

2. Telinga Tengah
Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau
tympanic cavity. Dilapisi oleh membran mukosa, topografinya di bagian
medial dibatasi oleh promontorium, lateral oleh MT, anterior oleh muara
tuba Eustachius, posterior oleh aditus ad antrum dari mastoid, superior
oleh tegmen timpani fossa kranii, inferior oleh bulbus vena
jugularis.Batas superior dan inferior MT membagi KT menjadi
epitimpanium atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum (Soetirto
dkk, 2009).

Gambar 2.5. Kavum timpani


Telinga tengah berhubungan dengan nasopharing melalui tuba
Eustahcius. Telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran, susunan

5
dari luar ke dalam yaitu maleus, incus dan stapes yang saling berikatan
dan berhubungan membentuk artikulasi. Prosesus longus maleus melekat
pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat
pada stapes. Stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale yang
berhubungan dengan koklea.

3. Telinga Dalam
Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian
petrosa, di dalamnya dijumpai labirin periotik yang mengelilingi
struktur TD. Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars superior, pars
inferior dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan
saluran semisirkularis, pars inferior terdiri dari sakulus dan koklea
sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpaticus.

Gambar 2.6. Labirin

6
Gambar 2.7 Skema labirin
Fungsi TD ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus
atau indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat
keseimbangan. Kedua organ tersebut saling berhubungan sehingga
apabila salah satu organ tersebut mengalami gangguan maka yang lain
akan terganggu. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak
lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan
melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli
(Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media aalah mebran
basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Organ corti terbentuk dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti (Soetirto dkk, 2009).

B. Fisiologi Pendengaran

Suara merupakan suatu sinyal analog/kontinyu yang secara teoritis


mengandung informasi yang tak terhingga jumlahnya, yang
direpresentasikn pada tak terhingga banyaknya frekuensi dan tiap

7
frekuensi tersebut memiliki fasa dan magnituda. Suara yang didengar
telinga manusia mengalami perubahan dari sinyal akustik yang bersifat
mekanik menjadi sinyal listrik yang diteruskan syaraf pendengaran ke
otak. Proses mendengar tentunya tidak lepas dari organ pendengaran
manusia yakni telinga.
Proses pendengaran ini diawali dengan masuknya gelombang bunyi
yang ditangkap oleh daun telinga melewati meatus acusticus externus
(MAE). Daun telinga dan MAE ini menyerupai pipa kira-kira sepanjang
2 cm sehingga memiliki mode resonansi dasar pada frekuensi sekitar 4
kHz. Kemudian gelombang suara yang telah ditangkap akan membuat
membran timpani telinga bergetar. Seseorang menerima suara berupa
getaran pada membrane timpani dalam daerah frekuensi pendengaran
manusia. Getaran tersebut dihasilkan dari sejumlah variasi tekanan udara
yang dihasilkan oleh sumber bunyi dan dirambatkan ke medium
sekitarnya, yang dikenal sebagai medan akustik. Variasi tekanan pada
atmosfer disebut tekanan suara, dalam satuan Pascal (Pa). Setelah melalui
membrane timpani, getaran tersebut akan mengetarkan ketiga tulan
pendengaran (maleus, incus, stapes). Pada saat maleus bergerak, incus
ikut bergerak karena maleus terikat kuat dengan incus oleh ligament-
ligamen. Atrikulasi dari incus dan stapes menyebabkan stapes terdorong
kedepan pada cairan cochlear. Ketiga tulang pendengaran tadi mengubah
gaya kecil dari partikel udara pada gendnag telinga menjadi gaya besar
yang menggerakkan fluida dalam koklea. Impedansi matching antara
udara dan cairan koklea ialah sekitar 1 kHz.
Pada telinga bagian dalam terdapat koklea dan di dalam koklea
terdapat membran basiliar yang bentuknya seperti serat panjangnya
sekitar 32 mm. Getaran dari tulang pendengaran diteruskan melalui
jendela oval, yang kemudian akan menggerakkan fluida sehingga
membran basiliar ikut bergetar akibat resonansi. Bentuk membrane
basiliat memberikan frekuensi resonansi yang berbeda pada suatu bagian
membran. Gelomban dengan frekuensi tertentu akan beresonansi secara
sempurna dengan membrane basiliar pada titik tertentu, menyebabkan

8
titik tersebut bergetar dengan keras. Prinsip ini sama dengan nada tertentu
yang akan membuat garputala bergetar .Frekuensi tinggi menyebabkan
resonansi pada titik yang berada di dekat jendela oval dan frekuensi
rendah menyebabkan resonansi pada titik yang berada lebih jauh dari
jendela oval. Organ corti yang terletak di permukaan membran basiliar
yang terdiri dari sel-sel rambut ini akan mengubah getaran mekanik
menjadi sinyal listrik. Laju firing (firing rate) sel rambut dirangsang oleh
gertaran membrane basiliar. Kemudian sel saraf (aferen) menerima pesan
dari sel rambut dan meneruskannya ke saraf auditori, yang akan membawa
informasi tersebut ke otak, yaitu korteks serebri area pendengaran (area
Broadmann 41 dan 42) dan disadari sebagai rangsang pendengaran
(Aggraeni, 2011).

C. Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara sebagian


ataupun keseluruhan untuk mendengarkan suara pada salah satu maupun
kedua telinga (Susanto, 2010). Definisi lain mengatakan bahwa, gangguan
pendengaran merupakan penurunan persepsi kekerasan suara dan atau
disertai ketidakjelasan dalam berkata-kata. Unit kuantitatif yang
digunakan untuk mengukur kekerasan suatu suara adalah desibel. Pada
orang-orang normal, ambang batas (treshold) pendengaran adalah 0-10
desibel. Pada orang-orang dengan gangguan pendengaran, didapati
peningkatan ambang batas pendengaran disertai dengan terganggunya
proses persepsi suara dan proses pencapaian pengertian dari suatu
percakapan (Turner dan Per-Lee, 1990).

Klasifikasi
Gangguan pendengaran secara umum dapat dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu:

9
a. Tuli konduktif

Tuli konduktif dapat terjadi apabila terdapat lesi pada telinga luar
maupun telinga tengah yang dapat menyebabkan gangguan penghantaran
/ konduksi gelombang suara untuk menggetarkan gendang telinga /
membran timpani (Muhaimeed, dkk, 2002). Beberapa contoh kelainan
pada telinga luar yang dapat menyebabkan terjadinya tuli konduktif
adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna
sirkumskripta, serta osteoma liang telinga. Sedangkan, contoh-contoh
kelainan pada telinga tengah yang mampu menyebabkan terjadinya tuli
konduktif adalah tuba katar / sumbatan tuba eustachius, otitis media,
otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum, serta dislokasi tulang-
tulang pendengaran (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).
Menurut penelitian, tuli konduktif banyak dijumpai pada
orangorang suku Aborigin di Australia. Tuli konduktif pada anak-anak
suku Aborigin paling banyak disebabkan oleh infeksi telinga. Tuli
konduktif pada orang dewasa suku Aborigin biasanya merupakan
kelanjutan / sequelae dari infeksi telinga pada masa anak-anak yang tidak
diatasi dengan baik. Akibat dari banyaknya kejadian tuli konduktif pada
suku ini, akhirnya menyebabkan timbulnya budaya “absence and
avoidance” (Howard, 2007).

b. Tuli sensorineural
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011),
tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran yang terjadi sebagai
akibat adanya gangguan pada sepanjang telinga bagian dalam ataupun
gangguan pada fungsi saraf pendengaran. Tuli sensorineural dapat dibagi
menjadi tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.
Tuli sensorineural koklea dapat disebabkan oleh terjadinya aplasia
yang biasanya kongenital, labirinitis yang dapat disebabkan oleh bakteri
maupun virus, intoksikasi obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin,
garamisin, neomisin, kina, asetosal ataupun alkohol. Selain
penyakitpenyakit di atas, tuli sensorineural koklea dapat juga terjadi

10
diakibatkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma
akustik, serta pajanan bising yang berlama-lama. Tuli sensorineural
retrokoklea biasanya disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons
serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, serta kelainan
pada otak lainnya (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).
Kerusakan telinga oleh obat-obatan, suara keras / bising yang
berlama-lama, serta usia lanjut akan menyebabkan terjadinya gangguan
dalam menerima nada tinggi pada bagian basal koklea. Gangguan
pendengaran yang disebabkan oleh pajanan bising yang berlama-lama
disebut juga dengan noise-induced hearing loss (NIHL). Sedangkan,
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh proses penuaan pada usia
lanjut dapat disebut dengan presbikusis (Soetirto, Hendarmin, dan
Bashiruddin, 2007).
Kedua jenis tuli sensorineural baik koklea maupun retrokoklea dapat
dibedakan dari pemeriksaan audiometri khusus. Tuli sensorineural
retrokoklea cenderung lebih mengancam jiwa bila dibandingkan dengan
tuli sensorineural koklea. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tuli
sensorineural retrokoklea paling sering dicetuskan oleh adanya trauma
ataupun kelainan pada otak. Namun, tuli sensorineural yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa diatas 40 tahun merupakan tuli
sensorineural jenis koklea (Turner dan Per-Lee, 1990).

c. Tuli Campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran
jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-
mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya
otesklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan
sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran
jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran
(misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua
gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala

11
yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto,
Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).

Klasifikasi gangguan pendengaran menurut waktu kejadiannya dapat


dibagi pula menjadi dua jenis, yaitu:

a. Prelingual

Gangguan pendengaran prelingual biasanya timbul sebelum


terjadinya proses perkembangan kemampuan berbahasa pada seseorang.
Seluruh gangguan pendengaran yang bersifat kongenital biasanya masuk
ke dalam gangguan pendengaran prelingual (Smith, dkk, 2014). Menurut
Shemesh (2010), orang-orang dengan gangguan pendengaran prelingual
biasanya lebih terbatas secara fungsional bila dibandingkan dengan
orangorang dengan gangguan pendengaran yang telah melalui proses
berbahasa.

b. Postlingual

Gangguan pendengaran postlingual terjadi setelah berkembangnya


kemampuan berbahasa pada seseorang. Biasanya terjadi setelah berusia 6
tahun. Gangguan pendengaran postlingual jauh lebih jarang terjadi bila
dibandingkan dengan gangguan pendengaran prelingual. Biasanya
gangguan pendengaran postlingual yang terjadi secara tiba-tiba
disebabkan oleh meningitis ataupun penggunaan obat-obat ototoksik
seperti gentamisin (Smith, dkk, 2014).

Terlepas dari jenis serta onset kejadian gangguan pendengaran,


American National Standards Institute membagi gangguan pendengaran
berdasarkan ambang batas pendengaran seseorang, seperti berikut (Shah,
2013):

a. Slight hearing loss : 16-25 dB


b. Mild hearing loss : 26-40 dB

12
c. Moderate hearing loss : 41-55 dB
d. Moderately Severe hearing loss : 56-70 dB
e. Severe hearing loss : 71-90 dB
f. Profound : lebih dari 90 dB

D. Alat Pelindung Telinga


Definisi
Alat Pelindung Diri (APD) adalah perangkat yang digunakan oleh
pekerja untuk melindungi dirinya dari potensi bahaya penyakit akibat kerja
serta kecelakaan kerja yang mungkin dapat terjadi di tempat kerja.
Penggunaan APD oleh pekerja saat bekerja merupakan suatu upaya untuk
menghindari paparan risiko bahaya di tempat kerja. Walaupun upaya ini
berada pada tingkat pencegahan terakhir, namun penerapan alat pelindung
diri ini sangat dianjurkan (Fitriyani, Wahyuningsih, 2016).
Pada dunia kerja, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sangat
diperlukan terutama pada lingkungan kerja yang mempunyai potensi bahaya
bagi keselamatan kerja seperti pada industri tekstil atau industri lainnya.
Pada umumnya perusahaan telah menerapkan sistem manajemen K3, yang
di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan dalam penggunaan APD, namun
pada kenyatannya APD tidak selalu dikenakan pada saat bekerja, banyak
ditemukan pekerja yang tidak menggunakan APD. Hal ini dapat terjadi
karena berbagai hal, misalnya ketidaknyamanan dalam menggunakan APD
serta belum paham resiko pekerjaanya (Fitriyani, Wahyuningsih, 2016).
Alat pelindung telinga merupakan perangkat APD yang dapat
melindungi telinga terhadap suara keras yang berpotensi merusak sambil
memungkinkan suara tingkat rendah seperti ucapan dirasakan. Namun,
dampak dari perangkat ini pada kemampuan untuk melokalisasi sumber
suara tidak diketahui (Tarwaka, 2008).

Indikasi
Salah satu penyebab gangguan pendengaran dikarenakan terpapar
kebisingan yang berlebihan, termasuk kebisingan di tempat kerja.

13
Lingkungan kerja bising tentu berpotensi dengan terjadinya gangguan
pendengaran. Gangguan pendengaran bisa saja diperparah karena tidak
menggunakan APD. Pentingnya pemakaian APD telinga untuk mengurangi
agar gangguan pendengaran tidak semakin parah. Alat pelindung telinga
digunakan untuk mengurangi intensitas yang masuk ke dalam telinga
(Ramadhani, Silaban, dan Hasan, 2017).

Cara Kerja
Pelindung pendengaran dibagi menjadi dua kategori, yaitu
pelindung di mana pelemahannya konstan dan tidak tergantung pada tingkat
suara, dan pelindung di mana pelemahan tergantung pada tingkat suara.
Hanya yang terakhir memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi dan
merasakan suara di lingkungan. Kategori ini dapat dibagi lagi menjadi dua
jenis:

 Sistem perlindungan pasif, seperti penyumbat telinga non-linear-


attenuation. Jenis pelindung ini biasanya sangat efektif untuk perlindungan
terhadap kebisingan impuls karena pelemahannya meningkat dengan
meningkatnya tingkat tekanan puncak suara. Penyumbat telinga non-linier
biasanya meliputi jalur suara dengan impedansi akustik tergantung pada
kecepatan partikel. Misalnya, itu mungkin terdiri dari rongga silinder
berlubang di kedua ujungnya, yang dimasukkan ke dalam penyumbat
telinga. Impedansi akustik dari rongga ini terkait dengan resistensi
viskosnya, yang memiliki komponen non-linear sebanding dengan
kecepatan partikel
 Sistem perlindungan aktif seperti sistem talk-through elektronik. Dalam
sistem ini, suara direkam menggunakan mikrofon eksternal dan diputar
ulang pada tingkat yang sesuai melalui pengeras suara mini yang
ditempatkan di dalam APD di dekat telinga pendengar.
(Zimpfer dan Sarafian,, 2014)

14
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas alat pelindung telinga, yaitu:

 Kebocoran udara
 Peralatan gelombang suara melalui bahan alat pelindung
 Vibrasi alat itu sendiri
 Konduksi suara melalui tulang dan jaringan.
(Tarwaka, 2008)

E. Klasifikasi Alat Pelindung Telinga

Alat pelindung telinga adalah alat untuk menyumbat telinga atau


penutup telinga yang digunakan atau dipakai dengan tujuan melindungi,
mengurangi paparan kebisingan masuk kedalam telinga. Fungsinya adalah
menurunkan intensitas kebisingan yang mencapai alat pendengaran. Alat
pelindung umumnya dapat dibedakan menjadi:

1. Sumbat Telinga (Ear Plug)

Ukuran, bentuk, dan posisi saluran telinga untuk tiap individu berbeda
dan bahkan antar kedua telinga dari individu yang sama berlainan. Oleh
karena itu sumbat telinga harus dipilih sesuai dengan ukuran, bentuk, posisi
saluran telinga pemakainya. Diameter saluran telinga berkisar antara 3 –
14 mm, tetapi paling banyak 5 – 11 mm. Umumnya bentuk saluran telinga
manusia tidak lurus, walaupun sebagian kecil ada yang lurus. Sumbat
telinga dapat mengurangi bising sampai dengan 30 Db. Sumbat telinga
dapat terbuat dari kapas (wax), plastik karet alami dan sintetik, menurut
cara penggunaanya, dibedakan menjadi “Disposable Ear Plug”, yaitu
sumbat telinga yang digunakan untuk sekali pakai saja kemudian dibuang,
misalnya sumbat telinga dari kapas, kemudian cara penggunaan yang lain
yaitu “Non-Disposable Ear Plug” yang digunakan waktu yang lama terbuat
dari karet atau plastik cetak.
Disposable earplug biasanya terbuat dari bahan kapas. Ada sebuah
metode yang dikemukakan oleh Hong S dan Daniel G (2013) yaitu cara
membuat penyumbat telinga sendiri dengan menggunakan kapas, yaitu

15
metode “Glass Down”. Metode ini merupakan metode paling praktis yang
dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun karena bahannya mudah didapat
dan membuatnya sangat sederhana. Hanya menggunakan selembar kapas
wol dan menggulung kapas tersebut menjadi sebuah penyumbat.
Keuntungan dari metode ini adalah bahan wol yang sangat lembut sehingga
akan mengurangi terjadinya trauma gesekan pada telinga, kemudian
ukurannya dapat disesuaikan dengan telinga. Namun, pembuatan Glass
Down Earplug ini hanya dapat digunakan untuk melindungi dari bising
ringan dan pembuatannya harus sesuai dengan prosedur sehingga sesuai
dengan ukuran telinga agar tidak masuk ke dalam meatus dan
menyebabkan timbulnya risiko menjadi korpal.

Gambar 1. Glass Down Earplug


Dalam pemakaiannya sumbat telinga mempunyai keuntungan dan
kerugian. Keuntungan dari pemakaian sumbat telinga yaitu: (American
Academy of Audiology Position Statement, 2004)

1. Mudah dibawa karena ukurannya yang kecil.


2. Relatif lebih nyaman dipakai di tempat kerja yang panas.
3. Tidak membatasi gerak kepala.
4. Harga relatif murah daripada tutup telinga (Earmuff).

Sedangkan kerugiannya antara lain:

1. Memerlukan waktu yang lebih lama dari tutup telinga untuk pemasangan
yang tepat.

16
2. Tingkat proteksinya lebih kecil dari tutup telinga.
3. Sulit untuk memonitor tenaga kerja apakah memakai APT karena sukar
dilihat oleh pengawas.
4. Hanya dapat dipakai oleh saluran telinga yang sehat.
5. Bila tangan yang digunakan untuk memasang sumbat telinga kotor, maka
saluran telinga akan mudah terkena infeksi karena iritasi.

Gambar 2. Disposable Ear Plug

Gambar 3. Non-Disposable/Reusable Ear Plug

2. Tutup Telinga (Ear Muff)

Tutup telinga terdiri dari dua buah tudung untuk tutup telinga, dapat
berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi
tinggi. Pada pemakaian yang lama, sering ditemukan efektifitas telinga

17
menurun yang disebabkan oleh bantalan mengeras dan mengerut akibat
reaksi bahan bantalan dengan minyak kulit dan keringat.
Tutup telinga digunakan untuk mengurangi bising tergantung dari
jenis dan bahan dari tutup telinga. Bising yang dapat dikurangi bisa sampai
dengan 40 – 50 Db dengan frekuensi 100 – 8000Hz. Kemudian sudah
terdapat juga tutup telinga yang disertai dengan radio receiver untuk
memudahkan pekerja untuk berkomunikasi dalam keadaan telinga tertutup
oleh alat pelindung.
Keuntungan dari tutup telinga (Ear Muff) adalah satu ukuran tutup
telinga dapat digunakan oleh beberapa orang dengan ukuran telinga yang
berbeda, mudah dimonitor pemakaiannya oleh pengawas. tidak mudah
hilang. Sedangkan kerugiannya antara lain tidak nyaman untuk dipakai saat
cuaca panas, tidak mudah dibawa atau disimpan, dapat membatasi gerakan
kepala pada ruang kerja yang agak sempit, dan harganya relatif lebih mahal
dari sumbat telinga. (Rice dan Coles, 2006)

Gambar 4. Ear Muff


Tutup telinga dapat dimodifikasi juga dengan disatukan dengan helm
pelindung kepala yang berfungsi untuk menutupi seluruh kepala dan
digunakan untuk mengurangi intensitas bising maksimum 40 dB pada 250
Hz sampai 50 dB pada frekuensi tinggi.

18
Gambar 5. Helm pelindung telinga

Pemilihan Alat Pelindung Telinga


Saat memilih pelindung pendengaran, hal-hal berikut harus
dipertimbangkan:

1. Lingkungan dan aktivitas kerja


2. Persyaratan redaman suara
3. Kenyamanan saat digunakan
4. Kompatibilitas dengan aksesoris kepala lainnya
5. Gangguan medis
6. Gangguan pendengaran yang ada

19
BAB III
PENUTUP

Telinga dibagi menjadi tiga bagian, di antaranya telinga luar, tengah dan
dalam. Telinga dalam terdiri dari koklea dan 3 kanalis semisirkularis. Secara garis
besar, fisiologi pendengaran dimulai dari gelombang bunyi yang ditangkap oleh
daun telinga dan diteruskan ke dalam liang telinga. Gelombang bunyi akan
diteruskan ke telinga tengah dengan menggetarkan gendang telinga, tulang
pendengaran. Kemudian getaran diteruskan ke koklea, sehingga menggetarkan
endolimfa, yang nanti akan menyebabkan terjadinya depolarisasi yang mengubah
getaran menjadi energi listrik. Impuls tadi akan diteruskan kekorteks serebri dan
diterjemahkan oleh otak
Berdasarkan data WHO, 5% dari populasi dunia atau sekitar 466 juta orang
menderita gangguan dan diprediksi pada tahun 2050 lebih dari 900 juta orang atau
tiap satu dari sepuluh orang di dunia akan menderita gangguan pendengaran. Ada
dua penyebab gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran kongenital dan
gangguan pendengaran didapat. Salah satu faktor yang menyebabkan gangguan
pendengaran didapat adalah bising (termasuk bising karena pekerjaan seperti dari
mesin atau ledakan) dan paparan suara volume keras dalam jangka waktu lama
seperti pada konser, bar dan acara olahraga (WHO, 2018).
Gangguan pendengaran yang didapat sangat mungkin dicegah, usaha
pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan alat pelindung
telinga terutama pada pekerja dan orang-orang yang berada di lingkungan dengan
paparan suara keras dalam jangka waktu lama.
Alat pelindung telinga adalah alat untuk menyumbat telinga atau penutup
telinga yang digunakan atau dipakai dengan tujuan melindungi, mengurangi
paparan kebisingan masuk kedalam telinga. Fungsinya adalah menurunkan
intensitas kebisingan yang mencapai alat pendengaran. Alat pelindung umumnya
dapat dibedakan menjadi sumbat telinga (ear plug) dan tutup telinga (ear muff).
Pemilihan alat pelindung telinga dapat disesuaikan dengan lingkungan dan aktivitas
kerja, persyaratan redaman suara, kenyamanan penggunaan, kompatibilitas dengan
aksesoris kepala lainnya, gangguan medis, dan gangguan pendengaran yang ada.

20
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Audiology Position Statement: Preventing Noise-Induced


Occupational Hearing Loss. NHCA Spectrum; Vol. 21(1), 2004.

Bagian Tenun Departemen Weaving SL PT. Daya Manunggal. ISSN 2252-6528


Hong, S. and Daniel, G. (2013). Hearing Loss and Use of Hearing Protection

Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa:
Staf pengajar FKUI RSCM.13rd ed. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997:105-9.

Donalson JA, Duckert LG. Anatomy of the ear. In: Paparella MM, Shumrick DA
eds. Otolaryngology. 3th ed. Philadelphia: WB Saunders co.1991: 23-58.

Fitriyani, BB, Wahyuningsih AS. 2016. Hubungan Pengetahuan Tentang Alat


Pelindung Telinga (Ear Plug) Dengan Kepatuhan Pengguanannya Pada Pekerja
Among Career Firefighters in the United States. Journal of Occupational and
Environmental Medicine, 55(11), p.1364.

Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and physiology of hearing. In: Bailey
JB, Johnson JT. Head and neck surgery otolaryngology. 4 ed, Vol 2. Philadelphia:
Lippincott W,
Wilkins, 2006:1883-1902.

Ramadhani, S, Silaban, dan G, Hasan, W. 2017. Pemakaian APT Dengan Gangguan


Pendengaran Pekerja Ground Handling Di Bandara Kualanamu. e-ISSN 2442-6725

Rice, C.G., Coles, R.R.A., Design Factors and Use of Ear Protection. 2006.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1008429

Soetirto I, Hendramin H, Bashirudin J, Gangguan pendengaran dan kelainan


telinga: Supardi EA , Iskandar N, Bashiruddin J eds. Buku ajar ilmu penyakit
telinga, hidung tenggorok kepala dan leher.Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2009: 10-22.

Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Manajemen dan Implementasi


Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Tempat Kerja. Surakarta : Harapan Press.

Zimpfer, V dan Sarafian, D. 2014. Impact of hearing protection devices on sound


localization performance. doi: 10.3389/fnins.2014.00135

21

Anda mungkin juga menyukai